Anda di halaman 1dari 19

1

Naskah Orasi Guru Besar


Prof. Dr. Arif Satria, SP., M.Si
“Modernisasi Ekologi dan Ekologi Politik: Perspektif Baru Analisis Tata Kelola
Sumber Daya Alam”

Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu’alikum Warahmatullahi Wabarakaatuh


Yang terhormat,
Menteri Riset dan Teknologi, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
Menteri kelautan dan Perikanan, Dewan Pertimbangan Presiden
(Soekarwo), Staf Khusus Presiden (Ari Dwipayana, Fadjroel Rahman, Arif
Budimanta), dan Pejabat Tinggi Negara, Anggota DPR RI, serta LPNK
Gubernur Jawa tengah, Wakil Gubernur Jawa Timur,
Walikota dan Muspida Bogor, Tangerang Selatan, dan Bupati Bogor
Para Direktur dan komisaris BUMN
Ketua dan Anggota Majelis Wali Amanah IPB
Ketua dan Anggota Senat Akademik IPB
Ketua dan Anggota Dewan Guru Besar IPB
Wakil Rektor, Sekretaris Institut, Kepala Lembaga, Dekan
Kepala Kantor/Unit, Direktur, Ketua Departemen, Kepala Pusat
Para Kolega Rektor, Dosen, Tenaga Kependidikan, Mahasiswa dan Alumni
Para undangan yang saya muliakan, serta Keluarga yang saya cintai.

Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua.


Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala
atas seluruh rahmat dan karunia-Nya yang dilimpahkan kepada kita
semua.Pada kesempatan ini, perkenankan saya untuk menyampaikan
orasi ilmiah berjudul: Modernisasi Ekologi dan Ekologi Politik: Perspektif
2

Baru Analisis Tata Kelola Sumber Daya Alam. Substansi orasi ini
merupakan sintesis teori-teori baru dan rangkaian penelitian
internasional dan nasional yang saya tekuni hingga saat ini, baik sendiri
maupun bersama tim.

Bapak/Ibu hadirin sekalian yang saya hormati


Indonesia diprediksi menjadi negara maju pada tahun 2045 yang
hanya dapat dicapai dengan strategi pembangunan yang mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan juga memerhatikan aspek
lingkungan. Hal ini karena hingga saat ini Indonesia masih dihadapkan
pada sejumlah krisis lingkungan :

• Diperkirakan limbah plastik yang mengalir ke laut oleh 192 negara


pantai pada tahun 2010 bisa mencapai 12,7 juta ton, dan Indonesia
berada di peringkat kedua terbesar setelah China
• Data KLHK (2019) juga menyebutkan dari 125 juta hektar kawasan
hutan, sekitar 35 juta hektar dalam kondisi rusak berat atau berupa
lahan tidak berhutan.

Krisis lingkungan juga dapat berdampak kepada tingkat ketahanan


pangan. Dalam Food Sustainability Index (FSI) tahun 2018, Indonesia
mendapat skor 59,1, tertinggal dari Ethiopia 68,5 yang dulu kita kenal
sebagai daerah kelaparan. Indeks Ketahanan Pangan Global 2019
Indonesia berada di urutan 62 dunia dan kelima di Asia Tenggara, namun,
Food Loss and Waste (kehilangan dan pemborosan pangan) Indonesia
tergolong tinggi, yaitu 300 kg/kapita/tahun dan tergolong nomor dua di
dunia.
3

Krisis lingkungan dan sumber daya alam sebagaimana di atas


adalah krisis tata kelola. Oleh karena itu diperlukan perbaikan tata kelola
dengan dua perspektif baru, modernisasi ekologi (ecological
modernization) dan ekologi-politik (political ecology) untuk membedah,
mengurai, memahami sumber masalahnya, serta memberikan tawaran
solusi.

Bapak/Ibu hadirin sekalian yang saya hormati,

Modernisasi ekologi merupakan upaya adaptasi ulang masyarakat


industri terhadap lingkungan hidupnya dengan menggunakan ilmu
pengetahuan modern dan teknologi maju untuk daya dukung alam dan
pembangunan berkelanjutan.

Istilah Modernisasi Ekologi pertama kali digunakan oleh Joseph


Huber, yang mencetuskan teori “greening of industry”. Huber
menekankan perlunya perbaikan lingkungan secara fundamental melalui
strategi berbasis inovasi dan teknologi untuk menciptakan penggunaan
sumber daya alam yang efisien dan co-benefits bagi ekologi dan ekonomi.

Modernisasi ekologi menggarisbawahi bahwa rasionalitas ekologi


diperlukan untuk mengimbangi rasionalitas ekonomi, sehingga kegiatan
produksi dan konsumsi dapat memberikan manfaat bagi ekonomi dan
sekaligus ekologi. Akhir dekade 1990an aplikasi modernisasi ekologi
meluas hingga ke manajemen, seperti Sistem Manajemen Lingkungan ISO
14000. Asumsi utama modernisasi ekologi adalah pertumbuhan ekonomi
dapat direkonsiliasikan dengan kelestarian ekologis, dan bertumpu pada
tiga strategi:
4

(a) Ekologisasi produksi, seperti produksi bersih tanpa limbah yang


merusak;
(b) Perbaikan kerangka regulasi dan pasar untuk pro-ekologis;
(c) Menghijaukan (greening) nilai sosial dan korporat beserta
prakteknya. Ragam gerakan sosial seperti car free day, kampanye
earth hour, gerakan anti kantong plastik, penggunaan tumbler, adalah
contohnya. Ada juga contoh menarik di sebuah kabupaten yang
membuat tradisi baru dalam upacara pernikahan yang mewajibkan
pemberian mahar berupa bibit pohon yang harus tanam. Inilah
contoh upacara pernikahan yang “green”.

Bapak/Ibu hadirin sekalian yang saya hormati


Sementara itu pendekatan ekologi politik tumbuh sebagai
bagian dari evolusi keterlibatan ilmuwan sosial ke dalam isu-isu
ekologi. Diawali dengan kajian ekologi manusia, kemudian Julian
Steward (1968) mengenalkan teori ekologi budaya. Pasca 1980
berkembang tiga teori penting dalam ranah relasi manusia dan
lingkungan hidupnya, yakni teori ekologi politik (political ecology),
teori politik lingkungan hidup (environmental politics), dan teori
sosiologi lingkungan (environmental sociology). Intinya, ekologi
politik merupakan bidang kajian yang mempelajari aspek-aspek
sosial politik terhadap pengelolaan lingkungan. Asumsi pokoknya
bahwa perubahan lingkungan tidaklah bersifat netral dan teknis,
melainkan merupakan bentuk politicized environment. Artinya,
persoalan lingkungan tidak dapat dipahami secara terpisah dari
konteks politik dan ekonomi dimana masalah itu muncul yang
melibatkan aktor-aktor pada tingkat lokal, regional, maupun global.
Beberapa asumsi yang mendasari pendekatan aktor ini :
5

(a) Biaya dan manfaat perubahan lingkungan dinikmati para aktor


secara tidak merata,
(b) Distribusi biaya dan manfaat yang tidak merata tersebut
mendorong terciptanya ketimpangan sosial ekonomi, dan
(c) Dampak sosial ekonomi yang berbeda akibat perubahan
lingkungan tersebut mempunyai implikasi politik.
Dalam ekologi politik ada dua pendekatan yang dominan, yaitu
pendekatan aktor dan pendekatan kritis. Pendekatan aktor mengkaji
kepentingan, karakteristik dan tindakan dari para aktor dalam konflik
politik dan ekologi. Pendekatan aktor-strukturalis ini melihat persoalan
degradasi lingkungan sebagai akibat dari kekuatan kapitalisme atau
kebijakan negara yang berdampak pada masyarakat lokal dan lingkungan.
Sementara pendekatan kritis dimulai dari masalah “domination of
nature”. Dalam bukunya One Dimensional Man, Marcuse secara eksplisit
menegaskan bahwa “dominasi terhadap alam terkait dengan dominasi
sesama manusia” (Forsyth 2003). Hal ini terjadi karena “manusia dan
alam dilihat sebagai komoditas dan nilai tukar semata sehingga
dehumanisasi menjadi tak terhindarkan dan begitu pula eksploitasi
terhadap alam”. Perspektif kritis mulai mengangkat pendekatan
konstruktivisme yang menekankan bahwa lingkungan dan sumber daya
alam adalah hasil konstruksi sosial. Ini adalah antitesis terhadap
positivisme lingkungan yang menganggap bahwa tafsir terhadap
perubahan alam adalah tunggal. Positivisme lingkungan tidak melihat
dimensi sosial budaya dan sejarah sebagai variabel penting pembentuk
perspektif orang tentang alam. Hutan dan laut bagi positivisme
lingkungan adalah biofisik, namun bagi masyarakat tradisional hutan dan
laut memiliki makna lain sebagai jalan hidup dan sistem kebudayaan.
6

Bapak/Ibu hadirin sekalian yang saya hormati


Pada dasarnya, krisis lingkungan dan sumber daya alam (SDA)
adalah krisis tata kelola (governance). Hal ini bermakna bahwa krisis
lingkungan dan SDA adalah kegagalan mengatur tindakan para aktor yang
berkepentingan terhadap sumber daya. Bagaimana karakteristik para
aktor, khususnya negara, pasar, dan masyarakat?

Pertama, tentang negara. Modernisasi ekologi menempatkan


negara sebagai solusi krisis lingkungan. Negara berperan besar dalam dua
hal utama :

(a) Kebijakan terkait pengelolaan lingkungan hidup, dan


(b) mendirikan lembaga-lembaga pemerintah yang bergerak dalam tata
kelola lingkungan hidup baik nasional maupun daerah. Boleh
dikatakan, Indonesia termasuk negara yang progresif menerapkan
modernisasi ekologi.

Sementara itu ekologi politik melihat adanya kontestasi negara dan


masyarakat maupun insitusi di dalam negara itu sendiri karena negara
memiliki dua fungsi sekaligus : aktor pengguna dan aktor pelindung
sumber daya alam. Sebagai contoh terjadinya konflik kepentingan ketika
di dalam kawasan konservasi juga terdapat kandungan mineral atau
minyak dan gas bumi yang layak secara finansial dan ekonomi untuk
ditambang.

Sebagai aktor pengguna, negara sering diasosiasikan sebagai


bagian dari operasi kapitalisme global. Perusahaan multinasional
berkepentingan terhadap peran negara untuk memperlancar urusan
7

praktik eksploitasi sumber daya alam. Akan tetapi secara empiris, tidaklah
terbukti bahwa antara kapitalisme dan negara selalu sejalan. Banyak
konflik yang terjadi antar keduanya, seperti adanya kebijakan negara yang
membatasi exploitasi sumber daya untuk kepentingan produksi jangka
panjang. Keterbatasan lainnya adalah Negara terlalu besar untuk
mengatasi masalah lokal dan terlalu kecil untuk mengatasi masalah
global. Karena itulah peran organisasi multilateral menjadi penting untuk
kontrol lingkungan global. Namun demikian forum global juga bukan
tanpa kontestasi. Negara maju sangat mendominasi forum global
tersebut karena riset-risetnya yang sangat kuat dan meyakinkan untuk
dijadikan regulasi lingkungan global. Migrasi penyu seperti gambar ini
memerlukan penanganan secara multilateral. Laut di dunia tidak bebas
lagi, semua diatur lembaga multilateral (RFMOs). Indonesia yang ada di
samudera India tidak cukup kuat melawan dominasi Jepang dan Australia
di CCSBT dan negara-negara Eropa di IOTC. Untuk menangkap tuna di laut
internasional tersebut harus menjadi member dari RFMO

Kedua, tentang pasar. Pasar dapat dimaknai sebagai aktor dan


sekaligus sebagai pendekatan. Pasar sebagai aktor tercermin dalam
pelaku swasta, yang dikategorikan menjadi tiga tipe:
(a) swasta yang yang tidak peduli lingkungan, seperti gerakan “climate
denial” di Amerika Serikat yang tidak mengakui terjadinya perubahan
iklim,
(b) swasta yang mengakomodasi kepentingan lingkungan, yang sering
melakukan “greenwash” karena melakukan kegiatan peduli
lingkungan namun pada saat yang sama juga kegiatan usahanya
mengancam lingkungan,
8

(c) swasta yang mengembangkan green business dengan pemanfaatan


teknologi karbon rendah
Secara ekologi politik, swasta tipe pertama banyak disorot karena
banyak menyebabkan kerusakan lingkungan yang pada akhirnya
memarjinalisasi masyarakat. Hal ini tidak lain sebagai wujud operasi
kapitalisme masa lalu. Namun demikian kehadiran modernisasi ekologi
menjadi penting untuk memunculkan “green capitalism” yang berusaha
merekonsiliasi urusan bisnis dan lingkungan. Namun demikian, dalam
ekologi-politik green capitalism bukan tanpa masalah. Berbagai aksi
ekslusi terjadi untuk menutup akses nelayan pada wilayah tradisional
mereka sendiri akibat “pengklavlingan” oleh perusahaan wisata bahari
yang sejatinya adalah “green”. Inilah “Tragedy of Enclosure”, sebuah
tragedi oleh dominasi negara atau bisnis dalam menguasai sumber daya
alam, yang menutup akses masyarakat local.
Sementara itu pendekatan pasar ada tiga, yaitu kuota yang dapat
diperjualbelikan, pembayaran atas jasa lingkungan (payment for
ecosystem services atau PES) dan ecolabelling.
Pendekatan quota telah digunakan menjadi instrumen pengelolaan
perikanan di negara maju, seperti Individual Transferable Quota (ITQ).
Penerapan sistem ITQ di Australia dan Selandia Baru, awalnya dianggap
bermasalah karena menutup akses suku aborigin dan maori dalam
menangkap ikan. Intinya pendekatan quota bermasalah ketika para
pelaku di dalamnya tidak setara. PES merupakan sebuah mekanisme
yang dibangun untuk memberikan kompensasi kepada individu maupun
kelompok masyarakat yang telah berjasa dalam menjaga sumber daya
dan lingkungan, sehingga jasa lingkungan tetap memberikan manfaat
sosial serta bertujuan untuk membiayai konservasi. Ecolabelling
9

merupakan consumer-driven instrument yang menuntut perhatian


produsen untuk lebih serius mewujudkan produksi yang berkelanjutan.
Ecolabelling ditemukan pada produk-produk pertanian, perikanan dan
kehutanan
Ketiga, tentang masyarakat. Pendekatan modernisasi ekologi
kurang mempertimbangkan masyarakat sebagai aktor, padahal aktor
masyarakat di akar rumput adalah yang terlemah dalam politicized
environment dibandingkan dengan negara dan swasta. Masyarakat
hampir selalu mengalami proses marginalisasi dan umumnya rentan
akibat adanya degradasi lingkungan. Laporan FAO (2018) menyebutkan
tahun 2030 perubahan iklim akan menambah jumlah orang miskin hingga
seratus juta jiwa dan harga pangan melambung hingga 12%, padahal 60%
pengeluaran orang miskin untuk pangan.
Dalam pengelolaan SDA, masyarakat juga bertahun-tahun tidak
diperankan secara optimal, yang sebenarnya merupakan kecenderungan
umum dunia ketiga pasca kemerdekaan dimana banyak terjadi proyek
nasionalisasi sumber daya alam dan menuntut peran negara yang lebih
besar. Namun masalahnya beriringan dengan kemerdekaan negara-
negara baru pasca perang dunia kedua, terjadi proyek modernisasi yang
begitu masif.
Modernisasi membawa perubahan sosial yang begitu besar, dan
memunculkan mitos-mitos tentang kelemahan masyarakat tradisional
miskin yang dianggap tidak mampu mengelola sumber daya alam. Mitos
tersebut dibantah oleh Studi Satria et al. (2004) yang membuktikan
masyarakat pesisir sebenarnya mampu mengelola sumber daya alam, dan
ini semakin memperkuat apa yang ditulis oleh Forsyth (2003) tentang
perlunya dekonstruksi mitos-mitos lama:
10

a) orang miskin penyebab kerusakan lingkungan, padahal orang kaya


menggunakan sumber daya lebih banyak dan memiliki dampak
lingkungan yang lebih besar dari orang miskin.
b) orang miskin tidak peduli terhadap lingkungan, padahal orang miskin
sangat sadar terhadap dampak negatif dari lingkungannya mengingat
mereka sering tergantung pada lingkungan untuk hidup.
c) orang miskin kurang memiliki pengetahuan dan sumber daya untuk
memperbaiki lingkungannya, padahal orang miskin dapat melakukan
pengelolaan lingkungan yang lebih baik, khususnya ketika insentif dan
informasi tersedia. Namun sayangnya pengetahuan tradisional mereka
seringkali diabaikan.

Namun demikian, berdasarkan riset Satria et al. (2016; 2004a;


2004b) pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat (PSM) di
Indonesia sejak era otonomi daerah memperlihatkan keragaman model,
yang menurut asal usul pembentukannya dapat dikategorikan menjadi
tiga, yaitu:

(a) PSM berbasis adat,


(b) PSM Berbasis revitalisasi adat,
(c) PSM non adat,

Berdasarkan orientasinya dapat dikategorikan ke dalam 4 tipe:

(a) Konservatif,
(b) Hybrid-Rendah,
(c) Hybrid-Tinggi, dan
(d) Status quo.
11

Contoh masyarakat yang mampu mengelola sumberdaya local dengan


baik antara lain Awig-awig, Sawen, dan Sasi. Di Lombok Barat, dulu ada
sistem sawen yang merupakan aturan kapan orang boleh menebang
pohon di hutan, menanam padi, serta menangkap ikan. Untuk mengatur
sawen, di hutan ada otoritas lokal yang bernama mangku alas, di sawah
ada mangku bumi, dan di laut ada mangku laut. Masing-masing mangku
tersebut membangun koordinasi dan kolaborasi dalam pengelolaan
masing-masing ekosistem. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa
hutan-sawah-laut merupakan satu kesatuan, dan hutan sebagai buana
alit. Hutan dianggap sebagai “ibu” karena merupakan sumber air yang
kondisinya akan berpengaruh pada ekosistem di hilir. Sawen tersebut
mengajar kita bagaimana mengintegrasikan hulu-hilir. Jepang juga
punya contoh yang baik tentang PSM melalui koperasinya.

Bapak/Ibu Hadirin yang saya hormati


Berikut ini adalah contoh tata kelola kawasan konservasi laut di
Indonesia, yang melibatkan negara, pasar, dan masyarakat. Negara
memiliki kelebihan dan kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah
adanya Konflik pusat-daerah dan sectoral yang membuat konservasi laut
tidak efektif. Konservasi laut laut di Indonesia dikelola oleh 3 rezim besar,
yaitu UU 5/1990, UU Perikanan, dan UU PWP-PPK Pendekatan pasar juga
memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelemahannya ditunjukkan Studi
Muswar & Satria (2011) bahwa proses ecolabelling mendukung edukasi
pada nelayan untuk penangkapan ikan ramah lingkungan, namun secara
ekonomi tidak memberikan dampak yang signifikan karena tidak ada
perbedaan harga yang diterima nelayan.
12

Masyarakat juga punya kelebihan dan kelemahan. Satria et al


menunjukkan sejumlah rezim masyarakat yang bermasalah :

a) PSM hybrid tinggi dan rendah yang bermasalah karena


menciptakan ketidakadilan intra-komunitas, yaitu ketika
nelayan lokal tidak bisa mengakses sumber daya alam akibat
wilayah perairan “dikaveling” oleh investor wisata bahari atas
restu tokoh adat, seperti terjadi di Papua.
b) Ada juga system sasi yang membuat Nelayan lokal juga tidak
menikmati sumber daya ikan yang bernilai ekonomi tinggi
akibat mekanisme lelang hasil sasi yang sering dimenangkan
investor luar sebagaimana terjadi di Maluku.
c) Ada lagi contoh PSM di lamalera tentang paus, yang terus
menuai kontroversi secara ekologis, namun memiliki muatan
sosiologis yang sangat dalam.

Bapak/Ibu Hadirin yang saya hormati


Modernisasi ekologi mengusung pendekatan negara dan pasar,
namun keduanya juga banyak kelemahan. Ekologi politik mencoba
mengangkat peran masyarakat, namun ternyata juga banyak
keterbatasan. Ketidakadilan dalam hubungan negara-masyarakat atau
pasar-masyarakat telah banyak ditemukan. Pendekatan serba negara,
pendekatan pasar secara murni, dan pendekatan self-governance
masyarakat tidak menjamin terciptanya keberlanjutan dan keadilan.
Karena itu perlu tata kelola baru yang memadukan antara pendekatan
modernisasi ekologi dan ekologi politik dengan sejumlah prinsip yang
patut dijadikan kerangka baru, yaitu basis normatif, saintifik-teknokratik,
dan basis regulatif.
13

Pertama, secara normatif, kita harus mengacu pada Undang-


undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3 mengamanatkan bahwa “Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemamuran rakyat”. Narasi
“dikuasai negara” tersebut menunjukkan bahwa negara diberi amanah
untuk mengelola sumber daya alam dengan sebaik-baiknya agar dapat
mewujudkan cita-cita Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Relasi negara-masyarakat dan pasar-masyarakat haruslah berisi muatan
keadilan.

Kedua, Basis Saintifik-Teknokratik, yang mengusung


konstruktivisme. Kelemahan tata kelola lama adalah terlalu kuatnya
pendekatan apriori terhadap konsep ilmu lingkungan dengan dominasi
rasionalitas ekologi yang sangat positivistik. Pemisahan antara prinsip
politik dan prinsip ekologi akan sama-sama bermasalah. Forsyth (2003)
menegaskan bahwa:

(a) Kalau terlalu bertumpu pada prinsip politik semata maka kebijakan
lingkungan tidak akan mampu menyentuh faktor biofisik, sehingga
yang muncul adalah ketidak-akuratan, dan
(b) Kalau terlalu bertumpu pada prinsip lingkungan semata maka yang
muncul adalah ketidakadilan.

Disinilah pendekatan transdisiplin menjadi jawaban atas dilema


tersebut. Salah satu pendekatannya dengan ilmu keberlanjutan
(sustainability science) yang memadukan sains dan pengetahuan lokal
yang dimiliki masyarakat dengan sejumlah prinsip inklusivitas dan
keadilan. Dan IPB sudah memelopori pengembangan sustainability
science ini.
14

Ketiga, Basis Regulatif tentang Keadilan Akses yang mengatur


bagaimana interaksi antara negara, pasar, dan masyarakat. Belajar dari
kegagalan negara, pasar, dan bahkan masyarakat dalam tata kelola
sumber daya alam, maka diperlukan formula baru yakni bentuk tata
kelola jejaring-adaptif (adaptive-network governance) dengan sejumlah
ciri, yaitu:

d) basis hubungan antar pelaku adalah kepercayaan (trust),


e) instrumen pengelolaan berbasis kolaborasi,
f) peran negara bersifat persuasif,
g) orientasi pada mutual benefits, dan
h) interaksi antar aktor bercirikan learning dan interdependen.

Beberapa contoh formula tata kelola baru konservasi laut adalah


adanya kerjasama negara dan masyarakat seperti KKPD dan Sasi yang
harmonis di Raja Ampat serta Eco-Trust di Gili Trawangan yang
merupakan kolaborasi masyarakat local dengan pengusaha wisata bahari.

Hadirin sekalin yang berbahagia


Pokok-pokok ciri jejaring-adaptif tersebut memang tidak mudah,
lebih-lebih Indonesia masih dalam transisi demokrasi dan kesetaraan
antar aktor belum seimbang. Namun demikian, demokrasi memberikan
ruang agar titik temu dapat terjadi, yang dapat diperankan oleh
masyarakat sipil baik akademisi, media, maupun LSM. Hal ini harus
dipahami sebagai penguatan demokratisasi tata kelola sumber daya alam.
Oleh karena itu, upaya memadukan modernisasi ekologi dan ekologi
politik dalam tata kelola sumber daya alam menjadi keniscayaan. Hal ini
karena negara, pasar, dan masyarakat tidak bisa lagi dipertentangkan.
Juga antara akurasi berbasis inovasi dan teknologi dengan isu keadilan
15

adalah sesuatu yang harus menyatu. Dengan demikian, sudah saatnya


tata kelola baru sumber daya alam di Indonesia mencari titik temu dan
memadukan rasionalitas ekologi, rasionalitas ekonomi, dan rasionalitas
moral, dan rasionalitas politik.

Ucapan Terima Kasih

Pertama-tama saya panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan ilmu dan kesempatan untuk terus semangat mengembangkan ilmu
pengetahuan serta izinNya untuk menjadi dosen hingga hari ini. Saya
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Presiden Joko Widodo dan
Pemerintah Republik Indonesia, khususnya Kemristekdikti, Ketua dan anggota
MWA IPB, Senat Akademik IPB, dan Dewan Guru Besar IPB, Para Wakil Rektor,
Kepala Lembaga, Sekretaris Institut, Senat dan Dekan Fakultas Ekologi Manusia
IPB, Ketua dan Dosen serta tendik di Departemen SKPM, Kepala dan anggota
Divisi KAREP FEMA IPB, Komisi C Senat FEMA dan Komisi C Senat Akademik IPB
yang telah menelaah dokumen kenaikan pangkat dan jabatan guru besar.
Terima kasih Dekan, Kepala Kantor dan Direktur/Unit, Ketua Departemen,
Kepala Pusat Studi di Lingkungan IPB atas dukungannya. Juga kepada kolega di
Direktorat Riset dan Kajian Strategis IPB, Kolega di FEMA IPB, LSI IPB, Jurusan
Sosial Ekonomi Perikanan Faperikan IPB, PKSPL IPB, dan Pusat Kajian Agraria IPB,
tempat saya mengawali karir di IPB. Terima kasih tak terhingga kepada para
Guru saya sejak TK, SD, SMP, SMA, hingga pendidikan doktor, khususnya kepada
para dosen pembimbing S1 Bapak Said Rusli, MA, Pembimbing S2 Prof.Dr
Sediono MP Tjondronegoro dan Prof Didin S Damanhuri, serta pembimbing S3
Prof Yoshiaki Matsuda, Prof Masaaki Sano, dan Prof Hidenori Shima. Para dosen
16

di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Faperta IPB, para dosen Jurusan Sosial
Ekonomi Perikanan, dan pimpinan Fakultas Perikanan yang menerima saya
sebagai dosen. Terima kasih kepada Bapak Prof Bunasor Sanim, Prof Didin S
Damanhuri, Prof Tridoyo Kusumastanto, Prof Syafri Mangkuprawira (alm), Prof
Asep Saefuddin, Prof Rokhmin Dahuri, dan Prof Khairil Anwar N yang banyak
membimbing saya mengawali karir di IPB, juga kepada Prof Soleh Solahuddin
(alm), yang banyak memberi kesempatan kepada saya sebagai Sekretaris Rektor
mendampingi beliau, serta Prof Aman Wirakartakusumah, Prof M.A. Matjik, dan
Prof Sitanala Arsyad. Terima kasih kepada Prof Herry Suhardiyanto selaku
Rektor IPB (2007-2017) yang memberikan kepercayaan kepada saya sebagai
Direktur Riset dan Kajian Strategis (RKS) serta Dekan Fema IPB. Dari sisi
pengembangan keilmuan, terima kasih kepada Prof Tridoyo Kusumastanto yang
pertama kali mengenalkan ilmu perikanan kepada saya dan terus memberi
motivasi dan nasehat untuk menjadi guru besar, Prof Didin S Damanhuri yang
mendidik Ekonomi-Politik dan mengenalkan dunia intelektual, Prof Rokhmin
Dahuri yang mengajarkan tentang kebijakan dan sistem perikanan, Prof Sajogyo
(alm) dan Dr.Hc Gunawan Wiradi bidang sosiologi pedesaan, Dr.
Soeryoadiwibowo bidang ekologi politik dan Prof Endriatmo Sutarto bidang
agraria. Sosok yang menginspirasi saya untuk menjadi penulis, yaitu Prof Didin S
Damanhuri dan Prof Bungaran Saragih. Mimpi menjadi penulis semakin
terkondisikan ketika saya tinggal di Asrama Felicia bersama para senior, dan
didukung Mas Haris. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Prof Eriyatno,
Prof. Pallawaruka, Prof. Syafrida Manuwoto, Prof. Supiandi Sabiham, dan Prof
Yonny Koesmaryono atas bimbingannya selama mahasiswa. Kepada para guru
besar IPB saya ucapkan terima kasih atas semangat dan sharingnya. Terima kasih
kepada kolega selama saya menjadi Dekan FEMA IPB. Juga kepada Prof Anas
Miftah Fauzi selaku Wakil Rektor Bidang Riset dan Kerjasama (2007-2017) yang
17

banyak membimbing saya selaku Direktur RKS. Terima kasih kepada para
sahabat sejak SD Mahad Islam II, SMP Mahad Islam, SMA Muhammadiyah
Pekajangan hingga di IPB. Kepada para sahabat IPB 27 dan PKP dan Sosek 91,
teman-teman dan senior di Asrama Felicia, Himpunan Mahasiswa Islam dan
Kelompok Cipayung, Senat Mahasiswa IPB, IAAS Indonesia, OMA 27, dan
Himpunan Alumni IPB. Walneg Sophia Jas, Zulhamsyah Imran, Inayati Nasoetion,
Yayan H, Karyawan Gunarso, M Karim, A Saufi Hakiem, Ali Hasan dan Amir T
Ramli adalah sebagian dari sekian banyak sahabat yang sama-sama sejak
mahasiswa di Bogor. Juga kepada teman-teman di Kagoshima Jepang, serta tim
Redaksi Majalah INOVASI PPI Jepang. Di Jakarta, saya juga pernah mencari ilmu
tentang tata kelola di Partnership for Governance Reform in Indonesia bersama
Anies Baswedan, M Sobari, Nico Harjanto, dan Malik Gismar. Terima kasih
kepada Bapak Sharif Cicip Soetardjo dan Susi Pudjiastuti yang memberi
kesempatan saya menjadi Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan, juga para
Eselon 1, 2,3, dan staf di KKP, khususnya Dr. Sudirman Saad dan Prof Syarief
Wijaya, serta Prof Hasyim Djalal dan Sarwono Kusumaatmadja yang sejak tahun
2012 sama-sama di Dewan Kelautan Indonesia. Terima kasih kepada Menteri
BUMN, Wakil Menteri dan para Eselon 1 atas kepercayaannya kepada saya
untuk membantu di Perum Perikanan Indonesia dan PTPN Holding. Terima kasih
kepada Dewan komisaris serta Direksi PTPN. Juga kepada KPK dan BIN, Direksi
dan Dewas Perum Perindo, Solusi Bangsa, Utamakan Indonesia, FDI, UNIED dan
Juga teman-teman PISPI, I-4, Gerakan Kongkow Sehat, dan Seameo Biotrop.
Terima kasih kepada Bima Arya, Ade Yasin, dan sejumlah tokoh Bogor yang
tergabung dalam Bobat. Terima kasih kepada Tokoh Pekalongan: Soetrisno
Bachir, Nasrullah, Adi Sasono (alm), Letjen Suhartono, Hakam Naja, Prof. M
Anis dan Adityawarman. Kepada Rekan-rekan media : Kompas, Republika,
Media Indonesia, SINDO dan grup MNC, ANTARA, Suara Pembaruan, Sinar
18

Harapan, Samudera, Radar Bogor, TEMPO, JAK TV, GATRA, Detik.com, Metro TV,
Berita Satu, CNN Indonesia, Trobos Aqua dan TVOne. Terima kasih juga kepada
kolega para rektor se Indonesia baik yang tergabung dalam MRPTNI maupun
Forum Rektor Indonesia (FRI). Terima kasih juga kepada sejumlah LSM
lingkungan (WWF Indonesia, TNC, RARE, WALHI, KIARA, dan lainnya). Dalam
perkawanan internasional, terima kasih kepada Anthony Charles, Fikret Berkes,
Derek Armitage, Maarten Bavinc, atas kebersamaanya dalam Community
Conservation Research Network (CCRN) selama 6 tahun ini. Juga kepada
Leontine Visser dan Kenneth Ruddle tempat saya belajar tentang community
based management. Kepada Dit APPMB, DUSP, Kepala Biro Komunikasi, dan tim
orasi ilmiah yang dipimpin Eva Anggraini, Juga kepada Prof. Endriatmo Sutarto
dan Prof Dodik Ridho Nurrochmat atas kesediaannya mereview naskah saya,
juga Dr. Soeryo Adiwibowo yang turut mengoreksi naskah orasi hari ini. Kepada
para KTU Dep SKPM dan KTU FEMA serta Direktur SDM dan staf, para asisten
saya serta tim sekretariat rektor,para pengemudi saya Pak Ucup, Rusli, dan Ruli,
para kolega yunior saya serta seluruh mahasiswa bimbingan dan seluruh
mahasiswa saya, saya ucapkan terima kasih. Kepada keluarga besar H. Hasan
Masrap, Keluarga Besar Zuhri Bersaudara (ZUBER), Keluaga Alwi Bersaudara
(ALBER), dan Keluarga Besar Al-Amin kami haturkan terima kasih. Khusus
kepada Bapak Dr. Bakir Hasan (alm) saya haturkan terima kasih dan Dr Najib
Azca mitra diskusi sejak SMA hingga saat ini, serta Keluarga Dr.Chusnul Choliq
atas bantuannya selama ini. Juga kepada Keluarga Besar Bapak mertua H
Soeratno dan Ibu Hj Suranti, Keluarga Budiharjo, dan Keluarga Nanang
Widanarto. Kepada kedua orang tua saya tercinta Bapak H Faruk Hasan dan Ibu
Sri Utami yang selama ini memberikan cinta yang sempurna, mengajarkan
hidup, membangun karakter, mendidik integritas, dan tak henti mendoakan
sehingga saya bisa berdiri di forum mulia ini. Orang tua saya penuh inspirasi
19

sehingga saya pun hidup penuh dengan cita-cita. Juga kepada Keluarga Mbak
Nana dan mufti kakak dan adik kandung saya. Terakhir kepada Isteri dan anak-
anak tersayang: Retna Widayawati yang telah mendampingi saya selama 23
tahun dengan penuh kasih sayang, kesabaran dan keikhlasan, dan saya sungguh
beruntung atas kesamaan visi hidup tentang keseimbangan karir dan keluarga
yang sangat mendukung karir saya hingga saat ini. Juga kepada anak-anak saya,
Zafran Akhmadery Arif dan Sweetyandari Nidya Areefa, inspirasi saya dan
tempat utama untuk berbagi kebahagiaan, saya ucapkan terima kasih atas
pengertiannya terhadap kesibukan saya yang sering mengganggu waktu
berkumpul keluarga. Papa bangga atas prestasi dan akhlak kalian, serta menjadi
teman diskusi yang menyenangkan. Kalian lah yang menjadi penyemangat papa
untuk terus berkarya.

Terlalu banyak orang yang berjasa dalam hidup saya yang tentu tidak bisa
disebutkan satu persatu, sehingga saya doakan agar semuanya mendapat
balasan terbaik dari Allah Swt. Terima kasih dan apresiasi atas kehadiran
Bapak/Ibu/Saudara dalam momen orasi ilmiah saya ini. Semoga kebaikan
Bapak/Ibu/Saudara diberikan balasan pahala oleh Allah SWT.

Anda mungkin juga menyukai