Anda di halaman 1dari 14

DOSA-DOSA BESAR

Bismillah. Tidak ada tempat meminta pertolongan kecuali kepada-Nya. Segala puji bagi Allah. tidak ada
pujian kecuali bagi-Nya. Aku memuja-mujiMu wahai Rabb-ku, sebagaimana Engkau ajarkan kami cara
memuji-Mu. Dan salawat serta salam semoga selalu disampaikan kepada makhluk-Nya yang terbaik,
sayyidina Muhammad.

Waba'du: Allah SWT berfirman:

"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya
Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang
mulia (surga)". An Nisaa: 31

Ayat ini adalah adalah salah satu dari delapan ayat, yang dikatakan oleh Ibnu Abbaas r.a. sebagai berikut:
"di dalam surah ini [surah an Nisaa] terdapat delapan ayat yang menjadi pangkal kebaikan bagi umat ini,
sepanjang siang dan sepanjang malam". Ayat-ayat itu dimulai dengan firman Allah SWT:

"Allah hendak menerangkan (hukum syari'at-Nya) kepadamu". (An Nisaa: 26)

"Dan Allah hendak menerima taubatmu". (An Nisaa: 27)

"Allah hendak memberikan keringanan kepadamu ". (An Nisaa: 28).

Selanjutnya:

"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya".

Kata "ijtinab" bukan bermakna "tidak melakukan sesuatu [kemaksiatan]", namun ia bermakna "tidak
mendekatkan diri kepada faktor-faktor yang dapat mendorong seseorang melakukan sesuatu perbuatan
[kemaksiatan]". Dengan berlaku seperti itu, seorang individu muslim dapat membentengi dirinya dari
godaan nafsu dan kemaksiatan.

Ayat-ayat yang mulia tadi menjadi pangkal kebaikan bagi masing-masing individu umat Islam sepanjang
hari-hari yang ia lewati. Karena ayat-ayat tadi memberikan batasan-batasan dan ranjau-ranjau yang harus
diperhatikan oleh individu Muslim saat ia melakukan pilihan bagi ayunan langkahnya, sehingga ia tidak
terjerumus ke dalam pilihan yang bodoh yang tidak berpedoman pada manhaj Allah. Seandainya manusia
diciptakan sebagai makhluk "mekanik" tanpa dibekali kemampuan untuk melakukan pilihan pribadi,
niscaya manusia akan terbebaskan dari beban untuk menentukan pilihan langkah itu.

Beban berat manusia timbul dari sikap arogansinya karena memiliki kemampuan lebih dari sekalian
makhluk Allah yang lain. Kelebihan manusia itu adalah potensi akalnya, yang memberikannya
kemampuan untuk menentukan pilihan terhadap alternatif-alternatif yang tersedia di hadapannya.

Sementara makhluk-makhluk lain yang diciptakan Allah, terbentuk sebagai makhluk yang telah
terprogram secara total oleh Allah, tanpa diberikan kemampuan untuk melakukan pilihan. Dan puas
menjadi makhluk yang mengalir di horison koridor yang telah dibentangkan oleh Allah SWT baginya.
Kita mengetahui bahwa Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh". Al Ahzaab: 72.

Manusia telah menzhalimi dirinya ketika ia memilih untuk memegang kendali pilihan bebas dirinya saat
menghadapi godaan syahwat atau saat menghadapi kehendak manhaj Allah SWT. Sementara makhluk-
makhluk yang menundukkan dirinya kepada pilihan Allah, tidak menghadapi masalah seperti ini.

Seluruh makhluk selain manusia, hidup mengalir secara mekanis berdasarkan kehendak Allah, dan
terbebas dari kesalahan melakukan pilihan bagi dirinya. Kemudian, ayat-ayat tadi memberikan informasi
yang menenangkan manusia; yakni sekalipun manusia suatu kali pernah melakukan pilihan yang bodoh,
sehingga melanggar kehendak dan ketentuan Allah, namun Allah berkehendak untuk memberikan cahaya
penerang baginya yang menuntutnya dalam mengarungi kehidupanya, memberikan kesempatan baginya
untuk bertaubat kepada Allah, dan memberikan keringanan baginya atas kesalahan dan kekeliruan yang
telah ia lakukan.

Allah SWT berkehendak, jika manusia menjauhkan dirinya dari faktor-faktor yang dapat mendekatkan
dirinya dari dosa-dosa besar, niscaya Allah SWT akan memberikan balasan bagi tindakannya itu dengan
menganugerahkannya penghapusan dan pengampunan dosa-dosa kecilnya. Seluruh berita tadi
memberikan ketenangan bagi jiwa manusia, sehingga ia tidak berputus asa saat ia terlanjur melakukan
pilihan yang bodoh dan melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan Allah. Di sini, Allah SWT
menjelaskan bahwa: "Aku adalah Pencipta-mu, dan Aku mengetahui bahwa engkau lemah, karena engkau
menghadapi pilihan dua titian jalan, kedua titian jalan itu menggodamu untuk memilih salah satunya.
Yaitu titian jalan taklif 'beban' Allah yang mengandung kebaikan bagimu, dan pahala yang menunggu di
ujung jalan itu. Hal ini menggoda dan mendorongmu untuk meniti jalan ini. Dan ada titian jalan syahwat
dan kenikmatan yang instan. Ini juga menggodamu untuk memilihnya".

Ketika kedua jalan itu saling tarik menarik dalam diri manusia, maka saat itulah timbul kelemahan dalam
dirinya. Oleh karena itulah Allah SWT menjelaskan: "Aku memaklumi apa yang terjadi pada dirimu itu,
karena hal itu adalah hasil logis akibat adanya potensi pilihan bebas yang engkau miliki itu. Dan Aku-lah
yang telah memberikan potensi itu kepadamu".

Allah SWT saat menganugerahkan kepada manusia, sang makhluk yang berkuasa atas makhluk lain di
dunia ini, potensi untuk melakukan pilihan bebas itu; akan amat senang jika manusia datang dan
bersimpuh di hadapan Rabb-nya dengan sepenuh hati dan kesukarelaan dirinya. Karena terdapat
perbedaan secara diametral antara makhluk yang telah diprogram untuk tunduk kepada Allah SWT dan
berjalan mengalir sesuai ketetapan yang telah dibuat oleh Allah SWT; sehingga makhluk seperti ini tidak
diberikan sipat sebagai kekasih Allah; dengan makhluk yang diberikan pilihan bebas untuk tunduk atau
tidak, dan untuk taat dan tidak. Oleh karena itu, dengan potensi kemampuan manusia untuk melakukan
pilihan bebas itu, Allah SWT menghendaki manusia untuk tunduk kepada-Nya sesuai dengan kehendak
hatinya secara jujur, dan memilih untuk taat kepada Allah SWT dengan dorongan keimanannya itu.

"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya".

Di sini, seakan-akan Allah SWT menjelaskan tentang beban-beban hukum yang telah diembankan-Nya
kepada manusia; seperti menjaga diri dari mencemarkan nama baik orang lain, menjaga diri dari memakan
harta orang lain dengan cara yang diharamkan, menjaga diri dari membunuh manusia dan sebagainya;
dengan penjelasan sebagai berikut: "Saat menghadapi suatu kenyataan yang mengecewakan [seperti
terlanjur mengerjakan suatu dosa kecil, misalnya], hendaknya kalian tidak bersikap putus asa, karena Aku
akan menutupi dosa-dosa kecil kalian jika kalian meninggalkan dosa-dosa besar: ibadah shalat ke ibadah
shalat yang lain adalah menjadi penghapus dosa-dosa kecil yang terlanjur dilakukan di antara keduanya,
shalat jum'at ke shalat jum'at yang berikutnya menjadi penghapus dosa-dosa kecil yang terlanjur dilakukan
di antara kedua masa itu, dan dari satu ibadah puasa Ramadhan ke Ramadhan berikutnya menjadi
penghapus bagi dosa-dosa kecil yang terlanjur dilakukan pada masa di antara keduanya. Namun dengan
syarat kalian tidak terus menerus melakukan dosa-dosa kecil itu. Mengapa? Karena saat engkau
melakukan sesuatu perbuatan dosa kecil, bayangkanlah jika tiba-tiba engkau meninggal dunia sebelum
sempat beristighfar dan bertaubat atas dosa itu. Oleh karena itu, janganlah engkau berkata: "aku akan
lakukan dosa [kecil ini] dan nantinya aku akan beristighfar dan bertaubat". Hal itu tidak terjamin dapat
dilakukan olehmu, pada saat yang sama engkau juga seperti sedang mengejek Tuhan-mu.

"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya
Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil)"... yakni dosa-dosa kecil, Allah SWT
berfirman: "niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil)". Dan seperti telah
kami katakan: pengertian kata "al kufr" adalah "as satru" 'penutup', artinya Allah SWT akan menutupi
dosa-dosa kecil itu. Dan makna Kami akan menutupinya artinya, Kami tidak akan memberikan hukuman
atasnya. Istilah "takfiir" bermakna menghilangkan siksa atasnya. Sedangkan istilah "ihbaath" bermakna
menghilangkan dan menggugurkan pahalannya.

Jika seseorang melakukan sesuatu perbuatan dosa kecil yang membuat dia berhak dijatuhi hukuman,
namun ia meninggalkan dosa-dosa besar, maka Allah SWT akan menutupi dan menghapuskan hukuman
itu dari dirinya. Sedangkan jika seseorang melakukan amal kebaikan, namun Allah SWT tidak menerima
amalnya itu, maka berarti Allah SWT tidak memberikan pahala atas amal itu kepadanya. Dengan
demikian, istilah "takfiir" --seperti telah kami katakan tadi-- adalah menghilangkan hukuman. Sementara
istilah "ihbaath" bermakna: menghilangkan balasan pahala. Seperti terdapat dalam firman Allah SWT.

"Maka mereka itulah yang sia-sia amalannya". (Al Baqarah: 217).


Artinya, mereka tidak mendapatkan pahala atas amal kebaikan yang mereka lakukan itu; karena saat
mereka mengerjakan amal kebaikan itu, mereka tidak meniatkannya untuk Allah SWT, Yang akan
memberikan pahala atas amal mereka itu. Namun mereka meniatkannya untuk mendapatkan pujian dari
manusia. Oleh karena itu, Nabi Saw bersabda:

"Engkau mengerjakan amal perbuatan itu untuk mendapatkan pujian manusia, dan pujian itu pun telah
engkau dapatkan [sehingga engkau tidak lagi berhak mendapatkan pahala dari Allah SWT]".

Engkau mengerjakan amal kebaikan itu untuk mendapatkan pujian manusia, dan pujian itu telah engkau
dapatkan. Misalnya masyarakat memuji: "engkau adalah orang yang amat dermawan". Atau mereka
berkata: "hebat sekali, engkau telah membangun masjid". Dan mereka juga membaca spanduk yang
tertulis saat peresmian masjid itu, bahwa engkaulah yang telah menyumbang bagi pembangunan masjid
itu.

Allah SWT berfirman:

"Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang
berterbangan". (Al Furqaan: 23).

Engkau melakukan suatu amal kebaikan hanya semata untuk mendapatkan pujian manusia, dan pujian itu
telah engkau dapatkan [sehingga tidak berhak lagi mendapatkan pahala dari Allah SWT]; oleh karena itu,
orang yang menulis namanya besar-besar di masjid itu, hendaknya memperhatikan hal ini. Dan bagi orang
yang ingin mendapatkan pahala dari Allah SWT, hendaknya segera menghapus namanya itu, sehingga
harapannya untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT dapat terwujud. Karena Allah SWT amat senang
jika orang yang memberikan derma atau shadaqah, bertindak sesuai dengan sabda Rasulullah Saw tentang
tujuh macam orang yang mendapatkan naungan Allah SWT pada hari kiamat nanti, saat tidak ada naungan
selain naungan Allah SWT, di antara mereka adalah:

"Seseorang yang memberikan sadaqah dengan cara sembunyi, sehingga tangan kirinya tidak mengetahui
apa yang disadaqahkan oleh tangan kanannya itu".

Saat engkau memberikan shadaqah kepada seseorang, mengapa engkau perlu membuka identitas diri
orang yang menerima derma dan shadaqahmu itu?.

Sementara Allah SWT berfirman: "Jika kamu menjauhi". kata "ijtinaab" bermakna: memberikan sesuatu
dari samping [dengan tidak mencolok]. Dan yang dimaksud dengan redaksional: "in tajtanibuu"
bermakna: jika kalian menjauhkan diri kalian. Dan saat Allah SWT memerintahkan engkau agar tidak
melakukan sesuatu perbuatan, kemudian perintah itu disampaikan dalam bentuk yang lain, yakni dengan
perintah agar menjauhkan diri dari perbuatan yang dilarang itu, hal ini menunjukkan bahwa tekanan
larangan itu menjadi lebih besar. Karena perintah untuk menjauhkan diri dari perbuatan yang dilarang itu
bermakna engkau diperintahkan untuk tidak berada di tempat yang sama dengan sesuatu yang dilarang
untuk dikerjakan itu.

Saat Allah SWT berfirman: "maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu". (Al Hajj: 30)

dan saat Allah SWT berfirman:

"dan jauhilah perkataan-perkataan dusta". Al Hajj: 30)

Perintah "ijtanibuu" dalam ayat itu bermakna: menjauhlah darinya. Mengapa? Karena batasan-batasan
Allah SWT yang tidak boleh dilanggar adalah apa-apa yang diharamkan-Nya.

Rasulullah Saw bersabda:

"Yang halal telah jelas dan yang haram telah jelas, dan di antara keduanya adalah perkara-perkara yang
syubhat [yang tidak jelas] yang tidak diketahui oleh [hakikat hukumnya] oleh banyak manusia. Maka
orang yang menghindarkan diri dari perkara yang syubhat, berarti ia telah menjaga nama baiknya dan
agamanya. Dan siapa yang jatuh dalam perkara yang syubhat, maka ia dipastikan akan segera jatuh dalam
keharaman. Perumpamaannya adalah seperti seseorang yang menggembala di pinggir kebun, ia amat
dekat untuk memasuki kebun itu. Dan setiap kerajaan memiliki batas-batas yang tidak boleh dilangkahi,
dan batas-batas Allah SWT di atas permukaan bumi ini adalah apa-apa yang diharamkan-Nya".

dan Allah SWT berfirman:


"Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan". (Al Maaidah: 90).

Cara penjauhan diri dari perbuatan yang dilarang itu adalah dengan tidak menempatkan diri dalam satu
tempat bersama dengan sesuatu yang dilarang itu, karena dikhawatirkan akan mendorongmu untuk
memikirkannya, menganggu konsentrasimu dan hal itu akan terbayang-bayang dalam pikiranmu.
Misalnya saat engkau berada di tempat orang minum minuman keras, saat itu Allah SWT memerintahkan
kepadamu: jauhilah tempat itu.

Artinya: jangan dekati tempat itu. Karena jika engkau berada di tempat orang minum minuman keras itu,
dan engkau melihat orang yang sedang minum itu tampak gembira dan amat menikmati minumannya, hal
itu bisa saja mendorongmu untuk turut meminumnya. Sedangkan jika engkau menghindarkan diri dari
minuman keras, dan tidak mendekat tempat meminum minuman keras itu, maka engkau terjaga dari
godaan-godaan seperti itu. oleh karena itu kami katakan: perintah untuk menjauhkan diri dari sesuatu itu,
makna redaksionalnya lebih berat dan lebih keras dari larangan atas sesuatu itu sendiri. Ada orang yang
beralasan bahwa minuman keras itu tidak diharamkan, dan berkata: meminum minuman keras itu tidak
pernah dilarang oleh sesuatu nash agama yang pasti!. Bagi orang seperti ini kami menjawab: ingatlah,
meminum minuman keras itu disejajarkan dengan penyembahan berhala.

Allah SWT berfirman:

"dan jauhilah Thaghut itu". (An Nahl: 36).

Perintah untuk menjauhkan diri dari berhala itu tidak semata larangan untuk menyembah berhala itu,
namun juga berisi larangan untuk melihat dan mendekatinya. Dengan demikian, perintah untuk
menjauhkan diri dari minuman keras itu tidak semata larangan untuk meminumnya, namun juga perintah
agar tidak mendekatinya. Kata "al kabaair" adalah bentuk plural dari kata "kabiirah" 'dosa besar'. Dan jika
ada "kabiirah" 'dosa besar' berarti ada "shagiirah" 'dosa kecil' dan "ashgar" 'dosa paling kecil'. Dosa yang
lebih rendah dari "kabiirah" 'dosa besar' tidak semata "shagiirah" 'dosa kecil' saja, namun juga termasuk
dosa yang lebih kecil dari dosa kecil itu, yaitu "al lamam" 'kelalaian dan kekhilafan'.

Allah SWT berfirman: "Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu
mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil)". "as Sayyiaat"
'Dosa-dosa kecil' berkaitan dengan pelanggaran terhadap hal-hal yang ringan atau yang paling ringan.
Namun tentang hal ini, para ulama memberikan catatan penting, yakni: hal itu tidak berarti Allah SWT
membolehkan manusia untuk melakukan dosa-dosa kecil itu, selama mereka menjauhkan diri dari dosa
besar. Karena perbuatan dosa kecil yang dilakukan secara terus menerus dan dengan kesengajaan, juga
termasuk bagian dari dosa besar. Oleh karena itu jangan engkau lakukan perbuatan dosa kecil, karena
Allah SWT hanya menghapuskan dosa kecil yang dilakukan dengan tidak sengaja atau karena kekhilafan.
Oleh karena itu, Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan
lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera". (An Nisaa: 17),

yakni jika mereka mengerjakan dosa-dosa kecil itu dengan tanpa sengaja, dan karena kekhilafan semata.

Selanjutnya Allah SWT berfirman:

"Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga
apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: "Sesungguhnya saya
bertaubat sekarang" ". (An Nisaa: 18)

Dengan demikian, jika engkau melakukan dosa kecil dengan sengaja dan secara terus menerus, maka dosa
kecil itu berubah statusnya menjadi dosa besar. Kemudian, jika kita tidak menjauhkan diri dari dosa besar,
dan kita juga melakukan dosa kecil, apa yang akan terjadi? Para ulama berpendapat: di antara bentuk kasih
sayang Allah SWT terhadap manusia adalah ketentuan berikut ini: tidak ada istilah dosa besar selama
pelakunya melakukan taubat dan istighfar, dan tidak ada istilah dosa kecil selama pelakunya terus
melakukan perbuatan dosa kecil itu secara sengaja.

Jika engkau mengambil hal tadi, maka ambillah dua ketentuan ini, yakni tidak ada istilah dosa besar
selama pelakunya melakukan taubat dan beristighfar, dan tidak ada istilah dosa kecil selama pelakukan
terus melakukan perbuatan dosa itu dengan sengaja. Dan tentang definisi dosa besar, para ulama
berpendapat sebagai berikut: dosa besar adalah suatu perbuatan yang pelakunya diberikan ancaman oleh
Allah SWT akan dijatuhi adzab di akhirat nanti, atau suatu perbuatan yang diancam akan dikenakan hadd.
Sedangkan suatu perbuatan dosa yang tidak diancam akan dikenakan hadd, maka perbuatan itu termasuk
dalam dosa kecil yang akan diampuni jika pelakunya menjauhkan diri dari perbuatan dosa besar, atau dosa
kecil, atau dosa yang paling kecil.

Adalah Amru bin Ubaid, seorang ulama Bashrah, dan seorang zahid. Yang dikatakan oleh para pejabat
pemerintah tentang dirinya sebagai berikut: "kalian semua adalah para pencari buruan, kecuali Amru bin
Ubaid". Artinya, seluruh ulama mendatangi para pejabat pemerintah untuk mendapatkan hadiah, kecuali
Amru bin Ubaid. Suatu saat, ulama kita ini ingin mengetahui definisi yang jelas tentang apa itu dosa besar,
secara langsung dari nash Al Quran, bukan dari pendapat para ulama.

Ia kemudian menemui Abu Abdillah Ja'far bin Muhammad Shadiq. Seperti kita ketahui, Ja'far Shadiq
adalah orang tokoh yang paling patut untuk ditanya tentang hal ini; karena ia adalah seorang ulama dari
ahlul bait, dan ia telah begitu mendalami rahasia-rahasia kandungan Al Quran. Setelah ia bertemu
dengannya, dan duduk bersamanya, ia kemudian membaca firman Allah SWT berikut ini:

"(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan
kecil". (An Najm: 32).

Sampai di sini ia berhenti dan berdiam!. Menyaksikan hal itu Abu Abdillah Ja'far Shadiq bertanya
kepadanya: "mengapa engkau terdiam, wahai Ibnu Ubaid?"

Ia menjawab: "aku ingin mengetahui secara pasti apa itu dosa-dosa besar, langsung dari keterangan kitab
Allah".

Abu Abdillah Ja'far Shadiq berkata: "engkau datang kepada orang tepat". Selanjutnya ia berkata kembali:
" [Dosa besar itu adalah, pertama:] syirik kepada Allah SWT. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain
dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya". (An Nisaa: 48)

Dan Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan
kepadanya surga". (Al Maaidah: 72)

Selanjutnya ia menambahkan: [dosa besar yang kedua adalah] berputus asa dari mendapatkan rahmat
Allah SWT. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir"".(Yuusuf: 87).

Demikianlah, Abu Abdillah Ja'far Shadiq mengungkapkan hukum sambil menyebutkan dalilnya dari Al
Quran. Berikutnya ia memberikan penjelasan selanjutnya: [dosa besar yang berikutnya adalah:] merasa
aman dari ancaman Allah SWT. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:

"Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi." (Al A'raaf: 99)

Dosa besar yang keempat adalah: berbuat durhaka kepada kedua orang tua. Karena Allah SWT mensipati
orang yang berbuat durhaka kepada kedua orang tuanya sebagai orang yang jabbaar syaqiy 'orang yang
sombong lagi celaka'. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:

"Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka". (Maryam:
32).

Dosa besar yang berikutnya adalah: membunuh. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:

"Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu'min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam,
kekal ia di dalamnya". (An Nisaa: 93).

Dosa besar yang berikutnya adalah: menuduh wanita baik-baik berbuat zina. Tentang hal ini Allah SWT
berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman
(berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar". An Nuur: 23)

Dosa besar berikutnya adalah: memakan riba. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:

"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila". (Al Baqarah: 275)

Dosa besar berikutnya adalah: lari dari medan pertempuran. Maksudnya, saat kaum Muslimin diserang
oleh musuh mereka, dan kaum Muslimin maju mempertahankan diri dari serangan musuh itu, kemudian
ada seseorang individu Muslim yang melarikan diri dari pertempuran itu. tentang hal ini Allah SWT
berfirman:

"Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang
atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali
dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah
tempat kembalinya". (Al Anfaal: 16)

Dosa besar berikutnya adalah: memakan harta anak yatim. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)". (An
Nisaa: 10)

Dosa besar berikutnya adalah: berbuat zina. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:

"Barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan
dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu". (Al Furqaan: 68-69)

Tentang menyembunyikan persaksian, adalah seperti difirmankan oleh Allah SWT:

"Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya". (Al Baqarah: 283)

Dosa besar berikutnya adalah: sumpah palsu. Yaitu jika seseorang bersumpah untuk melakukan sesuatu
perbuatan, namun ternyata ia tidak melakukan perbuatan itu. atau ia bersumpah tidak akan melakukan
sesuatu perbuatan, namun nyatanya ia kemudian melakukan perbuatan itu. Tentang hal ini Allah SWT
berfirman:

"Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan
harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-
kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan
mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih". (Ali Imraan: 77 )

Dosa besar berikutnya adalah: berbuat khianat atas harta pampasan perang. Tentang hal ini Allah SWT
berfirman:

"Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang
membawa apa yang dikhianatkannya itu". (Ali Imraan: 161)

Dosa besar berikutnya adalah: meminum khamar [minuman keras]. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan". (Al Maaidah: 90).

Dosa besar berikutnya adalah: meninggalkan shalat. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:

"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak
termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat". (Al Muddats-tsir: 42-43 )
Dosa besar berikutnya adalah: melanggar perjanjian dan memutuskan tali silaturahmi. Karena tali
silaturahmi adalah salah satu ikatan yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk disambung. Tentang hal ini
Allah SWT berfirman:

"(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa
yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka
bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi". (Al Baqarah: 27 )

Dengan demikian, semua perbuatan dosa tadi adalah bagian dari dosa besar, sesuai dengan keterangan
nash Al Quran. Dan masing-masing dosa besar tadi mengandung hikmah, seperti yang diungkapkan oleh
Ja'far Shadiq. Dan saat ia ditanya oleh Ibnu Ubaid tentang apa itu dosa besar, Ja'far Shadiq dengan
percaya diri menjawabnya dengan urutan seperti tadi. Dan penyebutan urutan tadi pun diungkapkannya
dengan tanpa perlu berpikir lama. Yang menunjukkan bahwa masalah ini telah tertanam dalam otaknya;
apalagi jika disadari bahwa ayat-ayat itu terdapat secara acak dalam pelbagai surah dalam Al Quran.
Sehingga untuk menyebutkannya ia harus mengutip dan mengumpulkannya dari sana sini; hal ini juga
menunjukkan bahwa ia benar-benar telah mendalami rahasia-rahasia kandungan Al Quran.
AMAL IBADAH YANG PALING UTAMA
Keutamaan amal ibadah ditentukan oleh empat hal utama ini:

1. Memperhatikan waktunya. Misalnya, ibadah yang paling utama di bulan Ramadhan adalah qiyamullail.
Berdasarkan sabda Rasulullah Saw:

"Siapa yang mengisi malam bulan Ramadhan dengan keimanan dan ibadah, niscaya baginya diampunkan
dosa-dosanya yang telah lewat."(1)

Dan berderma, karena Rasulullah Saw: "beliau paling dermawan saat berada pada bulan Ramadhan".(2)
Jika masuk sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan, maka amal ibadah yang paling utama adalah
beri'tikaf dan tidak keluar dari masjid. Dan jika masuk sepuluh hari pertama dari bulan Dzul Hijjah, maka
amal ibadah yang paling utama adalah amal saleh dan berlomba untuk berjihad, berdasarkan sabda
Rasulullah Saw:

"Kecuali seseorang yang keluar berjihad dengan harta dan jiwanya, dan tidak menuntut balasan dari dua
hal itu."(3)

Amal ibadah yang paling utama pada bulan Muharram dan Sya'ban adalah puasa, berdasarkan sabda
Rasulullah Saw: "Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram." (4)
Dan perkataan A'isyah r.a.:

"Aku dapati Nabi Saw paling banyak berpuasa pada bulan Sya'ban." (5)

Amal ibadah yang paling utama saat mengajarkan orang yang ingin belajar adalah: bersungguh-sungguh
untuk mengajarkannya, dan meninggalkan pekerjaan yang lain. Dan ibadah yang paling utama saat wuquf
di Arafah adalah: berusaha untuk bermunajat, berdo'a, dan berdzikir, serta tidak berpuasa yang dapat
melemahkan tubuh untuk melakukan semua ibadah tadi.

Ibadah yang paling utama pada waktu menjelang subuh adalah: shalat dan istighfar. Berdasarkan firman
Allah SWT:

"dan yang memohon ampun di waktu sahur." Ali Imran: 17.

dan amal ibadah yang paling utama saat berbuka adalah: berdoa. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw:

"Tiga kelompok orang yang doanya tidak tertolak: orang yang berpuasa saat ia berbuka puasa, ...".(6)

Amal ibadah yang paling utama saat mendengarkan adzan adalah, membalas ucapan adzan tersebut.

2. Memperhatikan Tempat.

Ada beberapa tempat , yang jika dilakukan ibadah di situ, akan mendapatkan pahala dan keutamaan yang
lebih besar dibandingkan jika dilakukan di tempat lain. Seperti shalat di Masjidil Haram, setara dengan
seratus ribu shalat di tempat lainnya. Shalat di Masjid Nabawi, setara dengan seribu shalat di tempat
lainnya. Dan shalat di Masjid Aqsha, setara dengan lima ratus kali shalat di tempat lainnya.

Shalat yang paling utama dilakukan di masjid adalah shalat wajib. Sementara untuk shalat sunnah,yang
paling utama adalah jika dillakukan di rumah. Berdasarkan sabda Nabi Saw:

"Shalat yang paling utama bagi seseorang adalah di rumahnya, kecuali shalat wajib."(7)

Dzikir dan berdoa di Shafa dan Marwa lebih utama dari shalat. Thawaf bagi orang yang baru datang dari
luar Mekkah lebih utama dari shalat, dan sebaliknya bagi orang Mekkah sendiri. Do'a saat masuk rumah
atau keluar dari rumah lebih diutamakan daripada membaca Al Qur'an.

3. Memperhatikan Jenis Ibadah.

Jenis shalat lebih utama dari jenis membaca Al Qur'an. Jenis membaca Al Qur'an lebih dibandingkan jenis
dzikir. Jenis dzikir lebih utama dibandingkan jenis do'a. jenis jihad lebih utama dari jenis ibadah hajji.
Bahkan di antara satu jenis ibadah sendiri ada perbedaan keutamaan antara satu macam dengan macam
yang lain. Misalnya:
"Puasa (sunnah) yang paling utama adalah puasa nabi Daud, yaitu berpuasa satu hari dan berbuka satu
hari".(8) Dan

"Shadaqah yang paling utama adalah shadaqah bagi sanak keluarga yang membenci kita." (9)

Dan

"Syuhada yang paling utama adalah yang darahnya ditumpahkan musuh, dan kendaraannya dirusak
musuh"(10). Dan

"Dzikir yang paling utama adalah: la ilaha illah Allah, dan doanya yang paling utama adalah:
alhamdulillah." (11)

Dan

"Jihad yang paling utama adalah membela kebenaran di hadapan penguasa yang lalim." (12)

4. Memperhatikan Situasi dan Kondisi.

Rasulullah Saw bersabda:

"Jika Allah SWT kagum melihat seorang hamba, niscaya hamba itu tidak akan dihisab."(13)

Kemudian beliau mengabarkan tentang sipat orang-orang yang membuat Allah SWT tertawa. Beliau
bersabda:

"Tiga kelompok manusia yang dicintai dan dikagumi oleh Allah SWT dan diberikan kabar gembira oleh-
Nya adalah: ..., seseorang yang mempunyai isteri cantik dan peraduan yang nyaman nan indah, kemudian
ia bangun di waktu malam untuk beribadah. Terhadap orang tersebut Allah SWT berkomentar: "dia
meninggalkan syahwatnya untuk beribadah kepada-Ku, padahal jika ia mau ia dapat terus menikmati
tidurnya." Dan orang yang sedang berada dalam perjalanan bersama rombongan, kemudian ia tidak tidur
malam kecuali sedikit, dan ia isi akhir malamnya dengan ibadah, baik dalam kesulitan maupun dalam
kesenangan."(14)

Ini jika dalam kondisi negara aman. Sedangkan jika dalam kondisi perang, ukurannya lain lagi, berbeda
dengan sebelumnya. Oleh karena itu, perlu memperhatikan situasi dan kondisi. Orang yang cerdik adalah
orang yang mengetahui amal ibadah yang paling utama di segala situasi dan kondisi. 'Auf bin Harits
adalah salah seorang yang cerdik ini. Ketika ia bertanya kepada Nabi Saw pada saat perang Badar, sebagai
berikut: "Wahai Rasulullah Saw, apakah yang membuat Rabb-ku tertawa? (maksudnya: apakah amal
ibadah yang jika dikerjakan oleh seseorang pada situasi saat ini mencukupi untuk membuat dirinya
terbebaskan dari perhitungan akhirat). Nabi Saw menjawab:

"Orang yang menerjang musuh dengan tanpa perisai". Maka dia pun melepaskan baju besi yang ia pakai,
kemudian mengambil pedangnya dan segera menyerang pasukan musuh, hingga ia mendapatkan syahid.

Memperhatikan situasi dan kondisi mencakup memperhatikan potensi masing-masing peserta kompetisi
dan kelebihan yang mereka miliki. "Orang kaya yang memiliki banyak harta, dan hatinya merasa sayang
untuk menyumbangkan hartanya itu: maka shadaqah hartanya dan kerelaan hatinya untuk
menyumbangkan hartanya itu lebih utama baginya dibandingkan qiyamullail dan berpuasa sunnah di siang
hari. Orang yang pemberani dan kuat, yang ditakuti musuh: keikutsertaannya dalam pasukan jihad walau
sebentar, dan berjihad melawan musuh-musuh Allah, baginya lebih utama dibandingkan melaksanakan
ibadah hajji, berpuasa, bersedekah dan melakukan ibadah sunnah. Orang yang berpengetahuan, yang
mengetahui sunnah Nabi, ilmu halal-haram, dan ilmu tentang mana yang baik dan mana yang tercela
menurut agama: baginya bergaul dengan manusia, mengajarkan mereka, dan memberikan mereka nasihat
dalam agama, itu lebih utama daripada mengucilkan diri, menghabiskan waktunya untuk shalat, membaca
Al Qur'an dan bertasbih. Pejabat pemerintah yang memegang urusan manusia: baginya, duduk sebentar
untuk mengurusi perkara masyarakat, membantu orang yang dizhalimi, menjalankan hadd Allah,
membantu pihak yang benar, dan melawan pihak yang salah, itu lebih utama baginya dari pada beribadah
bertahun-tahun."(15)

Kami tambahkan: amal ibadah yang paling utama bagi orang yang dikuasai oleh sikap masa bodoh
terhadap siksaan Allah SWT dan yang tertipu oleh dirinya sendiri adalah: dengan merasa takut kepada
Allah SWT. Amal ibadah yang paling utama bagi orang yang dikuasai oleh keputus asaan dan patah
harapan dari rahmat Allah SWT adalah: menumbuhkan sikap pengharapan kepada-Nya. Amal yang paling
utama bagi orang yang junub adalah: mandi besar. Amal yang paling utama bagi orang yang takut impoten
adalah: segera menikah. Amal yang paling utama saat kedatangan tamu adalah: melayani dan
menemuinya, dibandingkan wirid yang sunnah. Amal ibadah yang paling utama saat membantu orang
yang ditimpa kesulitan adalah: memfokuskan diri untuk membantunya dan menolongnya, dan
mementingkan hal itu dibandingkan wirid dan khalwatnya. Amal ibadah yang paling utama saat seorang
muslim sakit adalah: menjenguknya. Dan amal ibadah yang paling utama saat kematiannya adalah:
menyaksikan jenazahnya. Amal ibadah yang paling utama ... dst.
HIKMAH SHOLAT BERJEMAAH

Abu Mas'ud r.a., sahabat Nabi saw, menyampaikan sebuah kisah. Suatu ketika, saat hendak shalat
berjamaah, Nabi menyentuh setiap bahu kami sambil bersabda: "Luruskan shafmu, jangan
bengkok-bengkok. Shaf yang bengkok akan menyebabkan hatimu terpecah-belah." (HR Muslim).

Hadis tersebut mengandung makna yang sangat patut kita renungkan. Ternyata ada hubungan
yang erat antara keadaan shaf umat Islam ketika salat berjamaah dengan keadaan hati mereka.
Padahal, hati itulah yang menentukan rasa persaudaraan, persatuan, dan kesatuan umat.

Bahkan Alquran menyatakan bila hati bercerai-berai, kendatipun di luar tampak ada persatuan,
itu hanya persatuan semu.

"Kamu kira mereka itu bersatu, padahal hati mereka bercerai-berai," firman Allah swt dalam
surat Al-Hasyr: 14.

Tapi, di antara sekian banyak pembicaraan mengenai persatuan umat Islam dewasa ini, hampir-
hampir tidak pernah kita temukan ulasan atau analisis yang menghubungkannya dengan shaf
salat.

Padahal, jika ketidaksempurnaan shaf shalat saja bisa mengakibatkan hati umat Islam terpecah-
belah, tentu akan lebih besar lagi pengaruhnya jika salat jamaah itu sendiri memang tidak
ditegakkan oleh umat Islam.

Dari sejarah Nabi kita tahu bahwa sejak salat wajib lima waktu diperintahkan Allah, beliau selalu
mengerjakannya secara berjamaah. Bahkan dalam keadaan genting sekalipun, misalnya perang,
saalat jamaah tetap ditegakkan. Untuk itu, beliau telah mengajarkan tata-caranya. Salat jamaah
juga tetap dipelihara oleh para sahabat sesudah beliau wafat.

Bagaimana keadaan umat Islam kini, khususnya kita, umat Islam di Indonesia yang jumlahnya
terbesar dibandingkan negara lain? Jawaban pertanyaan tersebut dapat kita lihat di masjid-masjid
setiap waktu salat. Masjid hanya penuh dengan jamaah ketika salat Jumat, salat tarwih, dan salat
Ied. Saat salat lima waktu, masjid yang biasanya penuh hanya terisi dua tiga shaf. Terutama saat
salat subuh.

Mungkin ada yang berkata, salat sendirian juga sah. Perbedaan antara salat jamaah dan salat
sendirian hanya pada pahala. Memang itu benar menurut fiqih. Tapi, salat tidak hanya urusan
fiqih belaka. Buktinya, Nabi sendiri menghubungkan shaf dengan masalah sosial
kemasyarakatan.

Alhasil, ketika kita sering prihatin karena mudah dipecah-belah dan diadu domba, salah-satu
sumbernya memang mungkin kita sendiri, di masjid. Tepatnya ketika kita tak lagi menegakkan
salat jamaah, seperti dicontohkan Nabi.

Tapi, untuk itu kita masih merasa punya dalih. Tuntutan jam kerja era modern membuat kita
harus sibuk. Jawaban untuk dalih ini adalah sebuah pertanyaan: Adakah yang melebihi kesibukan
dan kegentingan perang? Padahal, pada saat seperti itu, Nabi tetap salat jamaah?
ISLAM LIBERAL
PROSPEK DAN TANTANGANNYA

Ungkapan "Islam Liberal" mungkin terdengar kontradiksi dalam peristilahan (contradiction in


terms). Selama berabad-abad, Barat mengidentifikasikan Islam dengan unsur-unsurnya yang
eksotik. Kepercayaan Islam disamakan dengan fanatisme, sebagaimana diungkapkan Voltaire
dalam tulisannya, "Mahomet, or Fanatism". Islam juga disamakan dengan kezaliman, seperti
diungkapkan Mountesqieu sebagai "Kezaliman Timur", atau definisi yang diberikan Francis
Bacon "Sebuah kerajaan yang sama sekali tidak memiliki nilai-nilai sopan-santun (keadaban),
sebuah tirani absolut dan murni; sebagaimana terjadi di Turki."

Tema-tema di atas berlanjut hingga hari ini, sebagaimana persepsi Barat tentang Islam yang
diidentifikasikan sebagai imaginasi-imaginasi terorisme, dan gambaran teokrasi yang
menakutkan. Revolusi Iran pada tahun 1979 dan kebangkitan radikalisme Islam dari Afrika Barat
hingga Asia Tenggara menambah kesan adanya perang dingin yang terlihat. Juga dalam dunia
akademik, umat Islam dianggap mencurahkan perhatian kepada pemahaman keagamaan yang
radikal. Hal itu terlihat pada karya-karya akademik dengan judul yang meresahkan, seperti; Islam
Radikal (Radical Islam), Islam Militan (Militant Islam), dan Jihad (Sacred Rage).

Memang sebagian Muslim sepakat dengan para orientalis Barat bahwa Islam belum diberi
kesempatan untuk berubah. Itulah yang menyebabkan umat Islam dihadapkan pada sebuah
tantangan untuk memberikan tafsir kontekstual terhadap berbagai persoalan. Namun, wacana
tafsir kontekstual itu masih menjadi perdebatan yang seru dikalangan umat Islam. Seorang
Muslim Pakistan, misalnya, pernah menulis: "Orang yang berpikir tentang reformasi atau
modernisasi Islam adalah salah jalan, dan usaha mereka yang berpikir tentang reformasi atau
modernisasi Islam itu pasti akan gagal ... Mengapa Islam harus dimodernkan? Bukankah
kemodernan Islam telah selesai, murni sempurna, universal, serta berlaku setiap waktu?"

Dalam kajian historis, di kalangan umat Islam memang terdapat pemahaman-pemahaman yang
beraneka ragam. Di antara variasi pemahaman itu adalah adanya sebuah tradisi yang disuarakan
dengan konsisten sehingga paralel dengan liberalisme di dunia Barat. Para penerjemah tradisi ini
mengekspresikan kejengkelannya, karena posisi mereka pada umumnya "masih diacuhkan" oleh
para sarjana dan media massa Barat yang lebih tertarik pada sensasionalisme wacana kaum
ekstrimis-fundamentalis.

Fokus dari tradisi yang terabaikan ini, memang terkenal sangat kontroversial. Karena membahas
mengenai gagasan-gagasan Islam yang paling liberal dalam pemikiran Dunia Islam dewasa ini.
Apalagi sering dikonotasikan dengan Barat, sekular dan dipengaruhi cara pandang orientalisme.
Sebenarnya tradisi--yang disebut sebagai Islam Liberal--ini sangat menggugah, karena
mentradisikan pemikiran Islam yang terbuka, inklusif dan menerima usaha-usaha ijtihad
kontekstual. Charles Kurzman, di dalam bukunya Liberal Islam, A Sourcebook, menyebut enam
gagasan yang dapat dipakai sebagai tolok ukur sebuah pemikiran Islam dapat disebut "Liberal"
yaitu: (1). melawan teokrasi, yaitu ide-ide yang hendak mendirikan negara Islam; (2). mendukung
gagasan demokrasi; (3). membela hak-hak perempuan; (4) membela hak-hak non-Muslim; (5)
membela kebebasan berpikir; (6) membela gagasan kemajuan. Siapapun saja, menurut Kurzman,
yang membela salah satu dari enam gagasan di atas, maka ia adalah seorang Islam Liberal.

Sebenarnya, latar belakang pemikiran liberal Islam mempunyai akar yang jauh sampai di masa
keemasan Islam (the golden age of Islam). Teologi rasional Islam yang dikembangkan oleh
Mu'tazilah dan para filsuf, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan sebagainya, selalu
dianggap telah mampu menjadi perintis perkembangan kebudayaan modern dewasa ini. Sebut
saja sosok seperti Ibn Sina dan Ibn-Rusyd, yang dikenal bukan saja sebagai filsuf besar, tetapi
juga dokter yang meninggalkan warisan khazanah keilmuan yang luar biasa, yakni al-Qanun fi al-
Thibb (The Canon) dan al-Kulliyat, yang masih dipelajari di Eropa sebagai ensiklopedi sampai
abad ke-17.

Pemikiran liberal Islam yang memberi bobot besar terhadap penafsiran baru ajaran Islam dewasa
ini, sebenarnya memang mempunyai genealogi pemikiran jauh ke belakang, hingga Ibn
Taymiyah (1963-1328) yang menghadapi problem adanya dua sistem pemerintahan, yaitu
kekhalifahan yang ideal--yang pada masanya sudah tidak ada lagi--dan pemerintahan "sekular"
yang diperintah oleh sultan Mamluk, di mana Ibn Taimiyah juga menjadi pegawainya. Dia juga
berhadapan dengan adanya dua sistem hukum, yaitu syari'ah (hukum agama), dan hukum yang
diterapkan pemerintahan Mamluk (political expediency, natural equity).

Menghadapi masalah tersebut, Ibn Taymiyah melakukan refleksi mendalam terhadap keseluruhan
tradisi Islam dan situasi baru yang dihadapinya. Dalam ketegangan-ketegangan pilihan ini, Ibn
Taymiyah menyarankan suatu "jalan tengah", yaitu suatu sikap moderat. Untuk itu, perlu
dilakukan ijtihad (berani berpikir sendiri secara intelektual) pada situasi yang berubah. Suatu
ijma' (konsensus) hanya ada dan terjadi pada masa sahabat--oleh karena kesetiaan mreka kepada
apa yang dikatakannya dan diperbuatnya--, tapi tidak berlaku lagi bagi ahli hukum setelah itu.
Dari sudut isi, pemikiran ijtihad Ibn Taymiyah ini sudah merintis suatu metodologi penafsiran
teks dan ijtihad atas masalah-masalah sosial-politik, yang kelak menjadi inspirator, terutama
kalangan liberalis, juga revivalis dan neo-fundamentalis.

Usaha Ibn Taymiyah pun dilanjutkan oleh Ibn Khaldun (1332-1406). Dialah yang merintis
sosiologi Islam. Berdasarkan praktek-praktek politik studi historiografinya, Ibn Khaldun--sebagai
seorang pengembara dan pengabdi dari banyak kerajaan Islam waktu itu yang terpecah-pecah--,
percaya sepenuhnya kepada pemikiran politik Ibn Taymiyah, terutama tentang pentingnya
kesejahteraan umum (common goods) dan hukum ilahiyah demi menjaga kestabilan dan
kesejahteraan negara, yang kemudian diperluasnya dengan teori tentang "solidaritas alamiah"
(ashabiyah) dan etika kekuasaan. Sejak Ibn Khaldun ini, pemikiran Islam mengenai sosiologi
politik mendapatkan tempat dalam keseluruhan refleksi Islam dan perubahan sosial. Oleh karena
itu, penafsiran kembali Islam (ijtihad) menjadi suatu keharusan mutlak dalam masa perubahan
politik.

Sebenarnya, liberalisme Islam mendapatkan momentum secara politis lebih mendalam pada saat
kesultanan Ottoman di Turki, yang oleh segelintir cendekiawan di Konstantinopel dirasakan
sebagai ketinggalan zaman, terlalu kaku, dan terlalu religius. Diantara tokoh-tokoh cendekiawan
itu adalah Sinasi, Ziya Pasha dan Namik Kemal. Di Mesir, juga ada tokoh-tokoh sekaliber di
Turki yang liberal, seperti Rifa' Badawi Rafi' al-Tahtawi (1801-1873), Khayr al-Din Pasha (1810-
18819), dan Butrus al-Bustam (1819-1883). Mereka dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan,
yang ringkasnya adalah: Bagaimana masyarakat yang baik itu? Bagaimana bisa mengetahui
bahwa (masyarakat) itu baik atau ideal? Norma-norma apa yang sebaiknya membimbing suatu
pembaruan sosial? Dari mana norma-norma itu harus dicari? Bolehkah dari Islam ataukah justru
dari Barat? Lantas, antara Islam dan Barat, apakah tidak ada pertentangan?

Menurut mereka, 'ulama harus dilibatkan dalam pemerintahan, tetapi untuk itu, 'ulama harus
terlebih dulu diberikan pendidikan modern yang memadai, agar mereka dapat melihat situasi dan
kebutuhan masyarakat modern sekarang ini. Dari para 'ulama itu, dituntut pengetahuan tentang
apa itu dunia modern dan problematikanya, supaya tidak terkurung hanya dalam ajaran-ajaran
tradisional. Sementara itu, syari'ah juga harus disesuaikan dengan situasi baru. Antara syari'ah
(hukum Islam) dan hukum alam (ilmu pengetahuan) yang dikembangkan di Eropa dianggap tidak
banyak perbedaannya secara prinsipil. Karena itu, pendidikan modern adalah suatu keharusan
untuk umat Islam. Juga untuk "memperbaharui" syari'ah itu.

Demikianlah, sampai sebelum Jamal al-Din al-Afghani (1839-1897), Muhammad 'Abduh dan
Muhammad Rasyd Ridla (1865-1935), kesadaran bahwa Islam itu--maksudnya tentu saja
pemahaman kaum Muslim terhadap Islam--harus "dimodernkan" atau "dirasionalkan" sudah
menjadi kesadaran umum para cendekiawan Muslim. Dan ini telah menimbulkan gerakan yang
oleh Fazlur Rahman disebut sebagai "gerakan modernisme awal." Oleh karena itu pula, Tahtawi
dan seluruh kawan-kawannya yang sezaman, telah melihat bahwa Eropa adalah sumber ide dan
penemuan yang tak terelakkan. Maka, Islah harus belajar dari Barat!

Memang, mereka pun menyadari bahaya yang bisa muncul dari proses "pembaratan" ini. Tetapi,
mereka juga yakin bahwa kekuatan gagasan yang progresif dari Barat itu, juga akan mampu
mengatasi masalah yang akan muncul. Apalagi, bertepatan dengan munculnya gagasan-gagasan
itu, secara politis Ottoman mengalami kemunduran.
Selanjutnya, masalah menjadi lain ketika Afghani, 'Abduh dan Rasyd Ridha hidup. Masalah yang
dihadapi mereka adalah imperialisme Eropa. Kerajaan Ottoman dalam tahun 1875-1878, telah
kemasukan kekuatan militer Eropa. Tahun 1881, Tunisia diduduki Perancis dan tahun 1882,
Mesir pun jatuh ke tangan Inggris. Dan pada tahun-tahun ini pula, semua dunia Islam berada
dalam genggaman kolonialisme Eropa, termasuk Indonesia. Sehingga, secara politis keadaan
sudah berubah. Maka melihat fenomena Barat-Modern tanpa kritisisme pun menjadi naif. Melalui
mereka, muncullah gagasan pan-Islamisme yang mau melawan kolonialisme Barat. Dalam diri
mereka, sudah timbul suatu kesadaran bahwa Barat yang modern itu ternyata juga mempunyai
sisi destruktif, yakni imperialisme yang menghancurkan kebudayaan Islam baik secara sosial-
budaya maupun politis. Timbullah kesadaran bahwa yang modern bukan hanya Barat, tetapi bisa
juga Islam. Karena itu pemikiran dan gerakan modernisme awal ini, nantinya mendorong
munculnya gerakan-gerakan neo-revivalisme, yang terutama dipimpin oleh Hassan al-Banna,
Sayyid Qutb, dan Abu 'Al al-Mawdudi, yang nanti akan "dicap" sebagai akar fundamentalisme
Islam kontemporer.

Pada masa-masa ini, gagasan romantisme kejayaan Islam muncul sebagai motivasi melawan
penjajahan. Inilah dorongan paling besar yang merefleksikan kembali arti peradaban Islam di
dunia modern, di tengah-tengah hegemoni Barat waktu itu. Dorongan ini terus menjadi
momentum pemikiran Islam paska kolonialisme. Dari sini, mulailah dilakukan refleksi atas
munculnya peradaban Barat, dan hegemoninya atas dunia Islam. Nantinya, sebagai "puncak"
pemikiran modernis ini, sangat relevan memberi perhatian atas kajian-kajian ekonomi-politik atas
apa yang menjadi pendorong imperialisme Barat terhadap dunia Islam. Pemikir-pemikir Muslim
kontemporer seperti Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Ali Syari'ati, Zia-ul Haq, dan kalangan-
kalangan transformis lainnya yang menaruh perhatian pada gagasan pembebasan, layak juga
diperhatikan.

Sampai di sini, menarik sekali untuk memperhatikan pokok-pokok gagasan kalangan modernis-
liberalis ini, yang nantinya akan dikritik secara keras oleh kaum fundamentalis Islam, khususnya
seperti ditulis oleh Nader Saiedi dalam pandangan-pandangan mereka perihal: Pertama,
keyakinan akan perlunya sebuah filsafat dialektis; kedua, keyakinan akan adanya aspek
historisisme dalam kehidupan sosial keagamaan; ketiga, pentingnya secara kontinu untuk
membuka kembali pintu ijtihad yang dulu sempat tertutup atau justru ditutup oleh fatwa ulama;
keempat, penggunaan argumen-argumen rasional untuk iman; kelima, perlunya pembaruan
pendidikan; dan keenam, menaruh simpati dan hormat terhadap hak-hak perempuan, dan non-
Muslim.

Anda mungkin juga menyukai