Anda di halaman 1dari 30

PENENTUAN KONSENTRASI LARUTAN Na2S2O3

DAN KADAR CU2+ DENGAN METODE TITRASI IODOMETRI

Dosen Pengampu: Drs. Asep Suryatna, M.Si.


Dra. Wiwi Siswaningsih, M.Si.

Tanggal Praktikum :
Awal : Senin, 17 April 2023
Akhir : Senin, 17 April 2023

Disusun Oleh :
Amanda Amalliya
2209481
22 A

DEPARTEMEN PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS PENDIDIKAN


MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2023
A. Tujuan
1. Menentukan konsentrasi larutan Na2S2O3 melalui strandarisasi oleh larutan KIO3
2. Menentukan kadar Cu2+ dengan metode titrasi iodometri

B. Dasar Teori
Titrasi iodometri adalah titrasi yang menggunakan larutan natrium tiosulfat
(Na2S2O3) untuk menentukan kadar iodium yang dibebaskan pada suatu reaksi redoks.
Titik akhir titrasi ditetapkan dengan bantuan indikator kanji yang ditambahkan sesaat
sebelum titik akhir titrasi tersebut tercapai. Larutan natrium tiosulfat adalah larutan
standar sekunder karena sifatnya yang tidak stabil terhadap oksidasi dari udara dan asam
yang terdapat dalam pelarut. Standarisasi larutan ini dapat dilakukan dengan menggunaka
kalium dikromat atau kalium iodat (Tim Praktikum Kimia Analitik 1, 2023).
Kimia analitik secara garis besar terbagi ke dalam dua bidang, yaitu analisis
kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif merupakan suatu analisis yang di dalamnya
membahas mengenai identifikasi yang lebih menitikberatkan pada persoalan zat apa yang
terkandung dalam suatu sampel, sedangkan analisis kuantitatif merupakan analisis yang
di dalamnya membahas mengenai penetapan banyaknya suatu zat tertentu pada suatu
sampel. Adapun salah satu metode kuantitatif yang umumnya digunakan, yaitu titrasi
iodometri (Day & Underwood, 1986).
Titrasi iodometri juga dapat diartikan sebagai suatu proses tidak langsung yang
melibatkan suatu iod, di mana ion iodida yang berlebih akan ditambahkan ke dalam suatu
zat pengoksidasi yang dapat membebaskan iod dan akan dititrasi dengan natrium
tiosulfat (Na2S2O3). Selain itu, titrasi iodometri juga termasuk ke dalam reaksi reduksi-
oksidasi. Reaksi reduksi merupakan reaksi penangkapan elektron, sedangkan reaksi
oksidasi merupakan reaksi pemindahan atau pelepasan suatu elektron (Mewiya, 2020).
Adapun dalam titrasi iodometri ini, banyaknya volume natrium tiosulfat yang digunakan
sebagai titran akan setara dengan iodium yang dihasilkan sebagai titrat dan setara dengan
banyaknya sampel yang digunakan (Silviana, 2019).
Prinsip dasar dari metode titrasi iodometri ini adalah penambahan berlebihan iod
iodida ke dalam larutan kalium dikromat yang berperan sebagai oksidator, kemudian ion
kalium dikromat inilah yang akan mengoksidasi ion iodida menjadi iod. Adapun iod yang
bebas tersebut akan dititrasi dengan natrium tiosulfat (Feladita, 2018). Sementara itu,
prinsip kerja dari metode titrasi iodometri ini, yaitu melakukan penimbangan, pelarutan,
pengenceran, melakukan standarisasi, dan titrasi.
Perlu diketahui bahwa dalam iodometri, ion iodida digunakan sebagai reduktor.
Selain itu, penentuan titik akhir titrasi dalam iodometri ini di dasarkan oleh adanya I2
yang bebas. Dalam iodometri ini digunakan pula larutan natrium tiosulfat untuk
mentitrasi iodium yang dibebaskan. Larutan natrium tiosulfat merupakan larutan standar
sekunder dan dapat distandarisasi dengan menggunakan kalium dikromat atau kalium
iodida. Adapun dalam suatu titrasi, apabila larutan titran dibuat dari zat yang
kemurniannya tidak pasti, maka perlu dilakukan pembakuan terlebih dahulu.
Untuk proses pembakuan tersebut digunakan zat baku yang disebut dengan larutan
baku primer, yaitu larutan yang konsentrasinya dapat diketahui dengan cara penimbangan
yang digunakan untuk standarisasi suatu larutan karena zatnya yang relatif stabil. Selain
itu, pembakuan juga bisa dilakukan dengan menggunakan larutan baku sekunder, yaitu
larutan yang konsentrasinya dapat diketahui dengan cara dibakukan oleh larutan baku
primer karena sifatnya yang labil, mudah terurai, dan higroskopis (Khopkar, 1990).
Adapun syarat-syarat larutan baku primer, yaitu sebagai berikut:
1. Mudah diperoleh dalam bentuk murni
2. Mudah dikeringkan
3. Stabil
4. Memiliki massa molar yang besar
5. Reaksi dengan zat yang dibakukan harus stoikiometri sehingga dicapai dasar
perhitungan

(Day & Underwood, 2002).

Pada titrasi iodometri ini memerlukan suatu indikator berupa larutan kanji atau
amilum. Indikator tersebut digunakan dalam titrasi iodometri agar dapat mengetahui
kapan terjadinya titik akhir titrasi yang ditandai dengan terjadinya perubahan warna
larutan dari biru menjadi tak berwarna pada standarisasi dan dari larutan berwarna biru
menjadi putih susu pada penentuan kadar Cu2+. Larutan kanji atau amilum yang
digunakan sebagai indikator ditambahkan pada saat menjelang titik akhir titrasi. Hal
tersebut dikarenakan jika ditambahkan pada awal titrasi, maka akan membentuk iod-
amilum yang memiliki warna biru kompleks, sehingga akan sulit untuk dititrasi oleh
larutan natrium tiosulfat (Ulfa, 2015).

C. Alat dan Bahan


 Alat
Neraca analitik : 1 buah
Botol timbang : 1 buah
Buret 50 mL : 1 buah
Gelas ukur 100 mL : 1 buah
Gelas kimia 100 mL : 2 buah
Labu erlenmeyer : 3 buah
Labu ukur 100 mL : 1 buah
Statif : 1 buah
Klem : 1 buah
Pipet ukur 10 mL : 1 buah
Ball filler : 1 buah
Pipet tetes : 2 buah
Spatula : 1 buah
Batang pengaduk : 1 buah
Botol semprot : 1 buah
Corong gelas pendek : 1 buah

 Bahan
Kalium iodat (KIO3) : 0,3570 gram
Kalium iodida (KI) : secukupnya
Larutan kanji 0,2% dan 1% : secukupnya
Larutan natrium tiosulfat (Na2S2O3) : secukupnya
Larutan asam klorida (HCl) : secukupnya
Larutan asam sulfat (H2SO4) : secukupnya
Larutan tembaga(II) sulfat (CuSO4) :secukupnya
Aԛuades : secukupnya

D. Spesifikasi Bahan

No Nama Bahan Sifat Fisika Sifat Kimia


 Wujud: cair  Tidak mudah meledak
1. Kalium Iodat (KIO3)
 Warna: tak berwarna  Diprediksi bersifat

0  Bau: tidak berbau sebagai pengoksidator

2 2  Densitas: 3,98 g/cm3  Larut dalam air pada


pada 20oC suhu 20oC
 Titik lebur: 560°C
terurai

Bahaya Penanggulangan

Dapat menyebabkan Jika terkena paparan


kerusakan mata yang serius segera bilas dengan air

2. Kalium Iodida (KI) Sifat Fisika Sifat Kimia


 Wujud: cair  Tidak mudah meledak
0  Warna: tidak berwarna  Tidak bersifat sebagai
1 0  Bau: tidak berbau pengoksidator
 Titik didih: 1.325°C  Tidak mudah terbakar
pada 1.013 hPa  Larut dalam air pada
 Densitas: 3,23 g/cm3 20°C
pada 25°C
Bahaya Penanggulangan
 Jika terkena paparan
 Berbahaya jika tertelan
segera bilas dengan air
 Dapat menyebabkan
 Bila tertelan segera
iritasi pada kulit
berikan penanganan
 Dapat menyebabkan
khusus
kerusakan pada mata

3. Larutan Natrium Sifat Fisika Sifat Kimia


Tiosulfat (Na2S2O3)  Wujud: cair  Tidak mudah meledak
 Warna: tak berwarna  Tidak bersifat sebagai
0  Bau: tidak berbau pengoksidator
1 0  Densitas: 1,74 g/cm3  Tidak mudah terbakar
pada 20°C  Larut dalam air pada
20°C

Bahaya Penanggulangan

Tidak diklasifikasikan  Jika terkena paparan


sebagai bahan yang segera bilas dengan air
berbahaya bersih dan mengalir
 Bila tertelan segera
berikan penanganan
khusus

4. Larutan Kanji Sifat Fisika Sifat Kimia


 Wujud: cair  Tidak mudah meledak
0  Warna: tak berwarna  Tidak bersifat sebagai
0 0  Bau: tidak berbau pengoksidator
 pH: 6,0 - 7,5 pada 20 g/l  Larut dalam air pada
pada 20°C 20°C
Bahaya Penanggulangan

Tidak diklasifikasikan  Jika terpapar segera


sebagai bahan yang bilas dengan air
berbahaya  Jika tertelan segera
berikan penanganan
khusus

5. Asam Klorida (HCl) Sifat Fisika Sifat Kimia


 Wujud: cair  Tidak mudah meledak
0  Warna: tak berwarna  Tidak bersifat sebagai
1 0  Bau: sedikit berbau pengoksidator
 Densitas: 1,00 g/cm3  Tidak mudah terbakar
pada 20°C  Korosif

Bahaya Penanggulangan
 Jika terpapar segera
 Beracun
bilas dengan air
 Dapat menyebabkan
 Jika tertelan segera
iritasi pada kulit dan
berikan penanganan
mata
khusus
 Dapat menyebabkan
 Jika terhirup segera
gangguan pernapasan
pergi ke ruang terbuka

6. Asam Sulfat (H2SO4) Sifat Fisika Sifat Kimia


 Wujud: cair  Tidak mudah meledak

0  Warna: tidak berwarna  Berpotensi bersifat

3 2  Bau: sedikit berbau pengoksidator


 Titik lebur: - 20°C  Larut dalam air pada
 Densitas: 1,84 g/cm3 20°C
pada 20°C
Bahaya Penanggulangan

Dapat menyebabkan luka Jika terkena paparan


bakar dan kerusakan pada segera bilas dengan air
mata bersih dan mengalir

7. Tembaga(II) Sulfat Sifat Fisika Sifat Kimia


(CuSO4)  Wujud: cair  Tidak mudah meledak
 Warna: biru  Tidak bersifat sebagai
0  Bau: tidak berbau pengoksidasi
2 1  Titik lebur: 147°C  Tidak mudah meledak
 Densitas: 2,284 g/cm3  Larut dalam air pada
pada 20°C 20°C

Bahaya Penanggulangan
 Jika terpapar segera
 Berbahaya jika tertelan
bilas dengan air bersih
 Dapat menyebabkan
dan mengalir
kerusakan pada mata
 Jika tertelan segera
berikan penanganan
khusus

8. Aԛuades Sifat Fisika Sifat Kimia


 Wujud: cair  Tidak mudah meledak
0  Warna: tak berwarna  Tidak bersifat sebagai
0 0  Bau: tidak berbau pengoksidator
 Titik didih: 100°C  Tidak mudah terbakar
 Densitas: 1,00 g/cm3
Bahaya Penanggulangan

Tidak ada indikasi bahaya Tidak ada


yang serius penanggulangan khusus

E. Set Alat

Batang
Pengaduk
Neraca
Botol analitik
timbang
Botol
Gelas semprot
Kimia

(Set alat penimbangan) (Set alat pelarutan)

Batang
pengaduk
Buret Klem
Corong
Botol gelas pendek
semprot Statif

Labu ukur Labu


erlenmeyer

(Set alat pengenceran) (Set alat titrasi)


F. Langkah Kerja

No. Prosedur Hasil Pengamatan


1. Standarisasi larutan Na2S2O3  Truang: 25 oC
Larutan Na2S2O3  Pruang : 707 mmHg

_ Ditimbang 0,357 gram padatan


 Padatan KIO3
KIO3
_ Dilarutkan padatan KIO
3  Wujud: padat
_  Warna: putih
Dipipet 10 mL larutan KIO3 dan
dimasukkan ke dalam labu  Bau: tak berbau
erlenmeyer
_  Massa: 0,3570 gram
Diencerkan dengan
menambahkan 10 mL aԛuades  Padatan KIO3 dilarutkan kemudian
_
Ditambahkan 1 gram padatan KI diencerkan dengan aԛuades hingga
dan 5 mL HCl 1 N secara volumenya 100 mL
bersamaan
_  Larutan KIO3 berwujud cair, tak
Dititrasi larutan KIO3 dengan
larutan Na2S2O3 sampai larutan berwarna, dan tidak berbau
berwarna kuning pucat  Volume larutan KIO3 dalam tiap labu
_
Ditambahkan 1-2 mL larutan
erlenmeyer sebanyak 10 mL
kanji 0,2%
_
Dititrasi kembali sampai warna
biru pada larutan menghilang  Larutan Na2S2O3

Hasil  Wujud: cair


 Warna: tak berwarna
 Bau : tidak berbau
 Volume yang digunakan dalam
buret: 46 mL
 Volume yang digunakan untuk
standarisasi: 35,5 mL
 Larutan HCl 1 N
 Wujud: cair
 Warna: tak berwarna
 Bau : sedikit berbau
 Volume dalam tiap labu
erlenmeyer: 5 mL

 Padatan KI
 Wujud: padat
 Warna: putih
 Bau : tidak berbau
 Massa dalam tiap labu erlenmeyer:
1 gram

 Larutan amilum (indikator)


 Wujud: cair
 Warna: tak berwarna
 Bau : tidak berbau
 Volume dalam tiap labu
erlenmeyer: 5 tetes
 Konsentrasi: 0,2%

 Ketika larutan KIO3 ditambahkan


aԛuades dan HCl, larutan tidak
berubah warna (tidak berwarna)
 Ketika larutan dititrasi dengan larutan
Na2S2O3 dihasilkan warna kuning
pucat
 Ketika larutan yang berwarna kuning
pucat ditambahkan indikator,
warnanya berubah menjadi kebiruan
 Ketika larutan yang telah
ditambahkan indikator berubah
menjadi berwarna kebiruan dan
dititrasi kembali dengan larutan
Na2S2O3, larutan menjadi tidak
berwarna (titik akhir titrasi)
 Maka perubahan warna yang terjadi,
yaitu:
Tak berwarna - kuning pucat - biru -
tak berwarna
No. Prosedur Hasil Pengamatan
2. Penentuan kadar Cu2+  Truang: 25 oC
Larutan CuSO4  Pruang : 707 mmHg

_ Diisi buret dengan larutan


 Larutan Na2S2O3
Na2S2O3 yang telah distandarisasi
_ Dipipet 10 mL larutan CuSO
4  Wujud: cair
secara kuantitatif ke dalam labu  Warna: tak berwarna
erlenmeyer
_ Diencerkan sampai volume  Bau : tidak berbau
larutan menjadi 25 mL  Volume yang digunakan dalam
_ Ditambahkan 1 gram padatan KI
buret: 46 mL
dan 5 mL H2SO4 4 N secara
bersamaan  Volume yang digunakan untuk
_
Dititrasi larutan CuSO4 dengan standarisasi: 15,5 mL
larutan Na2S2O3 sampai warna
cokelat memudar
_  Larutan CuSO4
Ditambahkan 1-2 mL larutan
kanji 0,2%  Wujud: cair
 Warna: tak berwarna
_
Dititrasi kembali sampai warna  Bau : tidak berbau
biru pada larutan menghilang  Volume dalam tiap labu
(titik akhir titraasi)
erlenmeyer: 10 mL
Hasil  Larutan CuSO4 kemudian
diencerkan dengan 15 mL aԛuades
hingga volumenya menjadi 25 mL
dalam tiap labu erlenmeyer

 Larutan H2SO4 4 N
 Wujud: cair
 Warna: tak berwarna
 Bau : tak berbau
 Volume dalam tiap labu
erlenmeyer: 5 mL

 Padatan KI
 Wujud: padat
 Warna: putih
 Bau : tidak berbau
 Massa dalam tiap labu erlenmeyer:
1 gram

 Larutan kanji atau amilum (indikator)


 Wujud: cair
 Warna: tak berwarna
 Bau : tidak berbau
 Volume dalam tiap labu
erlenmeyer: 5 tetes
 Konsentrasi: 1%
 Ketika larutan CuSO4 ditambahkan
aԛuades, warna larutan menjadi biru
seulas
 Ketika larutan CuSO4 yang telah
diencerkan ditambahkan larutan
H2SO4 dan padatan KI warna larutan
berubah menjadi kuning kecokelatan
 Ketika larutan tersebut dititrasi
dengan larutan Na2S2O3, warna
larutan menjadi kuning jerami
 Ketika larutan ditetesi dengan
indikator, larutan berubah warna
menjadi kebiruan
 Ketika larutan yang berwarna biru
tersebut dititrasi kembali, larutan
berubah warna menjadi putih susu
(titik akhir titrasi)
 Maka perubahan warna yang terjadi,
yaitu:
Tak berwarna - kuning kecokelatan -
biru - putih susu

G. Persamaan Reaksi
 Persamaan reaksi standarisasi larutan Na2S2O3 dengan KIO3
KIO3 (aq) + 5 KI (s) + 6 HCl (aq) → 6 KI (aq) + 3 I2 (aq) + 3 H2O (l)
(TB) (Putih) (TB) (TB) (Kuning) (TB)
I2 (aq) + 2 Na2S2O3 (aq) → 2 NaI (aq) + Na2S4O6 (aq)
(Kuning) (TB) (TB) (TB)
 Persamaan reaksi penentuan kadar Cu2+
Na2S2O3 reduksi : Cu2+ (aq) + 2e- → Cu (s) cokelat
Oksidasi : 2 I- (aq) → I2 (g) + 2e-
Redoks : Cu2+ (aq) + 2I- (aq) → Cu (s) + I2 (g)

2 CuSO4 (aq) + 4 KI (s) + → 2 CuI (aq) + I2 (aq) + 3 H2O (l)


(TB) (Putih) (Putih) (Kuning) (TB)
I2 (aq) + 2 Na2S2O3 (aq) + CuI (s) → 2 NaI (aq) + Na2S4O6 (aq) + CuI (s)
(Kuning) (TB) (Putih) (TB) (TB) (Putih)

H. Data Pengamatan
1. Massa padatan KIO3 = 0,3570 gram
2. Standarisasi larutan Na2S2O3 dengan larutan KIO3
Volume awal Volume larutan Volume larutan Volume larutan
larutan Na2S2O3 Na2S2O3 sebelum Na2S2O3 setelah Na2S2O3 yang
ditambahkan ditambahkan digunakan
indikator indikator
4,50 mL 14,50 mL 15,50 mL 11 mL
15,50 mL 25,00 mL 25,50 mL 10 mL
25,50 mL 33,00 mL 35,50 mL 10 mL
Rata-rata larutan Na2S2O3 10,30 mL
3. Penentuan kadar Cu2+
Volume awal Volume larutan Volume larutan Volume larutan
larutan Na2S2O3 Na2S2O3 sebelum Na2S2O3 setelah Na2S2O3 yang
ditambahkan ditambahkan digunakan
indikator indikator
4,00 mL 6,50 mL 7,50 mL 3,50 mL
7,50 mL 10,00 mL 11,50 mL 4,00 mL
11,50 mL 14,00 mL 15,50 mL 4,00 mL
Rata-rata larutan Na2S2O3 3,83 mL

I. Perhitungan
 Konsentrasi KIO3
𝑀𝑚 214 𝑔/𝑚𝑜𝑙
BE = = = 35,67 𝑔/𝑚𝑜𝑙
𝑒 6
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 (𝑔) 1000
N= 𝑥
𝐵𝐸 𝑉 (𝑚𝐿)
0,3570 𝑔 1000
N= 𝑥
35,67 𝑔/𝑚𝑜𝑙 100

N = 0,1 N

atau

𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 (𝑔) 1000


M= 𝑥
𝑀𝑟 𝑉 (𝑚𝐿)
0,3570 𝑔 1000
M = 214 𝑔/𝑚𝑜𝑙 𝑥 100

M = 0,0166822
N=Mxe
= 0,0166822 x 6
= 0,1000932 ≈ 0,1 N
 Konsentrasi larutan Na2S2O3
(n Na2S2O3) = (n KIO3)
N Na2S2O3 x V Na2S2O3 = N KIO3 x V KIO3
N Na2S2O3 x 10,30 mL = 0,1 N x 10 mL
N Na2S2O3 = 0,097 N ≈ 0,1 N

 Konsentrasi larutan Cu2+


(n Cu2+) = (n Na2S2O3 )
N Cu2+ x V Cu2+ = N Na2S2O3 x V Na2S2O3
N Cu2+ x 10,00 mL = 0,097 N x 3,83 mL
N Cu2+ = 0,0371 N

 Massa Cu2+
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 (𝑔) 1000
N= 𝑀𝑟 𝑥 10
𝑒

𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 (𝑔) 1000


0,037 N = 63,5 𝑥 10
2

10 𝑥 31,75 𝑥 0,037𝑁
Massa = 1000

Massa = 0,0117 gram

 Kadar Cu2+
𝑀𝑟
𝑁𝑥𝑉𝑥
2
Kadar = 1000 𝑥 𝑚𝑠
x 100%
63,5
0,037 𝑁 𝑥 10 𝑚𝐿 𝑥
2
Kadar = 𝑥 100%
1000 𝑥 0,0117 𝑔𝑟𝑎𝑚

Kadar = 1%
J. Pembahasan
Praktikum yang berjudul “Penentuan Konsentrasi Larutan Na2S2O3 dan Kadar Cu2+
dengan Metode Titrasi Iodometri” bertujuan untuk menentukan konsentrasi larutan
Na2S2O3 melalui strandarisasi oleh larutan KIO3 dan menentukan kadar Cu2+ dengan
metode titrasi iodometri. Prinsip dasar dari titrasi iodometri ini, yaitu berupa reaksi
oksidasi-reduksi pada suasana asam kuat maupun asam lemah yang melibatkan elektron
dengan jumlah tertentu. Selain itu, prinsip dasar dari titrasi iodometri ini juga meliputi
penambahan berlebihan iod iodida ke dalam larutan kalium dikromat yang berperan
sebagai oksidator, kemudian ion kalium dikromat inilah yang akan mengoksidasi ion
iodida menjadi iod. Adapun iod yang bebas tersebut akan dititrasi dengan natrium
tiosulfat. Sementara itu, prinsip kerja dari metode titrasi iodometri ini, yaitu melakukan
penimbangan, pelarutan, pengenceran, melakukan standarisasi, dan titrasi.
Praktikum titrasi iodometri ini diawali dengan praktikum standarisasi larutan
Na2S2O3 oleh larutan KIO3. Langkah pertama, dilakukan penimbangan padatan kalium
iodat (KIO3) menggunakan neraca analitik dan botol timbang. Padatan kalium iodat
tersebut ditimbang sampai mendapatkan massa sebesar 0,3570 gram. Setelah padatan
kalium iodat tersebut ditimbang, maka dilakukan pelarutan dengan menambahkan
aԛuades dan diaduk dengan batang pengaduk secara perlahan agar padatan kalium iodat
benar-benar terlarut secara sempurna. Setelah dilakukan pelarutan, dilanjutkan dengan
proses pengenceran larutan kalium iodat di dalam labu takar 100 mL dengan bantuan
corong gelas pendek dan pipet tetes hingga mencapai tanda batas. Ketika larutan kalium
iodat tersebut sudah diencerkan, maka dilakukan proses homogenisasi dengan mengocok
labu takar dengan arah yang konstan agar larutan kalium iodat benar-benar tercampur
secara merata.
Tahap selanjutnya, yaitu dimasukkan larutan natrium tiosulfat yang tidak berwarna
ke dalam buret hingga mencapai skala tertentu sesuai dengan volume larutan yang
diberikan dengan menggunakan bantuan corong gelas pendek, batang pengaduk, dan
kertas saring sebagai pengganjal. Adapun volume larutan natrium tiosulfat (Na2S2O3)
yang digunakan pada buret dalam percobaan titrasi iodometri kali ini sebesar 46 mL.
Posisi buret yang digunakan dalam titrasi iodometri ini haruslah tegak lurus, hal tersebut
dikarenakan agar lebih memudahkan dan meminimalisir terjadinya kesalahan dalam
pembacaan skala pada buret tersebut. Adapun pada praktikum titrasi iodometri ini
digunakan buret yang transparan atau tak berwarna, dikarenakan larutan natrium tiosulfat
tidak peka atau tidak mudah terurai oleh paparan cahaya.
Jika larutan pada buret telah siap, maka disiapkan larutan standar primer berupa
larutan kalium iodat (KIO3) dengan cara memipetnya sebanyak 10 mL ke dalam labu
erlenmeyer yang kemudian dilakukan pengenceran kembali dengan menambahkan 10mL
aԛuades hingga volumenya menjadi 20 mL. Setelah ditambahkan aԛuades ke dalam
larutan kalium iodat pada labu erlenmeyer, kemudian ditambahkan larutan asam klorida
(HCl) 1 N sebanyak 5 mL menggunakan gelas ukur untuk memberikan suasana asam lalu
tutup mulut labu erlenmeyer tersebut menggunakan plastik wrap agar larutan tidak
terkontaminasi dan tidak habis bereaksi begitu saja. Setelah itu dilanjutkan dengan
penambahan padatan kalium iodida (KI) yang berwarna putih sebanyak 1 sendok spatula
dan tutup kembali dengan plastik wrap yang telah digunakan sebelumnya. Adapun ketika
larutan kalium iodat yang telah diencerkan dan diasamkan tersebut ditambahkan dengan
padatan kalium iodida (KI), larutan mengalami perubahan warna menjadi cokelat
kemerahan.
Penambahan padatan kalium iodida (KI) ke dalam larutan tersebut berfungsi
sebagai zat pereduksi, yaitu guna membebaskan iod dari iodida sehingga terbentuk I2.
Proses pereduksian tersebut ditandai dengan perubahan warna larutan menjadi cokelat
kemerahan yang menandakan adanya reaksi antara KI dengan larutan KIO3. Sehingga
secara ringkas dapat dijelaskan, bahwa pada proses standarisasi ini, sampel yang bersifat
oksidator direduksi dengan KI berlebih dan menghasilkan I2 berwarna cokelat kemerahan
yang kemudian akan dititrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat (Na2S2O3).
Tahap selanjutnya, yaitu larutan kalium iodat yang telah diencerkan, diasamkan,
dan ditambahkan padatan kalium iodida hingga menghasilkan larutan berwarna merah
kecokelatan kemudian dititrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat (Na2S2O3) hingga
larutan mengalami perubahan warna menjadi kuning. Setelah terlihat warna kuning,
maka proses titrasi dihentikan sejenak, lalu sampel analit ditambahkan larutan indikator
amilum 0,2% sebanyak 5 tetes hingga larutan berubah warna menjadi kebiruan.
Penambahan indikator tersebut dilakukan saat titrasi hampir mencapai titik akhir titrasi
dikarenakan jika indikator ditambahkan pada awal titrasi, maka ikatan antara amilum
dengan iod akan sangat kuat yang menyebabkan iod sulit lepas dan warna biru yang
timbul akan sulit dititrasi. Jika larutan sudah menjadi biru, maka dilakukan titrasi kembali
sampai larutan menjadi tak berwarna yang menandakan telah mencapai titik akhir titrasi.
Adapun proses standarisasi larutan tersebut dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan
(triplo). Selain itu, reaksi yang terjadi pada proses standarisasi ini, yaitu sebagai berikut:
KIO3 (aq) + 5 KI (s) + 6 HCl (aq) → 6 KI (aq) + 3 I2 (aq) + 3 H2O (l)
(TB) (Putih) (TB) (TB) (Kuning) (TB)
I2 (aq) + 2 Na2S2O3 (aq) → 2 NaI (aq) + Na2S4O6 (aq)
(Kuning) (TB) (TB) (TB)
Dari hasil titrasi dan perhitungan yang telah dilakukan, diperoleh konsentrasi larutan
KIO3 sebesar 0,1 N dan konsentrasi larutan Na2S2O3 sebesar 0,097 N.
Selanjutnya dilakukan percobaan penentuan kadar Cu2+ dalam larutan CuSO4.
Langkah pertama, yaitu dipipet 10 mL larutan CuSO4 ke dalam labu erlenmeyer,
kemudian diencerkan menggunakan aԛuades sebanyak 15 mL hingga volumenya
menjadi 25 mL. Jika sudah diencerkan, tambahkan larutan asam sulfat (H2SO4) sebanyak
5 mL ke dalam labu erlenmeyer tersebut menggunakan gelas ukur, lalu tutup mulut labu
erlenmeyer tersebut dengan plastik wrap agar larutan tidak terkontaminasi dan tidak
bereaksi begitu saja dengan udara di luar. Adapun tujuan penambahan larutan asam sulfat
ke dalam labu erlenmeyer tersebut, yaitu sebagai pemberi suasana asam. Jika larutan
sudah diasamkan, maka ditambahkan padatan kalium iodida (KI) yang berwarna putih
hingga menghasilkan larutan yang berwarna kuning kecokelatan.
Tujuan dari ditambahkannya padatan kalium iodida ke dalam larutan tersebut, yaitu
sebagai zat pereduksi yang akan membebaskan iod dari iodida yang akan menghasilkan
I2. Proses yang terjadi pada titrasi iodometri ini dapat dikatakan, bahwa sampel yang
bersifat oksidator direduksi dengan KI berlebih dan akan menghasilkan I2 yang
selanjutnya akan dititrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat (Na2S2O3). Adapun I2
yang dibebaskan di sini berfungsi sebagai agen pengoksidasi pada saat titrasi karena
mengalami reduksi menjadi I-. Proses reduksi yang terjadi pada larutan CuSO4 yang telah
diasamkan ditandai dengan perubahan warna larutan menjadi kuning kecokelatan.
Perubahan warna tersebut menunjukkan adanya reaksi I2 dengan CuSO4.
Tahap selanjutnya, yaitu larutan CuSO4 yang telah diencerkan, diasamkan, dan
ditambahkan padatan kalium iodida hingga menghasilkan larutan yang berwarna kuning
kecokelatan kemudian dititrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat (Na2S2O3) hingga
warna larutan berubah menjadi kuning jerami. Setelah warna kuning jerami terlihat, maka
proses titrasi dihentikan sejenak, kemudian sampel analit tersebut ditambahkan indikator
amilum 1% sebanyak 5 tetes hingga warna larutan berubah menjadi kebiruan.
Penambahan indikator tersebut dilakukan saat titrasi hampir mencapai titik akhir titrasi
dikarenakan jika indikator ditambahkan pada awal titrasi, maka ikatan antara amilum
dengan iod akan sangat kuat yang menyebabkan iod sulit lepas dan warna biru yang
timbul akan sulit untuk dititrasi. Jika larutan sudah berubah menjadi biru, maka dilakukan
titrasi kembali sampai warna larutan berubah menjadi putih susu yang menandakan titik
akhir titrasi. Adapun proses titrasi ini dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan (triplo).
Selain itu, reaksi yang terjadi dari proses titrasi ini, yaitu sebagai berikut:
2 CuSO4 (aq) + 4 KI (s) + → 2 CuI (aq) + I2 (aq) + 3 H2O (l)
(TB) (Putih) (Putih) (Kuning) (TB)
I2 (aq) + 2 Na2S2O3 (aq) + CuI (s) → 2 NaI (aq) + Na2S4O6 (aq) + CuI (s)
(Kuning) (TB) (Putih) (TB) (TB) (Putih)

Dari hasil titrasi dan perhitungan yang telah dilakukan, diperoleh konsentrasi Cu2+
sebesar 0,037 N, massa Cu2+ sebesar 0,0117 gram, dan kadar Cu2+ sebesar 1%.

Adapun faktor kesalahan yang terjadi pada praktikum titrasi iodometri ini, yaitu
ketika mentitrasi larutan yang telah diasamkan dan ditambahkan padatan KI dilakukan
secara berlebih sehingga melewati titik akhir titrasi dan menyebabkan tidak adanya
perubahan yang terjadi serta tidak dapat bereaksi dengan indikator yang digunakan.
Kesalahan lainnya, yaitu kurang teliti dalam menggunakan indikator, di mana pada
percobaan standarisasi pertama digunakan indikator yang sudah lama sehingga
perubahan warna yang terjadi kurang terlihat.
K. Kesimpulan
Praktikum yang berjudul “Penentuan Konsentrasi Larutan Na2S2O3 dan Kadar Cu2+
dengan Metode Titrasi Iodometri” bertujuan untuk menentukan konsentrasi larutan
Na2S2O3 melalui strandarisasi oleh larutan KIO3 dan menentukan kadar Cu2+ dengan
metode titrasi iodometri. Prinsip dasar dari titrasi iodometri ini, yaitu berupa reaksi
oksidasi-reduksi pada suasana asam kuat maupun asam lemah yang melibatkan elektron
dengan jumlah tertentu. Selain itu, prinsip dasar dari titrasi iodometri ini juga meliputi
penambahan berlebihan iod iodida ke dalam larutan kalium dikromat yang berperan
sebagai oksidator, kemudian ion kalium dikromat inilah yang akan mengoksidasi ion
iodida menjadi iod. Adapun iod yang bebas tersebut akan dititrasi dengan natrium
tiosulfat. Sementara itu, prinsip kerja dari metode titrasi iodometri ini, yaitu melakukan
penimbangan, pelarutan, pengenceran, melakukan standarisasi, dan titrasi.
Dari hasil ataupun data pengatan dan perhitungan yang telah dilakukan diperoleh
hasil konsentrasi larutan KIO3 sebesar 0,1 N, konsentrasi larutan Na2S2O3 sebesar
0,097N, konsentrasi Cu2+ sebesar 0,0371 N, massa Cu2+ sebesar 0,0117 gram dan kadar
Cu2+ sebesar 1%.

L. Postlab
1. Hitung konsentrasi larutan Na2S2O3 pada standarisasi!
Jawab:
(n Na2S2O3) = (n KIO3)
N Na2S2O3 x V Na2S2O3 = N KIO3 x V KIO3
N Na2S2O3 x 10,30 mL = 0,1 N x 10 mL
N Na2S2O3 = 0,097 N ≈ 0,1 N

Jadi, konsentrasi larutan Na2S2O3 pada standarisasi sebesar 0,097 N ≈ 0,1 N


2. Hitung konsentrasi larutan Cu2+!
Jawab:
(n Cu2+) = (n Na2S2O3 )
N Cu2+ x V Cu2+ = N Na2S2O3 x V Na2S2O3
N Cu2+ x 10,00 mL = 0,097 N x 3,83 mL
N Cu2+ = 0,0371 N

Jadi, konsentrasi larutan Cu2+ sebesar 0,0371 N

M. Daftar Pustaka
Day & Underwood, A.L. (2002). Analisis Kimia Kuantitatif Edisi Keenam. Jakarta:
Erlangga
Feladita, N., dkk. (2018). Pengaruh Suhu Penyimpanan Terhadap Kadar Vitamin C Buah
Semangka Daging Buah Berwarna Merah dan Daging Buah Berwarna Kuning
secara Iodometri. Jurnal Analisis Farmasi, 3(4): 206-293
Mewiya, B. (2020). Iodometric and Iodimetric. Titrations Methods. Journal Werenskap
Health, 1 (1): 5-8
Smartlab. (2021). Material Safety Data Sheets. [online]. https: smartlab.co.id. [Diakses
pada 16 April 2023]
Tim Praktikum Kimia Analitik 1. (2023). Panduan Praktikum Iodometri. Bandung: UPI
Ulfa, M. A. (2015). Penetapan Kadar Klorin pada Beras Menggunakan Metode
Iodometri. Jurnal Kesehatan Holistik
N. Lampiran
Hasil Praktikum Keterangan
 Buret yang digunakan adalah buret
transparan atau tak berwarna
dengan volume 50 mL
 Posisi buret harus tegak lurus untuk
memudahkan dalam membaca
skala

Gambar 1.1 Proses pemasangan buret


 Volume larutan Na2S2O3 yang
digunakan pada buret sebanyak
46 mL
 Larutan Na2S2O3 yang digunakan
tidak berbau dan tak berwarna

Gambar 1.2 Volume larutan


Na2S2O3 pada buret
 Padatan KIO3 dilarutkan, kemudian
diencerkan di dalam labu takar
100 mL
 Larutan KIO3 berwujud cair, tidak
berwarna, dan tidak berbau

Gambar 1.3 Pengenceran larutan


KIO3
 Volume larutan KIO3 dalam setiap
labu erlenmeyer pada proses
standarisasi sebanyak 10 mL
 Larutan KIO3 kemudian diencerkan
kembali dengan menambahkan
aԛuades sebanyak 10 mL hingga
volumenya menjadi 20 mL dalam
Gambar 1.4 Volume larutan KIO3 dalam setiap labu erlenmeyer
setiap labu erlenmeyer
 Untuk proses standarisasi larutan
KIO3 ditambahkan dengan larutan
HCl sebanyak 5 mL sebagai
pemberi suasana asam, kemudian
ditambahkan padatan KI sebagai
zat pereduksi
 Larutan KIO3 yang telah diasamkan
dan ditambahkan padatan KI

Gambar 1.5 Perubahan warna larutan mengalami perubahan warna

ketika ditambahkan HCl dan padatan KI menjadi cokelat kemerahan

Larutan KIO3 yang telah diasamkan dan


ditambahkan padatan KI hingga
mengalami perubahan warna menjadi
cokelat kemerahan kemudian dititrasi
dengan larutan Na2S2O3 mengalami
perubahan warna kembali menjadi
kuning

Gambar 1.6 Perubahan warna larutan KIO3


ketika dititrasi dengan larutan Na2S2O3
Larutan KIO3 yang telah dititrasi
dengan larutan Na2S2O3 hingga berubah
warna menjadi kuning, kemudian
ditambahkan indikator hingga warna
larutan berubah warna menjadi hijau
kebiruan

Gambar 1.7 Larutan KIO3 yang


telah ditambahkan inidikator
Larutan KIO3 yang telah ditambahkan
indikator hingga berubah warna menjadi
biru kemudian dititrasi kembali dengan
larutan Na2S2O3 hingga berubah warna
menjadi larutan tak berwarna

Gambar 1.8 Larutan KIO3 yang dititrasi


kembali dengan larutan Na2S2O3
Volume larutan Na2S2O3 pada
standarisasi pertama sebelum
ditambahkan indikator sebesar
14,50 mL

Gambar 1.9 Volume larutan Na2S2O3 pada


standarisasi pertama sebelum ditambahkan
indikator
Volume larutan Na2S2O3 pada
standarisasi pertama setelah
ditambahkan indikator sebesar
15,50 mL

Gambar 1.10 Volume larutan Na2S2O3 pada


standarisasi pertama setelah ditambahkan
indikator
Volume larutan Na2S2O3 pada
standarisasi kedua sebelum
ditambahkan indikator sebesar
25,00 mL

Gambar 1.11 Volume larutan Na2S2O3 pada


standarisasi kedua sebelum ditambahkan
indikator

 Volume larutan CuSO4 dalam


setiap labu erlenmeyer sebanyak 10
mL yang kemudian ditambahkan
15 mL aԛuades hingga volumenya
menjadi 25 mL
 Ketika larutan CuSO4 ditambahkan
15 mL aԛuades warna larutan
Gambar 1.12 Larutan CuSO4 yang telah CuSO4 menjadi biru seulas
ditambahkan 15 mL aԛuades
Larutan CuSO4 yang telah ditambahkan
H2SO4 dan padatan KI mengalami
perubahan warna menjadi kuning
kecokelatan

Gambar 1.13 Larutan CuSO4 yang telah


ditambahkan 15 mL aԛuades
Ketika larutan CuSO4 ditambahkan
indikator, maka larutan mengalami
perubahan warna menjadi hijau
kebiruan

Gambar 1.14 Larutan CuSO4


yang telah ditambahkan indikator
Ketika larutan CuSO4 dititrasi kembali
dengan larutan Na2S2O3 dan mencapai
titik akhir titrasi, maka larutan
mengalami perubahan warna menjadi
putih susu

Gambar 1.15 Larutan CuSO4


ketika mencapai titik akhir titrasi
Volume larutan Na2S2O3 pada
standarisasi kedua sebelum
ditambahkan indikator sebesar
10,00 mL

Gambar 1.16 Volume larutan Na2S2O3 pada


standarisasi kedua sebelum ditambahkan
indikator

Volume larutan Na2S2O3 pada


standarisasi ketiga sebelum
ditambahkan indikator sebesar
14,00 mL

Gambar 1.17 Volume larutan Na2S2O3 pada


standarisasi ketiga sebelum ditambahkan
indikator
Volume larutan Na2S2O3 pada
standarisasi ketiga setelah ditambahkan
indikator sebesar 15,50 mL

Gambar 1.18 Volume larutan Na2S2O3 pada


standarisasi ketiga setelah ditambahkan
indikator

Anda mungkin juga menyukai