Anda di halaman 1dari 10

Penghapusan

Kekerasan
Seksual
Pedoman Nasional
YAYASAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM INDONESIA
INDONESIA LEGAL AID FOUNDATION
Jl. DIPONEGORO 74, JAKARTA 10320, TELP (021) 3929840 (Hunting), FAX (021) 3193014o
Email : i nfo@ylbhi.or.id, Website: http://www.yl bhi.or.id

SURAT KEPUTUSAN
PENGURUS YAYASAN LBH INDONESI,A
Nomor: 22 lSREP lPgrs-YLBHlfllllz0zz

Te nta ng

PEDOMAN NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL

Menimbang : a. Bahwa keberlanjutan program kegiatan bantuan hukum struktural dan


advokasi hukum perlu didukung oleh pedoman nasional yang berlakudi
lingkungan Yayasan LBH Indonesia;
b. Bahwa selarna ini belum ada Pedoman Nasional tentang Penghapusan
Kekerasan Seksual yang berlaku di lingkungan Yayasan LBH Indonesia dan
Kantor-Kantor LBH se-lndonesra;
c, Bahwa dalam mengerjakan visi misi lembaga terdapat potensi pelemahan
lembaga dengan menggunakan beragam isu, salah satunya ialah Kekerasan
Seksual;
d. Bahwa lembaga memiliki komitmen yang kuat dalam pemberantasan
oenghapusan Kekerasan Seksual baik dalam konteks kehidupan bernegara
secara luas maupun dalam lingkungan Yayasan LBH Indonesia.

Mengingat : a. Anggaran Dasar YLBHI Pasal 16 ayat (1), tentang tanggung jawab penuh
Pengurus atas kepengurusan Yayasan untuk kepentingan Yayasan;
b. Anggaran Rumah Tangga YLBHI Bab II Pasal 3 ayat 1 A.1 b, tentang mekanisme
pengambilan keputusan dalam Rakernas terkait menyusun, merumuskan, dan
atau mengesahkan mekanisme kerja serta aturan lain yang merupakan bagian
dari perangkat manajerial organisasi YLBHI;
c. Surat Keputusan Dewan Pembina Yayasan LBH Indonesia Nomor: O4ISKEP
PEM BINAALBHI/XII/Z)2 1 tentang Pengang katan Saudara M uha mad lsnur,
S H L Sebagai Ketua Umum Pengurus Yayasan LBH Indonesia Periode 2022
- 2A26;

Memperhatikan : Rapat Kerja Nasional LBH Indonesia, Bogor,2022.

SKEP PEDOMAN NASIONAL PENGHAPUSAN KEKERASAN SEK'3UAL I 1


MEMUTUSKAN:
1 Menetapkan aturan organisasi YLBHI berupa Pedoman Nasional tentang Penghapusan
Kekerasan Seksual sebagaimana terlarnpir dan tidak terpisahkan dengan surat keputusan ini;

2 Menginstruksikan kepada seluruh Kantor LBH untuk mengadopsi Pedoman Nasional ini ke dalam
standar prosedur kerja, serta mensosialisasikan dan mengimplementasikannya dengan
mempertimbangkan kondisi di lembaga masing-masing;

3 Keputusan ini mulai berlaku sejak ditetapkan;

4 Surat Keputusan ini akan diperbaiki bilamana dikemudian hari ditemukan adanya kekeliruan.

DITETAPKAN DI: BOGOR


PADATANGGAL: 3 1 MARET2022

PENGURUS YAYASAN LBH


INDONESIA

BANTUAN HUKUM
INDONESIA
PRATTWI FEBRY, S.H.
KETUA UMUM KETUA RISET, PENGEMBANGAN ORGANISASI,
DAN ADVOKASI INTERNASIONAL
Pedoman Penghapusan Kekerasan Seksual

Di Lingkungan Yayasan LBH Indonesia

I. Pendahuluan

Kekerasan Seksual berdasarkan karakternya merupakan salah satu pelanggaran Hak Asasi
Manusia berbasis gender. Karakter inilah yang membuat Komite Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) memasukkan kekerasan terhadap perempuan
sebagai bagian dari diskriminasi. Hal ini berarti kekerasan seksual berakar dari cara pandang
yang melihat laki-laki dan perempuan tidak setara dan dalam relasi tersebut perempuan lebih
dilihat sebagai obyek seksual. Oleh karena itu terdapat kasus-kasus kekerasan seksual yang
menimpa laki-laki yang terlihat memiliki tampilan maskulinitas berbeda maupun laki-laki yang
beridentitas gender berbeda. Meski demikian kekerasan seksual sangat mungkin menimpa
setiap orang didalam relasi yang tidak setara. Semakin maraknya kasus Kekerasan Seksual
yang terjadi di lingkungan sekitar dan membuat hal ini mungkin terjadi di lingkungan LBH
Indonesia. Dengan berkaca pada keadaan terkini maka LBH Indonesia merasa perlu adanya
Pedoman Kekerasan Seksual yang berlaku di lingkungan LBH Indonesia untuk mencegah,
menangani, melindungi dan menindak pelaku Kekerasan Seksual

Jenis kekerasan seksual secara luring (langsung):

● Perkosaan: perbuatan melakukan hubungan seksual, atau memasukkan dan/atau


menggesekkan alat kelaminnya ke vagina, anus, mulut, atau bagian tubuh orang lain
yang patut diduga sebagai hubungan seksual; atau memasukkan bagian tubuhnya yang
bukan alat kelamin atau suatu benda ke dalam alat kelamin atau anus orang lain,
dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, tipu
muslihat, atau ketidakberdayaan untuk memberikan persetujuan
● Percobaan perkosaan: suatu perbuatan/upaya untuk melakukan pemerkosaan tapi
belum tercapai.
● Pelecehan seksual: perbuatan dalam bentuk fisik atau non fisik kepada orang lain yang
tidak dikehendaki orang tersebut, berhubungan dengan tubuh, keinginan seksual,
dan/atau fungsi reproduksi. Termasuk catcalling
● Eksploitasi seksual: perbuatan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat,
kebohongan, keadaan palsu, penyalahgunaan wewenang, atau ketergantungan
seseorang, agar seseorang melakukan hubungan seksual dengan pelaku atau orang
lain, dan/atau memanfaatkan tubuh seseorang tersebut dengan maksud mendapatkan
keuntungan bagi diri sendiri
● Kontrol seksual, termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan
diskriminatif beralasan moralitas dan agama
● Pemaksaan aborsi: perbuatan menghentikan kehamilan seorang perempuan dengan
kekerasan, ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan,penyesatan, penipuan,
ketidakberdayaan, atau tanpa persetujuan perempuan tersebut
● Pemaksaan kontrasepsi: perbuatan memasang, menyuruh memasang, atau menyuruh
seseorang memasang alat kontrasepsi kepada orang lain, dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan,
ketidakberdayaan, atau tanpa persetujuan orang tersebut, yang membuat orang itu
kehilangan fungsi reproduksinya untuk sementara waktu
● Pemaksaan sterilisasi: perbuatan memasang, menyuruh memasang, atau menyuruh
seseorang memasang alat kontrasepsi kepada orang lain, dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan,
ketidakberdayaan, atau tanpa persetujuan orang tersebut, yang membuat orang itu
kehilangan fungsi reproduksinya secara tetap
● Pemaksaan perkawinan: perbuatan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, atau
rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, tipu muslihat,
pengambilan manfaat ekonomi maupun non-ekonomi, pembatasan ruang gerak,
penyekapan, atau penculikan, sehingga seseorang tidak dapat memberikan persetujuan
yang sesungguhnya, melakukan perkawinan yang bertentangan dengan hakikat
perkawinan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan

Jenis kekerasan Seksual secara daring (online):

Kekerasan seksual secara daring adalah Kekerasan seksual yang difasilitasi oleh teknologi.
Sama sama seperti kekerasan seksual dengan dalam dunia nyata, tindakan kekerasan yang
harus memiliki niatan ataupun maksud untuk melecehkan korban berdasarkan gender atau
seksual.

● Penggunaan Teknologi Untuk Mendownload & Mengedit Gambar Asli Korban Tanpa Izin
(Morphing) yang bernuansa seksual
● Pendekatan untuk memperdaya (cyber grooming) untuk tujuan seksual
● Pelecehan online (cyber harassment)
● Mengirimkan Gambar/Foto/Video porno ke orang lain tanpa persetujuan orang yang
menerima (sexting)
● Peretasan (hacking) dengan tujuan seksual maupun sexting atau bersifat pelecehan
seksual
● Pemalsuan Identitas (impersonation/Cloning) untuk tujuan melakukan kekerasan
seksual
● Pelanggaran privasi (infringement of privacy)
● Ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution)
● Penyebarluasan Foto/Video yang berisi keintiman tanpa persetujuan (nonconsensual
disseminate intimate image)
● Pencemaran nama baik (online defamation) secara seksual
● Rekrutmen online (online recruitment) untuk tujuan kekerasan seksual
● Penguntitan Online (cyberstalking)

Dampak Kekerasan Seksual

Kekerasan Seksual memiliki dampak yang sangat signifikan pada korbannya, baik jangka
pendek maupun jangka panjang yang berupa dampak pada aspek fisik, psikologis, dan sosial.
Dampak ini tidak terjadi secara tunggal dan terpisah akan tetapi saling berkaitan yang dapat
menambah peliknya masalah yang dialami korban dan keluarganya. Misalnya dampak fisik juga
akan berakibat pada penderitaan psikologis korban.

Dampak yang muncul pada setiap korban/penyintas kekerasan ber ariasi tergantung pada
karakteristik traumatis tersebut dan penghayatan korban sendiri yang tergantung pada
kepribadian, usia, gender, latar belakang korban (pola asuh, pengalaman traumatis
sebelumnya, tingkat sosial ekonomi, budaya) serta ada tidaknya dukungan dari keluarga atau
sosial. Karena adanya dampak-dampak yang khas ini, maka proses pemulihan, penyelidikan,
dan proses pengadilan harus mempertimbangkan reaksi-reaksi tersebut

II. Definisi

1. Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang,


dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi
reproduksi, secara paksa, bertentangan 2 dengan kehendak seseorang, yang
menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan
bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau
dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian
secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
2. Setiap Orang adalah orang perseorangan secara individual, orang secara kelompok
yang terorganisir atau tidak terorganisir, atau Korporasi.
3. Korban adalah setiap orang yang mengalami peristiwa Kekerasan Seksual.
4. Pelapor adalah setiap orang yang memberitahukan telah terjadinya suatu peristiwa
kekerasan seksual (bukan korban)
5. Pengadu adalah setiap orang yang terlibat atau mengalami suatu peristiwa kekerasan
seksual (korban)
6. Saksi adalah setiap orang yang memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang
tindak pidana Kekerasan Seksual yang ia alami, lihat atau dengar sendiri atau dengar
dari Korban.
7. Pendamping adalah seseorang atau kelompok atau organisasi yang mendampingi
Korban dalam mengakses hak atas Penanganan, perlindungan dan pemulihan.
8. Pencegahan adalah segala upaya untuk mencegah terjadinya Kekerasan Seksual dan
keberulangan Kekerasan Seksual.
9. Hak Korban adalah hak atas Penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang
didapatkan, digunakan dan dinikmati oleh Korban, dengan tujuan mengubah kondisi
Korban yang lebih baik, bermartabat dan sejahtera, yang berpusat pada kebutuhan dan
kepentingan Korban yang multidimensi, berkelanjutan dan partisipatif.
10. Penanganan adalah tindakan yang dilakukan untuk menindaklanjuti adanya peristiwa
Kekerasan Seksual.
11. Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada
Korban, Keluarga Korban, dan/atau Saksi.
12. PBH (Pengabdi Bantuan Hukum) adalah pengabdi yang melakukan kerja-kerja bantuan
hukum di lingkungan LBH Indonesia.
13. Jaringan adalah kelompok terdekat dari Korban seperti Keluarga, teman, paguyuban,
atau masyarakat pada umumnya.
14. Pemulihan adalah upaya mendukung Korban Kekerasan Seksual untuk menghadapi
proses hukum dan/atau mengupayakan kesejahteraan dan kehidupan yang bermartabat
dengan berlandaskan prinsip pemenuhan hak Korban.

III. Tujuan

1. Mencegah segala bentuk kekerasan seksual di lingkungan LBH Indonesia


2. Menangani, melindungi dan memulihkan korban apabila terjadi kekerasan seksual di
lingkungan LBH Indonesia
3. Melakukan Tindakan pada pelaku yang melakukan kekerasan seksual di lingkungan
LBH Indonesia
Mewujudkan lingkungan LBH Indonesia yang bebas dari kekerasan seksual

IV. Ruang Lingkup

Ruang lingkup Panduan ini berlaku bagi seluruh PBH (termasuk namun tidak terbatas
pada APBH, Relawan dan Pemagang) di lingkungan LBH Indonesia, baik atas
kekerasan seksual yang dilakukan terhadap sesama PBH maupun terhadap
orang-orang di luar lingkungan LBH Indonesia. dengan tidak menutup kemungkinan
berlaku pula bagi orang-orang di luar lingkungan LBH Indonesia, yang ditemukan
melakukan kekerasan seksual terhadap PBH atau orang-orang yang berada dalam
lingkungan kerja LBH.

V. Pencegahan

PBH LBH Indonesia wajib untuk mencegah terjadinya Kekerasan seksual di lingkungan
LBH Indonesia atau di lingkungan sehari- hari PBH. Hal-hal yang dapat dilakukan antara
lain adalah:
- Adanya upaya untuk menginternalisasikan kesetaran gender dan anti kekerasan
seksual di kantor sejak awal masuk LBH (bisa dengan (namun tidak terbatas)
pengembangan kapasitas)
- Melakuan pemeriksaan latar belakang setiap calon PBH yang akan masuk ke Kantor
LBH
- Mengadopsi pedoman Kekerasan seksual untuk diberlakukan di kantor LBH
- Mempromosikan nilai-nilai kesetaraan gender dan penghapusan Kekerasan seksual
(misalnya dengan pembuatan poster himbauan di kantor LBH dll)
VI. Hak dan tanggung jawab PBH LBH Indonesia

Seluruh PBH LBH Indonesia memiliki hak untuk berprtisipasi dalam lingkungan yang
bebas dari kekerasan seksual dan juga bertanggung jawab untuk menjaga lingkungan
supaya terbebas dari kekerasan seksual.

VII. Hak dan tanggung jawab Pelapor dan Pengadu (Saksi, Korban maupun Keluarga
Korban)

1. Pelapor dan Pengadu yang berasal dari Lingkungan LBH Indonesia berhak untuk
mendapatkan perlindungan dan pembelaan apabila mengalami Kekerasan seksual
2. Pelapor dan Pengadu yang berasal dari Luar lingkungan LBH Indonesia berhak
melaporkan, mendapat perlindungan dan pembelaan apabila mengalami Kekerasan
seksual oleh PBH LBH Indonesia
3. Pelapor dan Pengadu yang berasal dari lingkungan atau luar lingkungan LBH Indonesia
bertanggung jawab untuk memberikan keterangan yang selengkap-lengkapnya,
sejujur-jujurnya terkait kekerasan seksual yang dialaminya, serta mau berkoordinasi
dengan LBH Indonesia dalam penyelsaian kasusnya
4. Pelapor dan Pengadu yang berasal dari Lingkungan LBH Indonesia ataupun luar
Lingkungan LBH Indonesia berhak untuk mendapatkan perlindungan selama proses
penyelesaian kasus.
5. Pelapor dan Pengadu yang berasal dari Lingkungan LBH Indonesia ataupun luar
Lingkungan LBH Indonesia berhak untuk mendapatkan pemulihan (psikis dan fisik)

VIII. Hak dan tanggung jawab Pengadu (Korban atau keluarga korban)

1. Pengadu yang berasal dari Lingkungan LBH Indonesia berhak untuk mendapatkan
perlindungan dan pembelaan apabila mengalami Kekerasan seksual
2. Pengadu yang berasal dari Luar lingkungan LBH Indonesia berhak melaporkan,
mendapat perlindungan dan pembelaan apabila mengalami Kekerasan seksual oleh
PBH LBH Indonesia
3. Pengadu yang berasal dari lingkungan atau luar lingkungan LBH Indonesia bertanggung
jawab untuk memberikan keterangan yang selengkap-lengkapnya, sejujur-jujurnya
terkait kekerasan seksual yang dialaminya, serta mau berkoordinasi dengan LBH
Indonesia dalam penyelsaian kasusnya

IX. Hak dan kewajiban Pendamping

1. Pendamping memiliki hak untuk mendapat keterangan secara lengkap terkait kasus
kekerasan seksual yang terjadi dari pihak yang melaporkan
2. Pendamping berhak mendapatkan bantuan dari pihak-pihak yang dianggap relevan
yang dapat membantu menyelsaikan kasus kekerasan seksual
3. Pendamping berhak untuk melakukan investikasi/ penyelidikan terkait kasus kekerasan
seksual yang didampinginya
4. Pendamping memiliki kewajiban untuk melindungi identitas dari pelapor dan juga
pihak-pihak yang terkait dari kasus kekerasan seksual
5. Pendamping memiliki kewajiban untuk bersikap objektif dalam menangani kasus
kekerasan seksual
6. Pendamping memiliki kewajiban untuk bersikap sensitive dalam menangani kasus
kekerasan seksual
7. Pendamping memiliki kewajiban untuk mencari fakta kejadian dari berbagai pihak yang
terkait.
8. Pendamping memiliki kewajiban untuk mendengarkan keterangan dari pelaporan dan
pihak yang dilaporkan.
9. Pendamping sedapat mungkin memasitkan terkait kenyamanan korban apabila akan
didampingi oleh PBH yang gendernya berbeda (untuk menentukan apakah harus di
damping oleh PBH yang gendernya sama dengan korban atau tidak).

X. Gugus tugas (Task Force) Kekerasan seksual

1. Apabila adanya pelaporan terkait kekerasan seksual pihak LBH Indonesia wajib
membuat gugus tugas dalam upanya penyelesaian permasalahan kekerasan seksual
2. Gugus tugas terdiri dari minimal 3 orang dengan salah satu anggota task force adalah
unsur pimpinan di wilayah LBH Indonesia
3. Gugus tugas akan melakukan investigasi/ penyelidikan terkait pelaporan kekerasan
seksual dalam kurun waktu 1 bulan dan dapat diperpanjang apabila diperlukan
4. Gugus tugas setelah mendapatkan hasil dari investigasi/ penyelidikan harus segera
menyampaikan kepada pimpinan Lembaga (Ketua umum/ Direktur/ Kepala kantor) untuk
ditindaklanjuti lebih lanjut.
5. Hasil dari investigasi/ penyelidikan akan disampaikan kepada pelapor dan pihak-pihak
yang berkepentingan.
6. Gugus tugas diharapkan dapat mengkualifikasikan berat pelanggaran (ringan, sedang,
berat) berdasarkan:
- Dampak terhadap korban
- Dampak terhadap lingkungan sekitar
- Niat (kesengajaan, kelalaian, kealpaan dll)
- Relasi kuasa
- Pendapat pihak yang berkompeten

XI. Penindakan
1. Untuk PBH LBH Indonesia yang terbukti telah melakukan kekerasan seksual kepada
PBH LBH Indonesia atau orang dari luar lingkungan LBH Indonesia, wajib untuk
dilakukan pemeriksaan etik dengan seadil-adilnya.
2. Untuk orang dari luar PBH LBH Indonesia yang terbukti telah melakukan kekerasan
seksual kepada PBH LBH Indonesia atau orang dari luar lingkungan LBH Indonesia,
wajib adanya diskusi lebih lanjut dengan korban dan pimpinan Lembaga terkait Tindakan
yang akan dilakukan kepada pelaku.

Anda mungkin juga menyukai