Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

SURAT KUASA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kuliah


Mata Kuliah : Hukum Acara Perdata

Dosen Pembimbing :
SITI RAHMA, SH.,MH

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 2

RAHMAT DIAN NIM : 2135069


MARIAS MUHAMMAD NIM : 2135081
HANDY AFRIANTO NIM : 2135032
REZKI TAMBUSAI NIM : 2135034
RUDI HARTONO NIM : 2135027

SEMESTER V
NON REGULER
FAKULTAS ILMU HUKUM
UNIVERSITAS PASIR PENGARAIAN
ROKAN HULU
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang
berjudul : “Surat Kuasa” untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Acara
Perdata.
Kami telah menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya dan semaksimal
mungkin. Namun tentunya sebagai manusia biasa tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan. Harapan kami, semoga bisa menjadi koreksi di masa mendatang agar
lebih baik lagi dari sebelumnya.

Kami juga mengucapkan mohon maaf atas segala kekurangan dalam


penulisan makalah ini. Baik dalam penyajian data, bahasa maupun sistematika
pembahasannya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan guna kesempurnaan yang akan datang. Kami berharap, semoga makalah
ini berkontribusi nyata dan bermanfaat dalam meningkatkan pendidikan di
indonesia serta menjadi ilmu pengetahuan dengan mempelajarinya.

Pasir Pengaraian, 6 November 2023

Penulis

[i]
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL
LEMBAR PENGESAHAN

Kata Pengantar ............................................................................................. i


Daftar Isi ...................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 3
1.3 Tujuan ................................................................................................... 3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Surat Kuasa........................................................................... 4
2.2 Jenis Surat Kuasa ................................................................................... 7
2.3 Bentuk Kuasa Didepan Pengadilan ...................................................... 9
2.4 Berakhirnya Surat Kuasa ....................................................................... 14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan ............................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA

[ii]
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Didalam Kehidupan masyarakat yang serba kompleks setiap individu
mempunyai aneka ragam warna kepentingan yang harus dipenuhi dalam rangka
memenuhi kebutuhan, oleh karenanya mereka saling berhubungan atau saling
kontak satu dengan yang lain diantara mereka. Untuk mencapai keadaan yang
diinginkan maka diadakanlah suatu transaksi berdasarkan dengan kata sepakat dan
kehendak bersama, seperti jual beli tanah, hutang-piutang dan lain-lain. Akan
tetapi adakalanya kepentingan-kepentingan yang beraneka ragam itu saling
berbenturan, yang pada akhirnya menimbulkan akses-akses sengketa di muka
pengadilan. Untuk menghindari fenomena atau gejala-gejala yang timbul sebagai
akibat perilaku yang menyimpang mereka berusaha untuk mengatasinya dengan
cara menjauhkan diri atau mengalah, sedangkan dilain pihak berusaha untuk tetap
mempertahankan dan melindungi haknya yang terlanggar tersebut.
Pemberian kuasa secara sosiologis dapat dikatakan sebagai lembaga yang
terbentuk didalam kehidupan kemasyarakatan, yang kemudian dituangkan dalam
peraturan yang disahkan negara atau dalam Undang-Undang. Sebagai suatu
lembaga, pemberian kuasa dapat disejajarkan dengan hak milik, jual beli, dan
lain-lain yang kesemuanya itu tumbuh sebagai suatu kebiasaan yang ada dalam
masyarakat.
Surat Kuasa Mutlak adalah surat kuasa yang dibuat dimuka notaris, dengan
tujuan untuk menghindari ketidakpastian pemberian kuasa, yang dihubungkan
dengan hak pemberi kuasa untuk dapat mencabut secara sepihak pada satu sisi,
serta hak penerima kuasa untuk melepas secara sepihak pada sisi lain. Lalu lintas
pergaulan hukum telah memperkenalkan dan membenarkan pemberian kuasa,
yang disebut dengan kuasa mutlak.1
Surat kuasa biasa disebut sebagai bentuk pernyataan perwakilan pihak yang
berwenang kepada pihak yang berwenang kepada pihak yang diberi kuasa.

1
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), h.5

[1]
Dengan kata lain bahwa surat ini menjadi bentuk perwakilan atau pelimpahan
wewenang dari pihak yang berhak kepada orang lain. Pembuatan surat ini tidak
bisa sembarangan, karena harus benar-benar memastikan bahwa pemilik kuasa
benar-benar tidak bisa melakukan kegiatan tersebut.
Pemberian kuasa tentunya juga kepada pihak yang dipercayai serta dirasa
mampu bertanggung jawab terhadap pemberian hak tersebut. Oleh karena itu,
maka pembuatan surat haruslah menyatakan keadaan yang sesungguhnya dan
memberikan informasi yang benar sesuai dengan fakta. Pembuatan surat tentunya
tidak bisa sembarangan, karena menyangkut informasi dan berkaitan dengan hal
yang penting.
Surat kuasa yang dibuat berisi tentang informasi yang berkaitan dengan
pemberian wewenang pada pihak terkait, pihak terkait yang dimaksud adalah
pihak yang diberi wewenang atau kuasa untuk melakukan hal tersebut. Hal ini
menjadikan surat kuasa sebagai bukti atau pernyataan bahwa orang tersebut telah
diberi izin dan tugas melakukan wewenang tersebut. Pembuatan surat kuasa akan
memudahkan suatu kegiatan atau aktivitas tetap dapat berjalan walaupun pihak
utamanya tidak bisa hadir atau melakukan kegiatan tersebut. Sehingga dalam hal
ini tidak akan menganggu proses kegiatan yang berjalan.
Perjanjian Pemberian Kuasa telah dikenal sejak abad pertengahan, yang
dalam hukum Romawi disebut mandatum. Manusia berarti tangan dan datum
memiliki pengertian memberikan tangan. Pada mulanya mandantum dilakukan
karena pertemanan, dan dilakukan secara cuma-cuma. Baru kemudian dapat
diberikan suatu honararium yang bersifat bukan pembayaran tapi lebih bersifat
penghargaan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh si penerima mandatum.2
Dasar Hukum tentang pemberian kuasa diatur dalam KUHPerdata (wetbook
voor Indonesia) Pasal 1792 yang berbunyi (pemberian kuasa adalah suatu
perjanjian dengan masa seseorang memberikan kekuasaan kepada seseorang lain,
yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan).3

2
Herlien Budiono, Perwakilan, Kuasa dan Pemberian Kuasa, Majalah Renvoi, Nomor 6.42.IV, 3
November 2006, Hal.68.
3
R.Subekti dan R.Tjitrudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , Pradya Paramita, Jakarta,
1999, hlm.457

[2]
1.2. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Surat Kuasa ?
2. Apa Saja Jenis-Jenis Surat Kuasa ?
3. Bagaimana Bentuk Kuasa Didepan Pengadilan ?
4. Apa Penyebab Berakhirnya Surat Kuasa ?

1.3. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Arti dari Surat Kuasa
2. Untuk Mengetahui Jenis-Jenis Surat Kuasa
3. Untuk Mengetahui Bentuk Kuasa Didepan Pengadilan
4. Untuk Mengetahui Penyebab Berakhirnya Surat Kuasa

[3]
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Surat Kuasa


Surat Kuasa pada umumnya telah diatur dalam Bab XVI, Buku III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (BW) Pasal 1792 s/d 1819, sedangkan secara
khusus telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yaitu sebagaimana pada Pasal
123 HIR/147 Rbg.
Pengertian Surat Kuasa sebagaimana Pasal 1972 KUHPerdata, berbunyi
bahwa : “Pemberian Kuasa adalah suatu persetujuan dengan nama seorang
memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas
namanya menyelenggarakan suatu urusan”.
Dari Pasal tersebut, ada dua pihak yaitu pemberi kuasa dan penerima kuasa,
keduanya telah mengadakan persetujuan, pemberi kuasa memberikan atau
melimpahkan sesuatu urusannya kepada pihak penerima kuasa untuk melakukan
sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa, sesuai dengan fungsi dan
kewenangan yang telah ditentukan dalam surat kuasa tersebut, hal mana penerima
kuasa bertanggung jawab melakukan perbuatan sepanjang yang dikuasakan dan
tidak melebihi kewenangan yang diberikan dari pemberi kuasa.
Sebagai suatu perjanjian, surat kuasa harus memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu ada kesepakatan,
kecakapan para pihak, dalam hal tertentu dan sebab yang halal.
Surat Kuasa merupakan Dokumen untuk mengurus sesuatu yang diperlukan
oleh pemberi wewenang atas dasar hukum kepada penerima kuasa karena pemberi
kuasa tidak bisa melakukannya dengan sendiri.
Pemberi kuasa diatur oleh Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata). Definisi hukum surat kuasa adalah kontrak dimana
seseorang memberikan surat kuasa kepada orang lain yang telah menerima surat
kuasa untuk melakukan hal-hal atas nama orang tersebut.
Dasar hukum untuk surat kuasa umum diatur dalam Pasal 1796
KUHPerdata. Dan surat kuasa khusus diatur dalam Pasal 1795 KUHPerdata.

[4]
Sederhananya, surat kuasa adalah bukti untuk mewakili tindakan atas penerima
kuasa dari pemberi kuasa untuk menyelesaikan urusannya.
Secara umum, Surat Kuasa tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam
BAB ke XVI, Buku ke III KUHPerdata sedang aturan khususnya diatur dan
tunduk pada ketentuan hukum acara yang digariskan HIR dan RBG. Oleh karena
itu, perlu disinggung secara ringkas beberapa prinsip hukum pemberian kuasa,
yang dianggap berkaitan dengan kuasa khusus. 4 Untuk memahami pengertian
kuasa secara umum, dapat dirujuk Pasal 1792 KUHPerdata, yang berbunyi :
“Pemberian Kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan
kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya
menyelenggarakan suatu urusan.
Bertitik tolak dari ketentuan pasal tersebut, dalam perjanjian kuasa, terdapat
dua pihak, yang terdiri dari :
- Pemberi kuasa atau lastgever (instruction mandate)
- Penerima Kuasa atau disingkat kuasa, yang diberi perintah atau mandat
melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Lembaga hukumnya disebut pemberian kuasa atau lastgeving (volmacht, full
power), jika :
- Pemberi Kuasa melimpahkan perwakilan atau mewakilkan kepada
penerima kuasa untuk mengurus kepentingannya, sesuai dengan fungsi
dan kewenangan yang ditentukan dalam surat kuasa.
- Dengan demikian, penerima kuasa (lasthebber, mandatory) berkuasa
penuh, bertindak mewakili pemberi kuasa terhadap pihak ketiga untuk
dan atas nama pemberi kuasa
- Oleh karena itu, pemberi kuasa bertanggung jawab atas segala perbuatan
kuasa, sepanjang perbuatan yang dilakukan kuasa tidak melebihi
wewenang yang diberikan pemberi kuasa.
Pada dasarnya, pasal-pasal yang mengatur pemberi kuasa, tidak bersifat
imperatif. Apabila para pihak yang menghendaki dapat disepakati selain yang

4
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Gugatan Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan
Putusan Pengadilan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hlm.1

[5]
digariskan dalam Undang-Undang, misalkan, para pihak dapat menyepakati agar
pemberian kuasa tidak dapat dicabut kembali (irrevocable). Hal ini
memungkinkan, karena pada umumnya pasal-pasal hukum perjanjian, bersifat
mengatur (aanvullend recht).
Pemberi Kuasa atau lebih sering disebut dengan kuasa ialah suatu
persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain
yang menerimanya untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan (lihat
Pasal 1792 KUHPerdata)
Secara umum, surat kuasa dibuat saat seorang membutuhkan bantuan untuk
mengurus hal-hal berkenaan dengan keputusan hukum seperti keuangan, properti,
perawatan kesehatan, dan sebagainya. Seringkali sebagian orang menganggap
surat kuasa merupakan hal yang penting. Tetapi dalam pembuatan surat kuasa
tidak boleh asal sembarangan, karena surat kuasa memiliki format yang harus
diikuti dan berlaku secara umum.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyatakan bahwa definisi
kuasa sebagai “surat yang berisi tentang pemberian kuasa kepada seseorang untuk
mengurus sesuatu”.
Surat Kuasa adalah Surat yang berisi pelimpahan wewenang dari seseorang
atau pejabat tertentu kepada seseorang atau pejabat lain. Pelimpahan wewenang
dapat mewakili pihak yang memberi wewenang dalam urusan pribadi, bisnis,
ataupun masalah hukum.
Surat Kuasa adalah surat yang dibuat untuk memberikan kekuasaan
terhadap seseorang yang dapat dipercaya supaya bertindak mewakili orang yang
memberi kuasa karena orang yang memberi kuasa karena orang yang memberi
kuasa tidak dapat melaksanakan sendiri.
Menurut hukum, Surat Kuasa adalah suatu bentuk persetujuan dimana
seseorang memberikan wewenang kepada orang lain untuk melakukan suatu
urusan atas namanya. Dasar Hukum Surat Kuasa umum tercantum dalam Pasal
1796 KUHPerdata, sedangkan surat kuasa khusus tercantum dalam Pasal 1795
KUHPerdata.

[6]
Jadi, secara umum surat kuasa adalah sebuah dokumen yang memberikan
otoritas kepada pihak lain untuk melakukan tindakan hukum atas nama pemberi
wewenang. Ini dikarenakan pihak pemberi wewenang saat ini tidak mampu
melakukannya sendiri. Pihak lain ini dapat berupa pengacara, keluarga, atau
individu lain yang terkait.

2.2 Jenis-Jenis Surat Kuasa


Dalam KUHPerdata dikenal 2 jenis Surat Kuasa : yaitu, Surat Kuasa Umum
dan Surat Kuasa Khusus.
- Surat Kuasa Umum
Surat Kuasa Umum adalah pemberian kuasa yang hanya meliputi
perbuatan-perbuatan pengurusan, penghunian, atau pemeliharaan yang
bersifat umum. Contohnya : membayar rekening listrik, telepon, dll.
- Surat Kuasa Khusus
Surat Kuasa Khusus pemberian kuasa untuk satu atau dua perbuatan
tertentu. Dimana kuasa yang diberikan adalah mengenai hal yang hanya
dapat dilakukan oleh si pemberi kuasa. Contohnya : Kuasa menyewakan
rumah, mengakhiri sewa atau melakukan pengalihan terhadap barang
bergerak atau tidak bergerak.
Pada dasarnya dapat diketahui bahwa dari segi cara merumuskan dan
tujuannya, surat kuasa dibedakan kepada beberapa jenis surat kuasa yaitu :
a) Surat Kuasa Umum
Surat Kuasa Umum yaitu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1796
KUHPerdata menyatakan “Pemberian Kuasa yang dirumuskan secara
umum hanya meliputi tindakan-tindakan yang menyangkut pengurusan.
Untuk memindahtangankan barang atau meletakkan hipotek di atasnya,
untuk membuat suatu perdamaian, ataupun melakukan tindakan lain
yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu
pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas”. Titik berat kuasa
umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan pengurusan kepentingan
pemberi kuasa.

[7]
b) Surat Kuasa Khusus
Dalam surat kuasa ini, pemberian kuasa dilakukan secara khusus yaitu
hanya mengenai suatu kepentingan atau lebih yang diperinci secara
tegas. Bentuk inilah yang menjadi landasan pemberi kuasa untuk
bertindak di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa
sebagai pihak principal. Namun untuk dapat digunakan dalam
persidangan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan
surat kuasa khusus ini, tidak bisa hanya mengikuti ketentuan sesuai
dengan Pasal 123 HIR ayat (1) yang menyatakan bilamana dikehendaki,
kedua belah pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa, yang
dikuasakannya untuk melakukan itu dengan surat kuasa khusus, kecuali
kalau yang memberi kuasa itu sendiri hadir. Penggugat dapat juga
memberi kuasa itu dalam surat permintaan yang ditanda tanganinya dan
dimasukkan menurut ayat pertama pasal 118 atau jika gugatan
dilakukan dengan lisan menurut pasal 120, maka dalam hal terakhir ini,
yang demikian itu harus disebutkan dalam catatan yang dibuat surat
gugat ini. (Pasal 147 ayat (1) Rbg).
c) Surat Kuasa Istimewa
Surat Kuasa Istimewa diatur dalam Pasal 157 HIR (Pasal 187 Rbg),
yang menyatakan sumpah itu, baik yang diperintahkan oleh hakim,
maupun yang diminta atau ditolak oleh satu pihak lain, dengan sendiri
harus diangkatnya kecuali kalau ketua pengadilan negeri memberi izin
kepada satu pihak, karena sebab yang penting, akan menyuruh
bersumpah seorang wakil istimewa yang dikuasakan untuk mengangkat
sumpah itu, kuasa yang mana hanya dapat diberi dengan surat yang sah,
dimana dengan seksama dan cukup disebutkan sumpah yang akan
diangkat itu. Dari hal tersebut, kita bisa lihat bahwa surat kuasa ini baru
bisa digunakan dalam pengadilan apabila seseorang dalam melakukan
sumpah nya (perbuatan hukum lainnya) di pengadilan berhalangan
dengan sebab yang penting. Contohnya dalam kondisi sakit. Jadi,
tentang linkup tindakan yang dapat diwakilkan berdasarkan kuasa

[8]
istimewa, hanya terbatas. Surat kuasa istimewa ini memiliki dua syarat
untuk dianggap sah, yaitu bersifat terbatas (limitatif) dan bentuk akte
otentik.
d) Surat Kuasa Perantara
Surat Kuasa Perantara disebut juga agen (agent). Dalam hal ini pemberi
kuasa sebagai principal memberi perintah (instruction) kepada pihak
kedua dalam kedudukannya sebagai agen atau perwakilan untuk
melakukan perbuatan hukum tertentu dengan pihak ketiga. Apa yang
dilakukan agen, mengikat principal sebagai pemberi kuasa, sepanjang
tidak bertentangan atau melampaui batas kewenangan yang diberikan.
Kuasa ini berdasar dengan Pasal 1972 KUHPerdata yang mengatur
secara umum tentang surat kuasa, dan Pasal 62 KUHD yang
menyatakan makelar adalah pedagang perantara yang diangkat oleh
Gubernur Jenderal (dalam hal ini presiden) atau oleh penguasa yang
oleh Presiden dinyatakan berwenang untuk itu. Mereka
menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan
seperti yang dimaksud dalam pasal 64 dengan mendapat upah atau
provinsi tertentu, atas amanat dan atas nama orang-orang lain yang
dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja tetap. Sebelum
diperbolehkan melakukan pekerjaan, mereka harus bersumpah di depan
read van justitie dimana ia termasuk dalam daerah hukumnya, bahwa
mereka akan menunaikan kewajiban yang dibebankan dengan jujur.

2.3 Bentuk Kuasa di Depan Pengadilan


Bentuk Kuasa yang sah di depan Pengadilan untuk mewakili kepentingan
pihak yang berperkara, diatur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR. Berhak kuasa
tersebut di jelaskan dalam uraian berikut ini.
1. Kuasa Secara Lisan
Menurut Pasal 123 ayat (1) HIR (Pasal 147 ayat (1) RBG) serta Pasal 120
HIR, bentuk kuasa lisan terdiri dari :
a) Dinyatakan Secara Lisan Oleh Penggugat di Hadapan Ketua PN

[9]
Pasal 120 HIR memberikan hak kepada penggugat untuk mengajukan
gugatan secara lisan kepada Ketua PN. Apabila tergugat tidak pandai menulis
(buta aksara). Dalam kasus demikian bersamaan dengan pengajuan gugatan lisan
itu, penggugat dapat juga menyampaikan pernyataan lisan mengenai :
- Pemberian atau penunjukan kuasa kepada seseorang atau beberapa
orang tertentu
- Pernyataan pemberian kuasa secara lisan itu, disebutkan dalam catatan
gugatan yang dibuat oleh Ketua PN.
Apabila Ketua PN menerima gugatan secara lisan, dia wajib
memformulasikannya dalam bentuk gugatan tertulis. Sehubungan dengan itu,
berdasarkan Pasal 123 ayat (1) HIR, apabila gugatan lisan itu dibarengi dengan
pemberian kuasa, hal itu wajib dicatat atau dimasukkan Ketua PN dalam gugatan
tertulis yang dibuatnya.
Pada masa lalu, pengajuan gugatan maupun penunjukan kuasa secara lisan,
sering terjadi, tetapi pada masa belakangan ini, sangat jarang, seiring dengan
perkembangan masyarakat. Namun demikian, ketentuan ini mungkin masih
relevan menjembatani kesenjangan kecerdasan masyarakat yang terdapat di
daerah perdesaan.
b) Kuasa yang ditunjuk Secara Lisan di Persidangan
Bentuk ini tidak diatur secara jelas dalam Undang-Undang. Meskipun
demikian, secara implisit dianggap tersirat dalam Pasal 123 ayat (1) HIR.
Penunjukan kuasa secara lisan di sidang pengadilan pada saat proses pemeriksaan
berlangsung diperbolehkan, dengan syarat :
- Penunjukan secara lisan itu, dilakukan dengan kata-kata tegas (expressis
verbis)
- Selanjutnya, Majelis memerintahkan Panitera untuk mencatatnya dalam
berita acara sidang.
Penunjukan yang demikian dianggap sah dan memenuhi syarat formil
sehingga kuasa tersebut berwenang mewakili kepentingan pihak yang
bersangkutan dalam proses pemeriksaan. Hanya hakim yang bersikap
formalistis, yang kurang setuju dengan penerapan ini.

[10]
2. Kuasa Yang Ditunjuk Dalam Surat Gugatan
Penunjukan kuasa dalam surat gugatan diatur dalam Pasal 123 ayat (1)
HIR (Pasal 147 ayat (1) RBG). Cara penunjukan ini dikaitkan dengan Pasal 118
HIR (Pasal 142 RBG).
Menurut Pasal 118 ayat (1) HIR (Pasal 142 ayat (1) RBG), Gugatan
perdata diajukan secara tertulis dalam bentuk surat gugatan yang ditandatangani
oleh penggugat. Berdasarkan Pasal 123 ayat (1), penggugat dalam gugatan itu
dapat langsung mencantumkan dan menunjuk kuasa yang dikehendakinya untuk
mewakilinya dalam gugatan itu dapat langsung mencantumkan dan menunjuk
kuasa yang dikehendakinya untuk mewakilinya dalam proses pemeriksaan.
Penunjukan kuasa yang demikian, sah dan memenuhi syarat formil, karena Pasal
123 ayat (1), jo. Pasal 118 ayat (1) HIR, telah mengaturnya secara tegas. Dalam
Praktik, cara penunjukan seperti itu yang berkembang pada saat sekarang. Dalam
surat gugatan, dicantumkan kuasa yang akan bertindak mewakili penggugat.
Cuma percantuman dan penjelasan itu dalam surat gugatan didasarkan atas surat
kuasa khusus. Padahal menurut hukum, penunjukan kuasa dalam surat gugatan
tidak memerlukan syarat adanya surat kuasa khusus atau syarat formalitas lainnya.
Syaratnya, hanya mencantumkan penunjukan itu secara tegas dalam surat
gugatan.
3. Surat Kuasa Khusus
Pasal 123 ayat (1) HIR mengatakan, selain kuasa secara lisan atau kuasa
yang ditunjuk dalam surat gugatan, pemberian kuasa dapat diwakili oleh kuasa
dengan surat kuasa khusus atau bijzondere schriftelijke machtiging.
a) Syarat dan Formulasi Surat Kuasa Khusus
Pasal 123 ayat (1) HIR, hanya menyebutkan syarat pokoknya saja, yaitu
kuasa khusus berbentuk tertulis atau akta yang disebut surat kuasa khusus.
Memperhatikan ketentuan itu, pembuatan surat kuasa khusus sangat sederhana.
Cukup dibuat tertulis tanpa memerlukan syarat lain yang harus dicantumkan dan
dirumuskan di dalamnya. Itu sebabnya, pada masa lalu, surat kuasa khusus sangat
sederhana sekali. Cukup berisi pertanyaan penunjukan kuasa dari pemberi kuasa

[11]
yang berisi formulasi. “ memberi kuasa kepada seseorang untuk mewakili
pemberi kuasa menghadap di semua pengadilan”.
Ternyata, sejarah peradilan Indonesia menganggap syarat dan formulasi
surat kuasa khusus seperti itu, tidak tepat. Diperlukan penyempurnaan yang benar-
benar berciri surat kuasa khusus, yang dapat membedakannya dengan kuasa
umum. Penyempurnaan dan perbaikan itu, dilakukan MA melalui SEMA. Secara
kronologis, MA telah mengeluarkan beberapa SEMA yang mengatur syarat surat
khusus yaitu :
1) SEMA No. 2 Tahun 1959, Tanggal 19 Januari 1959
2) SEMA No. 5 Tahun 1962, Tanggal 30 Juli 1962
3) SEMA No. 1 Tahun 1971, Tanggal 23 Januari 1971
4) SEMA No. 6 Tahun 1994, Tanggal 14 Oktober 1994
b) Bentuk Formil Surat Kuasa Khusus
Berdasarkan Pasal 123 ayat (1) HIR, kuasa khusus harus berbentuk
tertulis (in writing). Itu sebabnya disebut surat kuasa khusus atau bijzondere
schriftelijke machtiging. Tidak mungkin kuasa khusus diberikan dalam bentuk
lisan (oral). Apakah Undang-Undang menentukan bentuk formal tertentu, tidak.
Pasal 123 ayat (1) HIR, hanya menyebut surat. Menurut hukum. Apabila
pengertian ini dihubungkan dengan ketentuan Pasal 123 ayat (1) HIR, Timbul
pertanyaan. Akta yang bagaimana, yang dianggap memenuhi syarat formil bentuk
surat kuasa khusus, jawabnya, Undang-Undang tidak menentukan bentuk tertentu.
Oleh karena itu, bentuknya disesuaikan dengan pengertian akta dalam arti luas.
Berdasarkan pengertian akta dimaksud, surat kuasa khusus dapat berbentuk antara
lain sebagai berikut.
1) Akta Notaris
Boleh berbentuk akta otentik, berupa akta notaris yang surat kuasa itu
dibuat dihadapan notaris yang dihadiri pemberi dan penerima kuasa. Perlu
diingatkan kembali. Bentuk surat kuasa khusus adalah adalah bebas (vrijvorm),
tidak mesti berbentuk akta otentik di hadapan notaris. Oleh karena itu, jangan
timbul anggapan jika tidak dibuat dalam bentuk akta notaris surat kuasa tidak sah.

[12]
Tidak demikian, Undang-Undang dan Praktik Peradilan tidak menharuskan surat
kuasa khusus mesti berbentuk akta otentik.
2) Akta yang Dibuat di Depan Panitera
Biasanya bentuk surat kuasa khusus ini adalah sebagai berikut :
- Dibuat di hadapan Panitera PN sesuai dengan kompetensi relatif.
Misalnya, perkara yang disengketakan menjadi kewenangan relatif PN
Pasir Pengaraian, maka pembuatannya dilakukan di hadapan Panitera
PN Pasir Pengaraian. Bahkan ada yang berpendapat, kalau
pembuatannya tidak sesuai dengan kompetensi relatif yang dimiliki
panitera, surat kuasa itu dianggap tidak sah. Pendapat ini dianggap
sangat sempit dan formalistis. Namun, untuk menghindari penerapan
seperti ini, perbuatannya lebih baik disesuaikan dengan kompetensi
relatif yang dimiliki panitera tersebut.
- Dilegalisir oleh Ketua PN atau Hakim.
Agar surat kuasa khusus yang dibuat di depan panitera sah sebagai
akta diperlukan legalisasi atau pengesahan dari ketua PN atau hakim
agar surat kuasa sah sebagai akta otentik.
Diberbagai daerah, terdapat kecenderungan memaksakan pembuatan
surat kuasa khusus yang tidak dibuat di depan panitera, tidak sah dan
tidak diterima di PN yang bersangkutan. Tindakan pemaksaan seperti
itu, tidak ada dasar hukumnya. Perbuatan pejabat itu merupakan
pelanggaran hukum dan pemerkosaan terhadap hak asasi orang yang
berperkara. MA harus menghentikan praktik yang demikian dan
memberi kebebasan kepada masyarakat untuk memilih cara dan
bentuk yang mereka kehendaki sepanjang hal itu tidak bertentangan
dengan hukum.
3) Akta di Bawah Tangan
Di atas telah dijelaskan, surat kuasa khusus berdasarkan Pasal 123 ayat
(1) HIR adalah berbentuk bebas (free form). Boleh berbentuk akta otentik. Dapat
juga akta dibawah tangan, yaitu akta yang dibuat para pihak (pemberi kuasa dan

[13]
penerima kuasa) tanpa perantaraan seorang pejabat, ditandatangani oleh pemberi
dan penerima kuasa. Serta mencantumkan tanggal penandatanganan.
Keabsahan surat kuasa khusus yang berbentuk akta dibawah tangan,
tercipta terhitung sejak tanggal penandatanganan oleh para pihak. Tidak
diperlukan legalisasi dari pihak pejabat manapun. Bentuk surat kuasa dibawah
tangan, dianggap lebih efisien. Pembuatannya tidak memerlukan biaya dan dapat
diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat. Jika dibandingkan dengan surat
kuasa berbentuk otentik yang dibuat dihadapan notaris atau panitera PN, bentuk
dibawah tangan jauh lebih efektif dan efisien, karena tidak banyak waktu yang
terbuang dan biaya murah. Perlu dijelaskan, keabsahan surat kuasa khusus yang
berbentuk akta dibawah tangan tidak memerlukan legalisasi. Keliru anggapan
sementara hakim yang menggantungkan keabsahan surat kuasa demikian atas
legalisasi. Hal ini ditegaskan dalam putusan MA No. 779 K/Pdt/1992 yang
menyatakan tidak diperlukan legalisasi atas surat kuasa khusus dibawah tangan.
Tanpa legalisasi, surat kuasa itu telah memenuhi syarat formil.

2.4 Berakhirnya Surat Kuasa


Pasal 1813 KUHPerdata, membolehkan berakhirnya perjanjian kuasa secara
sepihak atau unilateral. Ketentuan ini secara diametral bertentangan dengan Pasal
1813 KUHPerdata ayat (2) yang menegaskan, persetujuan tidak dapat ditarik atau
dibatalkan secara sepihak, tetapi harus berdasarkan kesepakatan kedua belah
pihak (secara bilateral).
Hal-hal yang dapat mengakhiri pemberian kuasa menurut Pasal 1813
KUHPerdata, yaitu :
1. Pemberi Kuasa Menarik Kembali Secara Sepihak
Ketentuan penarikan atau pencabutan kembali (revocation herropen)
kuasa oleh pemberi kuasa, diatur lebih lanjut dalam Pasal 1814 KUHPerdata dan
seterusnya, dengan acuan :
- Pencabutan tanpa memerlukan persetujuan dari penerima kuasa
- Pencabutan dapat dilakukan secara tegas dalam bentuk :
1) Mencabut secara tegas dengan tertulis, atau

[14]
2) Meminta kembali surat kuasa, dari penerima kuasa
- Pencabutan secara diam-diam, berdasarkan Pasal 1816 KUHPerdata.
Caranya, pemberi kuasa mengangkat atau menunjuk kuasa baru untuk
melaksanakan urusan yang sama. Tindakan itu berakibat, kuasa yang
pertama, terhitung sejak tanggal pemberian kuasa kepada kuasa yang
baru, ditarik kembali secara diam-diam.
Sehubungan dengan pencabutan secara sepihak, ada baiknya dilakukan
secara terbuka, dengan jalan memberitahukan atau mengumumkannya. Cara yang
demikian, memberi perlindungan hukum kepada pemberi kuasa maupun kepada
pihak ketiga, karena sejak itu, setiap tindakan yang dilakukan kuasa untuk dan
atas nama pemberi kuasa, tidak sah dan dianggap melawan hukum, sehingga tidak
dapat dipertanggungjawabkan kepada pemberi kuasa. sebaliknya jika pencabutan
tidak terbuka, semua tindakan hukum yang dilakukannya dengan pihak ketiga
yang beritikad baik, tetap mengikat kepada pemberi kuasa.
2. Salah Satu Pihak Meninggal
Pasal 1813 KUHPerdata menegaskan, dengan meninggalnya salah satu
pihak dengan sendirinya pemberian kuasa berakhir demi hukum. Hubungan
hukum perjanjian kuasa, tidak berlanjut kepada ahli waris. Jika hubungan itu
hendak diteruskan oleh ahli waris, harus dibuat surat kuasa baru. Paling tidak, ada
penegasan tertulis dari ahli waris yang berisi pernyataan melanjutkan persetujuan
pemberian kuasa dimaksud.
3. Penerima Kuasa Melepas Kuasa
Pasal 1817 KUHPerdata, memberi hak secara sepihak kepada kuasa
untuk melepaskan (op zegging) kuasa yang diterimanya, dengan syarat :
- Harus memberitahu kehendak pelepasan itu kepada pemberi kuasa
- Pelepasan tidak boleh dilakukan pada saat yang tidak layak.
Ukuran tentang ini, didasarkan pada perkiraan objektif, apakah pelepasan
itu dapat menimbulkan kerugian kepada pemberi kuasa.

[15]
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas maka kesimpulan sebagai berikut :
1. Surat Kuasa adalah Surat yang berisi pelimpahan wewenang dari seseorang
atau pejabat tertentu kepada seseorang atau pejabat lain. Pelimpahan
wewenang dapat mewakili pihak yang memberi wewenang dalam urusan
pribadi, bisnis, ataupun masalah hukum.
Surat Kuasa merupakan Dokumen untuk mengurus sesuatu yang diperlukan
oleh pemberi wewenang atas dasar hukum kepada penerima kuasa karena
pemberi kuasa tidak bisa melakukannya dengan sendiri.
Dasar hukum untuk surat kuasa umum diatur dalam Pasal 1796 KUHPerdata.
Dan surat kuasa khusus diatur dalam Pasal 1795 KUHPerdata.
2. Jenis-Jenis Surat Kuasa
Pada dasarnya dapat diketahui bahwa dari segi cara merumuskan dan
tujuannya, surat kuasa dibedakan kepada beberapa jenis surat kuasa yaitu :
Surat Kuasa Umum, Surat Kuasa Khusus, Surat Kuasa Istimewa, Surat Kuasa
Perantara.
3. Bentuk Kuasa di Depan Pengadilan
Bentuk Kuasa yang sah di depan Pengadilan untuk mewakili kepentingan
pihak yang berperkara, diatur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR, yaitu : Kuasa
Secara Lisan, Kuasa Yang Ditunjuk Dalam Surat Gugatan, Surat Kuasa
Khusus.
4. Berakhirnya Surat Kuasa
Hal-hal yang dapat mengakhiri pemberian Kuasa menurut Pasal 1813
KUHPerdata :
- Pemberi Kuasa Menarik Kembali Secara Sepihak
- Salah Satu Pihak Meninggal
- Penerima Kuasa Melepas Kuasa

[16]
DAFTAR PUSTAKA

Herlien Budiono, Perwakilan, Kuasa dan Pemberian Kuasa, Majalah Renvoi, Nomor

6.42.IV, 3 November 2006.

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010).

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Gugatan Persidangan, Penyitaan,

Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005).

R.Subekti dan R.Tjitrudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , Pradya Paramita,

Jakarta, 1999.

Anda mungkin juga menyukai