Anda di halaman 1dari 27

Referat

TOKSOPLASMOSIS SEREBRAL

Oleh:

Audra Lovita Vianny 1740312453


Crisdina Suseno 1740312452
Araminta Nabila Zaima 1840312437

Preseptor:

dr. Rozetti, Sp. Rad

BAGIAN KEDOKTERAN RADIOLOGI


RSUP DR. M. DJAMIL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga referat yang berjudul “Toksoplasmosis
Serebral” ini bisa kami selesaikan dengan baik.
Referat ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis
mengenai gambaran radiologis pada kolangiokarsinoma, serta menjadi salah satu
syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik senior di bagian Radiologi RSUP Dr.
M.Djamil Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu
dalam penyusunan referat ini, khususnya kepada dr. Rozetti, Sp.Rad sebagai
preseptor yang telah bersedia meluangkan waktunya dan memberikan saran,
perbaikan, dan bimbingan kepada kami. Kami ucapkan juga terima kasih kepada
rekan-rekan sesama dokter muda dan semua pihak yang telah banyak membantu
dalam penyusunan referat ini yang tidak bisa kami sebutkan satu-persatu disini.
Dengan demikian, kami berharap semoga referat ini bisa menambah,
wawasan, pengetahuan, dan meningkatkan pemahaman semua pihak tentang
toksoplasmosis serebral.

Padang,Agustus 2018

Penulis

2
Daftar Isi
Halaman
Kata Pengantar 2
Daftar Isi 3
Daftar Gambar 5
Daftar Tabel 6

BAB 1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang 7
1.2 Batasan Masalah 7
1.3 Tujuan Penulisan 7
1.4 Manfaat Penulisan 8
BAB 2. Tinjauan Pustaka
2.1 Anatomi dan Radioanatomi Otak 9
2.1.1 Anatomi Otak 9
2.1.2 Radioanatomi Otak 10
2.2 Epidemiologi 17
2.3 Etiologi 18
2.4 Patofisiologi 18
2.5 Gejala Klinis 19
2.6 Diagnosis 19
2.6.1 Pemeriksaan serologi 19
2.6.2 Pemeriksaan cairan serebrospinal 20
2.6.3 Pemeriksaan Polymer Chain Reaction (PCR) 21
2.6.4 CT scan/MRI 21
2.6.5 Biopsi otak 21
2.7 Diagnosis Banding 21
2.8 Penatalaksanaan 22
2.9 Pemeriksaan Radiologi 25
2.9.1 CT Scan 25
2.9.2 MRI 26
2.9.3 PET Scan 27
2.9.4 USG 28
BAB 3. Penutup
3.1 Kesimpulan 30

Daftar Pustaka 31

3
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Lobus pada cerebrum 9


Gambar 2.2 Potongan korona otak 9
Gambar 2.3 Sistem ventrikel otak 9
Gambar 2.4 Circle of Willis, karotis interna dan sistem basiler-vertebra 9
Gambar 2.5 Radioanatomi otak pada potongan aksial 10
Gambar 2.6 Algoritma pemberian ARV 25
Gambar 2.7 Regimen ARV 25
Gambar 2.8 Gambaran non kontras CT pada toksoplasmosis serebral 27
Gambar 2.9 CT-scan kontras pada pasien dengan toksoplasmosis cerebri 28
Gambar 2.0 Gambaran MRI pada pasien Toksoplasmosis Serebri 28
Gambar 2.11 Potongan koronal pada MRI T1-weighted imaging post 29
kontras
Gambar 2.12 Gambar USG pada toksoplasmosis serebri transventrikular 29
view
Gambar 2.13 Gambar USG pada toksoplasmosis serebri cross-sectional 29
view
Gambar 2.14 USG kepala yang memperlihatkan ventrikular dilatasi 30
bilateral dan simetris.
Gambar 2.15. USG kepala yang menunjukkan mulai terjadinya dilatasi 30
ventrikel pada regio oksipital

4
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1 Diagnosis banding toksoplasma serebri dengan PCNSL 23

5
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Toxoplasmosis serebral sering merupakan penyebab proses patologis fokal
pada otak (lesi massa intrakranial) yang bisa berakibat pada kematian. Toksoplasmosis
serebral merupakan penyakit infeksi opportunistik yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii
yang biasanya menyerang pasien-pasien dengan HIV-AIDS. Toxoplasmosis Serebral sering
dijumpai pada pasien yang memiliki kadar CD4 dan sel T yang rendah. 1-2 Toxoplasma gondii
selain dapat menyebabkan kerusakan otak juga dapat menimbulkan radang pada kulit,
kelenjar getah bening, jantung, paru dan mata. Penyebaran Toxoplasma gondiin ini dapat
ditularkan melalui kontak dengan kucing-kucing melalui feses atau daging mentah yang
kurang masak yang terkandung ookista dalam feses binatang tersebut. Kebanyakan penderita
toxoplasmosis datang dengan gejala ringan atau asimptomatik, tetapi dapat menimbulkan
peningkatan gejala yang signifikan dan tidak jarang menyebabkan kematian.2-5
Pada umumnya kejadian toksoplasmosis meningkat sesuai dengan umur, tidak ada
perbedaan antara pria dan wanita. Anjing sebagai sumber infeksi mendapatkan infeksi dari
makan tinja kucing atau bergulingan pada tanah yang mengandung tinja kucing.
Di Indonesia, prevalensi T. gondii pada hewan adalah sebagai berikut:6
 kucing 35-73 %,
 babi 11-36 %,
 kambing 11-61 %
 anjing 75 %
 ternak lain kurang dari 10 %
Pada individu imunokompeten, toksoplasmosis menyebabkan infeksi subklinis atau
tanpa gejala. Pada individu immunocompromised (misalnya pasien AIDS), toksoplasmosis
adalah penyebab paling umum dari abses otak.7
1.2 Batasan Masalah

Referat ini membahas radioanatoomi, defenisi, epidemiologi, etioogi, diagnosis,


pemeriksaan radiologi, penatalaksaaan dari toxoplasmosis serebral

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan dari referat ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Mengetahui radioanatomi, defenisi, epidemiologi, etiologi, diagnosis, dan
penatalaksaan dari toxoplasmosis serebral secara umum.
1.3.2 Mengetahui gambaran pemeriksaan radiologi toxoplasmosis serebral secara
khusus.

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat penulisan dari referat ini adalah sebagai berikut:
1.4.1 Menambah pengetahuan penulis maupun pembaca tenang radioanatomi, defenis,
epidemiologi, etiologi, diagnosis, dan penatalaksanaan dari toxoplasmosis serebral
1.4.2 Menambah pengetahuan mengenai gambaran pemeriksaan radiologi
toxoplasmosis serebral secra khusus.
1.5 Metode Penulisan
Makalah ini disusun berdasarkan studi kepustakaan yang merujuk ke beberapa
literatur
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Toxoplasmosis cerebri adalah infeksi pada otak yang disebabkan oleh

parasitToxoplasma gondiiyang dibawaoleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat

ditemukan pada tanah yangtercemar oleh tinja kucing dan kadang pada daging mentah

atau kurang matang.Tidak semua pasien menunjukkantanda infeksi.Disebut juga

toksoplasmosis otak, muncul pada kurang lebih 10% pasien AIDSyang tidak diobati.4

2.2 Epidemiologi
Infeksi Toxoplasma gondii memiliki distribusi di seluruh dunia. Penyebaran
penyakit ini sangat luas, diperkirakan bahwa 30-50% populasi manusia di dunia telah
terinfeksi oleh T. gondii dan lebih dari 1000 bayi yang lahir terinfeksi.
Di Amerika angka kejadiannya mencapai 30%-50%, sedangkan di Eropa
mencapai 50% - 70%. Angka prevalensi penyakit ini di Indonesia mencapai 2-63%..
Berdasarkan data RSCM Jakarta tahun 2014-2016 angka kejadian toksoplasmosis
serebri sebesar 31%.1Lebih dari 50 % penderita yang terinfeksi HIV akan berkembang
menjadi kelainan neurologis.
Belum ada data yang menggambarkan insiden infeksi toxoplasmosis secara
keseluruhan di Sumatera Barat, khususnya Padang. Namun berdasarkan data dari
UPDT Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Sumatera Barat, kasus zat anti
Toxoplasma gondii di Kota Padang periode 2012-2016 dengan prevalensi 81,9%,
yang memiliki makna bahwa infeksi toksoplasmosis yang telah terdeteksi di Sumatera
Barat adalah sebanyak 81,9%
Toksoplasmosis adalah infeksi pada kehamilan, yang menyebabkan 9%
kematian fetus. Parasit ini tersebar secara kosmopolit pada daerah subtropis, tropis
maupun yang beriklim dingin. Indonesia dengan iklim tropis dan kelembapannya
yang tinggi serta faktor lingkungan seperti sanitasi, kebiasaan makan dan banyaknya
sumber penularan terutama kucing (genus felidae) menunjang perkembangan parasit
ini.
Faktor resiko terkenanya infeksi toxoplasmosis cerebri diantara lain individu
yang imunocompromised seperti HIV, fetus yang memiliki ibu yang terinfeksi
toxoplasmosis, individu lanjut usia,
Semakin meluasnya penggunaan terapi antiretroviral (ART), insidensi
toksoplasmosis sistem saraf pusat (SSP) menurun. Secara khusus, kejadian
toksoplasmosis serebral menurun dari 3,9 kasus per 100 orang-tahun di era pra-ART,
menjadi 1 kasus per 100 orang-tahun. Diperkirakan 10-20% pasien terinfeksi HIV di
Amerika Serikat akhirnya akan berkembang menjadi toksoplasmosis serebral. Dalam
sebuah penelitian, risiko untuk berkembangnya toksoplasmosis akut di antara orang
dewasa yang terinfeksi HIV adalah 18% pada mereka yang patuh dengan profilaksis
dibandingkan sekitar 30% pada mereka yang tidak patuh. Secara umum,
toksoplasmosis serebral merupakan indikator prognosis yang buruk pada pasien
HIV/AIDS, dengan adanya penelitian menyebutkan 23% kematian pada pasien
HIV/AIDS di dunia.10

2.3 Etiologi
Toxoplasmosis serebral disebabkan oleh sporozoa Toxoplasma gondii, yaitu
merupakan parasit golongan protozoa yang bersifat obligat intraseseluler. Toxoplasma gondii
terdapat dalam 3 bentuk yaitu tachyzoite (bentuk proliferatif), kista (mengandung bradyzoite)
dan oocyst (mengandung spozoite). Bentuk tachyzoite terlihat seperti bulan sabit dengan titik
runcing, dan titik lainnya berbentuk bulat. Panjangnya 4-8 mikron memiliki sel membran dan
satu nukleus di dalamnya. Kista memiliki ukuran yang bervariasi, ada yang hanya
mengandung beberapa bradyzoite dan ada yang mengandung sekitar 3000 bradyzoite. Oocyst
berbentuk oval, memiliki dinding, dan berisi satu sporoblast yang terbelah menjadi dua
sporoblast. Dalam perkembangan selanjutnya, kedua sporoblast membentuk dinding dan
menjadi sporocyst. Setiap sporocyst dapat mengandung empat spozoite. 11
Toxoplasma gondii ini jarang ditemukan di dalam darah perifer, tetapi sering
ditemukan dalam jumlah besar pada organ-organ tubuh seperti pada jaringan hati, limpa,
sumsum tulang, paru-paru, otak, ginjal, otot, dan jantung. Di otak, toxoplasma membentuk
kista berbentuk lonjong atau bulat, sedangkan di dalam otot bentuk kista mengikuti bentuk sel
otot. Pada infeksi kronis kista dapat ditemukan dalam jaringan organ tubuh terutama di otak.
Bentuk pseudocyste ini lebih tahan dan dapat bertindak sebagai penyebar toxoplasmosis.
Toxoplasma gondii mudah mati pada suhu panas, kekeringan dan pembekuan. 12
2.4 Anatomi dan Radioanatomi Otak
2.4.1 Anatomi Otak8

Gambar 2.1 Lobus pada cerebrum. Gambar 2.2 Potongan korona otak

Gambar 2.3 Sistem ventrikel otak. Gambar 2.4. Circle of Willis, karotis interna dan sistem
basiler-vertebra
2.4.2 Radioanatomi Otak9

Gambar 2.5 Radioanatomi CT-Scan otak pada potongan aksial

2.5 Klasifikasi

2.6 Patofisiologi
Toksoplasmosis bisa menjadi akut atau kronis. Infeksi akut dikaitkan dengan
bentuk proliferatif (tachyzoite), sedangkan infeksi kronis terkait dengan bentuk kista
jaringan. Selama proses akut, tachyitoite menginvasi semua sel dalam tubuh kecuali
sel berinti host seperti sel darah merah.4,6 Tachyzoite memasuki sel inang melalui
penetrasi aktif ke dalam plasmalemma induk atau oleh fagositosis. Parasit mematuhi
mikronema mampu mengenali dan menargetkan sel, menghasilkan enzim untuk
vochtries parasitophorus dewasa.5 Replikasi in vitro dari takizoit intraseluler terjadi
setiap 6-9 jam. Setelah mengumpulkan 64–128 parasit di setiap sel, parasit akan
keluar untuk menginfeksi sel-sel tetangga. Dengan sistem kekebalan inang, dapat
berubah menjadi subpopulasi tachyzoit bradyzoite.13
Makrofag, sel NK, fibroblas, sel epitel dan sel endotel menjadi aktif oleh
infeksi T.gondii pada tubuh inang, sehingga dapat menghambat proliferasi parasit.
Respon imun non spesifik tergantung pada kemampuan IL-12 yang diproduksi oleh
makrofag dan sel dendritik untuk merangsang sel NK menghasilkan IFN - γ. TNF - α
juga meningkatkan kemampuan IL - 12 untuk menginduksi sel NK untuk
menghasilkan IFN - γ. IFN -γ menghambat replikasi parasit karena menginduksi
makrofag untuk melepaskan nitrit oksida (NO), yang membunuh parasit. IFN-γ juga
meningkatkan aktivitas indoleamine 2,3 dioksigenase yang menghancurkan triptofan
yang merupakan zat yang diperlukan untuk pertumbuhan parasit.
Parasit ini akan menginduksi kekebalan 4 jenis sel T, yaitu respon imun
berperantara sel sebagai T.gondii adalah parasit intraseluler. IL-12 yang dihasilkan
oleh makrofag juga memperkuat kerja sel CD4 + yang memproduksi sel IFN - γ in.
CD8 + juga. menginduksi pelepasan IFN - γ, interferon γ (IFN - γ) memainkan peran
dalam pembentukan kista dengan menghambat replikasi pada makrofag tikus
tachyzoite dan menginduksi antigen khusus untuk bradyzoite. Sistem kekebalan
humoral memiliki peran kecil dalam memerangi toksoplasmosis tetapi sangat penting
dalam diagnosis toksoplasmosis pada manusia. Antibodi yang dihasilkan oleh sistem
kekebalan humoral mampu membunuh T.gondii ekstraseluler dalam dan melalui
aktivitas komplemennya dapat menghambat perkembangbiakan parasit.13
Patogenesis toksoplasmosis pada host immunocompromised seperti pasien
HIV - AIDS dipengaruhi oleh banyak hal, antara lain, penurunan jumlah sel CD4 +,
kegagalan produksi IL - 12, IL - 2 dan IFN - γ dan aktivitas sitotoksik dari T -
Limphocyte menurun. Sel yang terinfeksi virus HIV untuk menghambat pembentukan
IL - 12 dan IFN - γ, membuat mereka rentan terhadap infeksi toksoplasmosis.8
Tingkat IFN - biasanya menurun pada pasien dengan AIDS dan dapat menyebabkan
reaktivasi toksoplasmosis kronis.

2.7 Gejala Klinis


Pada manusia dewasa dengan daya tahan tubuh yang baik biasanya hanya

memberikan gejala minimal dan bahkan sering tidak menimbulkan gejala. Apabila

menimbulkan gejala, maka gejalanya tidak khas seperti: demam, nyeri otot, sakit

tenggorokan,kadang-kadang nyeri dan ada pembesaran kelenjar limfe servikalis

posterior, supraklavikula dan suboksiput. Pada infeksi berat, meskipun jarang, dapat

terjadi sakit kepala, muntah, depresi, nyeri otot, pneumonia, hepatitis, miokarditis,

ensefalitis, delirium dan dapat terjadi kejang.

Sesudah terjadi penularan, parasit dengan perantara aliran darah akan dapat

mencapai berbagai macam organ misalnya otak, sumsum tulang belakang, mata, paru-

paru, hati, limpa, sumsum ulang, kelenjar limfe dan otot jantung.

Toxoplasma cerebri ditandai dengan onset yang subakut.Manifestasi klinis

yang timbul dapat berupa defisit neurologis fokal (69%), nyeri kepala (55%),

bingung/kacau (52%), dan kejang (29%). Pada suatu studi didapatkan adanya tanda

ensefalitis global dengan perubahan status mental pada 75% kasus, adanya defisit

neurologis pada 70% kasus, Nyeri kepala pada 50% kasus, demam pada 45% kasus

dan kejang pada 30% kasus. Defisit neurologis yang biasanya terjadi adalah

kelemahan motorik dan gangguan bicara.Bisa juga terdapat abnormalitas saraf otak,

gangguan penglihatan, gangguan sensorik, disfungsi serebelum, meningismus,

gangguan gerakdan manifestasi neuropsikiatri.

Gejala-gejala klinik pada toksoplasmosis pada umumnya sesuai dengan

kelainan patologi yang terjadi yang dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu

gejala-gejala klinik pada toksoplasmosis kongenital dan toksoplasmosis didapat.


2.7.1 Gejala klinik toksoplasmosis kongenital

Kelainan yang terjadi pada janin pada umumnya sangat berat dan bahkan bisa

fatal oleh karena parasit tersebar di berbagai organ-organ terutama pada sistem

susunan sarafnya.Kelainan yang terjadi sangat jelas terlihat dan yang patognomonik

dan indikatif adalah kalsifikasi serebral, korioretinitis, hidrosefalus atau mikrosefalus

dan psikomotor.Kalsifikasi serebral dan korioretinitis merupakan gejala yang paling

penting untuk menentukan diagnosis toksoplasmosis kongenital.

2.7.2 Gejala klinik toksoplasmosis di dapat

Pada toksoplasmosis didapat, berbagai kelainan organ dan jaringan dapat

terjadi yaitu pada jaringan serebrospinal yang mengakibatkan ensefalomielopati,

hidrosefalus, kalsifikasi serebral dan korioretinitis, kelainan limfatik berupa

limfadenitis disertai dengan demam, kelainan pada kulit yang berupa ruam kulit

makulopapuler yang mirip ruam kulit pada demam tifus, kelainan pada paru-paru

yang berupa pneumonia interstisial, pada jantung terjadi miokarditis dan terjadi pula

pembesaran hati dan limpa. Kelainan-kelainan pada jaringan serebrospinal umumnya

menyerang bayi dan anak-anak sedangkan kelainan limfatik menyerang anak berumur

antara 5-15 tahun.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


2.8.1 Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis definitif membutuhkan pembuktian adanya parasit pada spesimen.
Walaupun jarang, pada pasien dengan meningoensefalitis yang disebabkan T. gondii,
parasit tersebut dapat diisolasi pada cairan LCS. Parasit dapat juga diisolasi dari kultur
darah pasien, walaupun dengan atau tanpa bukti adanya ensefalitis yang sedang
berlangsung. Dulu isolasi T. gondii yang didapatkan dari spesimen klinis memerlukan
perlakuan intensif dan hasil yang didapat setelah 6 minggu kemudian. Metode
diagnostik lainnya yang sedang diteliti adalah amplikasi selektif dengan PCR dari
produksi khusus DNA specimen klinik T. Gondii. Keuntungan klinis dari teknik
pemeriksaan yang sangat sensitif ini adalah dapat mengidentifikasi parasit pada LCS
(pada infeksi yang predominan ensefalitis dibandingkan meningitis).
2.8.2 Pemeriksaan Radiologi
2.8.2.1 Foto Polos Konvensional
Foto polos konvensional adalah merupakan pengambilan image / gambar dari
suatu obyek dengan menggunakan sinar-X. Obyek yang akan diamati disinari dengan
sinar-X ini, dan dibelakangnya diletakkan film untuk menangkap image / gambar
yang dihasilkan. Maka image / gambar yang dihasilkan merupakan penampang
mendatar dari suatu obyek yang diamati.
Foto polos konvensional memiliki peranan yang terbatas dan tidak menjadi
sebuah standar dalam mendiagnosis toksplasmosis yang didapat namun dapat
digunakan dalam mendiagnosis toksoplasmosis kongenital atau bawaan. Hal ini
dikarenakan pada foto polos konvensional tidak dapat melihat gambaran jaringan
lunak secara terperinci.

Gambar 2.7 Kalsifikasi pada Toksoplasmosis Kongenital

2.8.2.2
Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan toxoplasmosis cerebri menggunakan USG biasanya dilakukan
pada fatus yang dicurigai terkena kongenital fetal toxoplasmosis cerebri yang
ditransmisikan secara vertikal dari ibu, dan biasanya dilakukan prenatal atau dalam
kandungan dengan tujuan untuk early detection toxoplasmosis cerebri sehingga
menjadi salah satu point pertimbangan dalam terminasi kehamilan.22
Gambaran toxoplasmosis cerebri yang sering ditemukan pada pemeriksaan
USG pada usia gestasi lanjut, tampak ventrikulomegali bilateral berat atau dilatasi
ventrikel dengan area yang hiperechoigenic di regio periventrikular, kalsifikasi
periventrikular, cardiomegali, efusi pleura, hepatosplenomegali dengan
hiperechoigenik intrahepatik dan polihidramnion.23 Kadang juga tampak gambaran
plasenta yang tebal dan echoigenik, hydrops, hidrosefalus, mikrosefali, gangguan
tumbuh kembang fetus, dan asietes. Temuan abnormalitas intrakranial
mengindikasikan infeksi fetus yang berat dan prognosis yang buruk.24

Gambar 2.12 Gambar USG pada toksoplasmosis serebri transventrikular view dari
kepala fetus menggambarkan dilatasi berat dari ventrikel lateral dengan penebalan
dinding korteks cerebri dan kalsifikasi periventrikular. Gambar 2.13 Gambar USG
pada toksoplasmosis serebri cross-sectional view dari abdomen fetus yang
menggambarkan pembesaran hepar dengan kalsifikasi intrahepatik yang difus.

Gambar 2.14. USG kepala yang memperlihatkan ventrikular dilatasi bilateral dan
simetris. Gambar 2.15. USG kepala yang menunjukkan mulai terjadinya dilatasi
ventrikel pada regio oksipital
2.8.2.3 Computed Tomography Scan (CT Scan)

CT scan merupakan teknik pencitraan yang menggunakan sinar x untuk


membentuk potongan-potongan gambar dari tubuh. Pada CT scan tanpa pemberian
kontras, toksoplasmosis serebral tampak sebagai lesi hipodense multipel yang
terutama terdapat pada ganglia basalis (75%). Pada gambaran CT-scan di otak pada
toksoplasmosis serebral menunjukkan gambaran lesi noduler tunggal (30%) atau
multipel (70%). Setelah pemberian kontras, gambaran yang muncul pada CT scan
ialah ring enhancement yang tipis dan berdinding reguler.17,18
Tanda lain dari toxoplasma di SSP adalah target yang asimetris yang dapat
dideteksi baik dengan CT-scan maupun dengan MRI, dengan MRI lebih sensitif
dibandingkan CT-scan. Target asimetris yang timbul berupa abses ring enhancement
yang mengandung nodul eksentris pada kavitas absesnya. 17,18

Gambar 2.8 Gambaran non kontras CT pada toksoplasmosis serebral


Gambar 2.9 CT-scan kontras pada pasien dengan toksoplasmosis cerebri

2.8.2.4 Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI adalah pemeriksaan menggunakan gelombang magnet yang noninvasif.
MRI sangat baik dalam menilai atau memberikan gambaran jaringan lunak. Otak
adalah salah satu organ dengan jaringan lunak sehingga MRI merupakan pilihan yang
sangat tepat dalam mendiagnosis toksoplasmosis serebri. Keuntungan menggunakan
MRI lainnya adalah MRI tidak memberikan radiasi sama sekali pada pasien, namun
biaya yang dibutuhkan untuk MRI cukup mahal dan tidak semuanya bisa ditanggung
oleh BPJS.
Pemeriksaan neuroimaging berupa MRI kepala dengan kontras diindikasikan
pada penderita HIV dengan CD4 rendah yang memperlihatkan gejala klinis berupa
defisit neurologis fokal. MRI sendiri merupakan pemeriksaan neuroimaging yang
lebih disarankan dalam kasus suspek toksoplasma serebri, karena pemeriksaan ini
lebih sensitif dibandingkan dengan CT scan kepala.10 Pada pemeriksaan MRI T1-
weighted imaging, lesi toksoplasma biasanya nampak isointens atau hipointens
dibandingkan dengan jaringan sekitar. Sementara pada pemeriksaan MRI T2-
weighted imaging, lesi memberikan gambaran hiperintens.19

Gambar 2.10 Gambaran MRI pada pasien Toksoplasmosis Serebri.4


Gambaran neuroimaging post kontras mungkin akan memperlihatkan adanya
nodul kecil yang berlokasi di tepi daerah yang cincin yang menyengat kontras.
Gambaran tersebut dikenal dengan istilah “eccentric target sign”.20 Ditemukannya
gambaran tersebut akan semakin meningkatkan kecurigaan terhadap lesi akibat T.
gondii (patognomonis dengan spesifisitas 95%), namun hanya ditemukan pada sekitar
30% pasien sehingga sensitivitasnya rendah (sensitivitas 25%), dan lebih sulit
ditemukan pada CT scan dibandingkan MRI. Eccentric target sign terdiri atas 3 zona,
yaitu inti lesi yang menyengat kontras, daerah inti ini berada di daerah perifer atau
bersifat eksentrik, zona kedua adalah daerah hipointens, dan zona terakhir adalah
cincin yang menyengat kontras. Sebuah hipotesis menyebutkan bahwa gambaran ini
terjadi sebagai akibat adanya pembuluh darah yang melebar dan berkelok-kelok
sebagai respon inflamasi yang menembus sulkus dikelilingi wilayah nekrosis dengan
dinding berisi histiosit dan pembuluh darah.19

Gambar 2.11 Potongan koronal pada MRI T1-weighted imaging post kontras. Tanda panah
putih menunjukkan lesi “eccentric nodule target sign”. 19

2.8.2.5 Positron Emission Tomography Scan (PET Scan)


Pet scan merupakan salah satu jenis teknik pencitraan yang
menggunakan radioaktivitas in vivo. Pada teknik pencitraan ini, pasien akan
diinjeksikan radiofarmaka yang akan memancarkan positron secara intravena dan
setelah radiofarmaka terdistribusi secara sistemik tubuh pasien akan dipindai untuk
melihat akumulasi dari radiofarmaka pada tubuh.
Seperti toksoplamosis, limfoma pada sistem saraf sentral sama-sama
mempunyai predileksi tempat kejadian pada basal ganglia. Pada gambaran CT scan
keduanya menunjukan gambaran enhancement, edema, dan sedikit peningkatan sinyal
pada T2-weighted pada MRI.21
Thallium single-photon emission computed tomography (SPECT) dan positron
emission tomography (PET) dapat membedakan kedua kondisi ini. Dibandingkan
dengan toksoplasmosis serebral, limfoma pada sistem saraf sentral menunjukan
uptake thallium pada gambaran SPECT. Tetapi, kegunaan SPECT untuk membedakan
kedua kondisi ini dibatasi oleh ukuran dari lesi yang ada. Ukuran yang berguna untuk
mendiagnosis adalah untuk lesi yang berukuran lebih dari 2 cm.21
PET scan dengan menggunakan fluorodeoxyglucose bisa digunakan untuk
membedakan infeksi dan proses keganasan di otak, walaupun studi mengenai
efektivitas terhadap pemeriksaan ini masih terus dilakukan.21

2.9 Diagnosis Banding


Diagnosa banding penyakit yang paling dekat adalah primary central nervous system
lesion (PCNSL). Diagnosa banding yang lain adalah tumor metastase, tuberkuloma, abses
otak.
Toxoplasmosis PCNSL
Lokasi Basal ganglia, perbatasan Periventricular

white matter-gray matter


Jumlah lesi Banyak (multipel) Tunggal > multipel
Gambaran enhancement Cincin Heterogen atau homogen
Edema Sedang sampai berat Bervariasi
T2 weighted image (lesion Hiperintense Isontense sampai hipointense

relatif to white matter)


Diffusion weighted image Biasanya hipointense Seringkali hiperintense
MR perfusion Menurun Meningkat
MR spectroscopy Kadar laktat meningkat Kadar choline meningkat
Lain-lain Antibodi IgG Toxoplasma EBV DNA amplified by PCR

positif (90% penderita) in CSF (hampir seluruh

penderita)
Tabel 2.1. Diagnosis banding toksoplasma serebri dengan PCNSL

2.10. Penatalaksanaan
AAN Quality Standards subcommittee(1998) merekomendasikan penggunaan terapi

empirik pada pasien yang diduga ensefalitis toxoplasma selama 2 minggu, kemudian

dimonitor lagi setelah 2 minggu, bila ada perbaikan secara klinis maupun radiologi, diagnosis

adanya ensefalitis toxoplasma dapat ditegakkan dan terapi ini dapat di teruskan. Lebih dari

90% pasien menunjukkan perbaikan klinis dan radiologik setelah diberikan terapi inisial

selama 10-14 hari.Jika tidak ada perbaikan lesi setelah 2 minggu, diindikasikan untuk

dilakukan biopsi otak.15,16

Saat ini obat yang direkomendasikan dalam pengobatan toksoplasmosis bertindak

terutama terhadap bentuk tachyzoite dari T gondii.Pirimetamin adalah agen yang paling

efektif dan termasuk dalam kebanyakan regimen obat.Leucovorin (asam folinic) harus

diberikan bersamaan untuk mencegah penekanan sumsum tulang.

Kombinasi pirimetamin 50-75 mg perhari yang dikombinasikan dengan sulfadiazin 1-

1,5 g tiap 6 jam. Pasien yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin 50-

75 mg perhari dengan clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam.Penelitian Yapar et al. hanya

menggunakan klindamisin 3x600 mg intravena tanpa pirimetamin untuk mengobati

toksoplasmosis serebral dan membutuhkan 10 bulan untuk melihat hilangnya lesi pada

monitoring radiologi. Sementara Roemer et al. menggunakan klindamisin untuk mengobati

pasien dengan toksoplasmosis otak tetapi pasien meninggal.Potensi penggunaan klindamisin

sebagai agen tunggal belum ditetapkan di uji klinis acak. Madi et al. menunjukkan adanya

perbaikan klinis dalam waktu 48 jam dan lesi diselesaikan sepenuhnya dalam waktu 3

minggu. Terlihat sebuah respon positif terhadap pengobatan baik secara klinis dan radiologis.

Toksoplasmosis otak dapat diobati dengan klindamisin tanpa pyrimethamine dalam

pengaturan sumber daya miskin negara dan pada pasien yang tidak mentolerir obat sulfa.15,16
Pasien alergi terhadap sulfa dan klindamicin, dapat diganti dengan Azitromycin 1200

mg/hr, atau claritromicin 1 gram tiap 12 jam, atau atovaquone 750 mg tiap 6 jam. Terapi ini

diberikan selam 4-6 minggu atau 3 minggu setelah perbaikan gejala klinis.

Spiramycin merupakan obat pilihan lain walaupun kurang efektif tetapi efek

sampingnya kurang bila dibandingkan dengan obat-obat sebelumnya. Dosis spiramycin yang

dianjurkan ialah 2-4 gram sehari yang di bagi dalam 2 atau 4 kali pemberian.Beberapa

peneliti menganjurkan pengobatan wanita hamil trimester pertama dengan spiramycin 2-3

gram sehari selama seminggu atau 3 minggu kemudian disusul 2 minggu tanpa

obat.Demikian berselang seling sampai sembuh. Pengobatan juga ditujukan pada penderita

dengan gejala klinis jelas dan terhadap bayi yang lahir dari ibu penderita toxoplasmosis.

Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang terinfeksi HIV

dengan CD4 kurang dari 350-500 sel/mL, dengan gejala (AIDS). Atau individu yang

memiliki HIV dan TB aktif, chronic liver disease, atau orang-orang terdekat yang berpotensi

untuk terjangkit penyakit.First line ART harus memiliki 2 NRTI (nucleoside reverse

transcriptase inhibitor) dan 1 NNRTI (Non nucleoside reverse transcriptase inhibitor)

contoh yang direkomedasikan tenofovir, lamivudine atau emticitabine, dan efapirenz.15,16


Gambar 2.6 Algoritma pemberian ARV

Gambar 2.7 Regimen ARV

Tindak lanjut CT scan / MRI harus dilakukan sekitar 21 hari setelah mulai pengobatan

untuk memastikan respon pengobatan, dilakukan setiap 4-6 minggu sampai terdapat

penyelesaian massa lesi.

Pasien dengan tanda-tanda klinis dan gambaran pemeriksaan penunjang menunjukan

diagnosis toksoplasmosis jarang gagal pengobatan anti-toksoplasmosis klasik.Jika memang

terjadi kegagalan, penggunaan terapi pengganti, misalnya azitromisin, klaritromisin,

atovaquone, trimetreksat, doksisiklin. Harus diingat bahwa pasien yang gagal merespon

pengobatan anti-toksoplasmosis mungkin memiliki patologi lain atau bersamaan, misalnya

limfoma, tuberkuloma, atau progresif multi-fokal leucoencephalopathy. Biopsi otak dapat

membantu untuk memperoleh diagnosis dan memudahkan pengobatan.15,16


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Toksoplasmosis serebral merupakan penyakit infeksi opportunistik yang disebabkan


oleh Toxoplasma gondii yang biasanya menyerang pasien-pasien dengan HIV-
AIDS.
2. Jenis pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis toksoplasmosis
serebral adalah pemeriksaan serologi, pemeriksaan cairan serebrospinal,
pemeriksaan PCR, pemeriksaan radiologi, dan biopsi otak.
3. Pemeriksaan radiologi yang dapat digunakan untuk mendiagnosis toksoplasma
serebral adalah CT scan, MRI, PET scan, dan USG.
DAFTAR PUSTAKA

1. Yuliawati I, Nasronudin. Pathogenesis, Diagnostic and Management of


Toxoplasmosis. Indonesian Journal of Tropical and Infectious Disease. 2015 April;
5(4) : 100-106
2. Suroto, Soedomo A, Addinar I, Budianto P. Neurology update dalam PIN 2014 Solo.
UNS Press: Solo; 2014.h.123-37.
3. Sudewi AAR, Sugianto P, Ritarwan K. Infeksi pada sistem saraf. Airlangga University
Press: Surabaya; 2011.h.91-102.
4. Jayawardena S, Singh S, Burzyantseva O, Clarke H. Cerebral Toxoplasmosis in Adult
Patients with HIV Infection. Hospital Physician. 2008:17-24.
5. Advisory Commitee on the Microbiological Safety of Food: Risk profile in Relation to
Toxoplasma in the Food Chain.
6. Yasuhiro Suzuki. Immunopathogenesis of Cerebral Toxoplasmosis. Department of
Biomedical Science and Pathology, Virginia. 2002.
7. Jayawardena et al. 2008. Cerebral Toxoplasmosis in Adult Patients with HIV
Infection. Hospital Physician-July 2008. p.17-24.
8. Tonya H. Anatomy of the brin. Mayfield brain and spine, Ohio, 2018.
9. T.B. Moeler, E. Reif. Pocket atlas of sectional anatomy, CT and MRI. Thieme
stuttgart, New York, 2005. Edisi ketiga. Volume 1 head and neck. Hal 2-25.
10. Jawardena S, Singh S, Burzyantseva O, Clarke H. Cerebral Toxoplasmosis in Adult
Patients with HIV Infection. July 2018; 17-24.
11. Nasronudin, Yuliawati I. Pathogenesis, Diagnostic, and Management of
Toxoplasmosis: Indonesian Journal of Tropical and Infectious Disease. Universitas
Airlangga, Surabaya. January-April 2015. 5:4;100-106.
12. Hiswani. Toxoplasmosis Penyakit Zoonosis yang Perlu di Waspadai oleh Ibu Hamil.
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
13. Tropical and Infectious Disease Division-Department of Internal Medicine, Dr.
Soetomo General Hospital-Faculty of Medicine, Universitas Airlangga, Indonesia.
2015
14. Ganiem AR, Dian S, Indriati A, Chaidir L, Wisaksana R, Sturm P, et al. Cerebral
Toxoplasmosis Mimicking Subacute Meningitis in HIV-Infected Patients; a Cohort
Study from Indonesia. PLOS Neglected Tropical Disease J. 2013:1-6.
15. Yasuhiro Suzuki. Immunopathogenesis of Cerebral Toxoplasmosis. Department of
Biomedical Science and Pathology, Virginia. 2015.
16. Jayawardena S, Singh S, Burzyantseva O, Clarke H. Cerebral Toxoplasmosis in Adult
Patients with HIV Infection. Hospital Physician. 2016:17-24.
17. Naqi R, Azeemuddin M, ahsan H. Cerebral Toxoplasmosis in a patient with AIDS. J
Pak Med Assoc;2010;60;316-18.
18. Ministry of Health & Family Welfare Government of India.Guidelines and
Management of Common Opportunistics Infections of Malignancies among HIV
infected Adult and Adolescent. 2007.
19. Smith AB, Smirniotopoulos JG, Rushing EJ. Central Nervous System Infections
Associated with Human Immunodefficiency Virus Infection: Radiologic-Pathologic
Correlation. AFIP Archives. 2008. 2033-55.
20. Kumar GG, Mahadeva A, Guruprasad AS, Kovoor JM, et al. Eccentric Target Sign in
CerebralToxoplasmosis– Neuropathological Correlate To The Imaging Feature. J
Magn ResonImaging. 2010; 31(6): 1469-72.
21. Lee GT, Antelo F, Mlikotic AA. Cerebral toxoplasmosis. Radiographics. 2009
Jul;29(4):1200-5.
22. P. Hohlfeld, J. MacAleese. Fetal toxoplasmosis:USG signs. Ultrasound Obstet.
Gynecol. 1 (1991) 241-4.
23. Caroline P, Mark H. Toxoplasmosis in prgnancy: prevention, screening and treatment.
SOGC clinica practise guideline. J Obstet Gynaecol Can 2013;35(1 eSuppl A):S1–S7.
24. Chusana P, Thitina S. Prenatal diagnosis and in utero treatment of severe congenital
toxoplasmosis: a case report. Asian Biomedicine Vol. 10 No. 4 August 2016; 387-91.

Anda mungkin juga menyukai