Anda di halaman 1dari 7

SEJARAH PERCETAKAN DI

INDONESIA

METODE PRODUKSI GRAFIKA 1


LAILA NIHAYATUL QUSWA
A14.2016.02484
A14.7404
SEJARAH PERCETAKAN

Percetakan mempunyai catatan sejarahnya sendiri. Sejarah menuliskan informasi tanggal dari
gambar dinding gua yang berumur lebih dari 30.000 tahun. Pada tahun 2500 B.C., orang
Mesir mengukir hieroglyphics pada batu. Akan tetapi, percetakan yang kita ketahui sekarang
tidak ditemukan hingga lebih dari sekitar 500 tahun yang lalu.

Orang China membuat banyak penemuan. Mereka menemukan kertas pada abad pertama dan
moveable type yang terbuat dari tanah liat sekitar abad ke-11. Orang Korea pertama kali
membuat moveable type dari perunggu pada pertengahan abad ke-13. Akan tetapi, tidak
diketahui adanya hubungan antara penemuan awal orang Asia dan penemuan percetakan di
Eropa pada abad ke-15.

Di Eropa, sebelum percetakan ditemukan, semua informasi yang tercatat ditulis dengan
tangan. Buku-buku dengan hati-hati disalin oleh ahli tulis (scribes) yang sering menghabiskan
waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikan satu jilid buku. Metode ini begitu lambat dan
mahal dan hanya sedikit orang yang memilik kesempatan atau kemampuan untuk membaca
karya yang telah selesai.

Kemungkinan besar percetakan pertama kali ditemukan untuk mempermudah


penduplikasian Injil. Jika sebelumnya ditulis dengan tangan di ruang scriptoria, maka sejak
zaman renaisans manusia mulai berpikir untuk mempercepat proses ini lewat produksi
massal.

Teknik cetak pertama kali yang dikenal dimulai dari Kota Mainz, Jerman pada tahun 1440
yang merupakan sentra kerajinan uang logam saat itu. Pertama kali metode cetak
diperkenalkan oleh Johannes Gutenberg dengan inspirasi uang logam yang digesekkan
dengan arang ke atas kertas.

Relief uang logam menimbulkan ide untuk membuat permukaan dengan tinggi bervariasi.
Hal ini dikenal dengan nama cetak tinggi.

SEJARAH PERCETAKAN DI INDONESIA

Dimulai pada akhir dekade 70 an, di Indonesia terdapat sekitar 1.700 perusahaan
percetakan. Namun, ada beberapa perusahaan percetakan kecil yang belum tercatat Eduard
memperkirakan pada saat itu ada sekitar 15.000 percetakan di Indonesia. Yang jelas, dunia
percetakan adalah bisnis yang berkembang sangat pesat.
Selepas tahun 1949, para penerbit pribumi mengeluhkan bahwa di Jakarta hanya
terdapat dua percetakan yang dimiliki orang Indonesia asli, selebihnya milik warga Belanda.
Tahun 1950, terjadi perubahan drastis. Jumlah percetakan milik pribumi di ibukota
meningkat menjadi 23, beda 1 angka di belakang Belanda (yang memiliki 24 percetakan),
sementara warga Tionghoa memiliki nyaris 4 kali lipat (86 percetakan), jumlah percetakan di
Indonesia terus meningkat hingga kini.
Hadirnya percetakan di Indonesia bermula dari kedatangan Belanda (1596) dan erat
hubungannya dengan VOC. Tahun 1624, misionaris Gereja Protestan Belanda
memperkenalkan percetakan di Hindia Belanda dengan membeli sebuah mesin cetak dari
Belanda untuk menerbitkan literatur Kristen dalam bahasa daerah, sehubungan dengan
keperluan penginjilan. Tapi mesin cetak itu menganggur, karena tak ada tenaga operator
untuk menjalankannya. Baru pada tahun 1659, Kornelis Pijl memrakarsai percetakan dengan
memroduksi sebuah Tijtboek, yakni sejenis almanak, atau “buku waktu”. Perkembangan
percetakan di Indonesia erat sekali dengan sejarah perjalanan surat kabar. Berikut beberapa
catatan waktu perjalanan percetakan di Indonesia.
• 1667:Pemerintah pusat berinisiatif mendirikan percetakan dan memesan alat cetak yang
lebih baik, termasuk matriks yang menyediakan berbagai jenis huruf.
• 1668:Hendrik Brant mencetak dokumen sebagai produk pertama percetakan pemerintah,
yaitu Perjanjian Bongaya antara Laksamana Cornelis Speelman dan Sultan Hasanuddin di
Makasar yang ditandatangani 15 Maret 1668. Hendrik Brant pada Agustus 1668 mendapat
kontrak mencetak dan menjilid buku atas nama VOC dengan upah 86 dolar yang dibayar
dengan cara mencicil. Kontrak berakhir 16 Februari 1671.
• 1671:VOC menandatangani kontrak baru dengan Pieter Overtwaver dan tiga pegawai
Kompeni lainnya (Hendrick Voskens – punch cutter, Piet Walbergen – type-founder, dan
Aernout Kemp – ahli cetak) untuk percetakan yang bernama Boeckdrucker der Edele
Compagnie (pencetak buku Kompeni). Kontrak berakhir 1695.
• 1677:Dokumen dengan kosa kata Belanda-Melayu pertama kali dicetak.
• 1693: Dokumen New Testament dicetak dalam bahasa Portugis.
• 1699:Pendeta Andreas Lambertus Loderus mengambiil alih Boeckdrucker der Edele
Compagnie untuk didayagunakan secara maksimal. Banyak karya penting dalam bahasa
Belanda, Melayu dan Latin lahir dari percetakannya, termasuk sebuah kamus Latin-Belanda-
Melayu yang disusun oleh Loderus sendiri.
• 1718:Pemerintah pusat mendirikan percetakan sendiri di Kasteel Batavia (kasteel = benteng,
Batavia saat itu adalah kota yang dikelilingi benteng) untuk kepentingan mencetak dokumen-
dokumen resmi.
• 1743:Seminarium Theologicum di Batavia memeroleh satu unit alat percetakan. Pernah
menerbitkan Perjanjian Baru (bagian dari kitab suci agama Kristen, red) dan beberapa buku
doa dalam terjemahan Melayu. Tahun 1755 percetakan tersebut dipaksa bergabung dengan
Percetakan Benteng.
• 1744: Surat kabar tercetak pertama bernama Batavia Nouvelles lahir dari Percetakan
Benteng yang dikelola oleh Jan Erdman Jordens, tepatnya pada 8 Agustus 1744. Hanya
terdiri dari selembar kertas berukuran folio, yang kedua halamannya masing-masing berisi 2
kolom. Isinya memuat maklumat pemerintah, iklan dan pengumuman lelang. Pembaca bisa
mendapatkannya setiap Senin dari Jan Abel, perusahaan penjilidan milik Kompeni di
Benteng. Sebuah sumber menyebutkan, koran pada saat itu ditulis tangan.
• 1745:Surat kabar Batavia Nouvelles dihentikan penerbitannya (20 Juni 1746) atas
permintaan Dewan Direktur VOC kepada Gubernur Jenderal, karena surat kabar yang
berorientasi iklan dan berisi informasi tentang kondisi perdagangan di Hindia Belanda
dikhawatirkan bisa dimanfaatkan oleh pesaing Eropa.
• 1761:Mulai diberlakukan peraturan percetakan pertama yakni “Reglement voor de
Drukkerijen te Batavia” (Juni 1761) di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal A. van der
Parra.
• 1776: Surat kabar Vendu Niews (VN) diterbitkan oleh L. Dominicus. Ini adalah surat kabar
pertama yang bersentuhan dengan orang Indonesia, tiga dasawarsa setelah Bataviase
Nouvelles mati. VN merupakan media iklan mingguan, terutama mengenai berita lelang, juga
maklumat penjualan sejumlah perkebunan besar dan beberapa iklan perdagangan. Dikenal
oleh masyarakat sebagai “soerat lelang”.
• 1785:Percetakan Kota dilarang keras mencetak apapun tanpa izin sensor. Penyensoran
mulai dilaksanakan di Hindia Belanda pada 1668.
• 1810:15 Januari 1810 terbit edisi pertama mingguan resmi pemerintah, Bataviasche
Koloniale Courant yang diasuh oleh Profesor (Kehormatan) Ross, pendeta komunitas
Belanda di Batavia sejak 1788. Isinya memuat juga iklan, mulai dari tali sepatu hingga budak
belian. Penerbitan berhenti 2 Agustus 1811, persis seminggu sebelum Batavia jatuh ke tangan
Inggris.
• 1812:29 Februari 1812, pemerintahan yang baru (Inggris) menerbitkan Java Government
Gazette, mingguan yang sebagian besar berbahasa Inggris, dicetak oleh A.H. Hubbard.
• 1816: Java Government Gazette berhenti bersamaan dengan kembalinya Belanda. 20
Agustus 1816 pemerintah Belanda menggantikannya dengan Bataviasche Courant yang
berganti nama menjadi Javasche Courant 12 tahun kemudian.
• 1831:Muncul surat kabar partikelir pertama. Ini terlambat, mengingat kendalanya adalah
kesulitan mendapatkan alat untuk membuat huruf timah. Tapi yang lebih penting dari itu
adalah ketiadaan tenaga (kompositor) terampil. Karena itu percetakan misionaris menjadi
satu-satunya percetakan non pemerintah yang bergiat dalam cetak-mencetak selama abad ke-
18.
• 1855:Surat kabar pertama berbahasa Jawa terbit di Surakarta sekali seminggu, namanya
Bromartani. Diterbitkan oleh perusahaan kongsi Belanda, Harteveldt & Co.
• 1910: Di Jakarta terbit surat kabar nasional yang pertama, Medan Prijaji.
• 1921-1922:Pabrik kertas pertama, N. V. Papier Fabriek Padalarang, dibangun di Padalarang
dengan kapasitas produksi 9 ton per hari.
• 1939-1940:Pabrik kertas kedua dibangun di Jawa Timur, dekat daerah Letjes, Probolinggo,
oleh pemilik pabrik yang sama dengan yang di Padalarang.
• 1949: Di Jakarta hanya terdapat 2 mesin printing yang dimiliki oleh warga pribumi.
Percetakan milik warga asing hanya berproduksi untuk kepentingannya saja.
• 1950:Jumlah perusahaan percetakan nasional (milik pribumi) di Jakarta meningkat menjadi
23 buah. 24 lainnya dimiliki warga asing (Belanda), sementara 86 lagi dimiliki warga
Tionghoa.
• 1951:Dari data resmi, terdapat 150 perusahaan percetakan di Jawa Timur (75 di Surabaya,
18di Malang, dan sisanya tersebar di daerah dan sekitarnya).
• 1953-1954:Percetakan Negara melakukan proyek modernisasi percetakan yang ambisius
dengan membeli sebuah mesin web-offset 4 warna.
• 1969:Pemerintah Belanda bekerja sama dengan Departemen Pendidikan & Kebudayaan
Indonesia mendirikan institusi pendidikan dan pelatihan SDM di bidang grafis, Pusat Grafika
Indonesia (Pusgrafin) di Jakarta. Antara tahun 1969-1978, sekitar 2.000 orang mengikuti
kursus composing, printing, binding, machine maintenance, lay-out, management, dll.
• 1970-an:Industri percetakan di seluruh dunia berganti ke teknologi offset. Dua perusahaan
percetakan Cina terbesar, Sin Po dan Keng Po membeli mesin cetak rotasi untuk koran yang
tetap digunakan hingga 1970-an. Surat kabar Sinar Harapan (sejak 1961) dan Kompas (sejak
1965) pernah menggunakan fasilitas mesin printer ini hingga mereka memiliki mesin cetak
sendiri di tahun 1970-an.
• 1976:Sebanyak 385 mesin cetak offset diimpor ke Indonesia.
• 1992:Teknologi computer to film (CTF) masuk ke Indonesia. Awalnya hanya percetakan-
percetakan besar saja yang memilikinya. 1995, percetakan-percetakan menengah dan kecil
mulai mengadopsi. Hingga tahun 1997, penggunaan CTF bisa dibilang sudah merata.
• 2000:Masuknya teknologi computer to plate (CTP) mulai menggeser CTF dan ikut
berdampakpada menurunnya bisnis repro. Sampai sekarang kurang lebih terdapat 70 mesin
CTP di Indonesia. Dulu merek-merek yang terkenal untuk mesin ini adalah Heidelberg dan
AGFA. Sekarang sudah mulai banyak pemain baru, seperti Screen, Scitex dan Basys Print.
Perkembangan terakhir di Indonesia, saat ini percetakan besar di Indonesia sudah
mulai mengadopsi teknologi computer to press berupa direct imaging (memakai master) dan
computer to print (tanpa master) yang banyak menggunakan teknologi mesin digital printing.
Salah satu mesin cetak yang terkenal di kelas ini adalah HP Indigo. Bahkan percetakan-
percetakan kini sudah melengkapi peralatannya tidak hanya untuk urusan pre-press, tapi juga
post press (proses finishing seperti cutting, binding, folding, stiching, embossing, dan lain-
lain), sehingga percetakan menjadi bisnis one-stop service yang makin berkembang.

BISNIS PERCETAKAN DI INDONESA DAN PERKEMBANGANNYA

Bisnis percetakan mencakup area bisnis yang cukup luas aspeknya, seperti: graphic
design, sablon digital, screen printing alias sablon manual, digital printing, media cetak,
printing chemical, garment (Textile), dan lain-lain. Oleh karena itu, bisnis percetakan tidak
akan pernah mati, hanya sesekali “jalan ditempat” pada keadaan tertentu saja. Terbuka lebar
peluang usaha percetakan dan dengan segala cara bisnis percetakan yang menyertainya.
Saat ini, bisnis percetakan makin mudah, baik itu dari segi teknologi cetak dan dalam
pengoperasionalisasinya, Toko Kertas yang banyak tersedia, sumber daya manusia, printing
research and development (R&D), diversifikasi usaha percetakan, sampai banyak
ketersediaan informasi yang bertebaran di dunia internet.
Pada saat ramai-ramainya penyelenggaraan Pemilu Legislatif (Pileg) ataupun Pemilu
Presiden (Pilpres), barang cetakan yang menjadi primadona adalah hasil produk dari Digital
Printing, contohnya: Banner, X-Banner, Roll Banner, dll. Dari kalangan industri sablon pun
tidak kalah kebanjiran order cetak untuk membuat sablon kaos pilkada, umbul-umbul,
spanduk atau bendera parpol. Kemajuan Bisnis Percetakan di Indonesia di era globalisasi ini
tentu perkembangannya akan semakin pesat. Informasi bisnis dan teknologi cetak akan
mengalir deras tanpa dapat dihalangi. Tidak ada batas geografis, tiada lagi batas ruang dan
waktu yang dapat menghentikan alih teknologi cetak saat ini. Mesin Percetakan apa pun yang
dipakai di negara maju seperti Jerman, Jepang atau Amerika, sama juga digunakan oleh para
pelaku bisnis percetakan di Indonesia. Teknologi cetak dengan mudah bisa ditransfer, mesin
percetakan juga dengan mudah dibeli dan dipelajari disini. Beberapa produsen mesin cetak
offset terkemuka kelas dunia bahkan, seperti Heidelberg telah membuka perwakilannya di
Indonesia, untuk lebih memuluskan bisnis penjualan produk mesin cetak offset-nya disini.

PERCETAKAN

Sebuah proses industri untuk memproduksi secara massal tulisan dan gambar, terutama
dengan tinta di atas kertasmenggunakan sebuah mesin cetak. Dia merupakan sebuah bagian
penting dalam penerbitan dan percetakan transaksi.

Banyak buku, koran, brosur, flyer dan majalah sekarang ini biasanya dicetak menggunakan
teknik percetakan offset. Image yang akan dicetak di print di atas film lalu di transfer ke plat
cetak. Warna-warna bisa didapatkan dengan menimpakan beberapa pola warna dari setiap
pelat offset sekaligus.

Teknik percetakan umum lainnya termasuk cetak relief, sablon, rotogravure, dan percetakan
berbasis digital seperti pita jarum, inkjet, dan laser.

Dikenal pula teknik cetak poly untuk pemberian kesan emas dan perak ke atas permukaan dan
cetak emboss untuk memberikan kesan menonjol kepada kertas.

Anda mungkin juga menyukai