Anda di halaman 1dari 25

Tahlilan dalam Pandangan NU, Muhammadiyah, PERSIS , Al

Irsyad, Wali Songo, Ulama Salaf dan 4 Mazhab


Penjelasan Dari Nahdalatul Ulama (NU), Para Ulama Salafus salih, WaliSongo, 4 Mahzab
Tentang Bid'ahnya Tahlilan

Segala puji bagi Allah, sholawat serta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad beserta keluarga
dan sahabat-sahabatnya. Doa dan shodaqoh untuk sesama muslim yang telah meninggal menjadi
ladang amal bagi kita yang masih di dunia ini sekaligus tambahan amal bagi yang telah berada di
alam sana. Sebagai agama yang mencerahkan dan mencerdaskan, Islam membimbing kita
menyikapi sebuah kematian sesuai dengan hakekatnya yaitu amal shalih, tidak dengan hal-hal
duniawi yang tidak berhubungan sama sekali dengan alam sana seperti kuburan yang megah, bekal
kubur yang berharga, tangisan yang membahana, maupun pesta besar-besaran. Bila diantara
saudara kita menghadapi musibah kematian, hendaklah sanak saudara menjadi penghibur dan
penguat kesabaran, sebagaimana Rasulullah memerintahkan membuatkan makanan bagi keluarga
yang sedang terkena musibah tersebut, dalam hadits:

Kirimkanlah makanan oleh kalian kepada keluarga Ja'far, karena mereka sedang tertimpa
masalah yang menyesakkan.(HR Abu Dawud (Sunan Aby Dawud, 3/195), al-Baihaqy (Sunan
al-Kubra, 4/61), al-Daruquthny (Sunan al-Daruquthny, 2/78), al-Tirmidzi (Sunan al-Tirmidzi,
3/323), al- Hakim (al-Mustadrak, 1/527), dan Ibn Majah (Sunan Ibn Majah, 1/514)

Namun ironisnya kini, justru uang jutaan rupiah dihabiskan tiap malam untuk sebuah selamatan
kematian yang harus ditanggung keluarga yang terkena musibah. Padahal ketika Rasulullah ditanya
shodaqoh terbaik yang akan dikirimkan kepada sang ibu yang telah meninggal, Beliau menjawab
air. Bayangkan betapa banyak orang yang mengambil manfaat dari sumur yang dibuat itu
(menyediakan air bagi masyarakat indonesia yang melimpah air saja sangat berharga, apalagi di
Arab yang beriklim gurun), awet dan menjadi amal jariyah yang terus mengalir. Rasulullah telah
mengisyaratkan amal jariyah kita sebisa mungkin diprioritaskan untuk hal-hal yang produktif, bukan
konsumtif; memberi kail, bukan memberi ikan; seandainya seorang pengemis diberi uang atau
makanan, besok dia akan mengemis lagi; namun jika diberi kampak untuk mencari kayu, besok dia
sudah bisa mandiri. Juga amal jariyah yang manfaatnya awet seperti menulis mushaf, membangun
masjid, menanam pohon yang berbuah (reboisasi; reklamasi lahan kritis), membuat
sumur/mengalirkan air (fasilitas umum, irigasi), mengajarkan ilmu, yang memang benar-benar
sedang dibutuhkan masyarakat. Bilamana tidak mampu secara pribadi, toh bisa dilakukan secara
patungan. Seandainya dana umat Islam yang demikian besar untuk selamatan berupa makanan
(bahkan banyak makanan yang akhirnya dibuang sia-sia; dimakan ayam; lainnya menjadi isyrof)
dialihkan untuk memberi beasiswa kepada anak yatim atau kurang mampu agar bisa sekolah,
membenahi madrasah/sekolah islam agar kualitasnya sebaik sekolah faforit (yang umumnya milik
umat lain),atau menciptakan lapangan kerja dan memberi bekal ketrampilan bagi pengangguran,
niscaya akan lebih bermanfaat. Namun shodaqoh tersebut bukan suatu keharusan, apalagi bila
memang tidak mampu. Melakukannya menjadi keutamaan, bila tidak mau pun tidak boleh ada
celaan.

Sebagian ulama menyatakan mengirimkan pahala tidak selamanya harus dalam bentuk materi, Imam
Ahmad dan Ibnu Taimiyah berpendapat bacaan al- Quran dapat sampai sebagaimana puasa,
nadzar, haji, dll; sedang Imam Syafii dan Imam Nawawi menyatakan bacaan al-Quran untuk si mayit
tidak sampai karena tidak ada dalil yang memerintahkan hal tersebut, tidak dicontohkan Rasulullah
dan para shahabat. Berbeda dengan ibadah yang wajib atau sunnah muakad seperti shalat, zakat,
qurban, sholat jamaah, itikaf 10 akhir ramadhan, yang mana ada celaan bagi mereka yang
meninggalkannya dalam keadaan mampu. Akan tetapi di masyarakat kita selamatan
kematian/tahlilan telah dianggap melebihi kewajiban- kewajiban agama. Orang yang
meninggalkannya dianggap lebih tercela daripada orang yang meninggalkan sholat, zakat, atau
kewajiban agama yang lain. Sehingga banyak yang akhirnya memaksakan diri karena takut akan
sanksi sosial tersebut. Mulai dari berhutang, menjual tanah, ternak atau barang berharga yang
dimiliki, meskipun di antara keluarga terdapat anak yatim atau orang lemah. Padahal di dalam al-
Quran telah jelas terdapat arahan untuk memberikan perlindungan harta anak yatim; tidak memakan
harta anak yatim secara dzalim, tetapi menjaga sampai ia dewasa (QS an-Nisa: 2, 5, 10, QS al-
Anam: 152, QS al-Isra: 34) serta tidak membelanjakannya secara boros (QS an- Nisa: 6)

Dibalik selamatan kematian tersebut sesungguhnya juga terkandung tipuan yang memperdayakan.
Seorang yang tidak beribadah/menunaikan kewajiban agama selama hidupnya, dengan besarnya
prosesi selamatan setelah kematiannya akan menganggap sudah cukup amalnya, bahkan untuk
menebus kesalahan-kesalahannya. Juga seorang anak yang tidak taat beribadahpun akan
menganggap dengan menyelenggarakan selamatan, telah menunaikan kewajibannya
berbakti/mendoakan orang tuanya.

Imam Syafi'i rahimahullah dalam kitab al-Umm berkata:

"...dan aku membenci al-ma'tam, yaitu proses berkumpul (di tempat keluarga mayat) walaupun
tanpa tangisan, karena hal tersebut hanya akan menimbulkan bertambahnya kesedihan dan
membutuhkan biaya, padahal beban kesedihan masih melekat." (al-Umm (Beirut: Dar al-
Ma'rifah, 1393) juz I, hal 279)
Namun ketika Islam datang ke tanah Jawa ini, menghadapi kuatnya adat istiadat yang telah
mengakar. Masuk Islam tapi kehilangan selamatan-selamatan, beratnya seperti masyarakat Romawi
disuruh masuk Nasrani tapi kehilangan perayaan kelahiran anak Dewa Matahari 25 Desember.

Dalam buku yang ditulis H Machrus Ali, mengutip naskah kuno tentang jawa yang tersimpan di
musium Leiden, Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan
selamatan tersebut:Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk bid'ah. Sunan
Kalijogo menjawab: Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati
masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu.

Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo yang ditulis H. Lawrens Rasyidi dan diterbitkan Penerbit
Terbit Terang Surabaya juga mengupas panjang lebar mengenai masalah ini. Dimana Sunan
Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati dan Sunan Muria (kaum abangan)
berbeda pandangan mengenai adat istiadat dengan Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat
(kaum putihan). Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat lama seperti selamatan, bersaji,
wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman.

Sunan Ampel berpandangan lain: Apakah tidak mengkhawatirkannya di kemudian hari bahwa
adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama
Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bidah? Sunan kudus menjawabnya
bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada yang menyempurnakannya.
(hal 41, 64)

Dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, para Wali dibagi menjadi tiga
wilayah garapan

Pembagian wilayah tersebut berdasarkan obyek dakwah yang dipengaruhi oleh agama yang
masyarakat anut pada saat itu, yaitu Hindu dan Budha.

Pertama: Wilayah Timur. Di wilayah bagian timur ini ditempati oleh lima orang wali, karena
pengaruh hindu sangat dominan. Disamping itu pusat kekuasaan Hindu berada di wilayah Jawa
bagian timur ini (Jawa Timur sekarang) Wilayah ini ditempati oleh lima wali, yaitu Syaikh Maulana
Ibrahim (Sunan Demak), Raden Rahmat (Sunan Ampel), Raden Paku (Sunan Giri), Makdum Ibrahim
(Sunan Bonang), dan Raden Kasim (Sunan Drajat)

Kedua : Wilayah Tengah. Di wilayah Tengah ditempati oleh tiga orang Wali. Pengaruh Hindu tidak
begitu dominan. Namun budaya Hindu sudah kuat. Wali yang ditugaskan di sini adalah : Raden
Syahid (Sunan Kali Jaga), Raden Prawoto (Sunan Muria), Ja'far Shadiq (Sunan Kudus)

Ketiga : Wilayah Barat. Di wilayah ini meliputi Jawa bagian barat, ditempati oleh seorang wali, yaitu
Sunan Gunung Jati alias Syarief Hidayatullah. Di wilayah barat pengaruh Hindu-Budha tidak
dominan, karena di wilayah Tatar Sunda (Pasundan) penduduknya telah menjadi penganut agama
asli sunda, antara lain kepercayaan "Sunda Wiwitan"

Dua Pendekatan dakwah para wali.

1. Pendekatan Sosial Budaya


2. Pendekatan aqidah Salaf

Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati dan terutama Sunan Giri berusaha
sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran Islam secara murni, baik tentang aqidah maupun ibadah.
Dan mereka menghindarkan diri dari bentuk singkretisme ajaran Hindu dan Budha. Tetapi sebaliknya
Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Kalijaga mencoba menerima sisa-sisa ajaran Hindu dan
Budha di dalam menyampaikan ajaran Islam. Sampai saat ini budaya itu masih ada di masyarakat
kita, seperti sekatenan, ruwatan, shalawatan, tahlilan, upacara tujuh bulanan dll.

Pendekatan Sosial budaya dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra Tumenggung Wilwatika, Adipati
Majapahit Tuban. Pendekatan sosial budaya yang dilakukan oleh aliran Tuban memang cukup efektif,
misalnya Sunan Kalijaga menggunakan wayang kulit untuk menarik masyarakat jawa yang waktu itu
sangat menyenangi wayang kulit. Sebagai contoh dakwah Sunan kalijaga kepada Prabu Brawijaya V,
Raja Majapahit terakhir yang masih beragama Hindu, dapat dilihat di serat Darmogandul, yang
antara lain bunyinya; Punika sadar sarengat, tegese sarengat niki, yen sare wadine njegat;
tarekat taren kang osteri; hakikat unggil kapti, kedah rujuk estri kakung, makripat ngentos
wikan, sarak sarat laki rabi, ngaben aku kaidenna yayan rina" (itulah yang namanya sahadat
syariat, artinya syariat ini, bila tidur kemaluannya tegak; sedangkan tarekat artinya meminta
kepada istrinya; hakikat artinya menyatu padu , semua itu harus mendapat persetujuan suami
istri; makrifat artinya mengenal ; jadilah sekarang hukum itu merupakan syarat bagi mereka
yang ingin berumah tangga, sehingga bersenggama itu dapat dilaksanakan kapanpun
juga). Dengan cara dan sikap Sunan Kalijaga seperti tergambar di muka, maka ia satu-satunya Wali
dari Sembilan Wali di Jawa yang dianggap benar-benar wali oleh golongan kejawen (Islam
Kejawen/abangan), karena Sunan Kalijaga adalah satu-satunya wali yang berasal dari
penduduk asli Jawa (pribumi).

[Sumber : Abdul Qadir Jailani , Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia, hal. 22-23,
Penerbit PT. Bina Ilmu dan Muhammad Umar Jiau al Haq, M.Ag, Syahadatain Syarat Utama Tegaknya Syariat Islam,
hal. 51-54, Kata Pengantar Muhammad Arifin Ilham(Pimpinan Majlis Adz Zikra), Penerbit Bina Biladi Press.]

Nasehat Sunan Bonang

Salah satu catatan menarik yang terdapat dalam dokumen Het Book van Mbonang[1] adalah
peringatan dari sunan Mbonang kepada umat untuk selalu bersikap saling membantu dalam suasana
cinta kasih, dan mencegah diri dari kesesatan dan bidah. Bunyinya sebagai berikut:
Ee..mitraningsun! Karana sira iki apapasihana sami-saminira Islam lan mitranira kang asih
ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lanbidah.

Artinya: Wahai saudaraku! Karena kalian semua adalah sama-sama pemeluk Islam maka hendaklah
saling mengasihi dengan saudaramu yang mengasihimu. Kalian semua hendaklah mencegah dari
perbuatan sesat dan bidah.[2]

[1] Dokumen ini adalah sumber tentang walisongo yang dipercayai sebagai dokumen asli dan valid, yang tersimpan
di Museum Leiden, Belanda. Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa kajian oleh beberapa peneliti. Diantaranya
thesis Dr. Bjo Schrieke tahun 1816, dan Thesis Dr. Jgh Gunning tahun 1881, Dr. Da Rinkers tahun 1910, dan Dr. Pj
Zoetmulder Sj, tahun 1935.

[2] Dari info Abu Yahta Arif Mustaqim, pengedit buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para
Wali hlm. 12-13.

Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/21 Oktober


1926 mencantumkan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dan menyatakan bahwa selamatan kematian
adalah bid'ah yang hina namun tidak sampai diharamkan dan merujuk juga kepada Kitab Ianatut
Thalibin. Namun Nahdliyin generasi berikutnya menganggap pentingnya tahlilan tersebut sejajar
(bahkan melebihi) rukun Islam/Ahli Sunnah wal Jamaah. Sekalipun seseorang telah melakukan
kewajiban-kewajiban agama, namun tidak melakukan tahlilan, akan dianggap tercela sekali, bukan
termasuk golongan Ahli Sunnah wal Jamaah. Di zaman akhir yang ini dimana keadaan pengikut
sunnah seperti orang 'aneh' asing di negeri sendiri, begitu banyaknya orang Islam yang
meninggalkan kewajiban agama tanpa rasa malu, seperti meninggalkan Sholat Jum'at, puasa
Romadhon,dll. Sebaliknya masyarakat begitu antusias melaksanakan tahlilan ini, hanya segelintir
orang yang berani meninggalkannya. Bahkan non-muslim pun akan merasa kikuk bila tak
melaksanakannya. Padahal para ulama terdahulu senantiasa mengingat dalil-dalil yang menganggap
buruk walimah (selamatan) dalam suasana musibah tersebut. Dari sahabat Jarir bin Abdullah al-
Bajali: "Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta
penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)". (Musnad
Ahmad bin Hambal (Beirut: Dar al-Fikr, 1994) juz II, hal 204 & Sunan Ibnu Majah (Beirut: Dar al-Fikr)
juz I, hal 514)
MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU) KEPUTUSAN MASALAH
DINIYYAH NO: 18 / 13 RABIUTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926 DI SURABAYA

TENTANG KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH

TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang
datang bertaziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk
mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?

JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH,
apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum
makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.

KETERANGAN :

Dalam kitab Ianatut Thalibin Kitabul Janaiz:


MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun
untuk bertaziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari
Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit
dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian
dari RATAPAN (YANG DILARANG).

Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :


Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang
hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk
disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan TENTANG YANG DILAKUKAN PADA HARI
KETIGA KEMATIAN DALAM BENTUK PENYEDIAAN MAKANAN UNTUK PARA FAKIR DAN
YANG LAIN, DAN DEMIKIAN HALNYA YANG DILAKUKAN PADA HARI KETUJUH, serta yang
dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang
menghadiri proses taziyah jenazah.

Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk
setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan
merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuaan
(pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak?

Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam
pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan
sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari
kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti
wajib, bagaimana hukumnya.

Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas
termasuk BIDAH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram)
jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk meratapi atau
memuji secara berlebihan (rastsa).

Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal OCEHAN ORANG-
ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari
wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya,
gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian,
diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi terhadap seseorang yang
batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya
keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan
masyarakat.

Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak
harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-
pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli
waris).

[Buku "Masalah Keagamaan" Hasil Muktamar/ Munas Ulama NU ke I s/d XXX (yang terdiri dari 430 masalah) oleh KH.
A. Aziz Masyhuri ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah dan Pengasuh Ponpes Al Aziziyyah Denanyar
Jombang. Kata Pengantar Menteri Agama Republik Indonesia : H. Maftuh Basuni]

Hasil Scan halaman buku "Masalah Keagamaan" Hasil Muktamar/ Munas Ulama NU ke I s/d XXX
(yang terdiri dari 430 masalah);
Keterangan lebih lengkapnya lihat dalam KitabI'anatut Thalibin Juz 2 hal. 165
-166 , Seperti terlampir di bawah ini :

- - : * *
* * :
:
. .
. :

.
. .
:
- - - - - -
. .

. .
).(



. - -
:
.

. . ) (

.

) ( : - -
..
.
- .
.
.
.
.

: :
.
. )( :
.

. )( :
. .


. .

. : - -
. - - ) (
.
) ( : :
)( :

. . (
. :
. :
. .

: .
. . : -

Terjemahan kalimat yang telah digaris bawahi di atas, di dalam Kitab I'anatut Thalibin :

1. Ya, apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul di rumah keluarga mayit dan
dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk Bid'ah Mungkar, yang bagi orang (ulil
amri) yang melarangnya akan diberi pahala.

2. Dan apa yang telah menjadi kebiasaan, ahli mayit membuat makanan untuk orang-orang
yang diundang datang padanya, adalah Bid'ah yang dibenci.

3. Dan tidak diragukan lagi bahwa melarang orang-orang untuk melakukan Bid'ah Mungkarah
itu (Haulan/Tahlilan : red) adalah menghidupkan Sunnah, mematikan Bid'ah, membuka banyak
pintu kebaikan, dan menutup banyak pintu keburukan.
4. Dan dibenci bagi para tamu memakan makanan keluarga mayit, karena telah disyari'atkan
tentang keburukannya, dan perkara itu adalah Bid'ah. Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dan Ibnu Majah dengan sanad yang Shahih, dari Jarir ibnu Abdullah, berkata : "Kami
menganggap berkumpulnya manusia di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan ,
adalah termasuk Niyahah"

5. Dan dibenci menyelenggarakan makanan pada hari pertama, ketiga, dan sesudah seminggu
dst.

Hasil scan halaman kitab I'anatut Thalibin Juz 2 hal. 165 -166
Muhammadiyah, PERSIS dan Al Irsyad, sepakat mengatakan bahwa Tahlilan
(Selamatan Kematian) adalah perkara bid'ah, dan harus ditinggalkan

Dari Thalhah: "Sahabat Jarir mendatangi sahabat Umar, Umar berkata: Apakah kamu sekalian suka
meratapi mayat? Jarir menjawab: Tidak, Umar berkata: Apakah di antara wanita-wanita kalian semua
suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya? Jarir menjawab: Ya, Umar
berkata: Hal itu sama dengan meratap". (al-Mashnaf ibn Aby Syaibah (Riyad: Maktabah al-Rasyad,
1409), juz II hal 487) dari Sa'ied bin Jabir dan dari Khaban al-Bukhtary, kemudian dikeluarkan pula
oleh Abd al-Razaq: "Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyyah niyahah , hidangan dari keluarga
mayit, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit". (al-Mashnaf Abd al-Razaq al-
Shan'any (Beirut: al-Maktab al- Islamy, 1403) juz III, hal 550. dikeluarkan pula oleh Ibn Abi Syaibah
dengan lafazh berbeda melalui sanad Fudhalah bin Hashien, Abd al-Kariem, Sa'ied bin Jabbier) Dari
Ibn Aby Syaibah al-Kufy: "Telah berbicara kepadaku Yan'aqid bin Isa dari Tsabit dari Qais, beliau
berkata: saya melihat Umar bin Abdul Aziz melarang keluarga mayit mengadakan perkumpulan,
kemudian berkata: kalian akan mendapat bencana dan akan merugi".

Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: "Telah berbicara kepada kami, Waki' bin Jarrah dari Sufyan dari Hilal
bin Khabab al Bukhtary, beliau berkata: Makanan yang dihidangkan keluarga mayat adalah
merupakan bagian dari perbuatan Jahiliyah dan meratap merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah".

Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Arsyad al-Banjary dan Syekh Nuruddin ar- Raniry yang
merupakan peletak dasar-dasar pesantren di Indonesia pun masih berpegang kuat dalam
menganggap buruknya selamatan kematian itu. Shadaqah untuk mayit, apabila sesuai dengan
tuntunan syara' adalah dianjurkan, namun tidak boleh dikaitkan dengan hari ke tujuh atau hari- hari
lainnya, sementara menurut Syaikh Yusuf, telah berjalan kebiasaan di antara orang-orang yang
melakukan shadaqah untuk mayit dengan dikaitkan terhadap hari ketiga dari kematiannya, atau hari
ke tujuh, atau keduapuluh, atau keempatpuluh, atau keseratus dan sesudahnya hingga dibiasakan
tiap tahun dari kematiannya, padahal hal tersebut hukumnya makruh. Demikian pula makruh
hukumnya menghidangkan makanan yang ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul pada malam
penguburan mayit (biasa disebut al-wahsyah), bahkan haram hukumhukumnya biayanya berasal dari
harta anak yatim. (an-Nawawy al-Bantani, Nihayah al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi'ien (Beirut: Dar al-
Fikr) hal 281).

Pernyataan senada juga diungkapkan Muhammad Arsyad al-Banjarydalam Sabiel al-


Muhtadien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 87, sertaNurudin al-Raniry dalam Shirath al-
Mustaqim (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 50) Dari majalah al-Mawa'idz yang diterbitkan oleh NU pada
tahun 30-an, menyitir pernyataan Imam al-Khara'ithy yang dilansir oleh kitab al-Aqrimany disebutkan:
"al-Khara'ithy mendapat keterangan dari Hilal bin Hibban r.a, beliau berkata: 'Penghidangan makanan
oleh keluarga mayit merupakan bagian dari perbuatan orang-orang jahiliyah'. kebiasaan tersebut oleh
masyarakat sekarang sudah dianggap sunnah, dan meninggalkannya berarti bid'ah, maka telah
terbalik suatu urusan dan telah berubah suatu kebiasaan'. (al-Aqrimany dalam al-Mawa'idz;
PangrodjongNahdlatoel 'Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286).

Scan Kitab Kuning Sabilal Muhtadin (versi Arab Melayu) ditulis oleh Syaikh Muhammad
Arsyad Al Banjari (bemazhab Syafi'i) . Pada halaman 87 juz 2 , beliau mengatakan :

Makruh lagi bid'ah bagi yang kematian memperbuat makanan yang diserukannya
sekalian manusia atas memakannya, sebelum dan sesudah kematian seperti yang sudah
menjadi kebiasaan di masyarakat
Scan halaman Kitab yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari, seorang
ulama besar dari Kalimantan Selatan yang bermazhab Syafi'i. Beliau mengatakan :

"Makruh lagi bid'ah bagi yang kematian membikin makanan untuk dimakan oleh orang
banyak baik sebelum maupun sesudah mengubur seperti kebiasaan dikerjakan oleh
masyarakat".

Lihat hal. 741 alinea terakhir Buku Jilid 2, Bab Jenazah.

Al Mawa'idz merupakan sebuah nama bagi majalah yang dikelola oleh organisasi Nahdatul
Ulama Tasikmalaya, terbit sekitar pada tahun 30-an. Di dalam majalah ini, pihak NU (yang biasa
dikenal sebagai pendukung acara prevalensi perjamuan tahlilan) menyatakan sikap yang sebenarnya
terhadap kedudukan hukum prevalensi tersebut. Berikut kutipannya :

Tjindekna ngadamel rioengan di noe kapapatenan teh, ngalanggar tiloe perkara :

1. Ngabeuratkeun ka ahli majit; enja ari teu menta tea mah, orokaja da ari geus djadi adat mah
sok era oepama henteu teh . Geura oepama henteu sarerea mah ?
2. Ngariweuhkeun ka ahli majit; keur mah loba kasoesah koe katinggal maot oge, hajoh
ditambahan.
3. Njoelajaan Hadits, koe hadits mah ahli majit noe koedoe di bere koe oerang, ieu mah hajoh
oerang noe dibere koe ahli majit.

Kesimpulannya mengadakan perjamuan di rumah keluarga mayat yang sedang berduka cita, berarti
telah melanggar tiga hal :

1. Membebani keluarga mayat, walaupun tidak meminta untuk menyuguhkan makanan, namun
apabila sudah menjadi kebiasaan, maka keluarga mayat akan menjadi malu apabila tidak
menyuguhkan makanan. Tetapi coba kalau semua orang tidak melakukan hal serupa itu ?

2. Merepotkan keluarga mayat, sudah kehilangan anggota keluarga yang dicintai, ditambah pula
bebannya.

3. Bertolak belakang dengan hadits. Menurut hadits justru kita tetangga yang harus mengirimkan
makanan kepada keluarga mayat yang sedang berduka cita, bukan sebaliknya.

Kemudian ditempat lain :

Tah koe katerangan Sajjid Bakri dina ieu kitab I'anah geuning geus ittifaq oelama-oelama
madhab noe 4 kana paadatan ittiehadz tho'am (ngayakeun kadaharan) ti ahli majit noe
diseboetkeun njoesoer tanah, tiloena, toejoehna dj.s.t. njeboetkeun bid'ah moenkaroh.

Nah, berdasarkan keterangan Sayid Bakr di dalam kitab I'anah tersebut, ternyata para ulama dari 4
mazhab telah menyepakati bahwa kebiasaan keluarga mayit mengadakan perjamuan yang biasa
disebut dengan istilah Nyusur Tanah, tiluna (hari ketiganya), tujuhnya (hari ketujuhnya), dst,
merupakan perbuatan bid'ah yang tidak disukai agama.

Selanjutnya :

Koeninga koe ieu toekilan-toekilan noe ngahoekoeman bid'ah moenkaroh, karohah haram teh
geuning oelama-oelama ahli soennah wal Djama'ah, lain bae Attobib, Al Moemin, Al Mawa'idz.
Doeka anoe ngahoekoeman soennat naha ahli Soennah wal Djama'ah atawa sanes ?

Melalui kutipan-kutipan tersebut, diketahui bahwa sebenarnya yang menghukumi bid'ah mungkarah
itu ternyata ulama-ulama Ahlu Sunnah wal Jama'ah, bukan hanya majalah Attobib, Al Moemin, Al
Mawa'idz. Tidak tahu siapa yang menghukumi sunnat, apakah Ahlu Sunnah wal Jama'ah atau
bukan ?

Berdasarkan kutipan-kutipan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa warga Nu pada waktu itu
sepakat pandangannya terhadap hukum prevalensi perjamuan tahlilan, yaitu bid'ah yang
dimakruhkan dengan makruh tahrim, (menjadi haram karena sebab lain) apabila biaya
penyelenggaraan acara tersebut berasal dari tirkah mayit (peninggalan mayit) yang di dalamnya
terdapat ahli waris yang belum baligh atau mahjur 'alaihi ( di bawah pengampuan/curatel).

Demikian isi majalah tersebut. [Al Mawa'dz; Pangrodjong Nahdlatoel Oelama Tasikmalaya
(Tasikmalaya: Nahdlatoel Oelama, 1933)]

Dan para ulama berkata: "Tidak pantas orang Islam mengikuti kebiasaan orang Kafir, oleh karena itu
setiap orang seharusnya melarang keluarganya dari menghadiri acara semacam itu". (al-Aqrimany
hal 315 dalam al-Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285)
Al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati dalam kitabnya I'anah at- Thalibien menghukumi makruh
berkumpul bersama di tempat keluarga mayat, walaupun hanya sebatas untuk berbelasungkawa,
tanpa dilanjutkan dengan proses perjamuan tahlilan. Beliau justru menganjurkan untuk segera
meninggalkan keluarga tersebut, setelah selesai menyampaikan ta'ziyah. (al-Sayyid al-Bakry Abu
Bakr al-Dimyati, I'anah at- Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr, 1414) juz II, hal 146)

Ibn Taimiyah ketika menjawab pertanyaan tentang hukum dari al-Ma'tam: "Tidak diterima keterangan
mengenai perbuatan tersebut apakah itu hadits shahih dari Nabi, tidak pula dari sahabat-sahabatnya,
dan tidak ada seorangpun dari imam-imam muslimin serta dari imam madzhab yang empat (Imam
Hanafy, Imam Maliki, Imam Syafi'i, Imam Ahmad) juga dari imam-imam yang lainnya, demikian pula
tidak terdapat keterangan dari ahli kitab yang dapat dipakai pegangan, tidak pula dari Nabi, sahabat,
tabi'ien, baik shahih maupun dlaif, serta tidak terdapat baik dalam kitab-kitab shahih, sunan-sunan
ataupun musnad-musnad, serta tidak diketahui pula satupun dalam hadits-hadits dari zaman nabi
dan sahabat.

" Menurut pendapat Mufty Makkah al-Musyarafah, Ahmad bin Zainy Dahlan yang dilansir dalam
kitab I'anah at-Thalibien: "Tidak diragukan lagi bahwa mencegah masyarakat dari
perbuatan bid'ah munkarahtersebut adalah mengandung arti menghidupkan sunnah dan
mematikan bid'ah, sekaligus berarti menbuka banyak pintu kebaikan dan menutup banyak
pintu keburukan". (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I'anah at-Thalibien juz II, hal 166)
Memang seolah-olah terdapat banyak unsur kebaikan dalam tahlilan itu, namun bila dikembalikan ke
dalam hukum agama dimana Hadits ke-5 Arbain an- Nawawiyah disebutkan: Dari Ummul mukminin,
Ummu 'Abdillah, Aisyah radhiallahu 'anha, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: Barangsiapa
yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia
tertolak". (Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718)

Ahli Sunnah wal Jamaah adalah instrumen untuk menjaga kemurnian Islam ini meskipun sampai
akhir zaman Allah tidak mengutus Rasul lagi. Dibalik larangan bidah terkandung hikmah yang sangat
besar, membentengi perubahan- perubahan dalam agama akibat arus pemikiran dan adat istiadat
dari luar Islam. Bila pada umat-umat terdahulu telah menyeleweng agamanya, Allah mengutus Rasul
baru, maka pada umat Muhammad ini Allah tidak akan mengutus Rasul lagi sampai kiamat, namun
membangkitkan orang yang memperbarui agamanya seiring penyelewengan yang terjadi. Ibadah
yang disunnahkan dibandingkan dengan yang diada-adakan hakikatnya sangat berbeda, bagaikan
uang/ijazah asli dengan uang/ijazah palsu, meskipun keduanya tampak sejenis. Yang membedakan
72 golongan ahli neraka dengan 1 golongan ahli surga adalah sunnah dan bidah. Umat ini tidak
berpecahbelah sehebat perpecahan yang diakibatkan oleh bidah. Perpecahan umat akibat perjudian,
pencurian, pornografi, dan kemaksiatan lain akan menjadi jelas siapa yang berada di pihak Islam dan
sebaliknya. Sedang perpecahan akibat bidah senantiasa lebih rumit, kedua belah pihak yang bertikai
kelihatannya sama-sama alim. Ibn Abbas r.a berkata: "Tidak akan datang suatu zaman kepada
manusia, kecuali pada zaman itu semua orang mematikan sunnah dan menghidupkan bid'ah, hingga
matilah sunnah dan hiduplah bid'ah. tidak akan ada orang yang berusaha mengamalkan sunnah dan
mengingkari bid'ah, kecuali orang tersebut diberi kemudahan oleh Allah di dalam menghadapi segala
kecaman manusia yang diakibatkan karena perbuatannya yang tidak sesuai dengan keinginan
mereka serta karena ia berusaha melarang mereka melakukan apa yang sudah dibiasakan oleh
mereka, dan barangsiapa yang melakukan hal tersebut, maka Allah akan membalasnya dengan
berlipat kebaikan di alam Akhirat".(al- Aqriman y hal 315 dalam al-Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel
'Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286)

Sekali lagi kami ulangi...

Sehingga disimpulkan oleh Majalah al-Mawa'idz bahwa mengadakan perjamuan di rumah keluarga
mayit berarti telah melanggar tiga hal:

1. Membebani keluarga mayit, walaupun tidak meminta untuk menyuguhkan makanan, namun
apabila sudah menjadi kebiasaan, maka keluarga mayit akan menjadi malu apabila tidak
menyuguhkan makanan.

2. Merepotkan keluarga mayit, sudah kehilangan anggota keluarga yang dicintai, ditambah pula
bebannya.

3. Bertolak belakang dengan hadits. Menurut hadits, justeru kita (tetangga) yang harus mengirimkan
makanan kepada keluarga mayit yang sedang berduka cita, bukan sebaliknya. (al-Mawa'idz;
Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama Tasikmalaya, hal 200)

Kemudian, berdasarkan keterangan Sayid Bakr di dalam kitab 'Ianah, ternyata para ulama dari empat
madzhab telah menyepakati bahwa kebiasaan keluarga mayit mengadakan perjamuan yang biasa
disebut dengan istilah nyusur tanah, tiluna, tujuhna, dst merupakan perbuatan bid'ah yang tidak
disukai agama (hal 285). Melalui kutipan-kutipan tersebut, diketahuilah bahwa sebenarnya yang
menghukumi bid'ah munkarah itu ternyata ulama-ulama Ahl as-Sunnah wa al- Jamaah, bukan hanya
(majalah) Attobib, al-moemin, al-Mawa'idz. tidak tau siapa yang menghukumi sunat, apakah Ahl as-
Sunnah wa al-Jamaah atau bukan (hal 286). Dan dapat dipahami dari dalil-dalil terdahulu, bahwa
hukum dari menghidangkan makanan oleh keluarga mayit adalah bid'ah yang dimakruhkan dengan
makruh tahrim (makruh yang identik dengan haram). demikian dikarenakan hukum dari niyahah
adalah haram, dan apa yang dihubungkan dengan haram, maka hukumnya adalah haram". (al-
Aqrimany hal 315 dalam al- Mawa'idz; Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No.
18, hal.286) Kita tidaklah akan lepas dari kesalahan, termasuk kesalahan akibat ketidaktahuan,
ketidaksengajaan, maupun ketidakmampuan. Namun jangan sampai kesalahan yang kita lakukan
menjadi sebuah kebanggaan. Baik yang menghukumi haram maupun makruh, sebagaimana halnya
rokok, tahlilan, dll selayaknya diusahakan untuk ditinggalkan, bukan dibela-bela dan dilestarikan.

BERIKUT INI ADALAH FATWA-FATWA DARI ULAMA 4 MADZHAB MENGENAI


SELAMATAN KEMATIAN

I. MADZHAB HANAFI

HASYIYAH IBN ABIDIEN

Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya
pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah, hukumnya buruk apabila hal
tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dengan sanad yang
shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: "Kami (para sahabat) menganggap kegiatan
berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian
dari niyahah". Dan dalam kitab al-Bazaziyah dinyatakan bahwa makanan yang dihidangkan pada hari
pertama, ketiga, serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya. (Muhammad Amin, Hasyiyah
Radd al- Muhtar 'ala al-Dar al-Muhtar (Beirut: Dar al-Fikr, 1386) juz II, hal 240)

AL-THAHTHAWY

Hidangan dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab al- Bazaziyah bahwa
hidangan makanan yang disajikan PADA HARI PERTAMA, KETIGA, SERTA SEMINGGU SETELAH
KEMATIAN MAKRUH HUKUMNYA. (Ahmad bin Ismain al-Thahthawy, Hasyiyah 'ala Muraqy al-
Falah (Mesir: Maktabah al-Baby al-Halaby, 1318), juz I hal 409).

IBN ABDUL WAHID SIEWASY

Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya
pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah. hukumnyabid'ah yang
buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadits
dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: "Kami (para sahabat)
menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh
mereka merupakan bagian dari niyahah". (Ibn Abdul Wahid Siewasy, Syarh Fath al-Qadir (Beirut: Dar
al-Fikr) juz II, hal 142)

II.MADZHAB MALIKI

AL-DASUQY

Adapun berkumpul di dalam rumah keluarga mayit yang menghidangkan makanan hukumnya bid'ah
yang dimakruhkan. (Muhammad al-Dasuqy, Hasyiyah al- Dasuqy 'ala al-Syarh al-Kabir (Beirut: Dar
al-Fikr) juz I, hal 419)

ABU ABDULLAH AL-MAGHRIBY

Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara
tersebut dimakruhkan oleh mayoritas ulama, bahkan mereka menganggap perbuatan tersebut
sebagai bagian dari bid'ah, karena tidak didapatkannya keterangan naqly mengenai perbuatan
tersebut, dan momen tersebut tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta)... adapun apabila
keluarga mayit menyembelih binatang di rumahnya kemudian dibagikan kepada orang- orang fakir
sebagai shadaqah untuk mayit diperbolehkan selama hal tersebut tidak menjadikannya riya, ingin
terkenal, bangga, serta dengan syarat tidak boleh mengumpulkan masyarakat. (Abu Abdullah al-
Maghriby, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil (Beirut: Dar al-Fikr, 1398) juz II, hal 228)

III.MADZHAB SYAFII

AL-SYARBINY

Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara
tersebut, hukumnyabid'ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, Mughny
al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 386) Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan
makanan dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid'ah yang tidak
disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, al-Iqna' li al-Syarbiny (Beirut: Dar al-Fikr, 1415) juz
I, hal 210)
AL-QALYUBY

Guru kita al-Ramly telah berkata: sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam kitab al-Raudl (an-
Nawawy), sesuatu yang merupakan bagian dari perbuatan bid'ah munkarah yang tidak disukai
mengerjakannya adalah yang biasa dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan makanan
untuk mengumpulkan tetangga, baik sebelum maupun sesudah hari kematian.(a l- Qalyuby, Hasyiyah
al-Qalyuby (Indonesia: Maktabah Dar Ihya;') juz I, hal 353)

AN-NAWAWY

Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara
tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan bid'ah yang tidak
disunnahkan. (an-Nawawy, al-Majmu' (Beirut: Dar al-Fikr, 1417) juz V, hal 186) IBN HAJAR AL-
HAETAMY Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh
keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid'ah munkarah yang
dimakruhkan, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (Ibn Hajar al-
Haetamy, Tuhfah al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 577)

AL-SAYYID AL-BAKRY ABU BAKR AL-DIMYATI

Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit,
dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid'ah yang dimakruhkan, seperti hukum
mendatangi undangan tersebut, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah.
(al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I'anah at-Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 146)

AL-AQRIMANY

Adapun makanan yang dihidangkan oleh keluarga mayit pada hari ketiga, keempat, dan sebagainya,
berikut berkumpulnya masyarakat dengan tujuan sebagai pendekatan diri serta persembahan kasih
sayang kepada mayit, hukumnya bid'ah yang buruk dan merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah
yang tidak pernah muncul pada abad pertama Islam, serta bukan merupakan bagian dari pekerjaan
yang mendapat pujian oleh para ulama. justeru para ulama berkata: tidak pantas bagi orang muslim
mengikuti perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang kafir. seharusnya setiap orang
melarang keluarganya menghadiri acara-acara tersebut. ((al-Aqrimany hal 314 dalam al-Mawa'idz;
Pangrodjong Nahdlatoel 'Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285)
RAUDLAH AL-THALIBIEN

Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan pengumpulan masyarakat terhadap acara
tersebut, tidak ada dalil naqlinya, bahkan perbuatan tersebut hukumnya bid'ah yang tidak
disunnahkan. (Raudlah al-Thalibien (Beirut: al- Maktab al-Islamy, 1405) juz II, hal 145)

IV. MADZHAB HAMBALI

IBN QUDAMAH AL-MAQDISY

Adapun penghidangan makanan untuk orang-orang yang dilakukan oleh keluarga mayit, hukumnya
makruh. karena dengan demikian berarti telah menambahkan musibah kepada keluarga mayit, serta
menambah beban, sekaligus berarti telah menyerupai apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang
jahiliyah. dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar, kemudian Umar berkata: "Apakah kalian
suka berkumpul bersama keluarga mayat yang kemudian menghidangkan makanan?" Jawab Jarir:
"Ya". Berkata Umar: "Hal tersebut termasuk meratapi mayat". Namun apabila hal tersebut
dibutuhkan, maka diperbolehkan, seperti karena diantara pelayat terdapat orang-orang yang jauh
tempatnya kemudian ikut menginap, sementara tidak memungkinkan mendapat makanan kecuali dari
hidangan yang diberikan dari keluarga mayit. (Ibn Qudamah al-Maqdisy, al-Mughny (Beirut: Dar al-
Fikr, 1405) juz II, hal 214)

ABU ABDULLAH IBN MUFLAH AL-MAQDISY

Sesungguhnya disunahkan mengirimkan makanan apabila tujuannya untuk (menyantuni) keluarga


mayit, tetapi apabila makanan tersebut ditujukan bagi orang-orang yang sedang berkumpul di sana,
maka hukumnya makruh, karena berarti telah membantu terhadap perbuatan makruh; demikian pula
makruh hukumnya apabila makanan tersebut dihidangkan oleh keluarga mayit) kecuali apabila ada
hajat, tambah sang guru [Ibn Qudamah] dan ulama lainnya).(A bu Abdullah ibn Muflah al-Maqdisy, al-
Furu' wa Tashhih al-Furu' (Beirut: Dar al-Kutab, 1418) juz II, hal 230-231)

ABU ISHAQ BIN MAFLAH AL-HANBALY

Menghidangkan makanan setelah proses penguburan merupakan bagian dari niyahah, menurut
sebagian pendapatharam, kecuali apabila ada hajat, (tambahan dari al-Mughny). Sanad hadits
tentang masalah tersebut tsiqat (terpercaya). (Abu Ishaq bin Maflah al-Hanbaly, al-Mabda' fi Syarh al-
Miqna' (Beirut: al-Maktab al-Islamy, 1400) juz II, hal 283)

MANSHUR BIN IDRIS AL-BAHUTY

Dan dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk menghidangkan makanan kepada para tamu,
berdasarkan keterangan riwayat Imam Ahmad dari Shahabat Jarir. (Manshur bin Idris al-Bahuty, al-
Raudl al-Marbi' (Riyadl: Maktabah al-Riyadl al-Hadietsah, 1390) juz I, hal 355)

KASYF AL-QANA'

Menurut pendapat Imam Ahmad yang disitir oleh al-Marwadzi, perbuatan keluarga mayit yang
menghidangkan makanan merupakan kebiasaan orang jahiliyah, dan beliau sangat
mengingkarinya...dan dimakruhkan keluarga mayit menghidangkan makanan (bagi orang-orang
yang sedang berkumpul di rumahnya kecuali apabila ada hajat, seperti karena di antara para tamu
tersebut terdapat orang-orang yang tempat tinggalnya jauh, mereka menginap di tempat keluarga
mayit, serta secara adat tidak memungkinkan kecuali orang tersebut diberi makan), demikian pula
dimakruhkan mencicipi makanan tersebut. Apabila biaya hidangan makanan tersebut berasal dari
peninggalan mayit, sedang di antara ahli warisnya terdapat orang (lemah) yang berada di bawah
pengampuan, atau terdapat ahli waris yang tidak memberi izin, maka haram hukumnya melakukan
penghidangan tersebut. (Kasyf al-Qina' (Beirut: Dar al-Fikr, 1402) juz II, hal 149)

IBN TAIMIYAH

Adapun penghidangan makanan yang dilakukan keluarga mayit (dengan tujuan) mengundang
manusia ke acara tersebut, maka sesungguhnya perbuatan tersebut bid'ah, berdasarkan perkataan
Jarir bin Abdillah: "Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit,
serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah". (Ibn Taimiyah, Kutub wa
Rasail wa Fatawa Ibn Taimiyah fi al-Fiqh (Maktabah Ibn Taimiyah) juz 24, hal 316)

Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat, bila ada kesalahan mohon maaf dan koreksinya. Sampaikanlah kepada saudara-
saudara kita sebagai upaya untuk memperbaiki umat Islam ini

Di rujuk kepada tulisan:


Catatan Satu Hari, Satu Ayat Qur'an. Dengan editing dan penambahan literatur dan gambar halaman buku yang discan oleh
Anwar Baru Belajar.
http://www.facebook.com/note.php?note_id=402269969650&id=203164362857&ref=mf
_______________________________________________________

Catatan Tepi untuk direnungi:

Termasuk dalam kategori hukum yang manakah Tahlilan [selamatan Kematian] ?

Klasifikasi hukum dalam Islam secara umum ada 5 (lima) kalau tidak termasuk; Shahih,
Rukhsoh, Bathil, Rukun, Syarat dan 'Azimah.(Mabadi' awaliyyah, Abd Hamid Hakim)

1. Wajib : Apabila dikerjakan berpahala, ditinggalkan berdosa.

2. Sunnah/Mandub : Apabila dikerjakan berpahala, ditinggalkan tidak apa-apa.

3. Mubah : Tidak bernilai, dikerjakan atau tidak dikerjakan tidak mempunyai nilai.

4. Makruh : Dibenci, apabila dikerjakan dibenci, apabila ditinggalkan berpahala.

5. Haram : Dikerjakan berdosa, ditinggalkan berpahala.

Pertanyaan :

1. Apakah Tahlilan [yang dimaksud :Selamatan Kematian] di dalamnya terkandung ibadah


?
2. Termasuk dalam hukum yang mana Tahlilan tersebut ?

Jawab :

1. Karena didalamnya ada pembacaan do'a, baca Yasin, baca sholawat, baca Al Fatikhah,
maka ia termasuk ibadah. Hukum asal ibadah adalah "haram" dan "terlarang". Kalau Allah
dan Rasulullah tidak memerintahkan, maka siapa yang memerintahkan ? Apakah yang
memerintahkan lebih hebat daripada Allah dan Rasulullah

2. Jika hukumnya "wajib", maka bila dikerjakan berpahala, bila tidak dikerjakan maka
berdosa. Maka bagi negara lain yang penduduknya beragama Islam, terhukumi berdosa
karena tidak mengerjakan. Ternyata tahlilan, hanya di lakukan di sebagian negara di Asia
Tenggara

Wajibkah Tahlilan ? Ternyata tidak, karena tidak ada perintah Allah dan Rasul untuk
melakukan ritual tahlilan (Selamatan Kematian : red)

Sunnahkah Tahlilan ? Ternyata ia bukan sunnah Rasul, sebab Rasulullah sendiri belum
pernah mentahlili istri beliau, anak beliau dan para syuhada.

Nah..berarti hukumnya bukan Wajib, juga bukanSunnah.

Kalau seandainya hukumnya Mubah, maka untuk apa dikerjakan, sebab ia tidak
mempunyai nilai (tidak ada pahala dan dosa, kalau dikerjakan atau ditinggalkan). Sudah
buang-buang uang dan buang-buang tenaga, tetapi tidak ada nilainya.

Jadi, tinggal 2 (dua) hukum yang tersisa, yaitu Makruh dan Haram. Makruh apabila
dikerjakan dibenci, apabila ditinggalkan berpahala. Haram : Dikerjakan berdosa,
ditinggalkan berpahala.

Jadi.sekarang pilih yang mana ? Masih mau melakukan atau tidak ?


__________________________

Wallahu a'lam
Anwar Baru Belajar

Anda mungkin juga menyukai