Anda di halaman 1dari 51

REFERAT

KETIDAKSEIMBANGAN ELEKTROLIT

PERIODE

25 September 2023 - 19 November 2023

DISUSUN OLEH:

Farrel Rafif Ferdian 220070200011059


Wahidatur Rosyidah 220070200011093
Ath Thuur Maulana Rafatha 220070200011188
Ridha Saniyyah Rindradi 220070200011079

Pembimbing:
dr. Aries Budianto, Sp. B-KBD

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


RSUD DR. SAIFUL ANWAR MALANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2023
HALAMAN PERSETUJUAN

REFERAT

KETIDAKSEIMBANGAN ELEKTROLIT

Disusun oleh:

Farrel Rafif Ferdian 220070200011059


Wahidatur Rosyidah 220070200011093
Ath Thuur Maulana Rafatha 220070200011188
Ridha Saniyyah Rindradi 220070200011079
PERIODE
25 September - 19 November 2023

Disetujui untuk dibacakan pada:


Hari:
Tanggal:

Menyetujui,
SPV Pembimbing

dr. Aries Budianto, Sp. B-KBD


DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN............................................................................... i

DAFTAR ISI…………........................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR.............................................................................. iii

I. Pendahuluan.................................................................................. 4

II. Fisiologi Elektrolit....................................................................... 4

III. Etiopatogenensis dan Patofisiologi.............................................. 4

IV. Gangguan Keseimbangan Cairan................................................ 4

a Definisi…......................................................................... 5

b Epidemiologi.................................................................... 5

c Etiologi.............................................................................. 5

d Klasifikasi......................................................................... 5

a) Overhidrasi........................................................................ 5
b) Dehidrasi........................................................................... 5

III. Gangguan Keseimbangan Elektrolit............................................ 6

a Hiponatremia..................................................................... 6

b Hipernatremia................................................................... 8

c Hipokalemia...................................................................... 9

d Hiperkalemia................................................................... 10

e Hipokalsemia.................................................................. 12

IV. Kesimpulan................................................................................. 6

V. Daftar Pustaka............................................................................ 6

VI. Gangguan Keseimbangan Elektrolit............................................ 6


VII. Gangguan Keseimbangan Air dan Natrium serta Pemeriksaan
Osmolalitas............................................ 6

Bab 2. Fisiologi 30

1. Fisiologi Keseimbangan Air dan Elektrolit 30

1.1. Karakteristik Air 30

1.2. Jumlah Air 30

1.3. Distribusi Air di dalam tubuh 34

1.4. Keseimbangan Gibbs-Donnan 37

1.5. Solut 39

1.6. Osmolalitas 40

1.7. Pergerakan air 42

1.8. Pengaturan keseimbangan (homeostasis air dan

elektrolit) 49

2. Fisiologi Keseimbangan Asam dan Basa 60

2.1. Definisi Asam Basa 60

2.2. Ion Hidrogen 63

2.3. Keasaman 67

. 2.3.1. Keseimbangan Asam Basa 68

2.3.2. pH 69

2.3.3. Keseimbangan Asam Basa 70

2.3.4. Pengaturan Keseimbangan Asam Basa 71

Bab 3. Patofosiologi 86

1. Gangguan Keseimbangan Air dan Elektrolit 86

1.1. Gangguan Keseimbangan Air dan Natrium 86


1.1.1. Gangguan Volume 87

1.1.2. Gangguan Keseimbangan Natrium 90

. 1.1.3. Gangguan Keseimbangan Kalium 94

2. Gangguan Keseimbangan Asam Basa 100

2.1. Aspek Klinik dan Klasifikasi 100

2.2. Gangguan Keseimbangan Asam Basa Respiratorik 100

2.2.1. Asidosis respiratorik 100

2.2.2. Alkalosis respiratorik 104

2.3. Gangguan Keseimbangan Asam Basa Metabolik 106

2.3.1. Asidosis metabolik 106

2.3.2. Alkalosis metabolik 110

Bab 4. Diagnosis dan Tatalaksana 115

1. Diagnosis 115

1.1. Diagnosis Gangguan Keseimbangan Air-Elektrolit

dan Asam-Basa 115

. 1.1.1. Gangguan status volume 115

1.1.2. Gangguan status keseimbangan natrium 116

1.1.3. Gangguan keseimbangan kalium 117

1.2. Diagnosis Gangguan Keseimbangan Asam Basa 118

1.2.1. Gangguan Keseimbangan Asam Basa

Respiratorik 118

1.2.2. Gangguan Keseimbangan Asam Basa Metabolik 119

1.3. Pemeriksaan Laboratorium pada Gangguan Keseimbangan Air-Elektrolit dan Asam


Basa 122

1.3.1. Persiapan Pra Analisis 122


1.3.2. Analisis elektrolit dan gas darah 127

2. Tatalaksana 131

2.1. Tatalaksana Gangguan Keseimbangan Air–Elektrolit

dan Asam Basa 131

2.1.1. Tatalaksana gangguan volume 131

2.1.2. Tatalaksana gangguan status natrium 134

2.1.3. Tatalaksana gangguan keseimbangan kalium 136

2.2. Tatalaksana Gangguan Keseimbangan Asam Basa . 137

2.2.1. Gangguan Keseimbangan Asam-Basa

Respiratorik 137

2.2.2. Tatalaksana Gangguan Keseimbangan Asam-

Basa Metabolik 139

2.2.3. Tatalaksana Nutrisi pada Gangguan

Keseimbangan Asam-Basa 143

Bab 5. Pendekatan Keseimbangan Asam-Basa Menurut

Metode Stewart 160

Bab 6. Aplikasi Klinik Pendekatan pada Gangguan Keseimbangan

Asam-Basa 170

Contoh Kasus 175


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1

Gambar 2.2

Gambar 2.3

Gambar 2.4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tubuh manusia merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai proses fisikokimia yang
menunjang kehidupan sehari – hari. Tubuh selalu berusaha agar segala sesuatu yang ada didalamnya
berada dalam rentang konstan agar tercapai keadaan homeostasis. Seluruh sistem metabolisme bekerja
sama dengan harmonis satu sama lain dalam menjalankan fungsinya masing – masing.
Elektrolit dan cairan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menjaga
keseimbangan ini. Secara kimiawi, elektrolit adalah unsur – unsur yang berperan sebagai ion dalam
larutan dan memiliki kapasitas untuk konduksi listrik. Dan keseimbangan elektrolit merupakan suatu
hal yang penting agar sel dan organ dapat berfungsi secara normal. Elektrolit terdiri atas kation dan
anion. Di dalam tubuh ada beberapa kation yang penting yaitu, natrium, kalium, kalsium dan
magnesium. Sedangkan anion yang penting adalah klorida, bikarbonat, dan fosfat.
Gangguan keseimbangan elektrolit diartikan sebagai suatu keadaan dimana kadar elektrolit di
dalam darah berada dalam rentang nilai yang tidak normal. Bisa melebihi nilai normal atau dibawah
nilai normal. Implikasi dari keadaan ini berpengaruh dalam hal keseimbangan cairan dan fungsi –
fungsi organ tubuh lainnya. Berbagai macam hal dapat menyebabkan ketidakseimbangan ini.
Ketidakseimbangan antara kebutuhan dengan asupan serta ekskresi adalah penyebab utamanya.
Adanya gangguan dari sistem regulasi yang berperan, juga memberikan dampak dalam keseimbangan
elektrolit.
Dalam praktek klinik sehari – hari gangguan elektrolit merupakan kelainan yang sangat sering
dijumpai. Keadaan ini biasanya merupakan bagian manifestasi klinis dari penyakit dasar yang diderita
pasien. Hampir 20 % pasien rawat inap mengalami gangguan elektrolit, yang disebabkan oleh
bermacam hal, sehingga dalam pembiayaanpun menjadi hal yang diperhitungkan.
Gangguan elektrolit seringkali terdiagnosis saat pasien dirawat di rumah sakit, terutama pada
pasien – pasien dengan penyakit kritis. Keadaan ini berhubungan dengan meningkatnya risiko
mortalitas di rumah sakit. Insidensi gangguan elektrolit terbanyak adalah gangguan kalium dan
natrium. Sebanyak lebih dari 21 % pasien di rumah sakit mengalami hipokalemia dan 15 – 20 %
mengalami hiponatremia. Pasien – pasien dengan hiperkalemia mencapai 1 – 10 %, sedangkan
hipernatremia 0,3 – 5,5 % dari seluruh pasien yang dirawat. Hiperkalsemia terjadi pada lebih dari 70
% kasus keganasan. Hipomagnesemia muncul pada lebih dari 12% pasien, yang terkadang sering
diabaikan oleh para klinisi.
Mengingat tingginya angka kejadian gangguan keseimbangan elektrolit dalam praktek klinik
sehari–hari, terutama gangguan keseimbangan natrium, kalium, kalsium dan magnesium, maka perlu
adanya suatu pemahaman yang lebih baik. Dengan pemahaman ini, akan memudahkan dalam hal
penentuan diagnosis yang cepat dan akurat, sehingga terapi dan penatalaksanaan dapat diberikan
dengan cepat dan akurat pula.
Gangguan cairan dan elektrolit sangat umum pada periode perioperatif. Cairan intravena
dengan jumlah yang besar sering diperlukan untuk memperbaiki defisit cairan dan mengkompensasi
kehilangan darah selama operasi. Cairan dan elektrolit di dalam tubuh merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat terpisahkan. Komposisi cairan dan elektrolit di dalam tubuh diatur sedemikan rupa agar
keseimbangan fungsi organ vital dapat dipertahankan. Gangguan besar dalam keseimbangan cairan
dan elektrolit dapat dengan cepat mengubah kardiovaskular, saraf, dan fungsi neuromuskular, dan
penyedia anestesi harus memiliki pemahaman yang jelas air normal dan elektrolit fisiologi.
Kebutuhan cairan dan elektrolit adalah suatu proses dinamik karena metabolisme tubuh
membutuhkan perubahan yang tetap dalam berespons terhadap stressor fisiologis dan lingkungan.
Keseimbangan cairan adalah esensial bagi kesehatan. Dengan kemampuannya yang sangat besar
untuk menyesuaikan diri, tubuh mempertahankan keseimbangan, biasanya dengan proses-proses faal
(fisiologis) yang terintegrasi yang mengakibatkan adanya lingkungan sel yang relatif konstan tapi
dinamis. Kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan cairan ini dinamakan
“homeostasis”
BAB II
FISIOLOGI ELEKTROLIT

2.1. Keseimbangan Natrium dan Cairan


Natrium adalah kation utama cairan ekstraseluler (CES). Dalam kondisi fisiologis, Natrium (Na)
serum memiliki rentang nilai antara 138 – 142 mmol/L. Untuk menilai jumlah total partikel dalam
darah, maka perlu diukur osmolalitas serum. Osmolalitas serum memiliki nilai berkisar antara 280 –
290 mOsm/kgH2O. Osmolalitas diukur dengan rumus :

P_osm=2(Na)+(Nitrogen urea darah (mg/dl))/2,8+(glukosa(mg/dl))/18

Peningkatan osmolalitas akibat absorpsi Na atau kehilangan cairan yang berlebihan, menyebabkan
cairan intraseluler keluar untuk menyeimbangkan tekanan osmotik. Untuk itu, perlu adanya suatu
osmoregulator. Dalam hal ini, ada suatu sensor atau osmoreseptor yang ada di hipotalamus, dan Anti
Diuretic Hormone (ADH), yang dikenal juga dengan antidiuretin atau vasopressin. Ginjal berperan
sebagai organ target ADH.
Naik turunnya ekskresi natrium dalam urin diatur oleh filtrasi glomerulus dan reabsorpsi oleh tubulus
ginjal. Kondisi hipervolemi dan peningkatan asupan Na akan meningkatkan Laju Filtrasi Glomerulus
(LFG), begitupula sebaliknya. Perubahan pada LFG akan mempengaruhi reabsorpsi natrium di
tubulus. Hampir 99 % Na yang sudah difiltrasi direabsorpsi kembali. Paling banyak direabsorpsi di
tubulus proksimal 65 %, ansa henle 25 – 30 %, dan 5 % saja di tubulus distal dan 4 % di duktus
koligentes.
Setiap hari, sekitar 8 – 15 mg Natrium diabsorpsi setiap harinya. Ginjal harus mengekskresikan dalam
jumlah yang sama setiap waktu, untuk mempertahankan homeostasis CES. Adapun faktor – faktor
yang mempengaruhi regulasi ini adalah:
Sistem Renin Angiotensin / Renin Angiotensin System ( RAS )
Aktivasi sistem ini meningkatkan retensi natrium melalui angiotensin II, aldosteron dan ADH
Atriopeptin / Atrial Natriuretic Peptide (ANP)
Adalah hormon peptida yang disekresikan oleh sel spesifik dari atrium jantung sebagai respon
terhadap peningkatan volume CES. Hormon ini meningkatkan ekskresi Na pada ginjal dengan
meningkatkan fraksi filtrasi dan menginhibisi reabsorpsi natrium dari duktus koligentes.
ADH
Sekresi hormon ini distimulasi oleh :
Peningkatan osmolalitas plasma dan cairan serebrospinal
Reflek Gauer-Henry, yang muncul ketika terjadi peregangan reseptor di atrium yang memberikan
sinyal ke hipotalamus bahwa telah terjadi penurunan jumlah CES > 10 %.
Angiotensin II
Aldosteron
Efek hormon ini adalah menstimulasi reabsorpsi natrium. Sekresi hormon ini distimulasi oleh
angiotensin II

2.2. Keseimbangan Kalium


Kalium (K) adalah kation utama kompartemen cairan intraseluler ( CIS ). Sekitar 90 %
asupan kalium diekskresikan di urin dan 10 % di feses. Konsentrasi normal kalium di plasma adalah
3,5 – 4,8 mmol/L, sedangkan konsentrasi intraseluler dapat 30 kali lebih tinggi, dan jumlahnya
mencapai 98 % dari jumlah K keseluruhan. Walaupun kadar kalium di dalam CES hanya berkisar 2 %
saja, akan tetapi memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga homeostasis. Perubahan
sedikit saja pada kalium intraseluler, akan berdampak besar pada konsentrasi kalium plasma.2,14
Keseimbangan Kalium diatur dengan menyeimbangkan antara pemasukan dan ekskresi, serta
distribusi antara intrasel dan ekstrasel. Regulasi akut kalium ekstraseluler dicapai dengan perpindahan
kalium internal antara CES dan CIS. Ketika kadar kalium ekstrasel meningkat akibat asupan yang
banyak, atau disebabkan oleh pembebasan kalium internal, maka regulasi akut ini akan terjadi.
Regulasi ini merupakan kontrol hormonal, yaitu1,2,14 :
Insulin disekresikan segera setelah makan, dan ini akan menstimulasi Na, K, ATPase dan
mendistribusikan Kalium yang didapat dari sel–sel makhluk hidup yang dimakan ke intrasel.
Epinefrin meningkatkan ambilan kalium sel, yang mana penting untuk kerja otot dan trauma.
Kedua kondisi ini memicu terjadinya peningkatan kalium plasma.
Aldosteron juga berperan dalam meningkatkan konsentrasi kalium intraseluler.
Perubahan pH mempengaruhi distribusi kalium ekstra dan intraseluler. Pada asidosis,
konsentrasi K ekstraseluler meningkat, sedangkan alkalosis cenderung membuat hipokalemia.
Regulasi kronik untuk homeostasis K adalah oleh ginjal. 65 % dari K yang difiltrasi,
direabsorpsi sebelum mencapai akhir dari tubulus proksimal ginjal, 20% di tubulus distal, dan 15 %
lainnya di ansa henle. Jumlah ekskersi kalium ditentukan pada tubulus penghubung dan duktus
koligentes Besarnya jumlah K yang direabsorpsi atau disekresi tergantung kepada kebutuhan. Pada
keadaan dimana pemasukan berlebihan, maka ekskresi akan meningkat, begitupula sebaliknya.13,14

2.3. Keseimbangan Kalsium


Ion kalsium (Ca) merupakan elektrolit yang banyak terdapat di ekstraseluler, dimana 99 %
disimpan di tulang. Kadar normal kalsium plasma adalah 8,1 – 10,5 mmol/L. Ca berfungsi pada
sistem neuromuskular, konduksi saraf, kontraksi otot, relaksasi otot, dan juga penting untuk
mineralisasi tulang dan merupakan kofaktor penting untuk sekresi hormon pada organ endokrin. Pada
tingkat sel, Ca merupakan regulator penting untuk transpor ion dan integritas membran. Tulang
berperan ganda, dimana berperan sebagai yang mengambil kalsium untuk stabilitas dan sebagai depot
untuk keadaan suplai kalsium yang rendah.2,9
Paratiroid Hormon (PTH), adalah suatu faktor yang penting dalam regulasi keseimbangan
kalsium dengan menurunkan ekskresi dan meningkatkan absorpsi kalsium di ginjal dengan bantuan
1,25 COH2 Vitamin D3 (calcitrol), dan merangsang osteoklas melepaskan kalsium dari tulang. Efek
PTH di tubulus adalah merangsang aktifitas 1 alfa hidroksilase yang akan memicu produksi calcitrol.
PTH meningkatkan reabsorpsi Ca di TAL, dan begitu juga pada tubulus distal. Selain itu, calcitrol
juga akan meningkatkan absorpsi kalsium di intestinal. PTH bergantung kepada Calsium Sensing
Reseptor (CSR) untuk mendeteksi adanya kelebihan kalium serum, dan menghambat sekresi PTH.
PTH disekresikan oleh chief cells pada kelenjar paratiroid yang akan meningkatkan kadar kalsium
darah.2,9
Reasorbsi kalsium terjadi pada semua tubulus ginjal. 60 – 70 % terjadi di tubulus proksimal,
30 % di Thick Ascending Limb (TAL) dari ansa henle. Karena reasorpsi Ca pada TAL bergantung
kepada reabsorpsi NaCl, maka pada loop diuretic, kalsium diinhibisi untuk direabsorpsi. Asidosis
menghambat reabsorpsi kalsium dengan mekanisme yang belum dapat dipahami.9,15,16

2.4. Keseimbangan Magnesium


Magnesium (Mg) adalah kation keempat terbanyak di dalam tubuh dan kation ektraseluler kedua
terbanyak. Konsentrasi magnesium plasma berkisar 0,7 – 1,2 mmol/L atau 1,5 – 1,9 mEq/L. Dan
hampir 50 % terikat dengan protein. Magnesium berperan penting dalam ratusan reaksi enzim yang
merupakan hal esensial bagi tubuh. Juga berperan dalam fungsi sel, termasuk transfer energi,
penyimpanan dan penggunaan protein dan karbohidrat dan metabolisme lemak. Berperan juga dalam
mempertahankan fungsi membran sel, dan regulasi sekresi hormon paratiroid. Sekitar 60 – 65 % dari
magnesium tubuh disimpan di tulang dan selebihnya di dalam sel. Hanya 1 % saja yang terdapat di
ekstraseluler. Tulang merupakan reservoir bagi Mg. Selebihnya dalam bentuk ion bebas di plasma.
Keseimbangan Mg melibatkan ginjal, usus halus, dan tulang. 2,8
Hampir 80 % magnesium difiltrasi diglomerulus, dan direasorpsi disepanjang nefron. Mg direabsorpsi
15 % pada tubulus proximal. Sekitar 70 % terjadi reabsorpsi paraseluler di Thick Ascending Limb
(TAL) dari ansa henle. Sebanyak 10 – 15 % lainnya dengan reabsorpsi transeluler di tubulus distal.
Regulasi ekskresi Mg2+ distimulasi oleh hipermagnesemia, hiperkalsemia, hipervolemia dan loop
diuretik. Dan mekanisme penghambat dipengaruhi oleh defisit magnesium, kalsium dan volume
cairan. Dan juga dipengaruhi hormon paratiroid yang bekerja pada TAL. Seperti pada kalsium, Mg
juga berperan dalam regulasi sekresi PTH. Keadaan dimana kadar Mg plasma meningkat, akan
menekan pelepasan PTH, begitu juga sebaliknya.2,8
BAB III
ETIOPATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

3.1. Gangguan Keseimbangan Natrium


3.1.1. Hiponatremia
Hiponatremia dapat terjadi pada keadaan tonisitas atau osmolalitas yang rendah, normal
ataupun tinggi. Sebagian besar kejadian hiponatremia berkaitan dengan hipotonisitas, yang berarti bila
jumlah asupan cairan melebihi kemampuan eskresi.
Etiologi dari hiponatremia dapat dibagi atas :
1. Hiponatremia dengan osmolalitas plasma normal
Pemberian cairan iso-osmotik yang tidak mengandung natrium ke cairan ekstra sel
dapat menimbulkan hiponatremia dengan osmolalitas plasma normal. Termasuk dalam hal
ini, keadaan hiperproteinemia dan hiperlipidemia
2. Hiponatremia dengan osmolalitas plasma tinggi
Pada keadaan osmolalitas plasma yang tinggi, seperti pada keadaan hiperglikemia
berat atau pemberian manitol intravena. Cairan intrasel akan keluar ke ekstrasel menyebabkan
dilusi cairan ekstrasel, dan menyebabkan hiponatremia.
3. Hiponatremia dengan osmolalitas plasma rendah
Terjadi pada keadaan seperti gagal jantung, sirosis, insufisiensi renal, sindroma
nefrotik. Keadaan-keadaan ini terjadi dengan volume CES yang meningkat. Pada SIADH,
volume CES normal dan pada keadaan muntah atau pada pemakaian diuretik, volume CES
menurun.
4. Hiponatremia akut diartikan sebagai kejadian hiponatremia dalam jangka waktu kurang dari
48 jam.
Pada keadaan ini terjadi perpindahan cairan dari ekstrasel ke intrasel, termasuk ke sel
otak. Hal ini akan menyebabkan terjadinya edema otak yang mana keadaan ini merupakan
keadaan berat yang dapat menyebabkan kejang dan penurunan kesadaran. Edema otak yang
terjadi, dibatasi oleh kranium disekitarnya, yang mengakibatkan terjadinya hipertensi
intrakranial dengan resiko brain injury.
5. Hiponatremia kronik diartikan sebagai keadaan hiponatremia dalam jangka waktu yang lebih
dari 48 jam.
Gejala yang timbul tidak berat karena ada proses adaptasi. Pada keadaan ini, cairan
akan keluar dari jaringan otak dalam beberapa jam. Gejala yang timbul hanya berupa lemas
dan mengantuk, bahkan dapat tanpa gejala. Keadaan ini dikenal juga dengan hiponatremia
asimtomatik. Namun perlu diperhatikan pada proses adaptasi ini dapat menjadi proses yang
berlebihan yang berisiko terjadinya demielinisasi osmotik
Hiponatremia selalu mencerminkan retensi air baik dari peningkatan mutlak dalam jumlah
berat badan (total body weight, TBW) atau hilangnya natrium dalam relatif lebih hilangnya air.
Kapasitas normal ginjal untuk menghasilkan urin encer dengan osmolalitas serendah 40 mOsm / kg
(berat jenis 1,001) memungkinkan mereka untuk mengeluarkan lebih dari 10 L air gratis per hari jika
diperlukan. Karena cadangan yang luar biasa ini, hiponatremia hampir selalu merupakan efeknya dari
akibat kapasitas pengenceran urin tersebut (osmolalitas urin> 100 mOsm / kg atau spesifik c
gravitasi> 1,003).
Kondisi hiponatremia apabila kadar natrium plasma di bawah 130mEq/L. Jika < 120 mg/L
maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan mental, letargi, iritabilitas, lemah dan henti
pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan timbul gejala kejang, koma. Antara
penyebab terjadinya Hiponatremia adalah euvolemia (SIADH, polidipsi psikogenik), hipovolemia
(disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah, third space losses, diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis).
Terapi untuk mengkoreksi hiponatremia yang sudah berlangsung lama dilakukan secara perlahan-
lahan, sedangkan untuk hiponatremia akut lebih agresif.

Dosis NaCl yang harus diberikan, dihitung melalui rumus berikut: NaCl = 0,6( N-n) x BB
N = Kadar Na yang diinginkan n = Kadar Na sekarang
BB = berat badan dalam kg

Pertimbangan Anestesi
Hiponatremia sering merupakan manifestasi dari gangguan yang mendasari sebuah penyakit,
justeru memerlukan evaluasi perioperatif yang amat teliti. Konsentrasi natrium plasma lebih besar dari
130 mEq / L biasanya dianggap aman untuk pasien yang menjalani anestesi umum. Dalam sebagian
besar keadaan, plasma [Na +] harus diperbaiki untuk lebih dari 130 mEq / L untuk prosedur elektif,
tanpa adanya gejala neurologis. Konsentrasi yang lebih rendah dapat menyebabkan edema serebral
signifikan yang dapat dimanifestasikan secara intra operatif sebagai penurunan konsentrasi alveolar
minimum atau pasca operasi sebagai agitasi, kebingungan, atau mengantuk. Pasien yang menjalani
reseksi transurethral dari prostat dapat menyerap jumlah air yang banyak dari cairan irigasi (sebanyak
20 mL / menit) dan berada pada risiko tinggi untuk pengembangan cepat yang mendalam keracunan
air akut.
Pasien hiponatremia amat sensitif terhadap vasodilatasi dan efek inotropik negatif dari
anestesi uap, propofol, dan agen terkait dengan pelepasan histamin (morfin, meperidine). Persyaratan
dosis untuk obat lain juga harus dikurangi untuk mengimbangi penurunan volume distribusi. Pasien
hiponatremia sangat sensitif terhadap blokade simpatik dari anestesi spinal atau epidural. Jika anestesi
harus diberikan sebelum koreksi yang memadai hipovolemia, etomidate atau ketamin mungkin agen
induksi pilihan untuk anestesi umum.1

3.1.2 Hipernatremia
Hipernatremia adalah suatu keadaan dengan defisit cairan relatif, dalam artian merupakan
keadaan hipertonisitas, atau hiperosmolalitas. Etiologi dari hipernatremia adalah:
1. Adanya defisit cairan tubuh akibat ekskresi air yang melebihi ekskresi natrium. Seperti pada
pengeluaran keringat, insensible water loss, diare osmotik akibat pemberian laktulosa atau
sorbitol
2. Asupan air yang kurang, pada pasien dengan gangguan pusat rasa haus di hipotalamus akibat
tumor dan gangguan vaskuler
3. Penambahan natrium yang berlebihan, seperti pada koreksi asidosis dengan bikarbonat, atau
pemberian natrium yang berlebihan
4. Masuknya air tanpa elektrolit ke dalam sel, misalnya setelah latihan fisik berat.
Keadaan hipernatremia akan membuat cairan intraseluler keluar ke ekstraseluler untuk
menyeimbangkan osmolaritas cairan ekstrasel. Hal ini akan membuat terjadinya pengerutan sel, dan
bila terjadi pada sel saraf sistem saraf pusat, maka akan menimbulkan disfungsi kognitif, seperti
lemah, bingung, sampai kejang.
Hiperosmolalitas terjadi setiap kali total kandungan tubuh terlarut meningkatkan relatif
terhadap TBW dan biasanya, tapi tidak selalu, berhubungan dengan hipernatremia ([Na +]> 145
mEq / L). Hiperosmolalitas tanpa hipernatremia dapat dilihat selama hiperglikemia ditandai atau
mengikuti akumulasi zat osmotik aktif normal dalam plasma. Konsentrasi natrium plasma dapat
benar-benar berkurang karena air diambil dari intraseluler ke kompartemen ekstraseluler. Untuk setiap
100 mg peningkatan / dL pada konsentrasi glukosa plasma, natrium plasma menurun sekitar 1,6 mEq /
L. Hipernatremia hampir selalu merupakan hasil dari baik kerugian relatif air lebih dari natrium
(hipotonik cairan rugi) atau retensi dalam jumlah besar natrium. Bahkan ketika kemampuan
berkonsentrasi ginjal terganggu, haus biasanya sangat efektif dalam mencegah hipernatremia.
Hipernatremia karena itu paling sering terlihat pada pasien lemah yang tidak dapat minum, sangat tua,
yang sangat muda, dan pasien dengan gangguan kesadaran. Pasien dengan hipernatremia mungkin
memiliki konten natrium tubuh total yang rendah, normal, atau tinggi.
Jika kadar natrium > 150 mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan mental, letargi,
kejang, koma, lemah.3 Manifestasi neurologis akan mendominasi dahulu pada pasien dengan
hipernatremia dan umumnya diduga hasil dari dehidrasi seluler. Gelisah, lesu, dan hyperreflexia dapat
berkembang menjadi kejang, koma, dan akhirnya kematian. Gejala berkorelasi lebih dekat dengan laju
pergerakan air keluar dari sel-sel otak daripada tingkat absolut hipernatremia. Cepat penurunan
volume otak akan menyebabkan pembuluh darah otak pecah dan mengakibatkan fokus perdarahan
intraserebral atau subarachnoid. Kejang dan kerusakan saraf serius yang umum, terutama pada anak-
anak dengan hipernatremia akut ketika plasma [Na +] melebihi 158 mEq / L. Hipernatremia kronis
biasanya ditoleransi lebih baik berbanding dengan bentuk akut.
Hipernatremia dapat disebabkan oleh kehilangan cairan (yang disebabkan oleh diare, muntah,
diuresis, diabetes insipidus, keringat berlebihan), asupan air kurang, asupan natrium berlebihan.
Pengobatan hipernatremia bertujuan untuk mengembalikan osmolalitas plasma normal serta
mengoreksi penyebab yang mendasari. Defisit air umumnya harus diperbaiki dalam 48 jam dengan
larutan hipotonik seperti 5% dextrose dalam air. Kelainan pada volume ekstraseluler juga harus
diperbaiki. Namun, koreksi yang cepat dari hipernatremia dapat mengakibatkan kejang, edema otak,
kerusakan saraf permanen, dan bahkan kematian. Justeru pemberian serial Na + osmolalitas harus
diperoleh selama pengobatan. Secara umum, penurunan konsentrasi natrium plasma tidak harus
melanjutkan pada tingkat yang lebih cepat dari 0,5 mEq / L / jam.1 Terapi keadaan ini adalah
penggantian cairan dengan 5% dekstrose dalam air sebanyak {(X-140) x BB x 0,6}: 140.

Pertimbangan anestesi
Hasil kajian mendapatkan hipernatremia akan meningkatkan konsentrasi alveolar minimum
pada anestesi inhalasi pada hewan percobaan, tetapi signifikansi klinisnya lebih mendekati dengan
defisit cairan yang terkait. Hipovolemia akan lebih terlihat pada setiap vasodilatasi atau depresi
jantung dari agen anestesi dan predisposisi hipotensi dan hipoperfusi jaringan. Penurunan volume
distribusi untuk obat memerlukan pengurangan dosis untuk sebagian besar agen intravena, sedangkan
penurunan cardiac output meningkatkan penyerapan anestesi inhalasi. Operasi elektif harus ditunda
pada pasien dengan hipernatremia yang signifikan (> 150 mEq / L) sampai penyebabnya didirikan dan
defisit cairan dikoreksi. Air dan defisit cairan isotonik harus diperbaiki sebelum operasi elektif.

3.2. Gangguan Keseimbangan Kalium


3.2.1. Hipokalemia
Penyebab hipokalemia antara lain:
1. Asupan kalium yang kurang. Secara fisiologis, ekskresi kalium di ginjal sebanding dengan
jumlah asupan. Hipokalemia jarang yang hanya disebabkan asupan kalium yang rendah saja.
2. Pengeluaran Kalium yang berlebihan. Ekskresi kalium dapat melalui sistem pencernaan,
keringat atau ginjal. Beberapa etiologi ekskresi kalium meningkat adalah muntah, pemakaian
NGT, diare, pemakaian diuretik loop dan tiazid serta hiperaldosteronisme.
3. Kalium berpindah dari ekstrasel ke intrasel (Redistribusi). Terjadi pada keadaan alkalosis,
pemberian insulin, pemakaian beta 2 agonis, paralysis periodic hypokalemic, dan hipotermia.
Konsentrasi ion kalium pada pada ekstrasel sangat keci dan keadaan ini tidak tercermin pada
jumlah kalium serum. Pada hipokalemia kronik, penurunan kalium serum 1 mmol/L
sebanding dengan defisit 200 mmol/L kalium total tubuh, maka perlu dipertahankan kalium
serum > 4 mEq/L.

Defisiensi kalium dapat mempengaruhi berbagai sistem organ, seperti sistem kardiovaskuler,
otot dan ginjal. Hipokalemia dapat menyebabkan hipertensi dan aritmia ventrikel. Mekanisme
terjadinya hipertensi masih belum dapat dijelaskan dengan baik. Akan tetapi, keadaan ini
dihubungkan dengan retensi garam di ginjal, selain akibat berbagai proses hormonal. Aritmia terjadi
akibat membran potensial otot jantung yang terdepolarisasi sebagian, sehingga terjadi automatisasi,
atau akan muncul gelombang ‘u’, dan pemanjangan QT. Gangguan jantung diperburuk oleh
pengobatan digoksin dan pasien dengan iskemia. Keadaan hipokalemia dapat memeperburuk
hiperglikemia pada pasien diabetes, akibat pengaruh terhadap pelepasan insulin dan sensitivitas organ
terhadap insulin. Rabdomiolisis dapat terjadi sebagai akibat dari hiperpolarisasi sel otot rangka, selain
adanya gejala kram, mialgia, dan mudah lelah. Hipokalemia dapat mempengaruhi keseimbangan asam
basa sistemik, melalui efek terhadap berbagai komponen dari regulasi asam basa di ginjal.
Nilai normal Kalium plasma adalah 3,5-4,5 mEq/L. Disebut hipokalemia apabila kadar
kalium <3,5mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut kalium dari cairan ekstraselular ke
intraselular atau dari pengurangan kronis kadar total kalium tubuh. Tanda dan gejala hipokalemia
dapat berupa disritmik jantung, perubahan EKG (QRS segmen melebar, ST segmen depresi, hipotensi
postural, kelemahan otot skeletal, poliuria, intoleransi glukosa. Terapi hipokalemia dapat berupa
koreksi faktor presipitasi (alkalosis, hipomagnesemia, obat- obatan), infuse potasium klorida sampai
10 mEq/jam (untuk mild hipokalemia >2 mEq/L) atau infus potasium klorida sampai 40 mEq/jam
dengan monitoring oleh EKG (untuk hipokalemia berat;<2mEq/L disertai perubahan EKG,
kelemahan otot yang hebat).
Rumus untuk menghitung defisit kalium: K = K1 - (K0 x 0,25 x BB)

K = kalium yang dibutuhkan

K1 = serum kalium yang diinginkan K0 = serum kalium yang terukur BB = berat badan (kg)
Pertimbangan anestesi
Hipokalemia merupakan temuan pra operasi umum. Keputusan untuk melanjutkan dengan
operasi elektif sering didasarkan pada plasma lebih rendah [K +] antara 3 dan 3,5 mEq / L.
Keputusan, bagaimanapun, juga harus didasarkan pada tingkat perkemkembangan hipokalemia serta
ada atau tidak adanya disfungsi organ sekunder. Secara umum, hipokalemia ringan kronis (3-3,5
mEq / L) tanpa perubahan EKG tidak meningkatkan risiko anestesi. Namun ini mungkin tidak berlaku
untuk pasien yang menerima digoksin, yang mungkin mempunyai peningkatan risiko
mengembangkan lagi toksisitas digoxin dari hipokalemia tersebut. Maka nilai plasma [K +] di atas 4
mEq / L yang diinginkan pada pasien tersebut. Manajemen intraoperatif hipokalemia membutuhkan
pemantauan EKG yang teliti dan berwaspada.
Kalium intravena harus diberikan jika atrium atau ventrikel aritmia terjadi. Solusi intravena
glukosa bebas harus digunakan dan hiperventilasi harus dihindari untuk mencegah penurunan lebih
lanjut dalam plasma [K +]. Peningkatan sensitivitas terhadap blocker neuromuskuler (NMBS) akan
dapat dilihat pada status hipokalemia, oleh karena itu dosis NMBS harus dikurangi 25-50%, dan
stimulator saraf harus digunakan untuk mengikuti tingkat kelumpuhan dan kecukupan reversinya.

3.2.2. Hiperkalemia
Hiperkalemia adalah jika kadar kalium > 5 mEq/L. Hiperkalemia sering terjadi karena
insufisiensi renal atau obat yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin,
diuretik). Tanda dan gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat (parestesia, kelemahan otot)
dan sistem kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG).3 Efek paling penting dari hiperkalemia berada
di otot rangka dan jantung. Kelemahan otot rangka pada umumnya tidak terlihat sampai plasma [K +]
lebih besar dari 8 mEq / L, dan karena depolarisasi berkelanjutan spontan dan inaktivasi kanal Na +
membran otot, akhirnya mengakibatkan kelumpuhan.3 Perubahan EKG berlaku secara berurutan dari
simetris memuncak gelombang T (sering dengan interval QT memendek) → pelebaran kompleks
QRS → perpanjangan interval P-R → hilangnya gelombang P → hilangnya amplitudo R-gelombang
→ depresi segmen ST (kadang-kadang elevasi) → EKG yang menyerupai gelombang sinus, sebelum
perkembangan fibrilasi ventrikel dan detak jantung. Kontraktilitas dapat relatif baik dipertahankan
sampai akhir dalam perjalanan hiperkalemia progresif. Hipokalsemia, hiponatremia, dan asidosis
menonjolkan efek jantung hiperkalemia.
Ada 2 mekanisme terjadinya hiperkalemia, yaitu:
1. Kelebihan asupan kalium melalui makanan. Buah–buahan dan sayur–sayuran banyak
mengandung kalium. Campuran garam dapat mengandung kalium, dan kelebihan asupan
dapat terjadi pada pemberian makanan enteral.
2. Keluarnya kalium dari intra sel ke ekstrasel. Keadaan asidosis metabolik, selain yang
disebabkan oleh KAD atau asidosis laktat, defisisensi insulin, pemakaian beta blocker, dan
pseudohiperkalemia akibat pengambilan sampel darah yang lisis. Kelainan klinik bergantung
kepada kadar kalsium, dan keseimbangan asam-basa.
Berkurangnya ekskresi melalui ginjal. Terjadi pada keadaan hiperaldosteronisme, gagal
ginjal, deplesi volume sirkulasi efektif pada CHF dan pemakaian siklosporin. Dewasa ini diketahui
pemakaian ACE inhibitor juga faktor resiko untuk hiperkalemia.
Pada hiperkalemia, terjadi peningkatan kepekaan membran sel, sehingga dengan sedikit
perubahan depolarisasi, potensial aksi dapat dengan mudah terjadi. Hal ini menimbulkan kelemahan
otot sampai paralisis dan gagal nafas. Gejala yang paling buruk adalah penurunan kecepatan sistem
konduksi miokard dan meningkatkan repolarisasi miokard. Gangguan konduksi akan menimbulkan
pemanjangan PR interval, gelombang P yang mendatar atau QRS kompleks melebar pada EKG.
Peningkatan repolarisasi akan menimbulkan gelombang T yang meninggi ( peaked T waves ), yang
merupakan keadaan yang berisiko terjadinya aritmia.
Kalium (K+) memainkan peran utama dalam elektrofisiologi dari membran sel serta
karbohidrat dan protein sintesis. Potensial membran sel istirahat biasanya tergantung pada rasio
intraseluler dan ekstraseluler konsentrasi kalium. Konsentrasi kalium intraseluler diperkirakan 140
mEq / L, sedangkan konsentrasi kalium ekstraseluler biasanya sekitar 4 mEq / L. Dalam beberapa
kondisi, redistribusi K+ antara cairan ekstraselular dan kompartemen cairan intraselular dapat
mengakibatkan perubahan yang nyata dalam ekstraseluler K+ tanpa perubahan total konten kalium
tubuh.

Bila kadar K plasma <6,5mEq/L diberikan: Diuretik, Natrium bikarbonat, Ca glukonas,


glukonas-insulin, Kayekselate. Bila dalam 6 jam belum tampak perbaikan, dilakukan hemodialisis.
Bila fungsi ginjal jelek, pertimbangkan hemodialisis lebih dini. Pada kadar K plasma >6,5 mEq/L,
segera lakukan dialisis.
Pertimbangan Anestesi
Operasi elektif sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan hiperkalemia signifikan.
Manajemen anestesi pasien bedah hiperkalemia diarahkan pada menurunkan konsentrasi kalium
plasma dan mencegah kenaikan lebih lanjut. EKG harus hati-hati dipantau. Suksinilkolin merupakan
kontraindikasi, seperti penggunaan setiap solusi intravena yang menagndungi kalium seperti injeksi
Ringer laktat. Menghindari asidosis metabolik atau respiratorik sangat penting untuk mencegah
kenaikan lebih lanjut dalam plasma [K +]. Ventilasi harus dikontrol dengan anestesi umum, dan
hiperventilasi ringan mungkin diinginkan. Terakhir, fungsi neuromuskular harus dipantau secara
ketat, karena hiperkalemia dapat menonjolkan efek NMBS.

3.3. Gangguan Keseimbangan Kalsium


3.3.1 Hipokalsemia
Keseimbangan kalsium diatur oleh hormon paratiroid (PTH) dan Vitamin D. Hormon
paratiroid bergantung kepada Calsium-sensing reseptor (CSR), untuk mendeteksi adanya kelebihan
kalium serum, dan merangsang PTH yang akan meningkatkan kadar kalsium darah. Apabila CSR ini
tidak ada maka akan terjadi hipokalsemia. Pada gagal ginjal, PTH menstimulasi reabsorpsi osteoklas
tulang. Pada hipokalsemia serum, belum tentu terjadi hipokalsemia total. Total serum dapat tergambar
dari penurunan albumin pada penyakit sirosis, sindroma nefrotik dan malnutrisi. Hipokalsemi dapat
menyebabkan iritabilitas dan tetani. Pada keadaan alkalosis, dapat menimbulkan tetani akibat
penurunan kadar kalsium.
Penyebab hipokalsemia antara lain:
1. Hipoparatiroidisme. Keadaan ini dapat herediter maupun didapat. Untuk yang didapat, bisa
terjadi karena iradiasi leher atau pasca paratiroidektomi, yang dikenal dengan Hungry Bone
Syndrome. Keadaan ini memberikan efek tulang yang akan diabsorpsi Ca dalam jumlah besar
2. Penyebab yang berhubungan dengan Vitamin D yaitu, asupan yang kurang, dan gangguan
absorpsi. Pada keadaan penyakit kritis dan sepsis berat dapat menjadi penyebab.

Pada keadaan hipokalsemia, terjadi peningkatan eksitabilitas saraf di tangan dan lengan, yang
disebabkan oleh hipokalsemia, dan bila iskemia dibuat, yaitu dengan menggunakan
sfigmomanometer, akan muncul twitching. Keadaan ini dikenal dengan Trousseau’s Sign. Chvostek's
Sign dapat muncul dengan cara mengetok pada titik tertentu pada wajah, yang ditandai dengan adanya
respon berupa twitching. Mekanisme terjadinya adalah adanya stimulasi mekanik langsung serabut
motorik wajah. Pada sistem kardiovaskuler, efek berat hipokalsemia adalah ‘QT’ memanjang pada
dan ST interval yang memanjang pada EKG.
Meskipun 98% dari total kalsium tubuh dalam tulang, pemeliharaan konsentrasi kalsium
ekstraseluler normal adalah penting untuk homeostasis. Ion kalsium terlibat dalam fungsi biologis
hampir semua penting, termasuk kontraksi otot, pelepasan neurotransmitter dan hormon, pembekuan
darah, dan metabolisme tulang, dan kelainan pada keseimbangan kalsium dapat mengakibatkan
derangements fisiologis yang mendalam.
Asupan kalsium pada orang dewasa rata-rata 600-800 mg / d. Penyerapan kalsium terjadi di
usus terutama di usus kecil proksimal tetapi adalah variabel. Kalsium juga disekresi ke dalam saluran
usus, dimana sekresi ini tampaknya konstan dan independen dari penyerapan. Hingga 80% dari
asupan kalsium harian biasanya hilang dalam feses. Ginjal bertanggung jawab untuk sebagian besar
ekskresi kalsium. Rata-rata ekskresi kalsium ginjal 100 mg / d namun dapat bervariasi dari serendah
50 mg / d ke lebih dari 300 mg / d. Biasanya, 98% dari kalsium disaring dan diserap kembali.
Reabsorpsi kalsium paralel dengan natrium dalam tubulus ginjal proksimal dan loop menaik Henle.
Di tubulus distal, bagaimanapun, reabsorpsi kalsium tergantung pada hormon paratiroid
(PTH) sekresi, sedangkan reabsorpsi natrium tergantung pada sekresi aldosteron. tingkat PTH
meningkat meningkatkan reabsorpsi kalsium distal dan dengan demikian menurunkan ekskresi
kalsium urin. 90% kalsium terikat dalam albumin, sehingga kondisi hipokalsemia biasanya terjadi
pada pasien dengan hipoalbuminemia. Hipokalsemia disebabkan karena hipoparatiroidism,
kongenital, idiopatik, defisiensi vit D, defisiensi 125(OH)2D3 pada gagal ginjal kronik, dan
hiperfosfatemia.3 Manifestasi dari hipokalsemia termasuk kulit kering, parestesia, gelisah dan
kebingungan, gangguan irama jantung, laring stridor (spasme laring), tetani dengan spasme
karpopedal (tanda Trousseau), masseter spasm (Tanda Chvostek), dan kejang. kolik bilier dan
bronkospasme.
EKG dapat mengungkapkan iritasi jantung atau interval QT perpanjangan yang mungkin
tidak berkorelasi antara tingkat keparahan dengan tingkat hipokalsemia. Penurunan kontraktilitas
jantung dapat mengakibatkan gagal jantung, hipotensi, atau keduanya. Penurunan respon terhadap
digoxin dan β-adrenergik agonis juga dapat terjadi. Seperti yang diketahui, hipokalsemia adalah suatu
kondisi yang gawat darurat karena menyebabkan kejang umum dan henti jantung. Dapat diberikan 20-
30 ml preparat kalsium glukonas 10% atau CaCl 10% dapat diulang 30-60 menit kemudian sampai
tercapai kadar kalsium plasma yang optimal. Pada kasus kronik, dapat dilanjutkan dengan terapi per
oral.

Pertimbangan anestesi

Hipokalsemia yang signifikan harus diperbaiki sebelum operasi. Kadar kalsium terionisasi
harus dipantau intraoperatif pada pasien dengan riwayat hipokalsemia. Alkalosis harus dihindari
untuk mencegah penurunan lebih lanjut dalam Ca 2+. Kalsium intravena mungkin diperlukan seiring
transfusi darah sitrat atau pada solusi albumin dengan jumlah besar. Potensiasi efek inotropik negatif
dari barbiturat dan anestesi volatile harus diantisipasi. Respon untuk NMBS adalah tidak konsisten
dan memerlukan pemantauan ketat dengan stimulator saraf.
3.3.2. Hiperkalsemia
Pada 90% kasus hiperkalsemia disebabkan oleh keganasan dan hiperparatiroidisme. Pada
keganasan, disekresikan suatu PTH-related peptide yang akan meningkatkan kadar Ca plasma.
Keadaan ini muncul pada 80% kasus hiperkalsemia pada keganasan. Pada 20 % kasus lainnya, terjadi
akibat hiperkalsemia osteolitik, dimana terjadi aktifitas osteoklastik yang mana terjadi resorpsi tulang
di sekitar jaringan tumor. Hal ini terjadi pada tumor dengan metastase ke tulang.
Hiperkalsemia mempengaruhi hampir semua organ tubuh. Akan tetapi yang paling utama
adalah sistem saraf pusat dan ginjal. Pada sistem saraf pusat, kalsium memberikan efek sebagai
depresan langsung. Sehingga pada keadaan kalsium yang tinggi, akan terjadi gangguan psikis berupa
ansietas, depresi dan perubahan kepribadian, Pada keadaan lanjut, dapat menyebabkan penurunan
kesadaran, bahkan kematian. Efek pada ginjal adalah nefrolitiasis akibat dari hiperkalsiuria. Selain itu
dapat terjadi poliuria dan polidipsia. Fungsi ginjal menurun akibat vasokonstriksi renal akibat
hiperkalsemia. Efek pada saluran pencernaan adalah berupa mual, muntah, konstipasi atau diare. Pada
kardiovaskler, efek hiperkalsemia adalah berupa pemendekan QT, pelebaran gelombang t, dan
pelebaran QRS kompleks.

3.4. Gangguan Keseimbangan Magnesium


3.4.1. Hipomagnesemia
Secara umum, hipomagnesemia terjadi akibat kehilangan pada sistem pencernaan atau pada
ginjal. Asupan yang kurang dapat pula menjadi penyebab. Hal ini biasa terjadi pada alkoholik,
pemberian nutrisi enteral dalam jangka waktu yang lama atau kelainan hipomagnesemia genetik.
Redistribusi dari intrasel ke ekstrasel terjadi pada keadaan hungry bone syndrome, hiperadrenergik,
pankreatitis akut dan Refeeding syndrome. Gangguan Sistem Pencernaan seperti pada semua penyakit
diare dapat menyebabkan hipomagnesemia. Gangguan malabsorbsi juga merupakan penyebab,
dimana sering merupakan kelainan genetik.
Ekskresi pada ginjal yang banyak terjadi pada penggunaan diuretik, alkoholik akibat gangguan
reabsorbsi, hiperkalsemia, ekspansi volume cairan ekstrasel, dan obat – obatan nefrotoksik seperti
aminoglikosida, cisplatin, siklosporin A, dan amfoterisin dan pentamidin. Bartter Syndrome dan
Gitelman Syndrome juga merupakan bagian dari kelompok penyebab ini, dimana Bartter Syndrome
merupakan kelainan pada transporter NaCl pada ansa henle ginjal, sedangkan Gitelman Syndrome
merupakan defek genetik yang berhubungan dengan transporter NaCl pada tubulus distal ginjal.8,15

3.4.2. Hipermagnesemia
Hipermagnesemia dapat terjadi pada keadaan gangguan ginjal terminal, dimana ginjal tidak dapat lagi
mengekskresikan Mg sebagaimana mestinya. Selain itu, dapat juga disebabkan oleh asupan yang
berlebihan, walaupun sangat jarang terjadi. Penyebab paling banyak adalah akibat penggunaan obat–
obatan yang mengandung magnesium seperti pada antasida dan beberapa laksansia. Penyebab lainnya
adalah penggunaan litium untuk terapi maupun diagnostik, hipotiroidisme, penyakit adison, penyakit
hipokalsiurik hiperkalsemia, milk alkali syndrome dan ketoasidosis diabetik. Selain itu, pada keadaan
kerusakan jaringan eksesif, seperti syok, sepsis atau luka bakar, juga dapat menjadi penyebab.
Hemolisis juga dapat menjadi faktor pencetus hipermagnesemia, mengingat kadar Mg eritrosit tiga
kali lebih banyak dari Mg serum.2,21
BAB IV

DIAGNOSIS

4.1. Diagnosis Gangguan Keseimbangan Natrium


4.1.1 Diagnosis Hiponatremia
Diagnosis ditegakkan bila natrium dibawah 135 mmol/L. Berdasarkan klinis, hal yang penting
kita tentukan adalah hiponatremia akut yang ditandai dengan gejala kesadaran yang menurun dan
kejang. Sedangkan hiponateremia kronik ditandai dengan mengantuk dan lemas saja, bahkan tanpa
gejala. Dan untuk menentukan penyebab hiponatremia, perlu dilakukan pemeriksaan osmolalitas
serum, penilaian status Extracellular Volume (ECV) dan natrium urin. ECV diukur menggunakan
perangkat laboratorium. Secara langsung, ECV diukur dengan menggunakan zat kontras, dan diberi
label dengan inulin, manitol dan sorbitol.

4.1.2 Diagnosis Hipernatremia


Diagnosis ditegakkan bila natrium plasma meningkat secara akut dengan nilai diatas 155
mEq/L. Dan berakibat fatal bila diatas 185 mEq/L Berdasarkan klinis dapat kita temui letargi, lemas,
twitching, kejang dan akhirnya koma. Untuk menentukan etiologi, selain pengukuran natrium serum,
perlu dilakukan pengukuran natrium urin dan dilakukan penilaian untuk osmolalitas urin.2,17,19

4.2. Diagnosis Gangguan Keseimbangan Kalium


4.2.1. Diagnosis Hipokalemia
Diagnosis hipokalemia didasarkan pada hasil pengukuran kalium serum kecil dari 3,5
mmol/L. Untuk mengetahui penyebab, dilanjutkan dengan pengukuran kalium urin, status asam basa
dan Transtubular Kalium Concentration Gradient (TTKG). Indeks ini menggambarkan konservasi
kalium pada duktus koligentes di korteks ginjal. Diukur dengan perhitungan :

TTKG=(K urin)/(K plasma) ∶ (Osmolalitas Urin)/(Osmolalitas Plasma)

Etiologi hipokalemia dapat berupa :


1. Hipokalemia dengan ekskresi kalium pada urin meningkat menunjukkan adanya pembuangan
yang berlebihan
2. Hipokalemia dengan ekskresi kalium rendah dengan asidosis metabolik menunjukkan adanya
pembuangan kalium yang berlebihan pada saluran cerna seperti pada diare.
3. Hipokalemia dengan ekskresi kalium rendah dengan alkalosis metabolik menunjukkan adanya
muntah kronik atau pemberian diuretik jangka lama.
4. Hipokalemia dengan ekskresi kalium rendah dengan alkalosis metabolik dan disertai
hipotensi, merupakan pertanda Sindroma Bartter
5. Hipokalemia dengan ekskresi kalium tinggi dengan alkalosis metabolik dan disertai tekanan
darah tinggi merupakan pertanda hiperaldosteronisme primer

Gejala hipokalemia dapat berupa kembung, otot kram, mialgia dan mudah lelah. Bisa
didapatkan hipertensi, dan perubahan pada EKG, yaitu gelombang ‘u’, QT memanjang, bahkan
aritmia.

4.2.2. Diagnosis Hiperkalemia


Diagnosis ditegakkan berdasarkan nilai kalium serum diatas 5,1 mmol/L dengan manifestasi
klinis kelemahan otot sampai paralisis, sehingga pasien merasa sesak nafas. Pemeriksaan EKG mutlak
dilakukan untuk melihat adanya gelombang T yang tinggi dan runcing (T tall), AV Blok, QRS
melebar atau aritmia ventrikel. Untuk mencari penyebab hiperkalemia, perlu diukur TTKG.

4.3. Diagnosis Gangguan Keseimbangan Kalsium


4.3.1. Diagnosis Hipokalsemia
Diagnosis dibuat berdasarkan kepada hasil pemeriksaan laboratorium, dimana kalsium serum
< 8,8 mmol/L, setelah nilai dikoreksi sesuai albumin serum. Nilai koreksi :

Ca serum+ (0,8 × [albumin serum normal-albumin aktual] )

Gejala klinis dapat berupa:


1. Terutama gejala neurologik, yaitu bingung, ensefalopati, depresi, psikosis
2. Tanda Chovstek, yaitu Kontraksi otot wajah yang dirangsang dengan mengetuk ringan nervus
fasialis pada lokasi – lokasi tertentu
3. Tanda Trousseau, yaitu spasme karpopedal. Dapat dicetuskan dengan pemasangan torniket
selama 3 menit.

4.3.2. Diagnosis Hiperkalsemia


Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kalsium serum diatas 10,5 mmol/L setelah
nilai dikoreksi sesuai albumin serum. Nilai koreksi :
Ca serum+ (0,8 × [albumin serum normal-albumin aktual] )^

Gejala klinis dapat asimtomatik dan dapat berupa :


1. Konstipasi, anoreksia, nausea, muntah, nyeri abdomen dan ileus
2. Pada peninggian yang lebih hebat, dapat muncul gejala emosi labil, delirium, psikosis, lemas,
dan kejang. Dapat terjadi nefrolotiasis atau uretrolitiasis

4.4. Diagnosis Gangguan Keseimbangan Magnesium


4.4.1. Diagnosis Hipomagnesemia
Diagnosis hipomagnesemia ditegakkan berdasarkan nilai Mg serum dibawah 1,7 mmol/L.
Pemeriksaan magnesium bukan merupakan bagian dari pemeriksaan darah rutin untuk elektrolit.
Kemungkinan adanya hipomagnesemia harus dicurigai pada keadaan diare kronik, hipokalemia
berulang, hipokalsemia dan aritmia ventrikuler, khususnya pada keadaan iskemik.
Dalam menegakkan diagnosis, perlu dibedakan apakah kelainan disebabkan oleh gangguan
ginjal atau kehilangan dari gastrointestinal dan hal ini penting untuk terapi. Dapat dibedakan dengan
memeriksa Mg urin 24 jam atau ekskresi fraksional. Excretion Fraction (EF) dihitung dengan rumus:
〖EF〗_mg=(U_mg×P_Cr)/((0,7×P_mg ) )×U_Cr
PCr = Cr plasma, PMg = Mg plasma, UMg = Mg urin, UCr = Cr urin
Bila hasil EF24 :
1. Mg urin 24 jam 10 – 30 mg atau EF urin > 2 % pada pasien dengan fungsi ginjal normal,
maka maka penyebanya adalah renal wasting ini disebabkan pemakaian diuretik,
aminoglikosida atau cisplatin
2. Bila EF bernilai antara 0,5 % – 2,7 %, maka disebabkan oleh non-renal (gastrointestinal).
3. Bila EF bernilai antara 4 – 48 %, disebabkan oleh kehilangan Mg di ginjal.

Klinis dapat berupa gangguan neuromuskuler, seperti kram sampai kejang. Gangguan
elektrolit lain, seperti hipokalemia, hipokalsemia. Gangguan neurologi, seperti depresi, vertigo,
delirium sampai koreoatetosis.

4.4.2. Diagnosis Hipermagnesemia


Hipermagnesemia diartikan sebagai kadar Mg serum diatas 2,3 mmol/L. Berdasarkan klinis,
dapat ditegakkan diagnosis. Adapun klinis hipermagnesemia berupa : Nausea, flushing, sakit kepala,
letargi, penurunan refleks tendon. Dapat menjadi kelumpuhan otot, blok jantung dan kematian.
hipermagnesemia merupakan kasus yang jarang terjadi.2
BAB V
PENATALAKSANAAN

5.1. Penatalaksanaan Gangguan Keseimbangan Natrium


5.1.1. Penatalaksanaan Hiponatremia
Prinsip penatalaksanaan hiponatremia adalah dengan mengatasi penyakit dasar dan
menghentikan setiap obat yang ikut menyebabkan hiponatremia. Sebelum memberikan terapi
sebaiknya ditentukan apakah hiponatremia merupakan hiponatremia hipoosmolalitas. Untuk
hiponatremia hiperosmolalitas, koreksi yang diberikan hanya berupa air saja.
Larutan pengganti yang diberikan adalah natrium hipertonik, bisa berupa NaCl 3% atau 5%
NaCl. Pada sediaan NaCl 3% yang biasa dipakai, terdapat 513 mmol dalam 1 liter larutan. Koreksi
pada hiponatremia kronik yang tanpa gejala, dapat diberikan sediaan oral, yaitu berupa tablet garam.
Koreksi natrium secara intravena harus diberikan secara lambat, untuk mencegah central
pontin myelinolysis (CPM). Kadar Na plasma tidak boleh dinaikkan lebih dari 10-12 mmol/L dalam
24 jam pertama. Terapi inisial diberikan untuk mencegah udem serebri. Untuk hiponatremia akut
dengan gejala serius, koreksi dilakukan agak cepat. Kadar natrium plasma harus dinaikkan sebanyak
1,5-2 mmol/L dalam waktu 3-4 jam pertama, sampai gejala menghilang. Kecepatan cairan infus
diberikan 2-3 ml/kg/jam, setelah itu dilanjutkan dengan 1 ml/kg/jam, sampai kadar Na 130 mmol/L.
Untuk koreksi hiponatremia kronik, diberikan dengan target kenaikan sebesar 0,5 mmol/L setiap 1
jam, maksimal 10 mmol/L dalam 24 jam. Kecepatan infus dapat diberikan 0,5 – 1 ml/kg/jam.
Pemantauan kadar Na serum harus dilakukan setiap 2-4 jam. Untuk menetukan estimasi efek
pemberian cairan infus dalam menaikkan kadar natrium plasma, digunakan rumus:

Perubahan Na serum= (Na dalam cairan infus-Na serum)/(TBW+1)

Saat ini sedang mulai dipakai sediaan vasopressin receptor antagonis untuk meningkatkan
kadar natrium. Sediaan ini akan menghambat reseptor V2 di tubulus yang akan meningkatkan
ekskresi air, kemudian akan memperbaiki keadaan hiponatremia. Demeclocycline dan litium juga
dapat dipakai dimana sedian ini akan mengahambat respon ginjal terhadap vasopressin. Selain itu,
sediaan ini dapat juga diberikan sebagai pencegahan overkoreksi. Dosis demeclocycline dapat
diberikan 300-600 mg perhari.

5.1.2 Penatalaksanaan Hipernatremia


Langkah pertama yang dilakukan adalah menetapkan etiologi hipernatremia. Sebagian besar
penyebab hipernatremia adalah defisit cairan tanpa elektrolit. Penatalaksanaan hipernatremia dengan
deplesi volume harus diatasi dengan pemberian cairan isotonik sampai hemodinamik stabil.
Selanjutnya defisit air bisa dikoreksi dengan Dekstrosa 5% atau NaCl hipotonik. Hipernatremi dengan
kelebihan volume diatasi dengan diuresis. Kemudian diberikan Dekstrosa 5% untuk mengganti defisit
air.
Untuk menghitung perubahan kadar Na serum, dapat ditentukan dengan mengetahui kadar Na
infus yang digunakan, dengan menggunakan rumus yang sama pada koreksi hiponatremia.
Perbedaannya hanya terletak pada cairan infus yang digunakan. Dengan begitu, kita dapat melakukan
estimasi jumlah cairan yang akan digunakan dalam menurunkan kadar Na plasma.19

5.2 Penatalaksanaan Gangguan Keseimbangan Kalium


5.2.1. Penatalaksanaan Hipokalemi
Dalam melakukan koreksi kalium, perlu diperhatikan indikasinya, yaitu:
1. Indikasi mutlak, yaitu pada pasien dalam keadaan pengobatan digitalis, KAD, pasien dengan
kelemahan otot nafas dan hipokalemia berat.
2. Indikasi kuat, yaitu diberikan dalam waktu yang tidak terlalu lama yaitu pada keadaan
insufisiensi koroner, ensefalopati hepatik dan penggunaan obat-obat tertentu.
3. Indikasi sedang, dimana pemberian Kalium tidak perlu segera seperti pada hipokalemia
ringan dengan nilai K antara 3-3,5 mmol/L.

Pemberian Kalium dapat melalui oral. Pemberian 40-60 mmol/L dapat meningkatkan kadar
Kalium sebesar 1-1,5 mmol/L. Pemberian Kalium intravena diberikan dalam larutan KCl dengan
kecepatan 10-20 mmol/jam. Pada keadaan dengan EKG yang abnormal, KCl diberikan dengan
kecepatan 40-100 mmol/jam. KCl dilarutkan dalam NaCl isotonik dengan perbandingan 20 mmol KCl
dalam 100 ml NaCl isotonik melalui vena besar. Jika melalui vena perifer, KCl maksimal 60 mmol
dilarutkan dalam NaCl isotonik 1000 ml. Bila melebihi kadar ini, dapat menimbulkan rasa nyeri dan
sklerosis vena. Kebutuhan Kalium dapat dihitung dengan rumus :
(K yang diinginkan-K serum )/3 x BB

5.2.2. Penatalaksanaan Hiperkalemia


Penatalaksanaan meliputi pemantauan EKG yang kontinu jika ada kelainan EKG atau jika
kalium serum lebih dari 7 mEq/L. Untuk mengatasi hiperkalemia dalam membran sel, diberikan
kalsium intravena, yang diberikan dalam bentuk kalsium glukonat melalui intravena dengan sediaan
10 ml larutan 10% selama 10 menit. Hal ini berguna untuk menstabilkan miokard dan sistem
konduksi jantung. Ini bisa diulang dengan interval 5 menit jika tidak ada respon.
Memacu kalium kembali dari ekstrasel ke intrasel dengan cara pemberian 10 unit insulin
dalam 50 ml glukosa 40% secara bolus intravena. Pemberian natrium bikarbonat yang dapat
meningkatkan pH sistemik yang akan merangsang ion H keluar dari dalam sel dan menyebabkan ion
K masuk ke dalam sel. Bikarbonat diberikan sebanyak 50 mEq intravena selama 10 menit. Hal ini
dalam keadaan tanpa asidosis. Kemudian pemberian Beta 2 agonis baik secara inhalasi maupun drip
intravena. Obat ini akan merangsang pompa NaK-ATPas dan Kalium masuk ke dalam sel.
Mengeluarkan kelebihan Kalium dari dalam tubuh dengan cara pemberian diuretik, resin penukar,
atau dialisis.

5.3 Penatalaksanaan Gangguan Keseimbangan Kalsium


5.3.1. Penatalaksanaan Hipokalsemia
Untuk menatalaksana hipokalsemia, sangat penting diperhatikan gejala klinis yang muncul.
Jika muncul tetani, berikan 10 ml Ca glukonat 10% selama 15-30 menit. Kemudian dapat dilanjutkan
dengan infus 60 ml Ca Glukonat dalam 500 ml Dekstrosa 5% dengan kecepatan 0,5-2 mg/Kg/jam
dengan pemantauan Kalsium setiap beberapa jam. Perlu diperiksa kadar Magnesium serum dan
koreksi jika ada kelainan. Pemantauan aritmia dengan EKG harus dilakukan pada pasien yang
mendapat digitalis. Koreksi dapat dilanjutkan dengan pemberian Kalsium oral 1-7 gram/hari. Jika
penyebabnya adalah sekunder terhadap defisiensi vitamin D, maka perlu diberikan terapi pengganti
vitamin D.

5.3.2. Penatalaksanaan Hiperkalsemia


Jika gejala berat atau Ca lebih dari 15 mg/dl, maka Ca serum harus diturunkan secepat
mungkin dengan cara diuresis paksa dan penggantian volume intravaskular dengan normal saline.
Dengan dosis 80-100 mg intravena per 12 jam dan normal saline diberikan 1-2 liter selama 24 jam
pertama. Kemudian awasi adanya hipokalemia, atau dengan memperbanyak minum air sampai 3 liter
perhari.
Pemberian Kalsitonin 4-8 unit SC setiap 6-12 jam akan dapat menurunkan Kalsium serum 1-3
mg/dl. Bifosfonat membantu untuk menghambat aktifitas osteoklast, membantu pada hiperparatiroid
dan keganasan. Penatalaksanaan kronik diberikan dengan pengikat Kalsium oral, yaitu Etidronat oral
1200-1600 mg/hari.

5.4 Penatalaksanaan Gangguan Keseimbangan Magnesium


5.4.1 Penatalaksanaan Hipomagnesemia
Dalam mengatasi hipomagnesemia, penyakit dasar harus segera diatasi. Pada keadaan
hipomagnesemia berat ( < 1 mmol/L dalam serum ), atau hipomagnesemia simtomatik dengan
kelainan neuromuskular, atau manifestasi neurologis, atau aritmia jantung, maka penatalaksanaan
diberikan dengan pemberian 2 gram Magnesium sulfat (MgSO4) dalam 100 ml Dekstrosa 5% dalam
waktu 5-10 menit. Bisa diulangi sampai total 10 gram dalam 6 jam berikutnya. Teruskan penggantian
dengan infus lanjutan sebanyak 4 g/hari selama 3 sampai 5 hari. Untuk mencegah rekurensi, maka
dapat diberikan pemberian Mg oksida secara oral dengan dosis 2 x 400 mg perhari, atau dengan Mg
glukonat 2 – 3 x 500 mg perhari. Jika tidak terlalu berat, dosis Magnesium sulfat diberikan 0,03-0,06
gram/Kg/hari dalam 4-6 dosis hingga Magnesium serum normal. Teruskan terapi dengan sediaan oral
selama ada faktor pencetus.

5.4.2 Penatalaksanaan Hipermagnesemia


Penatalaksanaan dilakukan dengan cara pemberian Kalsium glukonat 10% sebanyak 10-20 ml
selama 10 menit atau CaCl2 10%s ebanyak 5-10 mg/Kg secara IV. Kemudian pemberian diuretik
diberikan untuk memacu ekskresi. Pada pasien tanpa gangguan ginjal berat, dapat diberikan Ca
glukonas 10 % sebanyak 20 ml dalam 1 liter NaCl 0,9 %, dengan kecepatan 100 – 200 ml perjam.
BAB VI
GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADA PENYAKIT
SALURAN CERNA

Perubahan komposisi dan volume cairan tubuh yang disebabkan oleh gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit disebabkan oleh berbagai macam keadaan atau penyakit. Sebagian
besar gangguan ini disebabkan oleh penyakit saluran cerna.
Di dalam tubuh homeostasis dijaga oleh aktifitas yang merupakan kerjasama antara
lingkungan, hormonal, ginjal, adaptasi vaskuler untuk perubahan volume dan tekanan osmotic. Total
cairan tubuh yang mengambil 55-72% massa tubuh, beragam menurut jenis kelamin, umur dan kadar
lemak yang mengambil bagian antara intraseluler dan ekstraseluler. Cairan ekstra seluler yang
merupakan 1/3 total cairan tubuh, terdiri dari cairan plasma intravaskuler, dan cairan interstisiil
ekstravaskuler. Ion2 elektrolit yang utama adalah Na+, Cl-, HCO3, sedangkan yang jumlahnya sedikit
adalah K+, Mg, Ca, fosfat, sulfat, asam organic, dan protein. Komponen cairan intraseluler ialah K+,
protein, Mg, Sulfat, dan Fosfat.
Dalam cairan ekstraseluler Na+ dan Cl- mengisi lebih dari 90% larutannya. Konsentrasi
serum Na menggambarkan jumlah relatif air dan natrium dalam plasma. Mempertahankan konsentrasi
natrium dalam keadaan normal berarti ikut bagian dalam pengaturan volume cairan tubuh. Besarnya
kandungan dalam cairan ekstraseluler dan intraseluler tergantung pada jumlah air di dalamnya,
sedangkan distribusi air tergantung pada osmolalitasnya. Osmolalitas larutan merupakan fungsi dari
jumlah partikel larutan atau osmolar per unit volume. Satuan osmolaritas diukur dengan mOsm/L.
Harga normal osmolalitas serum 265 sampai 285 yang dipertahankan oleh fungsi ginjal, zat yang
terlarut atau konsentrasi dari urin.
Hal ini diatur oleh berbagai mekanisme seperti filtrasi glomerulus, tekanan arteri, aliran
darah, faktor fisik dalam ginjal, sistem saraf simpatik dan hormon seperti aldosteron, faktor natriuretik
atrium, vasopresin, dan dopamin. Sistem ini ditujukan untuk mengendalikan keseimbangan air dan
elektrolit melalui ultrafiltrasi glomerulus plasma diikuti dengan perubahan kandungan elektrolit pada
ultrafiltrasi ini oleh reabsorpsi dan sekresi tubular. Mekanisme ini bersama sama dengan rasa haus
mengendalikan baik volume maupun osmolalitas plasma. Kelainan akibat perubahan volume dan
komposisi cairan tubuh perlu diatasi dengan penambahan kebutuhan rumatan, koreksi defisit volume
dan elektrolit, dan mengganti kehilangan yang sedang berlangsung.

6.1 Kebutuhan cairan rumatan dan elektrolit

Kebutuhan cairan rumatan untuk mengganti kehilangan cairan sensible dan insensible harus
dihitung secara teliti dan tergantung pada pemakaian energi, meskipun jumlah itu bisa dihitung
berdasarkan berat badan. Kehilangan insensible melalui kulit dan saluran napas yang biasanya bebas
elektrolit lebih besar pada bayi baru lahir dari pada orang dewasa. Kehilangan sensible terutama dari
urin mengambil porsi 50% kebutuhan cairan. Jadi kehilangan cairan melalui urin tidak perlu diganti
sepanjang output urin tidak lebih dari 50-60% cairan rumatan. Kebutuhan kalori untuk tumbuh bisa di
perkirakan equivalent dengan kcal untuk setiap cc kebutuhan air. Faktor yang dapat meningkatkan
kebutuhan kalori dan air ialah panas (10% untuk setiap 1 derajat C), aktifitas fisik, kehilangan
gastrointestinal yang sedang berlangsung, hiperventilasi, keadaan hipermetabolik. Kebalikan dari
keadaan diatas seperti anuria, oliguria atau gagal jantung kongestif, bisa mengurangi kebutuhan
cairan. Kebutuhan rumatan untuk air bervariasi tergantung berat dan dapat dihitung seperti tercantum
pada tabel. Kebutuhan elektrolit yang relatif konstan pada anak juga tampak pada Tabel.

Pengeluaran tidak normal seperti stoma, aspirasi nasogastrik, diare berkepanjangan, luka
bakar, harus di analisa dan diukur secara betul untuk menghitung jumlah cairan yang diperlukan.
Kekurangan cairan dan elektrolit biasanya akibat kehilangan normal atau berlebihan atau
penurunanpemasukan normal. Salah satu contoh penyakit saluran cerna adalah muntah dan diare.
Anamnesis dan pemeriksaan fisis diperlukan untuk mem- perkirakan apakah ada perkembangan
kearah dehidrasi tampak pada Tabel 2. Informasi ini untuk menentukan berapa persen dehidrasi yang
terjadi sehingga bisa diperhitungkan seperti misalnya dehidrasi 10% berhubungan dengan defisit 100
ml/ kg berat badan. Pengukuran elektrolit tidak dibutuhkan jika defisit hanya kurang dari 5% berat
badan tapi jika lebih dari 5% berat badan maka perlu diperhitungkan kadar elektrolit dan hasil
pemeriksaan laboratorium lainnya seperti asam basa darah.
6.2 Dehidrasi

Dehidrasi adalah kekurangan cairan tubuh. Penyebab dehidrasi adalah kehilangan cairan yang
berlebihan atau kekurangan pemasukan cairan tubuh. Diare dan muntah adalah penyakit yang sering
menyebabkan dehidrasi pada bayi dan anak. Dehidrasi yang disebabkan oleh diare merupakan
dehidrasi yang terbanyak. Hal ini terjadi jika cairan yang disekresi lebih banyak dari kapasitas
absorpsi atau adanya kegagalan absorpsi. Cairan saluran cerna merupakan campuran dari makanan
dan sekresi cairan lambung, pankreas, empedu dan usus. Pada diare sekretori terjadi kehilangan
cairan, natrium dan klorida. Pada diare karena rotavirus kehilangan HCO3 dan kalium di usus
menyebabkan asidosis metabolik dan penekanan kalium. Umumnya anak sakit dengan anoreksia dan
kehilangan cairan dan elektrolit menyebabkan dehidrasi isotonic. Dehidrasi berhubungan dengan
fungsi berbagai macam sistem organ dan homeostasis cairan tubuh tak dapat dipertahankan.
Pengobatan yang efektif hanyalah mengembalikan fungsi ginjal sehingga ginjal dapat memandu
memperbaiki keseimbangan asam basa dan elektrolit. Kehilangan volume cairan yang ringan bisa
diganti dengan cairan oral meskipun banyak senter melakukan penggantian secara parenteral.
6.3 Rehidrasi parenteral

Langkah awal dari rehidrasi adalah mengisi isi vaskuler secara cepat dengan tujuan mencegah
terjadinya syok dan meningkatkan fungsi ginjal. Cairan fisiologis (salin normal) atau ringer laktat (10-
20 cc/kg) harus diberikan dalam waktu 1 jam. Jumlah ini harus diluar jumlah kebutuhan cairan per
harinya. Cara lain yang dikembangkan WHO adalah 100 mL/kg diberikan sesuai umur, yaitu untuk
bayi diberikan 1 jam pertama 30 mL/kg, kemudian 5 jam berikutnya 70 mL/.kg, sedangkan untuk
anak 30 ml/kg diberikan dalam 1⁄2 jam pertama, sisanya 70 mL/ kg diberikan dalam 21/2 jam
berikutnya. Pemberian 10cc albumin dibutuhkan hanya pada neonatus, anak dengan malnutrisi atau
pasien dengan hipernatremia dan syok. Keuntungan normal salin dan ringer laktat adalah untuk
mengisi ruangan intravaskuler secara cepat. Dibanding Nacl 0,9%, ringer laktat lebih fisiologis karena
rasio Natrium : Klorida ialah 1,17:1 dan mempunyai konsentrasi Natrium lebih rendah (130 mEq/L)
serta mengandung Ca, K+ dan laktat.

Langkah selanjutnya adalah memenuhi kebutuhan cairan rumatan dan mengganti jumlah
cairan yang hilang bersama tinja dari diare yang sedang berlangsung. Pada dehidrasi berat setelah
rehidrasi kalau perlu pemberian cairan rumatan diberikan 1⁄2 jumlah cairan dalam 8 jam pertama
sedangkan sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Selama pemberian cairan rumatan perlu
ditambahkan glukosa 5%, dan kalau perlu ditambahkan Nacl sesuai dengan kebutuhan. Anak dengan
dehidrasi isonatremik membutuhkan 8-10 mEq Na+ tiap kg berat badan, sedangkan untuk mengganti
kekurangan defisit rumatan dibutuhkan 3 mEq/kg perhari. Na+ diberikan dengan dosis seperti yang
tercantum dalam Tabel 1 sedangkan jumlah cairan seperti yang tercantum pada Tabel 2 (%). Jika
diuresis sudah baik maka KCl diberikan dengan konsentrasi 20 mmol/ L, untuk mencegah efek klinis
dari kekurangan Kalium+. Pemberian Kalium+ intravena tidak boleh melebihi 4 mEq/kg per hari
untuk menghindari kelebihan kapasitas uptake sel terhadap Kalium+ untuk mencegah hiperkalemia.
Pada diare yang berkelanjutan atau berhari hari maka pemberian cairan per oral perlu diperhatikan
untuk mengganti setiap kali diare; jumlah cairan yang diberikan sesuai dengan jumlah feses yang
dikeluarkan, demikian juga jika terjadi muntah. Asidosis metabolik ringan yang terjadi pada diare
dehidrasi isonatremik akan membaik jika fungsi ginjal sudah baik, tapi asidosis metabolik yang berat
perlu dikoreksi dengan bikarbonat.

6.4 Rehidrasi Oral

Rehidrasi oral sangat effektif untuk penggantian cairan pada diare bahkan juga pada diare
yang sedang berlangsung dengan muntah. Rehidrasi oral diberikan pada dehidrasi ringan/sedang.
Pemberian rehidrasi oral diberikan sedikit demi sedikit sampai mencapai dosis 75cc/kg selama 4-6
jam untuk dehidrasi ringan/sedang. Jika sudah membaik dilanjutkan dengan 100cc/kg perhari.
6.5 Dehidrasi hiponatremia dan hiponatremia

Diagnosis hiponatremia harus dibedakan pada kontek hipovolemia, euvolemia atau


hipervolemia untuk menyatakan apakah rendahnya kadar Natrium benar benar diikuti kadar Na+
tubuh yang rendah. Gejala dan tanda hiponatremia berhubungan dengan berat dan cepatnya penurunan
kadar Na+ serum. Gejala di sistem saraf pusat meliputi apatis, mual, muntah, sakit kepala, kejang atau
koma. Sedangkan gejala muskuloskeletal berupa kram dan lemah. Jadi bayi atau anak dengan
dehidrasi hipernatremik tampak sakit berat, karena kehilangan cairan bersama hiponatremia yang
menyebabkan kegagalan sirkulasi karena pengurangan volume cairan ekstraseluler yang tidak
seimbang. Jika osmolalitas serum turun maka air akan masuk ke dalam sel menyebabkan disfungsi
muskuloskeletal dan sel otak akan mengalami edema. Otak akan beradaptasi terhadap hiponatremia
dengan mendorong cairan interstisial ke dalam cairan serebrospinal juga dengan mengubah larutan
seluler terutama dengan Kalium* dan asam amino. Hal yang penting untuk diketahui pada keadaan ini
adalah bahwa proses rehidrasi jangan terlalu cepat melebihi kemampuan otak mengatur larutannya.
Oleh karena itu pada dehidrasi hiponatremia koreksi Natrium+ plasma tidak boleh melebihi 10-12
mEq/L per hari untuk menghindari pertukaran cairan.

Hiponatremia hipovolemia disebabkan terutama karena diare dan muntah infeksi pada
gastroenteritis karena virus. Sedangkan penyebab lain adalah kehilangan cairan perkutaneus seperti
asites, luka bakar, dan peritonitis. Euvolemia hiponatremia terjadi pada sindrom karena kelainan
sekresi antidiuretik hormon (ADH). Hiponatremia hipovolemik disebabkan oleh keadaan yang
berhubungan dengan edema seperti pada nefritis, gagal jantung, sirosis dan gagal ginjal.

Pengelolaan dehidrasi hipernatremik didahului dengan pengelolaan dehidrasi secara umum


kemudian dilanjutkan dengan penanganan hiponatremia dengan menambahkan cairan yang
mengandung garam untuk mengoreksi kekurangan Na+. Jumlah Na+ yang diberikan adalah 10-12
mEq/L per hari dan jika perlu 15 mEq/L per hari pada hiponatremia yang berat. Rumus kebutuhan
Na+ sebagai berikut:

(Kadar Na+ serum – kadar Na+ sekarang) x 0.6 x berat badan dalam kg

Perlu ditambahkan Na+ rumatan 3 mEq/L perhari dalam larutan dekstrose 5%. Untuk kadar
Na+ 120- 130 mEq/L, jumlah ini harus diberikan dalam waktu 24 jam. Untuk kadar Na+ dibawah 120
mEq/L, rehidrasi seharusnya diberikan beberapa hari sampai Na+ mencapai 130 mEq/L dengan
ketentuan 10 mEq/ hari (misalnya 2 hari untuk kadar Na+ 110 mEq/L) ditambah kebutuhan Na+
rumatan.

Gejala nyeri kepala, letargi dan disorientasi harus segera ditangani untuk menghindari gejala
lebih berat seperti kejang dan koma akibat perpindahan cairan kedalam sel otak. Pada kasus dengan
gejala yang sangat menonjol koreksi Na+ sangat dibutuhkan dengan cepat. Pemberian garam
hipertonik seperti salin 3% perlu diberikan untuk menaikkan kadar Na 1-2 mEq/ L dalam waktu 1 jam
atau mencapai normal dalam waktu 8 jam.

6.6 Dehidrasi hipernatremik dan hipernatremia

Dehidrasi hipernatremik terjadi apabila jumlah cairan yang keluar lebih banyak dibanding
larutannya atau Na+. Sebetulnya kadar Natrium+ tubuh mungkin naik atau normal atau bahkan turun,
seperti pada hiponatremia, kadar Natrium+ serum tidak menggambarkan kadar Natrium+ tubuh.
Hipernatremia menyebabkan plasma menjadi hipertonik, sehingga badan akan merespon dengan
mengeluarkan ADH dengan merangsang rasa haus. Individu yang tak bisa mengeluarkan atau
merespon ADH akan cenderung mengalami hipernatremia. Gejala yang timbul adalah penurunan
kesadaran seperti letargi atau bingung, iritabel seperti berkedipan, refleks meningkat atau bahkan
kejang, kadang-kadang disertai demam dan kulit teraba lebih tebal.

Hipertonik ekstrasel akan menyebabkan air akan keluar dari sel dan sel akan menjadi lebih
kecil ukurannya. Di otak keadaan ini akan menyebabkan berkerutnya jaringan arachnoid sampai
terjadi perdarahan subarachnoid, intradural atau subdural. Apabila keadaan hipertonik berlanjut maka
sel otak akan beradaptasi dengan mengatur osmolar intraseluler yang disebut proses produk osmolar
kardiogenik. Proses menurunkan gardien osmolar ekstraseluler ke intraseluler dapat melindungi sel
dari penyusutan atau berkerut. Untuk mencegah terjadinya edema otak pada saat dilakukan koreksi
plasma hipertonis, perlu diketahui bahwa peralihan osmolar intraseluler lambat. Oleh karena itu
koreksi hipernatremia harus dilakukan perlahan lahan. Hipernatremia berat ( Na+ > 160 mEq/L) bisa
menyebabkan sekuele (sisa gejala) yang permanen dengan mortalitas yang tinggi mencapai 10%.

Diare yang tadinya iso atau hiponatremia bisa berkembang menjadi dehidrasi hipernatremia
apabila diikuti dengan panas yang lama, anoreksia, muntah dan masukan cairan yang tidak adekuat.
Pada bayi prematur dengan kemampuan mengatur pemasukan air yang masih kurang, fungsi ginjal
belum sempurna, disertai dengan infeksi saluran cerna serta malabsorpsi sering terjadi hipernatremia.

Pada pengelolaan pasien hipovolemia dengan hipernatremia pada saat awal dibutuhkan salin
normal atau ringer laktat untuk mengembalikan sirkulasi efektif volume plasma. Albumin 5% atau
plasma dapat dipakai juga. Pasien dengan hipovolemia dan hipernatremia membutuhkan larutan
hipotonik yang terdiri dari garam untuk mengembalikan kadar Na+ 2-5 mEq/kg berat badan dan mulai
dengan rumatan Na+ (3 mEq/kg Na+) dalam cairan terdiri dari 20 sampai 40 mmol/L KCl dan 5%
glukosa. Untuk kadar Na+ 150-160 mEq/L, maka volume cairan yang akan diberikan harus dalam
periode 24 jam. Osmolaritas cairan ekstraseluler akan turun lebih cepat dibandingkan dengan otak
yang melakukan osmolar isogenik untuk melindungi osmolaritas intraseluler, maka koreksi Natrium+
tidak boleh melebihi 10 mEq/ L perhari. Untuk kadar Na+ serum > 160 mEq/L, maka rehidrasi harus
dibagi dalam beberapa hari untuk menurunkan kadar Na+ secara perlahan sampai kadar 150 mEq/L
dengan pemeriksaan 10 mEq/L perhari. Misalnya kadar Na+ 170 mEq/L maka diperlukan 2 hari.

6.7 Kalium

Kalium adalah kation intraseluler yang terbanyak, jadi perubahan akut dalam serum tidak
menggambarkan persediaan kalium total tubuh. Perubahan kronis, terutama hipokalemia lebih
menggambarkan persediaan kalium tubuh. Konsentrasi kalium serum diatur di nefron terminal ginjal
dan dikeluarkan juga dengan jumlah sedikit melalui tinja. Rasio kalium intra dan ekstraseluler
merupakan faktor penentu potensial listrik di sel membran; hal ini berperan dalam bangkitan potensial
jaringan syaraf dan otot. Gangguan kadar Kalium+ serum sangat mempengaruhi kelangsungan hidup
karena efeknya terhadap fungsi jantung, yaitu karena peran Kalium+ terhadap iritabilitas
neuromuskuler dan metabolisme sel. Pada asidemia konsentrasi K+ dalam cairan ekstraseluler
meningkat karena sekresi K+ dari dalam sel, dengan perkiraan setiap penurunan pH 0.1 unit terdapat
kenaikan K+ 1 mEq/L, sedangkan pada alkalosis terjadi sebaliknya.

6.8 Hipokalemia

Hipokalemia adalah keadaan kadar kalium serum kurang dari 3 mEq/L. Sering terjadi pada penyakit
saluran cerna seperti muntah muntah atau pengambilan cairan dari pipa nasogastrik; hal ini
disebabkan konsentrasi K+ dalam cairan lambung sangat tinggi. Hampir semua K+ berada di
intraseluler maka hipokalemia bisa disebabkan karena perpindahan transcellular yaitu dari serum ke
sel misalnya pada alkalosis akut. Manifestasi yang berat sebagai akibat hipokalemia adalah aritmia,
eksitabilitas neuromuskular (hiporefleksia atau paralysis, penurunan peristaltik atau ileus) dan
rhabdomyosis. EKG adalah pemeriksaan yang bisa memperkirakan gangguan kalium intraseluler;
akan didapat gelombang T datar, pemendekan PR dan QRS dan akhirnya terdapat gelombang U.
Pemberian KCl intravena dilakukan apabila terjadi aritmia, kelemahan otot yang berat, distress
respirasi, Pemberian intravena ini harus dilakukan bersama monitor jantung yang ketat. Setelah kadar
K+ stabil maka pemberian diganti per oral. Pemberian preparat K+ disesuaikan dengan etiologi. Pada
penyakit saluran cerna yang biasanya diikuti dengan hipofosfatemia maka pemberian K+ disertai
dengan garam fosfat. Sedangkan pada hipokalemia akibat alkalosis metabolik maka KCl yang
dipakai.

Hiperkalemia
Hiperkalemia adalah keadaan kadar K+ > 5.5 mEq/L. Pada penyakit saluran cerna
hiperkalemia paling sering terjadi pada asidosis metabolik, dengan perpindahan K+ transcellular.
Pada asidosis metabolik terjadi perpindahan K+ dari intraseluler ke ekstraseluler (serum) sebagai
ganti dari ion Na yang hilang bersama tinja. Hiperkalemia menyebabkan gejala aritmia jantung,
parestesia, kelemahan otot atau paralisis. Gambaran EKG menunjukkan gelombang pendek,
gelombang T tinggi, QT memendek; hal ini terjadi jika K+ > 6 mEq/L. Jika kadar K+ > 8 mEq/L
maka terjadi penekanan gelombang ST dan pelebaran QRS. Pada penderita dengan hiperkalemia
harus terpasang EKG. Pemberian kalsium intravena sangat menolong dari ancaman kematian karena
hiperkalemia. Waktu pemberian harus cepat tidak boleh lebih dari 30 menit. Aliran K+ menuju
intraseluler dipengaruhi juga oleh pemberian NaHCO3, glukosa atau insulin. Pemberian natrium
polistiren sulfonat (Kayexalate) sebagai pengubah ion resins bisa diberikan per oral setelah koreksi
intravena. Pada penderita hiperkalemia berat perlu dilakukan dialisis untuk mengeluarkan K+.

Keseimbangan asam basa

Keasaman tubuh atau pH cairan tubuh normal antara 7.35 -7.45. Jika pH berada diluar kisaran
ini maka salah satu dari 2 cara mekanisme homeostasis akan melakukan koreksi dengan buffer
perubahan pH. Dua mekanisme buffer tersebut dilakukan melalui paru dan ginjal maka akan terjadi
modifikasi rasio tekanan parsial CO2 (pCO2) ke dalam konsentrasi HCO3. Di dalam plasma sistim
asam karbonat-bikarbonat berpengaruh baik pada pCO2 maupun HCO3. Hubungan ini dijelaskan
dengan rumus dari Henderson-Hasselback; 6.1 adalah negatif logaritma dari disosiasi konstanta asam
karbonat; sedangkan konsentrasi H2CO3 sering dinyatakan dengan tekanan parsial CO2 (normal 35-
45 mmHg).

Proses homeostasis asam dilakukan dengan basa memakai buffer dengan mengabsorpsi
kelebihan ion H+. Pada mekanisme pertama, pH ditentukan oleh baik buffer ekstraseluler seperti
sistem asam karbonat/ bikarbonat dan serum protein maupun buffer intraseluler seperti protein, fosfat
dan hemoglobin. Pada mekanisme kedua, pH dipertahankan dengan mengatur pCO2 alveolar. Kadar
pCO2 atau HCO3 yang normal tidak akan selalu menggambarkan pH darah normal. Sehingga untuk
menilai adanya gangguan asam basa, diperlukan pemeriksaan gas darah arteri atau vena serta kadar
elektrolit. Perlu diingat bahwa bayi mempunyai kadar HCO3 lebih rendah ( 21.5 – 23.5 mEq/L)
dibanding orang dewasa ( 23-25 mEq/L). Gangguan asam basa merupakan akibat gangguan baik pada
pCO2 maupun HCO3, dimana terjadi perubahan produksi asam, buffer asam atau pengeluaran asam.
Perubahan pada HCO3 menyebabkan alkalosis atau asidosis metabolik; sedangkan perubahan pada
pCO2 menyebabkan alkalosis atau asidosis respiratorik.

Asidosis metabolik

Asidosis merupakan akibat dari bertambahnya asam atau berkurangnya / hilangnya basa dari
cairan tubuh. Asidosis akan memacu respon kompensasi berupa meningkatnya ventilasi alveolar
(alkalosis respiratorik) dan turunnya pCO2. Adaptasi ini, hiperpnea ( nafas dalam dan tak teratur ),
biasanya tidak diikuti dengan pH menjadi kembali normal, dan terjadi sangat cepat dalam beberapa
menit. Manifestasi klinis dari asidosis adalah penekanan pada kontraktil miokardium, aritmia, dilatasi
arteri, hipotensi, dan bahkan edema paru.

Diagnosis

Buffer cairan ekstraseluler sebagian besar ditentukan oleh HCO3-, yaitu dalam bentuk
NaHCO3 dan anion lain yang sulit diukur seperti protein, fosfat, sulfat dan anion organic. Anion lain
yang sulit diukur ini disebut anion gap yang bisa diperkirakan secara tidak langsung yaitu bahwa
anion ini secara konstan diekskresi oleh ginjal tetapi bisa terganggu jika ada penambahan sejumlah
besar asam dari luar atau produksi asam dari dalam tubuh sendiri. Setiap molar asam yang mentetrasi
akan menurunkan kadar 1 molar HCO3. Pada asidosis, anion gap bisa naik atau normal. Pada diare
yang banyak kehilangan HCO3 akan terjadi asidosis metabolik dengan anion gap normal
(hiperkloremia), sedangkan asidosis dengan kenaikan anion gap terjadi pada penyebab lain. Asidosis
dengan anion gap normal (hiperkloremia) terjadi jika HCO3 hilang dari tubuh misalnya pada diare
atau kelainan ginjal. Ketika HCO3 hilang dari tubuh maka Cl- adalah satu satunya anion yang siap
mengkompensasi volume cairan. Akibat HCO3 hilang maka Cl- akan banyak diabsorpsi dibanding
Na+, yang menyebabkan hiperkloremia dan anion gap tidak bisa berubah. Diare pada bayi dan anak
tinjanya banyak mengandung HCO3, K+, dan rendah Cl-. Ditambah lagi pada diare cairan
ekstraseluler menyusut sehingga tinggal Cl- didalamnya. Sehingga diare akan menyebabkan asidosis
metabolik dengan hiperkloremia. Akan tetapi jika dehidrasi berat berlangsung lama dan berlanjut ke
syok hipovolemik maka akan menimbulkan asidosis laktat. Pada keadaan ini maka terjadi asidosis
dengan kenaikan anion gap.

Pengelolaan

Pemberian natrium bikarbonat adalah satu satunya pilihan pada asidosis apapun penyebabnya.
Ini dilakukan jika kadar HCO3 < 5 mmol/L Bikarbonat harus ditambahkan pada larutan hipotonis dan
diberikan dalam 1 jam.
Rumus untuk penambahan bikarbonat, sebagai berikut:

Mmol bikarbonat = kekurangan bikarbonat x berat dalam kg x 0,3

Pada diare, berat ringannya asidosis tergantung penyebabnya. Pada diare cair akut HCO3
dalam tinja bisa mencapai 40 mEq/\l, ini menyebabkan asidosis metabolik derajat sedang sampai
berat. Pada saat rehidrasi dibutuhkan penambahan HCO3 ke dalam cairan intravena. Tapi sebelum
menambahkan HCO3 harus diukur dulu kadar K+ serum, sebab penambahan HCO3 akan
menyebabkan hipokalemia, sehingga akan memperburuk hipokalemia jika sebelumnya sudah terjadi
hipokalemia. Jadi pada pasien dengan asidosis sedang sampai berat (10 sampai 15 mEq/L) atau pH >
7.2, diperlukan koreksi dehidrasi dan kehilangan elektrolitnya agar ginjal dapat mengeluarkan
kelebihan H+ secara efektif.

Alkalosis metabolik

Alkalosis adalah keadaan sebagai akibat dari meningkatnya basa atau hilangnya asam.
Keadaan ini akan mengakibatkan hipoksia, perubahan sistem saraf pusat, iritabel otot2 dan bisa
melanjut ke kejang dan aritmia. Gejala klinis yang sering terjadi adalah letargi, bingung, iritabel dan
kejang. Kadang beberapa pasien menderita nafas tersengal sebagai usaha mengurangi CO2. Pada
penyakit saluran cerna alkalosis metabolik biasanya terjadi karena kehilangan klorida dan asam yaitu
pada kasus muntah dan aspirasi nasogastrik dimana pada anak berhubungan dengan keadaan
hipokalemia. Pada pasien demikian kadar klorida urin di bawah 20 mEq/L.

Pengelolaan

Terapi dipusatkan pada pengobatan penyebab utamanya. Pada alkalosis derajat sedang sampai
berat pemberian Cl- akan memicu ginjal untuk mengeluarkan kelebihan basa. Pada alkalosis berat
pemberian asam hydrochloride mungkin dibutuhkan. Alternatif lain adalah pemberian amonium
klorida atau arginin mono klorida walaupun kontraindikasi pada penyakit hepar dan ginjal. Pada
muntah dan aspirasi nasogastrik pemberian garam klorida 1-2 mEq/kg per hari dianjurkan. Karena
alkalosis biasanya disertai dengan hipokalemia maka keadaan hipokalemia ini harus segera dikoreksi.

Asidosis respiratorik

Asidosis respiratorik adalah keadaan yang disebabkan karena meningkatnya pCO2 dan
penurunan pH plasma secara cepat. Keadaan ini biasanya bukan karena penyakit saluran cerna, tetapi
bisa terjadi jika ada penyakit penyerta seperti obstruksi jalan nafas. Pengelolaan asidosis respiratorik
banyak ditujukan ke penyakit penyebabnya tidak diperlukan pemberian alkali.
Alkalosis respiratorik

Alkalosis respiratorik adalah keadaan yang disebabkan oleh menurunnya pCO2 karena
hiperventilasi. Penyakit saluran cerna tidak menyebabkan keadaan ini kecuali disertai keadaan
hiperventilasi.

BAB VII

GANGGUAN KESEIMBANGAN AIR DAN NATRIUM SERTA PEMERIKSAAN


OSMOLALITAS

Cairan tubuh adalah larutan encer yang mengandung elektrolit dan non-elektrolit, dan terdiri
atas kompartemen intrasel dan ekstrasel. Sifat membran sel yang permeabel terhadap air menjadikan
keseimbangan osmotik dapat dipertahankan sehingga terjadi keseimbangan osmolaritas antara
ekstrasel dan intrasel.

Pendistribusian air antara kompartemen ekstrasel dan intrasel hingga mencapai suatu
keseimbangan osmotik (isoosmotik) sangat penting. Keseimbangan distribusi air pada setiap
kompartemen tubuh melibatkan kadar zat terlarut di dalam cairan tubuh, dan jumlah zat yang terlarut
dalam suatu pelarut disebut osmolalitas. Elektrolit yang memberikan kontribusi besar dalam
menentukan besarnya osmolalitas serum ialah natrium, yang aktif secara osmotik, dan pemberi
kontribusi dominan dalam menentukan besarnya osmolalitas. 1-3 Keadaan hipo-osmolalitas sebenarnya
menggambarkan keadaan hiponatremia, sebaliknya hiperosmolaritas menggambarkan keadaan
hipernatremia.

7.1 Keseimbangan Air, Elektrolit, dan Osmolaritas

7.1.1 Keseimbangan cairan tubuh

Perubahan volume cairan ekstrasel setiap waktu <1% sehingga tidak memberikan reaksi
fisiologik. Keseim- bangan cairan tubuh ialah usaha mempertahankan tekanan osmotik cairan tubuh
dan volume cairan tubuh total (ekstrasel dan intrasel) yang harus selalu dalam keadaan seimbang
yang diatur oleh arginin vasopressin, ginjal, dan rasa haus. Selain mempertahankan osmolaritas,
ginjal merupakan pengendali utama air dan elektrolit, serta mengontrol keseimbangan asam basa.
Dalam menjalankan fungsinya, ginjal diatur oleh sejumlah hormon antara lain hormon hipotalamus
arginin vasopressin yang disebut antidiuretik hormone (ADH).
Sistem vaskular mempunyai baro- reseptor pada lengkung aorta dan jantung, yang menanggapi
perubahan tekanan arteri. Osmoreseptor sangat sensitif terhadap perubahan natrium plasma dan
manitol tetapi kurang berespon terhadap bahan lainnya seperti urea atau glukosa. Bila terjadi
peningkatan osmolalitas, impuls dihasilkan pada korteks serebral sehingga terjadi pelepasan ADH,
serta sensasi haus. ADH akan mengubah permeabilitas tubulus koligentes ginjal sehingga terjadi
peningkatan reabsorpsi air (Gambar 1), yang meningkatkan volume air tubuh sehingga osmolalitas
plasma kembali normal, dan terbentuk urin hiperosmotik dengan volume sedikit. ADH sangat
sensitif sehingga osmolalitas plasma dalam keadaan normal variasinya tidak melebihi 1-2% dari 280
mOsmol/Kg.

7.1.2 Keseimbangan elektrolit (Natrium)

Total konsentrasi kation plasma sekitar 150 mmol/L dan natrium merupakan kation
terbanyak yaitu sekitar 140 mmol/L. Enzim Na/K-ATPase berperan dalam transpor aktif untuk
mempertahankan konsentrasi natrium dan kalium. Hal ini juga menjadi kunci reabsorbsi natrium di
tubulus ginjal. Tidak seperti cairan, natrium tidak memiliki pusat regulasi. 9,10 Setiap hari natrium
diekskresi yaitu sekitar 10-20 mmol lewat keringat dan feses, tetapi sebagian besar diekskresi lewat
ginjal sebagai kontrol utama homeostasis.2 Saat terjadi penurunan tekanan arteri, ginjal menahan
natrium sampai tekanan meningkat. Ekskresi natrium ginjal terjadi melalui peningkatan filtrasi,
penurunan reabsorbsi natrium, atau kombinasi keduanya yang diatur oleh sistem saraf simpatik dan
renin- angiotensin-aldosterone-system (RAAS).

7.1.3 Osmolalitas

Osmolalitas menggambarkan jumlah zat terlarut dalam unit volume pelarut, yang
mempengaruhi tekanan osmotik sehingga terjadi pergerakan cairan tubuh. Ukuran, bentuk, dan
berat molekul zat terlarut hampir tidak mempengaruhi tekanan osmotik. Tekanan ini ditentukan
dengan mengetahui jumlah mol zat terlarut (solute) per-kilogram air atau merupakan jumlah mol
zat terlarut (mg/BM) per-liter air. Zat terlarut seperti NaCl yang terdapat pada larutan biologis
dapat berbentuk molekul tidak terionisasi dan dapat pula terdisosiasi menjadi Na + dan Cl-, misalnya
pada pemberian 5800 mg NaCl (BM NaCl :58) ke dalam 1 liter CES, maka terdapat

100 mmol NaCl (100 mmol/L). Delapan puluh persen NaCl berada dalam keadaan ionisasi (Na+
dan Cl-) dan 20% tidak, maka jumlah partikel yang ditambahkan adalah Na+ 80 mmol, Cl- 80
mMol, dan NaCl 20 mmol. Bila dijumlahkan, distribusi osmotik NaCl sama dengan 180 mmol.
Berbeda dengan urea yang tidak terdisosiasi (BM: 60) hanya mendapatkan 100 mmol setelah
penambahan 6.000 mg urea ke dalam volume cairan yang sama (1 liter). Kemampuan terdisosiasi
suatu zat sangat penting dalam menentukan distribusi osmotik.
7.2 Hubungan Osmolaritas, Keseimbangan Air, dan Keseimbangan Elektrolit (Natrium)

Akumulasi zat tertentu misalnya natrium dalam cairan ekstrasel (CES) menyebabkan cairan
bergerak dari intrasel ke ekstrasel. Pergerakan cairan berlang- sung kontinyu sampai tercapai keseim-
bangan. Berkurangnya ruang intrasel dan sebaliknya bertambahnya ruang ekstrasel merupakan
konsekuensi dari ketidak- seimbangan natrium. Sebaliknya bila akumulasi natrium atau zat lain di
ekstrasel berkurang maka akan terjadi suatu usaha untuk mencapai keseimbangan osmotik
(osmolaritas CES = osmolalitas CIS/cairan intrasel).

Berdasarkan kenyataan ini dikatakan natrium merupakan elektrolit dominan dalam CES yang
memiliki pengaruh besar terhadap osmolalitas. Konsentrasi natrium cairan intrasel dan ekstrasel
berbeda sehingga perubahan konsentrasi natrium ekstrasel akan menyebabkan perubahan distribusi
air pada kedua kompartemen tersebut. Saat konsentrasi natrium menjadi lebih tinggi (osmolaritas
meningkat) atau menjadi rendah (osmolaritas menurun) akan menyebabkan pergerakan cairan menuju
atau keluar dari CES. Perubahan ini selanjutnya menyebabkan terjadinya perubahan volume sirkulasi
yang pada akhirnya menyebabkan perubahan pada Glomerular Filtration Rate (GFR).

Hubungan osmolaritas, air, dan natrium dapat dilihat pada Gambar 2. Pada keadaan normal
75% total cairan tubuh (28 L pada laki-laki dengan berat 70 Kg) berada dalam cairan intrasel
(Gambar 2A). Osmolalitas CES dan CIS 285 mOsm/kg H 2O. Penambahan air murni (air minum) 2 L
ke dalam CES menyebabkan osmolalitas turun sehingga terjadi pergerakan cairan ke dalam sel (sel
membengkak) dan osmolalitas intrasel turun sampai terjadi keseimbangan (Gambar 2B). Gambar 2.C
memperlihatkan penambahan larutan saline isotonik (NaCl 0.9%) sebanyak 2 L ke dalam CES. Saline
isotonik merupakan cairan isoosmotik dalam plasma dan CES sehingga tidak terjadi perubahan
volume sel karena semua cairan isotonik tertahan di CES. Bila terjadi penambahan 1 L NaCl 5%
dalam CES, maka sel akan dikelilingi lingkungan hipertonik, menyebabkan air bergerak dari intrasel
ke ekstrasel sampai terjadi keseimbangan dengan osmolalitas akhir lebih tinggi dari semula tetapi
sama. (Gambar 2D).

7.3 Hubungan Osmolaritas


Banyak penyakit atau pengobatan yang dapat menimbulkan gangguan keseim- bangan cairan
dan elektrolit. Pemeriksaan osmolalitas serum dan urin dapat memberi informasi ketidakseimbangan
air dan elektrolit, menilai kemampuan ginjal memekatkan urin, dan menilai abnormalitas ADH.

Freezing point depression (osmolalitas ukur)

Osmometer yang umum dipakai menggunakan dasar pengukuran dengan metode Freezing
Point Depression karena metode ini tidak dipengaruhi oleh suhu lingkungan dibanding tekanan uap
(tekanan uap air pada suhu 20oC: 17,5 mmHg; pada 25oC: 23,8 mmHg).

Prinsip pemeriksaan osmolalitas ialah membandingkan titik beku air dan titik beku larutan
yang diperiksa. Pengukuran osmolalitas larutan didasarkan pada sifat koligatif larutan. Air sebagai
pelarut universal memiliki titik beku 0 oC dan titik didih 100oC. Titik didih suatu cairan terjadi saat
tekanan uap jenuh cairan sama dengan tekanan udara luar (normal: 1 atmosfer). Bila dibandingkan
dengan air murni, pelarut yang ditambahkan zat terlarut (solut) akan terjadi penurunan tekanan
uap, yang mengakibatkan titik didih larutan meningkat karena energi yang diperlukan lebih banyak
untuk dapat menyamakan tekanan uap larutan = 1 atmosfir. Titik beku larutan tersebut akan lebih
rendah dibanding air murni, karena zat terlarut akan menghalangi molekul-molekul air membentuk
struktur kristal (Gambar 3).
Sebagai contoh suatu larutan dikatakan memiliki osmolalitas 1 Osmol bila terjadi penurunan
tekanan uap 0,3 mmHg (23,8 mmHg pada suhu 25 oC), peningkatan titik didih 0,52oC, dan penurunan
titik beku 1,858oC. Sifat koligatif ini menjadi dasar pengukuran osmolaritas larutan

Osmolalitas hitung

Dalam suatu larutan, elektrolit dapat berdisosiasi menjadi 2 partikel (NaCl) atau 3 partikel
(CaCl2) oleh karena itu distribusi osmotiknya didapat berdasarkan perkalian dengan jumlah ion
yang berdisosiasi pada setiap molekul. Tidak semua elektrolit dapat berdisosiasi sempurna
sehingga kadang didapatkan tekanan osmotik suatu larutan lebih rendah dari yang seharusnya.
Deviasi ini dapat dikoreksi dengan menggunakan faktor koefisien osmotik dengan rumus
sebagai berikut:

Osmolalitas = ønC

Ø: koefisien osmotik

n: jumlah partikel (ion) dari tiap molekul yang berdisosiasi

C: molalitas (mol/KgH2O)

Koefisien osmotik glukosa dan etanol adalah 1.00 sedangkan untuk NaCl sebesar 0.93 tetapi
karena NaCl dapat berdisosiasi menjadi Na + dan Cl- maka koefisien osmotiknya menjadi 1.86 (2 x
0.93). Osmolalitas plasma/serum dapat ditentukan dengan dua cara yaitu dengan mengukur secara
langsung menggunakan osmometer, atau secara tidak langsung dengan menggunakan rumus. Untuk
teknik osmometri yang diukur adalah konsentrasi zat terlarut yang mempengaruhi tekanan osmotik
dari suatu larutan. Keseimbangan osmolaritas melibatkan kadar zat terlarut dalam cairan tubuh,
dimana Na⁺, Cl⁻, glukosa dan urea merupakan zat terlarut utama yang aktif secara osmotik dalam
cairan ekstraseluler, sehingga osmolalitas plasma dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Faktor 9 ditambahkan mewakili zat terlarut lain yang secara aktif bisa memberikan kontribusi
terhadap osmolalitas plasma seperti K +, Ca2+, dan protein, sedangkan 1,86 adalah koefisien
osmolaritas dari NaCl seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Selain Freezing Point Depression terdapat dua jenis osmometer lain yang tersedia secara
komersial yaitu Vapor Pressure Osmometers dan Membrane Osmometers. Setiap jenis osmometer
ini memiliki keuntungan dan kerugian. Freezing Point Depression merupakan jenis osmometer yang
umum digunakan, karena merupakan satu-satunya jenis osmometer yang dapat mengukur semua
alkohol volatile yang pada keadaan abnormal dapat menyebabkan osmolar gap.

Pemeriksaan osmolalitas plasma dan urin sangat membantu penatalaksanaan pasien dengan
gangguan keseimbangan air dan elektrolit, selain menilai kelainan ADH. Osmolalitas urin penting
untuk mengetahui kemampuan ginjal memekatkan urin, selain monitor keseimbangan cairan dan
elektrolit. Hubungan dengan berat jenis (BJ) dikatakan bahwa pada keadaan normal perubahan BJ
dan osmolalitas urin terjadi secara paralel. 1,14 Namun pada proteinuria atau glukosuria berat hal ini
tidak terjadi, karena BJ yang merupakan massa larutan dibagi volume larutan bisa dipengaruhi oleh
protein. Protein akan meningkatkan BJ sedangkan osmolalitas tidak dipengaruhi karena molalitas
protein kecil (protein tidak terdisosiasi). 11,14 Gambar 4 menunjukkan bila osmolalitas plasma (P osm)
<280 mOsm/kg, kadar ADH tidak terdeteksi (<0.5 pg/ml) dan osmolalitas urin (U osm) umumnya
<150 mOsm/kg.
Disisi lain ketika Posm >295 mOsm/kg, kadar ADH >5,0 pg/ml dan Uosm umumnya >850
mOsm/kg. Walaupun ADH plasma >5,0 pg/ml, osmolalitas plasma tidak bertambah karena
osmolalitas urin maksimal sudah tercapai dan saat inilah timbul rasa haus (kompensasi ginjal
mencapai titik maksimal).
Osmolalitas serum diperiksa dengan mengukur konsentrasi partikel terlarut dalam darah. Bila
volume cairan tubuh bertambah atau partikel terlarut berkurang maka osmolalitas akan menurun.
Sebaliknya bila volume cairan tubuh berkurang atau partikel terlarut bertambah maka osmolalitas
akan meningkat. Peningkatan osmolalitas menstimulasi ADH sehingga terjadi reabsorbsi air di ginjal,
osmolalitas urin meningkat, dan osmolalitas serum menurun. Sebaliknya osmolalitas serum yang
rendah mensupresi ADH, sehingga reabsorbsi air di tubulus ginjal dihambat, dan konsentrasi urin
menurun (dilusi). Penumpukan non-elektrolit dalam serum seperti ethanol, methanol, manitol, etilen
glikol menyebabkan osmolalitas ukur lebih tinggi dibanding osmolaritas hitung disebut osmolal gap.
Hal ini menjadikan pentingnya pemeriksaan osmolalitas hitung yang memasukkan kadar glukosa,
urea, dan zat lain yang berpengaruh terhadap osmolalitas walaupun tidak sebesar pengaruh natrium.
Penyebab gangguan homeostasis natrium terjadi karena faktor cairan atau natrium. Pengeluaran,
penambahan, atau retensi dari air dan natrium yang terjadi secara signifikan akan menyebabkan
gangguan homeostasis natrium. Dalam hal ini sulit memisahkan keseimbangan Na + dan H2O karena
keduanya mempengaruhi osmolalitas.

Osmolalitas pada hiponatremia

Pada penelusuran penyebab terjadinya keadaan hiponatremia berdasarkan nilai osmolaritas,


hiponatremia diklasifikasikan:

1. Hipoosmotik hiponatremia (280-295 mOsm/Kg), terjadi jika natrium plasma rendah,


sehingga osmolalitas juga akan rendah. Hal ini bisa terjadi pada keadaan meningkatnya
kehilangan natrium (depletional hyponatremia) atau terjadi peningkatan volume CES
(dilutional hyponatremia).
2. Hiperosmotik hiponatremia. Meningkatnya zat terlarut selain natrium dalam CES
menyebabkan perpindahan air ke ruang ekstrasel atau natrium ke dalam intrasel sebagai
upaya tubuh mempertahankan keseimbangan osmotik antar ruang intrasel dan ekstrasel.
3. Isoosmotik hiponatremia. Saat konsentrasi natrium plasma rendah sedangkan osmolaritas,
glukosa, dan urea plasma normal maka satu-satunya penjelasan ialah adanya
pseudohiponatremia (electrolyte exclusion effect). Hal ini terjadi pada penderita
hiperlipidemia berat atau hipoproteinemia (multiple myeloma).

Osmolalitas pada hipernatremia

Hipernatremia selalu disertai peningkatan osmolalitas plasma (hiperosmotik


hipernatremia) dan bisa menimbulkan gejala neurologi oleh karena terjadi kehilangan air
intraneuron. Umumnya hipernatremia bisa timbul pada keadaan:

1. Hipovolemia, oleh karena kehilangan cairan baik renal atau ekstra- renal yang disertai
ketidakmampuan menggantikan cairan tubuh;
2. Hipervolemia, adanya peningkatan total air tubuh dan natrium (Na + ikut bersama kelebihan
cairan dengan penambahan natrium melebihi cairan), misalnya pada hiperaldosteronisme;
dan
3. Normovolemia biasanya mendahului keadaan hipovolemik hipernatremia.
PENUTUP

6.1. Kesimpulan
Secara normal, tubuh bisa mempertahankan diri dari ketidakseimbangan cairan & elektrolit.
Namun, ada kalanya tubuh tidak bisa mengatasinya. Ini terjadi apabila kehilangan tterjadi dalam total
banyak sekaligus, seperti pada muntah-muntah, diare, berkeringat luar biasa, terbakar,
luka/pendarahan dan sebagainya.
Cairan dan elektrolit (zat terlarut) didalam tubuh merupakan suatu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Bentuk gangguan keseimbangan cairan yang umum terjadi adalah lebeihan atau kekurang
cairan iaitu air. Kelebihan cairan disebut overhidrasi, sebaliknya kurang cairan disebut dehidrasi. Zat
terlarut yang ada dalam cairan tubuh terdiri dari elektrolit dan nonelektrolit. Non elektrolit adalah zat
terlarut yang tidak terurai dalam larutan dan tidak bermuatan listrik, seperti protein, urea, glukosa,
oksigen, karbon dioksida dan asam-asam organik. Sedangkan elektrolit tubuh mencakup natrium
(Na+), kalium (K+), kalsium (Ca++), magnesium (Mg++), klorida (Cl-), bikarbonat(HCO3-), fosfat
(HPO42-), sulfat (SO42-).
Elektrolit yang utama yang sering menyebabkan gangguan pada hemodinamik tubuh adalah
natrium, kalium, dan kalsium
Pasien yang mengalami gangguan cairan dan elektrolit sebaiknya segera ditangani karena sebagian
besar dalam tubuh manusia terdiri dari cairan dan elektrolit dan apabila tidak segera ditangani akan
menyebabkan kematian
Diagnosis gangguan keseimbangan elektrolit ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan hasil
laboratorium dengan nilai diatas atau dibawah normal. Penatalaksanaan gangguan keseimbangan
elektrolit mencakup koreksi elektrolit dan mengatasi penyakit yang mendasarinya. Pemahaman
terhadap patofisiologi gangguan keseimbangan elektrolit akan menuntun para klinisi untuk menetukan
diagnosis dan penyebab gangguan tersebut, sehingga penatalaksanaan dapat diberikan secara tepat.

Penyakit saluran cerna merupakan penyakit yang banyak menyebabkan gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit. Pada diare, muntah, kehilangan cairan lambung akibat nasogastrik kehilangan
cairan dan

Tekanan osmotik memengaruhi pergerakan cairan tubuh, dipengaruhi oleh jumlah partikel terlarut
dalam unit volume pelarutnya. Natrium, glukosa, dan urea merupakan zat terlarut utama yang aktif
secara osmotik dalam cairan ekstrasel. Tekanan ditentukan dengan mengetahui jumlah mOsmol zat
terlarut per-kilogram air, dan kemampuan berdisosiasi suatu zat.
Osmolalitas dapat ditentukan dengan 2 cara yaitu mengukur secara langsung dengan osmometer, dan
secara tidak langsung dengan menggunakan rumus. Teknik osmometri didasarkan pada sifat koligatif
larutan, salah satunya menggunakan metode freezing point depression yang membandingkan titik
beku air dan titik beku larutan yang diperiksa. Metode ini cepat, murah, sederhana, jumlah sampelnya
sedikit, dan ideal untuk sebagian besar cairan biologis, dan merupakan satu-satunya metode yang
dapat mengukur semua alkohol volatile.
6.2. Saran
Diperlukan pemahaman yang baik terhadap gangguan keseimbangan elektrolit, sehingga
dapat menegakkan diagnosis dengan cepat dan tepat, dan pada akhirnya dapat memberikan
penanganan yang tepat dan cepat pula.

DAFTAR PUSTAKA

Darwis D, Munajat Y, Nur MB, Madjid SA, Siregar P, Aniwidyaningsih, W, dkk. Gangguan
Keseimbangan Air, Elektrolit dan Asam Basa. Edisi 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2010
Siregar P. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi 4, Jilid I. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006 : 529-37
Brenner R, Rector H, Livine AS. The Kidney. 7th ed. Pennsylvania: Elsevier; 2004: 775-1064
Shea MA, Hammil GB, Curtis HL, Szczech AL, Schulman AK et al. Medical Cost of Abnormal
Serum Sodium Levels. J Am Soc Nephrol 2008; 19: 764-70,
Stelfox TH, Ahmed BS, Khandwala F, Zygun D, Shahpory R, Laupland K. The Epidemiology of
Intensive Care Unit-acquired hyponatremia and Hyperatremia in Medical-surgical Intensive Care
Units. Critical Care. 2008; 12 (6): 1-8
Thompson JC. Hyponatremia : New Association and New Treatment. European Journal of
Endocrinology. 2010; 162 : 161-3
Weiner DI, Wingo SC. Hypoklaemia – Consequences, Causes, and Correction. J Am Soc Nephrol.
2000; 13 : 1180-87
Martin, JK. Clinical Consequences and Management of Hypomagnesemia. J Am Soc Nephrol. 2009;
20: 2291-95
Ziegler R. Hypercalcemic Crisis. J Am Soc Nephrol. 2001; (12) S3-S9
Semenovskaya Z, Hypernatremia. [Internet] 2008 [Updated August 18, 2008; Cited November 15,
2010]. Available from: http://www.emedicine.com
Lederer E. Hyperkalemia. [Internet] 2010 [Updated March 19, 2010; Cited November 15, 2010].
Available from : http://www.emedicine.com
Dispopulous. Color Atlas of Physiology. 5th Ed. Stuttgart. AppleDruck; 2003
Guyton CA, Hall EJ. Text Book of Medical Physiology 11th ed. Pensylvania: McGrawHills; 2006:
348-81
Mardiana N. Dissoreder of Potassium Metabolism. In Book of Annual Meeting Pernefri 2009.
Pernefri; Jakarta: 2009
Bindels JMR. 2009 Homer Smith Award : Minerals in Motion: From New Ion Transporters to New
Conceots. J Am Soc Nephrol 2008; 19: 764-770
Orson W, Bony O. Genetic Hypercalciuria. J Am Soc Nephrol. 2005; 16: 729-45
Fauci SA, Braunwald E, Kasper LD, Hauser LS, Longo LD, Jameson LJ, et al. Electrolites and Fluid
Balances. In Harrison’s Manual of Medicine. 17th ed. New York: McGraw-Hill; 2009: 3-21
Adrogue JH, Madias EN. Hyponatremia. N Engl J Med 2000; 342 (21): 1581-89
Adrogue JH, Madias EN. Hypernatremia. N Engl J Med 2000; 342 (21): 1493-99
Weiner DI, Wingo SC. Hyperkalemia : A Potential Silent Killer. J Am Soc Nephrol. 1998; 9: 1535-43
Grabber AM. Terapi Cairan, Elektrolit dan Metabolik. Edisi ke 2. Jakarta: Framedia; 2003
Urbano LF. Sign of Hypocalcemia : Chvostek’s and Trousseau’s Sign. Hospital Physician. 2000 : 43-
45
Agraharkar M. Hypercalcemia. [Internet] 2010. [Update: March 2010; Cited: November 2010]
available from: http://www.emedicine.com
Agus SZ. Hypomagnesemia. J Am Soc Nephrol. 1999; 10: 1616-22
Vaidya C, Ho W, Freda JB. Management of Hyponatremia : Providing Treatment and Avoiding
Harm. Cleve Clin J Med. October 2010; 77 (10): 715-25

Anda mungkin juga menyukai