Anda di halaman 1dari 5

Abu Habib Muda Seunagan dan Sosok Ulama-Pejuang

Jakarta-Aceh tak pernah kering dari darah pejuang. Salah seorang diantaranya Abu Habib Muda
Seunagan, sosok kharismatis dari Pantai Barat. Selain seorang ulama yang dihormati, dia juga pejuang
yang disegani. Ia wafat di Desa Peuleukung, Seunagan Barat, Kabupaten Nagan Raya, 14 Juni 1972 dan
dikebumikan di samping Masjid Jamiek Abu Habib Muda Seunagan. Berkat jasanya dalam perang
keme3rdekaan, Pemerintah RI menganugerahkannya Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama.

Kisah perjuangan dan pengaruh Habib Seunagan dilukiskan dengan detil dalam buku Abu Habib Muda
Seunagan dan Thariqat Syattariyah, ditulis Tengku Sammina Daud, penerbit Karya Sukses Sentosa 2009.
Buku setebal 254 halaman ini dibedah secara khusus oleh dua pembicara, yakni Masdar Farid Masudi
(Ketua Pengurus Besar Nahdlatul UlamaPBNU) dan Prof Syahrizal (Pembantu Rektor IV IAIN Ar-Raniry
Banda Aceh) dengan moderator Mukhlas Syarkum, di Kantor PBNU Jakarta, Selasa (10/11). Hadir dalam
acara bedah buku itu mantan gubernur Aceh Prof Syamsuddin Mahmud dan sejumlah tokoh Aceh lainnya.
Abu Habib Muda Seunagan yang mempunyai nama asli Habib Muhammad Yeddin bin Habib Muhammad
Yasin juga seorang guru atau mursyid Thariqat Syattariah. Thariqat ini pada awalnya dibawa masuk ke
Aceh oleh ulama Abdurrauf Asyingkili atau Syiah Kuala. Habib juga penerima anugerah Tanda
Kehormatan Bintang Jasa Utama yang diserahkan pada masa Presiden BJ Habibie, atas peran dan sepak
terjangnya dalam perang kemerdekaan, baik masa pendudukan Jepang, maupun saat agresi militer I dan
II oleh Belanda.
Salah satu kisah yang direkam buku ini adalah ketika Habib mengirim 160 personil Lasykar Jihad dalam
peperangan di Sidikalang Tapanuli Utara, pada masa agresi militer II. Lasykar Jihad merupakan pasukan
yang ia bentuk yang terdiri dari murid-muridnya yang terlatih dan terpilih. Habib sendiri yang
membentuk pasukan tersebut untuk menghadapi tentara Belanda.

Habib Seunagan juga menggunakan cerita Hikayat Perang Sabil karya Tengku Syekh Muhammad Pantee
Kulu (lahir tahun 1836 M di Desa Pante Kulu Kumukiman Titeu Kecamatan Keumala Pidie) sebagai
pemantik api perjuangan. Sebelum pasukannya berangkat ke medan perang, terlebih dahulu dikisahkan
tentang Hikayat Perang Sabil, demikian antara lain yang tertulis dalam buku tersebut.
Buku itu mengisahkan keterlibatan dan kepeloporan Abu Habib Seunagan membentuk Pagar Desa di
daerah-daerah yang menjadi basis para pendukungnya. Bersama dengan para pengikutnya, Abu Habib
Muda Seunagan menyatakan setia berdiri dibelakang pemerintah Republik Indonesia. Sebagai bentuk
komitmen terhadap NKRI, Habib membentuk pasukan tempur yang terdiri dari para pendekar pedang
yang selalu siap siaga menjalankan perintah. Sehingga, suatu ketika terjadi perlawanan antara pasukan
pro NKRI pimpinnan Abu Habib Muda Seunagan dengan kelompok yang menentang NKRI.
Atas jerih payah dan ketulusan beliau pula akhirnya Abu Habib Muda Seunagan dipanggil ke Istana Negara
oleh Bung Karno. Pertemuan yang akrab dan hangat tersebut ibarat bapak dan anak yang sudah lama
tidak berjumpa. Bung Karno sebagai sosok yang lebih muda dan sebagai representasi figur umara
meminta nasehat dan masukan kepada Habib Muda Seunagan dalam merumuskan dan mengambil
kebijakan, terutama yang berkaitan dengan konflik di Aceh. Abu Habib Muda Seunagan menyarankan agar
dalam menyelesaikan masalah Aceh pemerintah pusat lebih menggunakan pendekatan kemanusiaan dan
bukan menggunakan cara-cara kekerasan.(fik).Serambi Indoesia : Fri, Nov 13th 2009

Agama, Seni, dan Nilai Budaya Masyarakat Terasing


Gunung Khong di Nagan Raya NAD
Oleh: Isa Sulaiman dan Agus Budi Wibowo

A. Pendahuluan
Masyarakat terasing Gunung Kong Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya bukanlah
masyarakat terasing seperti yang digambarkan sebagai masyarakat terasing yang kita ketahui.
Masyarakat terasing Gunung Kong merupakan sekelompok masyarakat yang masih tetap
memelihara dan setia kepada tradisi miliki dan warisi secara turun temurun. Cikal bakal kelompok ini
berasal dari T. Raja Tampok yang menolak kekuatan asing, pemerintah kolonial Belanda, yang
menganeksasi Pantai Barat Aceh, terutama Seunagan pada awal abad ke-20.
Sejak akhir masa pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan T. Raja Tampok mampu merekrut dan
memperbesar jumlah pengikutnya, baik orang Aceh maupun orang Gayo, untuk membentuk suatu
komunitas ekslusif di pedalaman Krueng Tripa dan menutup diri dari pengaruh luar serta
mengembangkan tradisi sendiri. Setelah T. Raja Tampok meninggal pada tahun 1962 kepemimpinan
komunitas masyarakat ini diteruskan oleh anaknya T. Raja Ubit hingga tahun 1997.
Pada tahun 1978/1979 pemerintah daerah Aceh Barat dan Kanwil Departemen Sosial membangun
pemukiman untuk mereka di Gunung Kong dalam upaya membangun komunitas ini agar lebih hidup
wajar seperti masyarakat lainnya. Akan tetapi, kenyataan hanya sebagian saja di antara mereka
yang beradaptasi dalam pemukiman baru dan sementara sebagian yang lain masih tetap bertahan
dengan pola kehidupan yang eksklusif. Tulisan ini memaparkan salah satu aspek kehidupan dari
masyarakat Gunung Kong tersebut.

B. Agama, Seni dan Nilai Budaya

Seperti masyarakat Aceh lainnya, komunitas terasing pengikut T.R. Tampok adalah pemeluk agama
Islam. Hanya saja dalam pengamalan ajaran Islam terlihat lebih bersifat upacara dan bercampur baur
dengan tradisi lokal. Ketika T.R. Tampok masih hidup, ia sendiri gemar melakukan pertapaan atau
khalwat . Kurang diketahui apakah praktek khalwat yang ia amalkan itu sama seperti Tarekat
Syatariah yang dikembangkan oleh Habib Muda 1899-1973 di Pulo Ie dan Peuleukong; Jeuram.1
Namun suatu hal yang jelas murid spritual T.R. Tampok yang pernah melakukan khalwat itu antara
lain khatib Minim, Tgk. Blang Baro (Mak Diah), Tgk. Bileu Salam, Tgk. Suak, keuchik Uyam, Pang
Ganto dan Pang Gumbak
Berbeda dengan orang tuanya, T.R. Ubit tidak meneruskan praktek khalwat atau menjalankan
kehidupan zuhud. Ia lebih suka berganti-ganti istri di antara mana 2 telah meninggal dunia dan 3
orang minta cerai. Suatu hal yang jelas jumlah istrinya itu sudah melampui ketentuan syariat dalam
Islam.
Pengajian agama dengan maksud mensosialisasikan ajaran Islam di kalangan komunitas itu hanya
berlangsung secara teratur pada dasa warsa 1950-an dan 1960-an ketika komunitas itu berdiam di
seuneubok Luar dan seuneubok dalam, Krueng Itam. Menurut informasi yang diperoleh pengajian
agama dan pelaksanaan upacara agama waktu itu berada di tangan Tgk. Kali Hasan, khatib Munin,
Tgk. Blang Baro dan Pang Ganto (Suhendang, 1990: 34 dan 49). sewaktu berada di seuneubok Alue
Tgk. Suak, pelaksanaan ajaran agama berada di tangan Pang Meuse.
Kuburan Syekh Liwaul Hamdi (leluhur T.R. Tampok) yang terletak di Blang Tripa, kuburan T.R. tampak
dan kuburan Cut Caya mereka percayai dihuni atau dijaga oleh harimau. Harimau tersebut, menurut
mereka, tidak akan mengganggu seseorang yang berziarah ke situ jika dilakukan dengan niat bersih
dan hati yang tulus. Kuburan tersebut juga menjadi salah satu objek melepas nazar di antara
seseorang warga komunitas bersangkutan.
Di samping itu mereka percaya juga bahwa makhluk halus dalam wujud aulia, jin dan hantu
berkeliaran dan bersemayam di berbagai tempat yang terdapat di sekitar mereka. Kesemua makhluk
halus itu dapat memberi pertolongan dan juga malapetaka kepada manusia. Di lain pihak mereka
juga percaya bahwa benda-benda tertentu seperti rante bui (cacing yang telah membatu didapati
pada mulut babi) dapat memberikan kekuatan sakti kepada si pemakainya.
Kesadaran akan makhluk halus atau kekuatan sakti telah mendorong sebagian di antara mereka
memperdalam pengetahuan ilmu gaib atau magis (euleume) dengan harapan yang bersangkutan
mempunyai kemampuan magis. Mereka yang telah memiliki kemampuan magis itu dipercayai kebal
dari senjata tajam dapat berubah rupa atau menghilang seketika, dapat mengobati sesuatu penyakit
atau mengguna-gunai lawan dan musuh, serta mempunyai keahlian tertentu. Orang-orang seperti itu
biasanya memperoleh kehormatan melalui panggilan pang (ksatria), dukun atau pawang. T.R.
Tampok mereka percayai kebal dan dapat berubah rupa atau menghilang seketika. Para ksatria
seperti Pang Bakar dan Pang Ganto mereka percayai kebal terhadap senjata tajam.
Di samping itu kesadaran akan makhluk halus atau kekuatan sakti telah mendorong mereka untuk
mematuhi berbagai tabu atau pantangan. Hal demikian mereka lakukan baik di dalam rumah tangga
seperti pantangan pada wanita hamil maupun sewaktu mencari rezeki (berburu, berladang dan
menangkap ikan) atau sewaktu pergi memerangi musuh. Dalam mempersiapkan penyerangan
terhadap tentara, mereka pergi bertapa di kuburan Habib Nagan terlebih dahulu.
Upacara ritual yang masih mereka lakukan adalah kenduri Maulid Nabi, Khitanan, Perkawinan,
Kematian, Pembuatan rumah dan Kenduri Ladang. Penyelenggaraan upacara berlangsung
sederhana di bawah pimpinan pemimpin spiritual mereka. Bentuk upacaranya adalah berdoa, bersaji
dan memotong ayam.
Kesenian atau permainan yang paling digemari oleh komunitas terasing pengikut T.R. Tampok adalah
pembacaan hikayat dan rapai. Pembacaan hikayat biasanya dilantunkan oleh pembaca hikayat yang
mempunyai suara merdu. Hikayat yang paling populer di kalangan mereka umumnya berasal dari
cerita-cerita lama seperti hikayat Tuan Ta Husin dan Hikayat Prang Sabil. Hikayat pertama berkenaan
dengan peperangan yang berlangsung antara Jazid bin Muawiyah dengan Saidina Husin cucu Nabi
yang berakhir gugurnya Saidina Husin.Hikayat kedua berisikan tentang pahala orang yang gugur
dalam perang sabil melawan kafir. Hikayat-hikayat tersebut dengan sendirinya menanamkan
kesadaran tentang imbalan yang diperoleh berjihad demi agama.
Dampak nyata peran hikayat dalam kehidupan mereka dapat diamati melalui nama putra-puti atau
cucu dari T.R. Ubit. Nama-nama Gumbak Meuh, Meureudam Dewi, Tani Angsa, Sanadewa dan lain
sebagainya adalah nama-nama aktor yang terdapat dalam cerita-cerita Hikayat Aceh Lama.
Rapai adalah permainan dabus yang dibarengi pertunjukan kekuatan magis dalam wujud kekebalan
tubuh dari senjata tajam. Permainan ini diselenggarakan pada malam Jum'at atau bila ada seseorang
warga komunitas menyelengarakan upacara khitanan atau perkawinan. Pemainnya terdiri atas 8-10
orang yang menabuhkan gendang (rapai) di bawah pimpinan seorang khalifah. Penabuh gendang
memukul gendangnya sesuai dengan nada dan irama syair yang dilantunkan oleh khalifah. Sewaktu
pukulan Rapai sedang bertalu-talu, para hadirin memasuki arena permainan untuk melakukan atraksi
menikam diri, menyayat diri, membakar diri atau memukulkan benda keras kepada dirinya yang lagi
berada dalam suasana ekstasi. Pendek kata permainan itu merupakan wahana uji ketangkasan dan
kekebalan tubuh dari senjata tajam. Selama berada di Krueng Itam orang-orang yang pernah menjadi
khalifah antara lain T. Hasan, Tgk. Lingga, Tgk. Salam dam K. Badai.
Dalam kehidupan sehari-hari komunitas terasing pengikut T.R. Tampok itu mengembangkan norma-
norma atau kebiasaan yang harus ditaati oleh warganya. Hal tersebut terlihat jelas dalam hal busana,
perhiasan, atau senjata. Setiap warga mereka, baik laki-laki maupun perempuan, berpakaian warna
hitam dan tidak boleh memakai sandal atau sepatu. Kaum laki-laki memakai destar di kepala yang
berfungsi sebagai topi, selimut, atau wadah pengangkut barang. Anak-anak kecil dicukur rambutnya
dengan meninggalkan sedikit rambut seperti jambul di ubun-ubun (gumbak cudiek), sedangkan orang
dewasa rambutnya dibiarkan panjang tanpa dipangkas. Tiap laki-laki yang telah remaja memakai
senjata rencong dan pedang (beberapa orang di antara mereka senapan rampasan) sebagai ksatria.
Kebiasaan berpakaian atau berbusana seperti itu tetap dipelihara hingga akhir hayat T.R. Ubit.
Pelanggarnya, jika diketahui, akan memperoleh hukuman keras dalam wujud makian, pukulan, dan
malah ditetak oleh T.R. Ubit. Larangan atau pantangan memakai sandal atau sepatu dan topi malah
juga diberlakukan oleh T.R. Tampok dan T.R. Ubit terhadap orang luar yang datang bertamu untuk
menjumpai mereka.
Frekuensi kontak dengan dunia luar yang semakin meningkat sejak akhir dasa warsa tahun 1980-an
menimbulkan dampak pula terhadap kelestarian adat di kalangan putra dan cucu T.R. Ubit. Kalangan
anak laki-laki hanya mematuhi tata busana seperti yang telah ditetapkan bila sedang berhadapan
dengan T.R. Ubit atau berada di seuneubok Alue Tgk Suak. Sebaliknya, bila berjalan-jalan ke Gunung
Kong, pusat desa atau ke Pasar Alue Bilie mereka berpakaian seperti remaja atau anak muda
lainnya. Pakaian pengganti itu biasanya dititipkan di rumah salah seorang kerabatnya di Blang Tripa.
Ketika T.R. Tampok masih hidup konon terdapat beberapa tata krama yang harus dipatuhi oleh para
pengikutnya. Seorang pengikut yang datang menghadap atau audiensi dengannya diharuskan
memberi salam dengan cara mengangkat kedua tangan di atas kepala. Seseorang yang turun ke
bawah rumah atau ke sungai tidak boleh mengucapkan "turun" (tron), melainkan "turun ke bawah"
(jak ujueb atau jak ubaroh) karena perkataan "turun" mengandung makna turun berdamai dengan
musuh.

C. Penutup
Gambaran yang dipaparkan pada bagian di atas menunjukkan bagaimana sesungguhnya salah satu
aspek kehidupan masyarakat terasing Gunung Kong, yang masih mereka pegang sebagai tradisi
yang tetap dilestarikan. Akan tetapi, frekuensi hubungan yang semakin sering dengan dunia luar telah
membawa dampak pada bergesernya sebagian dari nilai-nilai yang mereka anut.
Tentunya kondisi ini merupakan suatu yang wajar dalam hubungan antarbudaya dimana antara satu
budaya dengan budaya lain akan saling mempengaruhi. Akan tetapi, hendaknya perubahan itu
jangan menghilangkan jati diri dari sebuah komunitas.

Tari Ratb Meuseukat


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Tari Ratb Meuseukat


Tari Ratb Meuseukat merupakan salah satu tarian Aceh yang berasal dari Aceh. Nama Ratb
Meuseukat berasal dari bahasa Arab yaitu ratb asal kataratib artinya ibadat dan meuseukat asal
kata sakat yang berarti diam.
Diberitakan bahwa tari Ratb Meuseukat ini diciptakan gerak dan gayanya oleh anak Teungku
Abdurrahim alias Habib Seunagan (Nagan Raya), sedangkan syair atau ratb-nya diciptakan
oleh Teungku Chik di Kala, seorang ulama di Seunagan, yang hidup pada abad ke XIX. Isi dan
kandungan syairnya terdiri dari sanjungan dan puji-pujian kepada Allah dan sanjungan
kepada Nabi, dimainkan oleh sejumlah perempuan dengan pakaian adat Aceh. Tari ini banyak
berkembang di Meudang Ara Rumoh Baro di kabupaten Aceh Barat Daya.
Pada mulanya Ratb Meuseukat dimainkan sesudah selesai mengaji pelajaran agama malam
hari, dan juga hal ini tidak terlepas sebagai media dakwah. Permainannya dilakukan dalam
posisi duduk dan berdiri. Pada akhirnya juga permainan Ratb Meuseukat itu dipertunjukkan
juga pada upacara agama dan hari-hari besar, upacara perkawinan dan lain-lainnya yang tidak
bertentangan dengan agama. [1]
Saat ini, tari ini merupakan tari yang paling terkenal di Indonesia. Hal ini dikarenakan keindahan,
kedinamisan dan kecepatan gerakannya. Tari ini sangat sering disalahartikan sebagai tari
Saman dari suku Gayo. Padahal antara kedua tari ini terdapat perbedaan yang sangat jelas.
Perbedaan utama antara tari Ratb Meuseukat dengan tari Saman ada 3 yaitu, pertama tari
Saman menggunakan bahasa Gayo, sedangkan tari Ratb Meuseukat menggunakan bahasa
Aceh. Kedua, tari Saman dibawakan oleh laki-laki, sedangkan tari Ratb Meuseukat dibawakan
oleh perempuan. Ketiga, tari Saman tidak diiringi oleh alat musik, sedangkan tari Ratb
Meuseukat diiringi oleh alat musik, yaitu rapai dangeundrang.
Keterkenalan tarian ini seperti saat ini tidak lepas dari peran salah seorang tokoh yang
memperkenalkan tarian ini di pulau Jawa yaitu Marzuki Hasan atau biasa disapa Pak Uki.[2]

Anda mungkin juga menyukai