Anda di halaman 1dari 36

PELAKSANAAN PENDIDIKAN SANTUNAN ANAK YATIM DI

PESANTREN AL-HABIB SHOLEH BIN ALAWI AL-HADDAD


(STUDI LIVING QUR’AN)

PROPOSAL PENELITIAN

DISUSUN OLEH:
ARIYANDI UMAR
NIM:11734022

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONTIANAK
TAHUN 2021 M / 1443 H
A. Latar Belakang
Al-Qur’an Al-Karim yang disebut sebagai wahyu dan kalam

Allah disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. melalui jibril untuk

diteruskan kepada umat manusia di dunia ini. Dapat dipastikan bahwa

ketika Nabi Muhammad SAW. menerima wahyu ini, beliau mengerti

dan mengetahui maksud dan tujuan diturunkannya yang sebenarnya.

Sebab, tidak logis jika seorang seperti Nabi Muhammad SAW. tidak

mengetahui isi-isi Al-Qur’an yang berbentuk ajaran umtuk diteruskan

dan diterapkan kepada umat manusia ini karena tidak dimengerti

Dalam hal ini, dapat digambarkan seperti sebuah surat dari penjabat

tinggi yang disampaikan kepada bawahan. Sebelum diteruskan kepada

rakyat, pejabat tinggi tersebut harus mengetahuinya lebih dahulu,

bahkan terkadang harus menghafal isinya, serta mengetahui cara

menyampaikannya sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat yag

akan menerimanya. (Khaeruman, 2010:14)

Ketika manusia telah sampai pada titik terendah dalam jurang

kesesatan pada saat itu telah selesai pula arena yan dipersiapkan bagi

munculnya seorang pahlawan. Allah Subhanahu wa Ta’ala

mempersiapkannya untuk mengubah segalanya, mengubah perjalanan

sejarah, mengubah tatanan dunia, kemudian menerangi dunia dengan

cahaya keadilan dan menghapus segala kegelapan, kezaliman, dan

kesesatan dimuka bumi ini (Said,2016:16)

Al-Qur‟an memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan di


berbagai segi kehidupan, baik yang berkaitan dengan masalah

kejiwaan, jasmani, sosial, ekonomi maupun politik, dengan pemecahan

yang penuh bijaksana, karena ia diturunkan oleh yang Maha Bijaksana

lagi Maha Terpuji. Untuk menjawab setiap problem yang ada, Al-

Qur‟an meletakan dasar-dasar umum yang dapat dijadikan landasan

oleh manusia, yang relevan di segala zaman. Dengan demikian, Al-

Qur‟an akan selalu aktual di setiap waktu dan tempat. Sebab, islam

adalah agama abadi (al-Qaththan, 20: 16).

Selain itu, dalam fungsi primordialnya, Al-Qur‟an adalah

petunjuk (hudan) bagi jalan hidup seluruh umat manusia. Semangatnya,

terutama ketika memberi kabar gembira dan juga kerasnya ancaman

yang ditunjukan kepada setiap orang yang melakukan kejahatan

menjadikan Al-Qur‟an benar-benar sebagai mukjizat kalam ilahi

yang akan membimbing perjalanan hidup manusia menuju keselamatan

yang dicita-citakannya (Ali Yafi, 1989: 3)

Dalam banyak ayat, al-Qur’an menegaskan kerasnya peringatan

terhadap perilaku penyimpangan dan penyepelean dalam menjalankan

aspek kehidupan. Diantaranya dalam surat al-Ma’un ayat 1-2 yang

menyatakan:

‫َاَر َء ْيَت اَّلِذ ْي ُيَك ِّذ ُب ِبالِّدْيِۗن َفٰذ ِلَك اَّلِذ ْي َيُدُّع اْلَيِتْيَۙم‬

Artinya: “Tidakkah engkau melihat orang yang mendustakan agama?

Itulah orang yang menghardik anak yatim.” (Q.S. Al-Ma’un [107]:1-2)

Qatadah, salah satu sahabat Rasulullah SAW, berpendapat bahwa


maknanya adalah menghardik dan mendzalimi mereka (al-Qurthubi,

2009: 790). Maksudnya adalah, orang yang mendustakan agama adalah

orang yang mencegah anak yatim dari haknya dan mendzhaliminya (at-

Thabari, 2009: 893). Sesungguhnya orang yang mendustakan agama

adalah orang yang menghardik anak yatim dengan kasar yakni orang

yang menghinakan dan menyakiti anak yatim, juga tidak berpesan

untuk memperhatikannya. Seandainya ia benar-benar membenarkan

agama, sekiranya pembenaran ini telah menghujam didalam hatinya,

pasti ia tidak akan membiarkan anak yatim (Qutb, 2003: 627).

Terkait dengan anak yatim, ketiadaan ayah dalam keluarga dan

berkecimpungnya ibu di bidang profesi dengan menjadi tulang

punggung keluarga dapat menimbulkan penyimpangan perlakuan

terhadap anak. Pasalnya dengan meninggalnya ayah, anak telah

kehilangan sosok yang dapat menjadikan diriya sebagai pribadi yang

mandiri dan mampu beradaptasi dengan masyarakat sekitar. Di sisi

lain, ibu sebagai peran pengganti ayah telah menyibukkan diri untuk

mencari nafkah bagi kelangsungan hidup keluarga.

Dengan demikian, anak kehilangan kesempatan bertatap muka

dengan sang ibu sehingga menyebabkan anak kurang mendapatkan

kasih sayang dari ibu. Kondisi semacam ini menuntut adanya

kepedulian masyarakat sehingga dengan partisipasi masyarakat

diharapkan dapat tercipta kehidupan ideal dimana terjadi harmonisasi

antara kepentingan individu untuk memelihara keturunan dan


kepentingan masyarakat untuk menciptakan masyarakat yang baik

(Amin,2010:04)
Al-Qur‟an menjelaskan tentang anak-anak yatim dalam berbagai

kaitan antara lain, dengan agama, keimanan, harta, warisan, rampasa

perang, perkawinan, dan sebagainya. Hal ini menunjukan bahwa persoalan

anak yatim dalam Al-Qur‟an bukan semata-mata masalah sosial dan

kemanusiaan, tetapi juga berhubugan dengan persoalan keagamaan dan

keimanan yang berpengaruh kelak di akhirat. Oleh karena itu masalah

anak yatim dalam Islam termasuk hal yang sangat penting, sehingga

memerlukan perhatian dan penanganan yang serius dari orang-orang yang

memiliki kepedulian dan kecukupan. Allah Swt memerintahkan orang-

orang yang beriman dan bertakwa agar memperhatikan, memelihara,

membantu, menolong, dan melindungi anak yatim dengan cara-cara yang

telah ditetapkan-Nya (Muhsin, 2010: 6).

Hidup anak-anak yatim juga harus dimuliakan. Mereka yang tidak

mau memuliakan anak-anak yatim mendapat teguran dan peringatan dari

Allah swt. Al- Qur‟an menegaskan.

‫َك اَّل َبْل اَّل ُتْك ِر ُم ْو َن اْلَيِتْيَۙم‬


Artinya: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak
memuliakan anak yatim” (Q.S: Al-Fajr [89] 17).

M. Quraish Shihab menafsirkan ayat tersebut sebagai peringatan

Allah terhadap masyarakat Makkah yang tidak memberi penghormatan kepada

anak yatim. Penghormatan yang dimaksud adalah memberikan perhatian dan

perlakuan yang wajar kepada anak yatim (Shihab, 2010:185). Memuliakan anak-
anak yatim dapat membesarkan hati dan mengangkat harga diri mereka, sehingga

mereka menjadi tegar dan bersemangat dalam menghadapi kehidupan dan masa

depan. Mereka tidak boleh dihina dan direndahkan. Perasaan mereka yang

sensitif perlu dijaga. Jangan sampai kita mengucapkan kata-kata kasar yang

menyinggung apalagi sampai memukul (Muhsin, 2010: 7).

Pada era modern sekarang organisasi masyarakat penentang

kekerasan terhadap anak memang semakin banyak. Sayangnya aksi

tersebut belum bisa mencapai hati masyarakat. Nyatanya, masih banyak

kasus kekerasan terhadap anak. Salah satu kasus pernah menimpa anak

berumur 14 tahun yang bernama Hendra, seorang yatim putra dari (alm)

Yayat dan Aminah warga Kampung Panagan Desa Sukakerta kecamatan

Cilaku kabupaten Cianjur. Dia tewas karena disiksa setelah dituduh

mencuri bawang dan dipaksa untuk mengakuinya (Tribun Jogja, 29

September 2017).

Walaupun demikian, di balik peristiwa ironis di atas, secara umum

kesadaran masyarakat Muslim terhadap penyantunan anak yatim masih

begitu kuat. Seruan dan ajakan untuk kegiatan amal yang disampaikan

oleh para pemuka agama masih sering diperdengarkan. Ajakan untuk

beraksi nyata pun tampak marak dari pembukaan rekening-rekening donasi

pagi santunan anak yatim. Fenomena ini adalah indikasi jelas dari

pemahaman dan pengamalan umat Islam terhadap dasar ajaran agamanya

yang secara eksplisit dan gambling sangat memperhatikan anak Yatim.


Di kalangan masyarakat Muslim Indonesia, aktivitas memuliakan

dan menyantuni anak yatim dijalankan oleh berbagai pihak. Ada yang

berbentuk individual dimana secara sukarela masing-masing keluarga

Muslim mengadopsi anak Yatim dan menyantuninya hingga mereka

mandiri. Ada pula masyarakat Muslim yang secara kolektif kerjasama

membentuk organisasi penyantunan anak yatim. Sehingga kita dengan

mudah dapat menemukan panti-panti asuhan atau lembaga pendidikan

yang memfasilitasi anak yatim.

Salah satu lembaga terdepan yang aktif dalam memelihara dan

menyantuni anak yatim adalah pondok pesantren. Sebagai garda terdepan

dalam membentuk generasi masyarakat Islami, pondok pesantren sangat

peduli dengan kondisi perkembangan anak-anak dengan mempersiapkan

fisik dan mental mereka untuk menjadi pribadi mandiri di masa yang akan

datang.

Anak Yatim menjadi salah satu prioritas perhatian utama pesantren

baik karena alasan sosiologis dan terutama karena faktor tuntutan agama.

Di antara banyak pesantren yang begitu peduli dengan pemeliharaan

dan penyantunan anak yatim adalah Pesantren al-Habib Sholeh bin Alwi

al-Haddad yang berdomisili di wilayah Kabupaten Kubu Raya,

Kalimantan Barat. Di samping mendidik generasi Muslim yang berasal

dari latar belakang keluarga normal dan mampu, pesantren ini memberikan

fasilitas lebih terhadap anak yatim. Pesantren al-Habib Sholeh bin Alwi al-
Haddad bahkan tercatat memelihara dan menyantuni lebih dari 300 an

anak Yatim.

Tidaklah mudah menyisihkan harta dan tenaga untuk menjadi

penanggung jawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak yatim

yang jumlahnya hingga ratusan. Hanya mereka yang mempunyai semangat

kebaikan yang diilhami oleh pengaruh kuat ideology ajaran agama yang

mampu menjalankannya. Atas dasar inilah Penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul; “Pelaksanaan Pendidikan Santunaan

Anak Yatim di Pondok Pesantren Al-habib Sholeh bin Alwi Al-Haddad”

B. Fokus Penelitian dan Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas peneliti memfokuskan penelitian

ini dengan fokus penelitian yaitu: Bagaimana Pelaksanaan Pendidikan

Santunan Anak Yatim di Pondok Pesantren Al-Habib Sholeh Bin Alawi

Al-Haddad?”. Adapaun rumusan masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimana praktek pelaksanaan Pendidikan santunan anak yatim di

Pondok Pesantren Al-Habib Sholeh bin Alwi al-Haddad terhadap

ayat-ayat memuliakan anak yatim?

2. Bagaimana cara pelaksanan Pendidikan santunan anak yatim di

Pondok Pesantren al-Habib Sholeh bin Alwi al-Haddad?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan yang telah peliti rumuskan di atas,

maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah;

1. Untuk mengetahui pratek pelaksanaan Pendidikan santunan di

Pondok Pesantren al-Habib Sholeh bin Alwi al-Haddad terhadap

ayat-ayat memuliakan anak yatim.

2. Untuk mengetahui cara pelaksanaan Pendidikan santunan anak yatim

di Pondok Pesantren al-Habib Sholeh bin Alwi al-Haddad.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan

yang berkaitan dengan penafsiran ayat dan praktek dari memuliakan

dan, mengingat kurangnya literatur mengenai yang membahas

tentang karakteristik dan kebudayaan masyarakat anak yatim.

2. Manfaat praktis

a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca dan

penulis

b. Untuk melatih diri dalam hal menganalisa, membahas dan

menginterpretasikan suatu masalah dimana pada prosesnya

dituntut untuk berpikir secara sistematis, obyektif dan

komprehensif sehingga mencapai hasil yang dapat

dipertanggung jawabkan.
c. Supaya memberikan inspirasi bagi masyarakat akan pentingnya

dan mulianya aktifitas memelihara dan menyantuni anak yatim

baik secara ideologis keagamaan maupun sosiologis.

E. Tinjauan Pustaka

Melalui penelusuran kepustakaan di beberapa tempat, penulis

mendapati beberapa karya tulis lainnya yang membahas tentang anak

yatim, seperti:

Skripsi S1 karya M. Saeful Amin berjudul Pemeliharaan Anak Yatim

Perspektif Hadis, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Tafsir Hadis

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2010. Dalam

skripsi tersebut M. Saeful Amin membahas hadis-hadis yang berhubungan

dengan pemeliharaan anak yatim. Hadis yang ditelitinya juga berbeda

dengan penelitian yang penulis sedang bahas.

Skripsi S1 atas nama Nasroh dengan judul Mengusap Kepala Anak

Yatim di Hari Asyuara‟ (Kajian Sanad dan Matan Hadis), Fakultas

Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, tahun 2015. Dalam skripsinya, Nasroh membahas

kualitas hadis yang menyangkut mengusap kepala anak yatim di hari

asyuara. Pembahasan Nasroh juga berbeda dengan penelitian yang penulis

kaji.

Skripsi S1 karya Zulfa Annisa Wafa yang berjudul Kesejahteraan


Subjektif Pada Anak Yatim di Panti Asuhan Muhammadiyah Purworejo,

Fakultas Psikologi/Fakutas Agama Islam Universitas Muhammadiyah

Surakarta, tahun 2016. Skripsi ini mendeskipsikan panti asuhan sebagai

lembaga alternative terbaik dalam hal pelayanan bagi anak-anak yatim

untuk memperoleh pendidikan dan pengasuhan. Adanya pendidikan dan

pengasuhan yang berada dibawah bimbingan asuhan membuat anak yatim

wajib tinggal di panti asuhan. Dengan adanya kewajiban tinggal jauh dari

orang tua, pendidikan yang wajib di ikuti di panti asuhan membuat anak

mengalami berbagai hal yang mempengaruhi kesejahteraan.

Skripsi S1 atas nama Imma Khasanah dengan judul Pelaksanaan

Pendidikan Keagamaan Pada Anak Yatim di Pesantren Yatim Al-Ihsan

Surakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Institut Agama Islam

Negeri Surakarta, 2013. Skripsi ini menjelaskan pentingnya pendidikan

keagamaan untuk anak-anak yatim karena dengan pendidikan tersebut

anak dapat pengetahui hal yang baik dan buruk. Hal itu bisa dipelajari

dalam pendidikan agama islam, karena pendidikan islam merupaka suatu

sistem pendidikan yang dimaksud untuk membentuk manusia muslim

sesuai dengan yang di cita-cita pandangan islam. Metode yang digunakan

dalam penelitian menggunakan kualitatif.

Skripsi S1 karya Ida Husaini berjudul Anak Yatim dalam Perspektif

Al-Qur‟an (kajian Tafsir Maudhu’i) Fakultas Ushuluddin Ilmu Al-Qur‟an

dan Tafsir IAIN Tulung Agung, t a h u n 2017. Skripsi ini membedah


bagaimana tuntunan dan solusi al-Qur’an terkait anak Yatim. Metode

penelitian dalam skripsi ini adalah studi kepustakaan (library research).

Adapun pembahasan yang akan penulis sajikan dalam skripsi ini

adalah lebih fokus kepada bagaimana Tafsir yang diadopsi oleh para

pengelola pesantren yang berisi tentang ayat-ayat yang memuliakan anak

yatim. Pada kajian ini, penulis melakukan penelitian lapangan (field

research) di pesantren Khulafaur Rasyidin dan Pesantren al-Habib Sholeh

bin Alwi al-Haddad yang keduanya berada di wilayah Kabupaten Kubu

Raya.

F. Landasan Teoretis

1. Pengertian Anak Yatim

Apabila mendengar istilah anak yatim,orang pasti beranggapan

bahwa anak yatim adalah seorang anak yang tidak memiliki orang tua,

namun apabila ditelusuri tentang pengertian anak yatim dalam bahasa

Indonesia, definisi tersebut tidak sepenuhnya benar. Karena ada kata anak

piatu dan juga anak yatim piatu yang memiliki makna yang sama yaitu

anak yang tidak memiliki orang tua (Poerwadarminta, 2000: 750, Shodiq,

2014: 13).

Dalam konteks ke-Indonesia-an, nama yatim dipergunakan anak yang

bapaknya meninggal dunia. Sedangkan bila yang meninggal adalah bapak

dan ibu sekaligus, maka anak tersebut dikatakan yatim piatu. Ada

fenomena menarik yang muncul perbedaan ini. Di Indonesia terjadi skala


prioritas dalam pemberian santunan terhadap anak yatim: santunan

terhadap anak yatim piatu lebih besar dari pada santunan terhadap anak

yang disebut yatim saja. Untuk itu kiranya perlu ditelusuri lebih jauh

tentang akar kata yatim agar tidak salah mengartikanya (Ismail, 2000: 25-

26).

Secara etimologis, anak memiliki konotasi paling luas, yaitu setiap

manusia yang belum dewasa, dimulai dari bayi sampai batas remaja

(Gosita, 1989:15). Secara harfiah, kata yatim diserap dari bahasa Arab

yatimun-yatama dengan isim fail (pelaku) yatim/orphan adalah anak yang

ditinggal mati bapaknya (al-Razi, 1931: 11).. Sedangkan secara

terminologis berarti anak yang ditinggal mati ayahnya dan ia belum balig

(al-Zuhayli, t.th: vol.4, 229). Perbedaan penggunaan kata “yatim” pada

kedua makhluk (manusia dan binatang) didasarkan pada peran makhluk

yang meninggalkannya. Bapak, sebagai tulang punggung keluarga bagi

anaknya (manusia), pemberi nafkah dan pelindung. Sementara itu, kata

“yatim” juga berarti lemah atau letih, karena kelemahan dan

ketidakberdayaannya, ia memerlukan proteksi dan afeksi/kasih sayang

tidak mudah hilang sekalipun ia telah dewasa (al-Zuhayli, t.th: vol.4, 229).

2. Konsep Islam Mengenai Memelihara dan Menyantuni Anak

Yatim

Islam mempunyai peraturan dan petunjuk khusus mengenai hak-hak

anak-anak yatim dalam masyarakat. Hak-hak mereka harus mendapat


kepedulian dengan ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT. dan Rasul-

Nya. Di antaranya, mereka mempunyai hak untuk mendapatkan harta waris

dari orang tua mereka sendiri, maupun dari orang lain. Allah berfirman

dalam QS. al-Nisa’ ayat 8 :

‫َو ِاَذ ا َحَض َر اْلِقْس َم َة ُاوُلوا اْلُقْر ٰب ى َو اْلَيٰت ٰم ى َو اْلَم ٰس ِكْيُن َف اْر ُز ُقْو ُهْم ِّم ْن ُه َو ُقْو ُل ْو ا َلُهْم َق ْو اًل‬

‫َّم ْع ُرْو ًفا‬

Artinya : “Apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim

dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan

ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”(QS. al-Nisa’: 8).

Oleh sebab itulah, Islam menegaskan pemberian kepedulian terhadap

masa depan mereka dengan berbagai bantuan dan pertolongan. Selain itu

perlu juga memberikan nafkah, bantuan harta dan biaya dalam memenuhi

kebutuhan hidup, dan pendidikan mereka dalam meraih masa depan yang

lebih baik. Selain itu, adalah kewajiban kita untuk memelihara, mengurus,

membimbing, mendidik, dan mengarahkan mereka agar dapat mencapai

masa depan sebagai mana yang di harapkan (Mukhsin, 2003: 63).

Membimbing yang dimaksud di sini adalah bimbingan secara luas. Jadi

bisa menyangkut bimbingan dalam hal prinsip-prinsip beragama,

beribadah, berakhlak, dan sebagainya, termasuk juga memberi mereka

pendidikan yang layak. Jika memang umurnya sudah mencukupi untuk

masuk sekolah dasar, maka orang tua asuh harus membiayai mereka untuk
masuk sekolah dasar.

Anak yatim maupun piatu adalah anak yang terpinggirkan. Hilangnya

sosok ayah atau ibu sangat mempengaruhi perkembangan jiwanya, sebab

anak yatim atau piatu tidak mendapat kasih sayang dan perhatian

sebagaimana didapati oleh teman-teman sebayanya. Menjadi tugas bagi

umat Islam untuk peduli terhadap anak yatim, karena anak yatim juga sama

dengan anak-anak lain yang akan menjadi generasi penerus bangsa (Ismail,

2000: 31).

Orang yang beruntung di dalam agama Islam bukanlah mereka yang

memiliki kekayaan berlimpah-ruah. Mereka yang tidak beruntung bukan

hanya mereka yang di dunia mengalami kemiskinan dan kekurangan secara

materi. Sejatinya, orang yang ada di dunia adalah mereka yang hidup

penuh kecukupan, dan mereka juga memegang keimanan dan ketakwaan

kepada Allah SWT. dengan kuat dalam kehidupan. Sedangkan orang-orang

yang sangat merugi adalah mereka yang ada di dunia tercipta sebagai orang

yang miskin serba kekurangan dan menderita, selain itu mereka hidup

dengan kekafiran. Mereka hidup di dunia penuh dengan penderitaan,

begitupun juga di akhirat nanti, mereka akan menjadi bahan bakar di

neraka yang sangat panas. Selanjutnya, bagi mereka yang senantiasa peduli

dengan anak-anak yatim, menyantuni, mencintai, dan turut memenuhi

kebutuhan mereka, Allah SWT berjanji akan memasukan sebagai golongan

yang berjalan di jalan yang lurus yang menuju ke surge (Kasyaf S., 2014:
24-25).

Adapun hak-hak anak yatim yang harus diperhatikan adalah tentang

perawatan dirinya yang tentu tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan

akan sandang dan papan saja, melainkan juga harus memenuhi kebutuhan

hidup lainnya, seperti kebutuhan akan tempat tinggal, obat-obatan,

kesehatan, hiburan, dan lain-lain. Kebutuhan jasmani harus dipenuhi,

demikian juga kebutuhan rohani, sehingga anak dapat tumbuh dan

berkembang, baik fisik maupun mentalnya. Dalam hal ini, anak yatim yang

telah kehilangan ayah yang bertanggung jawab atas dirinya, menjadi

tanggung jawab pengasuhnya serta seluruh umat Islam (Shodiq, 2014: 25).

Sebagai contoh kepedulian terhadap anak yatim adalah dibangunnya

panti-panti asuhan yatim, baik yang dimiliki pemerintah maupun yayasan

Islam. Tujuan didirikan panti-panti tersebut adalah untuk memberi

pertolongan terhadap anak-anak yatim dan anak-anak terlantar, sehingga

mereka dapat menikmati kehidupan yang layak sebelum mereka dapat

memenuhi kebutuhan hidup sendiri.

Allah Swt. memerintahkan kepada kaum muslimin secara kolektif,

dan kepada karib kerabat secara khusus untuk menyantuni, membela dan

melindungi anak yatim, serta melarang dan mencela orang-orang yang

menyia-nyiakan, bersikap kasar atau menzalimi mereka. Bahkan Allah

menyatakan bahwa orang-orang yang menyianyiakan anak yatim adalah

pendusta agama.
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mengasuh tiga anak yatim,

dia bagaikan bangun pada malam hari dan puasa pada siang harinya, dan

bagaikan orang yang keluar setiap pagi dan sore menghunus pedangnya

untuk berjihad fisabilillah. Dan kelak disurga bersamaku bagaikan

saudara, sebagaimana kedua jari ini, yaitu jari telunjuk dan jari tengah.”

(HR. Ibnu Majah).

Dari hadis diatas menjelaskan tentang ganjaran bagi orang-orang

yang berkenan mengasuh anak-anak yatim. Sehingga Rasulullah sendiri

berkenan untuk menyanding orang tersebut disurga nantinya. Selain itu,

Rasulullah juga berkata bahwa barangsiapa yang didalam rumahnya

terdapat anak yatim yang diasuh dengan baik, penuh kasih sayang, maka

rumah tersebut adalah sebaik-baik rumah kaum muslimin. Betapa

keutamaan ini merupakan tambang yang amat besar untuk dijadikan sarana

pencari mutiara surga. Jika kita ikhlas karena Allah, hanya dengan

mengusap kepala anak yatim pun, kita akan mendapatkan kebaikan dari

Allah SWT. Sebanyak rambut yang kita usap kepalanya. Sehingga,

janganlah sekali-kali menyepelekan kedudukan anak yatim, jika tidak ingin

merugi (Shodiq, 2014: 26).

Allah sangat membenci orang-orang yang menelantarkan anak-anak

yatim, atau berlaku sewenang-wenang terhadap mereka. Contohnya

berbuat aniaya, mendzalimi, menghardik, memakan hartanya,

memperalatnya, atau tidak peduli terhadap nasib anak yatim. Allah


berfirman:

‫َفَاَّم ا اْلَيِتْيَم َفاَل َتْقَهْۗر‬

Artinya: “Sebab itu, terhadap anak yatim jangalah berlaku

sewenang-wenang.” (QS. Adh-Dhuha ayat 9)

Kemulian anak -anak yatim benar-benar dipelihara dan dijaga oleh

Nabi Muhammad Saw. pada saat beliau masih hidup. beliau senantiasa

mendekati, berkumpul dengan mereka dan Nabi Saw. sendiri telah

menempatkan dirinya sebagai penanggung jawab dunia akhirat, dan Nabi

Saw memposisikan diri beliau menjadi bapak dari mereka sehingga beliau

diberi gelar Abul yatama. Rasulullah Saw.menawarkan sebuah keluarga

baru untuk anak yatim, yaitu memposisikan beliau sebagai ayah, Aisyah

sebagai ibu dan Fatimah sebagai saudara, dengan tawaran bergabung

menjadi sebuah keluarga yang dapat membuat anak yatim merasa bahagia

(Mukhsin, 2003: 66).

Tidak diragukan lagi bahwa salah satu nikmat Allah SWT yang

diberikan kepada seorang muslim adalah ketika Allah SWT memberinya

taufik dan kemudahan untuk mengasuh anak yatim atau yang semisalnya.

Islam menyebutkan beberapa manfaat yang akan terwujud individu juga

masyarakat serta kaum muslimin bersedia untuk mengasuh dan memelihara

anak yatim. Diantara manfaat tersebut yang dirangkum oleh Nurul

Chomaria (2014: 29) adalah:


1. Melaksanakan perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW untuk

mengasuh anak yatim dan berbuat baik kepadanya.

2. Menghantarkan orang yang melaksanakannya untuk mendampingi

Rasulullah SAW disurga, dan cukuplah itu sebagai sebuah kemuliaan

dan kebanggaan.

3. Menunjukkan adanya tabiat yang lurus dan fitrah yang suci di surga,

dan cukuplah itu sebagai sebuah kemuliaan dan kebanggaan.

4. Membuat hati menjadi lembut dan menghilangkan kekerasan hati

tersebut.

5. Akan membawa kebaikan yang banyak dan anugerah yang sangat

besar bagi orang yang melaksanakannya didunia dan diakhirat. Allah

SWT berfirman,

‫َهْل َج َز ۤا ُء اِاْل ْح َس ا ِااَّل اِاْل ْح َس اُۚن‬


‫ِن‬
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)”. (Q.S ar-

Rahman: 60), yakni tidak ada balasan bagi orang yang telah

beribadah dengan baik kepada penciptaannya, dan membawa manfaat

bagi hamba-hambanya yang lain, kecuali penciptanya akan

membalasnya dengan pahala yang banyak, kemenangan yang besar,

kehidupan yang baik didunia dan akhirat.

6. Memiliki andil dalam membangun masyarakat yang bebas dari

kedengkian dan kebencian, serta didominasi oleh perasaan cinta dan


kasih sayang. Rasulullah SAW bersabda, “kamu akan melihat orang-

orang mukmin dalam hal saling menyayangi, mencintai, dan

mengasihi bagaikan satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh itu

sakit, maka anggota lain akan merasakan sakit, maka seluruh

tubuhnya ikut tidak bisa tidur dan merasakan demam”. (H.R

Bukhari)

7. Memuliakan orang yang memiliki kesamaan dengan Rasulullah

SAW, yaitu pada statusnya sebagai anak yatim, dan itu juga

merupakan pertanda akan kecintaan pada beliau.

8. Membersihkan harta seorang muslim dan mensucikannya, serta

menjadikan harta itu sebagai sebaik-baik teman bagi si muslim itu.

9. Merupakan salah satu akhlak terpuji yang diakui dan dipuji oleh

Islam.

10. Mendapat keberkahan yang besar serta rezekinya akan bertambah.

11. Rumah yang didalamnya terdapat anak yatim akan menjadi sebaik-

baik rumah, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik

rumah kaum muslimin adalah rumah yang didalamnya terdapat anak

yatim yang diperlakukan dengan baik”. (HR. Ibnu Majah)

12. Akan melindungi keturunan pengasuh anak yatim itu setelah ia

meninggal kelak, dan orang lain juga berbuat baik kepada anak-

anaknya yang akan menjadi yatim (umpamanya) setelah

kematiannya. Allah SWT berfirman,


‫َو ْلَيْخ َش اَّلِذ ْيَن َلْو َتَر ُك ْو ا ِم ْن َخ ْلِفِهْم ُذ ِّرَّيًة ِض ٰع ًفا َخ اُفْو ا َع َلْيِهْۖم َفْلَيَّتُق وا َهّٰللا َو ْلَيُقْو ُل ْو ا َق ْو اًل‬

‫َسِد ْيًدا‬

Artinya:”Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang

seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang

mereka khawatir akan kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu hendaklah

mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan

perkataan yang benar”. (Q.S an-Nisā‟: 9)

Jadi, orang yang mengasuh anak yatim pada hari ini, pada hakikatnya

sedang bekerja untuk kebaikan dirinya andai ia meninggalkan keturunan

yang lemah kelak. Seorang Muslim tidak akan bisa merasakan manfaat

duniawi yang diperoleh dari mengasuh anak yatim, kecuali ia

melaksanakannya hanya untuk mengharap ridho dari Allah SWT.

3. Ayat-Ayat Menyantuni Anak Yatim dan Terjemahannya

Tabel 3.1 Lafadz dan Konten Ayat

No Nama Surat dan Ayat Konten Ayat

Qs. Al-Baqarah [2] 220 Mengurus anak yatim dengan baik.

Jadikan mereka saudara.

Qs. An-nissa [4] 2 Berikan harta anak yatim apabila

sudah dewasa.
Jangan ditukar baik dengan buruk.

Jangan dicampur hartanya.

Qs. Al-An‟am [6] 152 Gunakan harta yang lebih bermanfaat.

Sesuaikan takaran. Berlaku adil.

Qs. Al-Insan [76] 8 Memberikan makanan kepada anak

yatim

Qs. Al-Fajr [89] 17 Memuliakan anak yatim.

Qs. Al-Balad [90] 14-15 Memberi makanan ketika kelaparan.

Anak yatim

yang ada hubungan kerabat.

Qs. Ad-Dhuha [93] 9 Kepada anak yatim jangan berlaku

sewenang-wenang.

Qs. Al-Ma‟un [107] 2 Jangan menghardik anak yatim.

a. Surah Al-Baqarah [2] 220

ۗ ‫ِفى الُّد ْنَيا َو اٰاْل ِخ َر ِة ۗ َو َيْس َٔـُلْو َنَك َع ِن اْلَيٰت ٰم ۗى ُقْل ِاْص اَل ٌح َّلُهْم َخْيٌر ۗ َو ِاْن ُتَخ اِلُطْو ُهْم َفِاْخ َو اُنُك ْم‬

‫َو ُهّٰللا َيْع َلُم اْلُم ْفِس َد ِم َن اْلُم ْص ِلِح ۗ َو َلْو َش ۤا َء ُهّٰللا َاَلْعَنَتُك ْم ِاَّن َهّٰللا َع ِز ْيٌز َحِكْيٌم‬

Artinya:“Tentang dunia dan akhirat. dan mereka bertanya

kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka

secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, Maka

mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat


kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. dan Jikalau Allah

menghendaki, niscaya dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu.

Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al-

Baqarah [2] 220)

b. Surah An-nissa [4] 2

‫َو ٰا ُتوا اْلَيٰت ٰم ٓى َاْم َو اَلُهْم َو اَل َتَتَبَّد ُلوا اْلَخ ِبْيَث ِبالَّطِّيِب ۖ َو اَل َتْأُك ُلْٓو ا َاْم َو اَلُهْم ِآٰلى َاْم َو اِلُك ْم ۗ ِاَّن ٗه َك اَن‬

‫ُحْو ًبا َك ِبْيًرا‬

Artinya: “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah

balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk

dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya

tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.”

(Qs. An-nissa [4] 2)

c. Surah Al-An‟am [6] 152

‫َو اَل َتْقَر ُب ْو ا َم اَل اْلَيِتْيِم ِااَّل ِب اَّلِتْي ِهَي َاْح َس ُن َح ّٰت ى َيْبُل َغ َاُش َّد ٗه َۚو َاْو ُف وا اْلَكْي َل َو اْلِم ْي َز اَن‬
‫ِباْلِقْس ِۚط اَل ُنَك ِّلُف َنْفًسا ِااَّل ُو ْس َعَهۚا َو ِاَذ ا ُقْلُتْم َفاْع ِد ُلْو ا َو َلْو َك اَن َذ ا ُق ْر ٰب ۚى َو ِبَع ْه ِد ِهّٰللا َاْو ُف ْو ۗا‬

‫ٰذ ِلُك ْم َو ّٰص ىُك ْم ِبٖه َلَع َّلُك ْم َتَذَّك ُرْو َۙن‬

“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara

yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah

takaran dan timbangan dengan adil. kami tidak memikulkan beban kepada

sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata,


Maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu) dan

penuhilah janji Allah yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu

agar kamu ingat.” (Qs. Al-An‟am [6] 152)

d. SurahAl-Insan[76]8

‫َو ُيْط ِع ُم ْو َن الَّطَع اَم َع ٰل ى ُحِّبٖه ِم ْس ِكْيًنا َّو َيِتْيًم ا َّو َاِس ْيًرا‬

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang

miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.” (Qs. Al-Insan [76] 8)

e. Surah Al-Fajr [89] 17

‫َك اَّل َبْل اَّل ُتْك ِر ُم ْو َن اْلَيِتْيَۙم‬

“Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya kamu tidak memuliakan

anak yatim.” (Qs. Al-Fajr [89] 17)

f. Surah Al-Balad [90] 14-15

‫َاْو ِاْط َع اٌم ِفْي َيْو ٍم ِذ ْي َم ْسَغ َبٍۙة َّيِتْيًم ا َذ ا َم ْقَر َبٍۙة‬

“Atau memberi makan pada hari kelaparan. (kepada) anak yatim

yang ada hubungan kerabat.” (Qs. Al-Balad [90] 14-15)

g. Surah Ad-Dhuha [93] 9

‫َفَاَّم ا اْلَيِتْيَم َفاَل َتْقَهْۗر‬

“Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-


wenang.” (Qs. Ad-Dhuha [93] 9))

h. Surah Al ma’un

‫َفٰذ ِلَك اَّلِذ ْي َيُدُّع اْلَيِتْيَۙم‬

“Itulah orang yang menghardik anak yatim.” (Qs. Surah Al-Ma‟un

[107] 2)

Dari data tabel 3.1 di atas penulis hanya mengambil enam

surah di antaranya; (Qs. Al-Baqarah [2] 220), (Qs. An-Nisaa [4] 2),

(Qs. Al-An‟am [6] 157), (Qs. Al-Insan [76] 8), (Qs. Al-Fajr [89]

170, (Qs. Ad-Dhuha [93] 9), akan dibahas oleh para mufassir

klasik dan para mufassir modern

G. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian pada dasarnya adalah bagaimana

seorang peneliti mengungkapkan sejumlah cara yang diatur

secara systematis, logis, rasional dan terarah tentang pekerjaan

sebelum, ketika dan sesudah mengumpulkan data, sehingga

diharapkan mampu menjawab secara ilmiah perumusahan

masalah (Sahiron Syamsudin, 2007: 71).

Penelitian ini pun berbentuk kualitatif karena berupaya

menggambarkan atau memaparkan secara umum mengenai


pelaksanaan pendidikan santunan Di Pesantren al-Habib Sholeh

bin Alwi al-Haddad Kubu Raya , dengan cara mengumpulkan,

menganalisis dan menginterpretasikan data yang berkaitan

dengan penelitian ini. Dalam pengumpulan data, sebanyak

mungkin data yang diperoleh atau dikumpulkan mengenai

masalah-masalah yang berhubungan dengan penelitian ini.

2. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi di

Pesantren al-Habib Sholeh bin Alwi al-Haddad Kubu Raya.

Jalan Parit Masegi Kec. Ambawang tanggal 09 November 2021

-31 Januari

3. Sumber Data

a. Sumber Data Primer

Adapun sumber data primer yang penulis gunakan dalam

penelitian ini adalah pengasuh,ustadz/ustadzah serta para

santri santri di Pondok Pesantren al-Habib Sholeh bin Alwi

al-Haddad Kubu Raya

b. Sumber Data Sekunder

Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah buku-

buku yang membahas Living Qur’an,pembacaan al-


Qur’an, keistimewaan surat-surat tertentu dan yang

berhubungan dengan Pondok Pesantren al-Habib Sholeh

bin Alwi al-Haddad Kubu Raya

4. Teknik Pengumpul Data

a. Observasi

Observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu

proses yang tersusun dari berbagai proses pengamatan dan

ingatan terhadap fenomena -fenomena yang sedang

dijadikan sarana pengamatan (Faisal, 2008: 52). Dalam

penelitian ini yang menjadi objek observasi adalah para

pengelola di pesantren Khulafaur Rasyidin dan Pesantren al-

Habib Sholeh bin Alwi al-Haddad Kubu Raya

Pada dasarnya teknik observasi digunakan untuk melihat

atau mengamati perubahan fenomena social yang tumbuh

dan berkembang yang kemudian dapat dilakukan penelaian

atas perubahan tersebut. Bagi pelaksana atau petugas atau

disebut sebagai observer bertugas melihat obyek dan

kepekaan mengungkap serta membaca permasalahan dalam

moment-moment tertentu dengan dapat memisahkan antara

yang diperlakukan dengan yang tidak diperlukan. ( P.joko


Subagyo :2015.63).

b. Wawancara

Wawancara (interview) adalah tanya jawab penelitian dengan

responden. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan jawaban-jawaban

sesuai dengan kebutuhan penelitian. Jawaban tersebut dapat

dijadikan data untuk dianalisis dalam kerangka menjawab

pertanyaan penelitian atau memecahkan masalah penelitian. Akan

tetapi, Tanya jawab wawancara bukanlah wawancara yang asal

terjadi interaksi dan komunikasi, melainkan harus sesuai dengan

pendoman wawancara yang telah ditetapkan sesuai dengan

kebutuhan penelitian (Heri Jauhari, 2010:40).

Wawancara dapat dipandang sebagai suatu bentuk percakapan

dan dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan yang terdapat dalam

lingkungan kebudayaan tertentu. Misalnya ada kelaziman tentang

cara memulai dan mengakhiri percakapan, ada silih bergantian

dalam berbicara, bertanya dan menjawab, ada saat-saat yang

“kosong”, ada bahasa tertentu yang digunakan bertalian dengan

status social yang bercakap-cakap, ada cara duduk, dan sebagainya

( Nasution1996.74).

c. Dokumentasi
Dokumen sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai

sumber data karena dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data

dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk

meramalkan. (Moleong :2017.217)

Tidak kalah penting dari metode-metode lain, adalah metode

dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable

yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti ,

notulen rapat lenggerm agenda, dan sebagainya. (Suharmi Arikunto

2019.274).

5. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah satuan yang diteliti yang bisa berupa

individu, kelompok, benda atau suatu latar peristiwa social, seperti

aktivitas individu atau kelompok sebagai subjek penelitian.

Penelitian bisa memberikan kriteria siapa saja dan apa saja yang

menjadi subjek penelitian. Misalnya, informan awal yang member

informasi yang memadai ketika penelitian mengawali aktivitas

penelitian. Kemudian informasi kunci, yakni orang bisa

dikatagorikan paling banyak mengetahui, menguasai informasi atau

data tentang permasalahan penelitian. Biasanya ia adalah tokoh atau

pemimpin atau orang yang telah lama berada di komunitas yang

diteliti atau sebagai perintisnya ( Sahiron: 2007:75).


Dalam penelitian kualitatif, data yang diperoleh dari berbagai

sumber, dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang

bermacam-macam (triangulasi), dan dilakukan secara terus menerus

sampai titik jenuh. Dengan pengematan yang terus menerus tersebut

mengakibatkan variasi data tinggi sekali. Data yang diperoleh pada

umumnya adalah data kualitatif sehingga teknik analisis data yang

digunakan belum ada pola yang jelas. Oleh karena itu sering

mengalami kesulitan dalam melakukan analisis. (Sugiyono.

2019:318).

Analisis data kualitatif adalah bersifat induktif, yaitu suatu

analisis berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan

pola hubungan tertentu atau menjadi hipotesis. Berdasarkan

hipotesis yang dirumuskan berdasarkan data tersebut, selanjutnya

dicarikan data lagi secara berulang-ulang sehingga selanjutnya dapat

disimpulkan apakah hipotesis tersebut diterima atau ditolak

berdasarkan data yang terkumpul. Bila berdasarkan data yang

dikumpulkan secara berulang-ulang dengan teknik triangulasi,

ternyata hipotesis diterima maka hipotesis tersebut berkembang

menjadi teori. (Sugiyono, 2016:335).

Adapun menurut Sugiyono (2016: 377) aktivitas dalam analisis

data, terdiri dari reduction, data display dan conclusion


drawing/verification.

a. Reduksi Data

Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak,

untuk itu Maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Seperti telah

dikemukan, makin banyak, komplek dan rumit. Untuk itu perlu

segera dilakukan analisis data melalui reduksi data. Meruduksi data

berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada

hal-hal yang penting, dicari tema polanya dan membuang yang tidak

perlu. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan

gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk

melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila

diperlukan. Reduksi data dapat dibantu dengan peralatan elektronik

seperti computer mini, dengan memberikan kode pada aspek-aspek

tertentu (Sugiyono.2015:338)

b. Data Display (Penyajian Data)

Dalam penelitian kualitatif,penyajian data bisa dilakukan dalam

bentuk urian singkat, bagan , hubungan antar kategori, flowchart dan

sejenisnya. Yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam

penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif ( Sugiyono

2019:325)
c. Verifikasi dan Penarikan Kesimpulan

Dengan demikian kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat

menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga

tidak, karena seperti telah dikemukakan bahwa masalah dan rumusan masalah

delam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang

setelah penelitian berada di lapangan (Sugiyono 2019:329).

6. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

DAFTAR PUSTAKA

Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta: Rajawali Press, 2015).


Al-Qaththan, Syaȋkh Manna , Pengantar Studi Ilmu Al-Qur‟an,

(Jakarta: Pustaka Kautsar, 2012).

Al-Qurṯubȋ, Syaȋkh Imam, Tafsȋr Al- Qurṯubȋ (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009).

al-Rāzī, Muḥammad b. Abī Bakr, al-Mukhtār al-Ṣiḥāḥ (Beirut: Dār al-

Fikr, 1931 )

Al-Ṯabarī, Abū Ja‟far Muẖammad bin Jarȋr, Tafsȋr Al-Ṯabarȋ

(Jakarta: Pustaka Azzam, 2009).

Amin, M. Saeful, Pemeliharaan Anak Yatim Perapektif Hadis,

Skripsi Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir-Hadis, UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Arikunto, Suharsimi, Manajemen Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta,

2010).

Faisal, Sanapiah, Format-Format Penelitian Sosial ,(Jakarta: Rajawali

Press, 2008).

Gosita, Arif, Masalah Perlindungan Anak (Jakarta: Akadanih, 1989).

Ida Husaini, Anak Yatim dalam Perspektif Al-Qur‟an (kajian Tafsir

Maudhu‟i), Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Ilmu Al-Qur‟an dan

Tafsir IAIN Tulung Agung, t a h u n 2017

Imma Khasanah, Pelaksanaan Pendidikan Keagamaan Pada

Anak Yatim di Pesantren Yatim Al-Ihsan Surakarta, Skripsi


S1 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Institut Agama

Islam Negeri Surakarta, 2013.

Ismail, A. Qursyari, Bingkisan dari Surga untuk Menyantun Anak Yatim,

(Pasuruhan: Pustaka Sidogiri, 2000).

Kasyaf S., Ben Akrom, Dahsyatnya Menyantuni Anak Yatim, (Jakarta: al-

Magfiroh, 2014).

Muhsin, Mari Mencintai Anak Yatim (Jakarta: Gema Insani Press, 2010).

Mukhsin, DR., Mari Mencintai Anak Yatim, (Jakarta: Gema Insani Press,

2003).

Nasroh, “Mengusap kepala anak yatim di hari asyuara ( kajian Kritik

Sanad dan Matan Hadis )”, Skripsi Fakultas Ushuluddin Tafsir-

Hadis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.

Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,

2000).

Quṯb, Sayyȋd, Tafsȋr Fȋ-Ẕilalil Qur‟ȃn (Jakarta: Rabbani Press, 2003)

Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur‟an Jilid 2 (Jakarta: Lentera Hati.

2010).

Shodiq, M. J., Santuni Anak Yatim maka Hidupmu pasti Sukses Kaya

Berkah dan Bahagia, (Yogyakarta: Lafal,2014).


Subana, Statistik Pendidikan, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2005).

Sugiyo, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, (Bandung:

Alvabeta, 2009)

Yafi, Ali, Al-Qur‟an Memperkenalkan Diri, Ulȗmul Qur‟ȃn, vol.1, April-

Juni, 1989.

Zulfa An‟nisa Wafa, Kesejahteraan Subjektif Pada Anak

Yatim di Panti Asuhan Muhammadiyah Purworejo, Skripsi

S1 Fakultas Psikologi/Fakutas Agama Islam Universitas

Muhammadiyah Surakarta, 2016.

Dr. Sahiron Syamsudin MA Metodologi Penilitian living qur’an

dan hadis (yogjakarta TH-Press.200

Anda mungkin juga menyukai