Anda di halaman 1dari 16

Halaqah yang ke enam belas dari Silsilah Ilmiyyah Beriman dengan Takdir Allah adalah tentang

“Aliran yang Menyimpang di Dalam Masalah Iradah Syar’iyyah dan Iradah Kauniyah”.

Aliran yang menyimpang di dalam masalah Iradah Syar’iyyah dan Iradah Kauniyah adalah:

– Al Qodariyyah
– Al Jabriyyah

Mereka tidak membedakan antara Iradah Syar’iyyah dan Iradah Kauniyah.


Mereka menganggap bahwa semua yang terjadi adalah dicintai oleh Allah.

Adapun Al Qodariyyah maka mereka mengatakan bahwa setiap yang diinginkan oleh Allah pasti
dicintai oleh Allah dan yg tidak Allah cintai dan ridhoi berarti terjadi tidak dengan keinginan
Allah dan tidak diciptakan oleh Allah.

Dan diantara yang tidak dicintai oleh Allah adalah


kekafiran dan kemaksiatan.
Dengan demikian kekafiran dan kemaksiatan tidak diciptakan oleh Allah karena Allah tidak
mencintainya.
Kemudian akhirnya mereka menyimpulkan bahwa seluruh amalan makhluk semuanya bukan
dengan Iradah dan penciptaan Allah tetapi dengan Iradah makhluk tersebut tanpa campur tangan
Iradah Allah dan penciptaan Allah.

Dan adapun Al Jabriyyah maka mereka mengatakan bahwa semua yang terjadi adalah dengan
Iradah dan penciptaan Allah.
Dan setiap yang diinginkan oleh Allah dan diciptakan pasti dicintai oleh Allah.
Dan kekufuran serta kemaksiatan diciptakan oleh Allah, berarti kekufuran dan kemaksiatan
dicintai oleh Allah azza wajalla.

Dengan demikian kita mengetahui bahwa orang-orang Al Qodariyyah tersesat karena meyakini
terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan oleh Allah di dalam kerajaan Allah dan mereka benar
ketika mengatakan bahwa Allah tidak mencintai kekafiran dan kemaksiatan.

Dan kita mengetahui bahwa orang-orang Al Jabriyyah tersesat karena meyakini bahwa
kekufuran dan kemaksiatan dicintai oleh Allah dan mereka benar ketika meyakini bahwa Allah
yang mentakdirkan itu semua.

Adapun Ahlus Sunnah, maka Allah memberikan petunjuk kepada mereka.


Mereka meyakini bahwa Allah mentakdirkan segala sesuatu termasuk kekafiran dan
kemaksiatan.
Dan Allah tidak mencintai kekafiran dan kemaksiatan.
Dari keterangan di atas diketahui bahwa syubhat Al Qodariyyah dan Al Jabriyyah satu, yaitu:
mereka tidak membedakan antara dua Iradah Allah dan meyakini bahwa setiap yang diciptakan
oleh Allah berarti dicintai oleh Allah, padahal tidak semua yang diciptakan Allah dicintai oleh
Allah azza wajalla.

Halaqah yang ke tujuh belas dari Silsilah Ilmiyyah Beriman dengan Takdir Allah adalah tentang
“Peran Do’a di Dalam Beriman dengan Takdir Allah”.

Takdir telah tertulis, akan tetapi bukan berarti seseorang meninggalkan berdo’a kepada Allah.
Berdo’a adalah bagian dari mengambil sebab yang diperintahkan untuk mendapatkan kebaikan
dunia maupun kebaikan akhirat.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

‫ۚ َو َقاَل َر ُّب ُك ُم اْد ُعوِني َأْس َت ِج ْب َلُك ْم‬


[QS Ghafir 60]

“Dan berkata Rabb kalian, hendaklah kalian berdo’a kepada-Ku niscaya Aku akan mengabulkan
untuk kalian.”

Dan Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

‫ُأ‬
‫…َو ِإَذ ا َس َأَلَك ِع َب اِدي َع ِّن ي َفِإِّن ي َقِر يٌب ۖ ِجيُب َد ْع َو َة الَّداِع ِإَذ ا َد َع اِن‬
[QS Al-Baqarah 186]

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku, maka sesungguhnya Aku
adalah dekat mengabulkan do’anya orang yang berdo’a kepada-Ku.”

Dan do’a adalah ibadah, sebagaimana sabda Nabi ‫ﷺ‬,

‫الدعاء هو العبادة‬

”Do’a itu adalah ibadah.” [Hadits Shahih diriwayatkan oleh Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai,
dan Ibnu Majah]

Dan Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda,


‫وﻻ ﻳﺮﺩ ﺍﻟﻘﺪﺭ ﺇﻻ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ‬

“Dan tidak menolak Al Qadar kecuali do’a.” [Hadits Hasan diriwayatkan oleh Ibnu Majah]

Dan bukanlah yang dimaksud dengan do’a bisa menolak takdir, bahwa do’a bisa melawan takdir
Allah yang sudah Allah tulis, akan tetapi makna Al Qadar disini adalah Al Muqoddar, yaitu
sesuatu yang ditakdirkan, artinya do’a bisa menjadi sebab berubahnya keadaan yang ditakdirkan
oleh Allah menjadi keadaan lain yang juga ditakdirkan oleh Allah.

Contoh seseorang ditakdirkan sakit kemudian dia berdo’a kepada Allah meminta kesembuhan
kemudian Allah mengabulkan do’anya dan menakdirkan kesembuhan bagi orang tersebut.

Dan do’a yang dipanjatkan oleh seseorang kepada Allah adalah bagian dari takdir Allah.

Lalu bagaimana dikatakan bahwa doa bisa melawan takdir Allah azza wajalla.

Halaqah yang ke delapan belas dari Silsilah Ilmiyyah Beriman dengan Takdir Allah adalah
tentang “Kapan Seseorang Boleh Beralasan dengan Takdir”.

Takdir dijadikan hujjah dan alasan di dalam musibah dan bencana dan tidak boleh dijadikan
hujjah dan alasan di dalam dosa dan kemaksiatan.

Ketika musibah seseorang mengatakan,


“Ini adalah takdir Allah.”
“Ini adalah dengan izin Allah.”
Atau mengatakan, “Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi.”
Maka hal ini akan membawa ketenangan dan kebaikan pada dirinya.
Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

(‫)َم ا َأَص اَب ِمْن ُمِص يَب ٍة ِإاَّل ِبِإْذ ِن ِهَّللا ۗ َو َم ْن ُيْؤ ِمْن ِباِهَّلل َيْهِد َقْلَب ُه ۚ َو ُهَّللا ِبُك ِّل َش ْي ٍء َع ِليٌم‬
[QS At-Taghabun 11]

“Tidaklah menimpa sebuah musibah kecuali dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman
kepada Allah maka Allah akan memberikan petunjuk kepada dirinya. Dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.”

Dan Nabi ‫ ﷺ‬bersabda,

‫ َفِإَّن َلْو َت ْف َت ُح َعَمَل الَّش ْي َط اِن‬, ‫ َقَد ُر ِهللا َو َم ا َش اَء َفَع َل‬: ‫ َو َلِكْن ُقْل‬, ‫ َلْو َأِّن ي َفَع ْلُت َك اَن َك َذ ا َو َك َذ ا‬: ‫َو ِإْن َأَص اَبَك َش ْي ٌء َفال َت ُقْل‬

”Dan apabila engkau tertimpa musibah maka janganlah engkau mengatakan, seandainya aku
melakukan demikian niscaya akan demikian dan demikian, akan tetapi ucapkanlah, ini adalah
takdir Allah dan apa yang Allah kehendaki akan Dia lakukan. Karena sesungguhnya ucapan
‘seandainya’ ini membuka amalan syaithan.” [HR Muslim]

Namun ketika berbuat maksiat dan dinasihati maka tidak boleh seseorang berhujjah dengan
takdir atas maksiat yang dia lakukan kemudian dia mengatakan, “Saya berbuat maksiat karena
takdir Allah.” atau mengatakan “Kalau Allah menghendaki niscaya saya tidak berbuat maksiat.”
dll.
Orang-orang Musyrikin ketika dahulu didakwahi oleh para Nabi untuk bertauhid mereka
menolak dan mereka berhujjah dengan takdir atas kesyirikan dan kemaksiatan yang mereka
lakukan.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

‫َو َقاَل اَّلِذيَن َأْش َر ُك وا َلْو َش اَء ُهَّللا َم ا َعَب ْد َن ا ِمْن ُد وِنِه ِمْن َش ْي ٍء َن ْح ُن َو اَل آَب اُؤ َن ا َو اَل َح َّر ْم َن ا ِمْن ُد وِنِه ِمْن َش ْي ٍء ۚ َك َٰذ ِلَك َفَع َل اَّلِذيَن ِمْن‬
‫َقْبِلِه ْم ۚ َفَه ْل َع َلى الُّر ُس ِل ِإاَّل اْلَب اَل ُغ اْلُم ِبيُن‬
[QS An-Nahl 35]

“Dan berkata orang-orang Musyrikin, ‘Seandainya Allah menghendaki niscaya kami tidak
menyembah selain Allah sedikit pun, kami dan bapak-bapak kami, dan niscaya kami tidak
mengharamkan sedikit pun.’ Demikianlah orang-orang sebelum mereka melakukan. Maka tidak
ada kewajiban atas rasul kecuali menyampaikan dengan jelas.”

Adapun ucapan Nabi Adam ‘alaihissalam yang disebutkan di dalam hadits,

‫ أنَت موسى اَّلذي اصطفاَك‬: ‫ أنَت آدُم اَّلذي أخرجتَك خطيئُتَك مَن الجَّن ِة ؟ فقاَل َلُه آدُم‬: ‫ فقاَل َلُه موَس ى‬، ‫احتَّج آدُم وموسى‬
‫ فحَّج آدُم موَس ى‬: ‫ َت لوُمني على أمٍر ُقِّد َر علَّي قبَل أن ُأخَلَق ؟ فقال رسوُل ِهللا صَّلى ُهللا عليه وسَّلم‬، ‫ ثَّم‬، ‫ُهَّللا برسالِته وبكالِمه‬

“Adam dan Musa saling berhujjah, maka berkata Musa ‘Engkau adalah Adam yang dosamu telah
mengeluarkanmu dari surga.’ Berkata Adam, ‘Engkau adalah Musa yang Allah telah memilihmu
sebagai seorang Rasul dan memilihmu sebagai manusia yang pernah diajak bicara oleh Allah
kemudian engkau mencelaku atas sebuah perkara yang telah ditakdirkan untukku sebelum aku
diciptakan.’ Maka Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda, ‘Adam telah mengalahkan Musa dalam
berhujjah.’ Beliau ‫ ﷺ‬mengucapkannya dua kali.” [HR Al Bukhari dan Muslim]

Maka perlu diketahui bahwa Nabi Adam ‘alaihissalam di dalam hadits ini tidak berhujjah dengan
takdir atas dosa yang beliau lakukan akan tetapi beliau berhujjah dengan takdir atas musibah
yang menimpa beliau dan keturunan beliau, yaitu musibah keluarnya beliau dari surga yang
efeknya juga dirasakan oleh keturunan beliau ‘alaihissalam.

Halaqah yang ke sembilan belas dari Silsilah Ilmiyyah Beriman dengan Takdir Allah adalah
tentang Makna Ucapan Rasulullah ‫“ ﷺ‬Kejelekan Tidak Kepada-Mu”.

Allah Subhānahu wa Ta’āla yang menciptakan segala sesuatu yang bermanfaat maupun yang
memudhoroti, yang baik maupun yang buruk.
Adapun sabda Nabi ‫ ﷺ‬di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,

‫والشر ليس إليك‬


”Dan kejelekan tidak disandarkan kepada-Mu.”

Maka hadits ini tidak menunjukkan bahwa kejelekan tidak dicipta oleh Allah.
Para ulama telah menjelaskan bahwa makna hadits ini:

1. Ini adalah bentuk adab kita kepada Allah azza wajalla. Tidak boleh kita berkata “Wahai Yang
Menciptakan kejelekan” atau mengatakan “Wahai Pencipta Babi” meskipun Allah Subhānahu
wa Ta’āla Dia-lah Yang Menciptakan itu semua.

2. Allah Subhānahu wa Ta’āla tidak menciptakan kejelekan, secara murni kejelekan. Kejelekan
yang Allah ciptakan pasti ada hikmahnya. Dilihat dari sisi hikmah inilah kejelekan yang
menimpa manusia tersebut adalah baik di pandangan Allah azza wajalla, maka tidak boleh
disandarkan kejelekan kepada Allah azza wajalla.

Misalnya Allah mentakdirkan rezeki.


Ada diantara manusia yang diluaskan rezekinya dan ada yang disempitkan.
Disempitkan dengan hikmah dan diluaskan dengan hikmah.

Dan diantara hikmah disempitkan rezeki seseorang adalah supaya dia tidak berlebihan di dunia,
supaya dia banyak berdoa, dan mendekatkan diri kepada Allah.
Dan diantara hikmahnya adalah supaya terjadi saling membutuhkan antara orang yang kaya dan
orang yang miskin.

3. Ada di antara ulama yang mengatakan bahwa makna ucapan Nabi ‫“ ﷺ‬Kejelekan tidak
disandarkan kepada-Mu” maksudnya tidak boleh bertaqarrub kepada Allah dengan kejelekan.

4. Ada di antara ulama yang mengatakan bahwa maknanya kejelekan tidak akan sampai kepada
Allah, tetapi kebaikan itulah yang akan sampai kepada Allah.

Penyandaran kejelekan di dalam dalil tidak dilakukan secara khusus kepada Allah, tetapi
terkadang dengan penyandaran umum, seperti firman Allah azza wajalla,

‫…ۖ ُهَّللا َخ اِلُق ُك ِّل َش ْي ٍء‬


[QS Az-Zumar 62]

“Allah Yang Menciptakan Segala Sesuatu.”

Dan terkadang disandarkan kejelekan tersebut kepada penyebabnya, sebagaimana firman Allah,

‫ِمْن َش ِّر َم ا َخ َلَق‬


[QS Al-Falaq 2]
“Dari kejelekan apa yang dia ciptakan.”

Dan terkadang Allah Subhānahu wa Ta’āla menggunakan kalimat yang pasif, sebagaimana
firman Allah,

‫َو َأَّن ا اَل َنْد ِر ي َأَش ٌّر ُأِر يَد ِبَم ْن ِفي اَأْلْر ِض َأْم َأَر اَد ِبِه ْم َر ُّبُهْم َر َشًد ا‬
[QS Al-Jinn 10]

“Dan sesungguhnya kami (bangsa jin) tidak mengetahui apakah kejelekan yang diinginkan
terhadap penduduk bumi ataukah Rabb mereka menginginkan bagi penduduk bumi kebaikan.”

Halaqah yang ke dua puluh dari Silsilah Ilmiyyah Beriman dengan Takdir Allah adalah tentang
“Amalan Hamba Ikhtiariyyah Menurut Ahlus Sunnah”.

Amalan Hamba terbagi menjadi dua:

1. Amalan Hamba Idlthiroriyyah (‫ )اضطرارية‬yaitu amalan hamba yang seorang hamba tidak bisa
memilih, seperti gerakan orang yang menggigil.

2. Amalan hamba Ikhtiariyyah (‫ )اختيارية‬yaitu amalan hamba yang seseorang bisa memilih.
Seperti amalan-amalan ketaatan dan amalan-amalan kemaksiatan.

Ahlus Sunnah Wal Jamaah meyakini bahwa Allah yang menciptakan amalan mereka, bukan
mereka sendiri yang menciptakan amalan tersebut sebagaimana keyakinan orang-orang
Qodariyyah.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

‫َو ُهَّللا َخ َلَقُك ْم َو َم ا َت ْع َم ُلوَن‬


[QS Ash-Shaffat 96]

“Dan Allah, Dia-lah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian kerjakan.”

Dan Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda,

‫إن هللا خالق كل صانع وصنعته‬

“Sesungguhnya Allah Yang Menciptakan setiap pelaku dan apa yang dia lakukan.” [Hadits
Shahih diiriwayatkan oleh Al Hakim, di dalam Al Mustadrok]
Dan Ahlus Sunnah meyakini bahwa para hamba, merekalah pelaku dari apa yang mereka
amalkan.

Allah yang menciptakan keimanan dan kekafiran, dan seorang hamba dialah yang beriman dan
dialah yang kafir.

Allah menciptakan ketaatan dan kemaksiatan, dan hamba dialah yang taat dan dialah yang
bermaksiat.

Allah menciptakan shalat dan puasa, dan hamba-lah yang melakukan shalat dan dialah yang
melakukan puasa, bukan Allah Subhānahu wa Ta’āla yang menjadi pelaku itu semua,
sebagaimana diyakini oleh orang-orang Al Jabriyyah.

Allah berfirman,

‫َفاَل َت ْع َلُم َن ْف ٌس َم ا ُأْخ ِفَي َلُهْم ِمْن ُقَّر ِة َأْع ُيٍن َج َز اًء ِبَم ا َك اُنوا َي ْع َم ُلوَن‬
[QS As-Sajdah 17

“Maka sebuah jiwa tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka berupa hal-hal yang
menyejukan mata mereka sebagai balasan atas apa yang mereka amalkan.”

Di dalam ayat ini Allah mengabarkan bahwa amal yang dilakukan para hamba adalah sebab
mereka mendapatkan kenikmatan di surga, menunjukkan bahwa pelaku amalan tersebut adalah
hamba dan bukan Allah.

Allah Subhānahu wa Ta’āla memberikan para hamba qudrah atau kemampuan sebagaimana
firman Allah,

‫ۚ اَل ُيَك ِّلُف ُهَّللا َن ْف ًس ا ِإاَّل ُو ْس َع َه ا‬..


[QS Al-Baqarah 286]

“Allah tidak membebani sebuah jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya.”

Dan Allah juga memberikan mereka iradah atau keinginan. Allah-lah yang menciptakan iradah
pada diri mereka dan iradah mereka di bawah iradah Allah Subhānahu wa Ta’āla.

Allah berfirman,

‫ِلَم ْن َش اَء ِم ْنُك ْم َأْن َي ْس َت ِقيَم‬


‫َو َم ا َتَش اُءوَن ِإاَّل َأْن َي َش اَء ُهَّللا َر ُّب اْلَع اَلِميَن‬
[QS At-Takwir 28-29]
“Bagi siapa diantara kalian yang ingin istiqomah dan tidaklah kalian menghendaki istiqomah
kecuali dengan kehendak Allah Rabb semesta alam.”

Ini semua menunjukkan tentang batilnya ucapan Al Jabriyyah bahwa hamba dipaksa melakukan
ketaatan atau kemaksiatan, tidak ada pilihan bagi mereka, mereka tidak memiliki qudrah dan
iradah, keadaan mereka seperti gerakan pohon yang tertiup angin mengikuti ke mana arah angin
tersebut.

Halaqah yang ke dua puluh satu dari Silsilah Ilmiyyah Beriman dengan Takdir Allah adalah
tentang “Hidayah Taufiq dan Kesesatan Menurut Ahlus Sunnah”.

Hidayah terbagi menjadi dua:

1. Hidayatul Irsyad, yaitu bimbingan dan arahan menuju jalan yang benar.
Hidayah jenis ini dimiliki oleh para Nabi dan orang-orang yang mengikuti para Nabi dari
kalangan para da’i, karena mereka membimbing dan mengarahkan manusia kepada jalan Allah.

Allah berfirman,

… ۚ ‫َو ِإَّن َك َلَت ْهِدي ِإَلٰى ِص َر اٍط ُمْس َت ِقيٍم‬


[QS Asy-Syura 52]

“Dan sesungguhnya engkau sungguh-sungguh memberikan hidayah kepada jalan yang lurus.”

Maksudnya adalah membimbing dan mengarahkan menuju jalan yang lurus.

2. Hidayatut Taufiq, yaitu pembukaan hati dan pelapangan dada untuk menerima kebenaran dan
mengamalkannya.

Hidayah Taufiq ini hanya dimiliki oleh Allah, tidak dimiliki oleh Nabi dan da’i.

Allah berfirman,

‫ِإَّن َك اَل َت ْهِدي َم ْن َأْح َب ْبَت َو َٰل ِكَّن َهَّللا َي ْهِدي َم ْن َي َش اُء ۚ َو ُه َو َأْع َلُم ِباْلُمْه َت ِديَن‬
[QS Al-Qashash 56]

“Sesungguhnya engkau tidak memberikan hidayah kepada orang yang engkau cintai akan tetapi
Allah-lah yang memberikan hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki dan Dia lebih mengetahui
siapa orang yang mendapatkan petunjuk.”
Hidayah Taufiq Allah berikan kepada siapa yang dikehendaki dan kesesatan juga Allah berikan
kepada siapa yang dikehendaki.

Allah berfirman,

… ۚ ‫…ۚ َك َٰذ ِلَك ُيِض ُّل ُهَّللا َم ْن َي َش اُء َو َي ْهِدي َم ْن َي َش اُء‬


[QS Al-Muddatstsir 31]

“Demikianlah Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki dan memberikan petunjuk kepada
siapa yang dikehendaki.”

Barangsiapa yang Allah berikan hidayah taufiq, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya dan
barangsiapa yang Allah sesatkan maka tidak ada yang bisa memberikan hidayah.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

‫…ۚ َم ْن ُيْض ِلِل ُهَّللا َفاَل َه اِدَي َلُه‬


[QS Al-A’raf 186]

“Barangsiapa yang Allah sesatkan maka tidak akan ada yang memberikan hidayah.”

Dan Allah berfirman,

‫…ۗ َو َم ْن َيْهِد ُهَّللا َفَم ا َلُه ِمْن ُمِض ٍّل‬


[QS Az-Zumar 37]

“Dan barangsiapa yang Allah berikan hidayah maka tidak ada yang bisa menyesatkan dirinya.”

Dan Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda,

‫ َو َم ْن ُيْض ِلْل َفَال َه اِدَي َلُه‬, ‫َم ْن َيْهِدِه ُهَّللا َفَال ُمِض َّل َلُه‬

“Barangsiapa yang Allah berikan hidayah maka tidak ada yang menyesatkan dan barangsiapa
yang Allah sesatkan maka tidak ada yang memberikan hidayah.” [HR Muslim]

Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki dengan karunia-Nya dan
anugerah-Nya dan Allah lebih mengetahui siapa diantara hamba-Nya yang berhak untuk
mendapatkan petunjuk.

Dan Allah menyesatkan siapa yang Allah kehendaki dengan keadilan-Nya dan Allah lebih tahu
siapa yang berhak untuk disesatkan.
Kesesatan tersebut adalah keadilan Allah, bukan kedzoliman-Nya, karena Allah Subhānahu wa
Ta’āla telah menegakkan hujjah atas hamba-Nya, memberikan kesempatan baginya untuk
mengikuti petunjuk Allah, diberikan akal untuk berfikir dan memilih, diutus kepadanya seorang
Rasul yang menjelaskan, diturunkan kepadanya kitab, dan diperlihatkan kepadanya jalan yang
lurus.
Apabila dia adalah orang yang hilang akalnya, atau anak yang belum baligh, atau orang yang
tidur, maka tidak ditulis amalannya.

Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda,

‫ وعِن المجنوِن حَّت ى يعقل أو يفيق‬، ‫و عِن الصغير حَّت ى َي ْك بََر‬، ‫ َع ِن الَّن ائِم حَّت ى يسَت يِقظ‬،‫ُر ِفَع القلُم عن ثالث‬

“Diangkat pena dari tiga golongan: dari orang yang tidur sampai dia bangun, dan dari anak kecil
sampai dia baligh, dan dari orang yang gila sampai dia berakal atau sadar.” [Hadits Shahih
riwayat An Nasai dan Ibnu Majah dari Aisyah radhiyallahu ‘anha]

Orang yang belum sampai kepadanya risalah seorang Rasul, maka tidak akan diadzab.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

… ۗ ‫َو َم ا ُكَّن ا ُم َع ِّذ ِبيَن َح َّت ٰى َن ْب َع َث َر ُسواًل‬


[QS Al-Isra’ 15]

“Dan Kami tidak akan mengadzab sampai Kami mengutus seorang Rasul.”

Apabila sudah sampai kepada mereka petunjuk dan mereka tidak menerima serta tidak
mengamalkan dan lebih memilih durhaka dan maksiat kepada Allah, maka Allah akan
menyesatkan mereka dan ini adalah keadilan bukan kedzoliman.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

‫َو َم ا َك اَن ُهَّللا ِلُيِض َّل َقْو ًما َب ْع َد ِإْذ َه َد اُه ْم َح َّت ٰى ُيَب ِّي َن َلُهْم َم ا َي َّتُقوَن ۚ ِإَّن َهَّللا ِبُك ِّل َش ْي ٍء َع ِليٌم‬
[QS At-Taubah 115]

“Dan tidaklah Allah menyesatkan sebuah kaum setelah memberikan petunjuk kepada mereka
sampai Allah menjelaskan kepada mereka apa yang mereka taqwai. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.”

Di dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwasanya Allah menyesatkan mereka setelah mereka
tidak menerima petunjuk Allah yang sampai kepada mereka.
Halaqah yang ke dua puluh dua dari Silsilah Ilmiyyah Beriman dengan Takdir Allah adalah
tentang ”Aliran yang Menyimpang di Dalam Masalah Hidayatut Taufiq dan Penyesatan“.

Telah menyimpang di dalam masalah ini dua aliran: Al Qodariyyah dan Al Jabriyyah.

Adapun Al Qodariyyah, maka mereka meyakini bahwa Allah bukanlah yang memberikan
hidayah taufiq dan Allah bukanlah yang menyesatkan.

Dan mereka mengatakan bahwa makna Allah memberikan hidayah yang datang di dalam dalil
seperti dalam firman Allah,

… ‫…َو َٰل ِكَّن َهَّللا َي ْهِدي َم ْن َي َش اُء‬


[QS Al-Qashash 56]

“Akan tetapi Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki.”

Adalah penamaan orang tersebut dengan orang yang mendapatkan hidayah.

Dan mereka mengatakan bahwa maksud Allah menyesatkan seperti yang datang di dalam firman
Allah azza wajalla,

… ۚ ‫ۚ …َك َٰذ ِلَك ُيِض ُّل ُهَّللا َم ْن َي َش اُء‬


[QS Al-Muddatstsir 31]

“Demikianlah Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki.”

Adalah penamaan orang tersebut dengan orang yang sesat.

Dan ini tentunya bertentangan dengan dalil-dalil yang telah berlalu yang menunjukkan bahwa
Allah, Dia-lah yang memberikan hidayah taufiq dan Dialah yang menyesatkan.

Demikian pula Allah Subhānahu wa Ta’āla telah menjadikan hidayah yang Allah berikan kepada
seorang hamba sebagai sebuah karunia dan anugerah, sebagaimana firman Allah,

… ۖ ‫َب ِل ُهَّللا َيُمُّن َع َلْي ُك ْم َأْن َه َد اُك ْم ِلِإْل يَم اِن‬..


[QS Al-Hujurat 17]

“Akan tetapi Allah memberikan anugerah kepada kalian dengan memberikan hidayah kepada
keimanan.”

Seandainya maksud Allah memberikan hidayah adalah hanya penamaan pelakunya dengan orang
yang mendapatkan hidayah maka ini tidak dinamakan dengan karunia dan anugerah karena
seandainya ini adalah karunia atau anugerah, maka kita sebagai makhluk juga memberikan
karunia dan anugerah sebab kita pun sebagai makhluk juga menamakan orang tersebut sebagai
orang yang mendapatkan hidayah.

Adapun Al Jabriyyah maka mereka meyakini bahwa Allah memaksa mereka, tidak memberikan
mereka kehendak, tidak memberikan mereka kemampuan, menghalangi mereka dari sebab-sebab
mendapatkan petunjuk.

Dan ini juga bertentangan dengan dalil-dalil yang telah berlalu yang menunjukkan bahwa
seorang hamba diberi kehendak dan kemampuan, diberi kesempatan memilih dan ditunjukkan
kepadanya jalan yang lurus.

Halaqah yang ke dua puluh tiga dari Silsilah Ilmiyyah Beriman dengan Takdir Allah adalah
tentang “Buah Beriman dengan Takdir Allah Bagian 1”.

Diantara buah beriman dengan Takdir Allah azza wajalla:

1. Beriman dengan Takdir adalah sebab seseorang merasakan lezatnya iman

Berkata Ubadah Ibnu Shomit kepada putranya,

‫ حتى تعلم ان ما اصابك لم يكن ليخطئك وما اخطئك لم يكن ليصيبك‬, ‫يابني انك لن تجد طعم حقيقة اإليمان‬

“Wahai anakku, sesungguhnya engkau tidak akan merasakan lezatnya hakikat keimanan sampai
engkau meyakini bahwa apa yang menimpamu tidak akan luput darimu dan apa yang luput
darimu tidak akan menimpamu.” [diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah]

2. Membuahkan keberanian, keyakinan, tawakal, dan bergantung hanya kepada Allah, karena dia
meyakini bahwa tidak akan menimpa dia kecuali apa yang sudah Allah tulis.

Allah berfirman,

‫ُقْل َلْن ُيِص يَب َن ا ِإاَّل َم ا َكَت َب ُهَّللا َلَن ا ُه َو َم ْو اَل َن ا ۚ َو َع َلى ِهَّللا َفْلَي َت َو َّك ِل اْلُمْؤ ِم ُن وَن‬
[QS At-Taubah 51]

“Katakanlah tidak akan menimpa kami kecuali apa yang sudah Allah tentukan untuk kami, Dia-
lah penolong kami dan hanya kepada Allah-lah orang-orang yang beriman bertawakal.”

3. Membuahkan akhlak yang mulia, seperti kedermawan karena apabila seseorang mengetahui
bahwa kekayaan dan kemiskinan dengan Takdir Allah, dia tidak akan takut berinfak fii sabilillah.
4. Membuahkan rasa syukur ketika mendapatkan nikmat, menyandarkan kenikmatan tersebut
kepada Allah, karena Dia-lah yang mentakdirkan.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

‫…ۖ َو َم ا ِبُك ْم ِمْن ِنْع َم ٍة َفِمَن ِهَّللا‬


[QS An-Nahl 53]

“Dan nikmat apa saja yang ada pada kalian maka itu adalah dari Allah.”

5. Membuahkan petunjuk dan kesabaran ketika mendapatkan musibah.

Allah berfirman,

‫َم ا َأَص اَب ِمْن ُمِص يَب ٍة ِفي اَأْلْر ِض َو اَل ِفي َأْنُفِس ُك ْم ِإاَّل ِفي ِك َت اٍب ِمْن َقْب ِل َأْن َن ْب َر َأَه ا ۚ ِإَّن َٰذ ِلَك َع َلى ِهَّللا َيِس يٌر‬
[QS Al-Hadid 22]

“Musibah apa saja yang menimpa baik di bumi maupun pada diri-diri kalian kecuali sudah ditulis
di dalam sebuah kitab sebelum Kami menjadikannya. Sesungguhnya yang demikian adalah
sangat mudah bagi Allah.”

6. Semakin kuat keimanan seseorang dengan Takdir Allah, maka akan semakin kuat tauhid-nya,
karena iman dengan Takdir adalah bagian dari iman dengan Rububiyah Allah, yang
konsekuensinya adalah tauhid Uluhiyyah.

7. Membuahkan keikhlasan dan terjauh dari riya, karena orang yang beriman dengan Takdir
mengetahui bahwa Allah telah menentukan segalanya dan menyadari bahwa mencari pahala dari
manusia tidak akan memberikan manfaat.

8. Menghilangkan rasa dengki antar sesama muslim karena dia menyadari bahwa rezeki sudah
diatur dan dibagi oleh Allah dengan hikmah yang dalam. Lalu untuk apa seseorang dengki dan
iri.

Halaqah yang ke dua puluh empat dari Silsilah Ilmiyyah Beriman dengan Takdir Allah adalah
tentang “Buah Beriman dengan Takdir Allah Bagian 2”.

9. Membuahkan semangat yang tinggi di dalam melakukan kebaikan yang berkaitan dengan
agama seperti ibadah, menuntut ilmu, berdakwah, dll.

Orang yang beriman dengan Takdir Allah tidak takut celaan orang yang mencela ketika
berdakwah, tidak terlalu hancur hatinya ketika melihat orang yang tidak menerima dakwahnya,
dan dia tidak pamer atau bangga diri ketika melihat orang yang mendapatkan hidayah dengan
sebab dirinya karena semua itu sudah ditakdirkan oleh Allah azza wajalla.

10. Membuahkan semangat yang tinggi di dalam berbuat kebaikan yang berkaitan dengan dunia
seperti bekerja yang halal, melakukan aktivitas yang diperbolehkan dan bermanfaat, dll. Dan dia
tidak mudah menyesal dan berputus asa ketika menghadapi musibah yang berkaitan dengan
pekerjaan tersebut.

11. Membuahkan ridha terhadap hukum-hukum Allah baik yang berupa hukum-hukum syariat,
maupun hukum-hukum Kauniyah.

12. Membuahkan kebahagiaan dan menghilangkan kesedihan karena dia mengetahui dan yakin
bahwa Allah memilih yang terbaik baginya di dalam urusan dunia, agama, dan akhir dari
perkaranya.

Allah Subhānahu wa Ta’āla berfirman,

… ۖ ‫َو َع َس ٰى َأْن َت ْك َر ُهوا َش ْي ًئ ا َو ُه َو َخ ْيٌر َلُك ْم ۖ َو َع َس ٰى َأْن ُت ِحُّبوا َش ْي ًئ ا َو ُه َو َش ٌّر َلُك ْم ۗ َو ُهَّللا َي ْع َلُم َو َأْنُت ْم اَل َت ْع َلُموَن‬
[QS Al-Baqarah 216]

“Dan mungkin saja kalian membenci sesuatu dan dia adalah baik bagi kalian. Dan mungkin saja
kalian mencintai sesuatu dan dia adalah jelek bagi kalian. Dan Allah, Dia-lah yang mengetahui
sedangkan kalian tidak mengetahui.”

13. Membuahkan keistiqomahan di atas jalan yang lurus baik dalam keadaan mendapatkan
nikmat atau tertimpa musibah, karena dia akan bersyukur ketika mendapatkan nikmat dan akan
bersabar ketika dia terkena musibah.

14. Tidak putus asa dari pertolongan Allah bagaimanapun besarnya fitnah dan banyaknya ujian,
karena dia yakin bahwa akhir yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa. Dan ini adalah
ketentuan Allah yang sudah Allah tentukan.

Allah berfirman,

‫ُه َو اَّلِذي َأْر َسَل َر ُسوَلُه ِباْلُهَد ٰى َو ِديِن اْلَح ِّق ِلُيْظ ِه َر ُه َع َلى الِّد يِن ُك ِّلِه ۚ َو َكَفٰى ِباِهَّلل َش ِه يًد ا‬
[QS Al-Fath 28]

“Dia-lah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar untuk
menampakkan agama tersebut di atas seluruh agama dan cukuplah Allah sebagai saksi.”

Dan Allah mengatakan,


‫ِإَّن ا َلَن ْن ُصُر ُرُس َلَن ا َو اَّلِذيَن آَم ُن وا ِفي اْلَح َياِة الُّد ْن َي ا َو َي ْو َم َي ُقوُم اَأْلْش َه اُد‬
[QS Ghafir 51]

“Sesungguhnya Kami akan menolong Rasul-Rasul Kami dan orang-orang yang beriman di
kehidupan dunia dan ketika bangkit para saksi.”

15. Menjadikan di dalam diri seorang hamba Qonaah atau merasa cukup dengan pemberian
Allah azza wajalla, tidak rakus terhadap dunia dan tidak meminta-minta kepada orang lain.
Karena dia meyakini bahwa rezeki sudah tertulis dan tidak mungkin orang lain bisa
menyampaikan kepadanya sebuah rezeki kecuali apa yang sudah Allah tulis sebelumnya.

Halaqah yang ke dua puluh lima dari Silsilah Ilmiyyah Beriman dengan Takdir Allah adalah
tentang “Buah Beriman dengan Takdir Allah Bagian 3”.

16. Berbaik sangka kepada Allah. Ketika melihat dirinya diberi hidayah kepada Tauhid, Sunnah,
dan ketaatan, maka dia berbaik sangka kepada Allah, bahwa Allah menghendaki pada dirinya
kebaikan dan ingin memudahkan dia masuk ke dalam Surga-Nya.

17. Menimbulkan rasa takut di dalam diri seorang hamba dari suul khotimah, sehingga dia tidak
tertipu dengan amal sholehnya, karena dia tidak tau dengan apa Allah akan menakdirkan akhir
amalannya.

18. Menimbulkan sifat tidak suka merendahkan orang lain dan menghinakan orang lain yang
terjerumus ke dalam kemaksiatan, karena dia tidak tau dengan apa Allah akan menakdirkan akhir
dari amalan orang tersebut.

19. Memerdekakan akal dan diri dari khurafat dan tathoyyur dan dia meyakini bahwa segala
sesuatu tidak terlepas dari takdir Allah. Tidak ada yang mendatangkan kebaikan kecuali Allah
dan tidak ada yg menolak kejelekan kecuali Allah.

20. Menjadikan seseorang rendah hati dan tidak sombong ketika diberikan rezeki oleh Allah baik
berupa harta, kedudukan, maupun ilmu, dll. Karena ini semua datang dari Allah dan dengan
takdir Allah. Dan kalau Allah menghendaki, Allah akan mengambilnya dari kita sewaktu-waktu.

21. Membawa ketenangan di dalam hati dan ketentraman jiwa karena ketika tertimpa musibah
dia merasa itu yg terbaik dan pasti ada hikmahnya dan dia mengetahui bahwa orang yang ridha
maka Allah akan ridha kepadanya, sehingga dia tidak cemas dan gelisah, dan tidak berangan-
angan dan berandai-andai.

Akhirnya semoga Allah Subhānahu wa Ta’āla menjadikan kita termasuk orang yang beriman
dengan takdir Allah yang baik maupun yang buruk.
Dan semoga Allah Subhānahu wa Ta’āla memberikan karunia kepada kita semua sehingga kita
bisa merasakan buah-buah yang baik dari beriman dengan takdir. Dan sesungguhnya Allah
mengabulkan do’a.

Anda mungkin juga menyukai