Anda di halaman 1dari 10

PARTISIPASI DAN PERAN PETUGAS KESEHATAN DALAM

PENGELOLAAN LIMBAH MEDIS DI RUMAH SAKIT

Pendahuluan

Pelayanan kesehatan bagi setiap warga negara ditunjang oleh Pemerintah yang bertanggung
jawab dalam merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi
penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. Pemerintah
menyediakan berbagai jenis fasilitas pelayanan kesehatan untuk menunjang kesehatan setiap warga
negaranya, fasilitas pelayanan kesehatan menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, adalah “suatu alat dan /atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya
pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat”. 3 Fasilitas kesehatan menurut pengertian dari
Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen
Kesehatan RI, 2002 yaitu “tempat pemeriksaan dan perawatan kesehatan yang berada di bawah
pengawasan dokter/tenaga medis, yang biasanya dilengkapi dengan fasilitas rawat inap, dan klinik.
Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di fasilitas kesehatan meliputi pelayanan rawat jalan, rawat
inap, pelayanan gawat darurat, pelayanan medik, pelayanan penunjang medik dan pelayanan non
medic. Salah satu sektor penghasil limbah bahan beracun berbahaya adalah sektor kesehatan yakni
Rumah Sakit, dimana rumah sakit sebagai sarana perbaikan kesehatan dan dapat dimanfaatkan pula
sebagai lembaga pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian. Pelayanan kesehatan yang dilakukan
rumah sakit berupa kegiatan penyembuhan penderita dan pemulihan keadaan cacat badan serta jiwa.
Kegiatan rumah sakit sudah pasti menghasilkan berbagai macam limbah yang berupa benda cair,
padat dan gas. Tidak hanya itu, proses kegiatan di dalam rumah sakit dapat mempengaruhi lingkungan
sosial, budaya dan dalam menyelenggarakan upaya dimaksud dapat mempergunakan teknologi yang
diperkirakan mempunyai potensi besar terhadap lingkungan. Limbah yang dihasilkan rumah sakit
dapat membahayakan kesehatan masyarakat, yaitu limbah berupa virus dan kuman yang berasal dari
Laboratorium Virologi dan Mikrobiologi yang sampai saat ini belum ada alat penangkalnya sehingga
sulit untuk dideteksi. Limbah cair dan limbah padat yang berasal dan rumah sakit merupakan media
penyebaran gangguan atau penyakit bagi para petugas, penderita maupun masyarakat. Gangguan
tersebut dapat berupa pencemaran udara, pencemaran air, tanah, pencemaran makanan dan minuman.
Pencemaran tersebut terhadap kesehatan lingkungan dapat menimbulkan dampak besar terhadap
manusia.

Jenis limbah rumah sakit bermacam-macam, yaitu limbah padat non medis, limbah padat
medis, limbah cair, dan limbah gas. Limbah-limbah tersebut terdiri dari limbah non infeksius, limbah
infeksius, bahan kimia beracun dan berbahaya, dan sebagian bersifat radioaktif sehingga
membutuhkan pengolahan sebelum dibuang ke lingkungan. Pasal 9 Undang-Undang Reublik
Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 menyebutkan bahwa Pengelolaan limbah di rumah sakit
dilaksanakan meliputi pengelolaan limbah padat, cair, bahan gas yang bersifat infeksius, bahan kimia
beracun dan sebagian bersifat radioaktif, yang diolah secara terpisah. Upaya pengurangan limbah B3
pada sumber dengan penggantian termometer merkuri menjadi termometer digital yang digunakan di
lab. Hal ini dilakukan oleh pihak RS untuk menghindari penggunaan limbah B3. Hal ini sesuai dengan
PerMen LHK No 56 tahun 2015. Kesalahan pewadahan limbah B3 dan Non B3 serta pencampuran
limbah obat/farmasi dengan limbah Non B3 tidak sesuai dengan PerMen LHK No. 56 Tahun 2015.
Kendala yang ada yaitu kurangnya kesadaran petugas dalam membuang limbah sesuai kategorinya.

Dampak Pembangunan Rumah Sakit

Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan


kemampuan hidup sehat bagi seluruh penduduk. Masyarakat diharapkan mampu
berpartisipasi aktif dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatannya sendiri
(Departemen Kesehatan RI, 1992). Untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan tersebut
perlu adanya fasilitas pelayanan kesehatan. Rumah sakit tidak boleh dipandang sebagai suatu
entitas yang terpisah dan berdiri sendiri dalam sektor kesehatan. Rumah Sakit merupakan
bagian dari sestem kesehatan dan perannya adalah mendukung pelayanan kesehatan dasar
melalui penyediaan fasilitas rujukan dan mekanisme bantuan. Menurut Organisasi Kesehatan
Sedunia atau World Health Organization (WHO), Rumah Sakit harus terintegrasi dalam
sistem kesehatan dimana ia berada. Fungsinya adalah sebagai pusat sumber daya bagi
peningkatan kesehatan masyarakat di wilayah yang bersangkutan.

Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan dalam kegiatannya selalu
menghasilkan limbah medis ataupun non medis. Limbah medis dan non medis ini terbagi tiga
bagian, yaitu padat, cair dan gas. Limbah non medis ialah limbah yang dihasilkan dari
kegiatan rumah tangga yang bersifat tidak infeksius seperti kertas, daun, bekas pembungkus
makanan, dan lain-lain. Sedangkan limbah medis ialah limbah yang dihasilkan dari kegiatan
medis yang meliputi limbah klinik, patologi dan radioaktif.

Namun menciptakan kebersihan di rumah sakit merupakan upaya yang cukup sulit dan
bersifat kompleks berhubungan dengan berbagai aspek antara lain budaya/ kebiasaan,
perilaku masyarakat, kondisi lingkungan,sosial dan teknologi. Dalam upaya meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dengan meningkatnya pendirian Rumah Sakit
(RS). Sebagai akibat kualitas efluen limbah rumah sakit yang tidak memenuhi syarat
menyebabkan limbah rumah sakit dapat mencemari lingkungan penduduk disekitar rumah
sakit dan menimbulkan masalah kesehatan, hal ini dikarenakan dalam limbah rumah sakit
dapat mengandung berbagai jasad renik penyebab penyakit pada manusia termasuk demam
thypoid, cholera, disentri dan hepatitis sehingga limbah harus diolah sebelum di buang ke
lingkungan. Dimulai dengan makin meningkatnya pendirian rumah sakit, kehidupan
masyarakat yang tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya, serta kurangnya kepedulian
manajemen rumah sakit terhadap pengelolaan lingkungan. Mulailah timbul tumpukan sampah
ataupun limbah yang dibuang tidak sebgaimana semestinya.Hal ini berakibat pada kehidupan
manusia dibumi yang menjadi tidak sehat sehingga menurunkan kualitas kehidupan terutama
pada lingkungan sekitarnya.

Hasil Limbah Rumah Sakit

Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan dalam kegiatannya selalu
menghasilkan limbah medis ataupun non medis. Limbah medis dan non medis ini terbagi tiga
bagian, yaitu padat, cair dan gas. Limbah non medis ialah limbah yang dihasilkan dari
kegiatan rumah tangga yang bersifat tidak infeksius seperti kertas, daun, bekas pembungkus
makanan, dan lain-lain. Sedangkan limbah medis ialah limbah yang dihasilkan dari kegiatan
medis yang meliputi limbah klinik, patologi dan radioaktif.

Limbah medis dan non medis ini harus dikelola dengan baik sesuai dengan peraturan
dan ketentuan dalam undangundang kesehatan. Karena limbah nedis dan non medis ini sangat
berbahaya dan dapat menimbulkan infeksi nosokomial (infeksi yang terjadi atau didapat di
rumah sakit selama 3 x 24 jam setelah pasien dirawat di rumah sakit atau pada saat masuk
rumah sakit tidak ada tanda/gejala atau tidak merasa inkubasi infeksi tersebut, yang
disebabkan oleh mikroorganisme), tempat bersarangnya vektor, pencemaran air, tanah dan
udara, penyebab kecelakaan, dan gangguan estetika.

Limbah yang dihasilkan akibat adanya aktivitas pelayanan kesehatan seperti rumah
sakit, puskesmas, klinik, memiliki karakteristik yang berbeda dari limbah yang dihasilkan
dari aktivitas industri. Limbah yang dihasilkan oleh fasilitas pelayanan kesehatan pada
umumnya termasuk kategori limbah yang memiliki potensi bahaya biologi, karena terdapat
bakteri, virus dan mikroorganisme sisa dari kegiatan medis seperti operasi penyebuhan dan
sisa pemeriksaan laaboratorium (Pratiwi & Maharini, 2013). Limbah medis yang dihasilkan
oleh pelayanan kesehatan sebesar 10-25% dan sisanya sebesar 75 – 90% merupakan limbah
domestik (Mayonetta, 2016). Meskipun jumlah limbah medis yang dihasilkan lebih sedikit
dari limbah domestik, namun jika limbah medis yang dihasilkan dari fasilitas pelayanan
kesehatan tersebut tidak dikelola dengan benar sebelum dibuang ke lingkungan maka akan
mengontaminasi lingkungan, yang kemudian berkontribusi menjadi rantai penularan
penyakit, kepada pekerja maupun masyarakat, bahkan dapat menimbulkan kematian (Pratiwi
& Maharini, 2013), (Wulandari et al., 2019), (Mayonetta, 2016).

Selain sampah klinis dari kegiatan penunjang rumah sakit juga menghasilkan sampah
non medis. Sampah non medis ini bisa berasal dari kantor/ administrasi (kertas), unit
pelayanan (berupa karton, kaleng, botol), sampah dari ruangan pasien, sisa makanan buangan,
sampah dapur (sisa pembungkus, sisa makanan/ bahan makanan, sayur dll). Limbah cair yang
dihasilkan rumah sakit mempunyai karakteristik tertentu baik fisik, kimia dan biologi.Limbah
rumah sakit bisa mengandung bermacam-macam mikroorganisme, tergantung dari jenis
rumah sakit, tingkat pengolahan yang dilakukan sebelum dibuang dan jenis sarana yang ada
(laboratorium, klinik dll). Tentu saja dari jenis-jenis mikroorganisme tersebut ada yang
bersifat pathogen.

Peran Rumah Sakit Dalam Pengelolaan Limbah Rumah Sakit

Kegiatan rumah sakit yang sangat kompleks tidak saja memberikan dampak positif bagi
masyarakat sekitarnya tetapi juga mungkin dampak negatif itu berupa cemaran akibat proses
kegiatan maupun limbah yang dibuang tanpa pengelolaan yang benar. Pengelolaan limbah
rumah sakit yang tidak baik akan memicu resiko terjadinya kecelakaan kerja dan penularan
penyakit dari pasien ke pasien yang lain maupun dari dan kepada masyarakat pengunjung
rumah sakit. Oleh kerna itu untuk menjamin keselamatan dan kesehatan tenaga kerja maupun
orang lain yang berada dilingkungan rumah sakit dan sekitarnya perlu kebijakan sesuai
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja dengan melaksanakan kegiatan pengelolaan dan
monitoring limbah rumah sakit sebagai salah satu indikator penting yang perlu diperhatikan.

Pelayanan kesehatan dikembangkan dengan terus mendorong peranserta aktif


masyarakat termasuk dunia usaha. Usaha perbaikan kesehatan masyarakat terus
dikembangkan antara lain melalui pencegahan dan pemberantasan penyakit menular,
penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, penyediaan air bersih, penyuluhan kesehatan serta
pelayanan kesehatan ibu dan anak. Perlindungan terhadap bahaya pencemaran dari manapun
juga perlu diberikan perhatian khusus. Sehubungan dengan hal tersebut, pengelolaan limbah
rumah sakit yang merupakan bagian dari penyehatan lingkungan dirumah sakit juga
mempunyai tujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang
bersumber dari limbah rumah sakit infeksi nosoknominal dilingkungan rumah sakit, perlu
diupayakan bersama oleh unsur-unsur yang terkait dengan penyelenggaraan kegiatan
pelayanan rumah sakit.

Aspek pengelolaan limbah telah berkembang pesat, system manajemen lingkungan


adalah cara mengelola limbah sebagai by product (output), yang juga meminimalisasi limbah.
Pengelolaan limbah ini mengacu pada Peraturan Menkes No. 986/Menkes/Per/XI/1992 dan
Keputusan Dirjen P2M PLP No HK.00.06.6.44, tentang petunjuk teknis Penyehatan
Lingkungan Rumah Sakit.Intinya penyehatan anak harus dinomorsatukan, kontaminasi agen
harus di cegah, limbah yang dibuang.

Keberagaman sampah/ limbah rumah sakit memerlukan penanganan yang baik sebelum
proses pembuangan. Sebagian besar pengelolaan limbah medis rumah sakit masih dibawah
standar lingkungan karena umunya dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah
dengan sistem open dumping atau dibuang ke sembarang tempat. Bila pengelolaan limbah tak
dilaksanakan secara saniter akan menyebabkan gangguan bagi masyarakat disekitar rumah
sakit dan pengguna limbah medis. Agen penyakit limbah rumah sakit memasuki manusia
(host) melalui air, udara, makanan, alat atau benda.Agen penyakit bisa ditularkan pada
masyarakat sekitar, pemakai limbah medis dan pengantar orang sakit. harus tidak berbahaya,
tidak infeksius dan merupakan limbah yang tidak dapat digunakan lagi

Dampak Limbah Medis Rumah Sakit Terhadap Lingkungan

Limbah rumah sakit dapat mencemari lingkungan penduduk di sekitar rumah sakit dan
dapat menimbulkan masalah kesehatan. Hal ini dikarenakan dalam limbah rumah sakit dapat
mengandung berbagai jasad renik penyebab penyakit pada manusia termasuk demam typoid,
kholera, disentri dan hepatitis sehingga limbah harus diolah sebelum dibuang ke lingkungan.
Selain sampah klinis, dari kegiatan penunjang rumah sakit juga menghasilkan sampah non
klinis atau dapat disebut juga sampah non medis. Sampah non medis ini bisa berasal dari
kantor / administrasi kertas, unit pelayanan (berupa karton, kaleng, botol), sampah dari ruang
pasien, sisa makanan buangan; sampah dapur (sisa pembungkus, sisa makanan/bahan
makanan, sayur dan lain-lain). Limbah rumah sakit bisa mengandung bermacam-macam
mikroorganisme, tergantung pada jenis rumah sakit, tingkat pengolahan yang dilakukan
sebelum dibuang dan jenis sarana yang ada (laboratorium, klinik dll). Tentu saja dari jenis-
jenis mikroorganisme tersebut ada yang bersifat patogen. Limbah rumah sakit seperti halnya
limbah lain akan mengandung bahan-bahan organik dan anorganik, yang tingkat
kandungannya dapat ditentukan dengan uji air kotor pada umumnya seperti BOD, COD, pH,
mikrobiologik, dan lain-lain.

Pengelolaan limbah semakin perlu mendapat perhatian mengingat peningkatan layanan


kesehatan yang cukup pesat akhir-akhir ini. Semakin meningkatnya jumlah fasilitas
layananan kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, maupun laboratorium
medis, maka jumlah limbah medis yang bersumber dari fasilitas kesehatan diperkirakan
semakin lama akan semakin meningkat (Astuti & Purnama, 2014).

Pajanan limbah medis yang berbahaya dapat mengakibatkan infeksi atau cidera.
Limbah medis yang tidak dikelola dengan baik akan memberikan dampak terhadap
kesehatan, antara lain limbah infeksius dan benda tajam berisiko meningkatkan infeksi virus
seperti Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS)
dan hepatitis, infeksi ini terjadi melalui cidera akibat benda yang terkontaminasi umumnya
jarum suntik. Cidera terjadi karena kurangnya upaya memasang tutup jarum suntik sebelum
dibuang ke dalam kontainer, upaya yang tidak perlu seperti membuka kontainer tersebut dan
karena pemakaian materi yang tidak anti robek dalam membuat kontainer. Risiko tersebut
terjadi pada perawat, tenaga kesehatan lain, pelaksana pengelola sampah dan pemulung di
lokasi pembuangan akhir sampah (WHO, 2005).

Peran Tenaga Kesehatan Dalam Pengelolaan Limbah Padat

WHO (2005) menyebutkan bahwa dalam proses pengelolaam limbah medis, sangat
dibutuhkan tindakan dari petugas mulai dari tahap penyimpanan limbah sampai dengan
pemusnahan limbah di insinerator. Pada tahap penyimpanan limbah kantung tidak boleh
penuh, petugas pengumpul limbah harus memastikan kantung-kantung dengan warna yang
sama telah dijadikan satu dan dikirim ke tempat yang sesuai. Hal ini dimaksudkan untuk
mencegah dampak negatif pengelolaan limbah tersebut baik kepada petugas, lingkungan
maupun masyarakat sekitar (Nursamsi et al., 2017). WHO juga menyebutkan bahwa
pengelolaan limbah medis akan sangat tergantung pada adanya kebijakan disertai tersedianya
sumber daya manusia, anggaran dan fasilitas. Selain itu, variabel kebijakan berkaitan dengan
limbah medis padat merupakan faktor dominan yang mempengaruhi tindakan petugas dalam
membuang limbah medis padat di pelayanan kesehatan masyarakat(Karolus, 2017

Berdasarkan observasi pada survei pendahuluan sebelumnya, diketahui terdapat


beberapa petugas kesehatan yang melakukan percampuran antara sampah medis dan non-
medis dalam membuang sampah. Permasalahan ini akan berpengaruh pada proses
pengelolaan sampah khususnya dalam tahapan pemusnahan dan pembuangan akhir sampah
yang dilakukan oleh petugas pengelola sampah (cleaning service) yang tidak melakukan
pemisahan kembali antara limbah medis dengan limbah non medis.

Hasil penelitian ini menunjukkan lebih dari setengah responden dalam kategori sangat
sering membuang limbah medis pada tempat sampah medis (63,2%). Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Asriningrum (2018) yang menunjukkan 82,5%
petugas kesehatan telah memiliki perilaku memilah limbah medis dengan baik. Hal tersebut
mengindikasikan menggambarkan bahwa petugas kesehatan telah mematuhi prosedur tetap
dalam memilah limbah medis. Dengan adanya dukungan sosial baik dari atasan maupun
teman sejawat, fasilitas kesehatan serta kebijakan yang mendukung sangat berpotensi
terjadinya perilaku yang sesuai dengan peraturan (Asriningrum, 2018).

Hasil penelitian sebelumnya mengkonfirmasi bahwa kepatuhan petugas kesehatan


untuk memilah sampah medis dan non-medis juga disebabkan oleh salah satu faktor yaitu
ketersediaan fasilitas-fasilitas yang mendukung pelaksanaan pengelolaan sampah medis dan
non medis tersebut, tempat-tempat pembuangan sampah medis dan non medis diletakkan di
depan atau di dalam ruangan tindakan petugas kesehatan. Penempatan tempat sampah yang
mudah diakses tersebut menjadi salah satu alasan bagi petugas untuk lebih mudah dalam
membuang limbah medis dan non medis. Tempat sampah yang sudah disediakan sesuai
dengan spesifikasinya akan lebih memudahkan petugas dalam pengelolaannya (Muh.
Adrianto et al., 2019).

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden termasuk dalam kategori


sangat sering menutup kembali tempat sampah medis setelah limbah medis dibuang pada
tempat sampah. Tempat pewadahan limbah medis padat harus memenuhi kriteria berikut
yaitu terbuat dari bahan yang kuat, cukup ringan, tahan karat, kedap air, dan mempunyai
permukaan yang halus pada bagian dalamnya, misalnya fi berglass, pada setiap sumber
penghasil limbah medis harus tersedia tempat pewadahan yang terpisah dengan limbah padat
non-medis. Kantong plastik diangkat setiap hari atau kurang sehari apabila 2/3 bagian telah
terisi limbah, untuk benda-benda tajam harus ditampung pada wadah khusus atau dikenal
dengan safefy box, seperti botol atau karton yang aman. Tempat atau wadah untuk
menampung limbah medis padat infeksius dan sitotoksik yang tidak langsung kontak dengan
limbah dapat dipakai lagi namuan sebelumnya harus segera dibersihkan menggunakan larutan
disinfektan. Sementara itu, untuk kantong plastik yang telah dipakai dan kontak langsung
dengan limbah tersebut tidak boleh dipakai kembali, bahan atau padatan yang dapat
dimanfaatkan kembali setelah melalui sterilisasi meliputi pisau bedah (scapel), jarum
hipodermik, syringes, botol gelas dan kontainer. Alat-alat lain juga ada yang dapat digunakan
kembali setelah disterilisasi terlabih dahulu yaitu radionukleida, dengan ketentuan yang
sudah diatur (Hasanah & Oktavianisya, 2018)

Menurut Kepmenkes RI No. 1428/Menkes/SK/XII/2006(Keputusan Menteri Kesehatan


RI No. 1428/MENKES/SK/XII/2006, 2006) tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan
Lingkungan Puskesmas, pengumpulan limbah medis puskesmas harus dipisahkan antara
sampah infeksius dengan non infeksius. Selain itu disetiap ruangan setidaknya harus terdapat
tempat sampah yang terbuat dari bahan yang kokoh, tahan karat, dan kedap air serta untuk
sampah infeksius tempat sampah wajib dilapisi oleh kantong plastik berwarna kuning
sedangkan sampah domestik menggunakan kantong plastik berwarna hitam. Proses
pengumpulan limbah medis di puskesmas secara umum sudah sesuai dengan ketentuan yang
berlaku walaupun masih terdapat sebagian kecil responden yang belum melakukan tata
laksana pengumpulan limbah medis sesuai dengan ketentuan. Untuk dapat meningkatkan
kesadaran dan perilaku petugas kesehatan dalam melakukan pengelolaan limbah medis,
diperlukan upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap petugas, seperti dengan cara
Rumah Sakit melakukan pelatihan pengelolaan limbah medis. Selain itu juga memperketat
kebijakan mengenai pengelolaan limbah di pelayanan kesehatan.

Daftar Pustaka

Asriningrum, S. (2018). Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Perilaku Perawat Dalam


Pemilahan Limbah Medis Di RS Al Islam Bandung. Jurnal Teras Kesehatan, 1(1),
39– 54. https://doi.org/10.38215/jutek.v1i1.23

Astuti, A., & Purnama, S. . (2014). Kajian Pengelolaan limbah di rumah sakit umum
Provinsi Nusa Tenggara Barat (Ntb). Comunnity Health, 2(1), 12–20.
Maironah, Hj. Darni Subari, Hj. Mariani, Efansyah Noor. 2011. Perilaku Petugas Kesehatan
Dalam Penanganan Limbah Medis Di Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin.
Universitas Muhammadiyah Banjarmasin.

Muh. Adrianto, H. Ramlah, & H. Abdul Madjid. (2019). Pengetahuan Sikap Dan Tindakan
Petugas Puskesmas Terhadap Sistem Pengelolaan Sampah Medis Di Puskesmas
Lumpue Kota Parepare. Jurnal Ilmiah Manusia Dan Kesehatan, 2(2), 186–194.
https://doi.org/10.31850/makes.v2i2.135

Mayonetta, G. (2016). Evaluasi Pengelolaan Limbah Padat B3 Fasilitas Puskesmas di


Kabupaten Sidoarjo. Jurnal Teknik ITS, 5(2), 227–232.
https://doi.org/10.12962/j23373539.v5i2.18952

Nursamsi, N., Thamrin, T., & Efizon, D. (2017). Analisis Pengelolaan Limbah Medis Padat
Puskesmas Di Kabupaten Siak. Dinamika Lingkungan Indonesia, 4(2), 86.
https://doi.org/10.31258/dli.4.2.p.86-98

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor 56 Tahun 2015 Tentang Tata
Cara Dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun

Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun

Pratiwi, D., & Maharini, C. (2013). Analisis Pengelolaan Limbah Medis Padat Pada
Puskesmaskabupaten Pati. KEMAS - Jurnal Kesehatan Masyarakat, 9(1), 74–84.
https://doi.org/10.15294/kemas.v9i1.2833

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan


Hidup (PPLH)

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit –
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah

WHO, 2012. Our Planet, Our Health. Report of the WHO Comission on Health and
Environmet. Genova.

Wulandari, T., Rochmawati, & Marlenywati. (2019). Analisis Pengelolaan Limbah Medis
Padat Puskesmas di Kota Pontianak. Jurnal Mahasiswa Dan Penelitian Kesehatan,
6(2), 71–78. http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/JJUM/article/view/2025

Anda mungkin juga menyukai