Anda di halaman 1dari 14

Tanaman Transgenik, Solusi atau

Polusi?
 05 November 2014  Administrator

(Oleh: Utri Dianniar)

Pertumbuhan penduduk yang semakin pesat dewasa ini memberikan tantangan besar
bagi upaya-upaya penyediaan pangan dunia. Ancaman krisis pangan membayang-
bayangi dunia pada tahun 2050. Badan pangan dunia, FAO, memperkirakan akan terjadi
kelangkaan pangan dunia pada tahun 2050 disebabkan meningkatnya jumlah penduduk
dunia yang diprediksi akan menembus angka 9 miliar jiwa. Sektor pertanian sebagai
penyedia pangan dituntut untuk lebih produktif guna mengimbangi tingginya kebutuhan
pangan dunia yang meningkat hingga 70 persen dari saat ini.
Berbagai upaya dilakukan guna menjawab tantangan tersebut, diantaranya dengan
menerapkan bioteknologi melalui rekayasa genetika. Secara teori, rekayasa genetika
merupakan upaya manusia yang dengan sengaja mengubah, memodifikasi, dan/atau
menambahkan susunan suatu gen dengan material baru pada suatu organisme untuk
mendapatkan turunan sesuai dengan yang diinginkan manusia (Suryanegara, 2011).
Sebagian kalangan menganggap rekayasa genetika merupakan solusi untuk mengatasi
kelangkaan pangan dengan ditemukannya teknologi tanaman transgenik atau  dikenal
juga dengan Genetically Modified Organism(GMO). Tanaman transgenik hasil rekayasa
genetika ini dipercaya mempunyai sifat-sifat unggul diantaranya memiliki produktivitas
yang lebih tinggi, tahan terhadap hama, toleran terhadap herbisida, dan mengandung
kualitas nutrisi yang lebih baik (Karmana, 2009).

Tanaman transgenik mulai dikembangkan pada tahun 1973 oleh Hurbert Boyer dan
Stanley Cohen (BPPT, 2000 dalam Karmana, 2009). Sejak saat itu jumlah tanaman
transgenik yang dihasilkan meningkat pesat dan menyebar luas ke beberapa negara di
dunia. Dalam kurun waktu 18 tahun sejak tanaman ini mulai ditanam secara komersil
telah terjadi peningkatan luas areal tanam hingga 100 kali lipat, yakni dari hanya 1.7 juta
hektar pada tahun 1996 menjadi 175.2 juta hektar pada tahun 2013.  International
Service for the Acquisition of Agri-biotech Applications (ISAAA) memperkirakan
setidaknya 18 juta petani di 27 negara menanam tanaman hasil rekayasa genetika. Dari
27 negara tersebut 19 merupakan negara berkembang dan 8 sisanya merupakan negara
industri. Luas areal tanaman transgenik di Amerika Latin, Asia dan Afrika mencapai 94
juta hektar atau 54% dari total 175.2 juta hektar areal tanaman transgenik dunia,
sementara di negara industri tercatat 81 juta hektar atau 46%. Amerika Serikat masih
menjadi negara produsen pangan transgenik terbesar dunia dengan areal tanam
mencapai 70.1 juta hektar (40% dari total areal tanaman transgenik dunia), diikuti Brazil
dan Argentina masing-masing 40.3 juta hektar dan 24.4 juta hektar (James, 2013).
Adapun jenis tanaman yang banyak dikembangkan diantaranya kedelai, jagung, kapas
dan canola.

Seiring dengan semakin berkembangnya aplikasi tanaman hasil rekayasa genetika,


banyak kalangan yang menyambut positif dan mendukung penerapan teknologi ini
sebagai komoditi pangan yang menjanjikan, namun tak sedikit pula yang menentangnya.
Kebanyakan masyarakat merasa khawatir terutama menyangkut masalah jaminan
kesehatan dan efeknya terhadap keseimbangan lingkungan, sehingga pemanfaatan
teknologi ini masih menjadi polemik apakah dapat dijadikan solusi mengatasi kelaparan
atau justru menjadi polusi yang membawa kerusakan dan bencana.

Pro Tanaman Transgenik

Sebagian masyarakat yang pro pada penerapan tanaman transgenik berdasarkan pada
asumsi bahwa rekayasa genetika memiliki potensi yang bisa dikembangkan untuk
meningkatkan kesejahteraan manusia dalam menghadapi permasalahan-permasalahan
di masa mendatang. Pada awalnya, penemuan teknologi ini dimaksudkan sebagai jalan
keluar bagi ancaman krisis pangan dunia. Para peneliti dan praktisi mengklaim tanaman
hasil rekayasa genetika mampu meningkatkan jumlah produksi dan kualitas produk
yang dihasilkannya. Manipulasi gen pada tanaman dapat meningkatkan kualitas rasa,
nutrisi, aroma dan mutu produk supaya tahan lama dalam penyimpanan pascapanen.
Selain itu, tanaman transgenik memiliki ketahanan terhadap hama karena mampu
memproduksi toksin bakteri pengendali serangga, dengan demikian penggunaan
herbisida dan pestisida dapat dikurangi dan pencemaran lingkungan sebagai dampak
penggunaan bahan kimia pun dapat dihindari (Wolfenbarger dan Phifer, 2000). Tanaman
transgenik juga memiliki kemampuan toleran terhadap kondisi lingkungan ekstrim
seperti kekeringan, banjir, kadar garam yang tinggi dan suhu ekstrim. Dengan modifikasi
genetika, tanaman mampu menghasilkan asam lemak linoleat yang tinggi sehingga
mampu hidup dengan baik pada suhu dingin dan beku (Syahriani, 2013).

Dalam bidang kesehatan dikembangkan tanaman transgenik yang dapat menghasilkan


senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan manusia seperti vitamin dan vaksin. Saat ini
sedang dikembangkan tanaman yang mampu memproduksi vaksin yakni pada tanaman
pisang, kentang dan tomat. Sementara itu padi emas (golden rice) merupakan tanaman
transgenik yang sudah diteliti sejak tahun 1980 untuk mengurangi jumlah penderita
kekurangan vitamin A. Melalui teknologi ini juga dapat dihasilkan tanaman yang
mengandung nilai gizi lebih seperti tomat, labu dan kentang yang mengandung vitamin
A, C dan E yang tinggi; jagung dan kedelai dengan kandungan asam amino esensial lebih
banyak; kentang dengan kadar pati yang tinggi dan kemampuan menyerap lemak yang
lebih rendah; daun bawang yang bermanfaat untuk menurunkan kolesterol karena
mengandung lebih banyak alicin; serta kacang-kacangan yang mampu menghasilkan
insulin yang berguna bagi pengobatan diabetes (Rozanah,2001 dalam Karmana, 2009).  

Manfaat penerapan rekayasa genetika tanaman ini dibenarkan oleh ISAAA sebagai
organisasi yang telah berkecimpung cukup lama menangani pengembangan
bioteknologi. Pihaknya menyatakan sejak tahun 1996 hingga 2012 tanaman transgenik
telah berkontribusi bagi ketahanan pangan, pemanfaatan secara berkelanjutan
keanekaragaman hayati dan membantu mitigasi perubahan iklim dengan meningkatkan
produksi panen senilai 116.9 miliar US dolar; menyediakan lingkungan yang lebih baik
dengan menghemat 497 juta kg pestisida; mengurangi pencemaran lingkungan (untuk
tahun 2012 sendiri telah berhasil mengurangi emisi karbondioksida (CO2) sebanyak
26.7 miliar kg atau setara dengan menghilangkan 11.8 juta mobil dari jalanan selama
satu tahun); membantu konservasi kenekaragaman hayati dengan menjaga kelestarian
123 juta hektar lahan selama periode 1996-2012; dan mengurangi kemiskinan dengan
membantu meningkatkan pendapatan lebih dari 16.5 juta petani kecil dan keluarganya
(total 65 juta jiwa) yang diantaranya merupakan penduduk termiskin di dunia. (James,
2013).
 

Kontra Tanaman Transgenik

Beragam manfaat dari tanaman transgenik yang diklaim oleh pihak peneliti dan praktisi
rekayasa genetika ternyata tidak mampu meredam suara-suara yang menentang
penerapan teknologi ini sebagai alternatif baru komoditi pangan. Penolakan terhadap
budidaya tanaman transgenik ini karena dianggap dapat membahayakan kesehatan
manusia dan mengganggu keseimbangan ekosistem.

Dari segi kesehatan, tanaman transgenik disinyalir dapat menyebabkan keracunan bagi
manusia. Tanaman transgenik tahan hama yang disisipi gen Bt ternyata tidak hanya
bersifat racun terhadap serangga tetapi juga pada manusia. Penggunaan gen Bt pada
tanaman jagung dan kapas dapat menyebabkan alergi pada manusia (Syamsi, 2014),
demikian pula dengan kedelai transgenik yang diintroduksi dengan gen penghasil
protein metionin dari tanaman brazil nut. Hasil uji skin prick-test menunjukkan kedelai
transgenik tersebut positif sebagai alergen (Karmana, 2009). Tidak hanya menimbulkan
alergi, tanaman hasil rekayasa genetika juga diduga bersifat karsinogenik atau
berpotensi menyebabkan kanker, serta minim gizi karena kandungannya telah
dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menghilangkan beberapa kandungan alami
produk hasil olahannya (Syamsi, 2014). Ternak yang diberi makan kentang dan tomat
hasil rekayasa genetika mengalami perubahan dalam perutnya yang mengindikasikan
pada kanker, kerusakan ginjal dan organ tubuh lainnya, serta perkembangan otak yang
lambat. Lebih lanjut lagi, tanaman transgenik yang diintroduksi dengan antibiotik
Kanamicyn R (Kan R) bila dikonsumsi manusia disinyalir dapat mengakibatkan
resistensi bakteri dalam tubuh akibat pemaparan dengan antibiotik secara kontinu
(Karmana, 2009). Akibatnya, penggunaan antibiotik untuk menyembuhkan penyakit
menjadi tidak ampuh lagi.

Dari studi yang dilakukan oleh Gilles-Eric Seralini dari Universitas Caen pada tahun 2009
terhadap tikus percobaan yang mengkonsumsi pangan hasil rekayasa genetika dalam
jangka panjang, terkuak fakta bahwa lebih dari 50% tikus jantan dan 70% tikus betina
menderita kematian prematur; tikus yang diminumkan minuman yang mengandung
herbisida mengalami peningkatan ukuran tumor sebesar 200% hingga 300%; sementara
tikus yang diberi makan jagung transgenik menderita kerusakan pada sejumlah organ
termasuk kerusakan hati dan ginjal (Khalifamart, 2013). Sebelumnya, A. Putzai dari
Inggris pada tahun 1998 juga melakukan penelitian terhadap tikus yang diberi pakan
kentang transgenik dan menemukan munculnya gejala kekerdilan dan imunodepresi
(Haryanti, 2012).

Dampak negatif tanaman rekayasa genetika bagi lingkungan yang sangat merusak yakni
hilangnya keanekaragaman hayati. Ini dapat terjadi salah satunya melalui polusi gen.
Tanaman transgenik dikhawatirkan dapat mengancam pertumbuhan varietas asli
tanaman dengan menyebarkan serbuk sarinya sehingga terjadi persilangan atau
pertukaran gen dengan tanaman asli yang mengakibatkan tanaman berubah menjadi
tanaman transgenik seluruhnya atau dengan kata lain terjadi penularan sifat
ermutasinya pada tanaman non transgenik (Cahyadi dalam Karmana 2009). Tidak hanya
keanekaragaman hayati tanaman, keanekaragaman hayati hewan pun mengalami
ancaman serupa. Ini ditunjukkan dari hasil uji laboratorium pada tanaman transgenik
yang mempunyai gen resisten pestisida, yakni jagung Bt, serbuk sari jagung Bt yang
ditaburkan pada daun milkweed menyebabkan kematian larva spesies kupu-kupu
monarch (Danaus plexippus) (Losey et al., 1999). Hasil uji ini didukung oleh penelitian
yang dilakukan oleh Hansen dan Obrycki (1999) dengan memberi makan larva kupu-
kupu monarch dengan daun milkweed yang diambil di sekitar ladang jagung Bt. Studi ini
menunjukkan bahwa jagung Bt meracuni kupu-kupu monarch yang hidup di sekitar
ladang jagung tersebut. Kematian organisme non target ini dikhawatirkan akan
mengganggu keseimbangan ekosistem akibat musnahnya keanekaragaman hayati
kupu-kupu tersebut.

Dampak yang tak kalah pentingnya adalah dampak sosial dan  ekonomi. Apabila
tanaman transgenik dibudidayakan secara besar-besaran di seluruh dunia, maka
dikhawatirkan akan terjadinya pergeseran penguasaan benih dari yang semula milik
umum ataucommon property, dalam hal ini petani menjadi pemilik benih yang bisa
disimpan dan ditanam berulang kali, menjadi milik beberapa perusahaan besar
multinasional (sejauh ini ada enam perusahaan multinasional yang memonopoli benih
transgenik komersial) (Santosa, 2000). Persaingan dalam perdagangan dan pemasaran
produk pertanian transgenik akan menimbulkan ketidakadilan bagi negara agraris
berkembang karena adanya kesenjangan teknologi yang sangat jauh dengan negara
maju. Kesenjangan tersebut timbul karena bioteknologi modern sangatlah mahal
sehingga sulit bagi negara berkembang untuk mengembangkannya. Hak paten yang
dimilik produsen produk transgenik juga semakin menambah dominasi negara maju.
Petani yang menanam benih transgenik tanpa ijin dapat dituntut ke pengadilan karena
dianggap melanggar property right.

Kesimpulan

Di satu sisi perkembangan budidaya tanaman hasil rekayasa genetika sebagai komoditi
pangan cukup pesat dan menjanjikan, namun di sisi lain terdapat berbagai kekhawatiran
terhadap pemanfaatan tanaman ini, terutama menyangkut masalah kesehatan dan
aspek lingkungan. Pertentangan tersebut wajar adanya mengingat setiap orang memiliki
sudut pandangnya masing-masing. Penerapan teknologi sangat diperlukan dalam upaya
mencari alternatif pemenuhan kebutuhan pangan, akan tetapi ilmiah saja tidaklah cukup,
diperlukan etika mengenai norma dan nilai-nilai moral yang melindungi hak-hak asasi
manusia serta makhluk hidup lainnya. Pengembangan teknologi dan pemanfaatan
sumber daya hayati diperuntukkan seluas-luasnya bagi kepentingan manusia dan
makhluk hidup lainnya, wajib menghindari konflik moral dan tidak boleh menimbulkan
dampak negatif terhadap harkat manusia dan perlindungan lingkungan hidup.

Pustaka

Hansen, L. And Obrycki (1999) ‘Non-target Effects of Bt Corn Pollen on the Monarch
Butterfly (Lepidoptera: Danaidae), Iowa State University.

Haryanti, Leni, ‘Dampak Bioteknologi’, http://leni-


haryanti.blogspot.com/2012/05/makalah-dampak-bioteknologi.html, diakses 16
Oktober 2014.

James, Clive (2013) ‘Global Status of Commercialized Biotech/GM Crops: 2013’, ISAAA
Brief No. 46. ISAAA: Ithaca, NY

Karmana, I Wayan (2009) ‘Adopsi Tanaman Transgenik dan Beberapa Aspek


Perkembangannya’, GaneC Swara 3(2): 12-21.

Losey, J.E., Rayor, L.S. & Carter, M.E. (1999). Transgenic pollen harms monarch
larvae. Nature, 399, 214.

Santosa, Dwi Andreas (2000) ‘Analisis Resiko Lingkungan Tanaman Transgenik’, Jurnal


Ilmu Tanah dan Lingkungan 3(2):32-36.

Suryanegara, I Wayan (2011) ‘Optimisme dan Pesimisme Rekayasa


Genetika’,http://wayansuryanegara.blogspot.com/2011/12/optimisme-dan-pesimimsi-
rekayasa.html, diakses 8 Oktober 2014.

Syahriani, ‘Rekayasa Genetika’ http://syahrianibio.blogspot.com/2013/10/makalah-


rekayasa-genetika.html, diakses 8 Oktober 2014.

Syamsi, Ana Ainul, ‘Sudah Mengenal GMO? (Bagian


2)’, http://blog.khalifamart.com/sudah-mengenal-gmo-bagian-2/, diakses 6 Oktober
2014.

Wolfenbarger, L.L. & Phifer, P.R. (2000) ‘The ecological risks and benefits of genetically
engineered plants’. Science, 290, 20882093.
1. Rekayasa transgenik dapat menghasilkan produk lebih banyak dari sumber yang
lebih sedikit.
2. Rekayasa tanaman dapat hidup dalam kondisi lingkungan ekstrem akan memperluas
daerah pertanian dan mengurangi bahaya kelaparan.
3. Makanan dapat direkayasa supaya lebih lezat dan menyehatkan.
4. Tanaman transgenik memiliki kualitas lebih dibanding tanaman konvensional,
kandungan nutrisi lebih tinggi, tahan hama, tahan cuaca, umur pendek, dll; sehingga
penanaman komoditas tersebut dapat memenuhi kebutuhan pangan secara cepat dan
menghemat devisa akibat penghematan pemakaian pestisida atau bahan kimia lain serta
tanaman transgenik produksi lebih baik.
Dampak negatif rekayasa genetika transgenik antara lain:

1. Potensi toksisitas bahan pangan


Transfer genetik terjadi di dalam tubuh organisme transgenik akan muncul bahan kimia baru
yang berpotensi menimbulkan pengaruh toksisitas pada bahan pangan. Sebagai contoh,
transfer gen tertentu dari ikan ke dalam tomat, yang tidak pernah berlangsung secara alami,
berpotensi menimbulkan risiko toksisitas yang membahayakan kesehatan. Rekayasa
genetika bahan pangan dikhawatirkan dapat mengintroduksi alergen atau toksin baru yang
semula tidak pernah dijumpai pada bahan pangan konvensional.

Di antara kedelai transgenik, misalnya, pernah dilaporkan adanya kasus reaksi alergi yang
serius. Begitu pula, pernah ditemukan kontaminan toksik dari bakteri transgenik yang
digunakan untuk menghasilkan pelengkap makanan (food supplement) triptofan.
Kemungkinan timbulnya risiko yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan terkait dengan
akumulasi hasil metabolisme tanaman, hewan, atau mikroorganisme yang dapat
memberikan kontribusi toksin, alergen, dan bahaya genetik lainnya di dalam pangan
manusia.

2. Potensi menimbulkan penyakit/gangguan kesehatan


WHO pada tahun 1996 menyatakan bahwa munculnya berbagai jenis bahan kimia baru,
baik yang terdapat di dalam organisme transgenik maupun produknya, berpotensi
menimbulkan penyakit baru atau pun menjadi faktor pemicu bagi penyakit lain. Sebagai
contoh, gen aad yang terdapat di dalam kapas transgenik dapat berpindah ke bakteri
penyebab kencing nanah (GO), Neisseria gonorrhoeae. Akibatnya, bakteri ini menjadi kebal
terhadap antibiotik streptomisin dan spektinomisin. 

Padahal, selama ini hanya dua macam antibiotik itulah yang dapat mematikan bakteri
tersebut. Oleh karena itu, penyakit GO dikhawatirkan tidak dapat diobati lagi dengan adanya
kapas transgenik. Dianjurkan pada wanita penderita GO untuk tidak memakai pembalut dari
bahan kapas transgenik. Contoh lainnya adalah karet transgenik yang diketahui
menghasilkan lateks dengan kadar protein tinggi sehingga apabila digunakan dalam
pembuatan sarung tangan dan kondom, dapat diperoleh kualitas yang sangat baik. 

Namun, di Amerika Serikat pada tahun 1999 dilaporkan ada sekitar 20 juta penderita alergi
akibat pemakaian sarung tangan dan kondom dari bahan karet transgenik. Selain pada
manusia, organisme transgenik juga diketahui dapat menimbulkan penyakit pada hewan. A.
Putzai di Inggris pada tahun 1998 melaporkan bahwa tikus percobaan yang diberi pakan
kentang transgenik memperlihatkan gejala kekerdilan dan imunodepresi.
 
3. Potensi erosi plasma nutfah
Penggunaan tembakau transgenik telah memupus kebanggaan Indonesia akan tembakau
Deli yang telah ditanam sejak tahun 1864. Tidak hanya plasma nutfah tanaman, plasma
nutfah hewan pun mengalami ancaman erosi serupa. Sebagai contoh, dikembangkannya
tanaman transgenik yang mempunyai gen dengan efek pestisida, misalnya jagung Bt,
ternyata dapat menyebabkan kematian larva spesies kupu-kupu raja (Danaus plexippus)
sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan gangguan keseimbangan ekosistem akibat
musnahnya plasma nutfah kupu-kupu tersebut.
 
Hal ini terjadi karena gen resisten pestisida yang terdapat di dalam jagung Bt dapat
dipindahkan kepada gulma milkweed (Asclepia curassavica) yang berada pada jarak hingga
60 m darinya. Daun gulma ini merupakan pakan bagi larva kupu-kupu raja sehingga larva
kupu-kupu raja yang memakan daun gulma milkweed yang telah kemasukan gen resisten
pestisida tersebut akan mengalami kematian. Dengan demikian, telah terjadi kematian
organisme nontarget, yang cepat atau lambat dapat memberikan ancaman bagi eksistensi
plasma nutfahnya.
 
4. Potensi pergeseran gen
Daun tanaman tomat transgenik yang resisten terhadap serangga Lepidoptera setelah 10
tahun ternyata mempunyai akar yang dapat mematikan mikroorganisme dan organisme
tanah, misalnya cacing tanah. Tanaman tomat transgenik ini dikatakan telah mengalami
pergeseran gen karena semula hanya mematikan Lepidoptera tetapi kemudian dapat juga
mematikan organisme lainnya. Pergeseran gen pada tanaman tomat transgenik semacam
ini dapat mengakibatkan perubahan struktur dan tekstur
tanah di areal pertanamannya.
 
5. Potensi pergeserean ekologi
Organisme transgenik dapat pula mengalami pergeseran ekologi. Organisme yang pada
mulanya tidak tahan terhadap suhu tinggi, asam atau garam, serta tidak dapat memecah
selulosa atau lignin, setelah direkayasa berubah menjadi tahan terhadap faktor-faktor
lingkungan tersebut. Pergeseran ekologi organisme transgenik dapat menimbulkan
gangguan lingkungan yang dikenal sebagai gangguan adaptasi.

Read more: http://www.zonabiokita.web.id/2015/12/dampak-positif-dan-negatif-
rekayasa.html#ixzz4B0LS4X00

Kontroversi[sunting | sunting sumber]

Kampanye penolakan jagung Bt di Kenya, Afrika.

Perkembangan tanaman transgenik dapat diterima dengan baik oleh Amerika


Serikat, Argentina, Cina, dan Kanada.[36]Namun, banyak negara Eropa yang menolak tanaman
transgenik karena kekhawatiran terhadap potensi gangguan kesehatan konsumen dan
kerusakan lingkungan.[36]

Pengaruh pada kesehatan manusia[sunting | sunting sumber]


Sikap kontra terhadap produk tanaman transgenik umumnya berasal dari organisasi non-
pemerintah/LSM, sepertiGreenpeace dan Friends of the Earth Internasional.[37] Dari segi
kesehatan, tanaman ini dianggap dapat menjadi alergen(senyawa yang menimbulkan alergi)
baru bagi manusia.[5] Untuk menanggapi hal tersebut, para peneliti menyatakan bahwa sebelum
suatu tanaman transgenik diproduksi secara massal, akan melakukan berbagai pengujian
potensi alergi dantoksisitas untuk menjamin agar produk tanaman tersebut aman untuk
dikonsumsi.[4] Apabila berpotensi menyebabkan alergi, maka tanaman transgenik tersebut tidak
akan dikembangkan lebih lanjut. [38] Kekhawatiran lain yang timbul di masyarakat adalah
kemungkinan gen asing pada tanaman transgenik dapat berpindah ke tubuh manusia apabila
dikonsumsi.[38]Pendapat tersebut dinilai berlebihan oleh para ilmuwan karena makanan yang
berasal dari tanaman transgenik akan terurai menjadi unsur-unsur yang dapat diserap tubuh
sehingga tidak akan ada gen aktif.[38] Untuk memberikan kebebasan kepada masyarakat dalam
memilih produk transgenik atau produk alami, berbagai negara, khususnya negara-negara
Eropa, telah melakukan pemberian label terhadap produk transgenik. [39][40] Pelabelan tersebut
juga bertujuan untuk memberikan informasi kepada konsumen sebelum mengonsumsi hasil
tanaman transgenik.[39] Dan dapat menimbulkan tumor, hasil ini telah di tes oleh seorang
ilmuwan terhadap tikus yang diberi makan jagung transgenik selama beberapa waktu mengalami
tumor di ginjal dan hatinya.[41] Namun penelitian yang dilakukan Gilles-Éric Séralini ini memiliki
kontroversi.[42]

Pengaruh pada lingkungan (ekologis)[sunting | sunting sumber]

Peta penerimaan produk transgenik di dunia.

Penolakan terhadap budidaya tanaman transgenik muncul karena dianggap berpotensi


mengganggu keseimbangan ekosistem. Salah satunya adalah
terbentuknya hama atau gulma super (yang lebih kuat atau resisten) di lingkungan.
[5]
 Kekhawatiran ini terlihat jelas pada perdebatan mengenai jagung Bt yang memiliki racun Bt
untuk membunuh hama lepidoptera berupa ngengat dan kupu-kupu tertentu.[43] Ada
kemungkinan hama yang ingin dibunuh dapat beradaptasi dengan tanaman tersebut dan
menjadi hama yang lebih tahan atau resisten terhadap racun Bt. [5] Selain itu, kupu-kupu
Monarch, yang bukan merupakan hama jagung, ikut terkena dampak berupa peningkatan
kematian akibat memakan daun tumbuhan perdu (Asclepias) yang terkena serbuk sari dari
jagung Bt.[4] Penelitian mengenai kupu-kupu Monarch tersebut dapat disanggah oleh studi
lainnya yang menyatakan bahwa kupu-kupu tersebut mati karena habitatnya dirusak dan hal ini
tidak berhubungan sama sekali dengan jagung Bt.[3] Di sisi lain, penggunaan tanaman transgenik
seperti jagung Bt telah menurunkan penggunaan pestisida secara signifikan sehingga
mengurangi pencemaran kimia ke lingkungan. [4] Selain itu, petani juga merasakan dampak
ekonomis dengan penghematan biaya pembelian pestisida. [4]

Kontroversi lain yang berkaitan dengan isu ekologi adalah timbulnya perpindahan gen secara


tidak terkendali dari tanaman transgenik ke tanaman lain di alam melaluipenyerbukan (polinasi).
[38]
 Serbuk sari dari tanaman transgenik dapat terbawa angin dan hewan hingga menyerbuki
tanaman lain.[38] Akibatnya, dapat terbentuk tumbuhan baru dengan sifat yang tidak diharapkan
dan berpotensi merugikan lingkungan.[38] Sebagai tindakan pencegahan, beberapa tanaman
yang disisipi gen untuk mempercepat pertumbuhan dan reproduksi tanaman,
seperti: alfalfa (Medicago sativa), kanola, bunga matahari, dan padi, disarankan untuk
dibudidayakan pada daerah tertutup (terisolasi) atau dibatasi dengan daerah penghalang. [4][5] Hal
itu dilakukan untuk menekan perpindahan serbuk sari ke tanaman lain, terlebih gulma.[4] Apabila
gulma memiliki gen tersebut maka pertumbuhannya akan semakin tidak terkendali dan dengan
cepat dapat merusak berbagai daerah pertanian di sekitarnya.[4] Hingga sekarang belum terdapat
petunjuk bahwa transfer horizontal ini telah menyebabkan munculnya "gulma super", meskipun
telah diketahui terjadi transfer horizontal.

Pengaruh etika dan agama[sunting | sunting sumber]

Demo menentang jagung transgenik di Perancis pada tahun 2004.

Dari segi etika, pihak yang kontra dengan tanaman transgenik menganggap bahwa rekayasa
atau manipulasi genetik tanaman merupakan tindakan yang tidak menghormati penciptaan
Tuhan.[44] Perubahan sifat tanaman dengan penambahan gen asing juga dianggap sebagai
tindakan "bermain sebagai Tuhan" karena mengubah makhluk yang telah diciptakan-Nya.
[45]
 Pemikiran teologis Katolik memandang bahwa manipulasi atau rekayasa genetik merupakan
suatu kemungkinan yang disediakan oleh Tuhan karena tanaman diberikan kepada manusia
untuk dipelihara dan dimanfaatkan.[44] Dalam sudut pandang agama tersebut, modifikasi genetika
tanaman tidak berlawanan dengan ajaranGereja Katolik, namun kelestarian alam juga harus
diperhatikan karena merupakan tanggung jawab manusia. [46] Dalam menanggapi isu tentang
tanaman transgenik, Dewan Yuriprudensi Islam dan Badan Sertifikasi Makanan Islam di Amerika
(IFANCA) menyatakan bahwa makanan dari tanaman transgenik yang ada telah dikembangkan
bersifat halal dan dapat dikonsumsi oleh umat Islam.[47] Untuk tanaman yang disisipi gen dari
binatang haram, produk tanaman transgenik tersebut akan disebut Masbuh, yang berarti masih
diragukan (belum diketahui) status halal atau haramnya. [47] Sertifikasi makanan yang telah
dikeluarkan oleh IFANCA juga diakui dan diterima oleh Majelis Ulama Indonesia(MUI), Majelis
Ulama Islam Singapura (MUIS), Liga Muslim Dunia, Arab Saudi, dan pemerintah Malaysia.[47]

Pihak yang mendukung tanaman transgenik menganggap bahwa transfer gen dari suatu
makhluk hidup ke makhluk lainnya merupakan hal yang alamiah dan biasa terjadi di alam sejak
pertama kali berlangsungnya kehidupan.[3] Mereka juga berargumen bahwa persilangan berbagai
jenis padi yang dilakukan untuk mendapatkan padi dengan sifat unggul telah dilakukan para
petani sejak dahulu.[3] Perkawinan berbagai varietas padi tanpa disadari telah mencampur gen-
gen yang ada di tanaman tersebut. [3] Para ilmuwan hanya mempercepat proses transfer gen
tersebut secara sengaja dan sistematis.[3]
Pengaruh terhadap ekonomi global[sunting | sunting sumber]
Riset dan pengembangan tanaman transgenik membutuhkan biaya yang besar dan umumnya
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta maupun pemerintah di negara maju.[5] Untuk
mengembalikan biaya investasi perusahaan dan melindungi produk hasil investasinya, tanaman
transgenik yang telah diproduksi akan dipatenkan. [48] Di dalam salah satu laporan kerja Komisi
Eropa, disebutkan bahwa pemberlakuan paten pada produk transgenik dapat mengakibatkan
petani kehilangan kemampuan memproduksi benih secara mandiri dan harus membeli
pada produsen dari negara maju.[49] Ketergantungan para petani terhadap produsen juga
semakin meningkat dengan ditemukannyateknologi "gen bunuh diri".[5] Sebagian tanaman
transgenik disisipi "gen bunuh diri" yang menyebabkan tanaman hanya bisa ditanam satu kali
dan biji keturunan selanjutnya bersifat mandul (tidak dapat berkembang biak). [48] Hal ini akan
menyebabkan terjadinya arus modal dari negara berkembang ke negara maju untuk pembelian
bibit transgenik setiap kali akan melakukan penanaman. [5] Para petani di negara-negara dunia
ketiga khawatir bila harga benih akan menjadi mahal karena pemberlakuan paten dan
mekanisme "gen bunuh diri" yang dilakukan oleh produsen benih. [48] Jika petani tersebut tidak
mampu membeli benih transgenik maka kesenjangan ekonomi antara negara penghasil
tanaman transgenik dan negara berkembang sebagai konsumen akan semakin melebar.[5] Salah
satu usaha mencegah terjadinya kesenjangan tersebut pernah dilakukan olehYayasan
Rockefeller.[48] Yayasan yang berpusat di Amerika Serikat tersebut telah menjual benih
transgenik dengan harga yang lebih murah kepada negara-negara miskin. [48]

Di beberapa negara bagian Brasil, pelarangan tanaman transgenik telah mengakibatkan


terjadinya penyelundupan benih transgenik oleh para petani di negara tersebut. [48][50]Mereka takut
akan menderita kerugian ekonomi apabila tidak mampu bersaing di pasar global dengan negara
pengekspor serealia lainnya.[48]

Tanaman transgenik di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Pertanian di Indonesia belum menghasilkan tanaman transgenik sendiri.

Pada tahun 1999, Indonesia pernah melakukan uji coba penanaman kapas transgenik
di Sulawesi Selatan.[51] Uji coba itu dilakukan oleh PT Monagro Kimia dengan memanfaatkan
benih kapas transgenik Bt dari Monsanto.[51] Hal itu mendatangkan banyak protes dari
berbagai LSM sehingga pada bulan September 2000, areal kebun kapas transgenik seluas
10.000 ha gagal dibuka.[51] Pada tahun yang sama, kampanye penerimaan kapas transgenik
diluncurkan dengan melibatkan petani kapas dan ahli dalam dan luar negeri.[51] Kasus tersebut
berlangsung dengan pelik hingga pada Desember 2003, pemerintah Indonesia menghentikan
komersialisasi kapas transgenik.[51] Suatu studi kelayakan finansial terhadap kapas transgenik
sempat dilakukan pada tahun 2001 di tiga kabupaten di Sulawesi Selatan,
yaitu Bulukumba, Bantaeng, dan Gowa.[52] Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa budidaya
kapas transgenik lebih menguntungkan secara finansial dibandingkan kapas nontransgenik.[52]

Pada tahun 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Badan Litbang) telah


menargetkan Indonesia untuk memiliki padidan jagung transgenik pada tahun 2010 sehingga
tidak perlu lagi melakukan impor beras dan jagung.[53] Menurut Dr. Ir. Sutrisno, Kepala Balai
Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-Biogen), Indonesia telah
melakukan penelitian di bidang rekayasa genetika tanaman yang seimbang bila dibandingkan
dengan negara-negara ASEAN lainnya.[53] Namun, dalam hal komersialisasi produk transgenik
tersebut, Indonesia dinilai agak tertinggal. [53] Melalui BB-Biogen, berbagai riset tanaman
transgenik yang meliputi padi, kedelai, pepaya,kentang, ubi jalar, dan tomat, masih terus
dilakukan oleh Indonesia.[53][54] Pada tahun 2010, sebanyak 50% dari kedelai impor yang
digunakan di Indonesia merupakan produk transgenik yang di antaranya didatangkan
dari Amerika Serikat.[55][56] Hal ini menyebabkan sebagian besar produk olahan kedelai,
seperi tahu, tempe, dan susu kedelai telah terbuat dari tanaman transgenik.[56]

Untuk mengatur keamanan pangan dan hayati produk rekayasa genetika seperti tanaman
transgenik, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan,
dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura telah mengeluarkan keputusan bersama pada
tahun 1999.[16] Keputusan tentang "Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian
Hasil Rekayasa Genetika Tanaman" No.998.I/Kpts/OT.210/9/99; 790.a/Kptrs-IX/1999;
1145A/MENKES/SKB/IX/199; 015A/Nmeneg PHOR/09/1999 tersebut mengatur dan mengawasi
keamanan hayati dan pangan. Di dalamnya juga diatur pemanfaatan produk tanaman transgenik
agar tidak merugikan, mengganggu, dan membahayakan kesehatan manusia, keanekaragaman
hayati, dan lingkungan.[16]

Deteksi tanaman transgenik[sunting | sunting sumber]


Untuk
mendeteksi
dan
membedakan
tanaman
transgenik
dengan Strip untuk mendeteksi jagung transgenik.
Mesin untuk reaksi berantai polimerase (PCR).
tanaman
alamiah lainnya, telah dikembangkan beberapa teknik dan perangkat uji. [57] Salah satu uji
kualitatif yang cepat dan sederhana adalah strip aliran-lateral(semacam tongkat ukur).
[58]
 Benih tanaman yang akan diuji dihancurkan terlebih dahulu kemudian strip tersebut
dicelupkan ke dalamnya.[57] Apabila dalam waktu 5-10 menit muncul dua garis pada strip maka
sampel tersebut positif merupakan tanaman transgenik, sedangkan bila hanya satu pita yang
didapat maka hasil yang diperoleh adalah negatif. [57][58] Teknik ini berdasarkan pada deteksi
keberadaan protein atau antibodi spesifik dari tanaman transgenik.[57]

Uji lain yang dapat digunakan untuk mendeteksi tanaman transgenik adalah reaksi berantai
polimerase (PCR) danELISA (enzyme-linked immunosorbent assay).[57] Uji PCR merupakan
salah satu metode diagnostik molekular yang mendeteksi DNA atau gen pada tanaman
transgenik secara langsung. [57] Sementara itu, ELISA dan strip aliran-lateral merupakan metode
imunodiagnostik (metode diagnostik menggunakan prinsip reaksi antigen-antibodi) yang
mendeteksi protein hasil ekspresi gen pada tanaman transgenik. [57]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Anda mungkin juga menyukai