Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Dengue Hemorrhagic Fever (DHF)


1. Pengertian
Menurut Aru W.Sudoyo dkk, (2010) Dengeu haemorrhagic
fever/DHF(Demam Berdarah Dengue/DBD) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri
otot dan/atau nyeri sendi yang disertai ruam, limfadenopati,
trombositopenia dan diatesis hemoragik, penularan virus dengue ini
ditularkan melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama A. aegypti dan
A. albopictus).
Menurut Sujono Riyadi dan Suharsono, (2010) DHF (Dengue
Haemoragic Fever) adalah penyakit yang terdapat pada anak-anak dan
orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi yang
biasanya memburuk setelah dua hari pertama dan apabila timbul renjatan
angka kematian akan cukup tinggi.
Menurut Arita Murwani, (2009) DHF (Dengue Haemorrhagic
Fever) atau dikenal sebagai Demam Berdarah diduga diambil namanya
dari gejala penyakitnya yaitu adanya demam/panas dan adanya
perdarahan.
Dapat disimpulkan bahwa DHF (Dengue Hemorrhagic Fever)
adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dengue dimanadapat
menimbulkan demam dan adanya perdarahan, penyakit ini dapat
menyerang pada anak-anak dan orang dewasa.

2. Etiologi
Menurut Aru W.Sudoyo, dkk, (2010) demam berdarah dengue
disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus
keluarga Flaviviridae. Terdapat 4 serotipe virus yang dapat menyebabkan

6
7

demam dengue atau demam berdarah dengue yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-
3, dan DEN-4, dimana DEN-3 merupakan serotipe terbanyak yang
ditemukan di Indonesia.
Menurut Arita Murwani, (2009) penyebabutama DHF adalah virus
dengue yaitu dari kelompok arbovirus B. Sedangkan sebagai vektornya
adalah melalui Arthropoda seperti nyamuk. Di Indonesia sendiri yang
paling banyak sebagai vector virus dengue adalah jenis nyamuk aedes
aegypti.
Virus dengue sendiri dibawa oleh nyamuk aedes aegypti (betina)
sebagai vektor ketubuh manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Infeksi
yang pertama kali dapat memberi gejala sebagai dengue fever adalah
dengan adanya gejala utama demam, nyeri otot/sendi (Sujono Riyadi dan
Suharsono, 2010).

3. Klasifikasi
Menurut WHO, terdapat empat klasifikasi derajad DHF yaitu :
a. Derajad 1
Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquet positif.
b. Derajad 2
Derajad 1 disertai perdarahan spontan dikulit dan atau perdarahan lain
c. Derajad 3
Ditemukannya tanda kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut,
tekanan nadi menurun (< 20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit
dingin, lembab dan pasien menjadi gelisah
d. Derajad 4
Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.
(Amin Huda Nurarif & Hardhi Kusuma, 2016).
8

4. Manifestasi Klinis
a. Demam tinggi selama 2-7 hari
b. Ruam Kulit
c. Sakit Kepala
d. Nyeri retroorbital
e. Leukopeni
f. Uji HI lebih dari 1280 dan atau IgM anti dengue positif
g. Trombositopenia <100.000/ul (Amin Huda Nurarif & Hardhi
Kusuma, 2016).
h. Nyeri otot, tulang sendi, abdomen dan ulu hati (Soedarto, 2012)
i. Manifestasi Perdarahan (Soedarto, 2012), biasanya berupa :
1) Uji tourniquet positif
2) Petekie, ekimosis, purpura
3) Perdarahan mukosa (epistaksis, peradarahan gusi), saluran cerna,
tempat bekas suntikan
4) Hematemesis atau melena

5. Patofisiologis
Setelah virus masuk ke dalam tubuh penderita akan mengalami
keluhan dan gejala karena viremia seperti demam, sakit kepala, mual,
nyeri otot dan pegal di seluruh badan, hyperemia di tenggorokan, timbul
ruam serta kelainan sistem retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar
getah bening, hati dan limpa, dimana yang menentukan berat penyakit
yang membedakan DF dengan DHF ialah meningginya permeabilitas
dinding kapiler karena pelepasan zat anafitaloksin, histamine, dan
serotonine serta aktivasi sistem kalikrein yang berakiat ekstravasi.
Selanjutnya volume plasma akan berkurang sehingga terjadi hipotensi,
hemakonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan. Selama perjalanan
penyakit perembesan plasma ini dapat menurunkan volume plasma
sampai kurang 30%, dimana akibat dari kehilangan plasma dapat terjadi
renjatan hipovolemik yang apabila tidak segera diatasi akan berakiat
9

anoksia jaringan, asidosis metabolik serta kematian. Adapun pada DHF


dapat terjadi perdarahan yang hebat biasanya terjadi setelah renjatan
berlangsung lama dan tidak teratasi. Perdarahan ini biasanya dihubungkan
dengan trombositopenia, gangguan fungsi trombosit dan kelainan
koagulasi (Arita Murwani, 2009).

6. Pathways

Arbovirus (aedes aegepty) Masuk dalam tubuh

Infeksi virus dengue Beredar dalam aliran darah


(viremia)

Membentuk dan melepaskan


zat-zat anafitaloksin,
Mengaktifkan system
histamine, dan serotonin
komplemen

Hipertermi Permeabilitas Agresi


membran meningkat trombosit

Kekurangan volume Trombositopenia


cairan

Risiko syok Risiko


hipovolemik Perdarahan

Gambar 2.1. Pathways Dengue Haemorrhagic Fever(DHF)


(Sumber : Amin Huda Nurarif & Hardhi Kusuma, 2016, jilid 1).
10

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah Lengkap : hemokonsentrasi (hematokrit meningkat 20% atau
lebih), trombositopenia (100.000/mm3atau kurang)
b. Serologi : uji HI (hemoaglutination inhibition test)
c. Rontgen thoraks : effusi pleura (Suriadi dan Rita Yuliani, 2010).
d. Hb dan PCV meningkat (20%) (Amin Hudha Nurarif & Hardhi
Kusuma, 2016).

8. Penatalaksanaan
a. Berikan minum banyak 1,5-2 liter/24 jam
b. Antipiretik jika terdapat demam
c. Antikonvulsan jika terdapat kejang
d. Pemberian cairan melalui infus, dilakukan jika pasien mengalami
kesulitan minum dan nilai hematokrit cenderung meningkat (Suriadi
dan Rita Yuliani, 2010).
e. Tirah baring
f. Observasi keadaan umum (tanda-tanda vital) (Sujono Riyadi dan
Suharsono, 2010)

9. Komplikasi
Menurut Soedarto (2012) komplikasi yang terjadi pada penderita dengue
terutama terjadi pada waktu dilakukannya tidakan pengobatan terhadap
Demam Berdarah Dengue dan dengue shock syndrome diantaranya
adalah sebagai berikut :
a. Komplikasi susunan saraf pusat
Komplikasi pada SSP dapat berbentuk konvulsi, kaku kuduk,
perubahan kesadaran dan paresis. Kejang-kejang kadang-kadang
terlihat pada waktu fase demam pada bayi. Keadaan ini mungkin
akibat tingginya keadaan demam, karena pada pemeriksaan cairan
serebrospinal tidak terjadi kelainan.
11

b. Ensefalopati
Komplikasi neurologik ini terjadi akibat pemberian cairan hipotonik
yang berleihan pada waktu dilakukan pengobatan Demam Berdarah
Dengue atau dengue shock syndrome, penderita mengalami
hiponatremia. Selain itu ensefalopati juga dapat disebakan oleh
terjadinya koagulasi intravaskuler. Kematian akibat komplikasi
neurologik ini dilaporkan dari India, Indonesia, Malaysia, Myanmar,
Thailand dan Puerto Rico.
c. Infeksi
Pneumonia, sepsis atau flebitis akibat pencemaran bakteri Gram-
negatif pada alat-alat yang digunakan pada waktu pengobatan,
misalnya pada waktu transfusi atau pemberian infus cairan.
d. Overhidrasi
Pemberian cairan yang berlebihan dapat menyebakan terjadinya gagal
pernapasan (respiratory failure) atau gagal jantung (heart failure).
e. Gagal hati
Komplikasi yang terjadi pada DBD/DSS dilaporkan dari Indonesia
dan Thailand pada waktu terjadi epidemi oleh DEN-1, DEN-2 dan
DEN-3. Biasanya gagal hati dijumpai bersama terjadinya ensefalopati.
f. Gagal ginjal
Gagal ginjal akut dan sindrom uremia hemolitik dapat terjadi pada
penderita yang sebelumnya telah menderita defisiensi glucose-6-
phosphate dehydrogenase (G6PD) dan hemoglobinopati.
g. Efusi pleura dan dekubitus (Arita Murwani, 2009).

10. Pencegahan
1. Pencegahan primer, dimana pencegahan tingkat pertama dalam
pengendalian vektor. Secara garis besar ada cara pengendalian vektor
yaitu :
a. Fisik
1) Memakia kelambu
12

2) Menguras bak mandi


3) Menutup rapat-rapat tempat penampungan
4) Mengubur sampah
5) Memasang kawat anti nyamuk
6) Menimbun genangan air
7) Menjaga kebersihan rumah
b. Kimia
1) Menyemprot cairan pembasmi nyamuk
2) Mengadakan fogging
c. Biologi
1) Menanam bunga lavender
2. Pencegahan sekunder, berupa tindakan untuk menghentikan proses
penyakit pada tingkat permulaan, sehingga tidak menjadi lebih parah.
a. Melakukan diagnosis sedini mungkin dan memberikan pengobatan
dengan tepat pada pasien.
b. Penyelidikan epidemiologi yang dilakukan petugas kesehatan dan
melakukan fogging disertai penyuluhan.
3. Pencegahan tersier, merupakan pencegahan yang dimaksudkan untuk
mencegah kematian dan melakukan rehabilitasi dengan upaya sebagai
berikut :
a. Ruang gawat darurat
b. Tranfusi darah
c. Mencegah terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB)

B. Konsep Dasar Risiko Perdarahan


1. Pengertian
Risiko perdarahan adalah suatu kondisi dimana pasien berisiko
mengalami penurunan volume darah yang dapat mengganggu kesehatan
(Amin Huda Nurarif & Hardhi Kusuma, 2016, jilid 1).
13

2. Etiologi
a. Perdarahan adalahkeluarnya darah dari saluran yang normal (arteri,
vena, atau kapiler) kedalam ruangan ekstravaskuler dikarenakan
kehilangan kontinuitas pembuluh darah. Perdarahan dapat dihentikan
melalui mekanisme yang berupa adanya kontraksi pembuluh darah,
akan membentuk gumpalan trombosit platelet plug, yang akan
mengakibatkan pembentukan thrombin dan fibrin yang akan
memperkuat gumpalan trombosit (Ngastiyah, 2014).
b. Risiko perdarahan pada DHF (Dengue Haemorrhagic Fever) adalah
dikarenakan adanya trombositopenia, dimana menurunnya fungsi
trombosit dan menurunnya faktor koagulasi merupakan faktor
penyebab terjadinya perdarahan sehingga setiap tusukan jarum yang
meninggalkan hematom dapat beresiko menyebabkan perdarahan
pada pasien DHF. Sedangkan manifestasi perdarahan seperti petekia,
ekimosis, purpura, serta uji turniketyang positif merupakan salah satu
penegak diagnosa demam berdarah dengue. Pada pasien DHF
pemantauan tanda-tanda vital serta hasil laboratorium seperti Ht, Hb
dan trombosit sangat penting dilakukan agar tidak terjadi perdarahan
(Ngastiyah, 2014).

3. Faktor yang Berhubungan


Beberapa data yang memungkinkan berhubungan dengan terjadinya risiko
perdarahan seperti : Aneurisma, sirkumsisi, trauma, riwayat jatuh,
gangguan fungsi hati, gangguan fungsi gastrointestinal, koagulopati sejak
lahir, koagulopati intravaskular diseminata (Doenges, Marilynn E, 2015).

4. Batasan Karakteristik Risiko Perdarahan pada DHF


a. Manifestasi perdarahan
b. Uji tourniquet positif
c. Petekie
d. Trombositopenia
14

e. Ekimosis dan Purpura

(Soedarto, 2012).

5. Pengelolaan Risiko Perdarahan pada DHF


a) Berikan anak banyak minum 1,5-2 liter/hari
b) Lakukan tirah baring pada anak
c) Berikan makanan lunak
d) Pantau keadaan umum, suhu, tensi, nadi, dan perdarahan setiap
jamnya
e) Pemberian obat-obatan antipiretik dan antibiotik bila dikuatirkan akan
terjadi infeksi sekunder (Arita Murwani, 2009).
f) Berikan antipiretik dari golongan aseteminofen (paracetamol), tidak
boleh diberikan antipiretik dari golongan salisilat karena akan
menimbulkan perdarahan yang semakin parah (Ngastiyah, 2014).

C. Konsep Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


1. Teori Tumbuh Kembang Anak
Tumbuh kembang merupakan manifestasi yang kompleks dari
perubahan morfologi, biokimia, fisiologi yang terjadi sejak konsepsi
sampai maturasi/dewasa. Tumbuh kembang mencakup dua peristiwa yang
berbeda dan sulit dipisahkan yaitu pertumbuhan dan perkembangan.
Pertumbuhan (growth) adalah perubahan yang bersifat kuantitatif,
yaitu dimana bertambahnya jumlah, ukuran, dimensi pada tingkat sel,
organ, maupun individu yang dapat dinilai dengan ukuran berat (gram,
pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang, dan tanda-
tanda seks sekunder. Anak tidak hanya bertamah besar secara fisik, tetapi
ukuran dan struktur organ-organ tubuh dan otak juga mengalami
pertumbuhan.
Perkembangan (development) adalah perubahan yang bersifat
kuantitaf dan kualitatif. Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan
(skill) struktur danfungsi tubuh yang lebih kompleks, dalam pola teratur
15

dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan atau


maturitas. Perkembangan menyangkut proses diferensiasi sel tubuh,
jaringan tubuh, organ, dan sistem organ yang berkembang sedemikian
rupa sehingga dapat memenuhi fungsinya masing-masing. Termasuk juga
perkembangan kognitif, bahasa, motorik, emosi, serta perkembangan
perilaku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya (Soetjiningsih
& IG. N. Gde Ranuh, 2016).
Menurut Jean Piaget terdapat empat tahapan dalam perkembangan
kognitif anak, yaitu :
a. Tahap sensori-motor (0-24 bulan)
Pada tahap ini, anak mengembangkan aktivitasnya dengan
menunjukkan perilaku sederhana yang dilakukan berulang-ulang
untuk meniru perilaku tertentu di lingkungannya.Pada tahap ini anak
memahami dunianya melalui gerak dan inderanya.
b. Tahap pra-operasional (2-7 tahun)
Pada tahap ini anak mulai memiliki kecakapan motorik, proses erpikir
anak juga mengalami perkemangan meskipun masih belum logis.
Selain itu, kemampuan simbolisasi anak meningkat, kosakata pada
anak juga mengalami perluasan dan perkembangan, karena pada tahap
ini mereka berubah dari bayi dan balita menjadi “orang kecil” (anak-
anak). Dalam tahap ini anak-anak bersifat “egosentris”, yang berarti
bahwa mereka hanya mampu mempertimbangkan sesuatu dari sudut
pandang mereka sendiri.
c. Tahap operasional konkret (7-11 tahun)
Pada tahapan ini, anak mulai berpikir secara logis dan koheren atas
kejadian-kejadian yang dialaminya, proses berpikir anak menjadi lebih
rasional dan matang.
d. Tahap operasional formal (mulai umur 11 tahun)
Pada tahap operasional formal kemampuan penalaran abstrak dan
imajinasi pada anak telah berkembang. Anak mulai berpikir secara
logis baik pada simbol, informasi maupun objek dan peristiwa yang
16

ada di dunia nyata, anak mulai belajar menciptakan ide baru dan
menggunakan ide tersebut. Anak mampu berfokus pada pertanyaan
verbal dan mengevaluasi validitas logis mereka dan dapat menerima
pandangan orang lain terhadap mereka.

D. Cara Pengukuran Tumbuh dan Kembang Anak


1. Pemantauan Pertumbuhan Fisik Anak
a. Ukuran Antropometrik
Pengukuran antropometri digunakan untuk memantau pertumbuhan
fisik anak, ukuran antropometri ini diagi menjadi dua kelompok,
yaitu:
1) Ukuran yang tergantung umur
Yaitu hasil pengukuan yang dibandingkan dengan umur.
a) Berat badan (BB) terhadap umur
b) Tinggi badan (TB) terhadap umur
c) Lingkar kepala (LK) terhadap umur
d) Lingkar lengan atas (LLA) terhadap umur

Pengukuran menggunakan cara ini mempunyai kesulitan yaitu


dalam menetapkan umur anak secara tepat, karena tidak semua
anak mempunyai catatan mengenai tanggal lahir.

2) Ukuran tidak tergantung umur


Yaitu hasil pengukuran dibandingkan dengan pengukuran
lainya tanpa memperhatikan berapa umur anak yang diukur.
a) Berat badan (BB) terhadap Tinggi badan (TB)
b) Lain-lain : LLA dibandingkan dengan standar/baku, lipatan
kulit pada trisep, subskapular, abdominal dibandingkan dengan
baku (Soetjiningsih & IG. N. Gde Ranuh, 2016).

Dari beberapa pengukuran antropometri, yang sering dignakan dalam


menentukan menentukan kadaan pertumbuhan pada masa balita yaitu :
17

1) Berat Badan
Antara usia 0 dan 6 bulan, berat bayi bertambah 682 gram per
bulan. Berat badan lahir bayi meningkat dua kali lipat ketika usia 5
bulan. Antar usia 6 dan 12 bulan, berat bayi bertambah 341 g per
bulan. Berat lahir bayi meningkat tiga kali lipat saat berusia
12 bulan. Berat badan akan menjadi empat kali berat badan lahir
pada umur 2 tahun. Pada masa prasekolah kenaikan berat badan
rata-rata 2 kg/tahun. Kenaikan berat badan anak pada tahun
pertama kehidupan jika mendapat gizi yang baik berkisar sebagai
berikut:
a) 700-1.000 g/bulan pada triwulan I
b) 500-600 g/bulan pada triwulan II
c) 350-450 g/bulan pada triwulan III
d) 250-350 g/bulan pada triwulan IV

Dalam memperkirakan berat badan anak dapat juga menggunakan


rumus Behrman (1992) :

Tabel 2.1. Perkiraan berat badan dalam kilogram

Lahir = 3,25

3-12 bulan = umur(bulan) + 9

1-6 tahun = umur (tahun) x 2 + 8

6-12 tahun = umur (tahun) x 7 – 5

2) Tinggi Badan
18

Pada tinggi badan rata-rata waktu lahir yaitu 50 cm. Secara garis
besar, tinggi badan anak naik dapat diperkirakan, sebagai
berikut:

a) usia 1 tahun : 1,5 x TB Lahir


b) usia 4 tahun: 2 x TB lahir
c) Usia 6 tahun: 1,5 x TB setahun
d) Usia 13 tahun: 3 x TB lahir
e) Dewasa: 3,5 x TB lahir (2 x TB 2 tahun)

Atau dalam memperkirakan tinggi badan anak dapat juga


menggunakan rumus Behrman (1992) :

Tabel 2.2. Perkiraan tinggi badan dalam sentimeter

Lahir 50 cm

1 tahun 75 cm

2-12 tahun umur (tahun) x 6 + 77

3) Lingkar Kepala
Lingkar kepala pada waktu lahir rata-rata 34 cm. Antara usia 0
sampai dengan usia 6 bulan, lingkar kepala bertambah 1,32 cm per
bulan. Pada usia 6 sampai 12 bulan, lingkar kepala meningkat 0,44
cm per bulan, lingkar kepala meningkat dari sepertiganya dan
berat otak bertambah 2,5 kali dari berat lahir. Pada usia 6
bulan lingkar kepala rata-rata yaitu 44 cm, usia 1 tahun yaitu 47
cm, usia 3 tahun 49 cm, dan pada usia dewasa 54 cm.
4) Perubahan Fontanel
Saat lahir, bagian terlebar fontanel anterior yang berbentuk
berlian berukuran sekitar 4-5 cm, fontanel ini menutup pada usia
12 dan 18 bulan, sedangkan bagian terlebar fontanel posterior
yang berbentuk segitiga sekitar 0,5-1 cm, fontanel ini menutup
pada usia 2 bulan.
19

5) Lingkar Dada
Ukuran normal lingkar dada sekitar 2 cm lebih kecil dari lingkar
kepala. Pengukuran dilakukan dengan mengukur lingkar
dada sejajar dengan puting (Adriana Dian, 2011).
2. Pemantauan Perkembangan Pada Anak
Dalam perkembangan anak terdapat masa kritis, yaitu masa di
mana diperlukannya rangsangan atau stimulasi yang digunakan untuk
potensi perkembangan anak. Perkembangan psiko-sosial sangat
dipengaruhi oleh lingkungan serta interaksi antara anak dengan orang
tuanya atau orang dewasa lainnya. Perkembangan anak akan optimal
apabila interaksi sosial diusahakan sesuai dengan kebutuhan anak pada
berbagai tahap perkembangannya. Sementara itu, jika anak terdapat
dilingkungan yang kurang mendukung maka hanya akan menghambat
perkembangan anak (Ardiana Dian, 2011).
Pemeriksaan KPSP adalah penilian perkembangan anak dalam 4
sektor perkembangan yaitu : motorik kasar, motorik halus, bicara/bahasa
dan sosialisasi /kemandirian. KPSP digunakan sebagai alat praskrening
perkembangan sampai anak usia 6 tahun, pemeriksaan dilakukan setiap 3
bulan untuk di bawah 2 tahun dan setiap 6 bulan hingga anak usia 6
tahun. Dimana tujuannya untuk mengetahui perkembangan anak
normal/sesuai umur atau adanya penyimpangan.

E. Konsep Asuhan Keperawatan Risiko Terjadinya Perdarahan


1. Pengkajian
a. Identitas pasien dan penanggung jawab
Nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan, nama orang tua,
pendidikan orang tua, dan pekerjaan orang tua.
b. Keluhan utama
Alasan/keluhan yang menonjol pada pasien DHF untuk datang ke
Rumah Sakit adalah panas tinggi dan anak lemah.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
20

Didapatkan adanya keluhan panas mendadak yang disertai menggigil


dan saat demam kesadaran komposmentis. Turunya panas terjadi
antara hari ke-3 dan ke-7, dan anak semakin lemah. Kadang-kadang
disertai dengan keluhan batuk pilek, nyeri telan, mual, muntah
anoreksia, diare atau konstipasi, sakit kepala, nyeri otot dan
persendian, nyeri ulu hati dan pergerakan bola mata terasa pegal, serta
adanya manifestasi perdarahan pada kulit, gusi (grade III, IV), melena
atau hematemesis.
d. Riwayat penyakit yang pernah diderita
Penyakit apa saja yang pernah diderita selain DHF. Pada DHF, anak
bisa mengalami serangan ulangan DHF dengan tipe virus yang lain.
e. Riwayat Imunisasi
Apabila anak mempunyai kekebalan yang baik, maka kemungkinan
akan timbulnya komplikasi dapat dihindarkan.
f. Kondisi Lingkungan
Sering terjadi di daerah yang padat penduduknya dan lingkungan yang
kurang bersih (seperti air yang menggenang dan gantungan baju
di kamar).
g. Pola Kebiasaan
1. Kebersihan, upaya keluarga untuk menjaga kebersihan diri serta
lingkungan cenderung kurang terutama untuk membersihkan
tempat sarang nyamuk aedes aegepty
2. Perilaku dan tanggapan bila ada keluarga yang sakit serta upaya
untuk menjaga kesehatan.
h. Riwayat keluarga
Riwayat penyakit infeksi DHF
i. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum: tampak lemah
2) Kesadaran : komposmentis
3) Tanda- tanda vital
21

(TD menurun, nadi lemah dan cepat, suhu meningkat, distrres


pernafasan, sianosis)
4) TB/BB : Sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan
5) Mata : cekung, anemis
6) Hidung : nafas cuping hidung, kadang mengalami perdarahan.
7) Mulut:Pucat, sianosis, membran mukosa kering, bibir kering
dan pucat, kadang perdarahan gusi, nyeri telan.
8) Telinga : Lihat sekret, kadang terjadi perdarahan telinga,
kebersihan.
9) Leher :tidak terdapat pembesaran KGB dan kelenjar tiroid
10) Jantung :lub dup
11) Ekstremitas : akral dingin, terjadi nyeri otot, sendi, serta tulang.
terdapat ruam kulit pada tangan atau kaki, kulit lembab.

2. Diagnosa Keperawatan
1) Diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus DHF menurut
NANDA (2016) adalah :
Risiko perdarahan berhubungan dengan penurunan faktor-faktor
pembekuan darah (trombositopeni)

3. Perencanaan Keperawatan
Menurut Amin Huda Nurarif &Hardhi Kusuma (2016, jilid 1) rencana
keperawatan pada pasien DHF dengan risiko perdarahan adalah sebagai
berikut :
NOC :
Kriteria Hasil :
1) Tidak ada hematuria dan hematemesis
2) Tanda-tanda vital dalam batas normal
3) Tidak ada distensi abdominal
4) Hemoglobin, hematokrit, dan trombosit dalam batas normal

NIC :
22

1) Monitor ketat tanda-tanda perdarahan


2) Catat nilai Hb, Ht, dan trombosit sebelum dan sesudah jika terjadi
perdarahan

3) Monitor nilai laboratorium (koagulasi)


4) Monitor TTV
5) Kolaborasi dalam pemberian produk darah
6) Lindungi pasien dari trauma yang dapat menyebabkan perdarahan
7) Hindari pemberian aspirin dan antikoagulan
8) Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake makanan yang banyak
mengandung vitamin K.
9) Hindari terjadinya konstipasi dengan menganjurkan untuk
mempertahankan intake cairan yang adekuat dan pelembut feses.

4. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh perawat untuk membantu pasien dari masalah kesehatan
yang sedang dihadapinya dan berorientasi pada hasil yang diharapkan.
Dalam proses pelaksanaannya berpusat pada kebutuhan pasien yang
dilakukan secara profesional sesuai dengan hukum dan kode etik
keperawatan, bersifat holistik, dapat memberikan rasa aman, memberikan
pendidikan, dukungan serta melindungi pasien, dimana dalam melakukan
tindakan keperawatan dapat dilakukan secara mandiri maupun kerjasama
dengan profesi lain serta dilakukannya pendokumentasian (Dinarti &
Mulyanti, 2017).

5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari rangkaian proses
keperawatan yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan dari
suatu tindakan yang dilakukan. Selain itu, evaluasi keperawatan bertujuan
untuk menentukan tercapai atau tidaknya tindakan keperawatan yang
23

dilakukan atau bahkan perlu menggunakan pendekatan lain untuk


mengatasinya (Dinarti & Mulyanti, 2017).

Evaluasi adalah suatu proses yang sistematik dan terencana dalam


menganalisis serta membandingkan status kesehatan klien dengan kriteria
hasil yang diinginkan dan menilai derajat pencapaian pasien, dimana jika
suatu masalah keperawatan sudah teratasi maka akan muncul kriteria
hasilnya, akan tetapi jika masalah belum teratasi maka kriteria hasil tidak
akan muncul (Christensen & Kenney, 2009).

Anda mungkin juga menyukai