Disusun Oleh :
Silvia Moreno
20.01.01.051
Dosen Pengampu :
jawab farmasis dalam menjamin terapi optimal terhadap pasien secara individu
problem/ DRP). DRP merupakan masalah yang terkait dengan pengobatan pasien.
Antara lain ada 8 masalah yang umumnya muncul yakni, indikasi tanpa obat, obat
tanpa indikasi, dosis kurang, dosis lebih, pemilihan obat yang kurang tepat, reaksi
diderita, menyediakan informasi mengenai penggunaan obat yang tepat dan efek
komunitas (apotek) yang meliputi antara lain sumber daya manusia, sarana dan
prasarana, pelayanan resep (tidak hanya meliputi peracikan dan penyerahan obat
menuntut pemberi layanan apotek harus mampu memenuhi keinginan dan selera
Praktek farmasi klinik memerlukan metodologi yang tepat guna dan tepat
salah satu cara efektif untuk mengkomunikasikan hasil telaah apoteker farmasi
langsung. Metode SOAP akan sangat membantu apoteker farmasi klinik di dalam
menyusun kerangka pikir bertindak dan sebagai alat untuk mempermudah proses
Infeksi adalah suatu proses masuknya dan multiplikasi agen infeksius dalam
bakteri, virus, parasit atau jamur (Carroll et al, 2016). Menurut Kementerian
penyebab kematian terbesar di dunia dengan presentase sebesar 23% (Surana &
Kasper, 2015).
ditularkan oleh hewan ke manusia. TB ditularkan dengan kuman dalam titik air
yang sangat kecil yang dapat dihirup saat orang yang mengidap TB aktif batuk,
bersin, tertawa atau berbicara. Gejala terus-menerus seperti batuk yang lamanya
lebih dari dua tiga minggu, begitu pula dahak bernoda darah, sering merupakan
dengan atau tanpa mual, muntah, demam, atau nyeri perut. Penyakit diare adalah
sekitar 2,5 juta kematian. Di Amerika Serikat, gastroenteritis akut adalah bukan
terutama pada anak-anak di bawah lima tahun, akuntansi untuk 1,5 juta kunjungan
kantor, 200.000 rawat inap, dan 300 kematian pada anak-anak setiap tahun
penggunaan obat
farmakoekonomi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Resep 1
Keluhan: dr. Sakura
Seorang pasien dengan batuk berdahak dan Jl. Ariodillah 77 telp. 746544
sesekali batuk berdarah, lambung perih dan mual. SIP: 1456/PTSP/2016
Pasien terseebut telah menjalani pengobatan TB Palembang, 10 Februari 2022
kategori 1 namun pada akhir pengobatan hasil Iter 1x
pemeriksaan dahak positif. Pasien diminta R/ Pro TB 4 No. LX
memeriksakandiri 2 bulan kemudian. S 1 d d tab 2
R/ Imunos No. XX
S 1 d d tab 1
R/ Antasida tab No. XX
S t d d tab 1
Pro : Ahsan
Umur : 40 tahun/ 50 kg
Diagnosa: TB Kategori II Jenis Kelamin : Laki- laki
Alamat : Talang Ratu
Pertimbangan Klinis
Perhitungan Dosis:
No Nama Obat Dosis Pakai Dosis Lazim Perhitungan dosis Keterangan
SOAP
Assesment
Plan
No Nama Obat Bentuk dan Kekuatan Sediaan Jumlah Signa & aturan minum (ac, dc, pc)
1 Pro TB 4 Tablet 120 Tablet 1 kali sehari 4 tablet (diminum sebelum makan, baru bangun
Rifampisin 150 mg tidur pagi hari)
Isoniazid 75 mg
Pyrazinamide 400 mg
Ethambutol 275 mg
3 Antasida tab Tablet 20 Tablet 4 kali sehari 1 tablet dikunyah, diminum sebelum makan
Aluminium Hydroxide 200 mg
Magnesium Hydroxide 200 mg
4 Streptomisin Streptomisin injeksi 1000 mg (1 30 Vial Injeksi intramuscular 15mg/kgBB (12-18mg/kgBB) per hari
gram) (maksimal 1 gram) selama 5 hari dalam seminggu atau 25-
30mg/kgBB 2 kali seminggu
5 Ambroxol Tablet 10 Tablet 1 tablet (30mg) 2-3 kali sehari sesudah makan
Ambroxol 30 mg
Rencana/monitoring/edukasi
-Disarankan penambahan vit B6 karena Isoniazid memiliki efek samping neuropati perifer (PIONAS)
-Efek samping yang ditimbulkan dari pemakaian obat Pro TB 4 yaitu urin akan menjadi warna merah
-Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam minum obat, maka diberikan konseling aturan pakai minum obat
seperti obat antasida tablet diminum sebelum makan dan dikunyah terlebih dahulu jangan langsung ditelan
-Disarankan pasien TB menggunakan masker agar percikan droplet atau cairan yang keluar dari mulut tidak
mengenai orang lain
-Disarankan penambahan suntikan streptomycin untuk pasien TB kategori 2. (PPK hal 20)
-Disarankan pasien TB menghindari penggunaan suplemen karena dapat meningkatkan daya tahan tubuh yang
dapat menyebabkan reaksi pertahanan tubuh yang berlebih sehingga memperparah kondisi klinis namun tidak
memperparah kondisi infeksi. (Echinacea purpurea Farmakologi, Fitokimia, dan Metode Analisis.
Patofisiologi
menyebabkan bakteri tersebut masuk ke alveoli melalui jalan nafas, alveoli adalah
masuk ke bagian tubuh lain seperti ginjal, tulang, dan korteks serebri dan area lain
dari paru-paru (lobus atas) melalui sistem limfa dan cairan tubuh. Sistem imun
dan sistem kekebalan tubuh akan merespon dengan cara melakukan reaksi
tuberculosis dengan sistem kekebalan tubuh pada masa awal infeksi membentuk
granuloma. Granuloma terdiri atas gumpalan basil hidup dan mati yang dikelilingi
Bagian sentral dari massa tersebut disebut ghon tuberculosis dan menjadi nekrotik
membentuk massa seperti keju. Hal ini akan menjadi klasifikasi dan akhirnya
awal, seseorang dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau respon
yang inadekuat dari respon sistem imun. Penyakit dapat juga aktif dengan infeksi
ulang dan aktivasi bakteri dorman dimana bakteri yang sebelumnya tidak aktif
kembali menjadi aktif. Pada kasus ini, ghon tubrcle memecah sehingga
Faktor resiko TB
sebagai berikut:
a. Umur menjadi faktor utama resiko terkena penyakit tuberkulosis karena kasus
tertinggi penyakit ini terjadi pada usia muda hingga dewasa. Indonesia sendiri di
perkirakan 75% penderita berasal dari kelompok usia produktif (15-49 tahun).
b. Jenis kelamin: penyakit ini lebih banyak menyerang laki-laki daripada wanita,
karena sebagian besar laki laki mempunyai kebiasaan merokok.
c. Kebiasaan merokok dapat menurunkan daya tahan tubuh, sehingga mudah untuk
terserang penyakit terutama pada laki-laki yang mempunyai kebiasaan merokok
dan meminum alkohol.
d. Pekerjaan, hal ini karena pekerjaan dapat menjadi faktor risiko kontak langsung
dengan penderita. Risiko penularan tuberkulosis pada suatu pekerjaan adalah
seorang tenaga kesehatan yang secara kontak langsung dengan pasien walaupun
masih ada beberapa pekerjaan yang dapat menjadi faktor risiko yaitu seorang
tenaga pabrik.
Faktor resiko TB
sebagai berikut:
e. Umur menjadi faktor utama resiko terkena penyakit tuberkulosis karena kasus
tertinggi penyakit ini terjadi pada usia muda hingga dewasa. Indonesia sendiri di
perkirakan 75% penderita berasal dari kelompok usia produktif (15-49 tahun).
f. Jenis kelamin: penyakit ini lebih banyak menyerang laki-laki daripada wanita,
karena sebagian besar laki laki mempunyai kebiasaan merokok.
g. Kebiasaan merokok dapat menurunkan daya tahan tubuh, sehingga mudah untuk
terserang penyakit terutama pada laki-laki yang mempunyai kebiasaan merokok
dan meminum alkohol.
h. Pekerjaan, hal ini karena pekerjaan dapat menjadi faktor risiko kontak langsung
dengan penderita. Risiko penularan tuberkulosis pada suatu pekerjaan adalah
seorang tenaga kesehatan yang secara kontak langsung dengan pasien walaupun
masih ada beberapa pekerjaan yang dapat menjadi faktor risiko yaitu seorang
tenaga pabrik.
Gejala :
Gejala umum TB Paru adalah batuk produktif lebih dari 2 minggu, yang
disertai:
Prinsip pengobatan :
Prinsip-prinsip terapi:
1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk kombinasi dari
beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Hindari penggunaan monoterapi.
2. -18- 2) Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tepat (KDT) / Fixed Dose Combination
(FDC) akan lebih menguntungkan dan dianjurkan.
3. Obat ditelan sekaligus (single dose) dalam keadaan perut kosong.
4. Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban tanggung jawab
kesehatan masyarakat.
5. Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati
harus diberi paduan obat lini pertama.
6. Untuk menjamin kepatuhan pasien berobat hingga selesai, diperlukan suatu
pendekatan yang berpihak kepada pasien (patient centered approach) dan
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT= Directly Observed Treatment)
oleh seorang pengawas menelan obat.
7. Semua pasien harus dimonitor respons pengobatannya. Indikator penilaian terbaik
adalah pemeriksaan dahak berkala yaitu pada akhir tahap awal, bulan ke-5 dan
akhir pengobatan.
8. Rekaman tertulis tentang pengobatan, respons bakteriologis dan efek samping
harus tercatat dan tersimpan.
Diagnosis :
Standar Diagnosis
Interaksi Obat :
(Sumber : Medscape)
menurunkan kadar atau efek rifampisin oleh Lainnya (lihat komentar). Gunakan
kadar isoniazid dengan menghambat penyerapan Gl. Berlaku hanya untuk bentuk
Mekanisme kerja
1. Rifampisin
Mekanisme kerja : Menghambat RNA polimerase yang bergantung pada
DNA dengan mengikat subunit beta, yang pada gilirannya memblokir transkripsi
RNA;
Absorpsi : PO penginduksi enzim yang kuat diserap dengan baik; makanan
dapat menunda atau sedikit mengurangi waktu puncak puncak plasma: PO, 2-4
jam
Distribusi : Sangat lipofilik; melintasi penghalang darah-otak dengan baik,
dan difusi relatif dari darah ke CSF cukup memadai, dengan atau tanpa
peradangan (melebihi MICS biasa) Pengikatan protein: 80%
Metabolisme : Dimetabolisme oleh hati; menjalani resirkulasi enterohepatik
Penghapusan Waktu paruh: 3-4 jam (berkepanjangan pada gangguan hati); pada
penyakit ginjal stadium akhir, 1,8-11 jam.
Ekskresi: Feses (60-65%) dan urin (~30%) sebagai obat yang tidak berubah.
Dosis : 10 mg/kg/hari PO atau 10 mg/kg PO dua kali seminggu (terapi yang
diamati langsung [DOT]); tidak melebihi 600 mg/hari
Efek samping : Hepatotoksisitas termasuk kelainan sementara pada tes
fungsi hati (misalnya, peningkatan serum bilirubin, alkaline phosphatase, serum
transaminase, gamma-glutamyl transferase) Hepatitis, sindrom mirip syok dengan
keterlibatan hati dan tes fungsi hati yang abnormal, serta kolestasis.
Kontra indikasi : Hipersensitif terhadap rifamycin atau eksipien.
Penggunaan bersamaan dengan atazanavir, darunavir, fosamprenavir,
ritonavir/saquinavir, sazuinavir, atau tipranavir
2. Isoniazid
Mekanisme aksi : Tidak diketahui: kemungkinan. menghambat biosintesis
dinding sel dengan mengganggu sintesis lipid dan DNA (bakterisidal)
Absorpsi : Cepat dan lengkap; laju dapat diperlambat dengan makanan
Waktu Puncak Plasma: 1-2 jam
Distribusi : Semua jaringan dan cairan tubuh termasuk CSF; melintasi
plasenta; memasuki ASI Ikatan Protein: 10-15%
Metabolisme : Hati dengan tingkat peluruhan ditentukan secara genetik oleh
fenotipe asetilasi
Eliminasi : Penghapusan waktu paruh: asetilator cepat: 30-100 mnt; asetilator
lambat: 2-5 jam; dapat diperpanjang dengan gangguan hati atau ginjal berat
Ekskresi: Urin (75-95%); kotoran
Dosis : Penyakit Tuberkulosis Aktif
5 mg/kg PO/IM qDay, tidak melebihi 300 mg qDay
15 mg/kg PO/IM ke atas; tidak melebihi 900 mg 1-3 kali/minggu
Efek samping : Kerusakan hati progresif (meningkat seiring bertambahnya
usia; 2,3% pada poin > 50 tahun), Neuropati perifer (insiden terkait dosis, insiden
10-20% dengan 10 mg/kg/hari).
Kontraindikasi : Isoniazid dikontraindikasikan pada pasien yang mengalami
reaksi hipersensitivitas parah, termasuk hepatitis akibat obat; cedera hati terkait
isoniazid sebelumnya; reaksi merugikan yang parah terhadap isoniazid seperti
demam obat, menggigil, radang sendi; dan penyakit hati akut dari setiap etiologi
3. Pyrazinamid
Mekanisme aksi : tidak dikenal : bakteriostatik atau sidal untuk
mycobacterium
Absorpsi : diserap dengan baik
Distribusi: secara luas ke jaringan tubuh dan cairan termasuk hati, paru-
paru, dan CSF. Difusi relatif dari darah ke CSF: cukup dengan tanpa peradangan
(melebihi MIC biasa) atau CSF: rasio tingkat darah: meninges yang meradang:
100%
Pengikatan protein: 50%
Metabolisme: hati
Eliminasi :
waktu paruh: 9-10 jam
Waktu puncak, serum: dalam 2 jam
Ekskresi: urin (4% sebagai obat tidak berubah)
Dosis :
Terapi harian
15-30 mg/kg PO qHari; tidak melebihi 2 g/hari
Terapi dua kali seminggu
50 mg/kg PO dua kali seminggu; tidak melebihi 2 g/dosis
Pengobatan Tuberkulosis Untuk Terpapar/Terinfeksi HIV
20-40 mg/kg/dosis PO qDay; tidak melebihi 2 g/hari
Efek samping : Rasa tidak enak, Mual, Muntah, Anoreksia, Arthralgia,
Mialgia.
Kontraindikasi : Kerusakan hati yang parah, gout akut, hipersensitivitas
4. Ethambutol
Mekanisme aksi : Mengganggu produksi metabolit di Mycobacterium
Absorpsi :
Ketersediaan hayati: ~80%
Waktu Plasma Puncak: 2-4 jam
Distribusi : Secara luas di seluruh tubuh; terkonsentrasi di ginjal, paru-paru,
air liur, dan sel darah merah Difusi relatif dari darah ke CSF: Cukup dengan atau
tanpa peradangan (melebihi MIC biasa) CSF: rasio tingkat darah: 0% (meninges
normal); 25% (meninges yang meradang)
Pengikatan protein: 20-30%
Metabolisme : Hati (20%) menjadi metabolit tidak aktif Eliminasi Eliminasi
waktu paruh: 2,5-3,6 jam; 7-15 jam (penyakit ginjal stadium akhir) Ekskresi:
~50% urin; ~20% feses tidak berubah obat
Dosis :
Pengobatan TB awal: 15 mg/kg PO qDay
Pengobatan TB sebelumnya: 25 mg/kg PO qDay; setelah 60 hari, turunkan
menjadi 15 mg/kg PO qDay
Efek samping : Gout akut atau hiperurisemia, Sakit perut, Anafilaksis,
Anoreksia, Kebingungan, disorientasi, Demam, Sakit kepala, kelainan LFT, Rasa
tidak enak, Mual Neuritis optik; gejala mungkin termasuk penurunan ketajaman,
buta warna atau cacat visual (biasanya reversibel dengan penghentian, meskipun
kebutaan ireversibel telah dilaporkan), Neuritis perifer, Gatal, Ruam, Muntah.
Kontraindikasi : Hipersensitivitas, Dikenal neuritis optik (kecuali penilaian
klinis menentukan bahwa itu dapat digunakan) Pasien tidak dapat menghargai dan
melaporkan efek samping visual atau perubahan penglihatan (misalnya, anak
kecil, pasien tidak sadar)
5. Streptomicin
Mekanisme aksi : Mengganggu sintesis protein bakteri normal dengan
mengikat subunit ribosom 30S
Absorpsi : IM: diserap dengan baik; tidak diserap dari usus
Distribusi: ke cairan ekstraseluler termasuk serum, abses, asites, perikardial,
pleura, sinovial, limfatik, & cairan peritoneal; melintasi plasenta; sejumlah kecil
masuk ke ASI
Ikatan Protein: 34%
Eliminasi : waktu paruh: bayi baru lahir: 4-10 jam; dewasa: 2-4,7 jam,
berkepanjangan dengan gangguan ginjal
Waktu Plasma Puncak: dalam 1 jam
Ekskresi : urin (90% sebagai obat tidak berubah); feses, ludah, keringat, &
air mata (<1%)
Dosis :
Terapi harian: 15 mg/kg IM qDay; tidak lebih dari 1 g/hari
Terapi dua kali seminggu: 25-30 mg/kg IM 2 kali/minggu; tidak lebih dari
1,5 g/hari
Efek samping : Hipotensi, Neurotoksisitas, Mengantuk, Sakit kepala,
Demam obat, Parestesi, Ruam kulit, Mual, Muntah, Eosinofilia, Anemia,
Artralgia, Kelemahan Getaran Ototoksisitas (pendengaran), Ototoksisitas
(vestibular), Nefrotoksisitas, Kesulitan bernapas
Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap streptomisin, aminoglikosida
lain, atau eksipien
PPK :
B. Resep 2
Pro : Farhan
Umur : 8 tahun
BB : 25 kg
Jenis kelamin : laki-laki
Alamat : -
Pertimbangan Klinis
Perhitungan Dosis:
Assesment
Objektif
Tenperatur
39°C
Plan
No Nama obat Bentuk dan KS Jumlah Signa dan aturan minum Rencana/monitoring
1 metronidazole Suspensi 1 botol S t dd cp 1 pc Disarankan Metronidazole dihabiskan
125mg/5ml obatnya karena obat antibiotik
2 Zinc diespersible Tablet 7 tablet S 1 dd tab 1 pc Monitoring frekuensi BAB berkurang
20 mg atau tidak
Disarankan Zinc harus dihabiskan
3 Ondansentron Tablet Disarankan penambahan ondansentron
8 mg sebagai obat antiemetic atau meredakan
mual dan muntah
4 Parasetamol syr Sirup 1 botol S t dd cth II pc Monitoring temperatur tubuh pasien
120mg/5ml
5 Oralit Serbuk 20 3 jam pertama 6 gelas Disarankan edukasi pendamping pasien
Tiap kantong 200 sachet (1,2L) selanjtnya tiap mengenai makanan yang dikonsumsi
ml : kali BAB 1 ½ gelas
NaCl 0,52 g (300 ml) 1 sachet oralit
KCl 0,3 g = 1 gelas
Trisodium sitrat Air matang (200 ml)
dihidrat 0,58 g
Glukosa anhidrat
2,7 g
PATOFISIOLOGI PENYAKIT GASTROENTERITIS
Gejala :
Pada pasien anak ditanyakan secara jelas gejala diare:
1. Perjalanan penyakit diare yaitu lamanya diare berlangsung, kapan diare muncul
(saat neonatus, bayi, atau anak-anak) untuk mengetahui, apakah termasuk diare
kongenital atau didapat, frekuensi BAB, konsistensi dari feses, ada tidaknya darah
dalam tinja
2. Mencari faktor-faktor risiko penyebab diare
3. Gejala penyerta: sakit perut, kembung, banyak gas, gagal tumbuh.
4. Riwayat bepergian, tinggal di tempat penitipan anak merupakan risiko
untukdiare infeksi.
Prinsip pengobatan
1. Rehidrasi menggunakan Oralit osmolalitas rendah
Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah
tangga dengan memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak tersedia
berikan cairan rumah tangga seperti larutan air garam. Oralit saat ini yang
beredar di pasaran sudah oralit yang baru dengan osmolaritas yang rendah, yang
dapat mengurangi rasa mual dan muntah. Oralit merupakan cairan yang
terbaik bagi penderita diare untuk mengganti cairan yang hilang. Bila penderita
tidak bisa minum harus segera di bawa ke sarana kesehatan untuk mendapat
pertolongan cairan melalui infus. Pemberian oralit didasarkan pada derajat
dehidrasi (Kemenkes RI, 2011).
a. Diare tanpa dehidrasi
Umur < 1 tahun: ¼-½ gelas setiap
kali anak mencret (50–100 ml)
Umur 1-4 tahun: ½-1 gelas setiap kali
anak mencret (100–200 ml)
Umur diatas 5 Tahun: 1–1½ gelas setiap kali anak mencret (200–
300 ml)
b. Diare dengan dehidrasi ringan sedang Dosis oralit yang diberikan
dalam 3 jam pertama 75 ml/ kg bb dan selanjutnya diteruskan dengan
pemberian oralit seperti diare tanpa dehidrasi.
c. Diare dengan dehidrasi berat
Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera dirujuk ke
Puskesmas untuk diinfus.
Tabel 3.6 Kebutuhan Oralit per Kelompok Umur
Jumlah oralit yang diberikan tiap
Umur Jumlah oralit yang disediakan di rumah
BAB
< 12 bulan 50-100 ml 400 ml/hari (2 bungkus)
1-4 tahun 100-200ml 600-800 ml/hari (3-4 bungkus)
> 5 tahun 200-300 ml 800-1000 ml/hari (4-5 bungkus)
Dewasa 300-400 ml 1200-2800 ml/hari
3. Antibiotik Selektif
DIAGNOSIS
1. Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis (BAB cair lebih dari 3 kali sehari)
dan pemeriksaan fisik (ditemukan tanda-tanda hipovolemik dan pemeriksaan
konsistensi BAB). Untuk diagnosis defenitif dilakukan pemeriksaan penunjang.
2. Diagnosis Banding
Demam tifoid, Kriptosporidia (pada penderita HIV), Kolitis pseudomembran.
BAB V
KESIMPULAN
Dari praktikum pelayanan kefarmasian pada penyakit infeksi kali ini yang
permasalahan terkait penggunaan obat berdasarkan keluhan pasien dan obat yang
telah diresepkan dokter. Selain itu juga, prinsip-prinsip terapi pengobatan pada
setiap kasus diberikan edukasi kepada pasien. Untuk obat-obat yang telah
diresepkan, kita analisis terlebih dahulu semuanya apakah obat satu dengan obat
maka, nanti akan terjadi pula DRP’s atau Drug Related Problem pasien.