Anda di halaman 1dari 8

IDEOLOGI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DIBALIK

PEMAKAIAN SAPUT POLENG PADA POHON BESAR DI BALI


I Ketut Suda
Fakultas Ilmu Agama Universitas Hindu Indonesia, Denpasar

Abstract

This study concern to discuss about ideology wich talking about the used of ‘’saput poleng’’
in a big tree in Bali. Where for Hindus people means to remains the environment. But in fact
that’s only just text, because some or maybe much environment be in big trauble. For
example, ‘’Vila Bukit Berbunga’’ case in Tabanan and Buleleng region, the condition of
critical area, in forest area is 3.538 ha very critical, 6.286 ha critikal, and 44.201 ha is
alittle bit critical, and then all critical area is in 54.205 ha. Then the critical area far from
forest area 84.885 ha. Based on Forest Departemen 2002, the damaged of forest in Bali is
Caused by fired wich demage 544,19 ha; caused by people (illegal wood cutter) wich
demage 83,17 m3/ph, and caused by ‘’pembibrikan’’ wich damage 5.245,77 ha. Beside that
‘’Galian C’’ erotion, tourism development (Bappeda Provinsi Bali, 2006: IX-14—IX-15). Is
take a part to damage it. To prevent the damaged environment Balinesse has two way,
there are ‘’sekala and niskala’’. Sekala way is make some low to protect forest area and
niskala way is make some Hindus ritual.
Key words : saput poleng, ideology, environment, a big tree.

1. Pendahuluan lingkungan. Hal ini dimaksudkan agar menghasilkan


Mengenai masalah lingkungan pemerintah pembangunan berkelanjutan (sustainable
Indonesia telah menyadarinya jauh sebelum devalopment) yang tidak mengalami keambrukan
dicetuskannya deklarasi lingkungan hidup sedunia karena rusaknya lingkungan hidup.
5 Juli 1972 oleh PBB di Stockholm Swedia. Buktinya, Dalam konteks pelestarian lingkungan, secara
tahun 1926 Indonesia telah memiliki UU mengenai normatif masyarakat Bali, sejak lama sudah
gangguan lingkungan, ordenansi perlindungan alam mempunyai ajaran untuk hidup serasi dengan
tahun 1941, dan UU pokok kesehatan tahun 1960. sesama manusia, dengan lingkungan hidupnya, dan
Masalah lingkungan hidup di Indonesia juga diatur dengan Tuhannya yang disebut ajaran Tri Hita
dalam GBHN 1973, 1983, dan 1988. Selanjutnya, di Karana. Di dalamnya tercermin suatu kearifan
era pemerintahan Orde Baru kesadaran pemerintah ekologis yang harus dipegang dalam mengelola
tentang pentingnya lingkungan bagi kehidupan sumber daya alam yang ada. Salah satu wujud
manusia semakin tampak dengan diangkatnya penerapan ajaran ini, terutama menyangkut
menteri Negara Lingkungan Hidup pada tahun 1987 hubungan antara manusia dengan lingkungannya
yang disebut Menteri Negara Pengawasan adalah dililitkannya saput poleng (kain kotak-kotak
Pembangunan dan Linkungan Hidup (Sumarwoto, hitam putih) pada pohon-pohon besar, yang secara
2001:60—61). ideal mempunyai dampak terhadap upaya konservasi
Diangkatnya menteri negara lingkungan hidup lingkungan. Artinya, jika ada pohon besar yang dililit
pada waktu itu, menandakan bahwa masalah saput poleng, jangankan menebang pohonya,
lingkungan merupakan bagian resmi dari kebijakan memetik daunya atau rantingnya saja masyarakat
pemerintahan negara. Masuknya masalah tidak berani sembarangan. Jadi, secara normatif
lingkungan hidup ke dalam kebijakan resmi pemakaian saput poleng pada pohon besar di Bali,
pemerintah berakibat pembangunan ekonomi yang bermakna sebagai salah satu upaya untuk
diselenggarakan di Indonesia, harus berwawasan mengendalikan perilaku masyarakat agar tidak

333
Jurnal Bumi Lestari, Volume 10 No. 2, Agustus 2010, hlm. 333 - 340

semena-mena terhadap lingkungan hidupnya. a. Metode Pengumpulan Data


Namun dalam kenyataan masyarakat dewasa ini, Mengingat data yang dikumpulkan dalam
yang tampak justru budaya hidup mewah dan penelitian ini berupa berbagai informasi yang
konsumtif berlebihan dengan berbagai simbol status diperoleh dari sumber-sumber tertulis, misalnya dari
sosialnya. Gaya hidup demikian memicu munculnya buku-buku teks, majalah, jurnal, surat kabar, bulletin,
keinginan masyarakat untuk berlomba-lomba dan lain-lain, maka metode yang digunakan untuk
mencapai status sosial tertinggi dan untuk itu mengumpulkan data adalah metode pencatatan
dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Hal demikian dokumen. Pencatatan dokumen ini berguna untuk
mendorong pula persaingan di antara anggota menghimpun data dan informasi dari berbagai sumber
masyarakat untuk mendapatkan penghasilan yang tertulis, seperti buku-buku teks, majalah, jurnal,
sebesar-besaranya. Akibatnya, eksploitasi sumber bulletin, surat kabar, dan lain-lain.
daya alam pun tidak terhindarkan, dan akhir-akhir ini
ada kecenderungan trendnya meningkat cukup b. Metode Analisis Data
tajam. Pembangunan ekonomi yang diselenggarakan Dalam rangka melakukan analisis terhadap data
selama ini telah menyebabkan terjadinya kerusakan yang telah dikumpulkan penulis melakukan sintesis
lingkungan hidup yang sangat luas dan parah. terhadap beberapa pendapat ahli seperti, Patton
Contoh, di Provinsi Bali per 2006 dapat digambarkan (1980:286); Bogdan dan Taylor (1975:79); dan
kondisi lingkungan yang tergolong sangat kritis di Moleong (1991:103) yang mengatakan bahwa
dalam kawasan hutan mencapai 3.538 ha; 6.286 ha analisis data merupakan suatu proses
kritis, dan 44.201 ha agak kritis, totalnya menjadi pengorganisasian dan pengurutan data ke dalam
54.025 ha. Sementara untuk lahan kritis yang berada pola kategori dan satuan uraian dasar, sehingga dapat
di luar kawasan hutan seluruhnya mencapai 84.885 ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesa kerja
ha. Data dari Dinas Kehutanan Provinsi Bali (2002) yang disarankan data. Langkah selanjutnya data
menunjukkan bahwa kerusakan hutan disebabkan yang berhasil dikumpulkan dianalisis berdasarkan
oleh kebakaran mencapai 544,19 ha; karena teknik deskriptif kualitatif, yakni dengan cara
penebangan liar/pencurian 83,17 m3/ph dan karena menyusun secara sistematis data-data yang
pembibrikan mencapai 5.245,77 ha. Belum lagi diperoleh kemudian ditarik simpulan secara umum.
kerusakan yang diakibatkan oleh penambangan
galian C, erosi, dan tidak dapat dipungkiri pula c. Penyjian Hasil Analisis Data
karena pembangunan sektor pariwisata (Bappeda Setelah analisis data dilakukan kemudian
Provinsi Bali, 2006:IX-14—IX-15). langkah selanjutnya adalah menyajikan hasil analisis
Berangkat dari gambaran di atas, permasalahan data dengan cara seluruh hasil analisis dirangkum
krusial yang perlu dikaji dalam kajian ini adalah (1) dan disusun sesuai dengan pokok-pokok/kaedah-
Ideologi apa yang ada di balik pemakaian saput kaedah penulisan karya ilmiah.
poleng pada pohon besar di Bali? (2) Bagaimana
bentuk kerusakan lingkungan yang terjadi pada alam 3. Pembahasan
Bali saat ini? (3) Upaya apa yang dapat dilakukan
untuk meminimalisir kerusakan lingkungan yang 3.1 Ideologi di Balik Pemakaian Saput Poleng pada
telah mengancam kehidupan masyarakat Bali? Kajian Pohon Besar di Bali
ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
ideologi yang ada di balik pemakaian saput poleng Pengertian Ideologi
pada pohon besar, bentuk kerusakan lingkungan Ideologi menurut Karl Marx dan Karl Mannheim
yang terjadi di Bali, serta upaya yang dapat ditempuh terlebih lagi ideologi politik sebagian besar
untuk meminimalkan terjadi kerusakan lingkungan merupakan pembenaran bagi materi yang ada atau
di Bali. organisasi ekonomi masyarakat. Sementara konsep
Mennheim tentang sebuah ideologi total (sebagai
2. Metode Penulisan lawan dari konsepnya tentang sebuah ideologi
Kajian ini merupakan kajian pustaka, oleh tertentu). Pada intinya pandangan Mennheim sama
karenanya beberapa metode yang digunakan dengan Marx, dan dalam bukunya Ideology and
meliputi: Utopia ia minta perhatian terhadap kenyataan bahwa

334
I Ketut Suda : Ideologi Pelestarian Lingkungan Hidup Dibalik Pemakaian Saput Poleng .....

ideologi paling bisa dipahami dalam proses Konsep Tri Hita Karana meliputi harmonisasi
kesejarahan yang terbuka. hubungan antara manusia dengan Tuhannya, yang
Sementara O’neil (2001:33) mengatakan bahwa diaktualisasikan dalam bentuk pemujaan yang
ideologi adalah sebuah sistem nilai atau keyakinan disebut parhyangan. Demikian pula dalam
yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh kehidupan sosial umat Hindu di Bali tidak dapat
kelompok tertentu. Di sisi lain Thompson (2003:17) dilepaskan dari hubungan dengan manusia lainnya
menunjukkan bahwa ideologi merupakan sistem yang disebut dengan pawongan. Terakhir adalah
berpikir, sistem kepercayaan, praktik-praktik simbolik harmonisasi hubungan antara manusia dengan
yang berhubungan dengan tindakan sosial dan lingkungannya yang disebut palemahan.
politik. Lain lagi Montero (2005:220) dalam artikelnya Jika konsepsi Tri Hita Karana dikaitkan dengan
yang berjudul ‘’Psikologi Politik Suatu Perspektif pandangan Kraf di atas, dapat dikatakan bahwa
Kritis’’ menjelaskan bahwa : upaya melilitkan saput poleng pada pohon besar
Ideologi mengacu pada suatu sistem gagasan yang dilakukan masyarakat Hindu di Bali secara
yang mengembangkan kepentingan-kepentingan filosofi mengandung cara pandang pengelolaan
tertentu. Kepentingan ini secara khusus dibenarkan lingkungan dengan konsep antroposentris,
oleh pengembangan gagasan-gagasan di mana fakta- biosentris, dan ekosentris. Konsep antroposentrisme
fakta dan proses sejarah diubah, diingkari, atau berarti bahwa manusia dilihat sebagai pusat dari alam
disembunyikan. Selain itu, ideologi mengonstruksi semesta. Manusia sebagai mahluk tertinggi di muka
realitas dengan suatu cara di mana orang-orang bumi ini, sedangkan alam semesta dianggap sebagai
menginternalisasi atribut-atribut negatif tentang sarana pelengkap dan alat untuk memenuhi
dirinya sendiri sebagai sesuatu yang alamiah dan kebutuhan hidupnya. Cara pandang ini dilengkapi
sah melalui proses pemenuhan diri sendiri, orang pula dengan pendapat yang menyatakan bahwa tidak
bertindak sesuai dengan persepsi-persepsi negatif saja manusia sebagai titik sentral dalam kehidupan
ini. di alam ini, tetapi mahluk lainpun sangat menentukan
Berangkat dari beberapa gagasan mengenai keberlangsungan planet bumi ini. Dari pandangan
ideologi di atas dapat dikatakan bahwa ideologi tersebut, dapat dijelaskan bahwa manusia tidak
merupakan suatu gagasan yang di dalamnya hanya dipandang sebagai mahluk sosial, tetapi juga
mencakup nilai dan norma yang diyakini benar oleh mahluk biologis, dan mahluk ekologis.
penganutnya. Oleh karena itu, gagasan tersebut Uraian di atas sejalan dengan pandangan Nala
diaktualisasikan sebagai praktik material guna (1995:4) tentang kearifan alam yang mengatakan
melakukan penataan terhadap kenyataan sosial. bahwa di alam semesta ini harus ada keseimbangan
Aspek-aspek yang bertentangan dengannya antara unsur yang tidak hidup yang disebut Panca
sengaja disembunyikan guna memberikan Mahabhuta, meliputi: sinar matahari (teja), air (apah),
pembenaran terhadap gagasan yang tercakup dalam udara (bayu), tanah (pertiwi), dan akasa (ether),
ideologi yang mereka anut. dengan unsur yang hidup yang disebut sarwa prani.
Jika dilogikakan upaya masyarakat Bali melilitkan
Makna di Balik Pemakaian Saput Poleng pada saput poleng pada pohon besar dapat dijabarkan
Pohon Besar sebagai berikut. Setiap hari mata hari bersinar
Upaya masyarakat Bali melilitkan saput poleng menyinari apa saja yang ada di permukaan bumi ini.
pada pohon besar, bukan sekadar perbuatan iseng Sinar matahari yang panas itu, ternyata membuat air
yang terjebak pada utopia, melainkan memiliki pula laut, air sungai, air danau, dan air apa saja akan
latar belakang ideologis. Artinya, di balik budaya menguap. Uap air yang amat ringan ini kemudian
melilitkan saput poleng pada pohon besar, yang terbang ke atas dan berkumpul menjadi awan. Lama
merupakan bagian dari sistem nilai (value system) kelamaan awan ini akan menggumpal dan akhirnya
masyarakat Bali, mengandung pula nilai-nilai terjadilah hujan. Air hujan pun turun lagi ke bumi,
kearifan ekologis. Maksudnya, paradigma pengelo- sebagian langsung mengalir ke laut, dan sebagian
laan lingkungan dengan konsep antroposentris, lagi meresap ke dalam tanah kemudian muncul lagi
biosentris, dan ekosentris (Kraf, dalam Rupawan, menjadi mata air, dan akhirnya membentuk sungai.
2008:96) tercakup dalam ideologi tersebut, yang Airnya kemudian mengalir ke laut atau ke danau, lalu
dalam ajaran Hindu disebut Tri Hita Karana. kena sinar mata hari lagi dan menguap ke udara

335
Jurnal Bumi Lestari, Volume 10 No. 2, Agustus 2010, hlm. 333 - 340

lanjut menggumpal, dan akhirnya hujan lagi dan merupakan sektor andalan malah dikucilkan bahkan
begitu seterusnya. Jadi, hujan merupakan suatu dikorbankan demi pariwisata. Sementara sektor
rangkaian proses yang saling berkaitan dan industri kecil tetap dijadikan pelengkap dalam
berhubungan satu dengan yang lainnya. Jika salah memajukan sektor pariwisata.
satu unsur itu hilang atau tidak ada maka proses Akibat kebijakan ini, semua potensi Bali
terjadinya hujan akan terganggu. diarahkan untuk mendukung pembangunan
Tanpa ada hujan, tanpa ada air, maka kehidupan pariwisata. Banyak contoh yang bisa dikemukakan
semua mahluk di muka bumi ini akan terancam. Itulah betapa sektor pertanian dikorbankan demi pariwisata.
sebabnya umat Hindu diajarkan agar menghormati, Misalnya, sawah yang dulu menghijau kini dikavling-
memelihara, dan mengembangkan semua unsur kavling untuk pembangunan hotel atau resort. Pantai
tersebut. Ajarannya tertuang dalam upacara Bhuta yang sebelumnya digunakan untuk upacara agama
Yadnya, yakni korban suci terhadap Panca dan dijadikan sumber mata pencaharian oleh para
Mahabhuta. Jadi, melilitkan saput poleng pada pohon nelayan kini ditembok, pelaba pura yang merupakan
besar dan acapkali disertai dengan pendirian kawasan suci pun dicaplok investor, dan banyak lagi
pelinggih (tempat pemujaan) kepada Ida Hyang kasus lain yang terkait dengan marginalisasi dan
Widhi di bawah pohon itu, secara sosiologi agama hegemoni sektor pertanian oleh sektor pariwisata
mengandung nilai-nilai kearifan ekologis, yakni cara (Wirata dalam Ajeg Bali, 2004:3).
pandang pelestarian lingkungan hidup. Sebab Berbagai contoh kasus terkait rencana dan
perilaku demikian merupakan salah satu bentuk program pembangunan yang mengancam kerusakan
perwujudan dari ucapan terima kasih dan rasa bhakti alam Bali adalah: di Kabupaten Klungkung rencana
umat Hindu kepada Tuhan, atas karunianya berupa pembangunan kasino misalnya. Pembangunan
pohon besar sebagai salah satu unsur ekosistem tempat judi yang bertaraf internasional ini, menurut
yang secara alamiah telah mengatur rangkaian proses rencana akan dibangun di Nusa Penida dengan
terjadinya hujan secara terus-menerus. Jika hal itu alasan meningkatkan pendapatan asli daeah (PAD).
tidak ada, dapat dibayangkan bahwa kehidupan umat Alasan lainnya pembangunan tersebut akan mampu
manusia bisa terancam bahkan mungkin bisa membuka lapangan kerja baru bagi penduduk di
mengalami kemusnahan. sekitarnya, dan yang lebih parah lagi adalah untuk
Sebenarnya masyarakat Hindu di Bali memiliki mendongkrak harga tanah di bumi nan tandus Nusa
banyak nilai kearifan ekologis untuk pelestarian Penida. Ide itu kandas karena ada penentangan yang
lingkungan. Hanya saja dalam proses sosilisasinya kuat dari berbagai elemen masyarakat. Jika
belum banyak yang dilakukan melalui berbagai pembangunan ini berlanjut sulit dibayangkan
diskursus yang dapat dipahami masyarakat secara bagaimana kerusakan alam Nusa Penida itu terjadi
ilmiah. Pada kenyataannya banyak nilai kearifan lokal, akibat pembangunan sektor pariwisata ini.
dan kearifan ekologis di Bali hanya dipahami Demikian pula kasus yang terjadi di Kabupaten
masyarakat sebatas tradisi mula keto (memang Tabanan dan Buleleng. Pembangunan Vila Bukit
begitu). Belum banyak upaya yang dilakukan Berbunga di Pancasari, adalah salah satu contoh kecil
masyarakat untuk menggali nilai-nilai tersebut dari kerusakan lingkungan yang terjadi akibat
dengan bersandar pada kerangka berpikir ilmiah. pembangunan pariwisata. Sebab kawasan
penyangga air hujan yang dulu ‘’dikeramatkan’’ kini
3.2 Kerusakan Alam Bali dibanguni fasilitas pariwisata yang dapat
menimbulkan longsoran. Berbagai kerusakan
Pembangunan Pariwisata yang Kurang Ramah lingkungan yang digambarkan di atas tidak dapat
lingkungan dilepaskan dari masuknya paham modernisme yang
Pariwisata yang dijadikan leading sector dalam mempengaruhi pikiran masyarakat. Paham
pembangunan Bali ternyata di dalamnya sangat modernisme ini telah mengubah etika lingkungan
rapuh. Betapa tidak tiga pilar ekonomi Bali, yakni ekosentrisme atau holistik yang dianut manusia Bali,
pertanian, pariwisata, dan industri kerajinan tidak menjadi etika antroposentrisme. Artinya, manusia
dikembangkan secara seimbang. Pariwisata yang tidak saja mengambil jarak dengan lingkungan
sebelumnya merupakan sektor pendukung alamnya, tetapi juga menganggap dirinya sebagai
dikembangkan secara membabi buta. Pertanian yang pusat dari segala-galanya (Kraf, 2002).

336
I Ketut Suda : Ideologi Pelestarian Lingkungan Hidup Dibalik Pemakaian Saput Poleng .....

Jika mengacu pada Chang (2000) dapat menjadi negara berswasembada pangan secara
dikatakan bahwa modernisasi mengakibatkan sistem penuh.
pemikiran ekologis berubah menjadi sistem filsafat Bersamaan dengan perubahan itu, Collier at al.
utilitarianisme dan pragmatisme. Artinya, manusia (1996) mengemukakan di Indonesia terjadilah apa
yang menganut filsafat ini selalu berusaha yang disebut komersialisasi pertanian. Artinya, para
mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya dari petani mulai berpikir komersial terhadap berbagai
lingkungan tanpa memperhatikan dampaknya. Latar hasil pertanian yang dihasilkan. Misalnya, petani
dari tindakan manusia seperti ini bisa dijelaskan dari tidak lagi hanya mengandalkan menanam padi di
sudut pandang the will of power atau kehendak sawahnya, tetapi juga palawija yang dilakukan secara
untuk berkuasa. Nietzsche dalam Strathern (2005:49) bergantian dan ujung-ujungnya berorientasi pada
menyimpulkan bahwa: kebutuhan pasar. Intinya apapun yang mereka
Kemanusiaan didorong oleh kehendak untuk budidayakan di sawah atau ladangnya, kebutuhan
berkuasa (Will to Power). Semua impuls tindakan akan teknologi kimiawi, seperti pupuk buatan dan
kita berasal dari kehendak ini. Seringkali kehendak aneka jenis insektisida merupakan bagian yang tidak
untuk berkuasa ini diubah dari ekspresinya yang terpisahkan dari sistem bercocok tanam tersebut.
semula, atau bahkan dialihkan ke bentuk lain, tetapi Tanpa pupuk kimiawi apapun yang dibudidayakan
tidak bisa dihindari semua itu selalu bermata air di para petani akan mengalami kesulitan untuk
tempat yang sama. memperoleh hasil yang melimpah untuk memenuhi
Dari pandangan Nietzche di atas, dapat tuntutan pasar.
dijelaskan bahwa kehendak untuk berkuasa sebagai Aneka perubahan ini menurut Atmadja (2005:37)
daya inti yang mendorong tindakan manusia, tidak mengakibatkan terjadinya detradisionalisasi yang
saja ditujukan terhadap sesama manusia (berupa luas dan kompleks pada masyarakat Bali. Gejala ini
tindakan politik) tetapi juga terhadap lingkungan tidak dapat dilepaskan dari asumsi dasar yang ada di
alamnya. Artinya, alam sering pula dijadikan medan balik revolusi hijau, bahwa dalam rangka
untuk melampiaskan kehendak manusia untuk meningkatkan hasil pertanian segala sesuatu yang
berkuasa. Misalnya, dengan cara melakukan berbau tradisional harus disingkirkan, dan digantikan
eksploitasi terhadap alam untuk memperoleh modal dengan kemodernan yang berkiblat ke Barat. Akibat
dalam rangka menunjang kehendaknya untuk penerapan berbagai teknologi modern baik di sektor
berkuasa, baik terhadap sesama manusia maupun pertanian, maupun di sektor pariwisata menurut
terhadap alam. Sutawan (dalam Bagus ed., 2002:216—235) di
beberapa wilayah Bali muncul keluhan masyarakat
Revolusi Hijau dan Pembangunanisme petani, akan adanya pencemaran lingkungan
Dalam konteks perubahan sosial masyarakat khususnya pencemaran air pada sungai dan jaringan
Bali, soal pembangunanisme menarik untuk dicermati, irigasi yang diakibatkan oleh limbah industri atau
terutama yang berkaitan dengan penerapan revolusi pun hotel dan restoran. Lebih lanjut menurut
hijau (Green Revolution). Jika mengikuti Fakih Sutawan, kecenderungan menurunnya kualitas air
(2000,2004) dan Atmdja (2005), maka dapat dikatakan ini akan meningkat seiring dengan meningkatnya
revolusi hijau merupakan salah satu bentuk program jumlah industri yang mengeluarkan limbah yang
industrialisasi dan modernisasi pertanian yang disalurkan, melalui sungai ataupun jaringan irigasi.
sepenuhnya mengikuti logika pertumbuhan (Baca: Terkait dengan masalah ini eksistensi subak sebagai
logika pembangunan). Logika ini menekankan bahwa organisasi yang berfungsi sebagai institusi yang
pertanian tradisional harus dikembangkan ke arah terlibat dalam menjaga kelestarian lingkungan mulai
pertanian modern agar hasil bisa meningkat. Terkait terusik, bahkan perannya mulai berkurang.
dengan itu, penggunaan teknologi hayati kimiawi, Berkurangnya peranan subak, baik sebagai pengelola
bahkan juga teknologi mekanis menjadi suatu air irigasi maupun sebagai penjaga kelestarian
keharusan yang semuanya diberi label revolusi hijau. lingkungan, dapat dipastikan berakibat pada
Revolusi ini dianggap obat mujarab untuk kerusakan lingkungan karena pemakaian teknologi
meningkatkan produksi pertanian khususnya padi kimiawi terus meningkat. Hal ini sejalan dengan
guna meningkatkan kesejahteraan para petani Giddens (2005) yang mengatakan bahwa telah terjadi
(Atmdja, 2005:34). Hasil dari kebijakan ini terjadilah dominasi dan hegemoni ilmu serta teknologi
peningkatan panen secara menakjubkan dan posisi tradisional yang disertai dengan refleksivitas. Jadi,
Indonesia berubah total dari negara pengimpor beras, program revolusi hijau dan konsep

337
Jurnal Bumi Lestari, Volume 10 No. 2, Agustus 2010, hlm. 333 - 340

pembangunanisme yang terlalu berorientasi pada ketentuan pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup,
upaya untuk mengejar pertumbuhan tidak hanya diejawantahkan pula dalam awig-awig desa
dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan secara pakraman di Bali. Dalam awig-awig desa pakraman
fisik, seperti pencemaran air, rusaknya unsur hara secara tegas diatur masalah, sukertha tata
tanah, tetapi juga mengakibatkan terdegradasinya parhyangan (menyangkut masalah keagamaan);
berbagai nilai tradisional dan nilai-nilai kearifan lokal sukertha tata pawongan (menyangakut masalah
masyarakat Bali. krama desa/warga desa); dan sukertha tata
palemahan (menyangkut permasalahan lingkungan
3.3 Upaya yang dapat Dilakukan untuk Pelestarian desa pakraman). Dengan demikian awig-awig yang
Lingkungan mengatur tata pergaualan hidup krama desa dalam
mewujudkan jagadhita tidak saja berfungsi sebagai
Pelestarian Lingkungan Secara Sekala pengikat persatuan dan kesatuan, tetapi mengatur
Perilaku manusia dalam memanafaatkan pula segala perilaku kehidupan yang telah disepakati
lingkungannya sangat ditentukan oleh citra di desanya. Seperti, pengaturan wilayah dalam
lingkungan yang mereka miliki. Citra lingkungan tataran trimandala (utama, madya, dan nista),
menurut Soemarwoto (1989:94) menggambarkan tentang kehidupan beraneka jenis tanaman, hewan
anggapan orang tentang struktur lingkungan, dalam piaraan, bangunan, dan lain-lain semua diatur dalam
arti bagaimana lingkungan itu berfungsi, reaksinya awig-awig desa pakraman. Dimasukannya hal-hal
terhadap tindakan orang serta hubungan manusia tersebut ke dalam awig-awig desa pakraman,
dengan lingkungannya. Citra lingkungan itu memberi dimaksudkan agar keamanan, ketentraman,
petunjuk tentang apa yang ia boleh lakukan dan apa kesejahteraan, dan kelestarian lingkungan dalam
yang tidak boleh dilakukan demi kebaikan orang itu. kehidupan bersama di desa dapat diwujudkan.
Citra lingkungan bisa bersumberkan pada
pengetahuan yang mereka dapatkan dari hubungan Pelestarian Lingkungan Secara Niskala
mereka dengan lingkungannya, dan atau bisa pula Selain peraturan perundang-undangan secara
bersumberkan pada agama, kepercayaan, atau pun nasional yang digunakan untuk mengatur
mistik. pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia,
Berangkat dari gambaran di atas dapat masyarakat lokal juga memilki pedoman untuk
dikatakan bahwa citra lingkungan masyarakat Bali memanfaatkan sumber daya alam agar tidak merusak
selain bersumberkan pada pengetahuan lokal, juga lingkungan. Penelitian yang dilakukan Schefold
pada agama Hindu. Atau dengan kata lain citra (1985) tentang orang Mentawai menunjukkan bahwa
lingkungan masyarakat Bali mengarah pada paham orang Mentawai mempunyai kebiasaan
ekosentrisme. Paham ini beranggapan bahwa membudidayakan umbi-umbian dan pisang dengan
manusia dan alam dianggap sebagai satu kesatuan teknologi perladangan berpindah. Hasil penelitian
yang tidak terpisahkan. Artinya, dia tidak berdiri itu menunjukkan meskipun orang Mentawai
sendiri melainkan berkaitan satu dengan yang mempunyai budaya ladang berpindah tetapi mereka
lainnya. Jadi, untuk memahami sesuatu harus pantang membuka hutan dengan cara membakar. Hal
dipahami secara keseluruhan atau holistik. Artinya, ini menunjukkan bahwa masyarakat lokal di
ketika masyarakat Bali mau memahami Indonesia, di samping melaksanakan upaya-upaya
lingkungannya, tidak hanya secara biofisik yang pelestarian lingkungan secara fisik (nyata/sekala)
bersifat sekala, tetapi juga berwujud lingkungan mereka juga mempunyai keyakinan yang bersifat
supernatural (dewa, roh leluhur, dan mahluk supranatural (niskala) untuk melindungi sumber
demonik) yang bersifat niskala (Atmadja, 2005:287). daya alamnya.
Jadi, upaya pelestarian lingkungan secara Selain masyarakat Mentawai, masyarakat Hindu
sekala dimaksudkan di sini adalah upaya nyata yang di Bali juga mengenal berbagai nilai kearifan lokal
dilakukan masyarakat Bali untuk menjaga kelestarian yang secara filosofi mengandung makna pelestarian
lingkungan hidup mereka. Misalnya, pada lahan yang lingkungan. Misalnya, upacara Tumpek Bubuh yang
berada pada daerah-daerah yang miring dibuatlah jatuh pada Saniscara Kliwon Wariga (setiap 210
teras sering untuk menghindari tanah dari hari sekali), dapat dikonseptualisasikan sebagai
kelongsoran. Demikian pula pada lahan yang gundul upaya masyarakat untuk melestarikan lingkungan.
dilakukan penghijauan, bahkan secara normatif apa Upacara ini dilakukan dalam rangka pemujaan
yang diatur dalam UU No. 4/1982 tentang ketentuan- terhadap Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa

338
I Ketut Suda : Ideologi Pelestarian Lingkungan Hidup Dibalik Pemakaian Saput Poleng .....

Sangkara, yakni dewanya tumbuh-tumbuhan. 1) Pemakaian saput poleng pada pohon-pohon


Upacara ini merupakan upaya masyarakat untuk besar yang dilakukan umat Hindu di Bali,
melestarikan lingkungan secara niskala. Dasar sebenarnya bukanlah perbuatan iseng yang
filosofi dilakasanakannya upacara ini menurut terjebak pada utopia, akan tetapi merupakan
Gunadha dan Dharmika (t.t :2) adalah pemikiran untuk sebuah keyakinan filosofis keagamaan yang
memberikan sebelum menikmati. Jika ini dikaitkan mengandung ideologi pelestarian lingkungan
dengan upaya pelestarian sumber daya hayati, maka hidup;
dapat dikatakan bahwa sebelum manusia menikmati 2) Berbagai bentuk kerusakan lingkungan alam
harus didahului dengan kegiatan penanaman atau Bali telah terjadi akibat pembangunan yang
pemeliharaan. Upacara lain, yang masih dalam mengikuti logika pertumbuhan. Misalnya,
konteks pelestarian lingkungan bagi Masyarakat
pembangunan Vila Bukit Berbunga di daerah
Hindu di Bali adalah upacara Tumpek Kandang yang
kawasan penyangga hujan di Kabupaten
jatuh pada Saniscara Kliwon Uye (setiap 210 hari
Tabanan dan Buleleng, penggunaan lahan
sekali). Upacara ini diselenaggarakan sebagi bentuk
ucapan terima kasih umat manusia kepada Tuhan, produktif untuk pembangunan prasarana
dalam manifestasinya sebagai Dewa Pasupati yang pariwisata, dan terjadinya lahan kritis akibat
telah menciptakan berbagai macam binatang seperti penebangan hutan secara liar di kawasan Bali
ayam, itik, babi, dan sapi. Barat, dan banyak lagi bentuk kerusakan lainnya
Jadi, jika mengacu pada beberapa uraian di atas akibat kebijakan menempatkan pembangunan
dapat dikatakan bahwa upaya pelestarian pariwisata sebagai leading sector;
lingkungan, khususnya di Bali dapat dilakukan 3) Secara umum upaya yang dilakukan
dengan dua cara, yakni secara sekala, melalui masyarakat Bali dalam rangka melestarikan
berbagai bentuk peraturan perundang-undangan dan lingkungannya adalah dengan dua cara, yakni
secara niskala melalui berbagai bentuk perayaan secara sekala dan secara niskala. Secara sekala
upacara keagamaan. Dengan kata lain dapat dikatakan dilakukan melalui berbagai bentuk peraturan
bahwa Umat Hindu khususnya di Bali dalam perundang-undangan dalam bentuk awig-awig
menginterpretasikan hubungan timbal balik antara desa pakraman yang berfungsi sebagai upaya
manusia dengan lingkungan hidupnya berpangkal untuk mengendalikan perilaku manusia agar
pada kitab suci Veda, dan kerangka dasar Agama tidak bertindak semana-mena terhadap
Hindu, yakni tatawa, susial, dan upacara. Ajaran lingkungannya. Kedua, dengan cara niskala
tatwa memberi petunjuk filosofi yang mendalam melalui berbagai bentuk upacara keagamaan,
mengenai pokok-pokok keyakinan ataupun mengenai seperti upacara tumpek wariga, tumpek uye
konsepsi Ketuhanan, selanjutnya ajaran susila dan lain-lain yang kesemuanya mempunyai
merupakan kerangka untuk bertingkah laku yang baik makna filosofi memberi sebelum menikmati.
sesuai dengan dharma, sedangkan upacara
merupakan kerangka untuk menghubungkan diri
4.2 Saran
dengan Tuhan dalam bentuk persembahan. Jadi,
Kepada segenap lapisan masyarakat Indonesia
esensi dari pada upacara adalah yadnya (korban
suci dengan hati yang tulus dan ikhlas) serta dasar umumnya dan Bali khususnya, mulai dari lapisan
hukum dari yadnya adalah Rna (Dewa Rna, Rsi Rna, masyarakat paling bawah sampai lapisan paling atas
dan Pitra Rna). Andaikan semua ini dicermati secara disarankan agar menyadari meskipun lingkungan
lebih seksama, maka dapat dipahami bahwa di situ yang dihadapi setiap manusia bervariasi, namun
ada nilai-nilai kearifan lokal yang secara konseptual manusia harus selalu mampu merumuskan konsep,
mengandung nilai-nilai pelestarian lingkungan hidup. strategi, dan berbagai upaya untuk melestarikan
lingkungan sekitarnya. Sejumlah pembahasan yang
4. Simpulan dan Saran komprehensip mengenai pendekatan lingkungan
yang telah dirumuskan para ahli ilmu sosial, yang
4.1 Simpulan menggunakan pendekatan ekologi untuk riset dan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik pengajaran tampaknya perlu juga disosialisasikan
simpulan, yaitu : kepada masayarakat luas.

339
Jurnal Bumi Lestari, Volume 10 No. 2, Agustus 2010, hlm. 333 - 340

Daftar Pustaka
Atmadja, Nengah Bawa. 2005. Bali pada Era Globalisasi, Pulau Seribu Pura Tidak Seindah Penampilannya.
(Draf Buku).
Bappeda, Provinsi Bali. 2006. Data Bali Membangun. Pemerintah Provinsi Bali Badan Perencanaan
Pemabangunan Daerah. Denpasar
Bogdan R. dan S.J. Taylor. 1993. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. (A. Khoszin Afandi, Penerjemah).
Usaha Nasional, Surabaya.
Chang, W. 2000. Moral Lingkungan Hidup. Kanisius,Yogyakarta.
Collier, W.L at al. 1996. Pendekatan Baru dalam Pembangunan Pedesaan Jawa. Yayasan Obor Indonesia.
Jakarta.
Dinas kehutanan Provinsi Bali. 2002. Hutan dan Kehutanan Provinsi Bali. Dinas Kehutanan pemerintah
Provinsi Bali.Denpasar.
Fakih, M. 2000. ‘’Tinjauan Kritis trehadap Revolusi Hijau’’. dalam Dadang Yuliantara (ed). Menggeser
Pembangunan memperkuat Rakyat Emansipasi dan Demokrasi Mulai dari Desa. Lapera Pustaka
Utama. Yogyakarta. Hal aman 3—22.
Fakih, M. 2004. Bebas dari Neolibralisme. INSIST Press Printing, Yogyakarta.
Giddens, A. 2005. Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas. (Nurhadi, Penerjemah).: Press Book, Jakarta.
Gunadha I.B. dan I.B Dharmika , t.t.” Kerangka Konseptual Hindu Mengenai Hubungan Timbal Balik Antara
manusia dan Lingkungan”. Makalah diseminarkan dalam Seminar Nasional Nilai-Nilai Agama dan
Budaya dalam Pelestarian Lingkungan Hidup. Kerja sama DPD RI dengan LP2 M UNHI Denpasar.
Kraf, A.S. 2002. Etika Lingkungan. Buku Kompas, Jakarta.
Montero, M. 2005. ‘’Psikologi Politik: Perspektif Kritis’’. Dalam D. Fox dan I Prilleltensky ed. Psikologi
Kritis Metaanalisis Psikologi Kritis (A. Chasairi dan I.L Alfian Penerjemah). Mizan Media Utama.
Bandung. Halaman 209—228.
Moleong, J. Lexy, 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Nala, Ngurah, 1995. Moksartham Jagaddhita. Dalam Nala (ed). Moksartham Jagadditha. Upada Sastra.
Denpasar. Halaman 1—16.
O’neil, F. William, 2001. Ideologi-Ideologi Pendidikan. (Omi Intan Naomi, Penerjemah). Pustaka Pelajar,
YogyakartaL.
Rupawan, I Ketut. 2008. Saput Poleng dalam Kehidupan Beragama Hindu di Bali. Pustaka Bali Post,
Denpasar.
Schefold, Reimar. 1985. ‘’Keseimbangan Mentawai dan Dunia Modern’’, dalam Michael R. Dove (Penyunting).
Peranan Kebudayaan Tradisonal Indonesia dalam Modernisasi. Yayasan Obor. Jakarta.Halaman
215—141.
Soemarwoto, Otto. 2001. Atur-Diri-Sendiri Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Gajah Mada
University Press ,Yogyakarta.
Storey, J. 2003. Teori Budaya dan Budaya POP Memetakan Lanskep Konseptual Cultural Studies. CV
Qalam. Yogyakarta.
Sutawan, I Nyoman, 2002. Prospek Kajian Subak dalam Pergeseran Masyarakat Agraris Ke Masyarakat
Industri. Dalam Bagus, Penyunting) Masalah Budaya dan Pariwisata dalam Pembangunan. Program
Studi Magister (S-2) Kajian Budaya Universitas Udaya Denpasar.
Thompson, J.B. 2003. Analisis Ideologi Kritis Wacana Ideologi-Ideologi Dunia. (Haqqul Yaqin Penerjemah).
Yogyakarta: IRCiSoD.
Wirata, Nyoman, 2004. Bali Siapa yang Mesti Menyelamatkan? Dalam Ajeg Bali Sebuah Cita-Cita. Denpasar:
Bali Post. Halam 2—6.

340

Anda mungkin juga menyukai