Prosiding ICONIC2021 Terbit
Prosiding ICONIC2021 Terbit
net/publication/358467518
CITATIONS READS
0 331
1 author:
Muhamad Alnoza
Universitas Gadjah Mada
35 PUBLICATIONS 17 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Muhamad Alnoza on 09 February 2022.
Muhamad Alnoza
Mahasiswa Progam Master Antropologi, Universitas Gadjah Mada
Jl. Sosiohumaniora, No.1, Bulaksumur, Sleman, D.I. Yogyakarta
Abstrak:
Tulisan ini secara umum membahas mengenai upaya resiliensi kebudayaan yang dilakukan oleh
Airlangga pasca peristiwa pralaya atau perang saudara. Kajian ini mengangkat permasalahan kebijakan
sima makudur yang berlaku pada masa itu melalui paradigma ekologi kebudayaan, terutama dalam
lingkup resiliensi budaya. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
perubahan struktur sosial di masa Raja Airlangga telah mempengaruhi pembagian kuasa atas lahan
garap dengan media hubungan patron klien. Metode yang digunakan untuk menyelesaikan masalah
dalam penelitian ini menerapkan metode kualitatif, yang terdiri atas pengumpulan data, analisis, dan
interpretasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat diketahui bahwa Airlangga di masa itu telah
menggunakan hubungan patron-kliennya dalam memulihkan keadaan pasca pralaya.
Kata Kunci: Airlangga, hubungan patron-klien, resiliensi budaya, sima makudur.
PENDAHULUAN
Pemerintahan Airlangga secara umum telah menjadi bahan perhatian para peneliti terdahulu.
Ninie Susanti (2010) dalam disertasinya misalnya, menetapkan Airlangga sebagai yang membawa
pembaruan bagi sistem pemerintahan monarki di Jawa. Pernyataan tersebut didapatkan Susanti dengan
membandingkan gaya pemerintahan raja-raja sebelum, sezaman, dan sesudah Airlangga. Dari kajian
itu Susanti menemukan bahwa Airlangga menempatkan dirinya sebagai raja purohita dan memiliki
misi vijigishu. Airlangga dianggap sebagai raja perwujudan dewa (dewaraja) yang turun ke dunia
untuk membasmi kejahatan dan menjadi penguasa dunia. Seorang sejarawan sekaligus sosiolog,
B.J.O. Schrieke (2016) berpendapat bahwa kemunculan Airlangga di panggung sejarah Hindu-Buddha
di Jawa sendiri, diawali dengan adanya peristiwa pralaya atau “kiamat” dalam kepercayaan Hindu
Jawa. Peristiwa tersebut di masa awal kekuasaan Airlangga adalah adanya konflik perebutan wilayah
penguasa-penguasa vazal di Jawa Timur. Airlangga dalam hal ini dianggap sebagai cakravartin atau
juru selamat rakyat Jawa kala itu, sehingga ia mentadbirkan diri sebagai Wisnu.
Di samping peristiwa sekitar pemerintahan Raja Airlangga, keunikan pemerintahan Airlangga
terletak pada banyaknya ia memberikan anugerah sima makudur. Adapun dari 15 prasasti Airlangga yang
berangka tahun, 9 di antaranya yang menyebut soal kebijakan semacam ini. Sima makudur dalam hal
ini berakar dari konsep sima bagi masyarakat Jawa Kuno. Menurut Boechari (2012) sima adalah bentuk
pemberian hak yang diberikan oleh raja kepada suatu desa atau wilayah tertentu agar mereka terbebas
dari pembebanan pajak. Singkat kata penetapan sima berarti penatapan suatu daerah menjadi suatu
daerah otonom. Sima makudur di lain pihak adalah salah satu bentuk kebijakan sima yang dikeluarkan
oleh raja, yang mana raja memberikan hak tersebut sebagai bentuk balas budi kepada sang penerima
kebijakan. Bahwa setiap tanah garapan yang diberi anugerah ini dibebaskan dari pajak, dan biasanya
disebabkan akan adanya tindakan balas budi dari sang raja terhadap seorang pendeta. Perlu diperjelas
bahwa pada dasarnya sima makudur bukan satu-satunya jenis sima yang dimuati kepentingan balas
budi, mengingat sima makudur hanya diperuntukan bagi golongan agamawan yang berjasa. Kebijakan
METODE PENELITIAN
Untuk menjawab masalah dalam penelitian ini, dilakukan tahapan metode penelitian kualitatif yang
terdiri dari pengumpulan data, analisis dan interpretasi (Somantri, 2005). Pengumpulan data dalam
Keuntungan yang didapatkan Raja Airlangga melalui Hubungan Patron-Klien dalam Kebijakan
Sima Makudur
Sebagai seorang raja yang bertakhta di suatu kerajaan masa Hindu-Buddha, Airlangga baik secara
mandiri diakui atau memang disahkan oleh rakyatnya, ialah seorang dewaraja atau raja yang bertakhta
di dunia. Dewaraja di sini berarti raja yang lahir di dunia adalah perwujudan dari dewa yang lahir
ke dunia untuk membawa kemaslahatan di dunia (Kulke, 1978; Mabbet, 1969). J.G. (de Casparis,
1985) mengatakan bahwa raja masa Jawa Kuno menempati posisi kewenangan tertinggi, mengingat
keabsahannya sebagai perwujudan dewa di dunia. Secara tradisional hingga di masa sekarang, perintah
raja atau pemimpin bagi masyarakat Jawa dapat disamakan sebagai perintah tuhan. Melanggar perintah
raja sama saja dengan menolak perintah dewa. Mengingat sifatnya yang mewujudkan dewa di dunia ini
lah, seorang raja pada dasarnya secara tidak eksplisit juga diharapkan memiliki sifat-sifat para dewa.
Mengikut pada pendapat Ninie Susanti (2010), Airlangga telah mendaku diri sebagai Dewa
Wisnu. Kehadirannya seakan-akan menjadi juru selamat bagi rakyat Jawa dari peristiwa pralaya.
1) Tanah-tanah garapan dapat terawasi secara lebih efisien, karena dikelola oleh para pendukung
raja sejak awal
Melalui kebijakan sima balas budi yang berazaskan hubungan patron-klien, pada dasarnya raja
Airlangga telah menyerahkan kewenangannya pada suatu daerah terhadap penghuni desa tertentu.
Dengan kata lain Airlangga sebenarnya telah memberikan hak otonomi kepada beberapa pihak
tertentu. Pemberian hak otonomi ini bukanlah pemberian “gratis” dari Airlangga, melainkan pada
hakikatnya Airlangga telah menyerahi para penerima anugrah sima ini beban untuk mengawasi
suatu daerah tertentu secara implisit. Pemberian anugrah ini pun dilakukan secara sistematis oleh
Airlangga, dimana dirinya hanya menyerahkan anugrah tersebut terhadap pihak-pihak yang dari
awal (ketika dirinya masih berjuang menuju takhta) mendukungnya. Oleh karena itu Airlangga
juga telah mendapatkan jaminan bahwa pemberian anugrah tersebut di masa depan tidak akan
berbalik padanya, karena orang-orang yang diberi hak tersebut memang setia terhadap dirinya.
2) Fasilitas-fasilitas publik dapat diurus secara otomatis oleh rakyat, tanpa membebani negara
sumber daya yang dimiliki pemerintahan.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, pemberian anugrah sima juga seringkali disertai dengan
kewajiban pemeliharaan suatu fasilitas, baik berupa bangunan suci atau fasilitas profan lain.
Dengan diserahkannya anugrah sima, otomatis pemeliharaan bangunan suci tidak lagi mebebankan
pemerintahan pusat yang diampu oleh Airlangga. Peran pemerintah pusat di sini hanya cukup
mendirikan fasilitas, sedangkan untuk kepengurusannya diserahkan kepada daerah sima terkait.
Tentu dengan demikian Airlangga tidak perlu bersusah payah untuk membangun citra bahwa
dirinya adalah “raja pembangun”.
3) Kegiatan ekonomi yang memanfaatkan sumber daya pertanian dan maritim didukung pula oleh
partisipasi dari rakyat
Penyerahan hak otonomi melalui kebijakan sima juga berkonsekuensi terhadap didukungnya
kebijakan perekonomian Airlangga oleh rakyatnya. Penyerahan hak untuk penggarapan lahan
melalui kebijakan sima bisa ditafsirkan sebagai langkah Airlangga dalam mengikutsertakan
rakyatnya ke dalam strategi ketahanan pangan yang ia terapkan. Sima makudur sebagaimana
disampaikan sebelumnya, juga memuat perintah implisit agar rakyat dapat memenuhi kebutuhan
pangan secara mandiri (tanpa campur tangan raja). Dengan demikian pemenuhan kebutuhan pangan
rakyat tidak lagi menjadi tanggungjawab pemerintah pusat, tetapi diserahkan sepenuhnya terhadap
warga desa sima terkait. Contoh yang lebih jelas lagi dapat ditemui pada Prasasti Kamalagyan,
yang mana di dalam prasasti itu rakyat telah didorong agar partisipatif dalam kegiatan dagang di
pelabuhan yang baru saja dibangun oleh Airlangga melalui kebijakan sima makudur.
Keuntungan yang didapatkan Rakyat melalui Hubungan Patron-Klien dalam Kebijakan Sima
Makudur
KESIMPULAN
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa pembagian lahan pada masa Airlangga merupakan bentuk
demokratisasi pemanfaatan lahan, yang berarti raja telah membagi-bagi “kekuasaannya” pada rakyat
di suatu daerah tertentu. agar sistem pemanfaatan lahan yang sebelumnya terganggu oleh perebutan
kekuasaan menjadi lebih stabil dan dapat dengan mudah dikontrol oleh Airlangga sendiri. Secara
garis besar kebijakan sima makudur yang berkaitan dengan pembagian kuasa atas suatu bentang
lahan merupakan upaya yang dilakukan Airlangga dalam mempertahankan hubungan patron-klien
yang dijalinnya dengan rakyat di bawahnya. Airlangga telah menggunakan hubungan patron-kliennya
dengan rakyat, untuk menghadapi efek dari peristiwa pralaya negaranya. Sehingga pantas apabila ia
mengklaim diri sebagai juru selamat.
Airlangga pribadi melalui kebijakan ini mendapat legitimasi sebagai cakravartin di hadapan
rakyatnya. Pencitraan ini bisa menjadi lebih menguat, karena banyaknya anugerah yang ia berikan
pada rakyat. Oleh karena legitimasi tersebut, bisa diasumsikan bahwa kepercayaan rakyat terhadap raja
saat itu pun mengalami peningkatan. Peningkatan kepercayaan ini yang kemudian menjadi indikator
menguatnya posisi Airlangga sebagai raja dan terhindarnya pemerintahan Airlangga dari konflik dalam
negeri berupa pemberontakan.