Anda di halaman 1dari 16

PROPOSAL PENELITIAN

POLITIK KAPITALISASI HUTAN DI NTB

(Studi kasus di Kabupaten Lombok Timur )

Disusun Untuk Memenuhi

Tugas Matakuliah Ekonomi Politik Dan Pembangunan

Disusun Oleh:

Heldy Hasoni (210603043)

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS NEGERI MATARAM

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun telah panjatkan atas kehadirat Alloh Ta’ala, sang Pencipta alam
semesta dan kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya, karena berkat limpahan rahmat,
taufik, serta inayah-Nya. Maksud dan proposal penelitian ini untuk memnuhi tugas mata
kuliah Ekonomi Politik Dan Pemerintahan . serta merupakan bentuk langsung tanggung jawab
penyusun pada tugas yang diberikan.

Pada kesempatan ini, penyusun juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada
dosen Ekonomi Politik Dan Pemerintahan. Demikian pengantar yang dapat penyusun
sampaikan, dimana penyusun pun sadar bahwasanya penyusun hanyalah seorang manusia
yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Alloh
Ta’ala hingga dalam penulisan dan penyusunan masih jauh dari kata sempurna.

Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa penyusun terima
sebagai upaya evaluasi diri. Akhirnya penyusun hanya bisa berharap, bahwa dibalik tidak
kesempurnaan penyusunan dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan suatu yang dapat
memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi penyusun, pembaca, dan bagi seluruh
mahasiswa.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................i

DAFTAR ISI................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................iii

A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................2
C. Tujuan dan Manfaat penelitian .............................................................................2
D. Kerangka Teori......................................................................................................2
E. Metode penelitian..................................................................................................3
F. Sumber Penelitian..................................................................................................3
G. Sistematika Penulisan............................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................4

A. Konflik Agraria di sembalun.................................................................................4


B. Faktor-Faktor Terjadinya Konflik Agraria di Sembalun.......................................4

BAB III PEMBAHASAN............................................................................6

A. Politik Kapitalisasi Di NTB...................................................................................6


B. Konflik Kapitalisasi Hutan di NTB.......................................................................6

BAB IV PENUTUP...................................................................................12

A. Kesimpulan.......................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA................................................................................13
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Politik kapitalisasi hutan adalah kebijakan atau tindakan yang berfokus pada
pemanfaatan hutan untuk keuntungan ekonomi. Politik ini biasanya melibatkan privatisasi
atau komersialisasi hutan dengan tujuan menghasilkan pendapatan atau kekayaan bagi pihak
yang menguasai atau memiliki akses terhadap hutan.

Di bawah politik kapitalisasi hutan, hutan sering kali dianggap sebagai sumber daya
alam yang dapat dimanfaatkan secara komersial untuk produksi kayu, pulp, kertas, dan
produk lainnya. Hal ini bisa dilakukan melalui pemotongan pohon dan eksploitasi sumber
daya alam lainnya di dalam hutan. Dalam banyak kasus, politik kapitalisasi hutan juga
melibatkan pembukaan hutan untuk pertanian, perkebunan, dan proyek infrastruktur lainnya.

Namun, politik kapitalisasi hutan sering kali dikritik karena berdampak negatif
terhadap lingkungan dan masyarakat lokal. Deforestasi, degradasi habitat, dan kehilangan
keanekaragaman hayati sering kali terjadi sebagai akibat dari praktik-praktik ekstraksi sumber
daya alam yang tidak berkelanjutan. Selain itu, politik ini juga sering kali mengabaikan hak-
hak masyarakat adat dan perubahan iklim.

Kritikus politik kapitalisasi hutan berpendapat bahwa kebijakan yang berfokus terlalu
banyak pada keuntungan ekonomi mengabaikan pentingnya menjaga keberlanjutan dan
integritas ekosistem hutan. Mereka juga menyoroti dampak sosial yang merugikan bagi
masyarakat lokal yang sering kali kehilangan akses terhadap sumber daya alam yang penting
bagi kehidupan dan mata pencaharian mereka.

Alternatif politik yang dianjurkan adalah pendekatan berkelanjutan dan berkeadilan


dalam pengelolaan hutan. Ini mencakup perlindungan hutan, restorasi ekosistem yang rusak,
dan pengembangan kebijakan yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal dan
menghormati hak-hak mereka. Pendekatan ini juga mendorong diversifikasi perekonomian
dan pengembangan alternatif ekonomi yang berkelanjutan di komunitas yang bergantung pada
hutan.

B. Rumusan masalah
1. Apa itu kapitalisasi Hutan ?
2. Bagaimana Konflik-konflik kapitalisasi hutan di NTB?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk Mengetahui Apa Itu Kapitalisasi hutan di NTB?
2. Untuk Mengetahui Konflik-konflik kapitalisasi hutan di NTB?

D. Kerangka Teori

1. Teori Kapitalisme dan Ekonomi Politik:

Menjelaskan dasar-dasar kapitalisme dan hubungannya dengan pemanfaatan sumber


daya alam, khususnya hutan.

Memahami dinamika ekonomi politik yang mendasari proses kapitalisasi hutan di


wilayah tersebut.

2. Teori Kebijakan Publik:

Menganalisis kebijakan-kebijakan publik terkait hutan di NTB.

Memahami bagaimana kebijakan-kebijakan tersebut dapat mempengaruhi kapitalisasi


hutan dan pemanfaatan sumber daya alam.

3. Teori Ekologi Politik:

Meneliti hubungan antara kebijakan ekonomi dan dampaknya terhadap lingkungan,


termasuk hutan.

Memahami konflik-konflik antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan


E. Metodologi Penelitian

Research library atau Penelitian kepustakaan adalah studi yang mempelajari


berbagai buku referensi serta hasil penelitian sebelumnya yang sejenis yang berguna
untuk mendapatkan landasan teori mengenai masalah yang akan diteliti (Sarwono:
2006).

F. Sumber Penelitian

Sumber Penelitian yang dikumpulkan dari data-data penelitian terdahulu atau literatur-
literatur yang terkait dengan penelitian

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini merupakan penelitian perpustakaan dan penulisannya mengacu pada


pedoman penulisan skripsi UIN Mataram. Penulisan ini menggunakan bahasa Indonesia
yang baik dan struktur maupun kalimat

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini, kelompok menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, Tinjauan Pustaka, kerangka teori, metode penelitian dan
sumber data, sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini, kelompok menguraikan dan memaparkan temuan data kelompok
melalui beberapa literatur-literatur, baik melalui buku-buku ,jurnal, artikel, maupun
laman online.

BAB III PEMBAHASAN

Dalam bab ini, kelompok menguraikan data yang kelompok temukan yang kelompok
telah paparkan pada bab II

BAB IV PENUTUP

Dalam bab ini, kelompok menyajikan kesimpulan dan saran dari hasil tulisan kelompok
dari bab i,ii,iii.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konflik Agraria di Sembalun


Terjadinya konflik agraria secara umum merupakan dampak dari reaksi
masyarakat terhadap perampasan 4.444 lahan tersebut. Pengambilalihan yang sering
terjadi dapat ditelusuri kembali ke kegagalan dalam mengenali sistem kepemilikan
lahan yang telah ada di masyarakat selama beberapa generasi. Hal serupa juga terjadi
pada komunitas petani kecamatan Sembalun. Marginalisasi sistem common law yang
dilakukan pemerintah Orde Baru dalam operasional pertanian menimbulkan konflik
antara masyarakat dengan pemerintah dan korporasi.Namun konflik agraria yang
terjadi di Kabupaten Sembalun tidak sepenuhnya alami dan tidak wajar, melainkan
merupakan akibat dari serangkaian ulah manusia.
Dengan kata lain, terdapat 4.444 faktor pendorong yang mendasari munculnya
konflik agraria.

B. Faktor Penyebab Terjadinya Sengketa Agraria di Sembalun


Dalam upayanya mengkapitalisasi wilayah pedesaan , pemerintah Orde Baru menilai
sistem hukum adat menjadi penghambat tindakan yang diambil.
Hal ini menjadi kontradiksi sehingga pemerintah menerapkan kebijakan dengan
pendekatan represif dan korporatis terhadap keamanan dan stabilitas. Kontradiksi ini
bertentangan dengan sistem hukum adat, yang ingin dinegasikan oleh pemerintah
dengan secara sistematis meminggirkan pengaruhnya.

Hal ini dicapai melalui penciptaan kepemimpinan birokrasi yang lebih kuat
dan pemberlakuan struktur pemerintahan desa yang terpadu melalui deregulasi melalui
pemberlakuan UU No. Mei 1979, tentang pemerintahan desa. Dalam konteks
dialektika sejarah masyarakat Sembalun, sistem hukum adat yang merupakan tesis
yang disahkan oleh UUPA dan land reform tahun 1960, kini berhadapan dengan
Undang-Undang Pemerintahan Desa (UUPD) tahun 1979. ing. Berbeda dengan
terbitnya UUPD tahun 1979, pemerintahan Orde Baru berhasil mengubah struktur
hukum adat, menghilangkan segala aspek keberagaman lokal, dan mengubah sistem
pengelolaan lahan masyarakat Sembalung.Dengan demikian, sistem hukum adat
masyarakat Sumbalun mengalami marginalisasi dalam sistem pengelolaan pertanian
Sumbalun.
Peran tokoh adat juga telah berubah dan kini menjadi bagian dari rezim dalam
kegiatan pemerintahan. Tokoh adat Sembalun yang semula bernama Pemekel menjadi
kepala desa, Pemangku menjadi badan pemulihan masyarakat desa , dan Penghu
menjadi badan musyawarah desa (Yamni, 2015: 14).
Perubahan lembaga adat ini menunjukkan dominasi birokrasi pemerintah dan
merupakan kontrol pemerintah atas kekuasaan masyarakat hukum adat, sedangkan
tokoh adat tidak berdaya melawan kontrol pemerintah, cenderung mengabaikan
kewajibannya sendiri dan berkolusi dengan kepentingan pemerintah demi keuntungan
komersial. (Sembahrun & Frankie, 2009: 156).
Pengingkaran terhadap sistem hukum adat menjadi penyebab terjadinya
sengketa pertanian.Pemerintah menyita seluruh tanah yang sebelumnya dimiliki oleh
masyarakat adat dan menjadikannya milik negara (tanah nasional) (). Penguasaan atas
properti tersebut akan dialihkan kepada 4.444 perusahaan atau investor. Dalam hal ini,
PT mengalihkan kepada 4.444 perusahaan atau investor.SKE berada di bawah
pimpinan Thien Suharto (istri Soeharto) pada tahun dan meliputi wilayah seluas
kurang lebih 555.56 hektar. Praktik nasionalisasi dan kapitalisasi telah mendegradasi
sistem hukum adat dan memperburuk taraf hidup masyarakat Sembalun akibat
semakin langkanya lahan sebagai alat produksi untuk memenuhi kebutuhan subsisten
material yaitu kepuasan ekonomi.Akibat dari situasi tersebut masih menjadi pemicu
utama konflik agraria di masyarakat Sembalun hingga saat ini.
Dengan demikian, penolakan terhadap sistem hukum adat membuat
masyarakat pertanian Sumbalun kehilangan alat produksi material, sementara pada
saat yang sama sistem kapitalis dan praktik nasionalisasi menghilangkan peluang
kerja bagi masyarakat.Dengan kata lain, sistem ini menghilangkan harapan dan hak
4.444 warga Sembalun untuk mengatur urusan mereka sendiri sebagai petani. Mereka
kebingungan mencari lahan produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan materi
dirinya dan keluarganya.Penyebabnya, lahan untuk memproduksi pangan semakin
sedikit dan distribusi pangan tidak terpenuhi.Saat ini, produksi dan penjualan menjadi
sumber pendapatan bagi 4.444 masyarakat lokal.
Dengan demikian, kurangnya lahan sebagai alat produksi juga menyebabkan
terpuruknya perekonomian masyarakat Sembalun.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Politik Kapitalisasi Hutan di NTB

Kapitalisasi hutan adalah praktik ekonomi yang melibatkan penggunaan sumber daya
hutan untuk keuntungan ekonomi. Dalam konteks NTB (Nusa Tenggara Barat), kegiatan ini
seringkali terjadi dalam bentuk eksploitasi kayu atau pertanian komersial. Namun, ada juga
upaya yang sedang dilakukan untuk mendorong pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan
berbasis masyarakat di daerah ini.

Salah satu contoh kapitalisasi hutan di NTB adalah industri perkebunan kelapa sawit.
Perkebunan kelapa sawit telah berkembang secara signifikan di provinsi ini dalam beberapa
dekade terakhir, dengan banyak perkebunan yang didirikan di wilayah hutan. Pengelolaan
perkebunan kelapa sawit ini seringkali menuai kontroversi karena potensi dampak negatifnya
terhadap lingkungan dan masyarakat setempat. Penebangan hutan untuk memberi ruang bagi
perkebunan kelapa sawit dapat merusak ekosistem dan mengurangi keanekaragaman hayati.

Namun, di sisi lain, terdapat pula upaya untuk mendorong pengelolaan hutan yang
berkelanjutan dan berbasis masyarakat di NTB. Misalnya, program pengelolaan hutan
bersama antara masyarakat adat dan pemerintah provinsi. Program ini melibatkan partisipasi
langsung masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait penggunaan dan perlindungan
hutan, sehingga mendorong pembangunan yang berkelanjutan.

Selain itu, juga terdapat upaya untuk mengembangkan ekowisata di NTB, yang dapat
memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat setempat melalui pengaturan wisata alam
yang berkelanjutan. Pengembangan ekowisata ini dapat menjaga kelestarian hutan dan
mendukung perekonomian lokal.

B. Konflik- Konflik

Konflik agraria pernah terjadi pada masyarakat pertanian di Kecamatan Sembalun ini
terjadi karna kebijakan yang di lakukan pemerintah kurang tepat misalnya seperti pengasingan
sistem hukum adat dalam pengelolaan pertanian oleh pemerintah Orde Baru menimbulkan
konflik antara masyarakat dengan pemerintah.. Namun konflik pertanian yang terjadi di
Kabupaten Sembalun tidak sepenuhnya alamiah melainkan karena pengaruh pola aktivitas
manusia. Dengan kata lain, ada faktor-faktor pendorong yang menjadi basis terbentuknya
konflik agraria tersebut

Adapun faktor- faktor yang menyebabkan konflik agraria di sembalun karena


Pemerintah Orde Baru, dalam upayanya memanfaatkan wilayah pedesaan, memandang sistem
hukum adat sebagai penghambat implementasi kebijakan.. Hal ini menjadi kontradiksi yang
mendorong pemerintah menerapkan kebijakan dengan pendekatan represif dan korporat
dalam menstabilkan keamanan.. Karena adanya konflik dengan sistem hukum adat, maka
pemerintah berusaha meniadakan sistem hukum adat dengan cara menghilangkan pengaruh
tokoh-tokoh hukum adat secara sistematis.. Hal ini dilakukan dengan memperkuat
kepemimpinan birokrasi dan menerapkan struktur pemerintahan desa yang terpadu melalui
deregulasi pemberlakuan UU No.. 5 Mei 1979 tentang Pemerintahan Desa.

Dalam konteks dialektika sejarah masyarakat Sembalun, sistem hukum adat merupakan
dalil yang dilegitimasi oleh UUPA tahun 1960 dan land reform – kini berhadapan dengan
Undang-Undang Pemerintahan Desa (UUPD) sejak tahun 1979 sebagai antitesisnya..
Antitesis terbitnya UUPD 1979 berarti pemerintahan Orde Baru berhasil mengubah struktur
hukum adat dan menghilangkan segala aspek keberagaman lokal, serta mengubah sistem tata
kelola tanah masyarakat Sembalun.. Dengan demikian, sistem hukum adat masyarakat
Sembalun telah mengalami 4..444 kali korupsi dalam sistem pengelolaan tanah Sembalun..

Peran tokoh adat juga berubah fungsinya menjadi bagian integral dalam menjalankan
operasional pemerintahan.. Tokoh adat Sembalun yang semula bernama Pemekel menjadi
kepala desa, Pemangku menjadi organisasi ketahanan masyarakat desa , dan Penghulu
menjadi organisasi musyawarah desa (Yamni, 2015: 14).. Perubahan lembaga adat ini
menunjukkan dominasi birokrasi pemerintah dan merupakan kontrol negara terhadap
kekuasaan masyarakat hukum adat.. Di sisi lain, tokoh adat tidak berdaya menghadapi
kontrol negara, mereka cenderung mengabaikan kewajibannya dan bersekongkol untuk
menguntungkan pemerintah untuk tujuan komersial (Sembahulun & Franky, 2009: 156)..

Melalui terbitnya UUPD pada tahun 1979, sistem hukum adat masyarakat Sembalun
dinegasikan, diubah dan disatukan karena tidak adanya kebebasan.. Pengingkaran mengubah
sistem pengelolaan pertanian dan struktur hukum adat sehingga menyebabkan masyarakat
Sembalun mengalami konflik antara dua sistem kepemimpinan.. Salah satu aspek sejarahnya
adalah masyarakat Sembalun sudah terbiasa hidup bermasyarakat dengan sistem hukum
adat.. Namun di sisi lain, mereka harus mematuhi 4..444 undang-undang yang dikeluarkan
negara.. Konflik ini menimbulkan ketegangan dalam masyarakat Sembalun, antara menganut
struktur negara yang memegang kekuasaan dan wewenang, atau tetap berada dalam struktur
hukum adat sebagai dialektika historisitas Nama Marga .. Namun karena kewenangan ini sah,
maka siapapun atau masyarakat yang tidak tunduk pada kewenangan ini akan dikenakan
sanksi.

Dengan demikian, UUPD Tahun 1979 tidak hanya memisahkan sistem hukum adat
dengan sistem administrasi pertanahan Sembalun, namun juga memisahkan masyarakat
Sembalun dari praktik adatnya. Salah satu tanda keterasingan tersebut adalah adanya negara
sebagai lembaga dari luar dan atas yang memaksa individu masyarakat Sembalun untuk
bertindak secara sosial sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan..
Meskipun individu dalam masyarakat Sembalun sendiri bertindak murni egois, namun
tindakan sosialnya didasarkan pada sistem adat istiadat.. Keterasingan terhadap sistem adat ini
sekaligus menunjukkan bahwa Sembalun teralienasi dari sifat sosialnya, karena jika
Sembalun sendiri bersifat sosial maka tidak diperlukan undang-undang negara.. 1999: 79).

Negasi yang mengasingkan sistem hukum adat menjadi sumber konflik agraria..
Pemerintah mengambil kembali seluruh tanah yang dulunya milik masyarakat adat dan
dijadikan tanah negara, karena tidak bersertifikat.. Hak pengelolaan tanah tersebut kemudian
diberikan kepada perusahaan atau investor, dalam hal ini PT.. SKE saat itu bernomor , di
bawah pimpinan Tien Soeharto (istri Soeharto), dengan luas sekitar 555,56 hektar..
Penerapan kepemilikan negara dan kapitalisasi telah memperburuk sistem hukum adat dan
kondisi kehidupan masyarakaSembalun, karena kurangnya lahan sebagai alat produksi untuk
memenuhi. kebutuhan material - kepuasan.. Akibat dari keadaan tersebut menjadi penyebab
utama yang masih menimbulkan konflik agraria pada masyarakat Sembalun hingga saat ini.

Dengan demikian, penolakan terhadap sistem hukum adat menyebabkan masyarakat


petani Sembalun kehilangan alat-alat produksi material, sedangkan sistem kapitalis dan
praktek negara menghilangkan kemampuan masyarakat untuk bekerja.. Dengan kata lain,
sistem ini membuat 4..444 warga Sembalun kehilangan harapan dan kendali atas pekerjaan
bertani mereka. Untuk memenuhi kebutuhan materi dan keluarganya, mereka tidak tahu
bagaimana mencari lahan produktif untuk pertanian.. Penyebabnya adalah hampir tidak ada
lagi lahan yang tersisa untuk produksi pangan sehingga distribusi pangan tidak terjamin..
Sedangkan produksi dan distribusi merupakan sumber pendapatan masyarakat.. Dengan
demikian, berkurangnya lahan sebagai alat produksi juga menyebabkan terpuruknya
perekonomian masyarakat Sembalun.

Lambat laun masyarakat pertanian Sembalun mulai menyadari keterasingan dari


sistem hukum adat dan lingkungan alamnya sendiri akibat perampasan alat-alat produksi
material alam; hutan dan lahan.. Dalam konsep materialis dialektis, kesadaran manusia
terhadap situasi yang dialaminya merupakan produk tertingginya.. Dengan demikian, Karl
Marx menyatakan bahwa “bukanlah kesadaran masyarakat yang menentukan kondisi mereka,
namun sebaliknya, kondisi sosiallah yang menentukan kesadaran mereka (Farihah, 2015: 34).
Dengan kata lain, kesadaran adalah sesuatu yang sekunder, yang berasal dari materi.. Dengan
demikian, yang menentukan berkembangnya masyarakat bukanlah apa yang mereka pikirkan
tentang dirinya, melainkan keadaan masyarakat sebenarnya yang menciptakan kesadarannya.

Masyarakat petani Sembalun mulai merasakan keterasingan dan penindasan dari


pemerintah yang telah merampas tanah mereka.. Perasaan dan pengalaman inilah yang
menyadarkan bahwa mereka adalah kelompok kelas yang bernasib sama dengan petani yang
terasing dan tertindas di Sembalun. Jadi, mereka sepakat untuk mengintegrasikan dan tidak
hanya memahami keterasingan dan penindasan , tetapi juga mulai mencari cara untuk
membebaskan dari keterasingan dan penindasan mereka. Ketika masyarakat mulai menyadari
bahwa perampasan alat produksi material telah membuat mereka terasing dari hukum adat
dan lingkungan alamnya sendiri, pada saat yang sama kesadaran kolektif ini telah
menimbulkan konflik antar kekuatan produktif.

Hal serupa pernah terjadi di Sambelia Lombok Timur namun masalah kali ini terletak
pada kebijakan pemerintah terkait dengan hutan tanah industri. HTI merupakan salah satu dari
4..444 kebijakan pengelolaan hutan yang kontroversial.Poin kontroversialnya tidak hanya
terletak pada perdebatan mengenai efektivitas penurunan emisi dan perlindungan lingkungan
hidup, namun juga pada dampak sosial dari kebijakan ini yang dinilai memiliki tren negatif.
Dampak sosial negatif terjadi karena nilai yang diperoleh pemilik lahan atau investasi
kembali lokal terbatas sehingga menimbulkan banyak konflik.

Konflik di kawasan HTI sebenarnya bukan hanya disebabkan oleh buruknya reinvestasi
ekonomi oleh masyarakat lokal namun juga karena berulangnya ketidakamanan lahan.
Sedangkan Syahadat (2013) mengungkapkan aspek sosial, kelembagaan dan hukum hidup,
namun juga pada dampak sosial dari kebijakan ini yang dinilai memiliki tren negatif. Dampak
sosial negatif terjadi karena nilai yang diperoleh pemilik lahan atau investasi kembali lokal
terbatas sehingga menimbulkan banyak konflik.

Konflik di kawasan HTI sebenarnya bukan hanya disebabkan oleh buruknya reinvestasi
ekonomi oleh masyarakat lokal namun juga karena berulangnya ketidakamanan lahan.
Sedangkan Syahadat (2013) mengungkapkan aspek sosial, kelembagaan dan hukum
menjadi sumber konflik pertanahan antar masyarakat (sekitar70 %), serta aspek ekonomi
hanya bertumpu pada aspek untuk mencapai tujuan kehutanan.industri produk.

Aspek-aspek tersebut antara lain areal konsesi yang tidak jelas, sering tumpang tindih
dengan lahan, dikelola oleh petani, penguasaan lahan yang berlebihan, pengawasan yang
lemah, tidak jelasnya standar model kontrak kerja, ataupun persoalan dasar hukum yang
tumpang tindih.

Hutan Sambelia Perselisihan bermula ketika PT SAN menolak hak masyarakat atas
konsesi lahan HTI .. Masyarakat di sekitar Kawasan Hutan Sambelia sudah lama
memanfaatkan Kawasan Hutan sebagai sumber penghidupan utama mereka, namun menurut
Pusat KPH Rinjani Timur (wawancara mendalam), aktivitas pemanfaatan Hutan yang
dilakukan masyarakat adalah illegal. Masyarakat sudah lama memanfaatkan lahan hutan (30
tahun), sehingga ketika PT SAN datang melalui izin IUPHHK-HTI, masyarakat sekitar hutan
melihat hal tersebut sebagai upaya perusahaan untuk memperoleh lahan melalui
penaklukan.. .Dalam praktiknya, PT SAN menerapkan asas legalitas dalam pengelolaan dan
pemanfaatan hutan.

Terkait dengan kebijakan pemerintah tentang hutan ada yang memberikan dampak
positif seperti kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah kabupaten lombok tengah yang
berupa program hutan kemasyarakatan (HKm). Jadi Pada tahun 2009, Pemerintah Provinsi
Lombok Tengah mengeluarkan Peraturan Daerah Lombok Tengah Nomor 4 Tahun 2009
tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan (HKm). Penerbitan peraturan daerah ini
bertujuan untuk melibatkan organisasi masyarakat lokal untuk melawan deforestasi,
memungkinkan mereka mengelola hutan secara berkelanjutan dan mengakses hasil hutan..
Pasal (19) (06) menyatakan: “Pedoman pengelolaan HKm yang baik dapat diberikan oleh (a)
Pemerintah dan Pemerintah Negara Bagian; (b) pendidikan tinggi; dan (c).. Sesuai peraturan
daerah, Wolhi merupakan partai politik yang bekerja sama dengan pemerintah sebagai
fasilitator pengelolaan Hong Kong sebagai peluang organisasi dalam proses pemberdayaan
masyarakat berkelanjutan.
Mawardi (2009) ``Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan: Studi Kasus di Batukulian
Utara, Provinsi Lombok Tengah'' menemukan bahwa program HKm di Batukulian Utara
meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, terutama dengan meningkatkan pendapatan
dari hutan non-kayu.. Saya menemukan bahwa saya mampu melakukannya.. Produk tersebut
tidak hanya meningkatkan produksi buah-buahan, namun juga berhasil menjaga hutan melalui
upaya regenerasi hutan (reboisasi).. Ada tiga faktor yang mempengaruhi program ini.. 1)
Akses menuju lokasi (jarak dari jalan hutan menuju lokasi).. 2) Modal (untuk pengadaan
benih dan biaya operasional).. 3) Ketergantungan terhadap hasil hutan.. Nurjannah (2009: 69)
Penelitiannya menunjukkan bahwa institusi lokal tidak berperan nyata dalam pengelolaan
hutan.. Nurjana mencontohkan, institusi lokal berperan besar dalam pendistribusian lahan
hutan.. Hal ini terjadi pada sekelompok petani HKm di Desa Aik Berik, Kabupaten Lombok
Tengah.. Nandini (2013: 44) menemukan dalam sebuah penelitian bahwa penerapan HKm
gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.. Menurut WWF dan ECPE
(2005, Departemen Kehutanan Provinsi NTB, 2007), sekitar 200..000 hingga 400..000 orang
yang tinggal di dekat hutan di NTB masih miskin, yaitu sekitar 20 hingga 40 penduduk
miskin di NTB.. Pemanfaatan hutan sebagai HKm, yang sebagian besar digunakan untuk
kegiatan penghijauan dengan sistem tumpang sari, gagal meningkatkan perekonomian
masyarakat setempat.
BAB IV

KESIMPULAN

Kesimpulan dari politik kapitalisasi hutan adalah bahwa pendekatan tersebut cenderung
lebih memprioritaskan pemanfaatan ekonomi dari pada perlindungan lingkungan. Meskipun
dapat memberikan manfaat ekonomi jangka pendek, politik ini juga dapat mengakibatkan
kerusakan lingkungan jangka panjang, seperti deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati,
dan perubahan iklim. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk
mempertimbangkan dampak jangka panjang dan menjaga keseimbangan antara ekonomi dan
lingkungan dalam pengelolaan hutan.
DAFTAR PUSTAKA

WIBOWO, I. K. (2017). PERAN KOMUNITAS JURNALIS PEDULI LINGKUNGAN DALAM


PENOLAKAN PEMBANGUNAN DERMAGA WISATA DI KAWASANB KONSERVASI HUTAN
MANGROVE SURABAYA (Doctoral dissertation, Universitas Airlangga).

yang Beraneka-ragam, P. H. U. Suatu Agenda Politik Agraria Indonesia. PERGULATAN


INTELEKTUAL MEWUJUDKAN TATA KELOLA AGRARIA YANG ADIL, DEMOKRATIS DAN
MENSEJAHTERAKAN, 137.

Panasik, A. (2019). Modal Sosial dalam Pengusulan Ijin HTI di Nusa Tenggara Barat sebagai
Pertempuran Konstitusi Hutan. Jurnal Deepublish.

Nugraha, R., & Hariyadi, A. (2020). Pemberdayaan Perekonomian Masyarakat Melalui Ekowisata
Hutan di Nusa Tenggara Barat. Indonesian Tourism and Development Journal, 6(1), 60-73.

Umaruddin, D. KONFLIK AGRARIA DI KECAMATAN SEMBALUN KABUPATEN


LOMBOK TIMUR NUSA TENGGARA BARAT 1979–2019.

Hidayat, A., & Safitri, P. (2021). POLITIK EKOLOGI KEHUTANAN: KEBIJAKAN HUTAN
TANAMAN INDUSTRI DI SAMBELIA, LOMBOK TIMUR. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi
Kehutanan Vol, 18(3), 205-218.

Muttaqin, M. Z. (2021). Analisis Keterlibatan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Program


Hutan Kemasyarakatan di Provinsi Nusa Tenggara Barat. POLITICOS: Jurnal Politik dan
Pemerintahan, 1(1), 1-13.

Anda mungkin juga menyukai