Anda di halaman 1dari 19

ANALISA KASUS HUKUM

RESTORASI JUSTICE, SUBSTANSIAL JUSTICE


DAN PROCEDURAL JUSTICE

Disusun Oleh:

IKSAN

Kelas A
Prodi Magister Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Pattimura Ambon

Tugas Mata Kuliah :


TEORI HUKUM

Dosen Penyaji:
Prof. Dr. S. E. M, NIRAHUA, SH, M.Hum

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


PASCASARJANA UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2020
KASUS 1

RESTORASI JUSTICE
(SIKAP AHMAD DHANI PADA LAKALANTAS YANG MELIBATKAN ANAKNYA)

DESKRIPSI KASUS
a. Kronologis
Kasus kecelakaan maut di ruas tol Jagorawi pada tanggal 8 September 2013 yang
melibatkan anak dari artis Ahmad Dani yang bernama Abdul Qodir Jaelani (13) alias
AQJ alias Dul, dan menewaskan 7 orang dan mengakibatkan 9 orang luka-luka,
disidangkan di Pengadilan Negeri JakartaTimur.

b. Dakwaan Jaksa
Dalam pembacaan dakwaan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa AQJ dengan
beberapa pasal,yaitu :
1. Pasal 310 Ayat (2) Undang-undang Lalu Lintas
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya
mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan
Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
2.000.000,00 (dua juta rupiah)
2. Pasal 310 Ayat (3) Undang-undang Lalu Lintas,
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya
mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
3. Pasal 310 Ayat (4) Undang-undang Lalu Lintas,
Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan
orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
c. Putusan Hakim
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan vonis bersalah kepada terdakwa
AQJ alias Dul karena melanggar Pasal 310 ayat 4, 310 ayat 3, dan 310 ayat 1 dalam
Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Meski menyatakan AQJ bersalah,
hakim membebaskan putra bungsu Ahmad Dhani dari hukuman. Ketua Majelis Hakim
Fetrianti memutuskan agar AQJ dikembalikan kepada kedua orangtuanya, Ahmad Dhani
dan Maia Estianti.
Adapun menurut hakim hal yang meringankan adalah
1. AQJ berlaku sopan dan berbudi baik selama proses persidangan
2. AQJ bukan anak yang nakal, tetapi hanya kurang perhatian orangtua dan masih dapat
dibina.
3. Telah terjadi perdamaian antara keluarga AQJ dan keluarga korban. Keluarga
terdakwa dalam hal ini orang tua AQJ (Ahmad dhani dan Maia Estianty) juga bersedia
bertanggung jawab untuk menanggung biaya rumah sakit, perawatan, dan pemakaman
untuk korban meninggal serta biaya pendidikan anak para korban hingga perguruan
tinggi.
4. Pertimbangan lainnya, yakni pergantian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Peradilan Anak untuk menyongsong pemberlakukan undang-undang yang
baru, UU Nomor 11 Tahun 2014. Hakim mengacu pada Restorasi justice pada
undang-undang baru tersebut yang dinilai telah terpenuhi dalam perkara AQJ.

PENGERTIAN-PENGERTIAN
1. Restorasi Justice
Restorasi Justice berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak pada Pasal 1 menyebutkan “Keadilan Restoratif adalah
penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga
pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian
yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan
pembalasan.
2. Tindak Pidana
Istilah tindak pidana pada hakekatnya merupakan istilah yang berasal dari terjemahan
kata Strafbaarfeit dalam Bahasa Belanda, yang diartikan sebagai Tindak Pidana.
Menurut Simon pengertian Strafbaarfeit adalah kelakuan yang diancam dengan pidana,
yang
bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh
orang yang mampu bertanggungjawab. Sedangkan menurut Van Hammel Strafbaarfeit
diartikan sebagai kelakuan orang yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan
dilakukan dengan kesalahan.
3. Anak
Pengertian anak yang berhadapan dengan hukum yang di dalam Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ditetapkan batas usia
seorang anak adalah telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18
(delapan belas).
4. Diversi
Diversi berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak pada Pasal 1 diartikan sebagai pengalihan penyelesaian perkara dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana

ANALISA KASUS
Mengemudikan mobil seharusnya hanya dilakukan oleh mereka yang telah lulus ujian
untuk mendapatkan setidaknya SIM A. Dari usia, AQJ jelas belum memenuhi persyaratan,
bahkan untuk mengikuti ujian SIM. Pasal 81 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menegaskan, seseorang bisa mendapatkan SIM bila
memenuhi syarat usia, administratif, kesehatan, dan lulus ujian. Ayat 2 pasal tersebut
menyebutkan secara eksplisit bahwa syarat minimal untuk dapat memiliki SIM adalah
berusia 17 tahun. Penyidik Kepolisian menemukan fakta-fakta di lapangan yang menjadikan
AQJ ditetapkan sebagai tersangka, diantaranya adalah masih di bawah umur, tidak memiliki
SIM, serta mengemudikan kendaraannya (mobil) dengan kecepatan sangat tinggi dan karena
kelalaiannya berkendara menjadi penyebab terjadinya kecelakaan maut yang menyebabkan 7
orang meninggal dunia
Di tengah kemirisan kecelakaan fatal dengan kronologi dan korban sedemikian
banyak, sebagian kalangan berpendapat Restorasi justice dapat diterapkan dalam kasus AQJ.
Konsep Restorasi justice memang diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak yang telah masuk Lembaran Negara pada 30 Juli 2012. UU Nomor 11
Tahun 2012 ini merupakan revisi atas UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Akan tetapi dalam Undang-Undang Peradilan Anak No 11 Tahun 2012 ini baru akan berlaku
setelah dua tahun di undangkan yakni baru akan berlaku setelah 30 juli 2014. Jadi, dalam
kasus kecelakaan maut AQJ masih menggunakan Undang-Undang No 3 Tahun 1997 Tentang
Peradilan Anak. Sedangkan pada Undang-Undang No 3 Tahun 1997 ini belum dikenal
konsep Restorasi justice yang menggunakan pola diversi (Penyelesaian melalui jalur non
formal). Oleh karena itu setiap anak yang berkonflik dengan hukum akan terus mengikuti
proses peradilan anak sampai tahap akhir. Akan tetapi Restorasi justice sudah terdapat dalam
Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009, tentang
Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) meskipun sifatnya parsial,
menekankan bahwa penyelesaian kasus pidana dengan mengupayakan perdamaian sebagai
bentuk penerapan ADR, harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun apabila
tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku
secara profesional dan proporsional.
Konsep Restorasi Justice sebagai alternative penyelesaian perkara pidana anak
dimaknai sebagai suatu proses dimana semua pihak yang terkait dengan tindak pidana
tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana
mengatasi terhadap pihak korban dan pelaku hukum, tetap mengedepankan prinsip
kepentingan terbaik bagi anak serta proses penghukuman adalah jalan terakhir dengan tetap
tidak mengabaikan hak-hak anak. Apabila proses hukum berlanjut kepada proses pelaporan
ke Kepolisian maka dasarnya pelaksanaan hukum melalui upaya diversi yang dilakukan oleh
pihak kepolisian dengan menggunakan otoritas diskresi. Diskresi adalah adalah pengalihan
dari proses pengadilan pidana secara formal ke proses non formal untuk diselesaikan secara
musyawarah. Pendekatan ini dapat diterapkan bagi penyelesaian kasus-kasus anak yang
berkonflik dengan hukum. Hal ini berdasarkan perubahan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang
pengadilan Anak hanya melindungi anak sebagai korban dan tidak bagi pelaku, sebagai
pelaku dikategorikan anak masih dibawah umur, posisinya tidak di samakan dengan pelaku
orang dewasa.
Penegakan hukum dengan mengedepankan proses penyelesaian perkara yang hanya
mementingkan tercapainya keadilan retributif, yakni pembalasan kepada pelaku tindak pidana
anak, sudah tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Keadilan retributif yang pada
hakikatnya sebatas keadilan formal, seharusnya memberikan rasa keadilan kepada para
korban tindak pidana anak. Arus utama (main stream) global keadilan hukum dalam beberapa
dekade terakhir telah banyak bergeser dari keadilan formal ke keadilan substantif, dari
keadilan retributif ke keadilan restoratif. Fenomena global ini, yang tidak terkecuali juga
terjadi di tanah air, tampaknya tidak dapat dilepaskan dari ide-ide hukum postmodern atau
postmodernisme dalam bidang hukum. Dalam banyak hal, kendatipun tentunya tidak secara
keseluruhan, ide-ide dan konsep keadilan dalam konstruksi pemikiran hukum postmodern
berbeda secara diametral dengan ide-ide dan konsep keadilan dalam pemikiran hukum
modern atau pemikiran hukum positivistic dengan tujuan untuk meringankan tindak pidana
yang yang diketegorikan dibawah umur. Proses peradilan kasus-kasus berat yang sifatnya
serius, dan tetap mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak serta proses
penghukuman adalah jalan terakhir dengan tetap tidak mengabaikan hak-hak anak. Selain itu,
kasus-kasus anak dapat diselesaikan melalui mekanisme non formal yang dilakukan dengan
pendekatan Restorasi justice guna memenuhi rasa keadilan bagi korban sehingga kedua belah
pihak dapat saling memaafkan dan tidak ada dendam diantara mereka.
Konsep Restorasi justice berjalan sesuai teori Realisme Hukum yang menyatakan
bahwa hukum adalah hasil dari kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Menurut Karl N.
Llewellyn Aliran Realisme ini memiliki ciri :
1. Realisme adalah Gerakan pemikiran dan kerja tentang hukum
2. Realisme adalah konsepsi hukum yang terus berubah dan alat untuk tujuan-tujuan
sosial
3. Realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan yang
seharusnya ada
4. Realisme tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi-konsepsi hukum.
5. Realisme menekankan evolusi tiap bagian hukum dengan mengingatkan akibatnya.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) ditegaskan bahwa anak yang
berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum
berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Akan tetapi
berdasarkan ketentuan pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak
(SPPA) menyatakan bahwa penahanan atas anak hanya bisa dilakukan ketika usia anak 14-18
tahun. Jadi meskipun dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, pada proses peradilannya
AQJ tidak bisa ditahan karena usianya masih 13 tahun. Selain itu, penahanan terhadap anak
hanya bisa dilakukan apabila diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana
penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.
Sikap Ahmad Dhani sebagai orang tua AQJ dalam kasus ini yang berusaha untuk
mencari alternatif penyelesaian permasalahan yang tidak merugikan kedua belah pihak
dengan cara melakukan perdamaian dengan keluarga korban dan bersedia bertanggung jawab
untuk menanggung biaya rumah sakit, perawatan, dan pemakaman untuk korban meninggal
serta biaya pendidikan anak para korban hingga perguruan tinggi, yang akhirnya AQJ
walaupun Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan vonis bersalah kepada
terdakwa, akan tetapi hakim membebaskan putra bungsu Ahmad Dhani dari hukuman penjara
dan memutuskan agar AQJ dikembalikan kepada kedua orangtuanya, sangat patut untuk
diapresiasi karena konsep Restorasi Justice telah berhasil diterapkan dengan baik dalam kasus
ini.

KESIMPULAN
1. Dalam kasus AQJ masih menggunakan Undang-Undang No 3 Tahun 1997 Tentang
Peradilan Anak. Sedangkan pada Undang-Undang No 3 Tahun 1997 ini belum dikenal
konsep Restorasi justice yang menggunakan pola diversi (Penyelesaian melalui jalur non
formal), sehingga setiap anak yang berkonflik dengan hukum akan terus mengikuti
proses peradilan anak sampai tahap akhir, Akan tetapi Restorasi justice sudah terdapat
dalam Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009,
tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR).
2. Sikap Ahmad Dhani sebagai orang tua AQJ dalam kasus ini yang berusaha untuk
mencari alternatif penyelesaian permasalahan dengan keluarga korban, sebagai bagian
dan konsep Restorasi Justice sangat patut untuk diapresiasi karena kedua belah pihak
sama-sama mendapatkan keadilan yang diinginkan.
KASUS 2

SUBSTANSIAL JUSTICE
(SIKAP JPU DAN HAKIM DALAM KASUS SIMULATOR SIM)

DESKRIPSI KASUS
a. Kronologis
KPK menetapkan Kakorlantas Polri Irjen Polisi Djoko Susilo, Brigjen Didik Purnomo,
pengusaha Budi Susanto, dan Sukotjo Bambang sebagai tersangka dalam kasus korupsi
simulator SIM dan tindak pidana korupsi pencucian uang (TPPU). Upaya KPK menyidik
kasus ini menimbulkan friksi dengan Polri yang juga menginginkan kewenangan untuk
mengusut kasus tersebut. KPK memanggil Irjen Polisi Djoko Susilo untuk menjalani
pemeriksaan pertama. dengan alasan penanganan kasus belum jelas. Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono memerintahkan Polri menyerahkan kasus ini sepenuhnya pada
KPK. KPK menahan Irjen Polisi Djoko Susilo di rumah tahanan cabang KPK di
Detasemen Polisi Militer (Denpom) Guntur Kodam Jaya, Jakarta Selatan. Irjen Polisi
Djoko Susilo menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor, dalam persidangan dan
terkuak fakta tentang irjen susilo yaitu Total aset yang disita mencapai Rp. 100 miliar
dan terdiri dari 26 properti, 3 SPBU dan 4 mobil, Irjen Polisi Djoko Susilo mengaku
bahwa kekayaannya bertambah Rp. 80 miliar antara 2003-2012. Sejak 2005 ia
menyamarkan harta-hartanya dengan menggunakan nama 12 orang kerabat dekat,
termasuk istri dan anak buahnya.

b. Dakwaan Jaksa
Jaksa mengajukan tiga tuntutan yaitu hukuman penjara 18 tahun, denda kerugian negara
Rp32 miliar serta pencabutan hak politik yang jika dikabulkan hakim berarti Irjen Polisi
Djoko Susilo tidak akan bisa menggunakan hak pilih di Pemilu 2014 atau memilih dan
dipilih untuk jabatan publik. Dalam Berkas pertimbangan hakim mencapai 6.000
halaman dengan ketebalan 1,2 meter.
c. Putusan Hakim
Majelis Hakim Tipokor memvonis Irjen Polisi Djoko Susilo dengan pidana penjara 10
tahun dan denda sebesar Rp 500 juta subsider kurungan 6 bulan Selain itu, majelis hakim
memerintahkan agar harta kekayaan Rp 200 miliar yang menjadi barang bukti disita
untuk negara. Irjen Polisi Djoko Susilo dinyatakan secara sah dan menyakinkan bersalah
sebagai mana dalam dakwan Primer ke satu Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU
Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP. terbukti
secara meyakinkan dalam dakwaan Primair ke dua dan ke tiga yakni melanggar Pasal 3
dan atau 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dan
Pasal 3 ayat 1 dan atau Pasal 6 ayat 1 UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang TPPU.

KERANGKA
1. Substansial Justice
Substansial Justice / Keadilan substantif adalah keadilan yang terkait dengan isi putusan
hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang harus dibuat
berdasarkan pertimbangan rasionalitas, kejujuran, objektivitas, tidak memihak
(imparsiality), tanpa diskriminasi dan berdasarkan hati nurani (keyakinan hakim).
2. Korupsi
Korupsi menurut Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah tindakan melawan
hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, yang berakibat merugikan
negara atau perekonomian negara.
3. Tindak Pidana Pencucian Uang
Menurut Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Pasal 1 Angka 1: Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentrasfer,
membayarkan, membelanjakan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri,
menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduga merupakan tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaaan
yang sah.
ANALISA KASUS
Penegakan hukum oleh Aparat Penegak Hukum diharapkan mampu mewujudkan
tujuan hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Namun, dalam prakteknya tidak
mudah untuk menerapkan ketiga tujuan hukum tersebut. Masalah yang sering timbul, ialah
apabila kepastian hukum yang ditegakkan maka terjadi pertentangan dengan keadilan atau
pertentangan kepastian hukum dengan kemanfaatan. Contoh, apabila seorang hakim
membuat putusan “adil” (menurut persepsi keadilan yang dianut oleh hakim) bagi si
pelanggar atau terdakwa atau tergugat, belum tentu putusan tersebut adil dan memberikan
manfaat bagi para pihak serta masyarakat luas. Sebaliknya, apabila salah satu pihak ataupun
masyarakat luas dipuaskan, menyebabkan perasaan keadilan dari orang tertentu terpaksa
“dikorbankan”. Lantas, bagaimana cara yang tepat? Menurut ajaran Gustav Radburch (filsuf
hukum Jerman yang mengajarkan konsep tiga ide unsur dasar hukum/tujuan hukum),
penerapan tujuan hukum dalam penegakan hukum harus menggunakan asas prioritas, yakni
prioritas pertama selalu “keadilan (justice)”, barulah “kemanfaatan (exppediency)”, dan yang
terakhir “kepastian hukum (legal certainty)”. Jadi, “batu loncatan” utama untuk mewujudkan
tujuan hukum yang lainnya ialah keadilan. Oleh karena itu, perwujudan keadilan dalam
penegakan hukum sangat berperan penting untuk mewujudkan kemanfaatan dan kepastian
hukum.
Menurut Ulpianus (±200 AD), keadilan adalah kehendak yang ajek (tetap/tidak
berubah) dan menetap untuk memberikan kepada masing-masing bagiannya. Dalam bahasa
inggris terjemahannya berbunyi “to give everybody his own”, atau memberikan kepada setiap
orang yang menjadi haknya. Inti dari pengertian tersebut bahwa memberikan masing-masing
hak dan tidak lebih, tetapi tidak kurang daripada haknya.
Pengertian yang mirip dirumuskan oleh Aristoteles pada zaman Yunani kuno,
keadilan adalah kehendak yang tetap dan menetap untuk memberikan masing-masing
bagiannya. Dengan demikian, keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan
penyamarataan, karena keadilan bukan berarti tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama.
Menurut Suteki, seringkali sebagian masyarakat memahami hukum hanya sekedar
sebagai perangkat peraturan hukum positif yang tercerabut dari aspek filosofi dan
sosiologinya, sehingga gambar hukum yang ditampilkan tidak utuh melainkan hanya sebuah
fragmen (cuplikan/petikan) peraturan perundang-undangan saja. Hal tersebut mendorong
munculnya anggapan bahwa apabila hukum telah diselenggarakan sebagaimana tertulis yang
berupa huruf-huruf mati (black letter law) seolah-olah pekerjaan pencarian keadilan itu telah
selesai.
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa karena melanggar hak ekonomi dan hak
sosial masyarakat. Itulah sebabnya, penanganan masalah ini pun harus secara luar biasa agar
dapat memberikan efek jera bagi pelaku dan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Aparat penegak hukum, baik penyidik, jaksa penuntut umum, maupun hakim semestinya
mengungkap semua kasus korupsi hingga tuntas.
Sebagian besar vonis kasus korupsi selama ini pun belum memenuhi rasa keadilan
masyarakat karena terlalu ringan. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada
awal tahun ini, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta saja, dari 240 terdakwa yang
diadili sejak 2005 hingga 2009, vonis yang dijatuhkan ringan, yaitu rata-rata hanya 3 tahun 6
bulan. Bahkan, diskusi grup terfokus yang dilakukan beberapa kali oleh KPK, kata Wakil
Ketua KPK Adnan Pandu Praja di Jakarta menyimpulkan bahwa ada kecenderungan semakin
besar uang yang dikorupsi, hukuman terhadap koruptornya semakin ringan. Hal ini
berbanding terbalik dengan prinsip tindak pidana korupsi dengan ancaman hukuman
minimum sampai maksimum. Menurut wakil ketua KPK lainnya, Bambang
Widjojanto, dampak korupsi yang mengakibatkan kerugian besar tidak hanya secara
ekonomi, tetapi juga sosial belum dipahami, terutama oleh hakim, meskipun mereka adalah
hakim pengadilan tindak pidana korupsi. Akibat dari kejahatan (korupsi) tidak dilihat secara
dalam, dan dampak tindak pidana korupsi tidak dipahami secara utuh. Padahal, kejahatan
korupsi bila dilihat dampaknya akan sangat besar nilai kerugiannya.
Rendahnya putusan hakim terhadap terdakwa perkara korupsi menunjukkan
kesadaran hakim, bahwa korupsi bukan merupakan kejahatan luar biasa dan dapat
menghancurkan kehidupan berbangsa. Hal itu dapat terjadi karena para hakim juga
”dibesarkan” atau ”dibentuk” di lingkungan peradilan yang banyak terjadi praktik korupsi
sehingga cenderung permisif terhadap praktik korupsi. Kesadaran hakim bahwa korupsi itu
kejahatan extraordinary belum ada sehingga hukuman ringan-ringan saja sehingga
diskriminatif dengan kejahatan biasa, seperti pelaku pencurian atau perampokan, yang
mendapat hukuman tinggi. Sudah seharusnya hakim berpikir bahwa putusannya akan
membawa efek jera terhadap tindak pidana korupsi. Putusan hakim yang tidak membawa
efek jera memiliki andil menjerumuskan bangsa Indonesia dalam kegelapan. Pemidanaan
terhadap penegak hukum yang melakukan tindak pidana korupsi, semestinya maksimal dan
lebih berat ketimbang terhadap pelaku biasa yang bukan penegak hukum supaya ada fungsi
prevensi.
Hakim terkadang belum sepenuhnya memahami filosofi dasar tujuan pemidanaan
secara utuh. Misalnya korupsi di sektor sumber daya alam, bukan hanya sekadar penyuapan
saja, tetapi sumber daya alam yang hilang bisa secara riil dirumuskan sehingga koruptor
seharusnya menanggung kerugiannya.
Pada kasus Korupsi Pengadaan Simulator SIM, Jaksa KPK seharusnya dapat
memaksimalkan tuntutan kepada terdakwa selama 20 Tahun sesuai dengan Pasal 2 ayat (1)
atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1
jo pasal 65 ayat (1) KUHP tentang penyalahgunaan wewenang dan perbuatan memperkaya
diri sehingga merugikan keuangan negara dengan ancaman hukuman penjara maksimal 20
tahun. Dan Pasal 3 dan atau Pasal 4 UU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan pasal 3 ayat 1 dan atau pasal 6 ayat 1 UU No.15/2002
tentang TPPU dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp 10
miliar, akan tetapi pada persidangan jaksa KPK hanya menuntut terdakwa dengan Hukuman
penjara selama 18 tahun denda kerugian negara Rp32 miliar serta pencabutan hak politik.
Yang kemudian divonis lebih ringan lagi dari tuntutan jaksa menjadi pidana 10 Tahun
Penjara dan denda sebesar Rp 500 juta subsider kurungan 6 bulan oleh Mejelis hakim Tipikor
sehingga tuntutan dan vonis tersebut dianggap semakin jauh dari keadilan substantif yang
diinginkan dan mencederai rasa keadilan masyarakat.

KESIMPULAN
1. Penegakan hukum harus menggunakan asas prioritas yang pertama yaitu asas keadilan
untuk mewujudkan kemanfaatan dan kepastian hukum.
2. Jaksa KPK dan Majelis Hakim Tipikor dalam Kasus Korupsi Simulator SIM, seharusnya
dapat menuntut dan memvonis terdakwa Irjen Polisi Djoko Susilo dengan Ancaman dan
Hukuman yang maksimal yaitu 20 Tahun Penjara atau lebih, mengingat kasus Korupsi
adalah kejahatan extraordinary dan terdakwa adalah penegak hukum yang mempunyai
kedudukan dan kewenangan yang luas agar dapat memberikan efek jera dan rasa adil
kepada masyarakat.
KASUS 3

PROCEDURAL JUSTICE
(PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TINGKAT PK UNTUK SUJONO TIMAN)

DESKRIPSI KASUS
a. Kronologis
Pada 31 Juli 2013, majelis PK yang diketuai oleh Hakim Agung Suhadi membatalkan
putusan Kasasi atas Sudjiono Timan. Pada Desember 2004 majelis Kasasi yang diketuai
Hakim Agung Bagir Manan beranggotakan Artidjo Alkostar, Parman Suparman,
Arbijoto, dan Iskandar Kamil, telah menjatuhkan vonis 15 tahun penjara dan denda Rp50
juta serta membayar uang pengganti Rp369 miliar kepada Sudjiono Timan. Sudjiono
Timan diputus bersalah karena telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai Direktur
Utama PT BPUI (Bahana Pembinaan Usaha Indonesia) dengan cara memberikan
pinjaman kepada Festival Company Inc. sebesar US$67 juta, Penta Investment Ltd.
sebesar US$19 juta, KAFL sebesar US$34 juta dan dana pinjaman Pemerintah (RDI) Rp.
98,7 miliar sehingga negara mengalami kerugian sekitar Rp120 miliar dan US$98,7 juta.
Sebelumnya, PN Jakarta Selatan melepaskan Sudjiono Timan. Pada akhir 2004, Sudjiono
Timan dinyatakan sebagai buronan dan masuk dalam Daftar Pencarian Orang. Pihak
kejaksaan menindaklanjuti status buron Sudjiono Timan dengan mempublikasikan
fotonya ke berbagai media. Putusan PK tersebut menimbulkan keheranan berbagai pihak.
Permohonan PK diajukan oleh istri terpidana dalam keadaan yang bersangkutan masih
buron. Padahal, ketentuan mengenai PK menyebutkan bahwa PK dapat diajukan oleh
terpidana atau ahli warisnya.

b. Dakwaan Jaksa
Terhadap Terdakwa Sudjiono Timan didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi :
PRIMAIR
Melanggar Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-undang No. 3 tahun
1971 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999 jo Pasal 1 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1)
ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP;

SUBSIDAIR
Melanggar Pasal 1 ayat (1) sub bjo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-undang No. 3 tahun
1971 jo Undang-undang No. 31 tahun 1999 jo Pasal 1 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1)
ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP;

c. Putusan Hakim
1. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor:
1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel tanggal 25 Nopember 2002 Memutuskan terdakwa
Sudjiono Timan terbukti akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu
tindak pidana dan melepaskan Terdakwa dari segala tuntutan hukum;
2. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 434 K/Pid/2003 tanggal 03 Desember 2004
(Kasasi) Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Jaksa/Penuntut
Umum pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut dan Membatalkan putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 25 Nopember 2002, Nomor:
1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel; Memutuskan Terdakwa Sudjiono Timan telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah secara bersama-sama melakukan tindak pidana
korupsi dan Menghukum Terdakwa Sudjiono Timan oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 15 (lima belas) tahun; denda sebesar Rp.50.000.000,- (Lima puluh
juta rupiah) subsidair pidana kurungan selama 6 (enam) bulan; dan pidana tambahan
berupa pembayaran uang pengganti sebesar US$ 98.000.000.00 (Sembilan puluh
delapan juta dollar Amerika Serikat) dan Rp.369.446.905.115,- (tiga ratus enam
puluh Sembilan milliar empat ratus empat puluh enam juta Sembilan ratus lima ribu
seratus lima belas rupiah);
3. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012 tanggal 31 Juli 2013
(Peninjauan Kembali) Mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon
Peninjauan Kembali / Fanny barki (istri) selaku Ahli Waris Terpidana Sudjiono
Timan, Membatalkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 434 K/Pid/2003,
tanggal 03 Desember 2004 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan No. 1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel tanggal 25 Nopember 2002; Menyatakan
perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa Sudjiono Timan tersebut terbukti
akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana dan melepaskan
Terdakwa dari segala tuntutan hukum;

PENGERTIAN-PENGERTIAN
1. Prosedural Justice
Greenberg menyatakan bahwa keadilan prosedural adalah berkaitan
dengan persepsi keadilan dari prosedur yang digunakan untuk dan proses untuk
sampai pada sebuah keputusan. Keadilan prosedural berkaitan dengan hukum formil atau
hukum acara, yakni bagaimana menegakkan atau menjalankan hukum materil itu.
2. Peninjauan Kembali
Peninjauan Kembali atau disingkat PK adalah suatu upaya hukum yang dapat ditempuh
oleh terpidana (orang yang dikenai hukuman) dalam suatu kasus hukum terhadap suatu
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam sistem peradilan di
Indonesia.
3. Ahli Waris
Ahli waris adalah orang yang menerima warisan dan diberi hak secara hukum
untuk menerima harta dan kewajiban atau hutang yang ditinggalkan oleh pewaris.
Seseorang menjadi ahli waris menurut hukum waris perdata disebabkan oleh perkawinan
dan hubungan darah, baik secara sah maupun tidak.

ANALISA KASUS
Pasal 263 ayat (1) KUHAP menentukan: “Terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, terpidana atau Ahli Warisnya dapat mengajukan permintaan
peninjauan kembali kepada MA”. Permasalahan terutama timbul ketika pihak yang
mengajukan permohonan PK dalam kasus ST tersebut adalah istri dari ST sendiri
melalui kuasa hukumnya. Padahal ST masih hidup hanya saja tidak diketahui di mana
ST berada, dan dalam keadaan melarikan diri atau menjadi buronan pihak kepolisian.
Pertama, pembahasan dimulai dari syarat formil dalam pengajuan permohonan PK
ST,
di mana Putusan MA dalam tingkat PK Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012 menyatakan
bahwa permohonan PK pemohon (istri ST) secara formil dapat diterima. Padahal istri
ST hanya melampirkan Akta Perkawinan No. 542/1991 tanggal 28 Desember 1991
pada saat diajukannya permohonan PK untuk menunjukkan bahwa istri ST adalah istri
yang sah dari ST. Syarat ini seharusnya belumlah cukup untuk dapat diterimanya suatu
permohonan PK. Dilihat dari ketentuan permohonan PK menentukan bahwa
terpidana atau Ahli Warisnya yang dapat mengajukan permohonan PK, seharusnya istri
ST dapat melampirkan Akta Kematian ST dan Surat Keterangan Waris. Akta Kematian
untuk menunjukkan bahwa ST memang sah telah meninggal dunia. Surat Keterangan
Waris untuk menunjukkan bahwa istri ST memanglah Ahli Waris dari ST. Secara
norma memang terjadi kontradiksi norma, norma tentang Hukum Waris merupakan
ranah dari Hukum Perdata, bukan ranah dari Hukum Pidana maupun Hukum Acara
Pidana. Secara legalistik formil seharusnya dilengkapilah syarat formil tersebut untuk
menunjang pengajuan permohonan PK oleh istri ST. Dengan demikian, pengajuan
permohonan PK yang dilakukan oleh istri ST tidak memenuhi syarat formil dalam
pengajuan PK.
Kedua, pembahasan berikutnya mengenai kedudukan hukum (legal standing) dari istri
ST dalam pengajuan permohonan PK. Kedudukan hukum istri ST tidak sah sebagai
Ahli Waris. Alasan istri ST tidak mempunyai kedudukan hukum disebabkan ST sebagai
terpidana tidak meninggal dunia, tidak ada penetapan pengadilan yang menetapkan
bahwa ST meninggal dunia. Pada saat akan dieksekusi, ST beretiket buruk dengan tidak
memenuhi atau melaksanakan putusan MA dalam tingkat Kasasi. Faktanya ST
melarikan diri dan menjadi buronan pihak kepolisian. Oleh karena alasan tersebut di
atas, istri ST tidak memiliki kedudukan hukum sebagai Ahli Waris yang sah.
Ketiga, setelah ditunjang dengan kedua analisis pembahasan di atas, selanjutnya
dilakukan analisis pembahasan mengenai Ahli Waris dalam kasus PK ST. Perihal
mengenai istilah Ahli Waris dalam KUHAP, Hadari Djenawi Tahir berpendapat:
“Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak menjelaskan lebih lanjut siapa saja
yang dimaksudkannya dengan Ahli Waris terpidana, hal mana harus dikembalikan
kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia yang mengatur tentang
hukum waris”. Istilah Ahli Waris yang dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP
tidak sama dengan istilah Ahli Waris yang dikenal dalam Hukum Perdata dan Hukum
Islam. Pewarisan dalam Hukum Perdata dan Hukum Islam berkaitan dengan hak-hak,
kewajiban-kewajiban, dan beban-beban Ahli Waris yang timbul setelah Pewaris
meninggal dunia. Sedangkan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP, Ahli Waris hanya
mempunyai hak tertentu saja untuk berusaha mendapatkan nilai keadilan atas putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewjisde) dengan dilakukan PK. Hak
permohonan PK termasuk dalam hak asasi terpidana, Ahli Waris berkedudukan
sebagai pendukung atau pejuang hak asasi terpidana agar perkaranya disidangkan
kembali dalam tingkat PK. Umumnya dibedakan antara Ahli Waris menurut Hukum
Perdata, Ahli Waris menurut Hukum Islam, dan Ahli Waris menurut Hukum Adat.
Menurut Hukum Perdata, pewarisan merupakan suatu proses beralihnya harta
kekayaan seseorang kepada Ahli Warisnya yang terjadi hanya karena kematian. Pasal
832 KUH Perdata menentukan bahwa yang berhak menjadi Ahli Waris adalah para
keluarga sedarah, baik sah ataupun luar kawin, dan suami atau istri yang hidup
terlama/yang ditinggalkan. Dilihat dari pemaparan perihal Ahli Waris menurut
Hukum Perdata, Ahli Waris menurut Hukum Islam, dan Ahli Waris menurut Hukum
Adat dapat dijelaskan bahwa ketiganya memiliki unsur-unsur mutlak yang sama terkait
Ahli Waris. Unsur-unsur mutlak tersebut, yaitu 1) harus adanya orang yang meninggal
dunia (Pewaris), dalam kasus ST tidak meninggal dunia, sehingga unsur pertama tidak
terpenuhi; 2) harus adanya orang yang masih hidup (Ahli Waris) pada saat Pewaris
meninggal dunia, oleh karena ST tidak meninggal dunia, maka istri bukanlah Ahli
Waris, sehingga unsur kedua juga tidak terpenuhi.
Ketidaktepatan pengajuan permohonan PK oleh istri ST dimulai sejak awal tidak
terpenuhinya syarat formil pengajuan permohonan tersebut. Permohonan PK oleh istri
melalui kuasa hukumnya tersebut seharusnya tidak dapat diterima karena secara formil
belum terpenuhi. Oleh karena permohonan PK tidak dapat diterima, masih
berkemungkinan dapat diajukan kembali permohonan PK. Perkembangan PK terakhir
dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 yang diajukan oleh
Antasari Azhar beserta istri dan anaknya menentukan bahwa PK dapat diajukan lebih
dari satu kali hanya diperbolehkan untuk alasan apabila ditemukan bukti baru (novum)
berdasarkan pemanfaatan iptek dan teknologi. Jadi, permohonan PK dapat diajukan
kembali atas dasar apabila ditemukan bukti baru (novum) berdasarkan pemanfaatan
iptek dan teknologi. Alasan atas dasar apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan
suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata dalam Pasal 263 ayat (2) huruf
c KUHAP tidak boleh digunakan. Apabila tidak ada pengajuan kembali permohonan
PK, maka putusan MA dalam tingkat kasasi yang telah berkekuatan hukum tetap
(inkracht van gewjisde) tersebut akan tetap dijalankan.
Pengajuan permohonan PK yang diajukan oleh istri ST pada tanggal 20 Januari 2012
diikuti dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (selanjutnya disingkat
SEMA) Nomor 1 Tahun 2012 pada tanggal 28 Juni 2012. SEMA tersebut menyatakan
bahwa permintaan PK kepada MA hanya dapat diajukan oleh terpidana sendiri atau
Ahli Warisnya. Permintaan PK yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana tanpa
dihadiri oleh terpidana harus dinyatakan tidak dapat diterima dan berkas perkaranya
tidak dilanjutkan ke MA. Namun, pada alinea berikutnya terdapat pengecualian yang
menimbulkan kontroversial bahwa permintaan PK yang diajukan oleh kuasa hukum
terpidana atau Ahli Warisnya sebelum berlakunya SEMA tersebut, agar berkas
perkaranya dilanjutkan ke MA. Ini memperlihatkan dengan jelas bahwa dengan
dikeluarkannya SEMA tersebut tampak seperti membantu pengajuan PK oleh istri ST
melalui kuasa hukumnya tanpa kehadiran ST selaku terpidana.

KESIMPULAN
Setelah dilakukan analisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengajuan PK
oleh Ahli Waris dalam keadaan terpidana ST melarikan diri ditinjau dari Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah
tidak tepat karena alasan-alasan sebagai berikut:
1. Ahli Waris menurut Hukum Perdata, Ahli Waris menurut Hukum Islam, dan Ahli
Waris menurut Hukum Adat dapat disimpulkan bahwa ketiganya memiliki unsurunsur
mutlak terkait Ahli Waris yang sama. Unsur-unsur mutlak tersebut, yaitu 1)
harus adanya orang yang meninggal dunia (Pewaris), dalam kasus ST tidak
meninggal dunia, sehingga unsur pertama tidak terpenuhi; 2) harus adanya orang
yang masih hidup (Ahli Waris) pada saat Pewaris meninggal dunia, oleh karena ST
tidak meninggal dunia, maka istri bukanlah Ahli Waris, sehingga unsur kedua juga
tidak terpenuhi.
2. ST sebagai terpidana tidak meninggal dunia, sehingga istri ST tidak memiliki
kedudukan hukum (legal standing) sebagai Ahli Waris yang sah dalam mengajukan
permohonan PK.
3. Pengajuan permohonan PK yang dilakukan oleh istri ST tidak memenuhi syarat
formil disebabkan istri ST tidak dapat melampirkan Akta Kematian ST dan Surat
Keterangan Waris untuk menunjang pengajuan permohonan PK. KUHAP tidak
menjelaskan secara eksplisit atau lengkap tentang siapakah Ahli Waris
dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut. Norma tentang Ahli Waris merupakan
ranah dalam Hukum Perdata, bukan ranah dalam Hukum Pidana maupun Hukum
Acara Pidana. Disebabkan tidak adanya istilah Ahli Waris dalam KUHAP (lex
specialis),
sehingga digunakanlah istilah Ahli Waris dalam Hukum Perdata (lex generalis).

Anda mungkin juga menyukai