Anda di halaman 1dari 12

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/346577704

Kedelai Impor, tanaman hasil rekayasa tradisional dan modern yang biasa
dikonsumsi masyarakat dan bagaimana mensikapinya?

Article · August 2019

CITATIONS READS

0 1,707

1 author:

Rahmad Gunawan
Ministry of Agriculture
12 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Rahmad Gunawan on 03 December 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Kedelai Impor, tanaman hasil rekayasa tradisional dan modern yang biasa
dikonsumsi masyarakat dan bagaimana mensikapinya?
Makalah Bioteknologi Pertanian, Rahmad Gunawan

Kedelai merupakan bahan pangan pokok masyarakat, namun sayangnya


bahan baku tempe di Indonesia sebagian besar (80%) berasal dari kedelai impor.
Kedelai impor sebagian besar berasal dari Amerika yang notabene adalah transgenik
(1,8 juta ton). Hal ini berdasarkan laporan global status of biotech crops tahun 2015
dari Clive Jamaes (ISAAA), bahwa hingga tahun 2015 total pertanaman GMO
(biotech crops) telah mencapai 2 milyar hektar, dimana 1 milyar hektar
(setengahnya) adalah kedelai, 0,6 milyar hektar jagung, 0,3 milyar hektar kapas dan
0,1 milyar hektar kanola. Amerika Serikat merupakan negara yang paling banyak
menanam tanaman transgenik (70,9 juta ha) disusul Negara Brazil (44,2 juta ha) dan
Argentina (24,5 juta ha). Alasan para pengrajin tempe lebih senang menggunakan
kedelai impor dikarenakan kedelai impor berukuran lebih besar, putih dan mudah
diperoleh setiap saat. Sedangkan kedelai lokal, meskipun rasanya lebih enak, namun
ukuran bijinya lebih kecil dan tidak tersedia setiap saat. Kedelai impor sebagian besar
dari Amerika Serikat, dan tentu saja kemungkinan besar adalah transgenik (GMO).
Kedelai yang ditanam di Amerika Serikat sebagian besar adalah kedelai transgenik
RR (Roundup Ready), yaitu kedelai toleran herbisida berbahan aktif glifosat. Kedelai
ini dibuat melalui transfer gen EPSPS dari Agrobacterium sp strain CP4 dan
dikomersialkan pada tahun 1996. Jumlah pertanaman kedelai trasgenik RR di
Amerika Serikat sebesar 70.9 juta ha (39 % dari 1 milyar ha total kedelai transgenik
global). Impor kedelai Indonesia dari Amerika Serikat melalui USSEC (United State of
Soybean Export Council) berupa bungkil kedelai. Bungkil kedelai ini di Indonesia
dijadikan bahan pangan (bahan kedelai) dan pakan ternak. Sedangkan di Negara lain,
bungkil kedelai Amerika hanya dijadikan pakan ternak. (Saptowo, 2017)
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo
mengungkapkan bahwa selama ini Amerika Serikat menjadi negara sumber ekspor
kedelai terbesar untuk Indonesia. Namun yang patut diwaspadai, kedelai dari AS
adalah produk rekayasa genetika. Hal tersebut terlihat dari tingkat produksi kedelai
yang mencapai 2,5 juta ton per hektare. Menurut Sudaryatmo, angka produksi itu
jauh lebih besar ketimbang Indonesia yang rerata produktivitas kedelainya hanya
menyentuh angka 700 kilogram, atau maksimal 1,2 juta ton per hektare. "Kedelai dari
AS murah karena pakai rekayasa genetika. Padahal itu berkaitan erat dengan dampak
negatif terhadap kesehatan konsumen," tuturnya di Jakarta, Kamis (26/7).
Sudaryatmo pun menyoroti masih lemahnya regulasi tentang produk pertanian di
Indonesia. "Regulasi kita masih sangat lemah khususnya untuk produk pertanian. Kita
tidak memperketat dari sisi produk impor tersebut ditanam di mana, panennya
kapan, budidayanya bagaimana. Padahal, kalau importer tidak bisa menjelaskan, kita
bisa menolak," tegasnya, Sebagai catatan, rerata impor kedelai Indonesia, di luar
importasi kedelai oleh industri pakan ternak, setiap tahunnya mencapai 1,6 juta ton.
Sebanyak 70 persen, atau sekitar 1,12 juta hasil impor tersebut diperuntukkan
industri tempe dan tahu. Sisanya, sekitar 480 ribu ton untuk kebutuhan industri susu
kedelai dan lainnya. (JPPN)
Tanaman yang dihasilkan melalui teknik rekayasa genetika pun dapat
diproduksi dalam waktu yang singkat, sehingga produktivitasnya menjadi lebih baik.
Data Dirjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian mencatat hampir 60%
kebutuhan kedelai Indonesia diimpor dari Amerika Serikat dan itu adalah jenis kedelai
transgenik. Tujuan awal dari menciptakan kedelai transgenik memang sudah benar.
Yaitu mengimbangi antara produktivitas kedelai yang rendah dengan tingkat
konsumsi masyarakat seperti di Indonesia yang tinggi. "Namun yang menjadi
kekhawatiran adalah adanya karakter-karakter yang tidak bisa dikontrol seperti
munculnya protein tertentu yang bersifat alergen dan juga kontaminasi serbuk sari
tanaman transgenik tersebut ke tanaman lainnya, kedelai biasa mengandung
protein isovflavon (senyawa antioksidan) yang mencapai 130-380mg/100 gram).
Kedelai bisa menurunkan kolesterol, mencegah osteoporosis dengan melindungi
mineral dalam tulang, menghambat atherosklerosis (penyumbatan pembuluh
darah), mengurangi simptom menopause, menurunkan risiko kanker payudara dan
prostat, senyawa antikanker. Namun protein yang baik itu mulai dikhawatirkan
menjadi tidak baik pada kedelai transgenik. Diduga ada protein asing di kedelai
transgenik akibat proses rekayasa yang akan membuat enzym pencernaan sulit
mengenalnya. Efek lanjutannya bisa memicu alergi pada pencernaan, pernafasan,
kulit, sakit kepala. Kedelai transgenik akan sangat menguntungkan jika dilihat dari sisi
produktivitasnya yang tinggi. Pemerintah pun rupanya belum melarang penggunaan
kedelai transgenik karena belum ada pembuktian ilmiah yang pasti mengenai efek
produk GMO bagi kesehatan. Jika masih berada dalam ambang batas yang
ditentukan (kurang dari 5% kandungan transgeniknya) dan mencantumkan label
GMO pada kemasannya. "Hal ini sangat penting karena salah satu peran pemerintah
adalah untuk menyosialisasikan dan mengedukasi masyarakat agar mereka tidak
bingung. Analisis bahwa pembuktian ilmiah memang membutuhkan waktu yang
sangat lama. Contohnya saja ketika pestisida ditemukan pada tahun 1700-an. Ketika
itu masyarakat sangat antusias menggunakannya karena keuntungan yang
dihasilkannya. Namun pada tahun 1900-an, masyarakat mulai khawatir dan
menyadari akan efek samping yang kurang baik dari pestisida. Melihat sejarah
tersebut, kemungkinan pembuktian ilmiah dari efek produk transgenik bagi
kesehatan pun membutuhkan waktu sekitar 200 tahun-an dari mulai ditemukannya.
Sebuah perjalanan yang sangat panjang demi menemukan sebuah bukti.
(heath.detik.com)
Kedelai adalah salah satu produk yang telah mengalami rekayasa genetika.
Kedelai GMO memiliki ketahanan dari serangan hama. Dengan begini petani tidak
akan selalu menyemprot pestisida. Hal ini membuat petani lebih hemat. Selain itu
kedelai GMO juga menghasilkan produk yang banyak, bulir biji yang besar akan
membuat panen semakin besar. Hampir semua kedelai yang diproduksi Amerika
adalah kedelai GMO. Kedelai ini diekspor ke beberapa negara dan diolah di dalam
negeri dalam bentuk tepung, minyak, hingga kecap. Indonesia kerap mengimpor
kedelai dari luar negeri. Dan hampir dipastikan kedelai itu adalah kedelai GMO.
)Bombastis.com). Indonesia telah mengimpor kedelai dua juta ton dan jagung 1,2 juta
ton serta berbagai komoditas lainnya pada tahun 2000 yang diduga mengandung
GMO, sehingga sudah dapat dipastikan Indonesia telah mengonsumsi hasil rekayasa
genetika. Tetapi, hingga saat ini belum pernah dilaporkan adanya dampak negatif
dari penggunaan GMO. Jangankan mendeteksi dampak negatif penggunaan GMO,
mendeteksi apakah komoditas yang diimpor mengandung GMO saja belum pernah
dilakukan di Indonesia. Justru untuk itulah kami memberanikan diri mengemukakan
dugaan kekhawatiran munculnya dampak negatif penggunaan dari produk rekayasa
genetika di Indonesia. (Sada Kata)
Kedelai rekayasa genetik pertama ditanam di Amerika Serikat pada tahun
1996. Lebih dari sepuluh tahun kemudian, kedelai Genetic Modified (GM) ditanam di
sembilan negara mencakup lebih dari 60 juta hektar. Kedelai ini GM memiliki gen
yang memberikan resistensi herbisida. Amerika Serikat (85%) dan Argentina (98%)
menghasilkan hampir secara eksklusif kedelai GM. Di negara negara ini, kedelai GM
disetujui tanpa pembatasan dan diperlakukan sama seperti kedelai konvensional.
Produsen dan pejabat pemerintah di AS dan Argentina tidak melihat alasan untuk
membedakan kedelai GM dan konvensional baik pada saat panen, pengiriman,
penyimpanan atau pengolahan. Kedelai impor dari negara negara tersebut
umumnya mengandung sebagian besar GM Kedelai GM pernah tidak diizinkan di
Brasil. Namun demikian, benih GM diselundupkan dari negara-negara tetangga dan
ditanam secara ilegal. Sekarang, kedelai GM telah disetujui. Pada tahun 2007, 64
persen tanaman kedelai di negara itu adalah rekayasa genetika. Sebagian besar
kedelai konvensional Brazil ditanam di bagian utara negara itu. Penanaman skala
komersial dalam jumlahbesar kedelai rekayasa genetik juga dapat ditemukan di
Paraguay, Kanada, Uruguay dan Afrika Selatan. Impor kedelai didominasi untuk
pakan ternak. Selama pengolahan, kedelai yang diproses untuk menghasilkan
minyak, dan minyak yang diperoleh diekstraksi dan dimurnikan untuk penggunaan
makanan. Selain itu, kedelai digunakan untuk menghasilkan berbagai bahan makanan
dan zat aditif. Lesitin, misalnya, digunakan sebagai emulsifier dalam cokelat, es krim,
margarin, dan makanan yang dipanggang (Cholifah, 2016).
Kebiasaan di Indonesia mengonsumsi lalapan, mulai dari kol, kacang panjang,
terong, kemangi, dan sebagainya apabila berasal dari tanaman transgenik maka
dikhawatirkan memunculkan dampak negatif . Kebiasaan di Indonesia enggunakan
tauge mentah, kemungkinan dipergunakan kedele impor yang diduga kedele
transgenik, maka dikhawatirkan munculnya dampak negatif seperti percobaan
Arfad Putzai. Kebiasaan pakan ternak, dari gulma, sisa-sisa dari hasil pertanian
apabila berasal dari areal penanaman transgenik kemungkinan telah mengandung
transgenik akan memberikan kekhawatiran seperti percobaan Arfad Putzai. Pakan
ternak Indonesia didominasi bahan impor, baik bungkil kedele maupun jagung
berasal dari negara-negara menggunakan GMO sehingga diduga mengandung
bahan GMO. Penyakit ayam kuntet telah dijumpai di Indonesia, dikhawatirkan akibat
dari penggunaan jagung dan kedelai transgenik seperti percobaan Arfad Putzai.
(Sada Kata)
Bioteknologi adalah bidang penerapan biosains dan teknologi yang
menyangkut penerapan praktis organisme hidup atau komponen subsellulernya
pada industri jasa dan manufaktur serta pengelolaan lingkungan. Atau dapat pula di
definisikan sebagai teknologi yang menggunakan sistem hayati (proses-proses
biologi) untuk mendapatkan barang dan jasa yang berguna bagi kesejahteraan
manusia. Bioteknologi memanfaatkan: bakteri, ragi, kapang, alga, sel tumbuhan atau
sel hewan yang dibiakkan sebagai konstituen berbagai proses industri. Pada
umumnya bioteknologi dibedakan menjadi bioteknologi tradisional dan modern.
Bioteknologi tradisional adalah bioteknologi yang memanfaatkan mikrobia
(organisme) untuk memodifikasi bahan dan dan lingkungan untuk memperoleh
produk optimal. Misalnya pembuatan tempe, tape, roti, pengomposan sampah.
Sedangkan bioteknologi modern dilakukan melalui pemanfaatan ketrampilan
manusia dalam melakukan manipulasi makhluk hidup agar dapat digunakan untuk
menghasilkan produk sesuai yang diinginkan manusia. Misalnya melalui teknik
rekayasa genetik. Rekayasa genetik merupakan teknik untuk menghasilkan molekul
DNA yang berisi gen baru yang diinginkan atau kombinasi gen-gen baru atau dapat
dikatakan sebagai manipulasi organisme. Bioteknologi modern berkembang pesat
setelah genetika molekuler berkembang dengan baik. Dimulai dengan pemahaman
tentang struktur DNA pada tahun 1960an dan hingga berkembangnya berbagai
teknik molekuler telah menjadikan pemahaman tentang gen menjadi semakin baik.
Gen atau yang sering dikenal dengan istilah DNA, merupakan materi genetik yang
bertanggung jawab terhadap semua sifat yang dimiliki oleh makhluk hidup Genetika
merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana sifat-sifat suatu makhluk hidup ini
diturunkan dari induk kepada keturunannya. (Sutarno, 2016).
Sebagian besar dari sifat yang dimiliki oleh suatu makhluk hidup dikendalikan
oleh gen-gen yang berada di dalam inti sel (nukleus), dan pola penurunannya
dipelajari dalam Genetika Mendel (Mendelian Genetics). Prinsip dasar dari pola
penurunan Mendel ini adalah bahwa suatu sifat yang diturunkan kepada
keturunannya separoh (50%) berasal dari induk jantan dan separoh (50%) berasal
dari induk betina. Namun demikian, adapula sifat-sifat makhluk hidup yang
dikendalikan oleh DNA yang berada di luar Inti (mitokondria, kloroplast), yang pola
penurunannya tidak mengikuti pola Mendel, sehingga sering disebut sebagai
Genetika non-Mendel (Non-Mendelian Genetics) (Sutarno, 2015). Pada genetika
non-Mendel, sifat yang dimiliki keturunan secara keseluruhan (100%) berasal dari
induk betina, sehingga pola penurunannya sering disebut dengan maternally
inherited. Dengan berkembangnya teknologi molekuler, maka berkembang pula
teknik-teknik untuk memanipulasi gen sehingga muncul teknik rekayaya genetic
(genetic engineering). Kemajuan-kemajuan ilmu pengetahun dan teknologi yang
telah ada baik di bidang fisika, kimia, matematika dan biologi telah memicu majunya
bioteknologi. Selain itu, banyak hal yang juga ikut berperan dalam memicu lahirnya
bioteknologi, diantaranya adalah karena semakin besar tuntutan untuk mencapai
target yang diinginkan dengan proses yang lebih cepat dan terobosan yang inovatif
yang bisa menguntungkan bagi umat manusia. Bioteknologi juga memiliki peran
penting dalam ilmu pengetahuan dewasa ini, bioteknologi sendiri mengalami
berbagai pembaruan dari bioteknologi yang bersifat tradisional kearah bioteknologi
yang modern. Manfaat bioteknologi bagi kehidupan manusia dalam meningkatkan
kesejahteraan dan perbaikan hidup telah terbukti, antara lain penerapannya untuk
memerangi kelaparan, mengatasi kelangkaan sumber daya energi, mengurangi
pencemaran lingkungan dan masih banyak lagi. (Sutarno, 2016).
Meskipun telah bertahun-tahun terjadi pro dan kontra terhadap manfaat dan
bahaya yang dihasilkan oleh produk transgenik, banyak bidang yang memanfaatkan
kemajuan dan perkembangan teknologi ini. Salah satu di antaranya adalah bidang
kedokteran yang memanfaatkannya untuk menghasilkan obat- obatan, khususnya
antibiotik, hormon, vaksin, dan antigen sebagai bahan diagnostik. Selain itu,
teknologi ini digunakan juga untuk berbagai bahan pangan mulai dari kacang kedelai,
jagung, hingga biji kanola. Pahami risiko Untuk dapat memanfaatkan suatu produk
rekayasa genetika dengan aman, kita perlu memahami bahaya atau risiko potensial
yang mungkin timbul sebagai akibat masuknya asam deoksiribonukleat
(deoxyribonucleic acid/DNA) transgenik secara horizontal ke dalam genom spesies
yang tak berhubungan. Meskipun ilmuwan dan ahli bioteknologi menjamin kestabilan
gen-gen yang direkayasa tersebut, serta menyatakan keunggulan modifikasi
genetika ini sangat akurat, tetap saja seleksi alam menjalankan fungsinyaTidak
diragukan lagi bahwa teknologi ini mampu memberikan jalan keluar bagi ketahanan
pangan dengan meningkatkan hasil panen sehingga berdampak luar biasa bagi
perekonomian. Yang tidak kalah penting adalah manfaatnya di bidang kedokteran.
Beberapa imunisasi dengan menggunakan vaksin hasil rekayasa genetika telah
memberikan hasil yang cukup signifikan dalam menurunkan angka kesakitan.
Perannya dalam penelitian bioteknologi memberikan kontribusi yang sangat besar
terhadap perkembangan dunia kedokteran. Sebagai contoh dengan mengetahui
mutasi ataupun resistensi suatu mikroorganisme penyebab penyakit, seperti bakteri
atau virus, akan memudahkan para klinisi dalam mengobati penyakit yang
disebabkan oleh mikroorganisme tersebut. Begitu pula dalam bidang diagnostic.
Dengan digunakannya antigen/antibodi hasil rekayasa genetika, membuka jalan bagi
para klinisi untuk mempersingkat waktu pemeriksaan di laboratorium yang
implikasinya adalah waktu untuk mengobati menjadi lebih cepat. Produk transgenik
menjanjikan solusi bagi umat manusia, tetapi rintangan masih terbuka lebar dan
banyak misteri yang harus dipecahkan, seperti efek bagi kesehatan manusia dan
lingkungan. Untuk itu diperlukan penelitianpenelitian lanjut yang mampu
mengungkap tingkat keamannya bagi manusia. Diperlukan pula regulasi dan
kebijakan dari pemerintah setempat ataupun badan-badan internasional yang
memayungi segala sesuatu terkait dengan teknologi dan produk teknologi.
(Cucunawangsih, 2010)
Manfaat rekayasa genetika untuk meningkatkan hasil pangan, dalam
pembuatannya melibatkan mikroorganisme. Mulai dari olahan pangan yang
difermentasi secara tradisional sampai pada pengolahan bioteknologi pangan
secara modern. Untuk memproduksi senyawa kimia dalam hal bahan mentah
terlebih dahulu harus diperlakukan secara kimia, fisika, serta dengan cara enzimatis
sebelum siap untuk digunakan. Dalam upaya peningkatan hasil pertanian dilakukan
beberapa upaya yang dilakukan dengan cara memilih bibit unggul, baik unggul
secara kualitas ataupun kuantitasnya, pengolahan lahan, dan sistem budidaya
tanaman. Untuk pengendalian hama, teknik rekayasa genetika memiliki peran
penting dalam menentukan insektisida, herbisida, serta pestisida yang digunakan.
Pemulihan secara revolusioner dengan cara menerapkan antibodi monoclonal
sebagai sarana pembantu diagnosik. Dalam upaya peningkatan pemeliharaan
kesehatan masyarakat, rekayasa genetika juga memiliki peran yang penting seperti
dapat mengetahui penyakit sejak dini, hal ini terjadi karena kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sehingga pengobatan yang diberikan juga akan lebih
spesifik. Begitu juga dengan obat akan lebih mudah diperoleh. Dalam perannya untuk
menyelamatkan lingkungan, rakayasa genetika juga berpotensi untuk
mengupayakan penyelamatan keanekaragan hayati. Bahkan dalam penangan
lingkungan yang sudah terlanjur rusak. Selain dampak positif tersebut, ternyata
rekayasa genetika juga memiliki dampak negatif dalam kehidupan. Dampak negatif
tersebut seperti Pengaruh Bioteknologi dalam pertanian Walaupun terlihat bahwa
pangan hasil dari rekayasa genetika dapat menjawab permasalahan pangan.
Ternyata organisme ataupun makhluk hidup memiliki kecacatan dan dikhawatirkan
dapat menimbulkan permasalahan kesehatan. Adanya efek samping dari
penggunaan pembasmi hama akan berpengaruh pada kadar oksigen di dalam tanah.
Tanaman transgenik dicurigai dapat menyebabkan keracunan bagi manusia. Sebab
tanaman transgenik yang disisipi gen tahan hama ternyata tidak hanya bersifat racun
bagi serangga, tetapi juga racun pada tubuh manusia. Produksi bahan makanan
dengan penggunaan gen dari babi menimbulkan kekhawatiran pemeluk agama
islam. Selain itu juga penggunaan gen dari hewan yang disisipkan dalam produksi
makanan untuk meningkatkan kualitas makanan akan menimbulkan kekhawatiran
bagi para vegetarian. Sementara itu, yang paling banyak dibicarakan adalah terkait
cloning manusia. Baik secara parsial ataupun keseluruhan, jika hal tersebut telah
terwujud, pasti akan menimbulkan kontroversi, baik dari segi agama ataupun dari
nilai-nilai moral.
Kelemahan teknologi rekayasa genetika selain membawa dampak kurangnya
zat gizi bagi ketersediaan makanan, membawa dampak negatif antara lain
pencemaranorganik memerlukan biaya yang sangat tinggi. hingga rekayasa
genetika, termasuk pada produksi benih transgenik, menjadi sulit untuk diterapkan
pada tanaman buah.termasuk kelemahan teknologi rekayasa genetika memerlukan
biaya yang sangat tinggi. rekayasa genetika, termasuk pada produksi benih
transgenik, menjadi sedikit sulit untuk diterapkan pada tanaman buah. kelebihan
rekaysa genetika yaitu meningkatan hasil pertanian dan gizi produk makanan dan
minuman melestarikan hewan dan tumbuhan melalui kultur jaringan memproduksi
obat-obatan dengan cara rekayasa genetika juga sangat membantu untuk
mendapatkan sifat yang di inginkan dengan bermacam variasi. Rekayasa Genetika
atau DNA Rekombinan dapat didefinisikan sebagai pembentukan rekombinasi baru
dari material yang dapat diturunkan dengan cara penyisipan DNA dari luar kedalam
suatu wahana "vector tertentu sehinggamemungkinkan penggabungan dan
kelanjutan berkembang baru. Rekayasa genetikamerupakan suatu cara
memanipulasikan gen untuk menghasilkan makhluk hidup barudengan sifat yang
diinginkan. Rekayasa genetika disebut juga pencangkokan gen atau rekombinasi
DNa. Dalam rekayasa genetika digunakan DNA untuk menggabungkansifat makhluk
hidup. beberapa cara telah dilakukan untuk teknik penciptaan buah tanpa biji
diantaranya yaitu dengan teknologi penyilangan tanaman 2N dan 5N
hinggamenghasilkan tanaman triploid yang seedless, sinar radiasi, dan
menggunakan penyemprotan giberelin yang dilakukan pada bunga buah yaitu pada
saat bunga mekar.jambu air tanpa biji, bisa diperoleh dengan menyemprotkan
hormone giberellin pada bunga buah. Giberellin 'a-oksidase yang diekspresikan pada
bagian polen "serbuk sari sebelum polinasi "di bawah control promoter spesifik
bagian polen. pertumbuhan biji akan terhambat. (Khauziro)
Saat ini bila diinventarisir ada sekitar 27 jenis tanaman transgenik meliputi 336
events. Membedakan pangan transgenik dan pangan alami dengan mata telanjang
jelas sulit. Kecuali jika pangan transgenik tersebut memiliki ciri khas. Dengan begitu,
satu-satunya cara bagi awam untuk mengenali produk transgenik ini yaitu dari label
pada kemasan produk. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia memberikan
petunjuk, bahwa besar kemungkinan suatu produk adalah penganan hasil rekayasa
genetik jika produk tersebut tidak mencantumkankandungannya secara eksplisit
sebagai bahan organik (Putri, 2014). Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG)
VIII menyatakan bahwa pangan Rekayasa genetik dapat diterima dengan prinsip
kehati-hatian, selektif, dan memperhatikan bioetika sepanjang tidak membahayakan
kesehatan dan lingkungan. Begitu juga biofortifikasi pangan melalui budidaya
tanaman untuk meningkatkan kandungan dan mutu gizi pangan.WNPG VIII juga
merekomendasikan untuk mengembangkan produk rekayasa lokal berdasarkan
keragaman hayati lokal dengan tidak membahayakan kesehatan dan keragaman
hayati, serta tidak menimbulkan ketergantungan ekonomi pada Negara lain.
Rekomendasi lain WNPG VIII adalah pelabelan produk makanan yang berbahan
pangan transgenik. Pelabelan itu sendiri bukan untuk menyatakan keamanan produk
itu, tetapi lebih sebagai informasi kepada masyarakat agar dapat menentukan
pilihan. Bila awalnya penelitian ditujukan untuk mengatasi kendala waktu pada
pemuliaan konvensional, pangan produk rekayasa genetika (PRG), berkembang
menjadi kegiatan komersial untuk memberi keuntungan bagi produsen maupun
mutu dan nilai gizi bahan pangan yang dihasilkan. PRG pada tanaman pangan
awalnya ditujukan untuk perlindungan tanaman, terutama meningkatkan ketahanan
terhadap penyakit tanaman akibat serangan virus atau bakteri, atau meningkatkan
toleransi terhadap herbisida. (Cholifah, 2016)
Indonesia sudah mengatur pangan hasil rekayasa genetika melalui Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1996 jo Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang
Pangan. Pasal 13 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa a) setiap orang yang
memproduksi pangan atau menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan
atau bahan baku lain dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang dihasilkan
dari proses rekayasa genetika wajib terlebih dahulu memeriksakan keamanan
pangan bagi kesehatan manusia sebelum diedarkan; b) pemerintah menetapkan
persyaratan dan prinsip penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan metode
rekayasa genetika dalam kegiatan atau proses produksi pangan, serta menetapkan
persyaratan bagi pengujian pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika.
Selain itu, juga ada Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan
Iklan Pangan. Pasal 35 peraturan ini mewajibkan pencantuman keterangan “Pangan
Rekayasa Genetika” untuk pangan hasil rekayasa genetika. Label juga harus
menyebutkan bahan PRG bila bahan yang digunakan dalam produk pangan
bersangkutan merupakan hasil rekayasa genetika. Selain itu harus dicantumkan
keterangan tentang pangan rekayasa genetika pada bahan yang merupakan hasil
rekayasa genetika. Keterangan tersebut diletakkan pada bagian informasi label yang
berisi tentang daftar kompisisi bahan. Adapun huruf tulisan atau peringatan
sekurang-kurangnya sama dengan huruf pada bahan yang bersangkutan. (Cholifah,
2016)
Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru telah
menerapkan hukum yang mewajibkan semua pangan yang mengandung bahan
rekayasa genetika untuk dilabel. Dalam menerapkan peraturan ini masing-masing
negara memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Uni Eropa mempertimbangkan
masalah ini dalam kurun waktu tertentu dan telah menyetujui suatu tingkat ambang
batas (treshold) minimal yaitu 1%. Ambang batas minimal diterapkan secara terpisah
pada setiap bahan (komposisi) yang digunakan dalam produk, dan hanya pada situasi
dimana adanya materi rekayasa genetika tidak disengaja. Badan Pengawas Obat
dan Makanan Departemen Kesehatan, melalui Komisi Keamanan Hayati dan
Keamanan Pangan (KKHKP) telah menyusun tata cara pengkajian keamanan pangan
PRG dan tata cara ini telah digunakan untuk mengkaji keamanan pangan PRG.
Pengkajian keamanan pangan GMF menyangkut informasi genetik dan informasi
keamanan pangan. Informasi genetik berupa deskripsi umum pangan GMF, deskripsi
inang dan penggunaannya sebagai pangan, deskripsi organisme donor, deskripsi
modifikasi genetic, dan karakteristik modifikasi genetik. Sedangkan informasi
keamanan pangan meliputi: kesepadanan, substansial perubahan nilai gizi
dibandingkan dengan pangan tradisional, kemungkinan menimbulkan alergi dan
toksisitas “Untuk Indonesia, ambang batas yang ditetapkan adalah bila terdapat lebih
dari lima persen bahan mengandung GMF, maka harus dicantumkan dalam label.
Dengan cara ini konsumen mendapat informasi dan bias melakukan pilihan. Saat ini
status pangan transgenik Indonesia menunggu rekomendasi atas hasil kajian
keamanan pangan untuk kedelai dan jagung toleran glifosat. Kewajiban pelabelan
pangan PRG dilakukan setelah ada rekomendasi status keamanan tanaman tersebut.
Penelitian untuk menghasilkan pangan hasil rekayasa genetika pun tengah dilakukan
antara lain oleh LIPI dengan sejumlah persyaratan ketat. Untuk mengantisipasi
kontroversi mengenai produk rekayasa genetika masih akan berlangsung, tetapi di
sisi lain juga ada kebutuhan untuk tidak bergantung pada pihak luar, rekomendasi
WNPG VIII tentang dikembangkannya penelitian produk rekayasa genetika lokal
perlu disikapi dengan arif tanpa semata-mata bereaksi menolak. Karena kenyataan
yang sudah terjadi adalah bila tidak mengembangkan produk rekayasa genetik
sendiri, Indonesia akan menjadi konsumen produk rekayasa genetik yang diproduksi
negara lain atau perusahaan multinasional. (Cholifah, 2016)
Hasil uji GMO menunjukkan bahwa kedelai impor teridentifikasi produk
rekayasa genetik dengan sisipan gen bakter itanah Agrobacterium tumefaciens.
Genom (DNA) agrobacterium ini bersifat tahan (resistant) terhadap bahan kimia
beracun, glifosat (glyphosate) “Roundup”. Glifosat - Roundup ready adalah bahan
kimia beracun yang diproduksi oleh perusahaan benih raksasa Monsanto guna
membasmi gulma tanaman. Kedelai transgenik jenis ini diberi nama event GTS-40-
3-2 (kode event MON-Ø4Ø32-6).GTS 40-3-2 termasuk kedelai transgenik generasi
pertama yang diproduksi dan disisipkan gen bakteri tanah (Agrobacterium
tumefaciens). Donor gen dalam kedelai transgenik itu berasal dari DNA
Agrobacterium tumefaciens strain CP4, yang memiliki tanggung jawab dalam
toleransi atau tahan terhadap glifosat. (Ilmiasa. 2016)

Berdasarkan hasil pengkajian keamanan lingkungan, pangan dan pakan di


Amerika Serikat kedelai RR ini telah dinyatakan aman lingkungan oleh USDA (United
State Department of Agricuture), aman pangan dan pakan oleh FDA (Food and Drug
Administration). Dari kajian aman pangan (kesepadanan substansial), kedelai RR
dinyatakan aman untuk dikonsumsi (aman pangan) karena mengandung nutrisi yang
sama dengan kedelai non transgeniknya. Selain di Amerika Serikat, kedelai RR juga
telah dinyatakan aman di Kanada, Jepang, Eropa dan Negara-negara lain. Kajian
menyatakan bahwa enzim CP4 EPSPS sudah umum terdapat pada kedelai dan juga
tanaman lainnya. Enzim ini sangat sensitif terhadap glifosat. Protein CP4 EPSPS dari
Agrobacterium berfungsi sama dengan ensim EPSPS, namun toleran terhadap
glifosat sehingga tanaman kedelai RR toleran terhadap glifosat (Roundup Ready).
Protein CP4 EPSPS telah dievaluasi melalui serangkaian uji dan dinyatakan aman
untuk dikonsumsi karena kadarnya sangat rendah pada biji kedelai (0,1% dari total
protein), sangat cepat dicerna, tidak menimbulkan alergi dan tidak menimbulkan
bahaya pada hewan ternak sebagai pakan. Pada proses pembuatan tempe, kedelai
diproses melalui pemasakan/dipanaskan dengan suhu tinggi dan cukup lama,
sehingga protein dari CP4-EPSPS telah hancur dan tidak membahayakan tubuh. Dari
hasil kajian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kedelai transgenik dari Amerika
Serikat yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan tempe secara ilmiah aman
dan tidak berbahaya. Namun demikian, bagi masyarakat yang masih ragu-ragu untuk
menkonsumsi tempe berbahan baku kedelai transgenik, masih ada pilihan lain. Saat
ini sudah banyak produsen tempe yang menggunakan bahan baku kedelai lokal,
seperti varietas Wilis, Grobogan dan sebagainya. Bahkan telah ada pula kedelai yang
dibuat dari biji kacang hijau.( Saptowo, 2017)
Di Indonesia beberapa komoditi seperti tebu, jagung, kentang, dan kedelai
juga sudah banyak dikembangkan. Sampai tahun 2016, terdapat 21 jenis pangan
produk rekayasa genetika yang telah mendapatkan sertifikat keamanan pangan
Produk Rekayasa Genetika. Infonya bisa dicek di website
http://indonesiabch.menlhk.go.id/ (Filsafood.com) Istilah yang lebih tepat secara
ilmiah untuk apa yang dikenal dengan istilah GMO populer adalah rekayasa genetika
Genetics Engineering (GE). Defnisi ini melibatkan penggunaan teknologi DNA
rekombinan dalam proses pemuliaan tanaman. Selama ribuan tahun seluruh genom
tanaman telah dicampur untuk membuat varietas tanaman pangan baru. Dimulai
pada abad kedua puluh mulai menggunakan radiasi pengion dan bahan kimia untuk
secara acak mengubah DNA tanaman pangan, sebuah proses yang dikenal sebagai
mutagenesis. Dalam semua metode pemuliaan “tradisional” ini, hanya ada sedikit
pengetahuan tentang perubahan apa yang terjadi pada DNA tanaman pangan kita.
Namun, diketahui bahwa luasnya perubahan DNA dari perkembangbiakan
tradisional jauh lebih besar daripada perubahan yang terarah dan tepat yang
merupakan hasil rekayasa genetika. Teknologi pemuliaan RG adalah penyempurnaan
dari prosedur pemuliaan modifkasi DNA acak yang tidak terkendali di masa lalu.
Tahun ini menandai peringatan dua puluh tahun tanaman rekayasa genetika (GE)
komersial dan makanan turunannya. Pada tahun 1987, Akademi Ilmu Pengetahuan
Nasional AS menyatakan tidak ada risiko baru dari tanaman yang dibuat
menggunakan teknologi DNA rekombinan . Dua puluh tujuh tahun kemudian,
segunung penelitian terus mengkonfrmasi pernyataan ini. Masyarakat abad ke-21
mencari web untuk informasi akses cepat. Cepat tapi tidak selalu akurat. Internet
penuh dengan informasi palsu tentang makanan RG. Konsumen dan profesional
perawatan kesehatan menghadapi pemboman terus-menerus dengan klaim
mengenai tanaman RG dan keamanan pangan turunan. Kebanyakan orang tidak
memiliki pelatihan atau pengetahuan untuk membedakan pernyataan yang
menyesatkan dari sains dalam debat yang penuh emosi ini. (Taruhan, 2014)
Kontroversi produk rekayasa genetika akan terus berlangsung karena pangan
merupakan kebutuan jasmani manusia, efek yang ditimbulkan juga bukan isapan
jempol, kehati-hatian dan bijak dalam mengkonsumsi bahan pangan selagi masih
dapat menjadi alternatif dengan memperhatikan keberlangsungan kehidupan dalam
masa yang akan datang sangat diperlukan.

Pustaka :
Boombastis.com, 8 Fakta Rekayasa Genetika di Balik Makanan Sehari-hari Manusia
diakses 17 Agustus 2019
Cholifah, 2016 , Pangan Rekayasa Genetika
https://okkpd.pertanian.jatimprov.go.id/2016/05/04/pangan-rekayasa-genetika-
prg/ diakses 17 Agustus 2019
Cucunawangsih, 2010. Bijak Hadapi Produk Transgenik
https://sains.kompas.com/read/2010/01/18/03255199/bijak.hadapi.produk.transg
enik?page=all diakses 17 Agustus 2019
Desi Lestari , 2018. Keuntungan dan Dampak Negatif Rekayasa Genetika
https://www.siswapedia.com/keuntungan-dan-dampak-negatif-rekayasa-
genetika/ diakses 17 Agustus 2019
FAO dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, 2009. Status Terkini
Dunia Sumberdaya Genetik Ternak Untuk Pangan dan Pertanian
Filsafood.com Produk Rekayasa Genetika, Goodbye Gmo.
https://filsafood.com/produk-rekayasa-genetika/ diakses 17 Agustus 2019
JPPN, 2012. https://www.jpnn.com/news/waspadai-kedelai-as-hasil-rekayasa-
genetika diakses 17 Agustus 2019
Mitsuru, Kazuhiro, Engineering Genetic Fruit Jambu Batu Without Seeds
https://www.academia.edu/24199690/rekayasa_genetik_buah_jambu_batu_tanpa
_biji diakses 17 Agustus 2019
Polemik Konsumsi Kedelai Transgenik https://health.detik.com/ulasan-khas/d-
1165181/polemik-konsumsi-kedelai-transgenik diakses 17 Agustus 2019
Sada Kata, Dampak Penggunaan Hasil Rekayasa Genetika Telah Menjadi
Kenyataan? http://agrotekacehgmail.blogspot.com/2012/05/dampak-
penggunaan-hasil-rekayasa.html diakses 17 Agustus 2019
Saliha, Ilmiasa. 2016 Analisis Studi Kasus Etika Bioteknologi “Kedelai Impor
Melangkahi Regulasi Keamanan Hayati Indonesia”
https://www.academia.edu/39109356/Analisis_Studi_Kasus_Etika_Bioteknologi_K
edelai_Impor_Melangkahi_Regulasi_Keamanan_Hayati_Indonesia diakses 17
Agustus 2019
Saptowo, 2017. Amankah Kedelai Transgenik (GMO) sebagai bahan baku Tempe?
http://biogen.litbang.pertanian.go.id/2017/10/amankah-kedelai-transgenik-gmo-
sebagai-bahan-baku-tempe/ diakses 17 Agustus 2019
Sutarno, Rekayasa Genetik dan Perkembangan Bioteknologi Di Bidang Peternakan,
Seminar Nasional XIII Pendidikan Biologi FKIP UNS 2016
Taruhan, Robert, 2014. Tidak semua sains diciptakan setara: Kisah tanaman
rekayasa genetika https://geneticliteracyproject.org/2014/10/28/not-all-science-
is-created-equal-the-genetically-engineered-crops-story/ diakses 17 Agustus
2019

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai