Konflik Antarsuku
Konflik Antarsuku
Konflik ini bermula pada tahun 1963, dimana pada saat pemerintah
Indonesia terlibat dalam konfrontasi terhadap Malaysia, yang dipicu oleh
penolakan terhadap pembentukan federasi Malaysia. Warga etnis Tionghoa
di Kalimantan Utara ikut ambil bagian dalam penolakan ini karena
khawatir akan dominasi warga Melayu Semenanjung Malaya terhadap
mereka. Untuk mengganyang Malaysia, Soekarno mengumpulkan warga
Tionghoa di Kalimantan Utara yang anti-Malaysia untuk mendukung
konfrontasi melawan Malaysia dan Inggris. Kelompok ini pun dinamai
Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan
Utara (Paraku), yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Supardjo yang
mendukung kelompok kiri (komunis). Namun, setelah berakhirnya
Gerakan 30 September/PKI, pemerintah Orde Baru di bawah
kepemimpinan Soeharto mengambil tindakan keras terhadap seluruh
kelompok politik kiri, termasuk PGRS/Paraku yang didominasi oleh etnis
Tionghoa. PGRS juga dituduh menjadi pelaku pembunuhan sejumlah
tokoh Dayak dan TNI sehingga membuat suku Dayak semakin membenci
suku Tionghoa.
Di konflik ini, banyak warga Tionghoa yang tidak bersalah juga ikut
terbunuh karena warga Dayak mengira mereka merupakan bagian dari
PGRS dan Paraku. Oleh karena itu, pesan moral yang kita dapatkan dari
konflik antarsuku ini adalah bahwa kita tidak boleh sembarang mengfitnah
orang lain atas perbuatan jahat yang dia tidak lakukan tanpa ada bukti-
bukti yang mendukungnya.