Anda di halaman 1dari 48

48

2
PARADIGMA ADMINISTRASI PUBLIK

Perkembangan studi administrasi publik sangat dipengaruhi oleh


pradigma ilmu pengatahuan dalam memahami hakikat dasar dari peranan
administrasi publik sebagai ilmu tarapan. Pemahaman ini mencakup
pemahaman terhadap pergeseran cara berpikir dan asumsi yang digunakan
dalam menghadapi permasalahan publik. Administrasi publik sebagai studi
yang artifisial, yaitu administrasi publik yang lebih menekankan pada
bagaimana seharusnya suatu pengaturan publik. Dalam perkembangan ilmu
administrasi publik telah tumbuh dan dikenal sejumlah paradigma yang
menggambarkan adanya perubahan-perubahan dan perbedaan-perbedaan
dalam tujuan, teori, metodologi atau dalam bangunan epistimalogi serta nilai-
nilai yang mendasarinya.
Ilmu pengetahuan akan berkembang melalui tahapan paradigmanya.
Paradigma merupakan kumpulan lepas dari asumsi, konsep atau proposisi
yang disatukan secara logis yang mengarahkan pemikiran dan jalannya
pengkajian. Administrasi publik merupakan sebuah ilmu dan seni yang
mengembangkan proses kerjasama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih
berdasarkan rasionalitas untuk mencapai sebuah tujuan. Konstruksi
administrasi publik ini yang akhirnya memproposisikan adanya hubungan
administrasi publik dengan paradigma ilmu pengetahuan.
Memahami paradigma administrasi dalam kaitannya dengan
implementasi pelayanan dalam suatu organisasi, tidak terlepas dari usaha
yang komprehensif dalam menghasilkan sebuah time work teori administrasi.
Paradigma administrasi merupakan sebuah paradigma dalam menjawab
49

permasalahan organisasi dan birokrasi. Model yang ditunjukkan yang


berkaitan dengan paradigma administrasi yaitu model rasional aktor,
paradigma proses organisasi, dan paradigma birokrasi politik.
Pandangan tentang paradigma administrasi pertama yaitu model
rasional aktor ini berkaitan dengan penjelasan tentang keputusan pemerintah
yang dapat dipahami dari sudut pandang bahwa keputusan merupakan
produk dari aktor tunggal (single actor) sebagai strategi untuk memenuhi
kepentingan diri sendiri. Paradigma administrasi memberikan sebuah
penegasan bahwa setiap aktivitas administrasi dibuat sebagai produk atau
jasa dari pengambil keputusan untuk mengembangkan strategi dalam
memenuhi kepentingan dan keuntungan yang ingin dicapai. Model rational
actor dalam suatu organisasi sangat diperlukan sebagai sebuah keputusan
yang rasional dan menjadi tindakan administrasi yang strategis untuk
mencapai kepentingan dan keuntungan.
Paradigma administrasi mengenai model rasional aktor bila dikaitkan
dengan implementasi kebijakan organisasi, menjadi sebuah produk yang
diperlukan dalam mengatasi permasalahan yang terjadi dalam suatu
organisasi. Paradigma model rasional aktor merupakan solusi kekuasana dan
kekuatan dalam mengembangkan strategi dan kemajuan sebuah organisasi.
Paradigma administrasi juga adalah model paradigma proses organisasi
(organization process paradigm model ), yang dikembangkan oleh Allison
(2010) mengemukakan bahwa aktor yang terlibat dalam pembuatan
kebijakan dan proses kebijakan yang tinggi tingkat strukturnya melalui
standar operasi prosedur (procedure operation standard).
Selain itu, paradigma administrasi publik tidak terlepas dari lima hal
yaitu dikotomi politik dan administrasi publik, prinsip-prinsip administrasi
50

publik, administrasi publik sebagai ilmu politik, administrasi publik sebagai


ilmu administrasi publik, dan administrasi publik sebagai administrasi publik.
Lahirnya paradigma administrasi publik menurut dikotomi politik merupakan
reaksi ketidakpuasan terhadap trikotomi kekuasaan ala trias politica yang
menggantinya dengan dua fungsi yaitu politik dan administrasi. Henry (1995)
menyebutkan bahwa perhatian ilmu politik ada pada persoalan who should
make law and what the law should be , maka yang menjadi perhatian ilmu
administrasi publik adalah how law should be administration with
englightment, with equity, with spread and without friction .
Fungsi politik adalah fungsi penetapan kebijakan, sedangkan fungsi
administrasi publik adalah fungsi implementasi kebijakan, dengan rumusan
Goodow (1995) “politics has not do with policies or expression of the state
will … while administration has to do with the execution of these policies .
Lahirnya paradigma ini mempunyai dampak positif dan negatif terhadap
perkembangan administrasi publik. Dampak positifnya adalah lahirnya
dorongan yang sangat kuat untuk menjadikan administrasi publik sebagai
ilmu. Sedangkan dampak negatifnya adalah tidak adanya unsur inovatif dari
administrasi publik.
Dalam paradigma prinsip-prinsip administrasi publik, para sarjana
administrasi publik melakukan ikhtiar intelektual agar impian untuk
menjadikan administrasi publik sebagai ilmu benar-benar menjadi kenyataan,
di mana ditemukannya salah satu syarat ilmu yaitu prinsip-prinsip dasar yang
bersifat universal. Prinsip tersebut dikenal sebagai the principle of public
administration (Frederickson, 2007). Prinsip tersebut sudah ada dalam buku
yang berjudul Principle of Public Administration karya Willoughby, sebagai
tonggak lahirnya paradigma prinsip administrasi publik (Keban, 2008).
51

Pada era paradigma ini lahir pula prinsip administrasi POSDCORB yang
diceutskan Gullick dan Urwick (1988) bahwa prinsip ini dapat diterapkan
secara sukses di manapun dan dalam organisasi apapun. Sebagaimana
dinyatakan oleh Gullick dan Urwick (1988) bahwa “ the worked in any
administrative setting, regardless of culture, function, environment, mission,
or institutional framework and without exception it there followed that could
be applied successfully any where”.
Selanjutnya paradigma administrasi publik sebagai ilmu politik yang
melahirkan konsepsi bahwa administrasi publik dengan keyakinan yang kuat
melihat politik dan administrasi sebagai satu kesatuan. Kemunduran
perkembangan administrasi publik sebagai sebuah ilmu mulai berkurang
sejak tahun 1960-an ketika beberapa jurnal ilmu politik mulai mengurangi
artikel yang berbau administrasi publik.
Studi perbandingan administrasi publik yang tetap menjadikan
administrasi publik sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri terpisah dari ilmu
politik. Usaha untuk menjadikan administrasi sebagai ilmu normatif kembali
muncul ke permukaan, walaupun kadar normatifnya sudah berkurang, maka
lahirlah paradigma administrasi publik sebagai ilmu administrasi.
Paradigma berikut yaitu administrasi publik sebagai ilmu yang dimulai
dengan terbitnya suatu jurnal yang bergengsi pada tahun 1956 yaitu
“Administration Science Quarterly” yaitu fokus perhatian administrasi adalah
teori organisasi dan manajemen. Teori organisasi lebih memfokuskan kepada
hal-hal yang berkenaan dengan analisa sistem dan lain-lain untuk mengukur
efektivitas dan efisiensi program kerja. Paradigma ini diperkuat oleh
perspektif Handerson (1995) bahwa teori organisasi seharusnya menjadi
pusat perhatian administrasi publik dan salah satu bidang kajian teori
52

organisasi yang banyak mendapat perhatian adalah pengembangan


organisasi. Paradigma ini berorientasi pada efisiensi yang menunjukkan
besarnya dominasi pengaruh administrasi bisnis terhadap administrasi publik.
Kata publikasi yang melekat pada administrasi akan mempunyai makna yang
embivalen, sebab di satu pihak mengutamakan kepentingan umum dan di
pihak lain memperhitungkan keuntungan. Makna kata publik diartikan
sebagai makna filosofi, normatif dan etis
Paradigma berikut yaitu administrasi sebagai administrasi publik yang
merupakan ketidakpuasan terhadap paradigma lama yang memaksa para
sarjana ilmu administrasi membangun sebuah paradigma tersebut.
Paradigma ini menganggap bahwa administrasi publik merupakan bagian dari
ilmu administrasi maupun ilmu politik, walaupun diakui konsep dan konstruksi
banyak diambil dari dua disiplin ini dan karenanya keterkaitannya sangat
kuat.
Lima paradigma dalam ilmu pengetahuan administrasi yang
berkembang, namun kemudian menambahkan satu paradigma lain yaitu
administrasi negara baru, di mana berbagai dimensi dan implikasi nilai yang
ingin diwujudkan merupakan fokus pokok yang menjadi ciri paradigma ini.
Jadi, keenam paradigma tersebut adalah:
1) Birokrasi klasik, dengan fokus struktur organisasi dan fungsi atau prinsip-
prinsip manajemen. Sedangkan yang merupakan lokusnya adalah
berbagai jenis organisasi baik pemerintahan maupun bisnis yang
bertujuan untuk mewujudkan efisiensi, efektivitas, ekonomi dan
rasionalitas.
2) Birokrasi neo klasik, dengan fokus proses keputusan dengan perhatian
khusus kepada penerapan ilmu perilaku, ilmu manajemen dan analisis
sistem, sedangkan lokusnya adalah pengambilan keputusan.
53

3) Kelembagaan, dengan fokus terhadap pemahaman terhadap perilaku


birokrasi yang dipandang sebagai suatu organisasi yang kompleks.
Masalah efisiensi, efektivitas dan produktivitas organisasi kurang
mendapatkan perhatian.
4) Hubungan kemanusiaan, dengan fokus pada dimensi kemanusiaan dan
aspek sosial psikologi dalam organisasi, sedangkan lokusnya adalah
keikutsertaan staf dalam pengambilan keputusan, keterbukaan, aktualisasi
diri dan optimalisasi tingkat kepuasan. Pengembangannya meliputi
sensitivity training, group dynamic dan organization development.
5) Pilihan publik, dengan fokus berkaitan erat dengan politik, sedangkan
lokusnya adalah pilihan untuk melayani kehidupan publik akan barang dan
jasa yang harus diberikan oleh organisasi. Menurut Frederickson (2007),
the modem version of political economics is now customarily referred to
as either “noomarket economics” or the “public choice” approach.
Perkembangan ini mendorong Ostrom (1973) menarik kesimpulan bahwa
“a variety of different organizational arrangements can be used to provide
different public goods and service.
6) Administrasi negara baru, dengan fokus meliputi pengorganisasian,
menggambarkan, mendesain atau membuat organisasi dapat berjalan ke
arah yang mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan secara maksimal yang
dikembangkan dengan sistem desentralisasi dan organisasi demokratis
yang responsif dan mengundang partisipasi, serta dapat memberikan
secara merata jasa-jasa yang diperlukan publik.
Mustopadijaja (2007) mengelompokkan empat paradigma administrasi
publik yaitu paradigma struktural fungsional, paradigma perilaku, paradigma
sistematik, dan paradigma kebijakan publik. Paradigma administrasi
54

cenderung mengetengahkan suatu wawasan yang jelas mengenai bagian


tertentu dari kehidupan keorganisasian. Selain itu administrasi secara
komprehensif dan representatif menjelaskan kenyataan empiris dari proses
kerjasama keorganisasian secara menyeluruh.
Administrasi publik sebagai the work of government yang vital dalam
suatu negara. Frederickson (2007) melihat peran administrasi membantu
dalam memberdayakan publik dan menciptakan demokrasi. Administrasi
publik diadakan untuk memberikan pelayanan publik dan manfaatnya dapat
dirasakan setelah pemerintah meningkatkan profesionalismenya, menerapkan
teknik efisiensi dan efektivitas, dan lebih menguntungkan lagi manakala
pemerintah mencerahkan masyarakat untuk menerima dan menjalankan
sebagian dari tanggung jawab administrasi publik tersebut, sehingga
terbentuk apa yang disebut organized democracy.
Pandangan tersebut di atas melihat bahwa administrasi publik melalui
pelayanan publiknya berperan memberikan atau menciptakan demokrasi.
Rondinelli (2001) mengungkapkan bahwa peran pemerintah harus diarahkan
kepada melayani publik agar mencapai democratic governance yang
dilakukan secara efektif melalui inovasi, prinsip-prinsip good governance,
pemanfaatan teknologi, penguatan institusi publik, partisipasi,
pengembangan kapasitas, desentralisasi pemberian pelayanan,
pemberdayaan dan kemitraan sektor publik.
Administrasi publik mengerjakan apa yang menjadi tugas daripada
pemerintahan dengan jumlah yang sangat banyak dan bervariatif, seperti
pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan, ketertiban, perizinan dan
sebagainya. Secara khusus kegiatan administrasi publik difokuskan pada
55

aspek pelaksanaan kebijakan publik yang berkenaan dengan kegiatan


pelayanan publik. Berikut diuraikan sejarah administrasi publik,
perkembangan administrasi publik dan etika administrasi publik.
A. Ilmu Administrasi
Ilmu administrasi sebagai suatu proses, untuk kegiatan
pembangunan, aktivitas orientasi produktivitas, administrasi sebagai
sumber daya manusia, administrasi dalam tinjauan ilmu administrasi dan
administrasi sebagai seluruh kegiatan pembangunan. Memahami suatu
pengertian tentang ilmu administrasi kaitannya dengan pembangunan
juga tidak terlepas dari bagaimana melihat administrasi pembangunan
sebagai suatu konsep yang di dalamnya memiliki komitmen terhadap
kegiatan pembangunan, pembangunan nasional yang multi dimensional
dan pembangunan ekonomi dalam rangka pembangunan nasional secara
administratif, pembangunan yang terkait dengan bidang-bidang kegiatan
administrasi dan lain sebagainya.
Memahami suatu administrasi sebagai suatu ilmu pengetahuan,
pada dasarnya menjadi benang merah untuk mengembangkan apa yang
menjadi obyek, metode dan sistematika ilmu administrasi tersebut.
Beberapa hal yang menjadi pertimbangan sebagai syarat-syarat suatu
ilmu administrasi menurut Nawawi (1994) bahwa administrasi adalah
suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri dengan syarat-syarat sebagai
berikut: (1) ilmu ini mempunyai obyek, (2) obyek ilmu ini bersifat obyek
material yang nyata, mudah diselidiki dan dideskrisipkan, (3) obyek formal
yaitu yang mengkaji mengenai aspek khusus atau tertentu dari ilmu-ilmu
yang didalaminya, (4) ilmu yang mempunyai metode yang disusun secara
ilmiah, secara obyektif, (5) ilmu ini bersifat sistematik yaitu diungkapkan
56

sesuai dengan kebenaran, kejelasan dan teratur urutannya namun harus


bersifat universal yaitu mengungkapkan obyek sesuai dengan kebenaran
yang berlaku secara umum.
Setelah memahami pemahaman ilmu administrasi maka filosofi
administrasi pada dasarnya menguraikan bagaimana manusia dan segala
sesuatu yang mempengaruhi manusia menjadi obyek yang dipikirkan,
yang diungkapkan dalam suatu kajian penelitian baik penelitian kualitatif
dan kuantitatif dalam mengungkapkan metode ilmu administrasi sebagai
pranata hirarki kajian-kajian ilmu administrasi berdasarkan landasan: (1)
menempatkan manusia sebagai pelaksana tugas dalam memikul
tanggungjawab dalam kajian administrasi, (2) menempatkan manusia
sebagai kajian administrasi organisasi, (3) manusia sebagai output dalam
menghasilkan tujuan dari suatu organisasi.
Berbagai pendekatan tersebut di atas, maka benang merah dapat
dipahami bahwa ilmu administrasi dapat dirasionalkan menjadi suatu
pandangan tentang kegiatan manusia dan berlangsung berupa proses
pengendalian interaksi antara dua orang atau lebih dalam bentuk
kerjasama. Interaksi yang disebut kerjasama itu adalah gejala sosial, yang
bilamana dikendalikan dengan mempergunakan administrasi, akan
berlangsung efektif dan efisien. Dengan demikian berarti langkah-langkah
yang dirumuskan ilmu administrasi harus bersifat terpakai bagi
perwujudan kerjasama yang efektif dan efisien dalam mencapai satu atau
lebih tujuan.
Administrasi merupakan proses pengendalian yang sadar mngenai
tujuan. Dengan demikian berarti langkah-langkah yang dirumuskan dalam
ilmu administrasi harus bersifat terpakai bagi perwujudan kegiatan yang
57

berkualitas, sehingga menjadi kegiatan yang tinggi produktivitasnya


sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Administrasi tidak bermaksud
menghasilkan kegiatan kerjasama yang tidak produktif dalam mencapai
tujuan bersama. Dengan kata lain administrasi merupakan ilmu terapan
untuk meningkatkan produktivitas dalam mencapai tujuan melalui
kerjasama sejumlah orang.
Administrasi berlangsung untuk mempersatukan gerak langkah
sejumlah manusia. Dengan demikian berarti langkah-langkah
pengendalian yang akan dilaksanakan, harus bersifat terpakai dalam
mewujudkan kesatuan gerak sejumlah manusia dalam melaksanakan
tugas-tugas bersama. Gerak yang serentak dan tidak saling menjegal itu
tidak dilakukan secara perseorangan, tetapi juga oleh kelompok-kelompok
kecil atau unit-unit kerja di dalam sebuah organisais. Dengan kata lain
Administrasi harus bersifat terpakai dalam menghilangkan pengkotakan
kerja, agar menjadi satu kesatuan kerja yang saling menunjang secara
kompak.
Administrasi merupakan ilmu yang terpakai dalam merangkai suatu
harapan di dalam perencanaan dengan usaha berupa realisasi kegiatan
sesuai perencanaan dan dengan tujuan yang hendak dicapai.
Kesinambungan mengandung makna bahwa administrasi terpakai dalam
mengembangkan kegiatan secara terarah dan mampu menghindari
penyimpangan-penyimpangan sebelum terjadi agar tidak merugikan
organisasi.
Administrasi sebagai ilmu terapan dengan didasari konsep-konsep
yang bersifat teoretis, selanjutnya merumuskan konsep-konsep
operasional mengenai pengendalian kerjasama sejumlah orang untuk
58

mencapai tujuan bersama. Konsep-konsep tersebut membagi administrasi


dalam dua fungsi pengendalian dengan unsur masing-masing di
dalamnya. Kedua fungsi tersebut dengan unsur-unsur berikut:
1. Fungsi primer meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,
koordinasi, kontrol dan komunikasi. Keenam unsur disebut juga fungsi
manajemen dalam administrasi.
2. Fungsi sekunder meliputi tata usaha, keuangan, personalia, logistik
dan hubungan masyarakat. Kelima unsur ini disebut fungsi operasional
dalam manajemen.
Administrasi sebagai proses pengendalian pada dasarnya
merupakan satu sistem, karena terdiri dari berbagai unsur yang saling
berhubungan dan saling menunjang, sehingga membentuk satu kesatuan
dan secara keseluruhan bergerak ke arah satu tujuan. Fungsi primer
dengan unsur-unsurnya merupakan kegiatan utama yang diemban oleh
setiap Administrator. Sedang fungsi sekunder dengan unsur-unsurnya
merupakan kegiatan penunjang yang tidak boleh diabaikan, namun
perwujudannya dapat dilimpahkan seorang Administrator pada para
pembantu atau stafnya. Fungsi primer merupakan pekerjaan yang
dominan memerlukan kemampuan berpikir yang memadai. Fungsi
sekunder yang titik beratnya lebih bersifat teknis, karena di dalamnya
berisi pekerjaan operasional/rutin, yang tidak memerlukan kemampuan
berpikir yang terlalu tinggi.
Mewujudkan administrasi selalu berlangsung interaksi antara fungsi
primer dengan fungsi sekunder, karena sifatnya yang saling
membutuhkan. Interaksi yang serupa berlaku juga pada fungsi sekunder
yang saling membutuhkan, termasuk juga dengan unsur-unsur di dalam
59

fungsi primer. Kenyataan perlu diperhatikan bahwa di dalam interaksi itu,


kondisi saling membutuhkan antara semua unsur di dalam satu fungsi
atau dengan fungsi lain.
Fungsi primer dimaksudkan adalah langkah-langkah utama dan
penting dalam melakukan pengendalian kerjasama sejumlah orang guna
mencapai tujuan tertentu. Langkah-langkah itu memiliki fungsi yang tidak
boleh dihilangkan, dikurangi atau ditiadakan, agar berperan secara
maksimal sebagai kegiatan pengendalian. Mengabaikan salah satu
diantaranya, akan berakibat kegiatan pengendalian menjadi kurang atau
tidak efektif dan kurang atau tidak efisien bagi terwujudnya kerjasama.
Dengan demikian akan berdampak juga pada tidak tercapainya tujuan
yang telah dirumuskan sebelumnya.
Fungsi primer dalam perencanaan adalah proses menetapkan
keputusan mengenai pekerjaan/kegiatan yang akan dilaksanakan untuk
jangka waktu tertentu di masa depan, yang terarah pada suatu tujuan
tertentu. Perencanaan merupakan proses pengambilan keputusan, maka
sebaiknya seorang administrator memahami juga bagaimana prosesnya
berlangsung. Rencana yang diterapkan meliputi orientasi terhadap tujuan,
fungsi dan tugas pokok organisasi yang saling bertautan satu dengan
yang lain, orientasi terhadap personel, orientasi terhadap fasilitas,
orientasi terhadap peluang di lingkungan sekitar.
Pengorganisasian dalam fungsi sekunder adalah kegiatan yang
bermaksud agar organisasi sebagai sistem atau cara kerjasama berfungsi
dalam mewujudkan pengendalian kerjasama sejumlah orang. Selanjutnya
pengarahan meliputi kegiatan pemberian bimbingan dalam melaksanakan
pekerjaan, merupakan unsur yang tidak boleh diabaikan dalam
60

mewujudkan administrasi sebagai proses pengendalian kerjasama


sejumlah manusia untuk mencapai tujuan tertentu yang telah diterima
sebagai tujuan bersama.
Koordinasi adalah kegiatan untuk mengarahkan unit-unit kerja,
pekerjaan dan para personil organisasi agar semuanya berlangsung dalam
suasana yang tertib, tidak kacau atau bentrok, tetapi tertuju pada
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Berikutnya mengenai kontrol
atau pengawasan yang merupakan salah satu unsur dalam fungsi primer
kegiatan administrasi yang dalam urutan penulisannya selalu berada di
belakang. Kondisi itu sering dihubungkan dengan penempatannya sebagai
kegiatan akhir dari keseluruhan administrasi sebagai kegiatan
pengendalian kerjasama sejumlah manusia untuk mencapai tujuan
bersama. Terakhir adalah komunikasi yang merupakan kegiatan yang
berangkai, sehingga menjadi proses dan karena berlangsung antar
manusia yang berbeda-beda dan bersifat unik, maka sifatnya selalu
dinamis dan unik. Dengan kata lain, komunikasi sangat mudah berubah
dan berkembang, sehingga menjadi bervariasi dan kompleks.
Selanjutnya melihat fungsi sekunder dalam administrasi. Fungsi
sekunder adalah langkah atau kegiatan penunjang dalam melakukan
pengendalian kerja sama sejumlah orang untuk mencapai tujuan tertentu.
Kegiatan dalam fungsi sekunder ini tidak boleh dikurangi atau ditiadakan,
mengingat tanpa melaksanakannya secara maksimal, maka perwujudan
kegiatan pengendalian kerjasama dapat berkurang efisiensi dan
efektivitasnya.
Fungsi sekunder terdiri dari tata usaha, keuangan, personalia,
logistik dan hubungan masyarakat. Tata usaha dalam hal ini merupakan
61

suatu keharusan dalam organisasi. Fungsi tata usaha pada dasarnya


adalah untuk memudahkan atau meringankan pekerjaan
administrator/pimpinan dalam mengambil keputusan. Untuk itu fungsi tata
usaha diwujudkan dengan pengadaan data/informasi yang berhubungan
dengan tugas pokok atau volume kerja organisasi. Kegiatan itu dilakukan
dengan pencatatan, menyimpan, menggandakan semua data/informasi
yang diwujudkan menjadi warkat-warkat yang selalu siap bila diperlukan.
Masalah pengadaan keuangan yang disebut modal dan
pendayagunaannya dalam memproduksi sesuatu yang menguntungkan,
berdasarkan prinsip output harus lebih besar dari input. Bidang ini tidak
ditempatkan sebagai unsur penunjang dalam fungsi sekunder administrasi
di lingkungan organisasi di luar badan usaha di bidang ekonomi, industri
dan jasa.
Administrasi adalah kegiatan manusia di lingkungan organisasi
yang didirikan oleh manusia. Oleh karena itu faktor manusia merupakan
faktor sentral dalam mewujudkan kerjasama yang perlu dikendalikan,
agar individualitas tidak mendominasi sosialitas. Manusia pada dasarnya
merupakan individu atau satu diri yang lazim disebut personal. Atau
dengan kata lain fungsi sekunder administrasi membutuhkan personalia.
Logistik atau perbekalan yang umumnya disebut dengan peralatan
dibedakan atas dua yaitu peralatan perkantoran yang diperlukan untuk
kegiatan tata usaha, dan peralatan teknis yang diperlukan untuk
melaksanakan kegiatan/pekerjaan yang memerlukan keterampilan,
keahlian dan profesionalisme tertentu.
Terakhir adalah hubungan masyarakat yang disingkat dengan
humas atau public relations. Humas merupakan perwujudan sebagian dari
62

komunikasi ke luar sebagai salah satu unsur di dalam fungsi primer yang
mendukung pelaksanaan komunikasi.
Hubungan yang harus diwujudkan melalui kegiatan humas adalah
terjalinnya kesamaan pengertian antara organisasi dan pihak luar
mengenai sesuatu yang diinformasikan. Terwujudnya respons mendekat
dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan yang diinginkan
menyampaikan informasi karena memahami arti, manfaat dan pentingnya
sesuatu yang diinformasikan, terbinanya kerjasama dengan masing-
masing pihak karena merasa ikut bertanggungjawab atas suksesnya
usaha pihak yang lain, karena saling membutuhkan.
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa administrasi adalah
kegiatan manusia yang diselenggarakan untuk mengendalikan
kebersamaannya dalam mewujudkan tujuan bersama pula. Dengan
demikian, berarti juga administrasi menyangkut perilaku manusia yang
dilakukan secara sadar tujuan.
Perilaku administrasi tidak dapat dilepaskan dari organisasi sebagai
satu kesatuan. Dengan demikian berarti perilaku administrasi
berpengaruh pada perkembangan dan kemajuan organisasi. Perilaku
administrasi yang efektif dan efisien akan berpengaruh pada dinamika
organisasi dalam mewujudkan tugas-tugas pokoknya.
Batasan administrasi dalam suatu organisasi mengkaji dan
membahas tentang perilaku individu dalam suatu organisasi sebagai suatu
fungsi dari interaksi antara individu dengan lingkungan kerjanya. Aktivitas
administrasi menyerupai konsep kompetensi sempurna yang memiliki
karakteristik lima proposisi yang terbentuk yaitu spesialisasi
(pengembangan kerja, hirarki perkembangan, sistem prosedur dan
63

aturan, hubungan kelompok bersifat impersionalitas dan promosi atas


kecakapan). pembangunan administrasi ditemukan adanya tiga hal yaitu
pertama, terciptanya aktivitas yang dilakukan individu kelompok dan
organisasi dalam ikatan interaksi. Kedua, terbentuknya tindakan rasional
berorientasi tujuan dan ketiga, terbentuknya akses formasi kelompok
yang kuat dalam melaksanakan tindakan organisasi (administrasi
birokrasi).

B. Definisi Administrasi Publik


Batasan administrasi publik dapat ditinjau dari aspek politik, legal,
manajerial, dan okupasi. Dari aspek politik, administrasi publik adalah apa
yang dilakukan oleh pemerintah (what government does). Disini,
administrasi publik adalah segala aktivitas pemerintah yang
mempengaruhi kehidupan keseharian masyarakat, baik pada ruang
lingkup nasional maupun daerah. Hal senada juga disampaikan oleh
Shafritz dan Russel (2003), bahwa berbicara tentang administrasi publik
pasti berkenaan dengan aksi-aksi pemerintah dalam mengelola urusan-
urusan publik (public affairs) atau implementasi kebijakan publik. Sesuatu
yang dilakukan oleh pemerintah bisa secara langsung ataupun tidak
langsung. Secara langsung misalnya pemerintah menyediakan pelayanan
pengiriman surat, pemenuhan kebutuhan listrik masyarakat, dan
sebagainya. Secara tidak langsung, penyediaan pelayanan dilakukan oleh
pemerintah melalui sektor swasta/bisnis.
Menghadapi persoalan publik, pemerintah harus bisa mengambil
keputusan apakah perlu atau tidak perlu melakukan sesuatu. Dan
keputusan ini (melakukan atau tidak melakukan sesuatu) adalah kebijakan
publik. Setiap keputusan (termasuk keputusan untuk tidak membuat
64

suatu keputusan) dibuat oleh pihak-pihak yang memiliki kontrol politik dan
diimplementasikan oleh administrator. Karenanya, kebijakan publik dan
administrasi publik adalah dua sisi dari sebuah koin yang tidak dapat
dipisahkan. Proses tidak berakhir hanya pada implementasi kebijakan.
Saat pemerintah melakukan sesuatu, dipastikan ada upaya untuk
membuat kebijakan publik menjadi lebih baik sehingga pembuatan
keputusan adalah sebuah proses yang kontinyu. Memenuhi mandat
legislatif, eksekutif, dan yudisial dan untuk menyediakan pelayanan dan
regulasi kepada masyarakat umum maka dalam administrasi publik
dimanfaatkan teori-teori dan proses-proses manajerial, politik, dan legal
(Rosenbloom, 1986).
Dari aspek legal, administrasi publik ada dan dibatasi oleh instrumen
hukum. Administrasi publik kemudian dimaknai sebagai hukum dalam
tindakan dan secara inheren merupakan pelaksanaan atau eksekusi
hukum publik. Administrasi tidak dapat ada tanpa fondasi legal. Di
Indonesia, peraturan tertinggi adalah UUD 1945. Karenanya, semua
legislasi yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.
Demikian juga, segala sesuatu yang dilakukan oleh Presiden harus
mendapat persetujuan dari legislatif. Dari aspek legal, administrasi adalah
regulasi, yakni pemerintah harus menetapkan aturan yang mengatur
tindakan masyarakat dan sektor swasta, apa yang dapat atau tidak dapat
dilakukan oleh mereka.
Administrasi publik juga dapat dilihat sebagai suatu okupasi, yakni
pekerjaan apapun yang dilakukan oleh birokrat; sebagai fisikawan,
arsitek, dokter, dan sebagainya. Mereka seringkali melihat diri mereka
65

berdasarkan profesi tertentu. Meskipun mereka tidak melihat dirinya


sebagai administrator dalam pandangan menjadi seorang manajer, akan
tetapi mereka tetap memberikan pelayanan kepada publik.
Menurut Nicholas Henry, perkembangan studi administrasi publik
dapat dibagi ke dalam beberapa periode. Periode I, yakni Dikotomi
Politik/Administrasi, telah menandai periode administrasi merupakan
disiplin ilmu yang baru. Dimulai dengan tulisan Frank J. Goodnow yakni
Politics and Administration dan mencapai puncaknya dalam karya Leonard
D. White yakni Introduction to the Study of Public Administration.
Dorongan utama dari paradigma ini adalah pembedaan administrasi dari
politik.
Sejalan dengan upaya di atas, White (1926) menerima dikotomi
politik/administrasi dan menggunakan istilah ”manajemen” sebagai
cakupan khusus studi administrasi publik. Meskipun pemikiran White lebih
berdasarkan pada ide Wilson dan Goodnow, ia juga menekankan aspek
seperti rekrutmen pegawai, penilaian, klasifikasi, promosi, disiplin, dan
pemberhentian. Menurut White, model bisnis merupakan model yang baik
untuk diterapkan pada pemerintah.
Periode II yakni Prinsip-prinsip Administrasi telah dijadikan sebagai
prinsip universal. Fokus utama dari administrasi publik adalah mencari dan
mengartikulasikan prinsip-prinsip dasar administrasi yang dapat
dipandang sebagai prinsip yang universal. W.F. Willoughby dengan
tulisannya yakni “Principles of Public Administration” merupakan buku teks
pertama yang mengartikulasikan prinsip-prinsip administrasi publik,
kemudian mencapai puncaknya pada tulisan Luther Gulick dan Lyndall
66

Urwick prinsip-prinsip administrasi publik, human organization merupakan


fokus utama paradigma ini, politik yang irrespective, kelembagaan, atau
sistem nilai.
Periode ini merupakan tantangan bagi prinsip-prinsip administrasi.
Herbert Simon, melalui bukunya Administrative Behaviour, menawarkan
suatu paradigma baru yang berfokus pada konsep pembuatan keputusan,
dengan pemisahan aspek-aspek faktual dan normatif dari administrasi
publik. Periode III, yakni Administrasi Publik sebagai Ilmu Politik
menandai. Beberapa ilmuwan politik memandang proses administrasi
sebagai suatu fase dari peradaban modern (Morstein Marx), sebagai
ekologi manusia, tempat, teknologi, dan problem (Gaus), dan sebagai
proses sosial dan pemerintahan, dan fakta-fakta ideologi (Waldo). Sarjana
lain berfokus pada perilaku partisipan organisasi, yang lain berfokus pada
pembuatan kebijakan publik. Akibatnya, administrasi publik kehilangan
fokus dan identitasnya.
Periode IV, yakni Administrasi Publik sebagai Ilmu Administrasi.
Dalam paradigma ini, teori organisasi, perilaku organisasi, dan ilmu
manajemen menjadi fokus studi administrasi publik. Dalam paradigma ini,
ilmu administrasi publik dapat diartikulasikan dengan jelas.
Menurut Frederickson Paradigma 1: Birokrasi Klasik. Fokus dari
paradigma ini adalah struktur (desain) organisasi dan prinsip-prinsip
manajemen, sedangkan lokusnya adalah berbagai jenis organisasi baik
pemerintah maupun bisnis. Nilai pokok yang ingin diwujudkan adalah
efisiensi, efektivitas, ekonomi, dan rasionalitas. Tokoh utama paradigma 1
adalah Weber, Wilson, Taylor, serta Gullick dan Urwick.
Paradigma 2: Birokrasi Neo-Klasik. Nilai yang ingin dicapai dalam
paradigma ini sama seperti apa yang ingin dicapai pada Paradigma 1.
67

Hanya saja fokus dan lokus keduanya berbeda. Pada paradigma 2,


lokusnya adalah ”keputusan” yang dihasilkan oleh birokrasi pemerintahan,
sedangkan fokusnya adalah proses pengambilan keputusan dengan
perhatian khususnya pada penerapan ilmu perilaku, ilmu manajemen,
analisa sistem, dan penelitian operasi. Tokoh utama paradigma 2 adalah
Simon dan Cyert dan March.
Paradigma 3: Kelembagaan. Fokus perhatian paradigma ini adalah
pemahaman perilaku birokrasi yang dipandang juga sebagai organisasi
yang kompleks. Nilai-nilai seperti efiensi, efektivitas, dan produktivitas
organisasi kurang mendapatkan perhatian. Salah satu aspek perilaku yang
dikaji dalam paradigma ini adalah perilaku pengambilan keputusan yang
bersifat gradual dan inkremental, yang oleh Lindblom dipandang sebagai
satu-satunya cara untuk memadukan kemampuan dan keahlian birokrasi
dengan preferensi kebijakan dan pejabat politik. Tokoh-tokoh dari
paradigma ini adalah Thomson dan Etzioni.
Paradigma 4: hubungan kemanusiaan. Nilai yang mendasari
paradigma ini adalah keikutsertaan dalam pengambilan keputusan,
minimasi perbedaan status dan hubungan antar pribadi, keterbukaan,
aktualisasi diri, dan optimasi tingkat kepuasan. Fokus dari paradigma ini
adalah dimensi-dimensi kemanusiaan dan aspek sosial-psikologis dalam
tiap jenis organisasi ataupun birokrasi. Diantara para teoritisi yang cukup
berpengaruh dalam paradigma ini adalah Likert, Vaniel Kazt dan Robert
Kahn.
Paradigma 5: Pilihan Publik. Fokus dalam paradigma ini tidak lepas
dari politik, sedangkan fokusnya adalah pilihan-pilihan untuk melayani
kepentingan publik akan barang dan jasa yang harus diberikan oleh
68

sejumlah organisasi. Tokoh dari paradigma ini adalah Ostrom, Buchanan,


dan Tullock.
Paradigma 6: Administrasi Negara Baru. Fokus dari paradigma ini
adalah usaha untuk mengorganisasikan, menggambarkan, mendisain,
atau membuat organisasi dapat berjalan ke arah sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan. Organisasi bersifat desentralistis, demokratis yang responsif
dan ada partisipasi, serta memberikan jasa kepada masyarakat secara
merata. Karakter dari paradigma ini adalah administrasi yang bebas nilai.

C. Pemikiran Administrasi Publik


Pemikiran administrasi menjadi penting dalam suatu kajian ilmu
administrasi publik. Pentingnya kajian administrasi ini sangat ditentukan
oleh pemikiran rasionalisme dan positivisme. Kedua aliran pemikiran ini
merupakan suatu pemikiran yang menjelaskan banyak hal yang berkaitan
dengan bagaimana lahirnya suatu ilmu sebagai suatu disiplin.
Menggali suatu pemikiran ilmu administrasi menjadi esensial jika di
dalamnya terdapat fenomena rasionalisme dan positivisme. Karena itu
menjadi penting bila setiap kebijakan-kebijakan akan komparatif dengan
perubahan-perubahan yang terdapat dalam penerapannya.
Mengembangkan suatu disiplin ilmu menjadi rasional dalam melihat
eksistensi ilmu tersebut mengandung ajaran rasionalisme dan positivisme.
Mengembangkan suatu pemahaman desain ilmu sangat konstruktif
dengan aliran yang ada dalam pemahaman pemikiran administratif.
Menurut pandangan Antonio Comte menyatakan bahwa setiap
manusia mempunyai akses untuk menilai sesuatu berdasarkan
rasionalisme. Rasionalisme adalah suatu pemikiran yang dapat diterima
dengan akal sehat. Ukuran dari suatu pemahaman rasionalisme tercermin
69

dari ukuran nilai yang dipahami. Mengembangkan suatu dasar


pemahaman tentu menjadi nilai tersendiri jika pemahaman tersebut
mempunyai nilai positivisme dalam penerapannya. Memajukan suatu
penerapan pandangan positivisme berarti menghidupi cakupan kajian
tentang nilai yang terkandung dalam penerapannya.
Sementara disisi lain memahami pandangan positivisme berarti
mengajarkan pentingnya nilai-nilai manfaat dan kegunaan dari suatu
pemikiran administratif yang berkembang dan maju di dalam mengkaji
secara konstruktif dan mendalam tentang hal tersebut. Memperdebatkan
konsep positivisme dalam kajian administrasi didasari adanya pandangan
paham normatif tentang administrasi.
Administrasi merupakan suatu pengetahuan yang tersebar di
mana-mana dan kebanyakan orang untuk memperoleh pengetahuan
administrasi melalui pengalaman indrawi kemudian direduksi ke dalam
pikirannya. Dengan melalui pengalaman inderawi mereka dapat mengenal
yang ada di sekitarnya, mereka tahu terhadap bisingnya kendaraan
bermotor di ibukota, sunyi senyapnya alam di pegunungan dan panasnya
api serta dinginnya es. Masih banyak lagi pengetahuan manusia yang
diterima melalui inderawi. Bagaimanakah pengetahuan yang diperoleh
manusia ini diadopsi ke dalam pikirannya dikaitkan dengan pengetahuan
bidang administrasi. Dengan adanya potensi berupa knowing dan knower
yang dimiliki oleh manusia, maka pengalaman inderawi dapat dinalar
secara mendalam dengan menghubungkan antara pengalaman inderawi
dengan pemikiran administrasi.
Manusia yang bermodalkan knowing yang berorientasi kepada
kesadaran untuk menciptakan atau meningkatkan keinginan atau
70

kemauan dalam rangka melakukan suatu kegiatan administrasi dan


knower yang berorientasi kepada menciptakan kemampuan menalar atau
berpikir dalam memberikan suatu pandangan terhadap permasalahan
administrasi. Kedua potensi yang dimiliki oleh manusia yang berfungsi
untuk mendorong pemahaman akan hukum atau aturan yang berlaku
setiap satuan dari semua jenis satuannya.
Kebaikan hirarki dari sifat fundamental dari pada suatu teori adalah
menciptakan suatu kepercayaan ilmiah dari setiap orang yang ingin
mendalami mempelajari materi ( contents) teori yang bersangkutan.
Menurut Kerlinger dikutip Zamroni (2005) memberikan suatu pemahaman
bahwa teori adalah sekumpulan konsep, definisi dan proposisi yang saling
kait mengkait yang menghadirkan suatu tinjauan secara sistematis atas
fenomena yang ada dengan menunjukkan secara spesifik hubungan di
antara variabel yang terkait dalam fenomena.
Pandangan teori yang dikemukakan di atas mengarahkan untuk
mengemukakan kedudukan teori dalam manajemen merupakan suatu
kumpulan pengertian, konsep dan proposisi yang dapat menciptakan pola
pemikiran yang utuh dan rasional terhadap administrasi baik ditinjau dari
segi pemikiran maupun ditinjau dari segi profesi atau kegiatan.
Keberadaan konsep administrasi tentunya melalui suatu proses
yang panjang dan pemikiran yang mendalam, dimulai dari dorongan
kemauan atau keinginan untuk mengetahui kemudian diperkuat oleh
kemampuan menalar dalam suatu proses pemikiran. Keterpaduan antara
kemauan atau keinginan dengan kemampuan menalar atau berpikir akan
menciptakan dasar pengetahuan yang diistilahkan dengan knowledge.
71

Juhaya S. Praja (2001) memperlihatkan perkembangan konsep


pemikiran administrasi baik pada bidang negara (pemerintah) maupun
pada bidang bisnis yang pertumbuhannya terjadi dengan pesat, sebagai
akibat dari berbagai faktor yang semuanya berkisar pada dinamika
perkembangan pemikiran dan tindakan manusia dalam ikatan kerjasama.
Pemikiran administrasi dikemukakan oleh Sondang P. Siagian
(2000) menyatakan bahwa administrasi adalah keseluruhan proses
kerjasama antara dua orang atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas
tertentu dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan
sebelumnya dengan memanfaatkan sarana dan prasarana tertentu secara
berdaya guna dan berhasil guna.
Pemikiran administrasi tersebut memberikan pemahaman bahwa
pemikiran dan tindakan sebelum dilaksanakan terlebih dahulu diputuskan
berdasarkan dengan komitmen atau kesepakatan semua manusia yang
terikat dalam kerjasama. Pemikiran administrasi merupakan pemikiran
atas proses pengendalian sistem kerja yang berlangsung efektif dan
efisien dalam mewujudkan tujuan bersama. Dalam administrasi, penting
mengkaji ajaran moralitas dan etika karena administrasi ajarannya berada
di seluruh lini kehidupan, mulai dari kehidupan berumah tangga sampai
kepada kehidupan bernegara, mulai dari masyarakat tradisional sampai
kepada masyarakat modern, mulai dari rakyat jelata (biasa) sampai
kepada pejabat negara yang memerlukan pengaturan dan keteraturan
yang diajarkan secara moralitas serta ketentuan perundang-undangan
dalam administrasi.
1. Pemikiran Administrasi Aliran Rasionalisme
Banyak hal yang dapat membawa kita kepada penerimaan suatu
pembenaran teori, pola pemikiran, latar belakang perkembangan,
72

lingkungan dan lain sebagainya. Teori merupakan pencerminan dari


pernyataan abstrak dan kenyataan konkrit, namun demikian bahwa
sangat jarang dijumpai teori tentang manajemen cocok atau sesuai
dengan pernyataan abstrak dan kenyataan konkrit. Oleh karena itu
dibutuhkan kriteria teori administrasi yang dapat menjembatani
keterpaduan antara pemikiran pernyataan dan pemikiran kenyataan
(rasionalisme) meliputi ide-ide yang tercipta, kerangka pemikiran,
kekuatan asumsi, ketepatan paradigma, perumusan konseptual,
proposisi dan perumusan pengertian atau definisi.
Pemikiran administrasi aliran rasionalisme berupa ide-ide yang
tercipta terangkup dalam teori administrasi yang diperlukan suatu
usaha untuk melahirkan kesepakatan dalam pernyataan abstrak dan
kenyataan konkrit, sehingga keterpaduan dalam suatu pola pemikiran
dapat terwujud dan pada akhirnya akan melahirkan suatu bentuk teori
manajemen yang kuat.
Kerangka pemikiran, proses terbentuknya pola pemikiran
manusia yang mendalami materi manajemen berkembang sesuai
dengan latar belakang pengalamannya, lingkungan yang
membesarkannya dan lain sebagainya. Kondisi demikian ini diperlukan
keterpaduan pola pemikiran untuk membentuk suatu kekuatan teori di
bidang manajemen sehingga dapat memberikan manfaat dalam
kehidupan publik maupun kehidupan privat.
Kekuatan asumsi, dalam hal ini untuk dapat meraih kemenangan
masa yang akan datang sangat dibutuhkan kematangan dari seorang
ilmuwan dan profesional manajemen dalam rangka menetapkan
asumsi yang dapat menciptakan ketepatan kondisi atau keadaan yang
73

akan datang untuk memenangkan suatu persaingan, kelompok


manusia dalam manajemen dibutuhkan kesamaan asumsi baik yang
diungkapkan dalam pernyataan abstrak maupun yang diungkapkan
dalam kenyataan realita atau dengan kata lain konkrit.
Ketepatan paradigma yaitu memandang kedepan terhadap
aktivitas apa yang harus dilakukan dibutuhkan suatu kebulatan teori
manajemen baik yang berkaitan dengan ungkapan pernyataan suatu
pemikiran abstrak dengan ungkapan kenyataan dalam realita.
Ketepatan paradigma atau pandangan yang dicapai masa yang akan
datang sangat berperan untuk menentukan kelangsungan hidup
manajemen yang bersangkutan.
Perumusan konseptual memberikan satu pengertian atau definisi
dengan pengertian atau definisi lain tetapi merupakan satu rumpun.
Oleh karena itu pernyataan abstraksi harus selalu mempunyai
keterkaitan dengan kenyataan realita yang dapat menciptakan
kekuatan pemikiran teori manajemen.
Perumusan proposisi yaitu menghubungkan antara premis mayor
dengan premis minor yang terdapat dalam konsep, atau dapat pula
kita katakan bahwa proposisi adalah hubungan antara konsep yang
satu dengan konsep yang lainnya dengan bersumber dari satu
rumpun.
Pemikiran rasional administrasi dikemukakan Makmur (2007)
adalah pemikiran yang berorientasi kepada suatu tindakan yang dapat
menerima akal pikiran terhadap pelaksanaan kegiatan organisasi itu,
karena pelaksanaan kegiatan organisasi ada yang dapat diterima
dengan akal pikiran sehat yang disebut tindakan rasional, dan ada
74

pula yang tidak dapat diterima dengan akal pikiran sehat yang disebut
tindakan irasional. Sebagaimana dipahami bahwa rasio disamakan
dengan akal yang hanya dimiliki oleh manusia dan merupakan
keistimewaan manusia itu sendiri bila dibandingkan dengan makhluk
lainnya.
2. Pemikiran Administrasi Aliran Positivisme
Berpikir dalam kaitannya dengan penyederhanaan suatu
pekerjaan adalah usaha yang dilakukan secara terencana dalam
rangka memenuhi tuntutan pelaksanaan pekerjaan secara
berdayaguna dan berhasil guna. Tindakan penyederhanaan kegiatan
bukanlah merupakan suatu rahasia yang perlu ditutup rapat-rapat,
melainkan adalah suatu kegiatan yang biasa saja atau dengan kata
lain lumrah.
Berbicara tentang positivisme administrasi sebenarnya tidak
dapat melepaskan diri dari pemikiran filsafat khususnya pada aliran
positivisme yang kajiannya berkaitan dengan pemikiran dan tindakan
positif, terutama yang berhubungan dengan administrasi baik di
pandang sebagai kajian pemikiran keilmuan maupun dipandang
sebagai pemikiran praktis, tempat berserikat manusia yang melakukan
suatu kegiatan dalam proses kerjasama. Unsur utama pengembangan
aliran positivisme administrasi ditentukan oleh manusia yang
berpikiran serba dinamis dan konsekuensinya menyebabkan semakin
bertambah luasnya kegiatan yang harus dilakukan, maka sumber daya
manusia dan non manusia semakin bertambah pula jumlahnya.
Kemudian kemajuan organisasi semakin kuat dan menghadapi
berbagai tantangan dari organisasi lainnya (Makmur, 2007).
75

Penyederhanaan pekerjaan dalam administrasi senantiasa


didasari oleh keinginan hati nurani dan perasaan mendalam bagi
penentu sebuah kebijakan. Makmur (2007) aliran positivisme
administrasi menggambarkan pemikiran manusia dalam administrasi
akan menciptakan realitas, demikian pula sebaliknya realitas dari hasil
kerja manusia dalam organisasi akan melahirkan pemikiran baru yang
memang sangat dibutuhkan dalam rangka proses dinamisasi secara
cepat dan tepat sebuah organisasi.
Aliran positivisme administrasi pada dasarnya berpangkal dari
hati nurani dan perasaan terdalam manusia yang memancarkan
cahaya kebenaran terhadap pelaksanaan aktivitas administrasi.
Sasaran positivisme administrasi adalah mencari kebenaran dan
kebaikan dalam pelaksanaan berbagai kegiatan organisasi, sehingga
memberikan atau menciptakan hasil yang semaksimal mungkin,
kemudian memberikan manfaat terhadap seluruh manusia yang terikat
di dalamnya sebagai anggota untuk hidup layak dan sejahtera.
Pemikiran positivisme didasari pengetahuan seseorang dapat
membuktikan dirinya dapat hidup dengan orang lain untuk kerjasama
dalam rangka usaha menciptakan kebahagiaan. Hal semacam inilah
merupakan karakteristik manusia yang baik dan bijaksana di antara
yang terbaik dan bijaksana yang terikat dalam bentuk kerjasama.
Pemikiran ilmiah dari positivisme administrasi mendorong
meningkatnya keinginan untuk memperoleh pengetahuan dan
memusatkan perhatian kepada usaha untuk mengerti dan
keingintahuan kepada konseptual administrasi.
76

Berdasarkan uraian tersebut mengenai positivisme dan


rasionalisme dari pemikiran administrasi disimpulkan bahwa salah satu
kunci keberhasilan proses berpikir dan bertindak di bidang adminisrasi
adalah dasar bangunannya yaitu pemikiran ilmiah dan kemahiran
bertindak dalam aktivitas administrasi. Pemikiran yang didasari
argumentasi logis para ilmuwan administrasi berpangkal dari premis
sampai melahirkan suatu kesimpulan.
Hakikat dasar pengetahuan administrasi mensyaratkan adanya
makna kebenaran dasar sebagai realitas fundamental dan tidak relatif,
sedangkan kebenaran realitas telah menglami perubahan dari nilai dasar
dan kebenaran relatif tertuang dalam hkikat aposteriori. Pemikiran
tentang administrasi bersumber dari konsep positivisme dan rasionalisme
yang merupakan dasar lahirnya ilmu administrasi dalam hal ini menunjuk
kebenaran yang fundamental dan kesadaran konseptual yang tinggi dan
mampu mengintegrasikan kondisi masa lamapu.
Transformasi administrasi secara positivisme dan rasionalisme
mengharuskan terjadinya perubahan sistem mekanisme, mekanisme dan
prosedur kerja dalam dunia birokrasi. Untuk mewujudkan suatu kenyataan
dibutuhkan elemen lain dalam bidang administrasi. Kegunaan atau
pemanfaatan pemikran rasional dan positivisme berkaitan dengan
administrasi merupakan suatu peranan penting dalam rangka peningkatan
kesejahteraan dan kebahagiaan setiap manusia yang terikat dalam bentuk
kerjasama. Etika dan moralitas administrasi untuk mencapai kegunaan
dan pemanfaatan ilmu administrasi bukanlah berkehendak untuk
mendikotomikan dengan kegunaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan
dan teknologi, melainkan saling melengkapi dan memperkuat administrasi
dalam organisasi.
77

D. Perkembangan Administrasi Publik


Sejarah perkembangan administrasi publik pada dasarnya dapat
ditelusuri melalui berbagai literatur yang membahas tentang administrasi
publik. Sejarah administrasi publik sangat terbatas, namun hal ini bukan
berarti bahwa administrasi publik pada jaman dulu kurang berperan atau
tidak diterapkan. Akal sehat menunjukkan bahwa fungsi administrasi
publik sudah ada sejak dulu kala dan hal ini dapat dilihat dari bagaimana
raja-raja mempertahankan kekuasaannya dan meningkatkan
kesejahteraan rakyatnya. Siagian (2004) menjelaskan perkembangan
administrasi ditinjau dari segi penahapan sejak lahirnya hingga sekarang
telah melewati empat tahap sebagai berikut:
Tahap Survival (1886 – 1930) merupakan tahap yang dapat
dikatakan sebagai masa lahirnya ilmu administrasi karena pada masa
itulah gerakan manajemen ilmiah dimulai Frederickson Wilson Taylor
dalam jangka waktu yang cukup panjang inilah para ahli yang
menspesialisasikan dirinya dalam bidang administrasi dan manajemen.
Memperjuangkan diakuinya administrasi dan manajemen sebagai salah
satu cabang ilmu pengetahuan.
Tahap Konsolidasi dan Penyempurnaan (1930 – 1945), karena
dalam jangka waktu inilah prinsip-prinsip, rumus, dalil ilmu administrasi
dan manajemen lebih disempurnakan sehingga kebenarannya tidak dapat
dibantah lagi. Dalam jangkah waktu ini pulalah gelar kesarjanaan dalam
ilmu administrasi negara dan niaga mulai banyak diberikan oleh berbagai
perguruan tinggi di Indonesia.
Tahap Human Relation (1945 – 1959) karena setelah terciptanya
prinsip, rumus dan dalil yang sudah teruji kebenarannya, perhatian para
78

informal apa yang perlu diciptakan, dibina dan dikembangkan oleh dan
antar manusia pada semua tingkatan organisasi demi terlaksananya
kegiatan yang harus dilaksanakan dalam suasana yang intim dan
harmonis.
Tahap Behaviouralisme (1959 – hingga sekarang). Pengertian
terhadap semakin pentingnya peranan manusia dalam usaha mencapai
tujuan yang telah ditentukan, mengakibatkan para ahli dan sarjana
memusatkan penyelidikannya pada masalah manusia. Pada tahap terakhir
sorotan perhatian bukan lagi manusianya sendiri sebagai makhluk hidup
yang mempunyai martabat, kepribadian, tujuan, cita-cita serta keinginan
yang khas, tetapi sudah meningkat pada penyelidikan tentang perilaku
manusia dalam kehidupan berorganisasi dan apa alasan mengapa
manusia itu berperilaku demikian. Jika tindak tanduk itu merugikan
organisasi diselidiki pula bagaimana caranya agar tindakan yang
merugikan itu dapat diubah menjadi tindakan yang menguntungkan
organisasi.
Perkembangan administrasi publik di Indonesia dilihat dari tulisan
Haryono Sudriamunawar (2002) yang mengklasifikasikan perkembangan
administrasi publik ke dalam tiga masa yaitu:
1. Masa penjajahan Belanda
Selama tiga setengah abad Indonesia di jajah Belanda, selama itu pula
administrasi hanya dikenal sebagai ilmu pengetahuan. Administrasi
diartikan secara sempit sebagai pekerjaan yang berhubungan dengan
ketatausahaan dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah
”administrasi. Karena itu, administrasi secara nyata berupa
pengarsipan, ekspedisi, pengetikan, surat menyurat, registrasi dan
79

herregistrasi. Pada masa ini administrasi negara sebagai suatu disiplin


ilmu belum begitu dikenal. Di Perguruan Tinggi mata kuliah
administrasi negara masih digabung dengan ilmu administrasi
pemerintahan dan sebagainya.
2. Masa penjajahan Jepang
Masa penjajahan Jepang berlangsung cukup singkat, tidak begitu
mempengaruhi budaya bangsa atau pemerintahan. Begitu juga ilmu
administrasi penerapan secara optimal belum terpikirkan. Meskipun
demikian ada beberapa hal yang perlu dicatat pada masa itu berupa
dibentuknya rukun kampung. Hal seperti ini membekas sampai
sekarang menjadi istilah RW (rukun warga) dan RT (rukun tetangga)
dalam sistem administrasi negara Indonesia. Pada masa penjajahan
Jepang dalam sistem pemerintahan dimulai dengan memperkenalkan
organisasi Pertahanan Sipil atau dalam bahasa Jepang disebut ”Sie
Nen Dan”. Begitu juga kursus-kursus ketataprajaan mulai dirintis
meskipun dengan persyaratan peserta khusus sangat ketat dan
sepenuhnya untuk kepentingan penjajahan semata-mata.
3. Masa Kemerdekaan
Pada masa kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 ditandai
dengan dibukanya beberapa perguruan tinggi di Jakarta dan
Yogyakarta. Pada masa ilmu administrasi ataupun administrasi negara
belum mendapat tempat yang baik sebagai disiplin ilmu. Dengan
demikian ilmu administrasi dan administrasi negara masih merupakan
bagian dari mata kuliah yang dianggap pokok pada waktu itu antara
lain ilmu pemerintahan dan ilmu hukum.
80

Perkembangan administrasi publik yang dimaksud yaitu suatu


rentetan landasan filosofi dasar memahami administrasi publik sesuai
dengan perubahan perkembangan administrasi. Perkembangan ini
bersesuaian dengan terbentuknya teori politik berirokrasi. Perkembangan
administrasi tidak terlepas dari administrasi publik sebagai politik
birokrasi, teori administrasi sebagai teori politik, paradigma Aliason dalam
politik birokrasi sebagai politik kekuasaan dan organisasi, dan pengtingnya
birokrasi administrasi.
Perkembangan administrasi memiliki banyak teori politik birokrasi
yang menjelaskan tentang peran pembuatan kebijakan administrasi dan
birokrasi, sehingga pandangan ini menolak dikotomi antara politik dan
administrasi. Teori-teori politik administrasi menemukan pelanggaran
cabang yang ortodok di mana keduanya dapat dibagi antara administrasi
dan politik dan usaha untuk menarik pembentukan ke dalam suatu
laporan yang sistemik.
Tujuan yang ingin dicapai adalah tidak untuk memberi ruang bagi
dikotomi antara politik dan administrasi karena ruang dikotomi ini sudah
ada sejak paradigma pertama ilmu administrasi yang sudah tidak realistis
lagi, atau mengetahui bagaimana birokrasi dapat dibuat oleh akuntabel
secara demokratis, meskipun beberapa masalah tentang teori-teori
birokrasi politik telah muncul.
Teori-teori politik birokrasi menjelaskan tentang peran pembuatan
kebijakan administrasi dan birokrasi. Pandangan ini menolak dikotomi
antara politik dan administrasi yang meliputi teori tentang kontrol
birokrasi, di mana pandangan dikotomi ini sebagai suatu analisis klasik
dalam teori pembangunan. Sejak birokrasi dan birokrat bertunangan
81

dalam melakoni perilaku dan tindakan politik, kebutuhan akan teori-teori


peranan politik birokrasi telah dibenarkan. Politik secara umum
didefinisikan sebagai nilai-nilai alokasi kekuasaan atau proses yang
memutuskan ”gho get what, when and how” (Lasswell, , Easton, 2005).
Teori-teori politik birokrasi di mulai secara empiris dalam tindakan-
tindakan politik dan birokrasi. Inilah yang memortalisasi konsep yang
memandang bahwa administrasi tidak hanya sebagai sebuah teknik dan
aktivitas yang terpisah dengan politik atau dengan kata lain bahwa
perumusan kebijakan tidak terpisah dari implementasinya, sehingga dapat
dikatakan bahwa administrasi dalam politik (Waldo, 2007).
Gaus (2005) memberikan uraian yang didasarkan hasil observasi
yang dilakukan pada federal agency. Dia menemukan bahwa agensi
federal yang tidak hanya memperoleh pemahaman yang jelas dari
kongres akan tetapi juga memiliki sifat yang independen yang dibentuk
oleh petunjuk dan tindakan para pemegang kekuasaan pembuatan
kebijakan yang diskresi meskipun dalam menerjemahkan maksud sebuah
undang-undang dilakukan berdasarkan tindakan pemerintah yang spesifik.
Dengan demikian, birokrasi secara jelas-jelas mempunyai kekuasaan
politik. Karena itu, hal ini membawa kita kepada pemahaman bahwa
agensi publik yang tidak dapat dengan mudah menuliskan bahwa
administrasi berpisah dari politik dan mengabaikan kompleksitas yang
dirasakan oleh para ahli politik.
Gaus menjelaskan sejarah teori politik dengan sebaik-baiknya,
tetapi dalam uraian ini isu-isu yang diangkat lebih kompleks dari teori-
teori kontrol birokrasi itu. Hal ini bertujuan untuk memberi lokasi
dikotomis antara politik dan administrasi. Kajian dikotomi politik
82

administrasi mempunyai tempat tersendiri dalam paradigma pertama


administrasi publik, kajian ini justru mencoba mengungkapkan bagaimana
birokrasi dapat dibuat lebih akuntabel secara demokratis, meskipun
beberapa pertanyaan tentang teori birokrasi politik juga muncul.
Masalah utama dalam teori administrasi adalah suatu versi yang
menimbulkan berbagai masalah yang diidentifikasi menurut James
Madison yaitu telah terjadi dilema dalam mengkonstruksi sebuah
kekuatan pemerintah untuk melindungi kebebasan individu tanpa merusak
kebebasan orang lain agar kepentingan semua individu tanpa merusak
kebebasan orang lain agar kepentingan semua individu tersebut dapat
tercapai. Waldo (2007) berpendapat bahwa ” masalah pokok dari teori
administrasi demokrasi adalah bahwa dalam semua teori demokrasi
intinya adalah bagaimana membangun demokrasi yang damai ... dengan
memenuhi permintaan-permintaan dari penguasa”. Bagaimana
membangun sebuah konstruk teori yang mengakomodir unsur-unsur
hirarki dan otoritas alamiah dalam birokrasi. Fondasi administrasi negara
modern dan komponen utama dalam sistem pemerintahan kontemporer
adalah kontradiksi egalitarian dan ketidakefisienan demokrasi yang ideal.
Masalah ini kemudian menajdi motivasi dan inspirasi bagi para ilmuwan
dan ahli administrasi untuk melakukan penelitian tentang teori
administrasi sebagai teori politik.
Teori awal politik birokrasi dimulai sejak dimunculkannya dari suatu
seri pembelajaran tentang penjelasan pembuatan kebijakan dalam
cabang-cabang eksekutif. Secara signifikan diakui dan disebutkan bahwa
keputusan pemerintah adalah produk dari proses tawar menawar dan
negosiasi diantara aktor-aktor politik, sehingga secara singkat dapat
83

disimpulkan bahwa birokrasi dan birokrat telah memainkan level tertinggi


di dalam interaksi politik dan selalu memainkan permainan yang sangat
cantik. Pembelajaran ini lebih bersifat diskursif daripada teori yang
bersifat eksplisit, akan tetapi secara paralel pekerjaan kontemporer dalam
teori permainan dengan pendekatan yang terlalu formal dan matematis
untuk menjelaskan perilaku para birokrat yang sangat jelas dan kental
(Frederickson, 2003).
Model Allison tentang politik birokrasi dibangun melalui empat
proposisi dasar yaitu: (1) cabang eksekutif yang terdiri dari beberapa
organisasi dan individu yang divergen memiliki tujuan dan agenda
masing-masing; (2) tidak ada pengaruh yang lebih besar dari individu
atau keberadaan organisasi, atau dengan kata lain tidak ada aktor pada
cabang eksekutif yang dapat bertindak secara unilateral; (3) keputusan
final adalah sebuah hasil politik atau dengan kata lain pemerintah telah
memutuskan tenpat dampak dari proses tawar menawar dan kompromi
tentang produk dari proses politik; (4) terdapat perbedaan antara
pembuatan kebijakan dan pelaksanaannya. Salah satu tindakan adalah
kepastian, tentang tugas mengimplementasikan keputusan itu dan
memastikan siapa yang kemudian akan membuat keputusan tentang
tindakan spesifik yang harus dilaksanakan.
Terdapat dua dimensi kunci organisasi pada teori politik birokrasi.
Pertama adalah tingkah laku, di mana tujuannya adalah untuk
menjelaskan mengapa para birokrat dan birokrasi tentang apa yang telah
dilakukan. Anggapan umum di sini adalah bahwa para birokrasi
meneruskan misi publik dan membuat keputusan kebijakan dan hanya
mempunyai pedoman dan peaturan yang samar-samar. Sedangkan yang
84

kedua adalah berhubungan dengan struktur institusi dan pembagian


kekuasaan. Di mana tujuannya disini adalah untuk memahami bahwa
garis-garis formal birokrasi kekuasaan yang berhubungan dengan institusi
lainnya dan program serta kebijakan di dalam semua level organisasi
untuk membedakan bahwa politik relatif mempengaruhi ruang lingkup
dan gerak gerik para aktor politik.
Salah satu ilmuan perilaku organisasi yang telah memberikan
kontribusi kunci pada teori politik birokrasi adalah James Q. Wilson yang
berargumentasi bahwa birokrat mempunyai diskresi pada pembuatan
kebijakan mereka, dan telah membuat seperangkat faktor-faktor yang
dapat membedakan bagaimana diskresi telah diujicobakan. Wilson
memulai anggapannya bahwa perilaku birokrasi dan birokrat mempunyai
tujuan yang dimotivsi oleh beberapa tujuan dan sasaran. Dia menolak
agumen bahwa tujuan dikendalikan oleh perilaku birokrasi adalah
keseluruhan yang telah diputuskan oleh legislator. Misi-misi birokrasi
dalam hukum cenderung bersifat samar seperti tujuan pada Departement
of State. Karena tujuan adalah bersifat samar, maka birokrasi tidak dapat
dengan mudah menyebarkan keahlian mereka untuk memutuskan cara
terbaik untuk mengakhiri kebijakan.
Wilson (1989) menyimpulkan bahwa kesuksesan para birokrasi
adalah di mana para eksekutifnya telah membuat suatu misi yang jelas,
mengidentifikasi tugas yang harus dicapai misi tersebut, pembagian
kekuasaan di dalam organisasi menurut tugas dan pembagian subordinat
dengan pemberian yang cukup tentang masalah otonomi di dalam
mencapai tugas yang diemban.
85

Teori birokrasi perwakilan secara eksplisit menjadi fokus dan pusat


perhatian teori administrasi demokrasi yang dikembangkan oleh Dwight
Waldo. Dalam teori administrasi demokrasi yang merupakan suatu teori
yang mencakup hirarki dan kekuasaan alamiah yang melekat pada
birokrasi yang kemudian direkonsiliasikan secara egalitarian ke dalam
nilai-nilai inefisiensi pada demokrasi. Teori birokrasi perwakilan
mempunyai fokus pada penemuan tentang suatu cara untuk
melaksanakan legitimasi kekuasaan politik birokrasi pada konteks nilai
demokrasi. Inti dari teori ini adalah bahwa suatu birokrasi dapat
merefleksikan perbedaan dalam masayrakat untuk memberi tanggapan
atas berbagai kepentingan dan kelompok dalam pembuatan keputusan
(Krislov, Selden, 2007). Jika birokrasi bersifat sensitif maka keberagaman
kepentingan dalam masyarakat dan kepentingan itu dapat diakomodir dan
diaktualisasikan ke dalam keputusan dan perilaku birolrasi dan birokrat.
Argumen ini menarik sebuah konklusi bahwa birokrasi itu sendiri dapat
berkenaan dengan suatu institusi perwakilan atau dengan kata lain
birokrasi dan para birokrat merupakan perwakilan dari masyarakat. Jika
suatu birokrasi adalah suatu institusi perwakilan, maka peran politik akan
dapat diakomodasi dengan nilai-nilai dasar tentang demokratisasi yang
diinterpretasikan sebagai peraturan mayoritas dengan tidak
mengorbankan hak-hak minoritas dan dihargainya azas kesamaan dalam
institusi perwakilan yang disebut dengan birokrasi.
Teori birokasi perwakilan dimulai dengan asumsi bahwa terdapat
alasan baik dalam agensi publik yang dapat diatur dengan cara mereka
dan ketidakdemokrasian agensi yang berhubungan dengan kekuasaan
politik. Teori birokrasi perwakilan dimulai dengan pengakuan realitas
86

politik. Suatu pemerintahan menyebutkan bahwa tidak semua aspek


keputusan kebijakan dapat diatasi di dalam cabang-cabang pemerintah.
Kekuasaan dasar birokrasi diasumsikan untuk memperoleh diskresi dalam
pembuatan kebijakan seperti hal yang bersifat praktis karena tidak semua
implementasi dan skenario pelaksanaan yang dikandungnya dan
dijumlahkan di dalam peraturan-peraturannya.

E. Etika Administrasi Publik


Kajian etika administrasi publik selalu dikaitkan dengan birokrasi,
karena berkaitan dengan masalah pemerintahan atau aparatur
pemerintah. Terlebih ketika tugas-tugas pemerintahan semakin meningkat
dan kekuasaan pemerintah yang semakin besar sehingga banyak
kegagalan yang dialami oleh pemerintah dalam mengimplementasikan
program-program dan pada akhirnya birokrasi publik yang dipersalahkan.
Dalam perkembangannya, etika administrasi publik menurut Denhard
(2003) terdapat 3 (tiga) perspektif utama, yaitu old public administration,
new public management, dan new public service. Perspektif pertama yang
merupakan perspektif klasik dikemukakan oleh Woodrow Wilson pada
tahun 1887 di Amerika Serikat. Wilson berargumentasi bahwa ada 4
(empat) konsep pentingnya etika administrasi publik (Kurniawan, 2007)
yaitu :
1) Adanya pemisahan antara politik dan etika administrasi publik;
2) Perlunya mempertimbangkan aktivitas pemerintah dari perspektif
bisnis;
3) Analisis perbandingan antara organisasi politik dan privat melalui
skema politik; serta
87

4) Pencapaian manajemen yang efektif melalui pemberian pelatihan


kepada aparat negeri dan dengan menilai kualitas .
Pemisahan antara politik dan etika administrasi publik ini menjadi
subjek perdebatan hangat dalam kurun waktu yang lama. Melalui konsep
tersebut dikenal sebagai The Old of Public Administration yang bertugas
untuk melaksanakan kebijakan dan memberikan pelayanan yang beretika.
Perbedaan pandangan terhadap pemisahan politik dan administrasi
menjadikan pembeda terhadap sejumlah pemikiran dalam Ilmu Etika
administrasi publik.
Pondasi yang telah diletakkan oleh Wilson, etika administrasi publik
memperoleh perkembangan baru yang dikenal dengan konsep rasional
model oleh Herbert Simon dalam tulisannya Administrative Behavior dan
konsep tentang Public Choice (Thoha, 2008). Administrative Behavior
dalam pandangan Simon bahwa preferensi individu dan kelompok
seringkali berpengaruh pada berbagai urusan manusia. Konsep
rasionalitas dalam pandangan ini diposisi sama dengan efisiensi, karena
orang-orang akan berusaha mencapai tujuan organisasi dengan cara yang
rasional dan menjamin perilakunya untuk selalu mengikuti langkah-
langkah yang paling efisien bagi organisasi. Teori Public Choice, bagi
Simon merupakan penafsiran baru atas perilaku administrasi yang lebih
dekat dengan pandangan economic man. Konsep dasar dari The Old
Public Administration dapat berlangsung pada semua sektor kehidupan
pemerintahan, seperti pertahanan, pendidikan, kesejahteraan rakyat,
transportasi, kesehatan masyarakat, dan sebagainya, yang disimpulkan ke
dalam hal-hal sebagai berikut :
88

1. Titik perhatian adalah pada jasa pelayanan yang diberikan langsung


oleh dan melalui instansi-instansi pemerintah yang berwenang.
2. Public policy dan administration berkaitan dengan merancang dan
melaksanakan kebijakan-kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan
politik.
3. Etika administrasi publik hanya memainkan peran yang lebih kecil dari
proses pembuatan kebijakan-kebijakan pemerintah ketimbang upaya
untuk melaksanakan (implementation) kebijakan publik.
4. Upaya memberikan pelayanan harus dilakukan oleh para administrator
yang bertanggung jawab kepada pejabat politik dan yang diberikan
disekresi terbatas untuk melaksanakan tugasnya.
5. Para administrator bertanggung jawab kepada pemimpin politik yang
dipilih secara demokratis.
6. Program-program kegiatan diadministrasikan secara baik melalui garis
hirarki organisasi dan dikontrol oleh para pejabat dari hirarki atas
organisasi.
7. Nilai-nilai utama (the primary values) dari etika administrasi publik
antara lain efisiensi dan rasionalitas.
8. Etika administrasi publik dijalankan sangat efisien an sangat tertutup
karena itu warga negara keterlibatannya amat terbatas.
9. Peran dari etika administrasi publik dirumuskan secara luas seperti
planning, organizing, staffing, directing, coordinating, reporting,
budgeting (Thoha, 2008)
Dalam perkembangan selanjutnya pada dekade akhir 1980-an
hingga pertengahan tahun 1990-an sebagai perspektif kedua, muncul
89

model New Public Management (Loffter, 1996), yang merupakan kritik


terhadap model birokrasi klasik, dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1) Orienting to service consumer or customers,
2) Personnel management and resource,
3) Flexible in financial management,
4) Performance measured, comparison cost and achievement calculated,
5) Investment of development personnel quality and technology
6) Listen corefully to competition (in) market.
Apabila dicermati ciri-ciri birokrasi tersebut di atas, maka pada
prinsipnya model New Public Management, menghendaki agar
pelaksanaan birokrasi dikelola sebagaimana mengelola birokrasi
perusahaan swasta/privat.
Setidaknya ada empat model yang dapat dipergunakan untuk
menggambarkan model New Public Management (Ferlie, 1997), yaitu :
1) The efficiency Drive; 2) Downsizing and Desentralization; 3) In search
of Excellence; 4) Public Service Orientation.
The Efficiency Drive muncul pada sekitar pertengahan tahun 1980
yang menghendaki sektor publik dikelola secara bisnis dengan prinsip
efisiensi dan berorientasi pada pencapaian keuntungan sebesar-besarnya,
dan menerapkan fungsi-fungsi manajemen sektor privat ke dalam sektor
publik.
Downsizing and Decentralization merupakan perbaikan dari model
Efficiency The Drive, yaitu melakukan pergeseran dari manajemen hirarkis
kepada kontrak (Flat). Birokrasi yang paling ideal adalah dengan
menerapkan manajemen kontrak dan struktur organisasi yang mendatar
(flat), menjadikan birokrasi ramah terhadap setiap pengguna jasa atau
90

publik. Model ini birokrasi memberikan kesempatan kepada aparat untuk


melakukan inovasi dan kreativitas dalam memberikan pelayanan kepada
pengguna jasa.
In Search of Excellence menerapkan perlunya inovasi dalam
birokrasi. Selain itu, model ini juga menekankan pentingnya menerapkan
budaya organisasi. Sistem rekruitmen aparat dan pengembangan
dilakukan dengan sistem merit dan terbuka.
Public Service Orientation berupaya memberikan pelayanan yang
berkualitas kepada masyarakat sebagai pengguna jasa dengan
menggunakan prinsip-prinsip yang dilakukan sektor swasta dalam
melayani publik. Model ini menekankan perlunya tetap menjaga kualitas
dan pelayanan yang maksimal dan prima yang diberikan kepada
masyarakat sebagai pengguna jasa sebagaimana layaknya sektor swasta
memperlakukan publiknya.
Perspektif old public administration dengan sistem hirarkinya dan
new public management dengan mekanisme pasar yang digunakan pada
akhirnya juga mendapat kritik salah satunya adalah Denhardt & Denhardt
(2003) yang menyatakan bahwa OPA dan NPM keduanya lebih
mementingkan efisiensi, rasionalitas, produktivitas, dan ekonomis.
Akibatnya dalam penyelenggaraan pelayanan publik seringkali
bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang mengabaikan kepentingan
publik.
Menurut Denhardt & Denhardt (2003), kepentingan publik adalah
merupakan milik masyarakat atau warga negara ( citizen), warga negara
tidak hanya dipandang sebagai persoalan kepentingan pribadi, namun
harus juga melibatkan nilai, kepercayaan dan kepedulian terhadap orang
91

lain. Oleh karena itu masyarakat tidak lagi dianggap sebagai customer
tetapi sebagai citizen. Perubahan orientasi inilah yang memunculkan
perspektif baru etika administrasi publik yang disebut dengan new public
service (NPS). Pada perspektif ini Denhardt & Denhardt (2003)
memperkenalkan 7 (tujuh) prinsip sebagai berikut : 1) Serve citizens, not
costumer; 2) Seek the public interest; 3) Value citizenship over
entrepreneurship; 4) Think strategically, act democratically; 5) Recognize
that accountability is not simple; 6) Serve rather than steer; 7) Value
people, not just productivity.
Adapun model birokrasi yang dikemukakan para ahli, dapat
dinyatakan bahwa model birokrasi yang ideal untuk saat ini adalah model
birokrasi yang mengutamakan pelayanan kepada masyarakat ( customer –
driven organization). Pentingnya menempatkan masyarakat sebagai publik
yang harus dilayani dan diutamakan kepentingannya merupakan hal yang
tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Teori etika administrasi publik menurut Frederickson (1997)
merupakan sarana utama untuk meningkatkan tercapainya tujuan publik,
utamanya dalam mengalokasikan sumberdaya publik agar terhindar dari
distorsi, manipulasi. Lebih lanjut Frederickson (1997) mengatakan bahwa
pendekatan dalam etika administrasi publik ialah governance, dimana
dalam pendekatan tersebut mempertimbangkan ekologi sebagai
lingkungan yang berpengaruh seperti budaya, politik, informasi,
komunikasi.
Etika administrasi publik merupakan instrumen birokrasi negara,
instrumen kolektif, sarana publik untuk menyelenggarakan tatakelola
kepentingan bersama dalam jaringan kolektif untuk mencapai tujuan
92

publik. Etika administrasi publik menurut Box (1998) menempatkan segala


urusan publik sebagai bagian urusan negara. Wilayah etika administrasi
publik menurut Dahl (1998) disebut sebagai governance atau tata kelola.
Dengan demikian maka etika administrasi publik sebagai governance
mempunyai lokus sinergi kiprah pada wilayah publik.
Paradigma etika administrasi publik model klasik dengan model
"old chesnuts" dari Peters (1996 dan 2001), dimana etika administrasi
publik didasarkan pada aparat negeri yang politis dan terinstitusionalisasi,
organisasi yang hirarkhis dan berdasarkan peraturan, penugasan yang
permanen dan stabil, banyaknya pengaturan internal, dan menghasilkan
keluaran yang seragam (Oluwu, 2002) dan (Frederickson, 2004).
Tugas utama pemerintah secara klasik menurut Stoker (2004)
adalah menyampaikan sejumlah pelayanan publik, seperti membangun
sekolah, rumah, saluran pembuangan serta menyediakan kesejahteraan
yang dapat diserahkan kepada aparat pemerintah dan politisi. Dalam
menyediakan pelayanan yang demikian, etika administrasi publik
menunjukkan dominasinya dengan membiayai dari hasil pemungutan
pajak dan penggunaan dana-dana pemerintah lainnya. Untuk itu Stoker
melihat dominasi yang demikian dapat membuat penyediaan pelayanan
tersebut menjadi tidak efisien khususnya apabila terjadi kesenjangan
sumberdaya dan kapasitas dari etika administrasi publik yang
menyebabkan institusi etika administrasi publik menjadi tidak efektif
(Stoker, 2004). Hal inilah yang menjadi salah satu kritik terhadap etika
administrasi publik model klasik.
Kritik terhadap etika administrasi publik model klasik Weber,
menurut Prasojo (2003) terdapat setidaknya dua titik kritis birokrasi
93

Weberian, yakni dalam hubungan antara masyarakat dan negara,


implementasi birokrasi ditandai dengan meningkatnya intensitas
perundang-undangan dan juga kompleksitas peraturan, struktur birokrasi
dalam hubungannya dengan masyarakat seringkali dikritisi sebagai
penyebab menjamurnya meja-meja pelayanan sekaligus menjadi
penyebab jauhnya birokrasi dari rakyat. Peningkatan intensitas dianggap
memiliki resiko dimana pada akhirnya akan menyebabkan intervensi
negara yang akan menyentuh semua aspek kehidupan masyarakat,
sehingga menyebabkan biaya penyelenggaraan birokrasi menjadi sangat
mahal (Prasojo, 2003). Kritik tersebut kemudian mendapat dukungan bagi
adanya Manajemen Publik baru (New Public Management).
New Public Management (NPM) menurut Stoker (2004), pada
awalnya memberikan penekanan biaya dalam penyediaan pelayanan
melalui disiplin manajemen yang lebih tangguh seperti melalui efisiensi
tabungan, penggunaan target kinerja, serta penggunaan kompetitor
untuk memilih penyedia jasa yang paling murah. Namun demikian,
sebagai akibat dan pertumbuhan orientasi konsumsi pemerintah dan
perdebatan mengenai reinventing government menyebabkan munculnya
kebutuhan akan daya tanggap dari etika administrasi publik dan pilihan
yang lebih banyak akan penyediaan pelayanan publik dibandingkan hanya
fokus terhadap penghematan biaya saja. Pandangan ini, yang dimaksud
dengan manajemen yang lebih baik adalah apabila publik ditempatkan
sebagai fokus utama perhatian (putting customers first) dalam layanan
publik yang sebaiknya.
New Public Management (NPM) muncul di tahun 1980an sebagai
akibat dari munculnya krisis negara kesejahteraan. Paradigma ini
94

kemudian menyebar secara luas pada tahun 1990an karena promosi dan
lembaga internasional seperti Bank Dunia, IMF, Sekretariat Negara
Persemakmuran dan kelompok-kelompok konsultan manajemen (Loffler
and Bovaird, 2001), (Oluwu, 2002), (Drechsler, 2005). Munculnya New
Public Management ini disebabkan oleh sejumlah kekuatan negara maju
dan negara berkembang (Larbi, 1999). Perkembangan negara maju
terjadi dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan lingkungan administratif
secara bersama-sama mendorong terjadinya perubahan radikal dalam
sistem manajemen dan etika administrasi publik. Perubahan yang
diinginkan adalah peningkatan cara pengelolaan pemerintah dan
penyampaian pelayanan kepada masyarakat dengan penekanan pada
efisiensi, ekonomi dan efektivitas. Adapun munculnya NPM di negara
berkembang menurut Larbi (1999) karena krisis ekonomi dan keuangan,
penyesuaian struktural dan kondisional, konteks manajemen dan Etika
administrasi publik, serta konteks politik bagi adanya reformasi. Oluwu
(2002) mengatakan bahwa NPM banyak berbuat untuk menata organisasi
publik karena penggunaan ide-ide dari sektor privat. NPM menyediakan
banyak pilihan untuk mencoba mencapai biaya yang efektif dalam
penyampaian barang publik seperti adanya organisasi yang terpisah untuk
kebijakan dan implementasi, kontrak kinerja, pasar internal, sub kontrak
dan metode lainnya. NPM memiliki fokus yang kuat terhadap organisasi
internalnya (Oluwu, 2002:3).
Kelemahan dari NPM menurut Oluwu (2002) yaitu ketika etika
administrasi publik berusaha memahami pendekatan pasar maka
permasalahan yang muncul adalah bagaimana mengimplementasikan
NPM di dalamnya. Selain itu NPM tidak tepat terhadap manajemen sektor
95

privat, karena hanya ideal untuk sektor publik. Pertentangan antara klaim
dalam NPM terhadap kondisi yang ada di sektor publik dalam model
usahawan seringkali dapat mengurangi esensi dari nilai-nilai demokratis
seperti keadilan, peradilan, keterwakilan dan partisipasi. Hal ini menurut
ESCUN (2004) diakibatkan oleh adanya perbedaan besar antara kekuatan
pasar dengan kepentingan publik, dan kekuatan pasar ini tidak selalu
dapat memenuhi apa yang menjadi kepentingan publik. Bahkan dalam
banyak hal, publik seringkali tidak dilibatkan untuk berpartisipasi dalam
menentukan, merencanakan, mengawasi dan mengevaluasi tindakan-
tindakan yang diambil untuk dapat menjamin bahwa publik tetap menjadi
pusat dari tindakan-tindakan pemerintah. Drechsler (2005) mengingatkan
bahwa menganggap masyarakat hanya sebagai konsumen semata
menyebabkan masyarakat dijauhkan dari haknya untuk berpartisipasi.
Kritik terhadap NPM menurut Haque (1996) dalam penyediaan
pelayanan publik terkait dengan legitimasi pelayanan publik, etika
pelayanan publik, serta motivasi pelayanan publik, dimana pandangan
tersebut telah mengubah misi dan birokrasi publik, mempengaruhi sifat
dan komposisi jasa-jasa yang diberikan sektor publik kepada masyarakat
sekaligus menyebabkan transformasi pola hubungan antara pemerintah
dengan masyarakat. (Prasojo, Maksum dan Kurniawan, 2004) Pola
hubungan yang baru antara warga dengan birokrasi tersebut menurut
Haque (1999) membawa implikasi terhadap redefinisi
kewargaan/masyarakat dalam pelayanan publik, transformasi etika
administrasi yang mempengaruhi masyarakat, transisi dalam perilaku dan
motivasi birokrasi terhadap masyarakat, perubahan peran dan kapasitas
pelayanan publik dalam melayani masyarakat, dan restrukturisasi hak
masyarakat terhadap pelayanan publik.

Anda mungkin juga menyukai