Anda di halaman 1dari 9

UTS SEJARAH ISLAM INDONESIA

Dosen Pengampu: Fitri Sari Setyorini S.Hum., M.Hum


Nama : Riza Nurrohman
Nim : 214110503057
Kelas : 5 SPI-A

1. Benarkah pada abad 12 masehi tidak ada kesultanan islam di gujarat (hanya transit di
sana)…? Secara defacto dejure
Jawab: (Benar) karena teori tentang gujarat sebagai tempat asal islam di nusantara itu
terbukti mempunyai banyak kelemahan-kelemahan tertentu. Salah satunya dibuktikan
oleh Marrison yang mengatakan meskipun batu-batu nisan yang ditemukan di tempat-
tempat tertentu di nusantara boleh jadi berasal dari gujarat atau berasal dari bengal,
seperti yang dikemukakan oleh Fatimi itu tidak lantas berarti islam juga didatangkan
dari sana. Marrison telah mematahkan teori ini dengan merujuk kepada kenyataan
bahwa pada masa islamisasi samudra pasai yang raja pertamanya wafat pada tahun
698H/1297M, itu gujarat masih merupakan kerajaan hindu. Barulah setahun
kemudian 699H/1298M, cambay gujarat ditaklukan oleh kekuasaan muslim. Jadi dari
teori Marrison ini saya berpendapat bahwa pada abad ke 12 M (1101-1200M) itu
belum ada kesultanan islam di gujarat, mungkin hanya sekedar transit saja (belum
menguasai daerah tersebut karena masih berdiri kerajaan hindu disana (Abdul Hadi
WM Dkk, Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia-jilid 1, penerbit: direktorat
sejarah dan nilai budaya, Jakarta 2015. Hlm. 45).

2. Benarkah abad ke 7 M di persia belum ada islam…? Secara defacto dejure


Jawab: (Tidak) karena menurut catatan Arnold, Coromandel, dan Malabar
mengatakan “bukan satu-satunya tempat asal islam dibawa, akan tetapi juga di
arabia”. Maksudnya adalah para pedagang arab juga menyebarkan islam ketika
mereka dominan dalam perdagangan barat dan timur sejak abad-abad awal hijriah
atau abad ke 7 dan 8 M. Asumsi ini menjadi lebih mungkin, kalo kita
mempertimbangkan fakta yang telah disebutkan oleh sumber-sumber cina, yang
mengatakan bahwa “menjelang akhir perempatan ketiga abad ke 7 M seorang
pedagang arab telah menjadi pemimpin sebuah pemukiman arab muslim di pesisir
pantai sumatera”. Maka dari itu pernyataan tentang abad ke 7 belum ada islam di
persia itu menurut saya mustahil, karena pada pada akhir perempatan ketiga abad ke
7 M saja islam sudah menginjakan kaki di wilayah pesisir nusantara yaitu pulau
sumatera yang mana diduduki oleh para pedagang dari arab dan persia pada waktu itu
(Abdul Hadi WM Dkk, Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia-jilid 1, penerbit:
direktorat sejarah dan nilai budaya, Jakarta 2015. Hlm. 46).

3. Resume emporium (kantong dagang/kota dagang/pertokoan) dan imperium (dinasti


politik) muslim dipesisir nusantara.
Jawab: Dalam sejarah Islam di Nusantara, Samudra Pasai diakui sebagai kerajaan
Islam pertama. Tanggal tahun di batu nisan Malik al-Saleh, 1297, diterima kalangan
ahli sejarah sebagai waktu berdirinya Samudra Pasai menjadi sebuah kerajaan Islam.
Awal abad ke-13 dalam sejarah Nusantara adalah periode penting Islamisasi dan
berdirinya kerajaan Islam pertama memang merupakan satu periode sangat penting
dalam sejarah perdagangan maritim di wilayah Nusantara, atau di Asia Tenggara pada
umumnya. Pada periode tersebut, perdagangan Maritim Nusantara memperlihatkan
perubahan rute perdagangan yang melibatkan wilayah-wilayah di pantai utara
Sumatra, setelah sebelumnya terkonsentarsi di belahan selatan pulau tersebut. Tidak
ada bukti historis yang secara kuat menunjukkan bahwa kehadiran China memberi
pengaruh besar pada pemelukan agama dan pembentukan budaya masyarakat. Dalam
aspek terakhir ini, adalah Islam yang dibawa para pedagang internasional yang
muncul menempati posisi dominan di Nusantara. Para penguasa dan masyarakat
Melayu serta merta memeluk Islam sebagai agama mereka dan menjadikannya
sebagai ideologi politik kerajaan. Kenyataan ini bisa dijelaskan seperti dicatat
kalangan ahli sejarah bahwa kehadiran China di Nusantara lebih dilandasai murni
motif ekonomi perdagangan ketimbang agama. Bisa dikatakan bahwa Islamisasi di
Nusantara berlangsung sejalan dengan rekayasa politik di kerajaan. Proses
pengislaman masyarakat berjalan efektif ketika Islam terintegrasi ke dalam sistem
politik kerajaan, yang berbasis pada perkembangan ekonomi maritim internasional.
Catatan seorang Portugis, Tome Pires, pada abad ke-16 menunjukkan bahwa raja
Malaka berusaha mempraktekkan ajaran-ajaran Islam di kerajaan, sejalan intensifnya
hubungan yang terjalin dengan pusat perdagangan di dunia Muslim di Timur Tengah.
Hal ini selanjutnya bisa dibuktikkan dalam sebuah teks Melayu berisi seperangkat
aturan resmi kerajaan, Undang-Undang Malaka. Dalam teks tersebut ditunjukkan,
misalnya, bahwa hukum larangan riba dalam perdagangan, yang tertera dalam al-
Qur’an (2:275), dijadikan peraturan resmi kerajaan yang menghendaki dilakukannya
transksi bisnis yang sejalan dengan ajaran Islam (Abdul Hadi WM Dkk, Buku Sejarah
Kebudayaan Islam Indonesia-jilid 1, penerbit: direktorat sejarah dan nilai budaya,
Jakarta 2015. Hlm. 173-179).
Penaklukkan Portugis di atas justru segera disusul terciptanya kondisi sosial-
politik dan keagamaan yang menjadi basis berlangsungnya proses Islamisasi yang
intensif dan jangkuan penyebaran Islam yang semakin luas ke berbagai wilayah. Hal
ini, pada gilirannya, membawa lahirnya pusat-pusat kekuatan Islam baru yang tidak
hanya terkonsentrasi di pantai utara Sumatra tapi tersebar di wilayah-wilayah lain di
Nusantara. Menyangkut proses pembentukannya menjadi sebuah kerajaan, penting
ditekankan bahwa wilayah kerajaan Aceh memang sangat potensial sebagai penghasil
barang-barang komoditi yang laku di pasaran internasional. Daerah-daerah taklukkan
Ali Mughayat Shah di atas khususnya Pidie, Pasai dan Daya terkenal sebagai
penghasil utama lada dan rempah-rempah di Sumatra. Kondisi politik Nusantara
memang ditandai kehadiran dua kekuatan Barat, masing-masing Portugis di Malaka
dan Belanda di Batavia. Hal ini selanjutnya bahkan membawa pengaruh pada
perkembangan politik di kerajaan-kerajaan Islam yang tersebar di berbagai wilayah
di Nusantara. Sumber-sumber China mencatat bahwa kerajaan tersebut terus
berkembang bahkan hingga abad ke-15 dan berada di bawah proteksi Imperium
China. Kerajaan inilah menurut para ahli sejarah yang kemudian, pada abad ke-16,
menjadi kerajaan Islam Brunei setelah disinggahi dan selanjutnya bersentuhan erat
dengan para pedagang Muslim. Mesjid Demak bagi kalangan masyarakat Jawa telah
dianggap sebagai tempat suci yang memperkokoh pengakuan mereka bahwa Demak
adalah pelindung agama Islam di Jawa. Hal ini bisa dijelaskan bahwa kerajaan
Demak seperti telah disinggung di atas menjadikan Islamisasi masyarakat sebagai
bagian dari ekspansi wilayah kerajaan. Selain itu, Mesjid Demak tercatat menjadi
tempat berkumpulnya “wali sanga” yang dianggap paling bertanggung jawab dalam
penyebaran Islam di Jawa. Besarnya pengaruh yang ditimbulkan perdagangan
maritim dalam perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di sekitar pantai utara Jawa
dan juga di wilayah-wilayah lain di Nusantara selanjutnya nampak mempengaruhi
kebijakan politik kerajaan Demak terhadap wilayah kekuasaannya di belahan timur
Jawa. Seperti halnya di Jawa Barat, penguasa Demak dalam hal ini nampak
“mentolelir” berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di wilayah timur dengan memiliki
tingkat otonomi kekuasaan relatif besar: seperti Kudus, Jepara, Gresik, dan Surabaya.
Terletak di ujung timur pantai Jawa, Gresik sejak awal memang telah menjadi pusat
dagang dan Islamiasasi di wilayah sekitarnya. Dalam catatan Tome Pires, seorang
pengembara Portugis, sejak awal abad ke-16, digambarkan bahwa Gresik telah
menjadi kota perdagangan laut yang paling kaya dan paling penting di seluruh Jawa.
Di kota tersebut berlangsung transaksi binis dalam skala cukup besar, yang dilakukan
para pedagang Internasional yang berkunjung ke Gresik, seperti para pedagang
Gujarat, Kalikut, Bengal, serta pedagang dari wilayah timur Nusantara, khususnya
Maluku dan Banda. Maka pada sekitar 1582, Jaka Tingkir menurut sumber tradisional
Jawa terjadi setelah dia mendapat dukungan politik dari Sunan Giri akhirnya
menyatakan dirinya sebagai “sultan” yang berkuasa di Pajang. Sejak saat itulah
Pajang berdiri menjadi sebuah kerajaan, sementara Demak semakin mundur karena
konflik politik di kalangan keluarga istana, sebelum akhirnya tunduk di bawah
kekuasaan Pajang dan seterusnya Mataram. Peralihan kerajaan Goa-Tallo ke Islam,
sekitar 1602 dan 1607, berlangsung ketika para pedagang Muslim, yang semula
hanya terbatas sebagai komunitas keagamaan, membentuk satu kekuatan sosial dan
politik serta sekaligus berfungsi sebagai agen Islamisasi kerajaan (Abdul Hadi WM
Dkk, Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia-jilid 1, penerbit: direktorat sejarah
dan nilai budaya, Jakarta 2015. Hlm. 180-192).
Integrasi Islam dengan dinamika politik di kerajaan selanjutnya bisa
dijelaskan dalam corak proses awal Islamisasi di Nusantara. Dalam hal ini, Islamisasi
berlangsung sejalan dengan pembentukan kerajaan-kerajaan, yang berbasis pada
keterlibatan secara intensif beberapa wilayah Nusantara dalam perdagangan jarak
jauh (long distance trade) di Samudra Hindia sejak awal abad ke-13. Berdirinya
kerajaan Samudra Pasai dan Malaka di pantai utara Sumatra untuk hanya menyebut
dua kasus memperlihatkan dengan jelas pola perkembangan Islam demikian. Awal
perkembangannya pada abad ke13 dan 14, kerajaan Samudra Pasai dan Malaka dua
kerajaan Islam pertama di Nusantara telah memperlihatkan perannya yang penting
dalam berlangsungnya proses Islamisasi. Para penguasa dua kerajaan tersebut tercatat
telah berjasa meratakan jalan bagi perkembangan Islam di dunia Melayu hampir tidak
mengalami hambatan berarti. Hal paling menonjol dalam konteks ini adalah bahwa
para raja-raja Melayu sejalan dengan kepentingan politik dan ekonomi di kerajaan
sengaja mengundang para pedagang Muslim internasional untuk datang dan
melakukan transaksi bisnis mereka di kerajaan. Setelah Malaka jatuh ke tangan
Portugis pada 1511, basis Islamisasi selanjutnya beralih ke kerajaan Aceh. Berdiri
sekitar 1514 di bawah Ali Mughayat Shah (berkuasa hingga 1530), sebagai penguasa
pertama, kerajaan Aceh segara mengalami perkembangan penting baik di bidang
ekonomi, politik maupun keagamaan. Dia mencatat bahwa pada periode masa
kerajaan Aceh ini, sejalan terjalinnya hubungan erat dengan pusat dunia Islam,
perkembangan Islam di Nusantara mengalami masa paling krusial. Ini ditandai
terutama terjadinya sebuah “revolusi keagamaan”, di mana Islam telah menempati
posisi terpenting dalam pembentukan pandangan dunia yang berlaku, dan selanjutnya
menganggap masa pra-Islam sebagai sebuah masa kegelapan. Azra membuktikan
bahwa sejak abad ke-16, hubungan Melayu-Nusantara dengan Timur Tengah tidak
hanya terbatas pada hubungan perdagangan, tapi juga pada tingkat intelektual dan dan
keagamaan. Melalui para ulama Nusantara yang belajar di Mekkah dan Madinah
seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf al-Singkili kondisi
keislaman di Nusantara semakin berada langsung di bawah pengaruh wacana
keislaman Timur Tengah. Para ulama, dalam hal ini telah bertanggung jawab
melakukan transmisi intelektual keagamaan ke Nusantara. Peran penting kerajaan
Mataram bisa dijelaskan dalam keberhasilannya menjadikan Islam terintegrasi ke
dalam sistem budaya Jawa secara lebih menyeluruh, serta jantung kehidupan politik
Jawa yang berbasis di kerajaan pusat. Hal ini, pada gilirannya, sekaligus berarti
menjamin tingkat keberlangsungan proses pengislaman masyarakat, kerana dilakukan
sejalan dengan tingkat kemampuan adaptasi budaya yang berlaku. Pada masa
Mataram bahwa karya-karya keislaman, seperti teks sufisme dalam serat dan babad,
berkembang sebagai bentuk pelembagaan sistem budaya yang diwarnai nilai-nilai
Islam (Abdul Hadi WM Dkk, Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia-jilid 1,
penerbit: direktorat sejarah dan nilai budaya, Jakarta 2015. Hlm. 193-201).
Penting ditekankan bahwa terutama sejak abad ke-16, masyarakat Nusantara
tengah mengalami perubahan sangat berarti di hampir semua segi kehidupan, yang
berlangsung sejalan dengan berkembangnya pengaruh Islam di kalangan masyarakat.
Denys Lombard seorang ahli sejarah Indonesia bahkan mencatat bahwa periode di
atas dalam sejarah Nusantara ditandai terbentuknya “masyarakat jenis baru” yang
banyak dilandasi nilai-nilai Islam. Beberapa sumber Eropa mencatat kehadiran ulama
dalam setiap praktik politik penguasa di kerajaan. Bahkan ulama sangat menentukan
dalam memutuskan kebijakan politik sangat penting, khususnya berkaitan dengan
kerja sama internasional. Pentingnya kedudukan ulama seperti demikian di kerajaan,
khususnya di Aceh, tentu saja memiliki arti penting bagi perkembangan keberadaan
Islam di Nusantara. Selain menunjukkan kuatnya pengaruh Islam dalam kehidupan
politik kerajaan, peran penting ulama di atas sekaligus juga merupakan wujud
berlakunya sebuah tradisi di dunia Melayu, yang digambarkan Taufik Abdullah salah
seorang sejarawan terkemuka di Indonesia sebagai “tradisi integratif”. Peran penting
ulama di atas nampaknya sedikit berbeda di kerajan Jawa, khususnya setelah kerajaan
Mataram berkuasa. Sejalan kebijakan politik penguasa Mataram yang lebih
menekankan kekuasaan sentralistik biasa pula disebut mono-kraton maka para ulama,
yang berkuasa di beberapa wilayah pantai utara Jawa, tidak hanya dilihat sebagai
ancaman bagi sistem kekuasaan yang hendak dibangun, tapi sekaligus menjadi
sasaran kebijakan politik sentralistik. Demikian sejak Sultan Agung berkuasa (1613-
1646) upaya penaklukkan terhadap wilayah-wilayah yang menjadi basis kekuasaan
ulama di pesisir dilakukan seperti Lasem, Pasuruan dan Tuban. Salah satu wilayah
terpenting yang ditaklukkan Sultan Agung adalah Giri pada 1635. Dikatakan penting,
mengingat bahwa Giri sejak awal Islamisasi di Jawa merupakan simbol sebuah
integrasi kekuasaan agama dan politik di bawah seorang raja-ulama, Sunan Giri.
Dalam Undang-Undang Malaka ditulis, misalnya, aturan mengenai hak dan
kewajiban raja serta para elit politik di kerajaan; pernikahan, termasuk di dalamnya
hukum talak dan cerai hukum-hukum kriminal yang ditetapkan untuk menciptakan
keamanan di lingkungan kerajaan dan regulasi mengenai kegiatan perdagangan.
Semua aturan-aturan tersebut diadopsi dari hukum-hukum Islam dalam al-Qur’an,
selain hukum adat yang berlaku di masyarakat. Di Aceh sudah terdapat satu lembaga
hukum tersendiri yang diduduki kalangan ulama. Beaulieu seorang pengembara asal
Perancis yang singgah di Aceh pada 1621 mencatat adanya dua lembaga hukum yang
berlaku di kerajaan: yaitu (1) peradilan yang murni mengurusi masalah keagamaan,
tepatnya perilaku-perilaku masyarakat yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum-
hukum Islam seperti minum alkohol, berjudi, meninggalkan sembahyang dan puasa
dan (2) peradilan yang lebih berurusan dengan maslah-maslah kemasyarakatan,
seperti tentang perkawinan, cerai, dan warisan. Upaya penerapan hukum Islam oleh
kerajaan selanjutnya bisa pula ditemukan di beberapa kerajaan lain di Nusantara. Di
Banten, misalnya, seperti dicatat B.J.O. Schrieke, seorang sarjana Belanda lembaga
kadi berperan penting dalam pemberlakuan hukum-hukum Islam sangat ketat,
terutama bagi mereka para pemakai ganja (opium). Selain itu, berdasarkan sumber-
sumber Belanda lainnya, juga diberitakan bahwa kadi kerajaan Banten yang
kemudian bergelar “Pakih Najmuddin” senantiasa memberi putusan-putusan hukum
berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah. Dalam konteks perkembangan Islam di Jawa,
yang memperlihatkan pembentukan corak “tradisi dialog” seperti dijelakan di atas,
kasus kerajaan Banten barangkali bisa disebut sebagai kekecualiaan. Di kerajaan
Demak, misalnya, pelaksanaan hukum Islam tidak dilakukan secara intensif seperti
halnya di Banten atau di kerajaan Melayu. Kendati lembaga hukum memang diakui
telah ada di lingkungan masyarakat Jawa, yaitu ”penghulu” istilah Jawa yang
mengacu pada seorang pejabat hukum di kerajaan tradisi pra-Islam masih sangat
dominan. Sejalan keterlibatan intensifnya dalam dunia perdagangan maritim,
penerapan hukum Islam di kerajaan Goa-Tallo nampak mencerminkan pola
perkembang yang berlangsung di dunia Melayu. Di kerajaan tersebut hukum-hukum
Islam, sarak, menjadi salah satu komponen penting dalam perumusan budaya
masyarakat Bugis-Makasar, Pangngadereng atau Pangngadekan (Abdul Hadi WM
Dkk, Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia-jilid 1, penerbit: direktorat sejarah
dan nilai budaya, Jakarta 2015. Hlm. 194-211).
Samudra Pasai telah diakui sebagai pusat pendidikan Islam terkemuka, dan
menarik banyak kalangan masyarakat berkunjung untuk belajar Islam. Salah seorang
yang tercatat pernah menuntut ilmu di kerajaan tersebut adalah Nur al-Din Ibrahim
Mawlana Izra’il, yang kemudian dikenal dengan Sunan Gunung Jati salah seorang
“wali sembilan” yang berperan penting dalam proses Islamisasi di Jawa, serta peletak
dasar berdirinya kerajaan Islam Cirebon dan Banten. Sejalan berkembangnya Aceh
sebagai pusat kekuasaan Islam terkemuka di Nusantara pada abad ke-17, lembaga
pendidikan Islam kerajaan di atas selanjutnya menjadi dasar tumbuhnya lembaga-
lembaga pendidikan Islam serupa di beberapa wilayah lain di Melayu-Nusantara.
Pesantren menjadi agen penting proses Islamisasi di pedalaman Jawa, yang
selanjutnya membentuk watak keislaman yang dikenal sangat akran dengan pola
kehidupan pedesaan yang “tradisional”. Bahkan, juga dari sinilah bahwa pada masa
penjajahan Belanda, tampilnya para kiyai sebagai aktor penting dalam pemberontakan
melawan kekuatan kolonial bisa dipahami. Ia merupakan panggilan dari peran
kultural yang disandangnya di pesantren dan di tengah masyarakat. Tiga teks Jawa
lahir di bawah ingkang ayasa-nya: Carita Iskandar (1729), Carita Yusuf (1730), dan
Kitab Usulbiyah, yang kemungkinan besar ditulis pada masa yang sama dengan teks
pertama dari dua teks yang baru disebutkan. Dalam teks-teks yang menjadi “kitab
sakti” dari Ratu Pakubuwana itu, Islam menjadi satu landasan utama bagi perumusan
budaya Jawa. Peran penting Islam dalam budaya Jawa juga diwujudkan dalam pola
hubungan para raja dengan pesantren, domain para ulama. Dalam hal ini, para raja
mempelopori pembangunan pesantren-pesantren di sejumlah daerah yang secara
tradisional didesain untuk tujuan-tujuan keagamaan, yang disebut desa perdikan desa-
desa di bawah kekuasaan kerajaan yang diberi status khusus dalam fungsi-fungsi
keagamaan dan dibebaskan dari pajak. Desa perdikan membentuk komunitas-
komunitas religius, di bawah kepemimpinan ulama, di mana ajaran Islam diterapkan
dan aturan-aturan Islam dibuat. Dengan demikian, di desa perdikan inilah pesantren
mula-mula didirikan. Pesantren Tegalsari adalah contoh yang bagus tentang kasus
tersebut. Bertempat di wilayah yang sekarang disebut Madiun dan Ponorogo di Jawa
Timur, Tegalsari secara resmi didirikan sebagai sebuah desa perdikan masa
pemerintahan Pakubuwana II (1726-1749) di Kerajaan Mataram. Penyebaran
pesantren di seantero Jawa: Banten, Bogor, Karawang, dan kabupaten-kabupaten
Priangan di Jawa Barat: Tegal, Pekalongan, dan Rembang di Jawa Tengah; Gresik,
Kedu, Surabaya, Pasuruan, dan Banyuwangi di Jawa Timur (van der Chijs 1864: 215-
219). Sejumlah pesantren di daerah-daerah tersebut, khususnya di Jawa Tengah dan
Jawa Timur, bertempat di desa perdikan. Karenanya, tidaklah mengejutkan bahwa
lingkaran priyayi di istana memiliki hubungan dan kontak yang dekat dengan ulama
di pesantren (Abdul Hadi WM Dkk, Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia-jilid
1, penerbit: direktorat sejarah dan nilai budaya, Jakarta 2015. Hlm. 212-219).
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hadi WM Dkk, Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia-jilid 1, penerbit:
direktorat sejarah dan nilai budaya, Jakarta 2015. Hlm. 45.
Abdul Hadi WM Dkk, Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia-jilid 1, penerbit:
direktorat sejarah dan nilai budaya, Jakarta 2015. Hlm. 46.
Abdul Hadi WM Dkk, Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia-jilid 1, penerbit:
direktorat sejarah dan nilai budaya, Jakarta 2015. Hlm. 173-179.
Abdul Hadi WM Dkk, Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia-jilid 1, penerbit:
direktorat sejarah dan nilai budaya, Jakarta 2015. Hlm. 180-192.
Abdul Hadi WM Dkk, Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia-jilid 1, penerbit:
direktorat sejarah dan nilai budaya, Jakarta 2015. Hlm. 193-201.
Abdul Hadi WM Dkk, Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia-jilid 1, penerbit:
direktorat sejarah dan nilai budaya, Jakarta 2015. Hlm. 194-211.
Abdul Hadi WM Dkk, Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia-jilid 1, penerbit:
direktorat sejarah dan nilai budaya, Jakarta 2015. Hlm. 212-219.

Anda mungkin juga menyukai