Anda di halaman 1dari 5

Nama : Dela Octavia N

NIM : 19205244022

Kelas : PBD – B

TUGAS ETIKA JAWI

 Anda kaji berbagai persoalan dasar dalam etika. Anda identifikasi berbagai persoalan
tersebut! Bagaimana pendapat anda terhadap berbagai persoalan tersebut? Bagaimana
masyarakat Jawa sekarang mengatasi berbagai persoalan tersebut?

Persoalan Dasar Dalam Etika

A. Menurut Haricahyono (1995 : 89 - 96) ada dua permasalahan utama dalam filsafat
moral.
Pertama berhubungan dengan peranan penalaran dalam etika. Kajian filosofis
mengenal penalaran moral mencakup tiga macam keputusan moral, yaitu :
1. Pengujian konsep penalaran untuk membuktikan bahwa istilah penalaran
itu sendiri tidak menunjuk kepada fenomena metafisika yang kabur, akan
tetapi lebih cenderung menunjuk kepada prosedur memperoleh jawaban
sekitar penjelasan-penjelasan mengenai fenomena, bukti pendukung,
sekaligus justifikasinya.
2. Sampai saat ini masih ada keberatan untuk mengakui pengambilan
keputusan moral beserta bukti bukti pendukungnya yang pada dasarnya
sama dengan penalaran keilmuan.
3. Diskusi filosofis mengenai penalaran moral menyangkut analisis terhadap
hakikat penalaran itu sendiri, yang seringkati dinggap suatu fenomena
yang unik.

Permasalahan kedua adalah permasalahan teori nilai-nilai moral. Inti


permasalahan ini adalah beberapa pandangan tentang moral biasanya dilekatkan
secara apriori dengan beberapa konsep nilai, seperti baik, buruk, benar, dan salah.

Penalaran dalam etika diperlukan sebab etika adalah pemikiran kritis


dan moral sebagai tindakannya yang tidak bisa semena-mena berjalan
sendiri. Penalaran etika mempertimbangkan baik buruk dan benar
salah dengan menganalisa sebab akibat dalam melakukan suatu hal.

Masyarakat Jawa biasa mengatasi dengan persoalan etika dengan


berfikir secara matang dan tidak tergesa-gesa dan berhati-hati dalam
mengambil suatu keputusan.

B. Hadiwardaya (1990:98-102) menyebutkan ada lima permasalahan moral, yaitu dasar-


dasar moral, moral hidup, moral seksual, moral perkawinan dan moral sosial.

Norma dasar moral subjektif dan objektif seharusnya selaras karena norma
diperlukan sebagai pedoman baik buruk dan benar salah dalam melakukan suatu
tindakan serta hati nurani sebagai rasa kemanusiaan. Moral hidup merupakan tindakan
yang kita lakukan pada era modern saat ini, seperti teknologi. Moral perkawinan
memiliki banyak dimensi dan ditentukan oleh norma hukum, adat, dan agama.
Moralitas perkawinan memang harus ditentukan oleh norma yang ada karena
perkawinan adalah sesuatu yang sakral. Dan yang terakhir moral sosial, menyangkut
struktur ideologis, politis, ekonomis, kemasyarakatan, kultural dan religius. Dalam
bersosial kita harus memperhatikan norma-norma tersebut agar dapat berinteraksi
dengan baik dengan masyarakat tanpa menyinggung perasaan.

Dalam mengatasi permasalahan tersebut orang Jawa cenderung


bersikap bijaksana dan adil. Masyarakat Jawa juga menyikapinya
dengan berfikir sebelum bertindak dan mengeluarkan kata. Berbuat
sopan dan tidak menggunjing ataupun melakukan hal yang bersifat
menjatuhkan suatu nama serta toleransi antar sesama.

Di era modern saat ini sah – sah saja mempelajari suatu teknologi
untuk mengetahui pengetahuan tentang dunia luar asalkan bijak dan
tidak meninggalkan budaya asli (Jawa).

C. James Rachels (2004) menyebutkan permasalahan yang timbul dalam relativisme


kultural (kebudayaan yang berbeda mempunyai kode moral yang berbeda).
Relativisme kultural menghadapi permasalahan objektivitas, dipihak lain ada
persoalan subjektivitas, yakni subjektivisme etis atau pendapat moral berdasarkan
perasaan bukan fakta objektif. Permasalahan lain adalah persoalan hubungan antara
moralitas dan agama. Rachel menyatakan bahwa benar salah tidak dirumuskan dalam
kerangka pemikiran yang menyangkut soal akal dan kesadaran, bukan iman
keagamaan dan dalam kasus tertentu, kesadaran keagamaan tidaklah menjamin
pemecahan definitif terhadap masalah-masalah moral yang dihadapi (Rachels, 2004 :
121).

Permasalahan yang timbul dalam relativisme kultural menghadapi


permasalahan objektivitas. Prinsip bahwa kepercayaan dan aktivitas
setiap orang harus dipahami menurut budaya orang itu sendiri. Dalam
permasalahan ini masyarakat Jawa tidak pernah menilai budaya sendiri
merupakan budaya yang paling baik, justru masyarakat Jawa menerima
budaya kelompok lain dengan terbuka namun tidak pernah
meninggalkan jati diri budaya aslinya. Masyarakat Jawa saat ini telah
memiliki kepercayaan yang beragam dan pandangan yang berbeda-
beda mengenai nilai moral namun intinya sama. Masyarakat Jawa tidak
berfikir semata-mata secara norma namun juga mempertimbangkan
hati nuraninya.

D. Driyarkara (2006:479) mengemukakan permasalahan pertama adalah rasa tanggung


jawab, tidak ada rasa tanggung jawab, permasalahan yang kedua yang dinyatakan
oleh Driyarkara adalah pendidikan moral kaitannya dengan pendidikan budi pekerti

Semakin tinggi jabatan seseorang, semakin besar pula tanggung jawab


yang diemban. Setiap orang memiliki tanggungjawab masing-masing
di kehidupannya. Baik tanggungjawab untuk diri sendiri maupun orang
lain. Selain itu seseorang juga dituntut mempunyai budi pekerti. Orang
yang disebut mempunyai budi pekerti berarti mempunyai kebiasaan
mengalahkan dorongan-dorongan yang tidak baik. Dengan berperilaku
baik diharapkan dapat tercipta sebuah keharmonisan.
Tanggung jawab dan budi pekerti adalah pelaran moral yang diberikan
oleh keluarga. Keluarga merupakan sarana belajar pertama seseorang
sebelum keluar ke dunia masyarakat. Orang tua adalah guru pertama
yang mengajarkan budi pekerti dan tanggung jawab sebelum guru di
sekolah. Seseorang juga membutuhkan lingkungan sekitar untuk
mengimplementasikan, mempraktekan, dan sekaligus belajar tanggung
jawab dan budi pekerti.

Pada dasarnya masyarakat Jawa memegang teguh 3 prinsip dasar, antara lain :
1. Prinsip Kerukunan
Rukun adalah keadaan ideal yang diharapkan dapat dipertahankan dalam
semua hubungan sosial, dalam keluarga, dalam rukun tetangga, di desa, dalam setiap
pengelompokan tetap. Rukun berarti menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam
masyarakat atau antara pribadi-pribadi sehingga hubungan-hubungan sosial tetap
kelihatan selaras dan baik. Yang perlu dicegah adalah konflik-konflik yang terbuka.
Supaya manusia dapat hidup sesuai dengan tuntutan kerukunan dengan mudah,
memang diperlukan sikap batin tertentu agar ketentraman dalam masyarakat jangan
sampai diganggu, jangan sampai nampak adanya perselisihan dan pertentangan.

2. Prinsip Hormat
Prinsip itu mengatakan bahwa setiap orang dalam cara bicara dalam membawa diri
selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan
kedudukannya. Prinsip hormat berdasarkan pendapat, bahwa semua hubungan dalam
masyarakat teratur secara hirarkis, bahwa keteraturan hierarkis itu bernilai pada
dirinya sendiri dan oleh karena itu orang wajib untuk mempertahankannya dan untuk
membawa diri sesuai dengannya. Mereka yang memiliki kedudukan lebih tinggi harus
diberi hormat, sedangkan sikap yang tepat terhadap mereka yang berkedudukan lebih
rendah adalah sikap kebapaan atau keibuan dan rasa tanggung jawab. Apabila semua
orang menerima kedudukan itu maka tatanan sosial terjamin.

3. Etika Keselarasan Sosial


Dalam pandangan Jawa prinsip keselarasan memang harus didahulukan terhadap
hukum positif. Tetapi sekarang orang Jawa harus hidup dalam suatu masyarakat
dimana hukum positif memiliki keunggulan mutlak, keselarasna hanya boleh dipakai
dalam kerangka kebebasan yang masih dibiarkan terbuka oleh hukum positif. Pada
umumnya orang memang tidak berhak untuk meremehkan norma moral berdasarkan
salah satu norma moral tertentu. Orang yang menimbulkan konflik atau yang bersikap
tidak hormat secara moral pun akan dicela, artinya akan dinilai sebagai manusia yang
kurang baik.

Anda mungkin juga menyukai