Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KUASA DAN GUGATAN

(Tugas ini guna memenuhi tugas mata kuliah bantuan hukum dan advokasi)

DOSEN PENGAMPU : RIZKI SILVIA PUTRI, M.H

Disusun oleh :

Kelompok 7

1. Handryansyah (2021030256)
2. Ica Karolin (2021030236)
3. Nisa Anggraini (2021030105)

HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

TA 2023 M / 1444 H
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT hingga saat ini masih memberikan
nafas kehidupan dan anugerah yang tak terhingga, sehingga kami dapat
menyelesaikan pembuatan makalah ini dengan judul “Kuasa dan Gugatan”

Makalah ini dibuat untuk menyelesaikan tugas Mata Kuliah Etika Bisnis
dan Profesi dalam Islam yang diberikan oleh Ibu Rizki Silvia Putri, S.H. selaku
Dosen pengajar, juga untuk lebih memperluas pengetahuan para pembaca
khususnya bagi penulis.

Penulis telah berusaha untuk dapat menyusun makalah ini dengan baik,
namun penulis pun menyadari bahwa kami memiliki akan adanya keterbatasan
kami sebagai manusia biasa. Oleh karna itu jika didapati adanya kesalahan-
kesalahan baik dari segi teknik penulisan, maupun dari isi, maka kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.

Akhir kata penulis berharap, semoga makalah ini dapat memberi


manfa’at bagi semua pihak, penulis pada khususnya dan pembaca pada
umumnya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Bandar Lampung, 14 Maret 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.2 Rumusan Makalah
1.3 Tujuan Makalah

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kuasa
1. Pengertian Kuasa
2. Jenis Jenis Kuasa
3. Berakhirnya Kuasa
B. Gugatan
1. Pengertian Gugatan
2. Jenis Jenis Gugatan
3. Berakhirnya Gugatan

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di dalam masarakat sering terjadi perkara-perkara perdata yang


melibatkan dua pihak atau lebih. Ketika menghadapi masalah perdata, kita dapat
mengajukan surat kuasa dan gugatan perdata kepada pengadilan setempat.

Padahal surat kuasa sangatlah penting dalam lembaga-lembaga, baik


lembaga peradilan dan lembaga hukum. Penggunaan surat kuasa saat ini sudah
sangat umum di tengah masyarakat untuk berbagai keperluan. Pada awalnya
konsep surat kuasa hanya dikenal dalam bidang hukum dan digunakan untuk
keperluan suatu kegiatan yang menimbulkan akibat hukum, namun akhirnya surat
kuasa mengalami perkembangan dan bahkan sudah digunakan untuk berbagai
keperluan sederhana dalam berbagai bidang dalam kehidupan masyarakat. Dan
apabila surat kuasanya tidak dipenuhi menurut peraturan perundang-undangan
maka surat kuasa tersebut dianggap tidak sah dan menimbulkan gugatan tidak
diterima. Keadaan ini menimbulkan kergian bagi penggugat

Surat gugatan memuat pihak penggugat dan tergugat, rincian


permasalahan, perihal yang digugat, dan informasi lain yang penting untuk
disampaikan berkenaan dengan kasus perdata yang dihadapi. Rincian
permasalahan hendaknya dipaparkan seakurat mungkin agar tidak terjadi
kesalahpahaman.

1.2 Rumusan Makalah

Melihat Latar belakang yang telah disampaikan di atas telah kita sadari
bahwa Persepsi mengenai kuasa dan gugatan sangatlah penting dan masih
banyaknya masyarakat yang kurang mengetahui cakupan terkait hal itu sendiri,
misalnya :
1 Apa yang dimaksud kuasa dan gugatan ?
2 Apa saja jenis jenis kuasa dan gugatan ?
3 Bagaimana berakhirnya kuasa dan gugatan ?

1.3 Tujuan Makalah

Makalah yang akan di buat penulis ini merujuk kembali berdasarkan


dari rumusan masalah di atas dimana semata – mata bertujuan demi menambah
pengetahuan yaitu :

1 Agar dapat memahami kuasa dan gugatan


2 Agar dapat mengetahui jenis jenis kuasa dan gugatan
3 Agar dapat mengetahui berakhirnya kuasa dan gugatan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kuasa
1. Pengertian Kuasa

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga yang


dikeluarkan Balai Pustaka, menyatakan definisi kuasa adalah yang berisi tentang
pemberian kuasa kepada seseorang untuk mengurus sesuatu. Dalam bahasa
inggris kuasa disebut dengan power yang berarti daya, kekuatan atau wewenang.
Dan dalam bahasa belanda diistilahkan dengan gezag dan macht, yang
menunjukkan arti kuasa itu sendiri.1

Adapun pengertian kuasa , dapat dirujuk pasal 1792 KUH Perdata, yang
berbunyi: “Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang
memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk dan atas
namanya menyelenggarakan suatu urusan.”

Bertitik tolak dari ketentuan pasal tersebut, dalam perjanjian kuasa, terdapat
dua pihak, yang terdiri dari:

1. Pemberi kuasa atau lastgever (instruction mandalate)


2. Penerima kuasa atau disingkat kuasa, yang diberi perintah atau mandat
melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.

Lembaga hukumnya disebut pemberian kuasa atau lastgeving (volmacht,


full power), jika

1. Pemberi kuasa melimpahkan perwakilkan atau mewakilkan kepada


penerima kuasa untuk mengurus kepentingannya, sesuai dengan fungsi
dan kewewenang yang ditentukan dalam surat kuas;

1
Frans Satriyo Wicaksono, Panduan Lengkap Membuat Surat Surat Kuasa, Cet-1,
(Jakarta: Visimedia, 2009) Hlm 1-2, Google Books, Diakses Pada 14 Maret 2023.
2. Dengan demikian, penerima kuasa (lasthebber, mandatory) berkuasa
penuh bertindak mewakili pemberi kuasa terhadap pihak ketiga untuk dan
atas nama pemberi kuasa;
3. Oleh karena itu, pemberi kuasa bertanggung jawab atas segala perbuatan
kuasa sepanjang perbuatan yang dilakukan kuasa tidak melebihi
wewenang yang diberi pemberi kuasa.

Pada dasarnya, pasal pasal yang mengatur pemberian kuasa, tidak bersifat
imperatif. Apabila para pihak menghendaki, dapat disepakati selain yang
digariskan dalam undang-undang. Misalnya, para pihak dapat menyepakati agar
pemberian kuasan tida dapat dicabut kembali (irrevocabbl). Hal ini
dimungkinkan, karena pada umumnya pasal-pasal hukum perjanjian, bersifat
mengatur (aanvullend recht).

2. Jenis - Jenis Kuasa

Pada bagian ini, dijelaskan secara ringkas jenis kuasa yang diatur dalam
undang- undang. Penjelasan ini berkenaan dengan surat kuasa yang dapat
dipergunakan dalam sidang pengadilan.

a. Kuasa umum

Kuasa umum diatur dalam pasal 1795 KUH Perdata. Menurut pasal ini,
kuasa umum bertujuan memberi kuasa kepada seseorang untuk mengurus
kepentingan pemberi kuasa, yaitu

1. Melakukan tindakan pengurusan harta kekayaan pemberi kuasa;


2. Pengurusan itu, meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan
kepentingan pemberi kuasa atas harta kekayaannya;
3. Dengan demikian titik berat kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau
tindakan pengurusan kepentingan pemberi kuasa.

Dengan demikian, dari segi hukum, kuasa umum adalah pemberian kuasa
mengenai pengurusan, yang disebut beherder atau manajer untuk mengatur
kepentingan pemberi kuasa. Oleh karena itu, ditinjau dari segi hukum, surat kuasa
umum, tidak dapat dipergunakan di depan pengadilan untuk mewakili pemberi
kuasa. Sebab, sesuai dengan ketentuan Pasal 123 HIR, untuk dapat tampil di
depan pengadilan sebagai wakil pemberi kuasa, Penerima Kuasa harus mendapat
surat kuasa khusus. Hal ini ditegaskan dalam Putusan PT Bandung No. 149/1972
(2-8- 1972), bahwa seorang manajer yang bertindak untuk dan
atas nama perseroan terbatas (PT) berdasarkan surat kuasa Direktur PT, tidak
dapat mengajukan gugatan di Pengadilan, karena surat kunsa itu hanya bersifat
umum untuk mengurus dan bertindak bagi kepentingan PT tersebut, bukan Surat
Kuasa Khusus sebagaimana yang dimaksud Pasal 123 HIR

b. Kuasa Khusus

Pasal 1795 KUH Perdata menjelaskan, pemberian kuasa dapat dilakukan


secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Bentuk
inilah yang menjadi landasan pemberian kuasa untuk bertindak di depan
pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa sebagai pihak principal. Namun,
agar bentuk kuasa yang disebut dalam pasal ini sah sebagai surat kuasa khusus di
depan pengadilan, kuasa tersebut harus disempurnakan terlebih dahulu dengan
syarat-syarat yang disebut dalam Pasal 123 HIR.

Jadi, kalau tindakan khusus yang dilimpahkan kepada kuasa tidak


dimaksudkan untuk tampil mewakili pemberi kuasa di depan pengadilan, tidak
diperlukan syarat tambahan, cukup berpedoman pada ketentuan yang digariskan
Pasal 1795 KUH Perdata. Misalnya, kuasa untuk melakukan penjualan rumah,
Kuasa itu merupakan kuasa khusus, terbatas hanya untuk menjual rumah. Akan
tetapi, meskipun bersifat kuasa khusus, kuasa itu tidak dapat dipergunakan untuk
tampil di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa. Alasannya sifat
khusus yang dimilikinya bukan untuk tampil di pengadilan, tetapi hanya untuk
menjual rumah.

c. Kuasa Istimewa
Pasal 1796 KUH Perdata mengatur perihal pemberian kuasa istimewa.
Selanjutnya, ketentuan pemberian kuasa istimewa dapat dikaitkan dengan
ketentuan Pasal 157 HIR atau Pasal 184 RBG. Jika ketentuan pasal-pasal ini
dirangkai, diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kuasa tersebut sah
menurut hukum sebagai kuasa istimewa.

1. Bersifat Limitatif

Kebolehan memberi kuasa istimewa hanya terbatas untuk tindakan tertentu


yang sangat penting. Pada prinsipnya, perbuatan hukum yang bersangkutan hanya
dapat dilakukan oleh pemberi kuasa sendiri. Jadi pada dasarnya, pembuatan
tersebut tidak dapat dilakukan oleh kuasa berdasarkan surat kuasa biasa. Untuk
menghilangkan ketidakbolehan itu, dibuatlah bentuk kuasa istimewa sehingga
suatu tindakan yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang bersangkutan secara
pribadi, dapat diwakilkan kepada kuasa. Tentang lingkup tindakan yang dapat
diwakilkan berdasarkan kuasa istimewa, hanya terbatas:

a) untuk memindahtangankan benda-benda milik pemberi kuasa, atau


untuk meletakkan hipotek (hak tanggungan) di atas benda tersebut,
b) untuk membuat perdamaian dengan pihak ketiga,
c) untuk mengucapkan sumpah penentu (decisoir eed) atau sumpah
tambahan (suppletoir eed) sesuai dengan ketentuan Pasal 157 HIR atau
Pasal 184 RBG

Menurut pasal ini, yang dapat mengucapkan sumpah sebagai alat bukti,
hanya pihak yang beperkara secara pribadi. Tidak dapat diwakilkan kepada kuasa.
Akan tetapi, dalam keadaan yang sangat penting, misalnya pihak yang beperkara
sakit sehingga tidak dapat hadir.

i. hakim dapat memberi izin kepada kuasa untuk mengucapkannya,


ii. untuk itu, kuasa diberi kuasa istimewa oleh principal, dan principal
menyebut dengan jelas bunyi sumpah yang akan diucapkan kuasa.
2. Harus Berbentuk Akta Otentik
Menurut Pasal 123 HIR, surat kuasa istimewa hanya dapat diberikan
dalam bentuk surat yang sah. R. Soesilo' menafsirkannya dalam bentuk akta
otentik (akta notaris). Pendapat ini diterima secara umum oleh praktisi hukum.
Oleh karena itu, agar pemberian kuasa istimewa sah menurut hukum, harus dibuat
dalam bentuk akta notaris. Dalam akta itu ditegaskan dengan kata-kata yang jelas,
mengenai tindakan apa yang hendak dilakukan kuasa.

d. Kuasa Perantara

Kuasa perantara disebut juga agen (agent). Kuasa ini dikonstruksi


berdasarkan pasal 1792 KUH Perdata, dan pasal 62 KUHD yang dikenal dengan
agen perdagangan (commercial agency) atau makelar. Disebut juga broker dan
factor tetapi lazim disebut “perwakilan dagang”.

Dalam hal ini, pemberi kuasa sebagai principal memberi perintah


instruction kepada pihak kedua dalam kedudukannya sebagai agen atau
perwakilan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dengan pihak ketiga. Apa
yang dilakukan agen, langsung mengikat kepada principal, sepanjang hal itu tidak
bertentangan atau melampaui batas kewenangan yang diberikan.

3. Berakhirnya Kuasa

Pasal 1813 KUH Perdata, membolehkan berakhirnya perjanjian kuasa


secara sepihak atau unilateral. Ketentuan ini secara diametral bertentangan dengan
Pasal 1338 KUH Perdata ayat (2) yang menegaskan, persetujuan tidak dapat
ditarik atau dibatalkan secara sepihak, tetapi harus berdasarkan kesepakatan kedua
belah pihak (secara bilateral).

Hal-hal yang dapat mengakhiri pemberian kuasa menurut Pasal 1813 KUH
Perdata.

a. Pemberi Kuasa Menarik Kembali secara Sepihak

Ketentuan penarikan atau pencabutan kembali (revocation, herroepen) kuasa oleh


pemberi kuasa, diatur lebih lanjut dalam Pasal 1814 KUH Perdata dan seterusnya,
dengan acuan:
1) pencabutan tanpa memerlukan persetujuan dari penerima kuasa;
2) pencabutan dapat dilakukan secara tegas dalam bentuk:
(1) mencabut secara tegas dengan tertulis, atau
(2) meminta kembali surat kuasa, dari penerima kuasa
3) pencabutan secara diam-diam, berdasarkan Pasal 1816 KUH Perdata.
Caranya, pemberi kuasa mengangkat atau menunjuk kuasa baru untuk
urusan yang sama. Tindakan itu berakibat, kuasa yang pertama,
terhitung sejak tanggal pemberian kuasa kepada kuasa yang baru,
ditarik kembali secara diam-diam.

Sehubungan dengan pencabutan secara sepihak, ada baiknya dilakukan


secara terbuka, dengan jalan memberitahukan atau mengumumkannya. Cara yang
demikian, memberi perlindungan hukum kepada pemberi kuasa maupun kepada
pihak ketiga, karena sejak itu, setiap tindakan yang dilakukan kuasa untuk dan
atas nama pemberi kuasa, tidak sah dan dianggap melawan hukum, sehingga tidak
dapat dipertanggungjawabkan kepada pemberi kuasa. Sebaliknya jika pencabutan
tidak terbuka, semua tindakan hukum yang dilakukannya dengan pihak ketiga
yang beriktikad baik, tetap mengikat kepada pemberi kuasa.

b. Salah Satu Pihak Meninggal

Pasal 1813 KUH Perdata menegaskan, dengan meninggalnya salah satu


pihak dengan sendirinya pemberian kuasa berakhir demi hukum. Hubungan
hukum perjanjian kuasa, tidak berlanjut kepada ahli waris. Jika hubungan itu
hendak diteruskan oleh ahli waris, harus dibuat surat kuasa baru. Paling tidak, ada
penegasan tertulis dari ahli waris yang berisi pernyataan, melanjutkan persetujuan
pemberian kuasa dimaksud.

c. Penerima Kuasa Melepas Kuasa

Pasal 1817 KUH Perdata, memberi hak secara sepihak kepada kuasa untuk
melepaskan (op zegging) kuasa yang diterimanya, dengan syarat:

i. harus memberitahu kehendak pelepasan itu kepada pemberi kuasa;


ii. pelepasan tidak boleh dilakukan pada saat yang tidak layak.
Ukuran tentang ini, didasarkan pada perkiraan objektif, apakah pelepasan
itu dapat menimbulkan kerugian kepada pemberi kuasa.

d. Dapat Disepakati Kuasa Mutlak

Untuk menghindari ketidakpastian pemberian kuasa, dihubungkan dengan hak


pemberi kuasa untuk dapat mencabut secara sepihak pada satu sisi, serta hak
penerima kuasa untuk melepas secara sepihak pada sisi lain, lalu lintas pergaulan
hukum telah memperkenalkan dan membenarkan pemberian kuasa mutlak.
Perjanjian kuasa seperti ini, diberi judul "kuasa mutlak", yang memuat klausul:

I. pemberi kuasa tidak dapat mencabut kembali kuasa yang diberikan


kepada penerima kuasa;
II. meninggalnya pemberi kuasa, tidak mengakhiri perjanjian pemberian
kuasa.

Kedua bentuk klausul di atas, merupakan ciri terciptanya persetujuan


kuasa mutlak. Klausul itu, menyingkirkan ketentuan Pasal 1813 KUH Perdata,
sehingga ada yang berpendapat, persetujuan kuasa mutlak bertentangan dengan
hukum. Akan tetapi, pendapat itu dikesampingkan dalam praktik peradilan yang
membenarkan persetujuan yang demikian. Diperbolehkannya membuat
persetujuan kuasa mutlak, bertitik tolak dari prinsip kebebasan berkontrak
(freedom of con- tract) yang digariskan Pasal 1338 KUH Perdata. Asas ini
menegaskan, para pihak bebas mengatur kesepakatan yang mereka kehendaki,
sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Pasal 1337 KUH Perdata, yaitu
kesepakatan itu tidak mengandung hal yang dilarang (prohibition) oleh undang-
undang atau berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum (morals and
public order).

Pendapat dan pendirian itu, dipedomani yurisprudensi. Salah satu di


antaranya, Putusan MA No. 3604 K/pdt/1985. Putusan ini merupakan penegasan
ulang atas pertimbangan hukum yang dikemukakan dalam Putusan MA No. 731
K/Sip/1975, yang antara lain menyatakan:
1) surat kuasa mutlak, tidak dijumpai aturannya dalam KUH Perdata. Namun
demikian, yurisprudensi mengakui keberadaannya sebagai suatu syarat
yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, atau menurut kebiasaan
selamanya diperjanjikan (bestendig gebruikelijk beding) atau disebut juga
perpenial and usual or customary condition;
2) Putusan MA No. 731K/Sip/1975 telah menegaskan ketentuan Pasal 1813
KUH Perdata, tidak bersifat limitatif dan juga tidak mengikat. Oleh karena
itu, jika para pihak dalam perjanjian menghendaki, dapat
disepakati agar pemberian kuasa tidak dapat dicabut kembali (irrevocable,
onherroeplijk). Pendirian ini, didasarkan pada doktrin bahwa pasal-pasal
hukum perjanjian adalah hukum yang bersifat mengatur (additional law);
3) begitu juga meninggalnya pemberi kuasa dikaitkan dengan surat kuasa
mutlak, telah diterima penerapannya di Indonesia sebagai sesuatu yang
telah bestendig, sehingga dianggap tidak bertentangan dengan Pasal 1339
dan Pasal 1347 KUH Perdata.

Akan tetapi, perlu diingat larangan yang dimuat dalam Instruksi Mendagri
No. 14 Tahun 1982. Notaris dan PPAT dilarang memberi surat kuasa mutlak
dalam transaksi jual beli tanah. Pemilik tanah dilarang memberi kuasa mutlak
kepada kuasa untuk menjual tanah miliknya. Alasan larangan itu, dijelaskan
dalam Putusan MA No. 2584 K/Pdt/1986 (14-4-1988), yang mengatakan: surat
kuasa mutlak, mengenai jual beli tanah, tidak dapat dibenarkan karena dalam
praktik sering disalahgunakan untuk menyelundupkan jual beli tanah.2

B. Gugatan
1. Pengertian Gugatan

Surat gugatan dalam arti luas dan abstrak mempunyai satu tujuan ialah
menjamin terlaksananya tertib hukum dalam bidang perdata, sedangkan dalam arti
sempit adalah suatu tata cara untuk memperoleh perlindungan hukum dengan
bantuan Penguasa, suatu tata cara yang mengandung suatu tuntutan oleh seseorang

2
M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Cet -16, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016)
Hlm.1 -8
tertentu melalui saluran-saluran yang sah, dan dengan suatu putusan hakim ia
memperoleh apa yang menjadi "haknya" atau kepentingan yang diperkirakan
sebagai haknya.3

Gugatan adalah suatu tuntutan seseorang atau beberapa orang selaku


penggugat yang berkaitan dengan permasalahan perdata yang mengandung
sengketa antara dua atau lebih yang diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri
dimana salah satu pihak sebagai penggugat untuk menggugat pihak lain sebagai
tergugat. Perkataan contentiosa, berasal dari bahasa latin yang berarti penuh
semangat bertanding atau berpolemik. Itu sebabnya penyelesaian perkara yang
mengandung sengketa, disebut yuridiksi contentiosa, yaitu kewenangan peradilan
yang memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah persengketaa antara
pihak yang bersengketa.

Menurut Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata Pasal 1 angka


(2), gugatan adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan diajukan ke
pengadilan untuk mendapatkan putusan. Menurut Sudikno Mertokusumo, tuntutan
hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan yang diberikan
oleh pengadilan untuk mencegah main hakim sendiri (eigenrichtin).

Menurut Penulis dalam Hukum Acara Perdata Di Indonesia berpendapat


bahwa gugatan adalah suatu tuntutan yang disampaikan kepada ketua pengadilan
negeri yang berwenang oleh seseorang mengenai suatu hal akibat adanya
persengketaan dengan pihak lainnya yang kemudian mengharuskan hakim
memeriksa tuntutsn tersebut menurut tata cara tertentu yang kemudian melahirkan
keputusan terhadap gugatan tersebut.4

2. Jenis-Jenis Gugatan

3
John Z., Loudoe, Beberapa Aspek Hukum Material Dan Hukum Acara Dalam Praktek,
Jakarta: PT Bina Aksara, 1981, Hal. 162-163.
4
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Cet-3, (Jakarta: Prenadamedia
Grup, 2013) Hlm 19, Google Books, Diakses Pada 14 Maret 2023.
Berikut beberapa Jenis-Jenis gugatan dalam perkara perdata,yaitu : 5

1. Gugatan Permohonan (Voluntair)


Gugatan voluntair adalah permasalahan perdata yang diajukan
dalam bentuk permohonan. Sebagaimana sebutan voluntair
dapat dilihat dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
No. 14 Tahun 1970 (diubah dengan Undang-Undang No. 35
Tahun 1999) yang menyatakan : “ Penyelesaian setiap perkara
yang diajukan kepada badan-badan perdilan mengandung
pengrtian di dalamnya penyelesaian masalah yang bersangkutan
dengan yuridiksi voluntair ”6

Ciri-ciri gugatan voluntair diantaranya adalah :


a. Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata.
b. Gugatan atau permohonan ini adalah tanpa sengketa.
c. Tidak ada pihak lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai
lawan.
d. Para pihak disebut Pemohon dan Termohon.

2. Gugatan (Contentius)

Gugatan contentious adalah suatu permasalahan perdata yang


berbentuk gugatan. Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang Undang
No. 14 Tahun 1970 (diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun
1999), tugas dan wewenang peradilan selain menerima gugatan
voluntair namun juga menyelesaikan gugatan contentious.

Ciri-ciri gugatan contentious diantaranya adalah :


a. Masalah yang diajukan adalah penuntutan
suatu hak atas sengketa antara seseorang
5
M. Yahya Harahap, Hukum, Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Hal. 28-137
6
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II, MA RI: Jakarta,

April 1994, hal. 110


atau badan hukum dengan seseorang atau
badan hukum yang lain.
b. Adanya suatu sengketa dalam gugatan ini.
c. Terdapat lawan atau pihak lain yang bisa
ikut diseret dalam gugatan Ini.
d. Para pihak disebut penggugat dan tergugat.

Berakhirnya Gugatan

Anda mungkin juga menyukai