Anda di halaman 1dari 41

REFERAT

ILMU KESEHATAN KELAUTAN


PENGARUH TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK TERHADAP
SEL BETA PANKREAS

Pembimbing :
Letkol Laut (K/W) Dr. dr. Titut Harnanik, M. Kes

Penyusun :
Febrina Anindya Putri Utami 2021.04.2.0068
Firly Syafa Aprillianti 2021.04.2.0069
Fresya Tamara Nilamsari 2021.04.2.0070

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
LEMBAGA KESEHATAN KELAUTAN TNI ANGKATAN LAUT
DRS. MED. R. RIJADI SASTROPANOELAR, PHYS.
2022
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

PENGARUH TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK TERHADAP


SEL BETA PANKREAS

Penyusun :
Febrina Anindya Putri Utami 2021.04.2.0068
Firly Syafa Aprillianti 2021.04.2.0069
Fresya Tamara Nilamsari 2021.04.2.0070

Telah diperiksa, disetujui, dan diterima sebagai salah satu tugas dalam rangka
menyelesaikan studi Kepaniteraan Klinik di bagian LAKESLA Drs. Med. R.
Rijadi S., Phys.

Surabaya, 8 Februari 2023


Pembimbing

Letkol Laut (K/W) Dr. dr. Titut Harnanik, M. Kes

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan karunia-Nya, penyusun dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Pengaruh Terapi Oksigen Hiperbarik Terhadap Sel Beta Pankreas”. Adapun
penyusunan referat ini dilaksanakan dalam rangka memenuhi salah satu tugas
Kepaniteraan Klinik di bagian LAKESLA Drs. Med. R. Rijadi S., Phys.
Ucapan terima kasih penyusun sampaikan kepada Letkol Laut (K/W) Dr.
dr. Titut Harnanik, M. Kes selaku dokter pembimbing sehingga penyusun dapat
menyelesaikan referat ini dengan baik.
Kami menyadari bahwa penyusunan tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penyusun memohon maaf jika dalam penulisan
referat ini terdapat kesalahan. Demikian referat ini dibuat dengan harapan semoga
dapat memberikan manfaat bagi penyusun maupun pembaca.

Surabaya, 8 Februari 2023

Penyusun

2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN 1
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
DAFTAR TABEL 3
DAFTAR GAMBAR 3
BAB 1 4
1.1. Latar Belakang 4
BAB 2 6
2.1. Terapi Oksigen Hiperbarik 6
2.1.1. Pengertian TOHB 6
2.1.2. Aspek Fisiologis TOHB 7
2.1.3. Hukum Fisika yang Berlaku pada TOHB 8
2.1.4. Ruang Udara Bertekanan Tinggi 9
2.1.5. Indikasi TOHB 12
2.1.6. Kontraindikasi TOHB 13
2.1.7. Efek TOHB 16
2.1.8. Komplikasi TOHB 17
2.2. Pulau Langerhans Pankreas 17
2.2.1. Struktur Sel β Pankreas 18
2.2.2. Fungsi Sel β Pankreas 18
2.2.3. Proliferasi Sel β Pankreas 19
2.2.4. Apoptosis Sel β Pankreas 19
2.2.5. Pancreatic Duodenal Homebox 1 (PDX1) 20
2.2.6. Extracellular Signal-Regulated Kinase 1/2 (ERK1/2) 20
2.2.7. Famili Beta Cell Lymphoma 2 (BCL 2) 21
2.2.8. BCL2 associated X protein (BAX) 22
2.2.9. Caspase 24
2.2.10. PARP1-inhibitor 26
2.2.11. c-Jun N-terminal Kinase (JNK) 26
2.3. Nitrit Oksida 28
2.4. Pengaruh HBOT terhadap Sel β Pulau Langerhans Pankreas 28
2.4.1. Morfologi 30

3
2.4.2. Apoptosis 30
BAB 3 22
3.1. Kerangka Konseptual 22
BAB 4 22
4.1. Kesimpulan 22
DAFTAR PUSTAKA 23

4
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Tipe Chamber Hiperbarik 6


Tabel 2 Indikasi Terapi TOHB 9
Tabel 3 Perubahan Biokimia pada Tingkat Sel dari TOHB 13
Tabel 4 Komplikasi dan Efek Samping TOHB 14
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Monoplace Chamber 7


Gambar 2 Multiplace Chamber 8
Gambar 3 Sel Pulau Langerhans Pankreas 18
Gambar 4 ERK 1/2 20
Gambar 5 GLUT 22
Gambar 5 Keluarga Protein BCL-2 24
Gambar 6 Jalur Pensinyalan Keluarga Protein BCL-2 25
Gambar 7 BAX 26
Gambar 8 Caspase 27
Gambar 9 JNK 28
Gambar 10 NO 29
Gambar 11 Efek THBO terhadap Morfologi Sel β Pankreas 31
Gambar 12 Efek THBO terhadap Apoptosis Sel β Pankreas 31
Gambar 13 Efek THBO terhadap Ekspresi GLUT2 33
Gambar 13 Kerangka Konseptual 34

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Terapi Oksigen Hiperbarik (TOHB) adalah suatu pendekatan terapeutik di
mana oksigen 100% diberikan dalam periode waktu tertentu di bawah tekanan
atmosfer yang lebih besar dari 1,4. Dalam kondisi normal, sekitar 97% oksigen
dalam darah diangkut ke jaringan oleh hemoglobin, sedangkan 3% terlarut dalam
plasma. Pada tekanan atmosfer normal, hemoglobin dalam darah arteri bersifat
jenuh. Tekanan parsial oksigen di dalam darah arteri sekitar 100 mmHg di
permukaan laut, sedangkan dengan pemberian TOHB dapat meningkat hingga
2.000 mmHg (Kahraman and Yaman, 2021).
TOHB sendiri digunakan untuk mengobati kondisi medis seperti infeksi
jaringan lunak, kerusakan jaringan akibat radiasi, luka bakar, kehilangan
pendengaran mendadak, dan keracunan karbon monoksida. Karena berbagai
alasan, metode pengobatan ini mempercepat transisi oksigen ke jaringan yang
rusak dan merangsang sintesis kolagen, angiogenesis, respon imun, dan migrasi
sel punca. Hal inilah yang dapat mempercepat penyembuhan jaringan rusak
(Kahraman and Yaman, 2021). 
Sel beta pankreas adalah sel endokrin yang mensintesis, menyimpan, dan
melepaskan insulin, hormon anti-hiperglikemik yang memusuhi glukagon,
hormon pertumbuhan, glukokortikosteroid, epinefrin, dan hormon hiperglikemik
lainnya untuk mempertahankan konsentrasi glukosa yang bersirkulasi dalam
kisaran fisiologis yang sempit. Apoptosis sel β pankreas merupakan ciri patologis
yang umum terjadi pada diabetes melitus tipe 1 (T1DM) dan T2DM. Meskipun
jarang terjadi, pada kondisi yang sudah parah penderita T2DM dapat mengalami
resistensi insulin dengan obesitas viseral yang menyebabkan efek toksisitas
glukosa dan mempercepat kematian sel β melalui apoptosis. Di antara dua jalur
apoptosis, termasuk jalur ekstrinsik (dimediasi reseptor) dan intrinsik (digerakkan
mitokondria), jalur ekstrinsik diaktifkan setelah ligasi reseptor kematian
permukaan sel, yang pada gilirannya mengaktifkan mekanisme downstream
effector yang diatur oleh keluarga caspase dari protease sistein.

4
Salah satu penyebab apoptosis sel β pankreas adalah akibat dari Nitrit Oksida.
Stres oksidatif adalah penyebab utama degenerasi sel β pankreas dan hilangnya
progresivitas sel β sebagai penghasil insulin yang merupakan ciri patogenik dari
diabetes tipe-1 dan tipe-2. Hal ini dibuktikan oleh beberapa penelitian yang
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan proliferasi dan menurunnya apoptosis
dari sel β pankreas setelah pemberian TOHB.  Namun, masih jarang sekali yang
dapat menjelaskan mekanisme biomolekuler TOHB terhadap sel β pankreas
terutama pada penderita T2DM. Oleh karena itu, referat ini dibuat dengan tujuan
untuk mendalami mekanisme biomolekuler yang terjadi sehingga dapat
memberikan pemahaman lebih terkait peranan TOHB terhadap proliferasi dan
apoptosis sel β pankreas.

5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Terapi Oksigen Hiperbarik


2.1.1. Pengertian TOHB
Terapi Oksigen Hiperbarik (TOHB) adalah pendekatan terapeutik
dengan memanfaatkan paparan konsentrasi oksigen (O2) murni atau O2
100% yang digabungkan dengan penambahan tekanan atmosfer. Menurut
Undersea and Hyperbaric Medical Society, tekanan ini mungkin sama
dengan atau melebihi 1,4 atmosfer (atm). Dalam pelaksanaannya, terapi ini
mengharuskan pasien menghirup 100% oksigen saat berada di dalam ruang
bertekanan minimal 2 ATA (Ortega, M.A. et al., 2021).
Biasanya, terapi melibatkan tekanan antara 2,0 hingga 2,5 ATA yang
setara dengan ~250 kPa/inci2 atau sama dengan tekanan pada kedalaman
~15 m di dalam air. Durasi pengobatan bervariasi dari 45 hingga 300 menit
tergantung pada indikasi yang telah diresepkan TOHB dengan sebagian
besar sesi perawatan berlangsung dari 90 hingga 120 menit. Pada indikasi
akut, mungkin diperlukan hanya 1 atau 2 sesi perawatan, sedangkan kondisi
medis kronis mungkin diperlukan hingga 30 atau lebih sesi perawatan
(Hajhosseini, B. et al., 2020).

2.1.2. Aspek Fisiologis TOHB


Dalam kondisi normal di permukaan laut, udara terdiri dari sekitar
21% oksigen yang menghasilkan tekanan oksigen alveolar (PAO2) sekitar
100 mmHg. Pada kondisi ini, hemoglobin plasma hampir seluruhnya
bersifat jenuh dengan sedikit oksigen yang terlarut dalam plasma,
sedangkan pada kondisi hiperbarik nilai PAO2 meningkat menjadi 2.280
mmHg. Menurut hukum Henry, kandungan oksigen gabungan dalam darah
utuh meningkat menjadi 23,0 mL O2/dL. Peningkatan 42% dari baseline ini

6
hampir seluruhnya berasal dari peningkatan kadar oksigen terlarut dalam
plasma. Tubuh menggunakan oksigen untuk pembentukan adenosin trifosfat
(ATP) atau molekul yang bertanggung jawab untuk transfer energi
intraseluler melalui proses yang disebut respirasi seluler. Manusia
menggunakan sekitar 6 mL O2/dL darah untuk mempertahankan
metabolisme (Kahle, A.C. dan Cooper, J.S., 2022).
Kondisi kekurangan oksigen di jaringan (hipoksia) dapat disebabkan
oleh gangguan perfusi, gangguan ventilasi, masalah dalam difusi gas di
paru-paru, rendahnya suplai darah (iskemia), atau gangguan pengiriman O2.
Hipoksia sebagian besar menginduksi stres patologis yang berkaitan dengan
munculnya spektrum penyakit yang luas. Pada kondisi lingkungan
hiperbarik, oksigen murni memungkinkan peningkatan pasokan oksigen
yang signifikan ke darah (hiperoksemia) dan ke jaringan (hiperoksia)
bahkan tanpa kontribusi dari Hb. Dengan demikian, HBOT memberikan
banyak efek pada organisme dan dapat digunakan untuk memperbaiki
hipoksia jaringan, hipoksemia kronis, serta membantu manajemen klinis
berbagai proses patologis termasuk penyembuhan luka, nekrosis, atau
cedera reperfusi. Dari perspektif molekuler, PO2 yang tinggi dalam jaringan
mengindikasikan peningkatan produksi spesies oksigen reaktif (ROS) dan
spesies nitrogen reaktif (RNS). Perubahan ini menyebabkan banyak efek
pada organisme, termasuk sintesis faktor pertumbuhan yang berbeda,
peningkatan neovaskularisasi, dan sebagai imunomodulator. Selain itu,
HBOT meningkatkan faktor induksi hipoksia (HIF) melalui jalur ROS/ RNS
dan extracellular regulated kinase (ERK1 / ERK2). Produksi ROS dan RNS
yang berlebih pada kondisi hiperoksia dapat menyebabkan munculnya stres
oksidatif, kerusakan DNA, gangguan metabolisme, disfungsi endotel, cedera
paru akut, dan neurotoksisitas. Oleh karena adanya ragam karakteristik dari
HBOT, penerapan prosedur ini memiliki indikasi dan kontraindikasi
(Ortega, M.A. et al., 2021).

7
2.1.3. Hukum Fisika yang Berlaku pada TOHB
Berikut merupakan prinsip dasar dari TOHB menurut ( Jones, M.W. et
al., 2022) :

1. Hukum Boyle
Hukum Boyle (PV=PV) sangat penting untuk dipahami dalam
pengobatan hiperbarik karena merupakan dasar dalam patofisiologi
barotrauma, peningkatan kerja pernapasan di kedalaman, dan
penggunaan TOHB. Jika suhu tetap konstan, maka volume gas
berbanding terbalik dengan tekanan absolut. Jika tekanan ambien
meningkat (yaitu penurunan dalam air, rekompresi di ruang
hiperbarik), maka volume gas dalam ruang tubuh yang berisi gas akan
berkurang. Jika tekanan lingkungan diperkecil, maka volume gas akan
memuai. Hal ini dapat mengakibatkan barotrauma. 

2. Hukum Dalton
Hukum Dalton (P = P + P + … P) menyatakan bahwa tekanan total
yang diberikan oleh campuran gas sama dengan jumlah tekanan yang
akan diberikan oleh masing-masing gas jika gas itu sendiri menempati
volume total. Jadi, tekanan parsial suatu gas (P = P x %) adalah bagian
dari tekanan total campuran gas yang disumbangkan oleh satu gas.
Misalnya, jika seorang penyelam menghirup campuran 40% oksigen
pada 2 ATA, tekanan parsial oksigen akan menjadi 0,8 ATA.

3. Hukum Henry
Hukum Henry mengacu pada fakta bahwa jumlah gas yang akan larut
dalam cairan berbanding lurus dengan tekanan parsial gas tersebut di
atas cairan. Peningkatan tekanan lingkungan (dan dengan demikian
tekanan parsial) menghasilkan lebih banyak gas yang larut ke dalam
bagian cair darah dan jaringan.

4. Hukum Charles
Hukum Charles (V/T = V/T) mengacu pada fakta bahwa volume gas
akan bervariasi secara langsung dengan suhu absolut jika tekanan

8
dijaga konstan. Jika suhu mutlak dinaikkan, maka volume gas akan
meningkat.

2.1.4. Ruang Udara Bertekanan Tinggi


Fasilitas utama yang diperlukan untuk terapi hiperbarik tentu saja
adalah ruang hiperbarik (chamber) itu sendiri. Ruang ini berupa ruang udara
bertekanan tinggi (RUBT) yang dibuat untuk menahan tekanan sehingga
oksigen dapat diberikan di dalamnya pada tekanan lebih besar dari
permukaan laut. Adapun klasifikasi tipe chamber sebagai berikut :
No. Tipe
1. Monoplace
2. Multiplace
3. Mobile atau portable
- Monoplace : dapat dipindahkan melalui udara, laut, dan darat
- Multiplace : dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain
4. Chamber untuk latihan penyelam
5. Small hyperbaric chamber
- Untuk neonatus
- Untuk percobaan pada hewan
Tabel 1 Tipe Chamber Hiperbarik
(Sumber : Jain, 2017)
A. Monoplace Chambers
Monoplace chambers adalah ruang yang paling sering digunakan.
Sebagian besar tidak dapat diberikan tekanan lebih dari 3 ATA. Desain
chamber ini sangat ideal untuk pasien yang tidak memerlukan kehadiran
petugas medis di dalam chamber.
Keuntungan :
1. Penanganan pasien secara individual. Untuk kepentingan privasi,
kasus infeksi, atau isolasi
2. Ideal untuk ruang pemulihan dan transfer pasien antar departemen di
dalam rumah sakit
3. Nyaman. Tidak perlu masker oksigen dan tidak ada bahaya kebocoran
oksigen.
4. Ideal untuk pasien yang hanya bisa di tempat tidur akibat stadium akut
penyakit atau cedera (misalnya, paraplegia)

9
5. Mudah untuk observasi pasien di dalam chamber
6. Tidak memerlukan prosedur dekompresi khusus
7. Harga dan ruang ekonomis. Dapat dipindahkan dan diletakkan dengan
mudah di manapun di rumah sakit
8. Tidak butuh banyak operator (Jain, 2017).

Kerugian :
1. Potensi bahaya kebakaran di tempat yang terisi oksigen
2. Akses langsung ke pasien terbatas, kecuali bila ada ruang samping
untuk petugas
3. Ventilator yang tersedia kurang canggih dan membutuhkan relaksan
otot serta sedasi berlebih
4. Penggunaan kateter intravena harus diganti dengan pompa intravena
khusus yang dipasang di luar chamber dengan risiko obat yang
masuk tidak akurat
5. Tidak dapat dilakukan terapi fisik karena luas ruangan terbatas
6. Sulit untuk air brake pada pasien decompression sickness kecuali
bila pasien dalam kondisi sadar, kooperatif, dan dapat memasang
masker sendiri (Jain, 2017).

Gambar 1 Monoplace Chamber


(Sumber : Jain, 2017)

10
B. Multiplace Chambers
Multiple chambers digunakan untuk terapi beberapa pasien sekaligus.
Kapasitasnya bervariasi dari beberapa hingga paling banyak 20 pasien.
Chamber ini diisi dengan udara dan pernafasan dilakukan melalui masker
yang menutupi mulut dan hidung.

Keuntungan :
1. Memungkinkan terapi pasien dalam jumlah besar sekaligus
2. Penting untuk perawatan yang membutuhkan kehadiran dokter dan
peralatan khusus
3. Potensi kebakaran lebih kecil
4. Terapi fisik dapat dilakukan di dalam chamber
5. Tekanan dapat ditingkatkan hingga 6 ATA untuk situasi khusus pada
emboli gas dan decompression sickness
6. Cocok untuk terapi di ICU (Jain, 2017).

Gambar 2 Multiplace Chamber


(Sumber : Jain, 2017)

11
2.1.5. Indikasi TOHB
Indikasi TOHB bervariasi di tiap negara. Indikasi yang disetujui oleh
Undersea and Hyperbaric Medical Society sangat terbatas dan
mengandalkan bukti efektivitas TOHB berdasarkan studi penelitian.
No. Indikasi
1. Emboli gas atau udara
2. Keracunan karbon monoksida dan keracunan karbon monoksida
yang diperumit oleh keracunan sianida
3. Clostridial myonecrosis (gas gangrene)
4. Gangguan cangkok kulit (skin graft dan flaps)
5. Crush injury, compartement syndrome, dan traumatik iskemia
lainnya
6. Decompression sickness
7. Mempercepat penyembuhan luka yang bermasalah
8. Anemia akibat kehilangan darah
9. Abses intrakranial
10. Infeksi jaringan lunak nekrosis (jaringan subkutan, otot, atau
11. fascia)
12. Kerusakan jaringan akibat radiasi (osteoradionekrosis)
13. Osteomyelitis
14. Gangguan pendengaran sensorineural
Luka bakar
Tabel 2 Indikasi Terapi TOHB
(Sumber : Jain, 2017)

2.1.6. Kontraindikasi TOHB


Terdapat dua jenis kontraindikasi TOHB, yakni kontraindikasi absolut
dan relatif.

A. Kontraindikasi Absolut
Hanya ada satu kontraindikasi absolut untuk TOHB, yaitu
pneumotoraks yang tidak diobati. Menempatkan pasien di suatu ruang dan
mengubah tekanan di sekitar mereka dapat mengakibatkan ketegangan
pneumotoraks yang mengancam jiwa. Setiap pasien dengan pneumotoraks
harus dirawat sebelum melaksanakan terapi oksigen hiperbarik (Gawdi, R.
and Cooper, J.S., 2022).

B. Kontraindikasi Relatif

12
Berikut beberapa kontraindikasi relatif yang sebelumnya dianggap
sebagai kontraindikasi absolut :
● Doxorubicin dan TOHB yang digunakan secara bersamaan dapat
meningkatkan risiko kardiotoksisitas yang dimediasi doxorubicin.
Doxorubicin harus dihentikan setidaknya 24 jam sebelum TOHB.
● Bleomycin diketahui menyebabkan pneumonitis interstitial dan
fibrosis serta dianggap sebagai kontraindikasi absolut untuk TOHB
karena pada penelitian sebelumnya menunjukkan peningkatan risiko
efek samping ketika digunakan dengan oksigen rumah tambahan.
Namun, studi terbaru telah membuktikan bahwa banyak pasien yang
dapat diobati dengan aman menggunakan TOHB, terutama jika
paparan bleomycin lebih dari 6 bulan. Evaluasi sebelum terapi dengan
pemeriksaan radiografi, gas darah, dan spirometri diperlukan untuk
menentukan apakah TOHB aman dilakukan.
● Disulfiram melalui blokade superoksida dismutase dapat
meningkatkan risiko toksisitas oksigen (kejang dan toksisitas paru)
sehingga tidak boleh digunakan secara bersamaan.
● Cisplatin merupakan kontraindikasi relatif karena dapat mengganggu
penyembuhan luka dan membuat perawatan sia-sia. Obat ini bukan
kontraindikasi absolut karena tidak ada peningkatan risiko atau
keparahan efek samping.
● Mafenida dapat mengakibatkan produksi karbon dioksida lokal yang
menyebabkan asidosis.

Berikut beberapa kondisi yang sudah lama dianggap sebagai


kontraindikasi relatif :
● Penyakit paru obstruktif kronik merupakan kontraindikasi relatif
karena risiko hiperkarbia. Fraksi oksigen tinggi yang meningkatkan
tingkat saturasi oksigen darah dapat menyebabkan hipoventilasi yang
diinduksi oksigen dan peningkatan mismatch ventilasi/perfusi (V/Q).
● Asma dapat menyebabkan terjadinya air trapping dan barotrauma
paru. Bleb paru asimptomatik dan bullae yang ditemukan pada foto

13
polos dada juga menjadi kontraindikasi relatif karena berpotensi
menyebabkan air trapping yang berprogresi menjadi pneumotoraks.
● Perangkat implan harus diuji terhadap tekanan untuk menentukan
keamanan dan kemampuannya berfungsi di lingkungan bertekanan
tinggi.
● Pasien dengan pompa nyeri epidural berisiko mengalami kerusakan
perangkat.
● Kehamilan memenuhi syarat sebagai kontraindikasi relatif karena
efek yang belum diketahui pada janin. Studi terbaru menyatakan
bahwa kehamilan dapat menjadi indikasi dalam keadaan tertentu.
Wanita hamil dapat memperoleh manfaat dari TOHB bila mengalami
keracunan karbon monoksida (CO). Oleh karena afinitas tinggi
hemoglobin janin terhadap oksigen dan CO, TOHB dapat
meningkatkan perbaikan janin pada keracunan CO.
● Demam tinggi atau epilepsi dapat menurunkan ambang kejang
sehingga membuat toksisitas oksigen lebih mungkin terjadi. Risiko
toksisitas oksigen yang diinduksi TOHB yang mengakibatkan kejang
pada pasien dengan peningkatan risiko kejang karena riwayat atau
operasi otak baru-baru ini tidak diketahui. Antiepilepsi dan
pengendalian demam dapat membantu meringankan risiko ini.
● Ketidakmampuan equalisasi telinga/ sinus akibat riwayat operasi
sebelumnya, radiasi, atau infeksi saluran pernapasan atas akut dapat
menyebabkan rasa sakit atau barotrauma.
● Disfungsi tabung eustachius meningkatkan risiko barotrauma ke
membran timpani. Pasien dianjurkan untuk menjalani latihan
equalisasi tekanan atau dilakukan tympanostomy sebelum TOHB.
● Claustrophobia mungkin merupakan kontraindikasi, tergantung pada
tingkat keparahan, kontrol adekuat dengan anxiolytics, dan ukuran
ruangan. Pada kasus yang parah dapat menjadi kontraindikasi absolut
bila pasien membahayakan diri mereka sendiri atau tender di ruangan.

14
● Operasi mata bisa menjadi masalah jika ada udara atau gas yang
terperangkap di mata, karena ekspansi / kontraksi gas dapat merusak
mata.
● Riwayat operasi toraks dapat meningkatkan risiko atelektasis dan
pneumotoraks.
● Riwayat pneumotoraks spontan adalah kontraindikasi relatif dan
memerlukan evaluasi lebih lanjut sebelum memulai TOHB.
● Infeksi saluran pernapasan atas dan infeksi sinus berat
meningkatkan barotrauma sinus dan telinga bagian dalam, sehingga
dapat menyebabkan komplikasi lebih lanjut dan ketidaknyamanan
bagi pasien.
● Lesi paru asimptomatik pada rontgen dada harus dievaluasi
sebelum melanjutkan untuk menentukan etiologi yang mendasarinya.
● Riwayat neuritis optik atau kebutaan mendadak merupakan
kontraindikasi relatif untuk menjalani TOHB. Meskipun penelitian
masih terbatas, namun TOHB telah terbukti memberikan manfaat
terapeutik kepada pasien dengan neuritis optik yang diinduksi radiasi,
oklusi arteri retina sentral, oklusi vena retina, edema makula, dan lain-
lain. Oleh karena itu, pasien dengan riwayat patologi oftalmologis
harus dievaluasi secara klinis untuk menentukan potensi risiko dan
manfaatnya.
● Diabetes mellitus tergantung pada terapi insulin/ hipoglikemia
akut adalah kontraindikasi relatif untuk TOHB karena hipoglikemia
yang diinduksi terapi. Butuh pemantauan kadar glukosa supaya dapat
melakukan TOHB dengan aman pada pasien diabetes.
● Penggunaan/ kecanduan nikotin dan kafein adalah kontraindikasi
sebelum TOHB. Vasokonstriksi yang disebabkan oleh agen-agen ini
mengurangi efektivitas terapi. Untuk alasan yang sama, agen
vasokonstriksi terlarang seperti kokain atau amfetamin juga
dikontraindikasikan.
● Sferositosis kongenital dianggap berbahaya karena peningkatan
tekanan parsial oksigen dapat menyebabkan hemolisis.

15
● Fistula perilymph yang terjadi akibat barotrauma telinga bagian
dalam menyebabkan vertigo dan gejala vestibular lainnya. Kondisi ini
diperburuk oleh TOHB karena gas dipaksa masuk ke dalam koklea
(Gawdi, R. and Cooper, J.S., 2022).
2.1.7. Efek TOHB
Pada tingkat sel sekitar 80% oksigen dimanfaatkan oleh mitokondria
yang merupakan power house sel, sementara sebanyak 20% sisanya
digunakan oleh organel lain. Mitokondria membutuhkan oksigen untuk
menerima elektron di ujung rantai transpor elektron dan memanfaatkan
energi tersebut untuk membuat adenosin trifosfat. Hipoksia menyebabkan
peningkatan stres oksidatif yang menghasilkan radikal bebas reaktif oksigen
dan nitrogen.  Radikal bebas oksigen dan nitrogen sangat beracun bagi sel
hingga mengakibatkan kerusakan, kematian sel, serta apoptosis. TOHB
membantu memperbaiki kondisi hipoksia dengan meningkatkan pengiriman
oksigen yang memicu aktivitas antimikroba dan melemahkan faktor yang
memediasi hipoksia. TOHB juga dapat mengurangi pembentukan stres
oksidatif, meningkatkan kemampuan tubuh untuk penyembuhan,
vasokonstriksi, dan angiogenesis sehingga dapat mengurangi peradangan.
Oksigen hiperbarik memisahkan karbon monoksida dari sitokrom C
oksidase dan meningkatkan transpor elektron. Tekanan terapeutik yang
digunakan dalam TOHB mulai dari 1,5 hingga 3,0 atm (1 atm = 101, 325
kPa) (Sen S. and Sen S., 2021).
No. Perubahan Biokimia
1. Terapi oksigen hiperbarik membantu angiogenesis yang
mempercepat penyembuhan luka
2. Peningkatan konsentrasi oksigen membunuh bakteri anaerob
3. Mencegah produksi spesies clostridial α toxin dan pseudomonas
4. Membantu memulihkan bakteri pembunuh yang dimediasi
5. neutrofil
6. Mengurangi adhesi leukosit pada cedera reperfusi
Mencegah pelepasan radikal bebas dan protease yang
menyebabkan vasokonstriksi dan kerusakan sel
Tabel 3 Perubahan Biokimia pada Tingkat Sel dari TOHB
(Sumber : Sen S. and Sen S., 2021)

16
2.1.8. Komplikasi TOHB
No. Komplikasi dan Efek Samping
1. Kerusakan parah pada paru-paru akibat perubahan kapasitas paru-
paru sehingga terjadi emfisema subkutan dan perdarahan
intrapulmonal
2. Barotrauma telinga akibat peningkatan tekanan udara di telinga
tengah yang tidak dapat disamakan dengan tekanan eksternal
sehingga gendang telinga terdorong ke dalam, menyebabkan rasa
sakit dan mungkin dapat pecah hingga menyebabkan gangguan
pendengaran
3. Penumpukan cairan berlebih dapat merusak telinga tengah
4. Terjadi perubahan patologi sinus akibat barosinusitis yang
menyebabkan epistaksis
5. Perubahan penglihatan, menyebabkan myopia
6. Barodontalgia/ odontocrexis (nyeri pada gigi akibat perubahan
tekanan atmosfer)
7. Akumulasi cairan di dalam paru-paru
8. Perubahan aktivitas listrik di otak dapat menyebabkan kejang
Tabel 4 Komplikasi dan Efek Samping TOHB
(Sumber : Sen S. and Sen S., 2021)

2.2. Pulau Langerhans Pankreas


Pulau Langerhans terdiri dari berbagai jenis sel endokrin yang tersebar di
seluruh parenkim pankreas. Sel endokrin tersebut diantaranya adalah 60% sel β
yang memproduksi hormon insulin, 30% sel α yang memproduksi hormon
glukagon, dan 10% lain adalah gabungan dari sel δ yang memproduksi
somatostatin dan γ atau sel yang memproduksi PP (pancreatic polypeptide) serta
sel ε yang memproduksi hormon ghrelin. Hilangnya massa dari sel β pankreas
dapat menimbulkan perubahan fisiologis yang dapat menyebabkan beberapa
penyakit termasuk diabetes mellitus (Da Silva Xavier, 2018).

17
Gambar 2.2 Sel pulau Langerhans pankreas dan hormon yang dihasilkannya (Da Silva Xavier, 2018).

2.2.1. Struktur Sel β Pankreas


Sel β adalah sel endokrin pertama yang muncul di pankreas
manusia pada usia kehamilan 7,5-8 minggu, yaitu sekitar 3 minggu setelah
pembentukan awal tunas pankreas dorsal dan ventral. (Pan dan Brissova,
2014). Faktor transkripsi NGN3 diperlukan untuk mengubah sel
progenitor menjadi fenotipe sel endokrin. Ekspresi NGN3 memuncak pada
akhir trimester pertama dan menghilang sekitar minggu ke-35 kehamilan.
Pada minggu awal kehamilan pankreas janin manusia (8-11 minggu), sel-
sel yang mengekspresikan NGN3 dan PDX1, NGN3 dan insulin, NGN3
dan glukagon telah diamati (Marchetti et al., 2017).

2.2.2. Fungsi Sel β Pankreas


Sel β pankreas penting untuk mempertahankan homeostasis glukosa
sistemik dengan memproduksi insulin. Pada diabetes melitus tipe 1 (T1DM)
dan diabetes melitus tipe 2 (T2DM), massa sel β yang berkurang dan atau
tidak adekuat menyebabkan sekresi insulin yang tidak mencukupi
mengakibatkan tingginya kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia). Pada
diabetes melitus tipe 2, kombinasi resistensi insulin akibat obesitas dan
gangguan fungsi, serta lamanya durasi T2D menyebabkan massa dan fungsi
sel β semakin menurun (Zhong and Jiang, 2019).

18
2.2.3. Proliferasi Sel β Pankreas
Sel β adalah sel endokrin pertama yang muncul di pankreas manusia
pada usia kehamilan 7,5-8 minggu, yaitu sekitar 3 minggu setelah
pembentukan awal tunas pankreas dorsal dan ventral. (Pan dan Brissova,
2014). Replikasi sel β pankreas melambat dan berhenti setelah melewati
masa tersebut. Setelah berdiferensiasi dari progenitor selama perkembangan
pada masa janin, sel β awal berkembang melalui proliferasi. Proliferasi dan
diferensiasi penting untuk mempertahankan massa sel β pankreas agar dapat
mempertahankan kadar insulin dalam tubuh. Faktor yang mengontrol
jumlah sel β meliputi replikasi sel β yang ada, diferensiasi sel β baru dari
duktus dan sel prekursor ekstra-pulau Langerhans, pembentukan sel β baru
dari sel endokrin lain, dan apoptosis sel β (Ji et al., 2022). Pada pankreas
manusia dewasa, pemeliharaan identitas sel beta dikaitkan dengan adanya
faktor transkripsi kunci khususnya PDX1, FOXO1, MAFA, NKX6.
Perubahan ekspresi dan/atau lokalisasinya mengalami de-diferensiasi sel
beta, yaitu regresi ke keadaan seperti sel progenitor pada individu dengan
diabetes melitus tipe 2 (T2DM) (Marchetti et al., 2017).

2.2.4. Apoptosis Sel β Pankreas


Apoptosis memainkan peran penting dalam patofisiologi Diabetes
Mellitus Tipe 2 (T2DM). Etiologi T2DM adalah multifaktorial, termasuk
resistensi insulin terkait obesitas, sekresi insulin yang rusak, dan hilangnya
massa sel β melalui apoptosis sel β. Sekresi insulin yang tidak mencukupi
dapat menyebabkan hiperglikemia kronis. Pada kondisi hiperglikemia
keseimbangan protein Bcl-2 pro-apoptosis (Bad, Bid, Bik, dan Bax) dan
keluarga Bcl anti-apoptosis (Bcl-2 dan Bcl-xL) serta mediasi kaskade
keluarga caspase berperan penting terhadap apoptosis in vitro islets
terisolasi dan kultur sel insulinoma. Apoptosis hanya dapat terjadi ketika
konsentrasi Bcl-2 pro-apoptosis melebihi konsentrasi protein anti-apoptosis
pada membran mitokondria jalur intrinsik. Poli (ADP-ribosa) polimerase-1
(PARP1), enzim perbaikan DNA fundamental, diketahui mengatur kematian
sel β, replikasi, dan sekresi insulin (Tomita, 2016).

19
2.2.5. Pancreatic Duodenal Homebox 1 (PDX1)
PDX1 dikenal juga sebagai insulin promotor factor-1 adalah faktor
transkripsi pada kluster gen paraHOX PDX1 mengatur perkembangan
embrionik awal pankreas dan diferensiasi dari sel beta pulau langerhans
pancreas penghasil insulin dari kompartemen endokrin. PDX1 adalah
marker paling awal dan faktor transkripsi untuk diferensiasi pankreas.
Pankreas awal terdiri dari sel-sel progenitor pankreas Pdx1+ yang bersama-
sama mengekspresikan Hlxb9, Hnf6, Ptf1a dan NKX6-1. Sel-sel ini
berproliferasi dan merespons pensinyalan FGF-10. Setelah itu, fating sel
pankreas dimulai; populasi sel memiliki pensinyalan notch inhibisi, dan
selanjutnya, mengekspresikan Ngn3+. Populasi Ngn3+ ini adalah populasi
sementara dari progenitor endokrin pankreas yang akan menjadi sel α, β, Δ,
PP, dan ε cells pulau Langerhans pankreas (Oliver-Krasinski et al., 2009).

2.2.6. Extracellular Signal-Regulated Kinase 1/2 (ERK1/2)


ERK1 dan ERK2 merupakan protein terkait serin/treonin kinase yang
berpartisipasi dalam kaskade transduksi sinyal Ras-Raf-MEK-ERK
(Roskoski, 2017). ERK1/2 adalah jalur pensinyalan sentral yang mengatur
berbagai macam proses seluler terutama proliferasi, diferensiasi, dan
kelangsungan hidup, serta apoptosis dan respons stres (Shaul and Seger,
2007).

20
Gambar 2.2.6. Regulasi ERK1/2 dalam fungsi anti-apoptosis mereka. Aktivitas ERK1/2
diatur secara positif oleh fosforilasi MEK1/2 dan diatur secara negatif oleh ubiquitination
yang dimediasi MEKK1 dan aktivasi PP2A yang bergantung pada p38 (Shaul and Seger,
2007).

2.2.7. Famili Beta Cell Lymphoma 2 (BCL 2)


Keluarga protein BCL-2 adalah pengatur apoptosis yang bekerja
dengan cara menghambat (antiapoptosis) dan menginduksi (proapoptosis)
kematian sel. Mereka mengatur dan memediasi jalur apoptosis intrinsik
kematian sel dengan berbagai stresor pada mitokondria (Hardwick and
Soane, 2018). (A) Sinyal stres ini mengaktifkan pro-apoptosis BH-3
inisiator (merah), yang menghambat protein anti-apoptosis (hijau).
Memungkinkan efektor pro-apoptosis (biru) diaktifkan. Aktivasi protein
efektor menghasilkan oligomerisasi dan mitochondrial outer membrane
permeabilization (MOMP) selanjutnya, memungkinkan pelepasan faktor
apoptosis yang memulai kaskade kaspase dan tahap akhir penghancuran
seluler. (B) Protein Pro-apoptosis BH-3 mengikat anggota keluarga Bcl-2
anti-apoptosis dengan afinitas yang berbeda. BIM, PUMA, dan BID
berikatan kuat dengan semua protein Bcl-2 anti-apoptosis, sedangkan
BAD lebih disukai berikatan dengan BCL-2, BCL-X, dan BCL-W, dan
NOXA mengikat secara istimewa ke MCL-1 dan A1/BFL-1 (Adams et al.,
2019).

Gambar 2.2.7. BCL 2 Famili Protein antiapoptosis dan proapoptosis (Adams et al., 2019).

21
Gambar 2.2.7. Jalur pensinyalan BCL 2 Famili Protein antiapoptosis dan proapoptosis (Adams et al., 2019).

2.2.8. Glucose transporter (GLUT)


Serapan glukosa yang dimediasi GLUT merupakan elemen
penting dalam jalur sekresi insulin yang bergantung pada glukosa
dari sel-sel β. Setelah penyerapan melalui GLUTs, glukosa
difosforilasi oleh glukokinase dan dimetabolisme menjadi piruvat
selama glikolisis. Oksidasi mitokondria piruvat dalam siklus
trikarboksilat menghasilkan akumulasi ATP intraseluler, yang

22
memicu depolarisasi membran plasma dengan penutupan saluran
kalium (K+) yang bergantung pada ATP (KATP). Akibatnya saluran
kalsium berpagar tegangan (Ca2+) (VGCC) terbuka, yang mengarah
ke peningkatan Ca2+ sitoplasma ([Ca2+]i), yang menginduksi
eksositosis vesikel yang mengandung insulin. Pada sel β tikus,
penyerapan glukosa dimediasi oleh transporter glukosa afinitas
rendah GLUT2 (Km ~ 15-20 mmol/l). Kapasitas transportasinya
yang tinggi memfasilitasi keseimbangan antara kadar glukosa
ekstraseluler dan intraseluler dan memungkinkan sel-sel β
beradaptasi dengan cepat terhadap peningkatan konsentrasi glukosa.
Banyak penelitian saat ini berpendapat bahwa GLUT1 dan GLUT3
adalah pengangkut glukosa utama dalam sel β manusia. Solusi yang
mungkin untuk kontradiksi ini adalah adanya GLUTs tambahan
dengan afinitas rendah untuk glukosa, seperti GLUT4 yang
berkontribusi pada penyerapan glukosa sel β dan memungkinkan
peningkatan penyerapan glukosa pada konsentrasi glukosa lebih
tinggi dari 5 mmol/l (Berger dan Zdzieblo, 2020).

Gambar 2.2.8. Fisiologi sel β pada manusia dan tikus (Berger dan Zdzieblo, 2020).

23
2.2.9. BCL2 associated X protein (BAX)
BAX merupakan bagian dari keluarga protein BCL-2 hetero atau
homodimers. Bax memiliki kapasitas apoptosis yang kuat sehingga
menyebabkan perubahan potensial dan struktur membran mitokondria, dan
kemudian memicu respons apoptosis caspase-independen melalui jalur
mitokondria (Wang et al., 2016)

Protein pro- dan anti-apoptosis mitokondria adalah keluarga


protein B-cell lymphoma-2 (Bcl-2) dan keseimbangan di antara mereka
mengontrol apoptosis. Protein anti-apoptosis Bcl-2 dan Bcl-XL
menghambat pelepasan sitokrom c (cyt-c), sedangkan Bcl-2 associated
protein x (Bax), Bcl-2 homologous antagonist/killer (Bak), and BH3
interacting domain death agonist (Bid), semua protein pro-apoptosis,
mendorong pelepasannya dari mitokondria. Cyt-c dan deoxyadenosine
triphosphate (dATP) mengikat apoptotic protease activating factor (Apaf-
1) untuk membentuk kompleks multimerik yang merekrut dan
mengaktifkan procaspase 9, yang mengaktifkan caspase 3, menghasilkan
apoptosis sel (Musumeci et al., 2015).

Gambar 2.2.9. BCL2 associated X protein (BAX) dan hubungannya dengan apoptosis (Musumeci et al.,
2015).

24
2.2.10. Caspase
Caspase adalah protease spesifik asam aspartat yang mengandung
sistein sebagai zymogen dalam sitoplasma terlarut, retikulum endoplasma
(ER), ruang antar membran mitokondria, dan matriks nuklir. Caspase-3
adalah titik konvergen dari jalur apoptosis (Gambar 2) dan penghambat
peptidanya mencegah apoptosis islets. Apoptosis yang diinduksi oleh
ligasi reseptor permukaan sel seperti reseptor Fas (CD 95) atau tumor
necrosis factor (TNF) atau disebut juga “reseptor kematian”, mewakili
jalur yang dikendalikan oleh caspase. Pengikatan ligan pada reseptor
menyebabkan perakitan serangkaian protein dari kompleks pensinyalan
yang menginduksi kematian (DISC) dan kemudian mengaktifkan caspase
apikal yaitu procaspase-8. Peristiwa kaskade yang dihasilkan adalah
caspase-8 menginduksi aktivasi caspase-3. Salah satu protein ini bersifat
endonuklease yang bergantung pada caspase (caspase-activated DNase
[CAD]) dan dibebaskan dari penghambatnya (ICAD) oleh caspase-3 untuk
kemudian memotong DNA menjadi fragmen oligonukleosomal (180-bp)
sehingga terjadi apoptosis (Tomita, 2016).

25
Gambar 2.2.10. Jalur ekstrinsik dan intrinsik mengarah ke apoptosis melalui sitokrom c dan "apoptosom."
Jalur ekstrinsik: Pengikatan Fas-Fas L mengarah ke kompleks pensinyalan yang menginduksi kematian
(DISC) di mana kompleks DISC-caspase-8 diaktifkan dan mengarah ke aktivasi caspase-3. Jalur intrinsik:
Protein Bc pro-apoptosis (Bad, Bid, Bik, Bim) menjadi aktif dan mentranslokasi ke mitokondria, di mana
mereka mengikat atau menonaktifkan protein Bcl atau membentuk pori-pori di membran mitokondria, yang
memfasilitasi pelepasan sitokrom c ke dalam sitosol. Setelah sitokrom c terakumulasi dalam sitosol, ia
membentuk kompleks dengan apocaspase-9 dan Apaf-1 untuk membentuk "apoptosom", yang pada
gilirannya mengaktifkan caspase-3.

26
2.2.11. PARP1-inhibitor
Protein poli(ADP-ribosa) polimerase-1 (PARP1) adalah enzim yang
terlibat dalam berbagai respons kerusakan DNA mulai dari perbaikan
kerusakan DNA dan kelangsungan hidup sel hingga peradangan dan
kematian sel. PARP1 diaktifkan secara katalitik sebagai respons terhadap
kerusakan DNA untuk mengkonsumsi NAD dan membentuk polimer
ADP-ribosa (PAR) yang memodifikasi protein target kunci PARylate dan
secara sementara mengubah fungsinya sampai rantai PAR dihilangkan dari
protein (Dadheech et al., 2022).
PARP1 memiliki peran penting pada diabetes yaitu replikasi sel β
pankreas. PARP1-inhibitor dapat mempromosikan transkripsi gen Reg-16
dan Maf-A9, yang masing-masing terlibat dalam proliferasi sel β atau
ekspresi gen insulin. PARP1 berperan dalam penghancuran sel β pankreas.
Pada model diabetes streptozotocin atau alloxan dan menyajikan bukti
kerusakan DNA oksidatif langsung atau tidak langsung yang mengaktifkan
PARP1. Pada tikus, ketika fungsi PARP dihambat atau gen PARP
dihancurkan pankreas gagal mengembangkan diabetes. Selain itu, peran
PARP dalam komplikasi diabetes yang diinduksi hiperglikemia, seperti
perubahan diabetes pada fungsi endotel, neuropati dan retinopati
didokumentasikan dengan baik. Sebaliknya, peran PARP dalam proliferasi
sel β juga relatif kurang diteliti. Dalam sel β yang diturunkan insulinoma
RINm5F, telah ditunjukkan bahwa hanya dalam keadaan asalnya (tidak
dimodifikasi) PARP dapat mengikat secara in vitro ke daerah promotor
gen Reg-1 terkait proliferasi dan meningkatkan ekspresinya. Sel INS-1 β
yang diobati dengan penghambat PARP yang lemah (misalnya
nikotinamida) dapat menunjukkan peningkatan biosintesis insulin dengan
meningkatkan ekspresi gen Maf-A9 (Dadheech et al., 2022).
2.2.12. c-Jun N-terminal Kinase (JNK)
c-Jun N-terminal kinase (JNK) adalah famili protein kinase yang
berperan sentral pada jalur pensinyalan stress. Telah dibuktikan bahwa
jalur JNK teraktivasi setelah terpapar faktor stress. JNK dapat
mempromosikan apoptosis dengan dua mekanisme yang berbeda. Dalam

27
mekanisme pertama yang ditargetkan pada peristiwa nuklear, JNK
teraktivasi bertranslikasi menuju ke nukleus dan mentransaktivasi c-Jun
dan transcription factors (TF) lainnya. JNK dapat mempromosikan
apoptosis dengan meningkatkan ekspresi gen pro-apoptosis melalui
transaktivasi mekanisme yang bergantung pada c-Jun/AP1 dependent atau
p53/73 protein-dependent. Dalam jalur yang diarahkan pada protein
apoptosis mitokondria, JNK yang diaktifkan translokasi ke mitokondria.
Di sana, JNK dapat memfosforilasi famili BH3 dari protein Bcl2 untuk
melawan aktivitas anti-apoptosis Bcl2 atau Bcl-XL (Feng et al., 2020).

Selain itu, JNK dapat merangsang pelepasan sitokrom c (Cyt C) dari


membran dalam mitokondria melalui mekanisme yang bergantung pada
Bid-Bax, mendorong pembentukan apoptosom yang terdiri dari sitokrom
c, caspase-9 (Casp 9) dan Apaf-1 . Kompleks ini memulai aktivasi kaskade
kaspase yang bergantung pada caspase-9. Dalam mekanisme lain, JNK
dapat mempromosikan pelepasan Smac/Diablo (Smac) yang dapat
menghambat kompleks penghambatan TRAF2/IAP1, sehingga
menghilangkan penghambatan pada caspase-8 untuk memulai aktivasi
caspase. Selain itu, dengan memfosforilasi BAD dan sequestering partner
14-3-3, JNK dapat mempromosikan netralisasi yang dimediasi BAD dari
keluarga protein anti-apoptosis Bcl2. Akhirnya, JNK dapat memfosforilasi
Bcl2 untuk menekan aktivitas anti-apoptosisnya (Feng et al., 2020).

28
Gambar 2.2.12. JNK mempromosikan apoptosis dengan mekanisme nuklear dan mitokondrial (Feng et al.,
2020).

2.3. Nitrit Oksida


Pada pernafasan sel, sejumlah kecil oksigen yang dikonsumsi dikurangi
dengan cara tertentu dapat menghasilkan berbagai spesies oksigen yang sangat
reaktif (ROS) dan species nitrogen yang sangat reaktif (RNS). Nitrit Oksida (NO)
adalah gas radikal bebas beracun, tidak stabil, dan bersifat polutan terhadap udara.
Studi terbaru mengungkapkan bahwa NO dapat dihasilkan secara endogen dalam
beberapa jenis sel dan memainkan peran biologis yang beragam termasuk
pertahanan inang, regulasi vaskular, dan komunikasi neuron. Ketika diproduksi
dalam jumlah besar atau diproduksi dengan ROS secara bersamaan, NO juga
menunjukkan neurotoksisitas dan dapat menginduksi kematian sel apoptosis pada
berbagai jenis sel saraf. Konsentrasi NO yang tinggi dapat menginduksi kematian
sel apoptosis pada sel saraf, dan dengan demikian menyebabkan cedera saraf (Wei
et al., 2000).

Gambar 2.3 Pembentukan reactive oxygen species (ROS) dan reactive nitrogen species (RNS) (Wei et al.,
2000).

2.4. Pengaruh HBOT terhadap Sel β Pulau Langerhans Pankreas


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh HBOT terhadap fungsi
sel β pada tikus diabetes tipe-2 yang diinduksi streptozotocin (STZ). Untuk
membuat model T2DM, tikus C57BL/6J jantan berusia 7 minggu diberi diet tinggi

29
lemak (HFD) dan disuntikkan sekali sehari dengan STZ dosis rendah selama 3
hari setelah pemberian HFD 1 minggu. Pada minggu ke-14, kelompok T2DM +
HBOT menerima 1-h HBOT (2 ATA; 100% O2 murni) setiap hari dari pukul 5:00
hingga 6:00 sore selama 7 hari. Kelompok T2DM dipertahankan dalam kondisi
oksigen normobarik dan digunakan sebagai kontrol. Selama HBOT, asupan
makanan nokturnal 12 jam dan berat badan diukur setiap hari. Selain itu, glukosa
darah diukur dengan menggunakan tusukan vena ekor dan glukometer. Setelah
perawatan HBO terakhir, semua tikus dikorbankan untuk melakukan eksperimen
biologi molekuler. Kadar insulin puasa sampel darah tikus yang dikorbankan
diukur dengan kit ELISA ultrasensitif. Pankreas dan jaringan hati diwarnai
dengan hematoksilin dan eosin, sementara imunohistokimia dilakukan untuk
menentukan efek HBOT pada resistensi insulin. TUNEL digunakan untuk
menentukan efek HBOT pada apoptosis sel β, dan imunoblotting dilakukan untuk
menentukan jalur apoptosis sel β. HBOT terutama mengurangi glukosa darah
puasa dan meningkatkan sensitivitas insulin pada tikus T2DM.
Setelah HBOT, area sel β dan massa sel β pada tikus T2DM meningkat
secara signifikan. HBOT secara signifikan menurunkan laju apoptosis sel β pada
tikus T2DM melalui jalur apoptosis Bcl-2/caspase-3/poly(ADP-ribosa)
polymerase (PARP) pankreas. Selain itu, HBOT meningkatkan morfologi jaringan
hati dan meningkatkan penyimpanan glikogen hati pada tikus T2DM. Temuan ini
menunjukkan bahwa HBOT memperbaiki sensitivitas insulin tikus T2DM dengan
menurunkan laju apoptosis sel β melalui jalur apoptosis Bcl-2/caspase-3/PARP
pankreas (Zhang et al., 2022).

30
2.4.1. Morfologi
Pulau langerhans pankreas dibagi menjadi pulau-pulau besar dan
kecil; Mereka yang memiliki sel islet >10 didefinisikan sebagai pulau
besar dan mereka yang memiliki ≤10 sel sebagai pulau kecil.
Pewarnaan H&E menunjukkan bahwa jumlah pulau kecil lebih tinggi,
sedangkan jumlah pulau besar lebih rendah pada kelompok T2DM. Setelah
HBOT, jumlah pulau besar meningkat secara signifikan pada tikus T2DM
(0,52±0,016 vs. 0,42±0,019; P<0,01) (Zhang et al., 2022).

Gambar 2.4.1. Efek HBOT pada morfologi dan struktur sel β pankreas. A. Pewarnaan H&E
pankreas (batang skala, 68 µm). Efek HBOT pada jumlah pulau; B. Gambar imunohistokimia
representatif dari pewarnaan insulin pada jaringan pankreas (Scale bar, 142 µm). Efek HBOT
pada area sel β; C. Efek HBOT pada massa sel β (Zhang et al., 2022).

2.4.2. Apoptosis
Hasil TUNEL menunjukkan bahwa HBOT secara signifikan
mengurangi laju apoptosis sel β pada tikus T2DM (0,3588±0,01237 vs
0,1550±0,00898; P<0,001) (Zhang et al., 2022).

Gambar 2.4.1. Efek HBOT pada apoptosis sel β. ( A ) Pewarnaan TUNEL dari apoptosis sel β.
Fluoresensi merah menunjukkan sel β pankreas dan fluoresensi hijau menunjukkan sel apoptosis
(batang skala, 252 µm), panah putih menunjukkan sel TUNEL + β (%). ( B ) Efek HBOT pada
tingkat ekspresi protein terkait apoptosis, termasuk Bax / Bcl-2, Casp-3 dan PARP, dalam jaringan
pankreas. (Zhang et al., 2022).

31
Untuk menyelidiki lebih lanjut mekanisme yang mendasari
penghambatan apoptosis sel β yang dimediasi HBO, tingkat ekspresi
protein terkait apoptosis Bax/Bcl-2, caspase-3 dan PARP hilir diukur
dalam jaringan pankreas. Setelah HBOT, tingkat ekspresi Bax menurun
secara nyata, sedangkan tingkat ekspresi Bcl-2 terutama meningkat,
menghasilkan rasio Bax/Bcl-2 yang menurun secara signifikan pada tikus
T2DM. Tingkat ekspresi caspase-3 yang dibelah dan PARP yang dibelah
secara signifikan lebih rendah pada kelompok T2DM+HBOT
dibandingkan dengan yang ada pada kelompok T2DM (Zhang et al.,
2022).
2.4.3. Ekspresi GLUT2
Penghancuran sel β pulau adalah fitur utama T1DM. Untuk
menyelidiki efek terapeutik HBO lebih lanjut, area insulin dan glukagon-
positif di pankreas diukur. Dibandingkan dengan yang pada tikus CON,
area sel β pulau pankreas pada tikus T1DM menurun secara signifikan
(T1DM vs. CON, 0,13±0,01 vs. 0,89±0,01; P<0,05) sedangkan area islet
α-cell meningkat secara signifikan (T1DM vs. CON, 0,87±0,01 vs.
0,11±0,01; P<0,05; ) Setelah pengobatan HBO 2 minggu, area sel β dalam
jaringan dari tikus T1DM sebagian tetapi secara signifikan meningkat
(T1DM + HBO vs. T1DM, 0,23±0,03 vs. 0,13±0,01; P<0,05) dan area sel
α juga berkurang sebagian tetapi signifikan (T1DM + HBO vs. T1DM,
0,77±0,03 vs. 0,87±0,01; P<0,05) Penurunan kadar ekspresi GLUT2
pankreas pada tikus T1DM juga secara signifikan dipengaruhi oleh
perlakuan HBO (T1DM + HBO vs. T1DM, 1,04±0,05 vs. 0,69±0,10;
P<0,05) konsisten dengan peningkatan luas islet β-sel (Song et al., 2020).
.

32
Gambar 2.4.3. Pewarnaan ganda insulin dan glukagon di pulau pankreas dan tingkat ekspresi
GLUT2 pankreas setelah pengobatan HBO. (A) Gambar imunofluoresensi ganda representatif
yang menunjukkan pewarnaan insulin (hijau), glukagon (merah), di mana inti dilawan dengan
DAPI dengan warna biru. Skala batang, 50 μm. (B) α-area sel dihitung berdasarkan area
glukagon-positif. Rasio luas sel α terhadap total area pulau menurun setelah perlakuan HBO
selama 2 minggu. (C) Area sel β dihitung berdasarkan area insulin-positif. Kuantifikasi luas pulau
dihitung berdasarkan daerah insulin dan glukagon-positif. Rasio area islet β-sel dengan total area
islet meningkat setelah perlakuan HBO selama 2 minggu. (D) Tingkat ekspresi GLUT2 pankreas
tikus T1DM menurun, yang dibalik oleh pengobatan HBO. Data disajikan sebagai rata-rata ±
SEM. *P<0.05 vs. Control dan #P<0.05 vs. T1DM. GLUT2, transporter glukosa 2; HBO, oksigen
hiperbarik; T1DM, diabetes melitus tipe 1 (Song et al., 2020).

33
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL

3.1. Kerangka Konseptual

Terapi Oksigen Hiperbarik

Ekstrasel

Intrasel
ERK1/2

PDX1 GLUT PARP1- BCL-2 Caspase BAX JNK BCL-2 NO


inhibitor antiapoptosis proapoptosis

 Proliferasi Sel β Pankreas  Apoptosis Sel β Pankreas

 Massa Sel β Pankreas

- - - - - Menginhibisi

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual. ERK ½: Extracellular signal – regulated kinase ½; Pdx1: pancreatic
duodenal homeobox 1; Glucose transporter (GLUT); PARP1-inhibitor : Protein poli(ADP-ribosa)
polimerase-1 inhibitor; Caspase; BCL2: B cell lymphoma -2; BAX: BCL 2 associated X; JNK: c-JUN N-
terminal kinase; NO; nitric oxide

22
BAB 4
KESIMPULAN

4.1. Kesimpulan
Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT) merupakan terapi yang
menggunakan oksigen 100% dalam pengaturan tekanan tinggi umumnya dalam
kisaran 1-3 atm.HBOT merupakan indikasi untuk mengobati kondisi di mana
jaringan rusak karena kekurangan oksigen. Efek oksigen hiperbarik menyebabkan
perubahan transkripsi DNA, perubahan organel sel, perbaikan struktur jaringan,
dan fungsi organ yang lebih efisien.

Telah dibuktikan bahwa terapi oksigen hiperbarik dapat meningkatkan


proliferasi dan menurunkan apoptosis sel β pulau langerhans pankreas alhasil
meningkatkan kadar insulin. Terapi oksigen hiperbarik menginduksi peningkatan
dan pernurunan beberapa faktor yang secara keseluruhan menyebabkan proliferasi
dan menurunkan apoptosis sel beta pulau langerhans pankreas. Peningkatan faktor
termasuk ERK1/2, Pdx1, BCL2 antiapoptsosis. Penurunan faktor termasuk BCL2
proapoptosis, BAX, Caspase, PARP1, JNK dan NO.

Mengetahui mekanisme yang mendasari apoptosis sel β pankreas sangat


penting untuk memahami patogenesis diabetes. Studi ini melaporkan bahwa
HBOT meningkatkan sensitivitas insulin dengan mengurangi apoptosis sel β
melalui jalur apoptosis Bcl-2/caspase-3/PARP pankreas pada tikus T2DM, yang
menunjukkan bahwa HBOT dapat mewakili pengobatan potensial untuk pasien
dengan T2DM.

22
DAFTAR PUSTAKA

Adams, C. M. et al. (2019) ‘Targeting the Bcl-2 family in B cell


lymphoma’, Frontiers in Oncology. doi: 10.3389/fonc.2018.00636.
Berger, C. and Zdzieblo, D. (2020) “Glucose transporters in pancreatic
islets,” Pflügers Archiv - European Journal of Physiology, 472(9), pp.
1249–1272. Available at: https://doi.org/10.1007/s00424-020-02383-4.
Dadheech, N. et al. (2022) ‘Role of poly(ADP-ribose) polymerase-1 in
regulating human islet cell differentiation’, Scientific reports. Nature Publishing
Group UK, 12(1), p. 21496. doi: 10.1038/s41598-022-25405-w.
Feng, J. et al. (2020) ‘The role of JNK signaling pathway in obesity-driven
insulin resistance’, Diabetes, Metabolic Syndrome and Obesity: Targets and
Therapy, 13. doi: 10.2147/DMSO.S236127.
Freeman AM, Pennings N. (2022) Insulin Resistance. In: StatPearls NCBI
Bookshelf, National Library of Medicine. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507839/ (Accessed: February 1, 2023).
Gawdi, R. and Cooper, J.S. (2022) Hyperbaric contraindications-StatPearls-
NCBI Bookshelf, National Library of Medicine. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557661/ (Accessed: February 1, 2023).
Hajhosseini, B. et al. (2020) “Hyperbaric Oxygen Therapy: Descriptive
Review of the Technology and Current Application in Chronic Wounds,” Plastic
and Reconstructive Surgery - Global Open, 8(9). Available at:
https://doi.org/10.1097/gox.0000000000003136.
Jain, K. K. (2017) ‘Textbook of Hyperbaric Medicine’, Textbook of
Hyperbaric Medicine, pp. 79–84. doi: 10.1007/978-3-319-47140-2.
Jones, M.W. et al. (2022) Hyperbaric Physics, National Center for
Biotechnology Information. StatPearls Publishing LLC. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448104/ (Accessed: February 5, 2023).
Kahle, A.C. and Cooper, J.S. (2022) Hyperbaric Physiological And
Pharmacological Effects of Gases, National Center for Biotechnology
Information. U.S. National Library of Medicine. Available at:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/29262156/ (Accessed: February 5, 2023).

23
Kahraman, C. and Yaman, H. (2021) ‘Hyperbaric oxygen therapy affects
insulin sensitivity/resistance by increasinadiponectin, resistin, and plasminogen
activator inhibitor-i in rats’, Turkish Journal of Medical Sciences, 51(3), pp.
1572–1578. doi: 10.3906/sag-2011-76.
Marchetti, P. et al. (2017) ‘Pancreatic beta cell identity in humans and the
role of type 2 diabetes’, Frontiers in Cell and Developmental Biology. doi:
10.3389/fcell.2017.00055.
Musumeci, G. et al. (2015) ‘Biomarkers of chondrocyte apoptosis and
autophagy in osteoarthritis’, International Journal of Molecular Sciences. doi:
10.3390/ijms160920560.
Oliver-Krasinski, J. M. et al. (2009) ‘The diabetes gene Pdx1 regulates the
transcriptional network of pancreatic endocrine progenitor cells in mice’, Journal
of Clinical Investigation, 119(7). doi: 10.1172/JCI37028.
Ortega, M.A. et al. (2021) “A General Overview on the Hyperbaric Oxygen
Therapy: Applications, Mechanisms and Translational Opportunities,” Medicina,
57(9), p. 864. Available at: https://doi.org/10.3390/medicina57090864.
Sen S, Sen S. Therapeutic effects of hyperbaric oxygen: integrated review.
Med Gas Res. 2021 Jan-Mar;11(1):30-33. doi: 10.4103/2045-9912.310057.
PMID: 33642335; PMCID: PMC8103971.
Shaul, Y. D. and Seger, R. (2007) ‘The MEK/ERK cascade: From signaling
specificity to diverse functions’, Biochimica et Biophysica Acta - Molecular Cell
Research. doi: 10.1016/j.bbamcr.2006.10.005.
Song, L. et al. (2020) “Ghrelin system is involved in improvements in
glucose metabolism mediated by hyperbaric oxygen treatment in a
streptozotocin-induced type-1 diabetes mouse model,” Molecular Medicine
Reports[Preprint]. Available at: https://doi.org/10.3892/mmr.2020.11481.
Da Silva Xavier, G. (2018) ‘The cells of the islets of langerhans’, Journal of
Clinical Medicine. doi: 10.3390/jcm7030054.
Tomita, T. (2016) ‘Apoptosis in pancreatic β-islet cells in Type 2 diabetes’,
Bosnian Journal of Basic Medical Sciences. doi: 10.17305/BJBMS.2016.919.
Wang, Q. et al. (2016) ‘The relationship between the Bcl-2/Bax proteins
and the mitochondria-mediated apoptosis pathway in the differentiation of

24
adipose-derived stromal cells into neurons’, PLoS ONE, 11(10). doi:
10.1371/journal.pone.0163327.
Wei, T. et al. (2000) ‘Nitric oxide induces oxidative stress and apoptosis in
neuronal cells’, Biochimica et Biophysica Acta - Molecular Cell Research,
1498(1). doi: 10.1016/S0167-4889(00)00078-1.
Zhang, C. et al. (2022) ‘Hyperbaric oxygen treatment improves pancreatic
β-cell function and hepatic gluconeogenesis in STZ-induced type-2 diabetes
mellitus model mice’, Molecular Medicine Reports, 25(3). doi:
10.3892/mmr.2022.12606.
Zhong, F. and Jiang, Y. (2019) ‘Endogenous pancreatic β cell regeneration:
A potential strategy for the recovery of β cell deficiency in diabetes’, Frontiers in
Endocrinology, 10(FEB). doi: 10.3389/fendo.2019.00101.

25

Anda mungkin juga menyukai