2
PARADIGMA ADMINISTRASI PUBLIK
Pada era paradigma ini lahir pula prinsip administrasi POSDCORB yang
diceutskan Gullick dan Urwick (1988) bahwa prinsip ini dapat diterapkan
secara sukses di manapun dan dalam organisasi apapun. Sebagaimana
dinyatakan oleh Gullick dan Urwick (1988) bahwa “ the worked in any
administrative setting, regardless of culture, function, environment, mission,
or institutional framework and without exception it there followed that could
be applied successfully any where”.
Selanjutnya paradigma administrasi publik sebagai ilmu politik yang
melahirkan konsepsi bahwa administrasi publik dengan keyakinan yang kuat
melihat politik dan administrasi sebagai satu kesatuan. Kemunduran
perkembangan administrasi publik sebagai sebuah ilmu mulai berkurang
sejak tahun 1960-an ketika beberapa jurnal ilmu politik mulai mengurangi
artikel yang berbau administrasi publik.
Studi perbandingan administrasi publik yang tetap menjadikan
administrasi publik sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri terpisah dari ilmu
politik. Usaha untuk menjadikan administrasi sebagai ilmu normatif kembali
muncul ke permukaan, walaupun kadar normatifnya sudah berkurang, maka
lahirlah paradigma administrasi publik sebagai ilmu administrasi.
Paradigma berikut yaitu administrasi publik sebagai ilmu yang dimulai
dengan terbitnya suatu jurnal yang bergengsi pada tahun 1956 yaitu
“Administration Science Quarterly” yaitu fokus perhatian administrasi adalah
teori organisasi dan manajemen. Teori organisasi lebih memfokuskan kepada
hal-hal yang berkenaan dengan analisa sistem dan lain-lain untuk mengukur
efektivitas dan efisiensi program kerja. Paradigma ini diperkuat oleh
perspektif Handerson (1995) bahwa teori organisasi seharusnya menjadi
pusat perhatian administrasi publik dan salah satu bidang kajian teori
52
komunikasi ke luar sebagai salah satu unsur di dalam fungsi primer yang
mendukung pelaksanaan komunikasi.
Hubungan yang harus diwujudkan melalui kegiatan humas adalah
terjalinnya kesamaan pengertian antara organisasi dan pihak luar
mengenai sesuatu yang diinformasikan. Terwujudnya respons mendekat
dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan yang diinginkan
menyampaikan informasi karena memahami arti, manfaat dan pentingnya
sesuatu yang diinformasikan, terbinanya kerjasama dengan masing-
masing pihak karena merasa ikut bertanggungjawab atas suksesnya
usaha pihak yang lain, karena saling membutuhkan.
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa administrasi adalah
kegiatan manusia yang diselenggarakan untuk mengendalikan
kebersamaannya dalam mewujudkan tujuan bersama pula. Dengan
demikian, berarti juga administrasi menyangkut perilaku manusia yang
dilakukan secara sadar tujuan.
Perilaku administrasi tidak dapat dilepaskan dari organisasi sebagai
satu kesatuan. Dengan demikian berarti perilaku administrasi
berpengaruh pada perkembangan dan kemajuan organisasi. Perilaku
administrasi yang efektif dan efisien akan berpengaruh pada dinamika
organisasi dalam mewujudkan tugas-tugas pokoknya.
Batasan administrasi dalam suatu organisasi mengkaji dan
membahas tentang perilaku individu dalam suatu organisasi sebagai suatu
fungsi dari interaksi antara individu dengan lingkungan kerjanya. Aktivitas
administrasi menyerupai konsep kompetensi sempurna yang memiliki
karakteristik lima proposisi yang terbentuk yaitu spesialisasi
(pengembangan kerja, hirarki perkembangan, sistem prosedur dan
63
suatu keputusan) dibuat oleh pihak-pihak yang memiliki kontrol politik dan
diimplementasikan oleh administrator. Karenanya, kebijakan publik dan
administrasi publik adalah dua sisi dari sebuah koin yang tidak dapat
dipisahkan. Proses tidak berakhir hanya pada implementasi kebijakan.
Saat pemerintah melakukan sesuatu, dipastikan ada upaya untuk
membuat kebijakan publik menjadi lebih baik sehingga pembuatan
keputusan adalah sebuah proses yang kontinyu. Memenuhi mandat
legislatif, eksekutif, dan yudisial dan untuk menyediakan pelayanan dan
regulasi kepada masyarakat umum maka dalam administrasi publik
dimanfaatkan teori-teori dan proses-proses manajerial, politik, dan legal
(Rosenbloom, 1986).
Dari aspek legal, administrasi publik ada dan dibatasi oleh instrumen
hukum. Administrasi publik kemudian dimaknai sebagai hukum dalam
tindakan dan secara inheren merupakan pelaksanaan atau eksekusi
hukum publik. Administrasi tidak dapat ada tanpa fondasi legal. Di
Indonesia, peraturan tertinggi adalah UUD 1945. Karenanya, semua
legislasi yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.
Demikian juga, segala sesuatu yang dilakukan oleh Presiden harus
mendapat persetujuan dari legislatif. Dari aspek legal, administrasi adalah
regulasi, yakni pemerintah harus menetapkan aturan yang mengatur
tindakan masyarakat dan sektor swasta, apa yang dapat atau tidak dapat
dilakukan oleh mereka.
Administrasi publik juga dapat dilihat sebagai suatu okupasi, yakni
pekerjaan apapun yang dilakukan oleh birokrat; sebagai fisikawan,
arsitek, dokter, dan sebagainya. Mereka seringkali melihat diri mereka
65
pula yang tidak dapat diterima dengan akal pikiran sehat yang disebut
tindakan irasional. Sebagaimana dipahami bahwa rasio disamakan
dengan akal yang hanya dimiliki oleh manusia dan merupakan
keistimewaan manusia itu sendiri bila dibandingkan dengan makhluk
lainnya.
2. Pemikiran Administrasi Aliran Positivisme
Berpikir dalam kaitannya dengan penyederhanaan suatu
pekerjaan adalah usaha yang dilakukan secara terencana dalam
rangka memenuhi tuntutan pelaksanaan pekerjaan secara
berdayaguna dan berhasil guna. Tindakan penyederhanaan kegiatan
bukanlah merupakan suatu rahasia yang perlu ditutup rapat-rapat,
melainkan adalah suatu kegiatan yang biasa saja atau dengan kata
lain lumrah.
Berbicara tentang positivisme administrasi sebenarnya tidak
dapat melepaskan diri dari pemikiran filsafat khususnya pada aliran
positivisme yang kajiannya berkaitan dengan pemikiran dan tindakan
positif, terutama yang berhubungan dengan administrasi baik di
pandang sebagai kajian pemikiran keilmuan maupun dipandang
sebagai pemikiran praktis, tempat berserikat manusia yang melakukan
suatu kegiatan dalam proses kerjasama. Unsur utama pengembangan
aliran positivisme administrasi ditentukan oleh manusia yang
berpikiran serba dinamis dan konsekuensinya menyebabkan semakin
bertambah luasnya kegiatan yang harus dilakukan, maka sumber daya
manusia dan non manusia semakin bertambah pula jumlahnya.
Kemudian kemajuan organisasi semakin kuat dan menghadapi
berbagai tantangan dari organisasi lainnya (Makmur, 2007).
75
informal apa yang perlu diciptakan, dibina dan dikembangkan oleh dan
antar manusia pada semua tingkatan organisasi demi terlaksananya
kegiatan yang harus dilaksanakan dalam suasana yang intim dan
harmonis.
Tahap Behaviouralisme (1959 – hingga sekarang). Pengertian
terhadap semakin pentingnya peranan manusia dalam usaha mencapai
tujuan yang telah ditentukan, mengakibatkan para ahli dan sarjana
memusatkan penyelidikannya pada masalah manusia. Pada tahap terakhir
sorotan perhatian bukan lagi manusianya sendiri sebagai makhluk hidup
yang mempunyai martabat, kepribadian, tujuan, cita-cita serta keinginan
yang khas, tetapi sudah meningkat pada penyelidikan tentang perilaku
manusia dalam kehidupan berorganisasi dan apa alasan mengapa
manusia itu berperilaku demikian. Jika tindak tanduk itu merugikan
organisasi diselidiki pula bagaimana caranya agar tindakan yang
merugikan itu dapat diubah menjadi tindakan yang menguntungkan
organisasi.
Perkembangan administrasi publik di Indonesia dilihat dari tulisan
Haryono Sudriamunawar (2002) yang mengklasifikasikan perkembangan
administrasi publik ke dalam tiga masa yaitu:
1. Masa penjajahan Belanda
Selama tiga setengah abad Indonesia di jajah Belanda, selama itu pula
administrasi hanya dikenal sebagai ilmu pengetahuan. Administrasi
diartikan secara sempit sebagai pekerjaan yang berhubungan dengan
ketatausahaan dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah
”administrasi. Karena itu, administrasi secara nyata berupa
pengarsipan, ekspedisi, pengetikan, surat menyurat, registrasi dan
79
lain. Oleh karena itu masyarakat tidak lagi dianggap sebagai customer
tetapi sebagai citizen. Perubahan orientasi inilah yang memunculkan
perspektif baru etika administrasi publik yang disebut dengan new public
service (NPS). Pada perspektif ini Denhardt & Denhardt (2003)
memperkenalkan 7 (tujuh) prinsip sebagai berikut : 1) Serve citizens, not
costumer; 2) Seek the public interest; 3) Value citizenship over
entrepreneurship; 4) Think strategically, act democratically; 5) Recognize
that accountability is not simple; 6) Serve rather than steer; 7) Value
people, not just productivity.
Adapun model birokrasi yang dikemukakan para ahli, dapat
dinyatakan bahwa model birokrasi yang ideal untuk saat ini adalah model
birokrasi yang mengutamakan pelayanan kepada masyarakat ( customer –
driven organization). Pentingnya menempatkan masyarakat sebagai publik
yang harus dilayani dan diutamakan kepentingannya merupakan hal yang
tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Teori etika administrasi publik menurut Frederickson (1997)
merupakan sarana utama untuk meningkatkan tercapainya tujuan publik,
utamanya dalam mengalokasikan sumberdaya publik agar terhindar dari
distorsi, manipulasi. Lebih lanjut Frederickson (1997) mengatakan bahwa
pendekatan dalam etika administrasi publik ialah governance, dimana
dalam pendekatan tersebut mempertimbangkan ekologi sebagai
lingkungan yang berpengaruh seperti budaya, politik, informasi,
komunikasi.
Etika administrasi publik merupakan instrumen birokrasi negara,
instrumen kolektif, sarana publik untuk menyelenggarakan tatakelola
kepentingan bersama dalam jaringan kolektif untuk mencapai tujuan
92
kemudian menyebar secara luas pada tahun 1990an karena promosi dan
lembaga internasional seperti Bank Dunia, IMF, Sekretariat Negara
Persemakmuran dan kelompok-kelompok konsultan manajemen (Loffler
and Bovaird, 2001), (Oluwu, 2002), (Drechsler, 2005). Munculnya New
Public Management ini disebabkan oleh sejumlah kekuatan negara maju
dan negara berkembang (Larbi, 1999). Perkembangan negara maju
terjadi dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan lingkungan administratif
secara bersama-sama mendorong terjadinya perubahan radikal dalam
sistem manajemen dan etika administrasi publik. Perubahan yang
diinginkan adalah peningkatan cara pengelolaan pemerintah dan
penyampaian pelayanan kepada masyarakat dengan penekanan pada
efisiensi, ekonomi dan efektivitas. Adapun munculnya NPM di negara
berkembang menurut Larbi (1999) karena krisis ekonomi dan keuangan,
penyesuaian struktural dan kondisional, konteks manajemen dan Etika
administrasi publik, serta konteks politik bagi adanya reformasi. Oluwu
(2002) mengatakan bahwa NPM banyak berbuat untuk menata organisasi
publik karena penggunaan ide-ide dari sektor privat. NPM menyediakan
banyak pilihan untuk mencoba mencapai biaya yang efektif dalam
penyampaian barang publik seperti adanya organisasi yang terpisah untuk
kebijakan dan implementasi, kontrak kinerja, pasar internal, sub kontrak
dan metode lainnya. NPM memiliki fokus yang kuat terhadap organisasi
internalnya (Oluwu, 2002:3).
Kelemahan dari NPM menurut Oluwu (2002) yaitu ketika etika
administrasi publik berusaha memahami pendekatan pasar maka
permasalahan yang muncul adalah bagaimana mengimplementasikan
NPM di dalamnya. Selain itu NPM tidak tepat terhadap manajemen sektor
95
privat, karena hanya ideal untuk sektor publik. Pertentangan antara klaim
dalam NPM terhadap kondisi yang ada di sektor publik dalam model
usahawan seringkali dapat mengurangi esensi dari nilai-nilai demokratis
seperti keadilan, peradilan, keterwakilan dan partisipasi. Hal ini menurut
ESCUN (2004) diakibatkan oleh adanya perbedaan besar antara kekuatan
pasar dengan kepentingan publik, dan kekuatan pasar ini tidak selalu
dapat memenuhi apa yang menjadi kepentingan publik. Bahkan dalam
banyak hal, publik seringkali tidak dilibatkan untuk berpartisipasi dalam
menentukan, merencanakan, mengawasi dan mengevaluasi tindakan-
tindakan yang diambil untuk dapat menjamin bahwa publik tetap menjadi
pusat dari tindakan-tindakan pemerintah. Drechsler (2005) mengingatkan
bahwa menganggap masyarakat hanya sebagai konsumen semata
menyebabkan masyarakat dijauhkan dari haknya untuk berpartisipasi.
Kritik terhadap NPM menurut Haque (1996) dalam penyediaan
pelayanan publik terkait dengan legitimasi pelayanan publik, etika
pelayanan publik, serta motivasi pelayanan publik, dimana pandangan
tersebut telah mengubah misi dan birokrasi publik, mempengaruhi sifat
dan komposisi jasa-jasa yang diberikan sektor publik kepada masyarakat
sekaligus menyebabkan transformasi pola hubungan antara pemerintah
dengan masyarakat. (Prasojo, Maksum dan Kurniawan, 2004) Pola
hubungan yang baru antara warga dengan birokrasi tersebut menurut
Haque (1999) membawa implikasi terhadap redefinisi
kewargaan/masyarakat dalam pelayanan publik, transformasi etika
administrasi yang mempengaruhi masyarakat, transisi dalam perilaku dan
motivasi birokrasi terhadap masyarakat, perubahan peran dan kapasitas
pelayanan publik dalam melayani masyarakat, dan restrukturisasi hak
masyarakat terhadap pelayanan publik.