Anda di halaman 1dari 17

ETIKA KELUARGA HINDU DALAM KITAB

MANAWA DHARMASASTRA

Oleh : I Gede Januariawan

Abstrak

Sebuah kenyataan bahwa negara kita Indonesia tengah mengalami krisis moral
yang parah. Pelaksanaan pendidikan moral banyak menghadapi tantangan.
Salahsatunya adalah dari media massa. Perkembangan media massa pada era
globalisasi dewasa ini sangat pesat. Anak-anak dan remaja dengan mudah
mendapatkan informasi tentang apapun termasuk yang tidak bermoral. Pendidikan
moral haruslah dimulai sejak dini dalam keluarga untuk menanamkan nilai-nilai
moralitas pada anak.
Kitab-kitab sastra agama banyak mengandung nilai-nilai moralitas yang dapat
diajarkan sejak dini kepada anak-anak. Di antara kitab-kitab tersebut adalah Kitab
Manawa Dharmasastra yang memuat aturan-aturan hidup manusia sebagai pribadi,
dalam keluarga, sebagai anggota kelompok sosial, sebagai penguasa dan sebagainya.
Kitab ini memuat hak dan kewajiban sebagai manusia.
Khusus dalam hubungan diantara anggota keluarga, kitab ini juga memuat
etika bagi seseorang sebagai anggota keluarga, baik sebagai anak, orangtua, maupun
sebagai suami dan isteri.

Kata Kunci : Etika, Keluarga Hindu, Manawadharmasastra


ABSTRACT

A fact that our country Indonesia is experiencing a severe moral crisis. The
implementation of moral education faces many challenges. One is from the mass
media. The development of the mass media in the era of rapid globalization. Children
and teenagers easily get information about anything, including the unscrupulous.
Moral education must begin early in the family for instilling moral values in children.
The books of religious literature contains many moral values that can be
taught early to children. Among these books is the Book of Manawa Dharmasastra
containing rules for living human person, the family, as a member of a social group, a
ruler, and so on. This book contains rights and obligations as human beings.
Specialized in relationships among family members, this book also includes ethical
for someone as a family member, either as a child, a parent, as well as husband and
wife.

Keywords: Ethics, Family Hindu, Manawadharmasastra

I. PENDAHULUAN

Laporan media tentang meningkatnya kejahatan mewarnai pemberitaan


dewasa ini. Berbagai bentuk kejahatan dilakukan oleh anak-anak, remaja, dan
orangtua tanpa terkecuali. Tidak berlebihanlah apabila dikatakan bahwa negara kita
tengah mengalami krisis moral yang parah. Ada hubungan yang sangat erat antara

1
etika, moral, dan kejahatan. Orang yang tidak beretika akan cenderung tidak
bermoral. Orang yang tidak bermoral akan cenderung melakukan kejahatan. Jadi
dapat dikatakan bahwa penanaman nilai-nilai etika sejak dini sangat penting
dilakukan sehingga terbentuk karakter yang baik.
Pelaksanaan pendidikan moral banyak menghadapi tantangan. Salahsatunya
adalah dari media massa. Perkembangan media massa pada era globalisasi dewasa ini
sangat pesat. Anak-anak dan remaja dengan mudah mendapatkan informasi tentang
apapun termasuk yang tidak bermoral. Piliang (2004 : 145) menyebutkan salahsatu
konsekuensi wacana kecepatan dan keharusan informasi adalah kecenderungan
dekonstruksi terhadap kode-kode sosial, moral, atau kultural. Hiperrealitas media
adalah sebuah ajang pembongkaran berbagai batas (sosial. Moral, kultural, seksual)
sedemikian rupa, sehingga terjadi kekaburan batas atau ketidakpastian kategori.
Terbentuklah dunia ketelanjangan (transparency) ketelanjangan informasi dan
komunikasi, yaitu sebuah wacana komunikasi, yang di dalamnya tidak ada lagi
rahasia, tidak ada lagi yang disembunyikan, semuanya disingkap dan diekspos. Di
dalamnya tidak ada lagi batas-batas mengenai baik dan buruk, benar dan salah, boleh
atau tak boleh, berguna atau tak berguna untuk dikomunikasikan di dalam media.
Media yang telah tercabut dari struktur moral menciptakan kondisi hipermoralitas,
yaitu lenyapnya batas-batas moral itu sendiri di dalam wacana ketelanjangan media.
Sangat jelaslah bahwa tugas lembaga pendidikan baik formal, informal,
maupun non formal serta seluruh komponen bangsa untuk untuk menanamkan
moralitas pada semua generasi sangatlah berat.
Pengertian moral dan etika dapat disamakan yaitu berarti adat kebiasaan atau cara
hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghin-
dari hal-hal tindakan yang buruk. Namun dalam pengertian sehari-hari, moral lebih
menekankan pada tindakan seseorang, sedangkan etika lebih menekankan pada sistem
nilai-nilai yang berlaku. Tindakan seseorang sudah pasti didasari oleh nilai-nilai yang
dianut.
Etika merupakan fondasi dari moralitas dan karakter yang baik. Khusus dalam
bidang hubungan kekeluargaan juga terjadi degradasi etis dan moral. Anak-anak tidak
lagi menghormati orangtuanya. Suami atau isteri berselingkuh. Kekerasan dalam
rumahtangga, dan sebagainya menunjukkan betapa parahnya krisis moral yang terjadi.

2
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis ingin mengemukakan lagi
tentang etika yang seharusnya diikuti dalam suatu hubungan kekeluargaan yang
dijelaskan dalam kitab Manawa Dharmasastra.

II. PEMBAHASAN

2.1. Penjelasan Konseptual

2.1.1. Pengertian Etika

Secara etimologi, kata “etika” berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”,
yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan
erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan
dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup
seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghindari hal-
hal tindakan yang buruk. Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi
dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk
penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem
nilai-nilai yang berlaku.

Istilah lain yang identik dengan etika, yaitu: Susila (Sanskerta), lebih
menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su).
Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak.

Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok
perhatiannya; antara lain:

a. Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan sifat
dari hak (The principles of morality, including the science of good and the nature of
the right)

b. Pedoman perilaku, yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian utama


dari kegiatan manusia. (The rules of conduct, recognize in respect to a particular
class of human actions)

3
c. Ilmu watak manusia yang ideal, dan prinsip-prinsip moral sebagai individual.
(The science of human character in its ideal state, and moral principles as of an
individual)

d. Merupakan ilmu mengenai suatu kewajiban (The science of duty)

Dalam membahas Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tanggapan


kesusilaan atau etis, yaitu sama halnya dengan berbicara moral (mores). Manusia
disebut etis, ialah manusia secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat
hidupnya dalam rangka asas keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan pihak
yang lainnya, antara rohani dengan jasmaninya, dan antara sebagai makhluk berdiri
sendiri dengan penciptanya. Termasuk di dalamnya membahas nilai-nilai atau norma-
norma yang dikaitkan dengan etika, terdapat dua macam etika (Keraf: 1991: 23),
sebagai berikut:

a. Etika Deskriptif

Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku
manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang
bernilai. Artinya Etika deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya,
yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan
situasi dan realitas yang membudaya. Dapat disimpulkan bahwa tentang kenyataan
dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan
dengan kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat bertindak secara etis.

b. Etika Normatif

Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya
dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan
apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi Etika Normatif merupakan norma-norma yang
dapat menuntun agar manusia bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang
buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat.

Di dalam kehidupan sehari-hari sering dikenal dengan istilah norma-norma atau


kaidah, yaitu biasanya suatu nilai yang mengatur dan memberikan pedoman atau
patokan tertentu bagi setiap orang atau masyarakat untuk bersikap tindak, dan

4
berperilaku sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah disepakati bersama. Patokan
atau pedoman tersebut sebagai norma (norm) atau kaidah yang merupakan standar yang
harus ditaati atau dipatuhi (Soekanto: 1989:7).

Kehidupan masyarakat terdapat berbagai golongan dan aliran yang beraneka


ragam, masing-masing mempunyai kepentingan sendiri, akan tetapi kepentingan
bersama itu mengharuskan adanya ketertiban dan keamanan dalam kehidupan sehari-
hari dalam bentuk peraturan yang disepakati bersama, yang mengatur tingkah laku dalam
masyarakat, yang disebut peraturan hidup.Untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan
kehidupan dengan aman, tertib dan damai tanpa gangguan tersebut, maka diperlukan
suatu tata (orde=ordnung), dan tata itu diwujudkan dalam “aturan main” yang menjadi
pedoman bagi segala pergaulan kehidupan sehari-hari, sehingga kepentingan masing-
masing anggota masyarakat terpelihara dan terjamin. Setiap anggota masyarakat
mengetahui “hak dan kewajibannya masing-masing sesuai dengan tata peraturan”, dan
tata itu lazim disebut “kaedah” (bahasa Arab), dan “norma” (bahasa Latin) atau ukuran-
ukuran yang menjadi pedoman, norma-norma tersebut mempunyai dua macam menurut
isinya, yaitu:

a. Perintah, yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh
karena akibatnya dipandang baik.

b. Larangan, yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu
oleh karena akibatnya dipandang tidak baik.Artinya norma adalah untuk memberikan
petunjuk kepada manusia bagaimana seseorang hams bertindak dalam masyarakat serta
perbuatan-perbuatan mana yang harus dijalankannya, dan perbuatan-perbuatan mana
yang harus dihindari (Kansil, 1989:81).

Norma-norma itu dapat dipertahankan melalui sanksi-sanksi, yaitu berupa


ancaman hukuman terhadap siapa yang telah melanggarnya.

Tetapi dalam kehidupan masyarakat yang terikat oleh peraturan hidup yang
disebut norma, tanpa atau dikenakan sanksi atas pelanggaran, bila seseorang melanggar
suatu norma, maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan tingkat dan sifatnya suatu
pelanggaran yang terjadi, misalnya sebagai berikut:

5
Kemudian norma tersebut dalam pergaulan hidup terdapat empat (4) kaedah
atau norma, yaitu norma agama, kesusilaan, kesopanan dan hukum . Dalam
pelaksanaannya, terbagi lagi menjadi norma-norma umum (non hukum) dan norma
hukum, pemberlakuan norma-norma itu dalam aspek kehidupan dapat digolongkan ke
dalam dua macam kaidah, sebagai berikut:

Dengan menggunakan pendekatan etika sebagai etika deskriptif, Magnis


Suseno et al. (1991 : 6-8) membedakan etika menjadi etika umum dan etika khusus.
Etika khusus selanjutnya dibedakan menjadi etika individu dan etika sosial.

a. Aspek kehidupan pribadi (individual) meliputi:

 Kaidah kepercayaan untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau kehidupan


yang beriman.
 Kehidupan kesusilaan, nilai moral, dan etika yang tertuju pada kebaikan hidup
pribadi demi tercapainya kesucian hati nu-rani yang berakhlak berbudi luhur
(akhlakul kharimah).

b. Aspek kehidupan antar pribadi (bermasyarakat) meliputi:

 Kaidah atau norma-norma sopan-santun, tata krama dan etiket dalam pergaulan
sehari-hari dalam bermasyarakat (pleasantliving together).
 Kaidah-kaidah hukum yang tertuju kepada terciptanya ketertiban, kedamaian
dan keadilan dalam kehidupan bersama atau bermasyarakat yang penuh dengan
kepastian atau ketenteraman (peaceful living together).Sedangkan masalah
norma non hukum adalah masalah yang cukup penting dan selanjutnya akan
dibahas secara lebih luas mengenai kode perilaku dan kode profesi Humas/PR,
yaitu seperti nilai-nilai moral, etika, etis, etiket, tata krama dalam pergaulan
sosial atau bermasyarakat, sebagai nilai aturan yang telah disepakati bersama,
dihormati, wajib dipatuhi dan ditaati.

Norma moral tersebut tidak akan dipakai untuk menilai seorang dokter ketika
mengobati pasiennya, atau dosen dalam menyampaikan materi kuliah terhadap para
mahasiswanya, melainkan untuk menilai bagaimana sebagai profesional tersebut
menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik sebagai manusia yang berbudi luhur,

6
juiur, bermoral, penuh integritas dan bertanggung jawab.Terlepas dari mereka sebagai
profesional tersebut jitu atau tidak dalam memberikan obat sebagai penyembuhnya,
atau metodologi dan keterampilan dalam memberikan bahan kuliah dengan tepat.
Dalam hal ini yang ditekankan adalah “sikap atau perilaku” mereka dalam menjalankan
tugas dan fungsi sebagai profesional yang diembannya untuk saling menghargai sesama
atau kehidupan manusia.

Pengertian etiket dan etika sering dicampuradukkan, padahal kedua istilah


tersebut terdapat arti yang berbeda, walaupun ada persamaannya. Istilah etika
sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah berkaitan dengan moral (mores), sedangkan
kata etiket adalah berkaitan dengan nilai sopan santun, tata krama dalam pergaulan
formal. Persamaannya adalah mengenai perilaku manusia secara normatif yang etis.
Artinya memberikan pedoman atau norma-norma tertentu yaitu bagaimana seharusnya
seseorang itu melakukan perbuatan dan tidak melakukan sesuatu perbuatan.Istilah etiket
berasal dari Etiquette (Perancis) yang berarti dari awal suatu kartu undangan yang
biasanya dipergunakan semasa raja-raja di Perancis mengadakan pertemuan resmi,
pesta dan resepsi untuk kalangan para elite kerajaan atau bangsawan.

Dalam pertemuan tersebut telah ditentukan atau disepakati berbagai peraturan


atau tata krama yang harus dipatuhi, seperti cara berpakaian (tata busana), cara duduk,
cara bersalaman, cara berbicara, dan cara bertamu dengan si kap serta perilaku yang
penuh sopan santun dalam pergaulan formal atau resmi.Definisi etiket, menurut para
pakar ada beberapa pengertian, yaitu merupakan kumpulan tata cara dan sikap baik
dalam pergaulan antar manusia yang beradab.

Menurut K. Bertens, dalam buku berjudul Etika, 1994. yaitu selain ada
persamaannya, dan juga ada empat perbedaan antara etika dan etiket, yaitu secara
umumnya sebagai berikut:

a. Etika adalah niat, apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak sesuai
pertimbangan niat baik atau buruk sebagai akibatnya. Etiket adalah menetapkan cara,
untuk melakukan perbuatan benar sesuai dengan yang diharapkan.

7
b. Etika adalah nurani (bathiniah), bagaimana harus bersikap etis dan baik yang
sesungguhnya timbul dari kesadaran dirinya. Etiket adalah formalitas (lahiriah), tampak
dari sikap luarnya penuh dengan sopan santun dan kebaikan.

c. Etika bersifat absolut, artinya tidak dapat ditawar-tawar lagi, kalau perbuatan baik
mendapat pujian dan yang salah harus mendapat sanksi.Etiket bersifat relatif, yaitu yang
dianggap tidak sopan dalam suatu kebudayaan daerah tertentu, tetapi belum tentu di
tempat daerah lainnya.

d. Etika berlakunya, tidak tergantung pada ada atau tidaknya orang lain yang hadir.
Etiket hanya berlaku, jika ada orang lain yang hadir, dan jika tidak ada orang lain maka
etiket itu tidak berlaku.

2.1.2. Manawa Dharmasastra

Kitab Manawa Dharmasastra merupakan kitab yang paling penting dan menarik
dari sekian banyak kitab-kitab sastra yang memuat himpunan pokok ajaran Hindu dan
dikenal sebagai salah satu dari kitab Wedangga. Wedangga adalah kitab Weda yang
merupakan bagian batang tubuh dari Weda. Kitab ini tidak dapat dipisahkan dari kitab
Weda Sruti lainnya. Dalam pendahuluan kitab Wedaparikrama dikemukakan bahwa
keseluruhan kitab Weda dibagi menjadi dua kelompok yaitu Weda Sruti dan Weda Smrti.
Kitab Weda Sruti dan Weda Smrti, keduanya dikenal dengan nama Weda. Kedua kitab
tersebut tak dapat dipisahkan.

Dharmasastra adalah salah satu dari Sad Wedangga (Ciksa, Wyakarana, Chanda,
Nirukta, Jyotisa, dan Kalpa. Kitab yang berhubungan dengan Dharmasastra adalah Kalpa.
Kitab Kalpa bersumber pada Brahmana Samhita dan ditulis dalam bentuk sutra atau
sloka. Isinya berkisar pada ajaran-ajaran keagamaan dan merupakan kitab pedoman bagi
umat Hindu dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan penggunaannya, kelompok Kalpa
Wedangga terdiri atas empat jenis dengan topik tersendiri yaitu :

a. Srauta Sutra (pedoman untuk upacara besar)

b. Grihya sutra (pedoman untuk orang yang berumahtangga)

c. Dharma sutra (pedoman untuk melakukan pemerintahan)

8
d. Sulwa sutra (pedoman untuk membuat bangunan-bangunan agama).

Bagian terpenting dari jenis Kalpa ini adalah Dharmasutra. Berisi tentang aturan-
aturan hidup yang harus diikuti oleh manusia sebagai individu, sebagai kelompok sosial,
dalam keluarga, sebagai penguasa dan sebagainya. Kitab ini memuat tentang hak dan
kewajiban yang harus diikuti. Banyak penulis yang dihubungkan dengan kitab
Dharmasutra ini seperti; Gautama, Baudhayana, Sankha-likitha, Wisnu, Apastamba,
Harita Wikhana, Paithinasi, Usana, Kasyapa, Brhaspati, dan Manu. Diantara semua nama
tersebut yang paling terkenal adalah Manu, walaupun penulisannya sendiri dilakukan
oleh Bhrgu. Pada jaman Majapahit (Indonesia) kitab yang paling dikenal adalah
Manudharmasastra (Manupadesa) dan kitab Usana. Kitab Manudharmasastra dan kitab
Usana merupakan gubahan dari Manawadharmasastra resensi Bhagawan Bhrgu tersebut.

Nama Manu masih merupakan teka-teki, disamping sebagai nama seorang pribadi
juga merupakan nama sebuah dinasti. Namun demikian ajaran Manu sebagai lembaga
hukum (wyawahara) otentisitasnya sudah dapat dipastikan (Pudja, 2002 : 3-6).

III. ETIKA KELUARGA HINDU DALAM KITAB MANAWA


DHARMASASTRA

3.1. Etika Seorang Suami terhadap Istri

Penghormatan terhadap wanita sangat ditekankan dalam kitab Manawa


Dharmasastra. Buku III sloka 55-62. Sloka 55 menyebutkan :

”Pitrbhir bhratrbhic caitah patibhir dewaraistatha,

pujya bhusayita wyacca bahu kalyanmipsubhih”

Terjemahannya :

Wanita harus dihormati dan disayangi oleh ayah-ayahnya, kakak-kakaknya, suami


dan ipar-iparnya yang menghendaki kesejahteraan sendiri.

Ajaran etika Hindu menempatkan wanita sangat istimewa. Wanita adalah ibu.
Seorang ibu disamakan dengan bumi. Maka ada sebutan ibu pertiwi. Semuanya harus
menghormati wanita, karena semua lahir dari seorang wanita. Apabila semua
mengasihi wanita maka wanita akan memiliki ahlak mulia. Kesejahteraan, kedamaian,

9
dalam suatu keluarga bahkan masyarakat yang lebih luas sangat ditentukan oleh ahlak
para wanitanya.

Sloka 56 menyebutkan :

Yatra naryastu pujyante ramante tatra dewatah,

yatraitastu na pujyante sarwastalah kriyah”

Terjemahannya :

Di mana wanita dihormati, di sanalah para Dewa merasa senang, tetapi di mana
mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun yang akan berpahala.

Sloka ini mengisyaratkan bahwa para Dewa sekalipun sangat mengasihi


wanita. Sloka ini juga merupakan isyarat agar ada keseimbangan antara pelaksanaan
ajaran etika dengan pelaksanaan upacara yadnya. Tidak ada gunanya upacara yadnya
yang besar namun masyarakat tidak memiliki etika.

Sloka 57 menyebutkan :

”Cocanti jamayo yatra winacyatyacu tatkulam,

na cocanti tu yatraita wardhate taddhi sarwada”

Terjemahannya :

Di mana warga wanitanya hidup dalam kesedihan, keluarga itu cepat akan hancur,
tetapi di mana wanita itu tidak menderita keluarga itu akan bahagia.

Kitab Manawa Dharmasastra buku IX sloka 5 menyebutkan kewajiban suami


terhadap istrinya sebagai berikut :

Suksmebyo prasanggebhyah Striyo raksyah wicesatah,

Dwayorhi kulayoh cokam Awaheyure raksitah

Terjemahannya :

10
Wanita teristimewa harus dilindungi dari kecenderungannya berbuat jahat,

Bagaimanapun sedih tampaknya jika mereka tidak dijaga

Akan membawa penderitaan terhadap kedua belah pihak

( Manawa Dharmasastra, IX : 5 )

Etika Hindu mengajarkan bahwa wanita harus selalu dijaga dan dilindungi. Ini
berkaitan dengan Buku IX sloka 3 yang menyebutkan :

”Pitaraksati kaumare bharta raksati yauwane,

raksanti sthawire putra na stri swatantryam arhati”.

Terjemahannya :

Ayahnya akan melindunginya selagi ia masih kecil dan setelah dewasa suaminyalah
yang akan melindungi dan dilindungi putra-putranya setelah ia tua, wanita tak pernah
layak bebas.

Sloka ini apabila diartikan secara dangkal mungkin saja bermakna


pengekangan kebebasan wanita. Namun sesungguhnya tidak demikian. Banyak kasus
asusila seperti pelecehan sexual, pemerkosaan terjadi karena wanita bepergian
sendirian. Hal ini tidak diperbolehkan oleh Manawa Dharmasastra. Dalam kehidupan
modern sekarang ini kurangnya perlindungan terhadap wanita atau wanita yang tidak
mau dilindungi merupakan penyebab terjadinya kejahatan asusila. Kejahatan lain
seperti perzinahan atau yang populer disebut perselingkuhan yang mengakibatkan
kehancuran rumah tangga juga karena wanita bepergian ke mana-mana tidak ditemani
oleh ayah, suami, atau anak.

”Imam hi sarwa warnanam pacyanto dharma utamam,

Yatante raksitum bharyam bhartaro dhurbala api”.

Dengan memperhatikan kewajiban yang utama bagi semua golongan,

Kendatipun suami itu lemah harus selalu berusaha menjaga istri mereka.

11
( Manawa Dharmasastra, IX : 6 )

Sloka ini menekankan keharusan bagi seorang suami untuk menjaga isterinya
walaupun ia lemah. Lemah secara pisik tentu tidak otomatis lemah secara mental.
Menjaga dapat dilakukan dengan memberikan nasehat-nasehat yang baik.

Buku IX sloka 7 menyebutkan :

Swam prasutim caritamca kulam atmanam ewa ca,

Swam ca dharmam prayatnena jayam raksanthi raksati.

Terjemahannya:

Ia yang berhati – hati menjaga istrinya, menjaga kesucian turunannya,

Berpikir selalu yang suci , keluarganya, ia sendiri dan cara memperoleh kebajikan.

Seorang isteri yang dijaga dengan baik tentu akan mendapatkan keturunan
yang baik pula. Kalau isteri tidak dijaga dapat pula menimbulkan kerusakan keluarga
orang lain. Apalagi dengan keadaan jaman sekarang seorang isteri yang tidak dijaga
dengan baik dapat saja berzinah, sehingga dapat membawa penyakit-penyakit menular
sexual yang berbahaya seperti AIDS. Hal ini akan menghancurkan keluarga dan masa
depan keluarga itu sendiri.

Sloka 9 menyebutkan :

Yadrcam bhajatehi stri sutam sute tathawidham,

Tasmat praja wicuddhyartham striyam raksatprayatnatah

Terjemahannya :

Sebagai laki – laki tempat istri menggantungkan dirinya, demikian pula anak laki –

laki yang ia lahirkan; demikianlah Hendaknya ia harus menjaga istrinya agar supaya

terpeliharalah kesucian keturunannya.

Sloka 10 menyebutkan :

12
Na kaccitdyositah bhaktah parahya parisaksitum,

Etairupayayogaistu cakyastah pariraksitam.

Terjemahannya :

Tak seorang laki – laki pun dapat menjaga wanita dengan kekerasan

Tetapi ia dapat dijaga dengan penuh kelembutan.

Sloka 11 menyebutkan :

Arthasya samgraha cainam wyaye caiwa niyojayet,

Cause dharme nnapaktyam ca parinahyasyaceksane.

Terjemahannya :

Hendaknya suami mengerjakan istrinya didalam pengumpulan dan pemakaian harta

suaminya dalam hal memelihara segala sesuatu tetap bersih, dalam hal melakukan
kewajiban – kewajiban keagamaan dalam hap menyediakan santapan suaminya dan
menjaga alat peralatan rumah tangganya.

Dari ketiga sloka menjelaskan bahwa seorang istri menggantungkan dirinya


kepada suami dan seorang istri harus dijaga dengan penuh kasih sayang oleh
suaminya. Seorang suami tidak boleh melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
Tentang pengelolaan keuangan dan harta keluarga, isteri haruslah diberikan
kepercayaan. Harta yang dimiliki selama perkawinan hendaknyalah menjadi harta
bersama.

3.2. Etika Seorang Istri terhadap Suami

Wicilah kamawrito wa gunairwa pariwarjitah,

Upacaryah striya sadhwya satatam dewa watpatih.

( Manawa Dharmasastra, V : 154 )

Terjemahannya :

13
Walaupun seorang suami itu tanpa kebaikkan atau mencari kesenangan diluar atau
tidak memiliki sifat – sifat baik namun seorang suami harus dihormati seperti
menghormati seorang Dewa.

Sloka ini mungkin agak kontroversial di jaman sekarang yang menekankan


persamaan gender. Namun menurut kitab suci sepatutnya seorang isteri terus
mengupayakan agar suaminya menjadi orang yang baik. Karena karmalah seorang
wanita mendapat seorang suami bertabiat buruk, demikian sebaliknya karena karma
juga seorang lelaki mendapatkan seorang isteri bertabiat buruk, Apabila seseorang
mampu melakukan kebaikan dalam kondisi seperti itu tentu akan berpahala untuk
kehidupan kini maupun di kehidupan yang akan datang sebagai penebusan dosa.

Nasti strinam pritagyajno na wratam na napyuposanam,

Patim cucru sate yena tena swarge mahiyate.

(Manawa Dharmasastra,V:155)

Tidak ada upacara tidak ada pantangan, tidak ada puas yang boleh dilakukan wanita

Yang terpisah oleh suaminya, kalau seorang istri mentaati suaminya maka seorang
istri Akan disanjung tinggi di sorga.

Sloka ini menegaskan bahwa seorang isteri yang setia akan mendapatkan
pahala yang besar.

Panigrahasya sadhwistri jiwato wa

mritsya wa patilokamabhipsanti na coret kimcidapriyam.

(Manawa Dharmasastra, V:156)

”Seorang istri yang setia, yang ingin tinggal bersama selamanya dengan suaminya
sampai setelah ajal tiba hendaknyalah seoarang istri yang demikian tidak menyakiti
hati suaminya yang telah mengawini baik suaminya masih hidup maupun sudah mati.

Kamam tu ksapayeddeham puspa mulaphalaiih chubaih,

Natu namapi grihnyat patyau prete parasya tu.

14
(Manawa Dharmasatra, V :157)

Patim ya nabhi carati mamowagde hasamyuta,

Sabhartrilokam apnoti sadbhih sadwiti cocyte.

( Manaawa Dharmasastra, V : 165 )

Seorang istri yang mengendalikan pikiran, kata – kata serta tidak menjelek – jelekkan
suaminya, istri yang demikian itu adalah istri yang mulia dan setelah meninggal akan
tinggal bersama suaminya di sorga.

Anena mariwrittena manowagde hasamyata

Ihagrayam kirtimapnoti pitalokam paratraca.

(Manawa Dharmasastra, V : 166)

sebagai pahala atas perbuatan yang dilakukan oleh seorang istri maka istri yang
seperti itu yang mengendalikan pikirannya kata – katanya dan perbuatannya akan
mendapatkan keharuman dalam hidup ini dan dialam sunyi loka akan mendapatkan
sorga bersama suaminya.

Demikianlah etika seorang isteri harus menjunjung kesetiaan kepada suami.

3.3. Etika Seorang Anak dalam Keluarga

Manawa Dharmasastra (II. 215) menyebutkan :

“Ata aha :

Matra swasra duhitra wa na wiwikta sano bhawet,

balawanindriya gramo widwam samapi karsati”.

Terjemahannya :

Demikian dikatakan : Seseorang hendaknya tidak duduk di tempat sunyi dengan


ibunya, adik perempuannya atau anak perempuannya karena panca indera itu sangat
kuat adanya dan bisa menguasai seseorang yang pandai sekalipun.

15
Sloka ini menjelaskan etika bahwa seorang anak laki tidak boleh duduk di
tempat sunyi dengan ibunya, sekaligus juga mengatur bahwa seorang ibu tidak
diperbolehkan duduk di tempat sunyi dengan anak lai-lakinya (yang sudah dewasa),
juga seorang ayah tidak boleh berdua di tempat sunyi dengan anak perempuannya.
Seakan sloka ini berlebihan, namun pada kenyataanya dalam kehidupan sekarang
sering terjadi incest atau hubungan terlarang antara ibu dengan anak lakinya, antara
ayah dengan anak perempuannya, juga antara saudara laki dengan saudara
perempuannya. Pada beberapa kasus incest yang terjadi, salah satu penyebabnya
adalah tidur bersama. Dalam sloka ini juga dijelaskan bahwa panca indera itu
sedemikian kuatnya sehingga dapat menyesatkan orang yang pandai sekalipun.
Seorang anak harus memperlakukan guru, ayah, ibu, dan kakaknya dengan
hormat. Kitab Manawa Dharmasastra (II. 226) menyebutkan:
”Acaryacca pita caiwa mata bhrata ca purwajah,
nartenapya waman tawya brahmanena wicesatah”
Terjemahannya :
Guru, ayah, ibu, kakak tidak boleh diperlakukan dengan tidak hormat, teristimewa
bagi orang brahmana, walaupun hatinya disakiti oleh mereka.
III. PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kitab Manawa Dharmasastra mengatur tentang etika dalam kehidupan
keluarga. Seorang suami hendaknya menghormati isterinya dan sebaliknya seorang
isteri harus menghormati suaminya agar kehidupan keluarga harmonis dan bahagia.
Demikian pula seorang anak harus mengikuti etika dalam keluarga. Seorang anak
harus menghormati orangtuanya.

3.2. Saran
Pada jaman sekarang telah terjadi kemerosotan moral yang parah, sehingga
perlu untuk menggali kembali nilai-nilai etika yang terdapat dalam kitab suci. Praktek
keagamaan harus seimbang antara pengetahuan Tattwa, Susila, dan Acara termasuk
upacara agama. Apa gunanya upacara agama yang besar sementara masyarakat tidak
beretika. Seperti disebutkan dalam sloka Manawa Dharmasastra di atas, kalau para
wanita, para ibu, tidak mendapatkan penghormatan yang selayaknya maka tidak ada
upacara yadnya apapun yang berpahala.

16
DAFTAR BACAAN
Bertens, K. 1994. Etika. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Keraf, A.S. 1991. Etika Bisnis, Membangun Citra bisnis sebagai Profesi Luhur.
Cetakan ke-2, Jakarta : Kanisius.

Pudja, Gde dan Tjokorda Rai Sudharta. 2002. Manawa Dharmacastra (Manu Dharma
Sastra) atau Weda Smrti Compendium Hukum Hindu. Jakarta : Pelita
Nursatama Lestari.

Magnis-Suseno, F. 1991. Etika Dasar. Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Cet.


ke-3. Yogyakarta : Kanisius.

Soekanto, Soerjono. 1989. Perihal Kaedah Hukum. Bandung : Alumni.

Piliang, Yasraf Amir. 2004. Posrealitas, Realitas Kebudayaan dalam Era


Posmetafisika. Yogyakarta : Jalasutra.

17

Anda mungkin juga menyukai