Anda di halaman 1dari 5

HIKAYAT

TIGA PANGERAN

ditulis oleh
Muttafaqur Rohmah
Hatta, tersebutlah sebuah kerajaan yang
mahsyur nan megah. Adalah sang pemimpinnya
tiga orang pangeran yang elok rupawan namun
berbeda tabiat dan laku-lakuannyalah. Hang Ali,
Hang Abi, Hang Aci pengeran pemimpin di
kerajaan itulah. Karenalah tempat yang megah
terhamparlah luas di kerajaan tersebut para
pengeran mendapat pembagian kekuasaan
yang beda-beda jua. Pangeran Ali sebagailah
anak tertua mendapat kekuasaan atas rakyat
dan administrasi kerajaan. Pangeran Abi anak
kedualah membantu sang kakak pada wilayah
tanah hasil-hasilnya, seperti padi, buah, juga ubi-
ubian, ternak, dan binatang buas yang dijadikan
pelindung-pelindung sawah dan ladang. Adalah
anak terakhir dengan yang paling elok nan
rupawan juga muda umurnya; Hang Aci
menguasai segala bentuk air di kerajaan,
kekuasaannya meliputi sungai, danau, dan
pesisir pantai.
Semua berjalan pada porosnya sesuai perjalanan sang
bumi mengelilingi matahari, tanpa kedua orang
tuanyalah mereka mampu hidup berdampingan bersama
para rakyatnyalah dengan bahagia dan sentausa tanpa
aral melintang dalam segala rona kehidupan mereka.
Hingga suatu saat datanglah kemarau tanpa dinyana-
nyana. Persediaan pangan juga air sudahlah habis untuk
dibagi-bagi pada rakyatnyalah. Bahkan, kerajaan tiadalah
lagi mempunyai sisa bahan pangan juga air.

“Adinda, tidakkah kalian memperhitungkan segala musim dan


cuaca yang biasanyalah melanda kerajaan ini setiap tahunnya,
kitapun mempunyai Wat Asat yang menjadi penasehat cuaca
kita?” tanya Hang Ali kepada adik-adiknya.
“Tiadalah Wat Asat mumpuni keilmuannya sekarang Kakanda,
kitalah jua yang mendapat hikmatnya atas daya yang dia perbuat
kepada kita” sahut Hang Aci dengan emosi tinggi
“Janganlah kita memberi beban tinggi kepada Wak Asat yang
berumurlah renta, dialah satu-satunya orang tua di kerajaan ini
yang menjaga kita hingga dewasa” reda Hang Abi kepada Hang
Aci dan Hang Ali.
“Kitapun sudah berpuasa satu pekan lamanya, kitalah masih
sanggup menahan lapar ini dengan tidur, macamlah anak kecil
yang tiadalah menahan lapar, apalah dahaga juga adindaku
semuanya.
Empat puluh hari berlalu, masa hujan tak kunjunglah mau tiba
di kerajaan, mataharilah yang sedari kapan waktu menunggu
merekalah tanpa jemu, tak hendak berganti dengan hujan
barang sedikitpun sajalah.

“Wak Asat, mati, Wak Asat mati!”


Suara keras membangunkan hati yang letih juga dahaga
sampai ke telinga para pangeran
“Mengapalah itu terjadi?” tanya Hang Ali
“Tiada hambalah tahu-menahu, Pangeran”

Berbondonglah merekapun menujulah rumah Wak Asat dan


terkejutlah mereka dengan yang nampak mata dan ragalah
mereka. Wak Asat tidur beralaskan permadani pengeran yang
hilang beberapa tahun lalu. Gemerincing wadah pangan,
gelas emas, lampu-lampu dari India hadiah Pangeran Rahul
kepada Pangeran Ali rupanyalah tersimpan di sini. Tiadalah
yang mengira bentuk dan wujud rumah Wak Asat yang
melebihi kamar Pangeran Abi. Semuapun tercenganglah
dengan segala rupa kain-kain beludu hijau dari jazirah arabia
yang dikirimkan pangeran Saudi kepada Pangeran Aci
nampaklah juga di sana. Timbunan padi yang hendak
menjadi beras adalah pemandangan nyata yang
menimbulkan suara kasak-kusuk mendudukkan Pangeran Ali
yang sedarilah tadi tiadalah percaya akan apa yang
dipandangnya oleh netranya.
“Abi, Aci apalah ini? Tiadalah pun dinda percaya yang
kitalah lihat ini?”
“Buang! Buang sana ke laut biar dimakan paus biru yang
ikut lapar di musim kering kemarin yang bertahun kita
rasa ini”
“Rupanya Wat Asat memakan harta yang tiada
semestinyalah dia punyai, bagi! Segera bagi pada
rakyat!” tegas Hang Abi pada para punggawanya.

Wak Asat meninggalkan bau busuk ketiadapercayaan


di hati mereka semuanya. Tidak hanya menimbun
pangan dan semuanya, namun juga rasa percaya di
hatilah mereka. Bukan musim, bukan cuaca namun Wak
Asat mematikan hewan, tanaman di ladang, ikan-ikan di
danau, dan sungai agar tak hiduplah jua. Menyabdakan
pada mendung dan hujan agarlah tiada turun berhari-
hari. Akhir dari segala ini Wat Asat mati dengan tiadalah
terpuji, memakan hasilnya mencuri.

Tiga pangeran itu saling berangkulanpun sebagai


tandalah bahawa masalah telah usailah di kerajaan
mereka, tiadalah mereka bercerai berai sebab kerana
cuaca dan sungguhlah pelajaharan-pelajaharan
berharga di dunia ini adalah-adalah untaian-untaian
kejadian-kejadian dengan hikmat di balik peristiwa.

Anda mungkin juga menyukai