Anda di halaman 1dari 33

Grand Case

Benign Prostatic Hyperplasia

Oleh:

Eko Setiawan 1840312465

Pembimbing :
dr. Dody Efmansyah, Sp.B., Sp.U

BAGIAN ILMU BEDAH RSUP DR. M.DJAMIL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2019

0
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah grand
case ini dengan judul “Benign Prostatic Hyperplasia”.
Penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan
rahmat dan hidayah-Nya kepada semua pihak yang telah membantu. Semoga
makalah grand case ini dapat memberikan sumbangan dan manfaat kepada dunia
ilmu pengetahuan.

Padang, 14 Agustus 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI

Halaman
Kata Pengantar 1
Daftar Isi 2
Daftar Tabel 3
Daftar Gambar 4
Daftar Istilah 5
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 6
1.2 Batasan Masalah 4
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan 6
1.4 Matode Penulisan 6
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kelenjar Prostat
2.1.1 Anatomi Kelenjar Prostat 7
2.1.2 Histologi Kelenjar Prostat 8
2.1.3 Fisiologi Kelenjar Prostat 9
2.2 Benign Prostatic Hyperplasia
2.2.1 Definisi 9
2.2.2 Epidemiologi 10
2.2.3 Etiologi 10
2.2.4 Klasifikasi 12
2.2.5 Patofisiologi 12
2.2.6 Manifestasi Klinis 13
2.2.7 Pemeriksaan Penunjang 15
2.2.8 Tata Laksana 17
BAB 3. LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien 23
3.2 Anamnesis 23
3.3 Pemeriksaan Fisik 26
3.4 Pemeriksaan Penunjang 27
3.5 Diagnosis 28
3.6 Tata Laksana 28
3.7 Laporan Operasi 28
3.8 Follow Up 29
BAB 4. DISKUSI 30
Daftar Pustaka 32

2
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 : Derajat Penyakit Benign Prostatic Hyperplasia

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 : Anatomi Kelenjar Prostat


Gambar 2.2 : Histologi Kelenjar Prostat
Gambar 2.3 : Skema Benign Prostatic Hyperplasia
Gambar 2.4 : Perubahan Testosteron Menjadi DHT oleh Enzim
5α-Reduktase
Gambar 2.5 : Hasil Uroflowmetry Normal dan Uroflowmetry LUTS
Gambar 2.6 : Skema Pengelolaan BPH Dokter Umum dan
Spesialis Non-urologi

4
DAFTAR ISTILAH

BPH : Benign Prostatic Hyperplasia


cGMP : cyclic Guanosine Monophosphate
CIC : Clean Intermittent Catheterization
I-PSS : International Prostate Symptom Score
LUTS : Lower Urinary Tract Symptoms
PSA : Prostate Specific Antigen
RSCM : Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
TURP : Transurethral Resection of the Prostate
TwoC : Trial Without Catheter
USG : Ultrasonografi
WHO : World Health Organization

5
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Istilah Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) merupakan istilah
histopatologis, yaitu adanya hiperplasia sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat.
Banyak faktor yang diduga berperan dalam proliferasi/pertumbuhan jinak kelenjar
prostat. Pada dasarnya BPH muncul pada pria yang menginjak usia tua. BPH
terjadi pada sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat
hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun.
Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari obstruksi pada leher
kandung kemih dan uretra oleh BPH. Selanjutnya obstruksi ini dapat
menimbulkan perubahan struktur kandung kemih maupun ginjal sehingga
menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah.
Terdapat beberapa pilihan terapi BPH seperti: konservatif,
medikamentosa, pembedahan. Tujuan terapi pada pasien BPH adalah
memperbaiki kualitas hidup pasien. Terapi yang didiskusikan dengan pasien
tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien, serta ketersediaan fasilitas
setempat.1
1.2 Batasan Masalah
Makalah ini membahas definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi,
patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, dan tatalaksana serta
telaah kasus dari Benign Prostatic Hyperplasia.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
Makalah ini bertujuan sebagai bahan bacaan dan telaah kasus tentang
definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis,
pemeriksaan penunjang, dan tatalaksana Benign Prostatic Hyperplasia.
1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini yaitu tinjauan kepustakaan yang merujuk
kepada beberapa literatur.

6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kelenjar Prostat
2.1.1 Anatomi Kelenjar Prostat
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di bawah dari buli-buli, di
depan rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri
dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan beratnya kurang lebih 20 gram.2
Prostat memiliki kapsula fibrosa yang padat dan dilapisi oleh jaringan ikat
prostat sebagai bagian fascia pelvis visceralis. Bagian superior prostat
berhubungan dengan vesika urinaria, sedangkan bagian inferior bersandar pada
diafragma urogenital. Permukaan ventral prostat terpisah dari simpisis pubis oleh
lemak retroperitoneal dalam spatium retropubicum dan permukaan dorsal berbatas
pada ampulla recti. Anatomi kelenjar prostat disajikan pada gambar berikut.3

Gambar 2.1 Anatomi Kelenjar Prostat


Kelenjar prostat terdiri atas jaringan kelenjar dinding uretra yang mulai
menonjol pada masa pubertas. Biasanya kelenjar prostat dapat tumbuh seumur
hidup. Secara anatomi, prostat berhubungan erat dengan kandung kemih, uretra,
vas deferens, dan vesikula seminalis. Prostat terletak di atas diafragma panggul
sehingga uretra terfiksasi pada diafragma tersebut. Prostat dapat diraba pada
pemeriksaan rectal toucher.4
Selain mengandung jaringan kelenjar, kelenjar prostat mengandung cukup
banyak jaringan fibrosa dan jaringan otot polos. Kelenjar ini ditembus oleh uretra
dan kedua duktus ejakulatorius, dan dikelilingi oleh suatu pleksus vena. Kelenjar
limfe regionalnya ialah kelenjar limfe hipogastrik, sacral, obturator, dan iliaka

7
eksterna.4 Arteri-arteri untuk prostat terutama berasal dari arteria vesicalis inferior
dan arteria rectalis media, cabang arteria iliaca interna. Vena-vena bergabung
membentuk plexus venosus prostaticus sekeliling sisi-sisi dan alas prostat. Plexus
venosus prostaticus yang terletak antara kapsula fibrosa dan sarung prostat,
ditampung oleh vena iliaka interna. Plexus venosus prostaticus juga berhubungan
dengan plexus venosus vesicalis dan plexus venosi vertebrales. Pembuluh limfe
terutama berakhir pada nodi lymphoidei iliaci interni dan nodi lymphoidei
externi.3
2.1.2 Histologi Kelenjar Prostat
Secara histologi, prostat terdiri dari kelenjar yang dilapisi dua lapis sel,
bagian basal adalah epitel kuboid yang ditutupi oleh lapisan sel sekretori
kolumnar. Pada beberapa daerah dipisahkan oleh stroma fibromuskular. Hormon
androgen testis berfungsi untuk mengontrol pertumbuhan dan kelangsungan hidup
sel-sel prostat.
Prostat merupakan suatu kumpulan 30−50 kelenjar tubuloalveolar yang
bercabang. Duktusnya bermuara ke dalam uretra pars prostatika, yang menembus
prostat. Kelenjar prostat terbagi dalam beberapa zona, antara lain: zona perifer,
zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan zona periurethra.
Zona perifer adalah zona yang paling besar, yang terdiri dari 70% jaringan
kelenjar sedangkan zona sentral terdiri dari 25% jaringan kelenjar dan zona
transisional hanya terdiri dari 5% jaringan kelenjar. Sebagian besar kejadian BPH
terdapat pada zona transisional, sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal
dari zona perifer.
Kelenjar tubuloalveolar prostat dibentuk oleh epitel bertingkat silindris
atau kuboid. Stroma fibromuskular mengelilingi kelenjar-kelenjar. Prostat
dikelilingi suatu simpai fibroelastis dengan otot polos. Septa dari simpai ini
menembus kelenjar dan membaginya dalam lobus-lobus yang tidak berbatas tegas
pada orang dewasa. Seperti halnya vesikula seminalis, struktur dan fungsi prostat
bergantung pada kadar testosteron.

8
Histologi kelenjar prostat disajikan pada gambar berikut.5

Gambar 2.2 Histologi Kelenjar Prostat


2.1.3 Fisiologi Kelenjar Prostat
Kelenjar prostat menyekresikan cairan encer, seperti susu, yang
mengandung kalsium, ion sitrat, ion fosfat, enzim pembekuan, dan profibrinolisin.
Selama pengisian, simpai kelenjar prostat berkontraksi sejalan dengan kontraksi
vas deferens sehingga cairan encer seperti susu yang dikeluarkan oleh kelenjar
prostat menambah jumlah semen lebih banyak lagi. Sifat cairan prostat yang
sedikit basa mungkin penting untuk keberhasilan fertilisasi ovum, karena cairan
vas deferens relatif asam akibat adanya asam sitrat dan hasil akhir metabolisme
sperma, dan sebagai akibatnya, akan menghambat fertilisasi sperma. Selain itu,
sekret vagina bersifat asam (pH 3,5−4). Sperma tidak dapat bergerak optimal
sampai pH sekitarnya meningkat menjadi 6−6,5. Cairan prostat yang sedikit basa
mungkin dapat menetralkan sifat asam cairan seminalis lainnya selama ejakulasi,
dan juga meningkatkan motilitas dan fertilitas sperma.6
2.2 Benign Prostatic Hyperplasia
2.2.1 Definisi
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah gangguan yang secara
makroskopik ditandai dengan pembesaran kelenjar prostat dan secara histologis
disebabkan oleh hiperplasia stroma yang progresif dan hiperplasia kelenjar
prostat. Jaringan prostat yang terus berkembang ini pada akhirnya dapat
mengakibatkan penyempitan uretra. Klinis BPH sering dikaitkan dengan Lower
Urinary Tract Symptoms (LUTS). Bahkan, BPH merupakan penyebab utama
LUTS pada pria tua. Skema BPH disajikan pada gambar berikut.7

9
Gambar 2.3 Skema Benign Prostatic Hyperplasia
2.2.2 Epidemiologi
Benign Prostatic Hyperplasia terjadi pada sekitar 70% pria di atas usia 60
tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun.
Angka kejadian BPH di Indonesia yang pasti belum pernah diteliti, tetapi sebagai
gambaran hospital prevalence di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)
sejak tahun 1994-2013 ditemukan 3.804 kasus dengan rata-rata umur penderita
berusia 66,61 tahun.1
2.2.3 Etiologi
Banyak faktor yang diduga berperan dalam proliferasi/ pertumbuhan jinak
kelenjar prostat. Pada dasarnya BPH muncul pada pria yang menginjak usia tua
dan memiliki testis yang masih menghasilkan testosteron. Di samping itu,
pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin), pola diet, mikrotrauma, inflamasi,
obesitas, dan aktivitas fisik diduga berhubungan dengan proliferasi sel kelenjar
prostat secara tidak langsung. Faktor-faktor tersebut mampu memengaruhi sel
prostat untuk menyintesis growth factor, yang selanjutnya berperan dalam
memacu terjadinya proliferasi sel kelenjar prostat.1 Berikut beberapa hipotesis
yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH.
a. Teori Dihidrotestosteron
Pertumbuhan sel kelenjar prostat sangat membutuhkan suatu
metabolit androgen yaitu dihidrotestosteron atau DHT.
Dihidrotestosteron dihasilkan dari reaksi perubahan testosteron di
dalam sel prostat oleh enzim 5α-reduktase dengan bantuan koenzim
NADPH. Dihidrotestosteron yang telah berikatan dengan reseptor
androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan
selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat. Perubahan testosteron menjadi

10
dihidrotestosteron oleh enzim 5α-reduktase disajikan pada gambar
berikut.

Gambar 2.4 Perubahan Testosteron Menjadi DHT oleh Enzim 5α-reduktase


Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH
tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja
pada BPH, aktivitas enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen
lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel prostat pada BPH
lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi
dibandingkan dengan prostat normal.1
b. Teori Ketidakseimbangan Estrogen dan Testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan
kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen dan
testosteron relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam
prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel prostat terhadap
rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen,
dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Meskipun
rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosteron
menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang
lebih panjang sehingga masa prostat menjadi lebih besar.1
c. Teori Interaksi Stroma dan Epitel
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak
langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth
factor) tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT
dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis growth factor yang selanjutnya
mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu
menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.1

11
2.2.4 Klasifikasi
World Health Organization (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk
menentukan berat gangguan miksi yang disebut International Prostate Symptom
Score (I-PSS) menjadi derajat ringan: skor 0−7, sedang: skor 8−19, dan berat:
skor 20−35. Selain itu, ada juga yang membaginya berdasarkan gambaran klinis
penyakit BPH. Derajat penyakit BPH disajikan pada tabel 1.4
Tabel 2.1 Derajat Penyakit Benign Prostatic Hyperplasia
Derajat Rectal Toucher Sisa Urin
I Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba <50 mL
II Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat dicapai 50-100 mL
III Batas atas prostat tidak dapat diraba >100 mL
IV Retensi urin total

2.2.5 Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika
dan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih
kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan
perubahan anatomi buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi,
terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-
buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai Lower Urinary Tract Symptoms
(LUTS).2
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini
dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks
vesikoureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.2
Obstruksi pada leher buli-buli mengakibatkan berkurangnya atau tidak
adanya aliran urin, dan ini memerlukan intervensi untuk membuka jalan keluar
urin. Metode yang mungkin adalah prostatektomi parsial, Transurethral Resection
of Prostate (TURP) atau insisi prostatektomi terbuka, untuk mengangkat jaringan
periuretral hiperplasia insisi transuretral melalui serat otot leher buli-buli untuk

12
memperbesar jalan keluar urin, dilatasi balon pada prostat untuk memperbesar
lumen uretra, dan terapi antiandrogen untuk membuat atrofi kelenjar prostat.8
Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap kelenjar.
Pada prostat normal rasio stroma dibanding dengan kelanjar adalah 2:1, pada
BPH, rasionya meningkat menjadi 4:1, hal ini menyebabkan pada BPH terjadi
peningkatan tonus otot polos prostat dibandingkan dengan prostat normal. Dalam
hal ini massa prostat yang menyebabkan obstruksi komponen statik sedangkan
tonus otot polos yang merupakan komponen dinamik sebagai penyebab obstruksi
prostat.2
2.2.6 Manifestasi Klinis
Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari obstruksi pada leher
buli-buli dan uretra oleh BPH. Selanjutnya obstruksi ini dapat menimbulkan
perubahan struktur buli-buli maupun ginjal sehingga menyebabkan komplikasi
pada saluran kemih atas maupun bawah. Keluhan yang disampaikan oleh pasien
BPH seringkali berupa Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS), yang terdiri atas
gejala obstruksi (voiding symptoms), gejala iritasi (storage symptoms), dan gejala
pasca berkemih. Gejala obstruksi meliputi pancaran kemih lemah dan terputus
(intermitensi), merasa tidak puas sehabis berkemih. Gejala iritasi meliputi
frekuensi berkemih meningkat, urgensi, nokturia. Gejala pasca berkemih berupa
urine menetes (dribbling); hingga gejala yang paling berat adalah retensi urine.1
Sistem penilaian yang dianjurkan oleh WHO adalah International Prostate
Symptom Score (I-PSS). Sistem penilaian I-PSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang
berhubungan dengan keluhan miksi dan satu pertanyaan yang berhubungan
dengan kualitas hidup pasien. Setiap pertanyaan yang berhubungan dengan
keluhan miksi diberi nilai 0−5, sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas
hidup diberi nilai 1−7. Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS
dalam 3 derajat, yaitu ringan (skor 0−7), sedang (skor 8−19), dan berat (skor
20−35). Berikut adalah formulir I-PSS.

13
Nama : ............................................................. No Catatan Medik : ..................................... ............

Umur : .............................................................. Tgl Pemeriksaan : ................................................


No DALAM 1 BULAN Tidak Kurang Kurang Kadang- Lebih Hampir Skor
TERAKHIR pernah dari dari kadang dari selalu
sehari setengah (sekitar setengah
sekali 50%)
dalam
lima hari
1 Seberapa sering Anda
merasa masih ada sisa 0 1 2 3 4 5
selesai kencing?
2 Seberapa sering Anda
harus kembali kencing 0 1 2 3 4 5
dalam waktu kurang dari
2 jam setelah selesai
kencing?
3 Seberapa sering Anda
mendapatkan bahwa 0 1 2 3 4 5
Anda kencing terputus-
putus?
4 Seberapa sering anda
merasa sulit untuk 0 1 2 3 4 5
menahan kencing Anda?
5 Seberapa sering
pancaran kencing Anda 0 1 2 3 4 5
lemah?

6 Seberapa sering Anda


harus mengejan untuk 0 1 2 3 4 5
mulai kencing?
Tidak 5 kali
pernah 1 kali 2 kali 3 kali 4 kali atau Skor
lebih
7 Seberapa sering Anda
harus bangun untuk 0 1 2 3 4 5
kencing, sejak mulai
tidur pada malam hari
hingga bangun di pagi
hari?

TOTAL IPSS SKOR (Pertanyaan 1-7):


TOTAL SKOR : 0-7 Gejala Ringan ; 8-9 Gejala Sedang; 20-35 Gejala Berat
Kualitas hidup Senang Senang Pada Campur: Pada Tidak Buruk
sekali umumnya Antara umumnya senang sekali
puas puas dan tidak
tidak puas
Seandainya Anda harus
menghabiskan sisa hidup
dengan fungsi kencing 0 1 2 3 4 5 6
seperti saat ini,
bagaimana perasaan
Anda?

SKOR KUALITAS HIDUP :

14
2.2.7 Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat menentukan adanya leukosituria dan
hematuria. Apabila ditemukan hematuria, maka perlu dicari
penyebabnya.1
2. Pemeriksaan fungsi ginjal
Obstruksi infravesika akibat BPH dapat menyebabkan gangguan
pada saluran kemih bagian atas. Gagal ginjal akibat BPH terjadi
sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Pemeriksaan faal ginjal
berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan
pencitraan pada saluran kemih bagian atas.1
3. Pemeriksaan Prostate Specific Antigen (PSA)
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific
tetapi bukan cancer specific. Kadar PSA di dalam serum dapat
mengalami peningkatan pada keradangan, setelah manipulasi pada
prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut, kateterisasi,
keganasan prostat, dan usia yang makin tua.1
Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit
dari BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti
(a) pertumbuhan volume prostat lebih cepat,
(b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan
(c) lebih mudah terjadi retensi urine akut
Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan
berdasarkan kadar PSA. Semakin tinggi kadar PSA, maka semakin
cepat laju pertumbuhan prostat.1
4. Uroflowmetry
Uroflowmetry adalah pemeriksaan pancaran urine selama proses
berkemih. Pemeriksaan non-invasif ini ditujukan untuk mendeteksi
gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah. Dari uroflowmetry dapat
diperoleh informasi mengenai volume berkemih, laju pancaran
maksimum (Qmax), laju pancaran rata-rata (Qave), waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai laju pancaran maksimum, dan lama

15
pancaran. Pemeriksaan ini dipakai untuk mengevaluasi gejala obstruksi
infravesika, baik sebelum maupun setelah terapi.1
Hasil uroflowmetry tidak spesifik menunjukkan penyebab
terjadinya kelainan pancaran urine. Pancaran urine yang lemah dapat
disebabkan obstruksi saluran kemih bagian bawah atau kelemahan otot
detrusor. Sebaiknya, penilaian ada tidaknya obstruksi saluran kemih
bagian bawah tidak hanya dinilai dari hasil Qmax saja, tetapi juga
digabungkan dengan pemeriksaan lain. Kombinasi pemeriksaan skor
IPSS, volume prostat, dan Qmax cukup akurat dalam menentukan
adanya obstruksi saluran kemih bagian bawah. Pemeriksaan
uroflowmetry bermakna jika volume urine >150 mL.1 Hasil
uroflowmetry normal dan uroflowmetry LUTS ditampilkan pada
gambar berikut.1

Gambar 2.5 Hasil Uroflowmetry Normal dan Uroflowmetry LUTS


5. Residu Urine
Residu urine atau Post Voiding Residual Urine (PVR) adalah sisa
urine di buli-buli setelah berkemih. Jumlah residu urine pada pria
normal rata-rata 12 mL.1
Pemeriksaan residu urine dapat dilakukan dengan cara USG,
bladder scan atau dengan kateter uretra. Pengukuran dengan kateter ini
lebih akurat dibandingkan USG, tetapi tidak nyaman bagi pasien, dapat
menimbulkan cedera uretra, infeksi saluran kemih, hingga bakteremia.
Peningkatan volume residu urine dapat disebabkan oleh obstruksi

16
saluran kemih bagian bawah atau kelemahan kontraksi otot detrusor.
Volume residu urine yang banyak pada pemeriksaan awal berkaitan
dengan peningkatan risiko perburukan gejala.1
Peningkatan volume residu urine pada pemantauan berkala
berkaitan dengan risiko terjadinya retensi urine.1
6. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi prostat merupakan pemeriksaan rutin yang
bertujuan untuk menilai bentuk dan besar prostat, dengan menggunakan
ultrasonografi transabdominal (TAUS) atau ultrasonografi transrektal
(TRUS). Pengukuran besar prostat penting dalam menentukan pilihan
terapi invasif, seperti operasi terbuka, teknik enukleasi, TURP, TUIP,
atau terapi minimal invasif lainnya.1
7. Uretrosistoskopi
Uretrosistoskopi dikerjakan pada pasien dengan riwayat hematuria,
striktur uretra, uretritis, trauma uretra, instrumentasi uretra, riwayat
operasi uretra, atau kecurigaan kanker buli-buli.1
2.2.8 Tata Laksana
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah memperbaiki kualitas hidup pasien.
Terapi yang didiskusikan dengan pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan
pasien, serta ketersediaan fasilitas setempat. Pilihan terapi meliputi: konservatif
(watchful waiting), medikamentosa, dan pembedahan.1
1. Konservatif
Terapi konservatif pada BPH dapat berupa watchful waiting yaitu
pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan
penyakitnya tetap diawasi oleh dokter. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan
untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan
yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.1
Pada watchful waiting ini, pasien diberi penjelasan mengenai
segala sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya,
misalnya:
1) jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah
makan malam,

17
2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan
iritasi pada kandung kemih (kopi atau cokelat),
3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin,
4) jangan menahan kencing terlalu lama, dan
5) penanganan konstipasi.1
Pasien diminta untuk datang kontrol berkala (3-6 bulan) untuk
menilai perubahan keluhan yang dirasakan, I-PSS, uroflowmetry,
maupun volume residu urine. Jika keluhan berkemih bertambah buruk,
perlu dipikirkan untuk memilih terapi yang lain.1
2. Medikamentosa
Terapi medikamentosa diberikan pada pasien dengan skor IPSS >7.
Jenis obat yang digunakan adalah:
1) α1-blocker
Pengobatan dengan α1-blocker bertujuan menghambat
kontraksi otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus
leher kandung kemih dan uretra. Beberapa obat α1-blocker yang
tersedia, yaitu terazosin, doksazosin, alfuzosin, dan tamsulosin
yang cukup diberikan sekali sehari.1
Obat golongan ini dapat mengurangi keluhan storage
symptom dan voiding symptom dan mampu memperbaiki skor
gejala berkemih hingga 30-45% atau penurunan 4-6 skor I-PSS dan
Qmax hingga 15-30%. Tetapi obat α1-blocker tidak mengurangi
volume prostat maupun risiko retensi urine dalam jangka panjang.1
Masing-masing α1-blocker mempunyai tolerabilitas dan
efek terhadap sistem kardiovaskuler yang berbeda (hipotensi
postural, dizzines, dan asthenia) yang seringkali menyebabkan
pasien menghentikan pengobatan. Penyulit lain yang dapat terjadi
adalah ejakulasi retrograd. Salah satu komplikasi yang harus
diperhatikan adalah Intraoperative Floppy Iris Syndrome (IFIS)
pada operasi katarak dan hal ini harus diinformasikan kepada
pasien.1

18
2) 5α-reductase inhibitor
5α-reductase inhibitor bekerja dengan menginduksi proses
apoptosis sel epitel prostat yang kemudian mengecilkan volume
prostat hingga 20-30%. 5a-reductase inhibitor juga dapat
menurunkan kadar PSA sampai 50% dari nilai yang semestinya
sehingga perlu diperhitungkan pada deteksi dini kanker prostat.
Saat ini, terdapat 2 jenis obat 5α-reductase inhibitor yang dipakai
untuk mengobati BPH, yaitu finasteride dan dutasteride. Efek klinis
finasteride atau dutasteride baru dapat terlihat setelah 6 bulan.1
Finasteride digunakan bila volume prostat >40 ml dan
dutasteride digunakan bila volume prostat >30 ml. Efek samping
yang terjadi pada pemberian finasteride atau dutasteride ini
minimal, di antaranya dapat terjadi disfungsi ereksi, penurunan
libido, ginekomastia, atau timbul bercak-bercak kemerahan di
kulit.1
3) Antagonis Reseptor Muskarinik
Pengobatan dengan menggunakan obat-obatan antagonis
reseptor muskarinik bertujuan untuk menghambat atau mengurangi
stimulasi reseptor muskarinik sehingga akan mengurangi kontraksi
sel otot polos buli-buli. Beberapa obat antagonis reseptor
muskarinik yang terdapat di Indonesia adalah fesoterodine
fumarate, propiverine HCL, solifenacin succinate, dan tolterodine
I-tartrate.1
Penggunaan antimuskarinik terutama untuk memperbaiki
gejala storage LUTS. Analisis pada kelompok pasien dengan nilai
PSA <1,3 ng/ml (≈volume prostat kecil) menunjukkan pemberian
antimuskarinik bermanfaat. Sampai saat ini, penggunaan
antimuskarinik pada pasien dengan BOO masih terdapat
kontroversi, khususnya yang berhubungan dengan risiko terjadinya
retensi urine akut. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi rutin
keluhan dengan I-PSS dan sisa urine pasca berkemih. Sebaiknya,

19
penggunaan antimuskarinik dipertimbangkan jika penggunaan α-
blocker tidak mengurangi gejala storage.1
4) Phospodiesterase 5 inhibitor
Phospodiesterase 5 inhibitor (PDE 5 inhibitor)
meningkatkan konsentrasi dan memperpanjang aktivitas dari cyclic
Guanosine Monophosphate (cGMP) intraseluler, sehingga dapat
mengurangi tonus otot polos detrusor, prostat, dan uretra. Di
Indonesia, saat ini ada 3 jenis PDE5 Inhibitor yang tersedia, yaitu
sildenafil, vardenafil, dan tadalafil. Sampai saat ini, hanya tadalafil
dengan dosis 5 mg per hari yang direkomendasikan untuk
pengobatan LUTS. Tadalafil 5 mg per hari dapat menurunkan nilai
IPSS sebesar 22-37%. Penurunan yang bermakna ini dirasakan
setelah pemakaian 1 minggu.1
3. Pembedahan
Indikasi tindakan pembedahan, yaitu pada BPH yang sudah
menimbulkan komplikasi, seperti: retensi urine akut; gagal Trial
Without Catheter (TwoC); infeksi saluran kemih berulang; hematuria
makroskopik berulang; batu buli-buli; penurunan fungsi ginjal yang
disebabkan oleh obstruksi akibat BPH; dan perubahan patologis pada
buli-buli dan saluran kemih bagian atas. Indikasi relatif lain untuk terapi
pembedahan adalah keluhan sedang hingga berat, tidak menunjukkan
perbaikan setelah pemberian terapi non bedah, dan pasien yang
menolak pemberian terapi medikamentosa.1
1) Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
TURP merupakan tindakan golden standard pembedahan
pada pasien BPH dengan volume prostat 30-80 ml. Akan tetapi,
tidak ada batas maksimal volume prostat untuk tindakan ini di
kepustakaan, hal ini tergantung dari pengalaman spesialis urologi,
kecepatan reseksi, dan alat yang digunakan. Secara umum, TURP
dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90% dan meningkatkan laju
pancaran urine hingga 100%.1

20
2) Laser Prostatektomi
Terdapat 5 jenis energi yang dipakai untuk terapi invasif
BPH, yaitu: Nd:YAG, Holmium:YAG, KTP:YAG, Green Light
Laser, Thulium:YAG (Tm:YAG), dan diode. Kelenjar prostat akan
mengalami koagulasi pada suhu 60-650C dan mengalami vaporisasi
pada suhu yang lebih dari 1000C. Penggunaan laser pada terapi
pembesaran prostat jinak dianjurkan khususnya pada pasien yang
terapi antikoagulannya tidak dapat dihentikan.1
3) Operasi Terbuka
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal
(Hryntschack atau Freyer) dan retropubik (Millin). Pembedahan
terbuka dianjurkan pada prostat yang volumenya lebih dari 80 ml.
Prostatektomi terbuka adalah cara operasi yang paling invasif
dengan morbiditas yang lebih besar.1
4. Terapi Lain
1) Trial Without Catheterization (TwoC)
TwoC adalah cara untuk mengevaluasi apakah pasien dapat
berkemih secara spontan setelah terjadi retensi. Setelah kateter
dilepaskan, pasien kemudian diminta dilakukan pemeriksaan
pancaran urin dan sisa urin. TwoC baru dapat dilakukan bersamaan
dengan pemberian α1-blocker selama minimal 3-7 hari. TwoC
umumnya dilakukan pada pasien yang mengalami retensi urine
akut yang pertama kali dan belum ditegakkan diagnosis pasti.1
2) Clean Intermittent Catheterization (CIC)
CIC adalah cara untuk mengosongkan buli-buli secara
intermiten baik mandiri maupun dengan bantuan. CIC dipilih
sebelum kateter menetap dipasang pada pasien-pasien yang
mengalami retensi urine kronik dan mengalami gangguan fungsi
ginjal ataupun hidronefrosis. CIC dikerjakan dalam lingkungan
bersih ketika buli-buli pasien sudah terasa penuh atau secara
periodik.1

21
3) Sistotomi
Pada keadaan retensi urine dan kateterisasi transuretra tidak
dapat dilakukan, sistostomi dapat menjadi pilihan. Sistostomi
dilakukan dengan cara pemasangan kateter khusus melalui dinding
abdomen (supravesika) untuk mengalirkan urine.1
4) Kateter Menetap
Kateterisasi menetap merupakan cara yang paling mudah
dan sering digunakan untuk menangani retensi urine kronik dengan
keadaan medis yang tidak dapat menjalani tidakan operasi.1
Skema pengelolaan BPH untuk dokter umum dan spesialis non-urologi
ditampilkan pada bagan berikut.

Gambar 2.6 Skema Pengelolaan BPH Dokter Umum dan Spesialis Non-urologi

22
BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 Identitias Pasien


nama : ISU, Tn
umur : 59 tahun
jenis kelamin : laki-laki
pekerjaan : pensiun
nomor rekam medis : 01.05.39.63
tanggal pemeriksaan : 9 Agustus 2019
status perkawinan : menikah
negeri asal : Kota Padang
alamat : Koto Baru, Kota Payakumbuh
agama : Islam
nama ibu kandung : Marlis
suku : Minangkabau
nomor telepon : 082388007741
3.2 Anamnesis
- Keluhan utama: Buang air kecil tidak lancar sejak 1 bulan sebelum masuk
rumah sakit
- Riwayat penyakit sekarang:
 Buang air kecil tidak lancar sejak sekitar 1 bulan sebelum masuk rumah
sakit
 Buang air kecil tidak lampias ada
 Buang air kecil susah ditahan ada
 Buang air kecil dengan pancaran lemah ada
 Buang air kecil sering pada siang hari, sekitar 10 kali
 Terbangun untuk buang air kecil pada malam hari ada, pasien bangun
sekitar 2 kali setiap malam untuk buang air kecil
 Demam disangkal, nyeri saat buang air kecil disangkal
 Buang air kecil keluar darah atau batu disangkal
 Penurunan berat badan secara bermakna disangkal

23
 Penurunan nafsu makan disangkal
 Buang air besar tidak ada keluhan
- Riwayat penyakit dahulu:
 Keluhan buang air kecil tidak lancar pertama kali dirasakan sejak
sekitar 3 bulan yang lalu. Pasien berobat ke dokter dan diberikan obat-
obatan (pasien tidak tahu nama obatnya) dan dipasang kateter. Setelah
kateter dilepas, pasien merasakan keluhan buang air kecil tidak lancar
lagi
 Riwayat sakit ginjal tidak ada
 Riwayat diabetes melitus dan kolesterol tinggi tidak ada
 Riwayat hipertensi tidak ada
 Riwayat sakit jantung tidak ada
 Riwayat stroke tidak ada
 Riwayat asma dan alergi tidak ada
- Riwayat penyakit keluarga:
 Ibu pasien menderita hipertensi
 Ayah pasien menderita stroke
- Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan:
Pasien merupakan seorang pensiunan pegawai negeri, riwayat merokok
ada sebanyak 12 batang per hari selama 40 tahun (indeks Brinkman =
perokok sedang), riwayat mengkonsumsi alkohol dan penyalahgunaan
NAPZA tidak ada.

24
- Dilakukan penilaian I-PSS dengan nilai sebagai berikut:

Nama : ISU, Tn No Catatan Medik : 01.05.39.63


Umur : 59 tahun Tgl Pemeriksaan : 9 Agustus 2019
No DALAM 1 BULAN Tidak Kurang Kurang Kadang- Lebih Hampir Skor
TERAKHIR pernah dari dari kadang dari selalu
sehari setengah (sekitar setengah
sekali 50%)
dalam
lima hari
1 Seberapa sering Anda
merasa masih ada sisa 0 1 2 3 4 5 3
selesai kencing?
2 Seberapa sering Anda
harus kembali kencing 0 1 2 3 4 5 2
dalam waktu kurang dari
2 jam setelah selesai
kencing?
3 Seberapa sering Anda
mendapatkan bahwa 0 1 2 3 4 5 2
Anda kencing terputus-
putus?
4 Seberapa sering anda
merasa sulit untuk 0 1 2 3 4 5 2
menahan kencing Anda?
5 Seberapa sering
pancaran kencing Anda 0 1 2 3 4 5 2
lemah?

6 Seberapa sering Anda


harus mengejan untuk 0 1 2 3 4 5 1
mulai kencing?
Tidak 5 kali
pernah 1 kali 2 kali 3 kali 4 kali atau Skor
lebih
7 Seberapa sering Anda
harus bangun untuk 0 1 2 3 4 5 2
kencing, sejak mulai
tidur pada malam hari
hingga bangun di pagi
hari?
TOTAL IPSS SKOR (Pertanyaan 1-7):
TOTAL SKOR : 0-7 Gejala Ringan ; 8-19 Gejala Sedang; 20-35 Gejala Berat
Kualitas hidup Senang Senang Pada Campur: Pada Tidak Buruk
sekali umumnya Antara umumnya senang sekali
puas puas dan tidak
tidak puas
Seandainya Anda harus
menghabiskan sisa hidup
dengan fungsi kencing 0 1 2 3 4 5 6
seperti saat ini,
bagaimana perasaan
Anda?
SKOR KUALITAS HIDUP : 4
TOTAL SKOR : 18

25
3.3 Pemeriksaan Fisik
- keadaan umum : baik
- kesadaran : composmentis
- tekanan darah : 130/60 mmHg
- nadi : 72 kali/menit
- nafas : 16 kali/menit
- suhu : 36,20C
- VAS :1
• kepala : normosefal, bentuk bulat dan simetris, rambut hitam,
uban ada, rambut tidak mudah rontok
• mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, RC
(+/+), pupil isokor diameter 3mm
• telinga : pendengaran berkurang tidak ada
• oral : caries dentis tidak ada, oral hygiene cukup baik
• leher : pembesaran KGB tidak ada, JVP 5+1 cmH2O
• tenggorok : deviasi trakea tidak ada
• thoraks
 pulmo : simetris statis dan dinamis, fremitus simetris, suara
napas vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
 jantung : irama S1S2 reguler, murmur tidak ada, gallop tidak ada
• abdomen : supel, distensi tidak ada, nyeri tekan tidak ada, nyeri
lepas tidak ada, bising usus positif normal
• punggung : skoliosis, kifosis, dan lordosis tidak ada, gibbus tidak
ada
• genitalia : status lokalis
• anal : tidak ada injury pada regio anal
• genitalia : status lokalis
• ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis tidak ada
- Status Lokalis
• regio suprapubik: distensi suprapubik tidak ada, nyeri tekan suprapubik
tidak ada, perkusi redup

26
• regio genitalia: benjolan di daerah perineum tidak ada, benjolan di
daerah skrotum tidak ada, orifisium uretra eksterna tidak ada kelainan,
massa tidak ada, pasien terpasang foley catheter dengan produksi urin
600 mL/12jam, warna urin kuning jernih
• pemeriksaan rectal toucher: fisura ani tidak ada, sfingter ani menjepit
kuat, mukosa licin, teraba pembesaran prostat pada arah jam 12 dengan
permukaan licin, konsistensi kenyal, tidak berbenjol-benjol, perkiraan
massa prostat 40 mL, pool atas teraba
3.4 Pemeriksaan Penunjang
• Hb : 11,2 g/dL
• HT : 35,0%
• leukosit : 9.930/uL
• trombosit : 371.000/ul
• PT : 9,7 detik
• APTT : 31,9 detik
• Na : 141,0 mEq/L
• K : 4,3 mEq/L
• Cl : 111,0 mEq/L
• Cr : 1,6 mg/dL
• Ur : 53,0 mg/dL
• GDS :119 mg/dL
• pSA : 2,24 ng/mL
• total protein : 5,8 g/dL
• albumin : 3,9 g/dL
urinalisi
• warna : kuning
• kekeruhan : positif
• BJ : 1,025
• pH : 5,0
• leukosit : 0-1/LPB
• eritrosit : 0-1/LPB
• silinder : negatif

27
• kristal : negatif
• epitel : positif
• protein : negatif
• glukosa : negatif
• bilirubin : negatif
kesan : total protein menurun, uereum dan kreatinin meningkat,
pSA dalam batas normal
3.5 Diagnosis
Retensio urin e.c. benign prostatic hyperplasia gagal trial without
catheterization + chronic kidney disease
3.6 Tata Laksana
• Cystoscopy + transurethral resection of the prostate
• Konsul ke bagian ilmu penyakit dalam
3.7 Laporan Operasi
• Pasien dalam posisi litotomi dengan anestesi spinal, antisepsis lapangan
operasi
• Insersi sheath 20:5 F, lensa 30o, mukosa uretra tidak hiperemis,
veromontanum kesan normal, kissing lobe (+) 1,5 cm, bladder neck
kesan tinggi. Sheath diteruskan ke dalam buli, mukosa buli tidak
hiperemis, sirkulasi ada, divertikel (-), massa (-), batu (-), muara ureter
kanan dan kiri teridentivikasi normal.
• Sheath ganti sheath resecroscope 26 Fr.
• Dilakukan transurethral resection of the prostatedengan teknik Banes
secara sistematis, perdarahan dikontrol secara simultan, chip prostat
dievakuasi keluar dengan Ellick evacuator.
• Evaluasi ulang, sisa chip prostat (-), perdarahan aktif (-).
• Sheath dikeluarkan, tes miksi (+)
• Pasang foley catheter 22 F, balon diisi water injection 40 mL.
• Prosedur selesai.
• Follow up, 10 Agustus 2019:
 Subjektif : keluhan (-)

28
 Objektif : keadaan umum baik, kesadaran komposmentis,
tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 kali/menit, nafas 16
kali/menit, suhu 36,90C, terpasang foley catheter dengan produksi
urin 600 mL/12jam, warna urin kuning jernih.
 Assesment : post TUR-P H+1
 Plan : IVFD RL 500 mL/12 jam, ceftriaxone 2 x 1 g IV,
paracetamol 3 x 500 mg PO, cek darah perifer lengkap dan
elektrolit
• Follow up, 12 Agustus 2019:
 Subjektif : keluhan (-)
 Objektif : keadaan umum baik, kesadaran komposmentis,
tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 kali/menit, nafas 16
kali/menit, suhu 36,90C, terpasang foley catheter dengan produksi
urin 720 mL/12jam, warna urin kuning jernih.
 Assesment : post TUR-P H+3
 Plan : lepas foley catheter, kontrol poli bedah urologi,
pasien dipulangkan

29
BAB 4
DISKUSI
Seorang pasien laki-laki berusia 59 tahun datang dengan keluhan buang air
kecil tidak lancar sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Buang air kecil tidak
lancar merupakan salah satu gejala lower urinary tract symptoms (LUTS). LUTS
merupakan gejala yang disebabkan oleh terdapatnya ganguan pada buli, prostat,
dan uretra. LUTS merupakan manifestasi klinis yang ditimbulkan oleh berbagai
gangguan, seperti kelemahan detrusor muscle, infeksi saluran kemih, prostatitis
kronis, urolitiasis, keganasan pada prostat atau buli. Pasien berusia 59 tahun,
maka perlu diarahkan anamnesis ke arah benign prostatic hyperplasia (BPH),
tumor prostat, atau urolitiasis. Pada anamnesis didapatkan gejala obstruksi
lainnya, seperti buang air kecil tidak lampias, buang air kecil susah ditahan, buang
air kecil dengan pancaran lemah, buang air kecil sering pada siang hari (sekitar 10
kali), terbangun untuk buang air kecil pada malam hari (sekitar 2 kali). Keluhan
demam, nyeri saat buang air kecil, buang air kecil keluar darah atau batu,
penurunan berat badan secara bermakna disangkal, dan penurunan nafsu makan
disangkal, sehingga kecurigaan terhadap urolitiasis dan tumor prostat dapat
disingkirkan. Dari penilaian I-PSS didapatkan sscor IPSS 18, yang menunjukkan
bahwa pasien berada pada klasifikasi gejala sedang.
Pada pemeriksaan status genealis didapatkan hasil pemeriksaan dalam
batas normal. Pada pemeriksaan status lokalis didapakan hasil pemeriksaan regio
suprapubik: distensi suprapubik tidak ada, nyeri tekan suprapubik tidak ada,
perkusi redup; regio genitalia: benjolan di daerah perineum tidak ada, benjolan di
daerah skrotum tidak ada, orifisium uretra eksterna tidak ada kelainan, massa
tidak ada, pasien terpasang foley catheter dengan produksi urin 600 mL/12jam,
warna urin kuning jernih; pemeriksaan rectal toucher: fisura ani tidak ada,
sfingter ani menjepit kuat, mukosa licin, teraba pembesaran prostat pada arah jam
12 dengan permukaan licin, konsistensi kenyal, tidak berbenjol-benjol, perkiraan
massa prostat 40 mL, pool atas teraba.

30
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan hasil total protein menurun,
uereum dan kreatinin meningkat, pSA dalam batas normal.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, maka ditegakkan diagnosis kerja Retensio urin e.c. benign prostatic
hyperplasia gagal trial without catheterization + chronic kidney disease dengan
rencana terapi cystoscopy + transurethral resection of the prostate.
TURP merupakan tindakan golden standard pembedahan pada pasien
BPH dengan volume prostat 30-80 ml. Secara umum, TURP dapat memperbaiki
gejala BPH hingga 90% dan meningkatkan laju pancaran urine hingga 100%.
Indikasi tindakan pembedahan pada pasien ini yaitu BPH yang sudah
menimbulkan komplikasi, seperti: retensi urine akut; gagal Trial Without Catheter
(TwoC); penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat BPH.
Indikasi relatif lain untuk terapi pembedahan pada pasien ini adalah keluhan
sedang hingga berat dan tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi
non bedah.

31
DAFTAR PUSTAKA
1. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Panduan penatalaksanaan klinis pembesaran
prostat jinak (benign prostatic hyperplasia/ BPH). Jakarta; 2015.
2. Purnomo BP. Dasar-dasar urologi edisi ketiga. Malang: Sagung Seto; 2014.
3. Moore KL, Agur AMR, Dalley AF. Essential clinical anatomy fifth edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2015.
4. Syamsuhidajat R, Jong WD. Buku ajar ilmu bedah edisi kedua. Jakarta :
EGC; 2010.
5. Mescher AL. Janqueira’s basic histology text & atlas (14th edition). New
York: McGraw-Hill Medical; 2016.
6. Hall JE. Guyton and Hall texbook of medical physiology thirteen edition.
Philadelphia: Elsevier; 2016.
7. Speakman MJ. Lower urinary tract symptom suggestive of benign prostate
hyperplasia (LUTS/BPH) : more than treating symptoms. Philadelphia:
Elsevier; 2008.
8. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit
edidi 6. Jakarta: EGC; 2015.

32

Anda mungkin juga menyukai