Anda di halaman 1dari 76

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan oleh malaikat Jibril

ke dalam hati Nabi Muhammad SAW, dengan lafadz bahasa Arab beserta

artinya. Agar menjadi hujjah bagi Rasulullah SAW bahwa dia adalah

utusan Allah SWT dan menjadi undang-undang dasar bagi orang-orang

yang mendapat petunjuk Allah. Dengan membaca Al-Qur’an itulah maka

orang mendekatkan diri kepada Allah dan menyembah-Nya (Abdul

Wahab Khallaf, 2012: 17). Kitab suci Al-Qur’an tidak mengalami

perubahan, wahyu Allah tersebut akan berlaku sepanjang masa, karena

seluruh isi Al-Qur’an itu berlaku abadi.

Bagi umat Islam, Al-Qur’an ialah kitab suci sebagai dasar serta

pedoman dalam menempuh kehidupan mereka. Al-Qur’an bagi umat

Islam mempunyai banyak sekali manfaat, mulai dari manfaat bagi fisik,

ilmu dan ruhani. Dalam kehidupan keseharian mereka biasanya sudah

melaksanakan penerapan resepsi terhadap Al-Qur’an baik dalam bentuk

membaca, menguasai serta mengamalkan, ataupun dalam bentuk resepsi

sosio- kultural. Semuanya dikarenakan mereka memiliki kepercayaan

jika berhubungan dengan Al-Qur’an secara optimal akan mendapatkan

kebahagiaan dunia serta akhirat (Abdul Mustaqim, 2015: 103).

1
Ragam interaksi dengan Al-Qur’an banyak sekali macamnya, mulai

dari yang paling sederhana, yakni membacanya, lalu berkembang

menjadi berbagai interaksi dalam wujud lain. Seperti menekuni ilmu-

ilmu Al-Qur’an, memahami Al-Qur’an secara parsial hingga mendetail,

dijadikan sebagai perantara pengobatan, mengiramakan teks Al-Qur’an

yang biasa dikenal dengan istilah tilawah atau tartil, menafsirkan Al-

Qur’an, menjadikan sebagian ayat sebagai zikir wajib, memutuskan

hukum bersumber pada Al-Qur’an, perlombaan-perlombaan bertemakan

Al-Qur’an seperti Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) dan lain

sebagainya.

Selain dijadikan sebagai sandaran ilmu- ilmu bagi umat manusia,

Al-Qur’an juga dapat membersihkan segala bentuk berbagai penyakit

dalam hati berupa gelisah, ragu, hasad, ujub, dengki serta yang lain.

Sebab salah satu peranan Al-Qur’an ialah sebagai obat, yang bisa

menyembuhkan penyakit hati di dalam diri manusia. Tidak hanya itu

ayat- ayat Al-Qur’an ada pula yang dijadikan sebagai bacaan zikir harian.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdul Mustaqim (2015: 104)

bahwa “berbagai bentuk dan model praktik resepsi dan respon

masyarakat dalam memperlakukan dan berinteraksi dengan al-Qur’an

inilah yang disebut dengan Living Qur’an (al-Qur’an yang hidup)

ditengah kehidupan masyarakat”. Salah satunya adalah pembacaan Al-

Ma’tsurat karya Imam Hasan Al-Banna yang dilakukan oleh santri di

Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah ini.

2
Imam Hasan Al-Banna merupakan ulama yang juga tokoh

pemimpin dari gerakan Islam dunia yakni Ikhwanul Muslimin. Sejak

awal berdirinya gerakan ini, Imam Hasan Al-Banna senantiasa berusaha

untuk membentuk sebuah generasi Rabbani, layaknya generasi para

sahabat dan salafus shalih. Oleh karena itu, beliau berusaha agar jamaah

Ikhwanul Muslimin membiasakan diri untuk senantiasa berdzikir dengan

dzikir-dzikir yang ma’tsur dari Rasulullah SAW.

Dalam hal ini, Imam Hasan Al-Banna membuat sebuah risalah

ringkas yang sangat mudah dipraktikkan oleh jamaah Ikhwanul

Muslimin, ini bertujuan untuk mengenalkan mereka tentang hal-hal yang

ma’tsur dari Rasulullah SAW dalam berbagai kesempatan. Risalah

ringkas ini dikumpukan dari kitab-kitab Ash-Shahih dan As-Sunan yang

kemudian dikenal dengan sebuatan Al-Ma’tsurat (Al-Banna, 2016: 281).

Al-Ma’tsurat merupakan kumpulan zikir dan doa yang telah

diprogramkan sebagai rutinitas pagi dan petang di Pondok Pesantren Ibnu

Taimiyah sebagai salah satu bentuk ikhtiar dalam meningkatkan spiritual

para santri.

Istilah Al-Ma’tsurat ini peneliti adopsi dari istilah lapangan yang

telah digunakan oleh objek penelitian. Al-Ma’tsurat mereka gunakan

sebagai istilah yang dipakai untuk menyatakan kegiatan rutinitas dalam

membaca Al-Ma’tsurat. Oleh karena itulah peneliti menggunakan istilah Al-

Ma’tsurat ini untuk penelitian. Al-Ma’tsurat yang dimaksudkan di sini

adalah zikir pagi dan petang.

3
Dalam kaitan ini peneliti tertarik pada Pondok Pesantren Ibnu

Taimiyah Kelurahan Sedau, Kecamatan Singkawang Selatan yang

mengadakan tradisi pembacaan al-Ma’tsurat. Pondok Pesantren Ibnu

Taimiyah ini merupakan satu-satunya Pondok Pesantren di kota

Singkawang yang mengadakan tradisi pembacaan al-Ma’tsurat. Tradisi ini

dimulai sejak tahun 1992 yang telah merutinkan para santriuntuk membaca

zikir pagi ( yakni di waktu subuh) serta petang ( sehabis ashar). Mereka

rutin membaca zikir yang di dalamnya tercantum ayat- ayat Al-Qur’an serta

Hadits Nabi SAW. Sebagai panduan guna melaksanakan rutinitas berzikir,

mereka memakai al- Ma’tsurat al-Sughro yang merupakan salah satu karya

dari Imam Hasan Al-Banna. Kegiatan tersebut terus dilakukan hingga pada

saat ini. Dalam hal ini, peneliti lebih berfokus kepada santriwan dan

santriwati kelas XII MA angkatan ke-26.

Mengenai jumlah ayat dan doa yang terdapat dalam al-Ma’tsurat

al-Sughro terbilang sedikit. Diantara ayat yang termaktub dalam al-

Ma’tsurat al-Sughro karya Imam Hasan Al-Banna adalah Q.S Al-Fatihah,

Q.S Al-Baqarah : 1-5, 255-257, dan 284-286, Q.S Al-Ikhlas : 1-3, Q.S Al-

Falaq : 1-5, Q.S An-Nas : 1-6, Q.S Ash-Shaffat : 180-182, dan Q.S Ali

Imran : 26-27.

Penelitian ini mengkaji sebuah fenomena yang sudah terjadi di

lingkungan pesantren, khususnya di Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah.

Sebuah lembaga pendidikan dengan sistem asrama yang merutinkan

4
kegiatan pembacaan Al-Ma’tsurat Al-Sughro bagi santri setiap sebelum

memulai aktivitas mereka sehari-hari.

Hal ini menarik untuk dikaji bagaimana sejumlah masyarakat yang

sudah mengambil bagian atau sudah men-dawam-kan amalan ini mau

bertahan di tengah kesibukan aktivitas rutinitas yang cukup padat. Meskipun

secara lahir, meluangkan waktu khusus untuk membaca wirid telah

mempersempit waktu untuk melakukan tugas lainnya (Syahrul Rahman,

2016: 64).

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian terhadap tradisi pembacaan al-Ma’tsurat di Pondok Pesantren

Ibnu Taimiyah Sedau, Singkawang Selatan dengan judul “Tradisi Al-

Ma’tsurat (Studi Living Qur’an di Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah

Kelurahan Sedau, Kecamatan Singkawang Selatan)”.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan dari latar belakang yang telah terpaparkan di atas

maka fokus masalah pada penelitian ini Tradisi Al-Ma’tsurat (Studi

Living Qur’an di Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah Kelurahan Sedau,

Kecamatan Singkawang Selatan). Fokus permasalahan ini akan

dirumuskan dalam sub-sub masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana praktik pelaksanaan tradisi al-Ma’tsurat di Pondok

Pesantren Ibnu Taimiyah Kelurahan Sedau, Kecamatan

Singkawang Selatan?

5
2. Apa latar belakang pelaksanaan tradisi al-Ma’tsurat di Pondok

Pesantren Ibnu Taimiyah Kelurahan Sedau, Kecamatan

Singkawang Selatan?

3. Bagaimana pengaruh psikologis dari tradisi al-Ma’tsurat

terhadap santriwan dan santriwati di Pondok Pesantren Ibnu

Taimiyah Kelurahan Sedau, Kecamatan Singkawang Selatan?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah

untuk me ngetahui Tradisi al-Ma’tsurat (Studi Living Qur’an di Pondok

Pesantren Ibnu Taimiyah Kelurahan Sedau, Kecamatan Singkawang

Selatan). Sedangkan tujuan khusus penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui praktik pelaksanaan tradisi al-Ma’tsurat di

Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah Kelurahan Sedau, Kecamatan

Singkawang Selatan.

2. Untuk mengetahui latar belakang pelaksanaan tradisi al-

Ma’tsurat di Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah Kelurahan

Sedau, Kecamatan Singkawang Selatan.

3. Untuk mengetahui pengaruh tradisi al-Ma’tsurat terhadap

santriwan dan santriwati di Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah

Kelurahan Sedau, Kecamatan Singkawang Selatan.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan di atas, maka penelitian ini diharapkan bisa

bermanfaat secara teoritis dan praktis.

6
1. Secara Teoritis

Dalam penelitian ini, penulis berusaha untuk mengungkap

fakta dan memaparkan realita yang terjadi dengan

menuliskannya sebagai informasi yang nantinya dapat

menambah khazanah ilmu pengetahuan tentang tradisi al-

Ma’tsurat (Studi Living Qur’an di Pondok Pesantren Ibnu

Taimiyah Kelurahan Sedau, Kecamatan Singkawang Selatan).

2. Secara Praktis

a. Bagi pihak Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak,

paling tidak penelitian ini dapat dijadikan sumber praktis.

b. Bagi peneliti dan bagi para pembaca untuk menambah

khazanah ilmu pengetahuan, penelitian ini dapat menjadi

referensi. Khususnya mengenai tradisi al-Ma’tsurat (Studi

Living Qur’an di Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah

Kelurahan Sedau, Kecamatan Singkawang Selatan).

7
8
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang pembacaan al-Ma’tsurat yang dilakukan oleh

santriwan dan santriwati Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah Kelurahan

Sedau, Kecamatan Singkawang Selatan adalah penelitian yang masuk

dalam kategori Living Qur’an. Di antara penelitian dan karya mengenai

Living Qur’an yang relevan dengan penelitian ini yaitu, seperti penelitian

yang dilakukan oleh :

Pertama, skripsi yang ditulis oleh Eka Rahayuni di UIN Sulthan

Thaha Saifuddin Jambi (Skripsi, 2019) berjudul “Tradisi Pembacaan

Wirid Sakran di Pondok Pesantren Irsyadul ‘Ibad”. Skripsi ini membahas

tentang tradisi pembacaan wirid Sakran merupakan kegiatan rutin para

santri yang dimulai sejak tahun 2012. Adapun proses rangkaian tradisi

tersebut dilaksanakan setelah shalat isya berjama’ah yang diikutu oleh

seluruh santri. Pembacaan wirid Sakran diawalai dengan membaca

bacaan tawasshul, kemudian membaca surat al-Fatihah, membaca

Syahadat, Hasbunallah wani’mal wakil ni’mal maula wani’man nasir

sebanyak 3x, lalu membaca Laa haula wala quwata illa billah 3x dan

dilanjutkan dengan membaca wirid Sakran dan diakhiri membaca doa

penutup. Sedangkan untuk pemahaman tradisi tersebut bagi jama’ah

adalah sebagai rutinitas menggugurkan kewajiban dan menambah

8
semangat dalam beribadah serta mempunyai fungsi untk mendekatkan

diri kepada Allah, menunjukkan rasa syukur dan bukti keimanan

seseorang terhadap Al-Qur’an.

Kedua, skripsi yang ditulis oleh Amri Diantoro (tahun 2018)

dengan judul “Tradisi Zikir Al-Ma’tsurat pada Kader Unit Kegiatan

Mahasiswa Bidang Pembinaan Dakwah”. Penelitian ini menjelaskan

bahwa tradisi zikir Al-Ma’tsurat yang dilakukan UKM Bapinda tersebut

dijadikan salah satu proses pembinaan. Adapun untuk proses

pelaksanaannya dilakukan dalam kegiatan Halaqoh/liqo yang

diselenggarakan setiap satu minggu sekali dalam bentuk kelompok,

jumlah dalam satu kelompok maksimal 12 orang dan 1 orang pembina.

Dalam kegiatan tersebut para kader akan diberikan lembaran kontrol

amalan harian selama seminggu, lembaran tersebut berisi ibadah tahajud,

tilawah, dhuha, puasa sunnah, zikir al-M’atsurat pagi dan sore, sedekah,

olahraga, baca buku Islam dan rawatib. Adapun kandungan zikir al-

Ma’tsurat menurut partisipan adalah mengingatkan diri kepada Allah

SWT. Kemudian efek yang dirasakan para kader dari tradisi zikir al-

Ma’tsurat tersebut adalah merasakan ketenangan dan membawa banyak

perubahan positif.

Ketiga, skripsi yang ditulis oleh Fathir Akbar (tahun 2019) yang

berjudul, “Implementasi Kegiatan Dzikir Al-Ma’tsurat Dalam

Membentuk Spiritual Siswa”. Dalam skripsi ini membahas tentang

amalam membaca zikir al-Ma’tsurat dalam membentuk spiritual siswa

9
yakni pada siswa SDIT Ulul Albab Kertosono. Hasil penelitian ini

dilaksanakan pada pagi hari setelah apel di lapangan pukul 07.00. Setelah

apel selesai, seluruh siswa diarahkan berwudhu kemudian masuk ke

mushola dan pembacaannya dilakukan pada pukul 07.30 dengan durasi

sekitar 15 sampai 20 menit. Kegiatan ini dilaksanakan secara bersama-

sama. Adapun pembacaan al-Ma’tsurat diawali dengan membaca

basmalah, lalu doa sebelum belajar, kemudian surat al-Fatihah, membaca

Syahadatain, Asmaul Husna, kemudian dilanjutkan dengan membaca al-

Ma’tsurat. Mengenai dampak positif bagi siswa yakni memberikan

ketenangan serta merasakan kemudahan dalam memahami dan cepat

dalam menerima pelajaran. Tidak hanya itu, siswa juga merasa hilangnya

keraguan dalam bertindak.

Dari literature yang dipaparkan di atas, bahwa penelitian tentang

al-Ma’tsurat dengan Metode Living Qur’an sudah banyak yang

membahas. Penelitian yang akan dilakukan mempunyai sedikit kemiripan

dengan penelitian sebelumnya. Dari beberapa uraian tersebut peneliti

mengungkap permasalahan yang berbeda dari penelitian-penelitian

sebelumnya. Permasalahan yang peneliti ungkap adalah menjelaskan

praktik, latar belakang serta pengaruh dari zikir al-Ma’tsurat. Adapun

yang membedakannya adalah subjek dan objek serta pendekatan

penelitiannya. Yang menjadi subjek penelitian ini adalah Pondok

Pesantren Ibnu Taimiyah, serta yang menjadi objek penelitian ini adalah

10
Tradisi Al-Ma’tsurat di Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah. Sedangkan

pendekatan yang peneliti gunakan adalah pendekatan fenomenologi.

B. Kajian Teori

A. Tradisi

1. Pengertian Tradisi

Secara terminologis menurut E.Shils dikutip oleh Bambang

Pranowo dalam buku Islam Faktual bahwa “perkataan tradisi

mengandung suatu pengertian tersembunyi tentang adanya kaitan

antara masa lalu dengan masa kini. Ia menunjuk kepada sesuatu

yang diwariskan oleh masa lalu, tetapi masih berwujud dan

berfungsi pada masa sekarang. Sewaktu orang berbicara tentang

tradisi Islam atau tradisi Kristen secara tidak sadar ia sedang

menyebut serangkaian ajaran atau doktrin yang dikembangkan

ratusan atau ribuan tahun yang lalu tetapi masih hadir dan tetap

berfungsi sebagai pedoman dari kehidupan sosial pada masa kini”

(Bambang Pranowo, 1999: 4).

Selain itu dalam kehidupan sehari-hari, istilah “tradisi” sering

dipergunakan. Ada tradisi Jawa, tradisi Kraton, tradisi petani,

tradisi pesantren dan lain-lain. Tetapi istilah “tradisi”, biasanya

secara umum dimaksudkan untuk menunjuk kepada suatu nilai,

norma dan adat kebiasaan yang berbau lama, dan yang lama

tersebut hingga kini masih diterima, diikuti bahkan dipertahankan

oleh kelompok masyarakat tertentu. Dalam majalah prisma

11
menginformasikan, bahwa tradisi berasal dari kata traditum, yaitu

segala sesuatu yang ditransmisikan, diwariskan oleh masa lalu ke

masa sekarang (D.A.Peransi, 1985: 9).

Tradisi dalam pengertian yang lain adalah adat istiadat atau

kebiasaan turun temurun yang masih dijalankan di lingkungan

masyarakat. Suatu masyarakat biasanya akan muncul semacam

penilaian bahwa cara yang sudah ada merupakan cara yang terbaik

untuk menyelesaikan suatu persoalan. Sebuah tradisi biasanya tetap

saja dianggap sebagai cara atau model terbaik selagi belum ada

alternatif lain.

Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa tradisi

adalah warisan masa lalu yang dilestarikan hingga sekarang.

Warisan masa lalu itu dapat berupa nilai, norma sosial, pola

kelakuan dan adat kebiasaan lain yang merupakan wujud dari

berbagai aspek kehidupan.

Sumber tradisi pada masyarakat bisa disebabkan karena

sebuah ‘Urf (kebiasaan) yang muncul di tenga-tengah masyarakat

kemudian tersebar menjadi adat dan budaya atau kebiasaan

tetangga, lingkungan dan semacamnya kemudian dijadikan sebagai

model kehidupan (Syaikh Mahmud Shaltut, 2006: 121).

Kalimat ini tidak pernah dikenal kecuali pada kebiasaan yang

sumbernya adalah budaya, pewarisan dari satu generasi ke generasi

lainnya, atau peralihan dari satu kelompok yang lain yang saling

12
berinteraksi. Tradisi merupakan sebuah karya cipta manusia yang

tidak bertentangan dengan inti ajaran agama, tentunya Islam akan

menjustifikasikan atau membenarkannya. Kita bisa bercermin pada

Walisongo bagaimana mereka tetap melestarikan tradisi Jawa tanpa

melenceng dari ajaran Islam (Abu Yasid, 2005: 249).

2. Macam-macam Tradisi

a. Tradisi Ritual Agama

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk,

salah satu akibat dari kemajemukan tersebut adalah terdapat

berbagai aneka ragam ritual keagamaan yang dilakukan dan

dilestarikan oleh masing-masing pendukungnya. Dalam ritual

keagamaan tersebut mempunyai cara melestarikan serta maksud

dan tujuan yang berbeda antara kelompok masyarakat yang satu

dengan masyarakat yang lainnya. Perbedaan ini disebabkan

karena adanya lingkungan tempat tinggal, adat serta tradisi yang

diwariskan secara turun temurun (Koencjaraningrat, 1985: 27).

Ritual keagamaan dalam kebudayaan suku bangsa

biasanya merupakan unsur kebudayaan yang paling tampak

lahir. Sebagaimana yang diterangkan oleh Ronald Robertson

(1988: 87) bahwa agama berisikan ajaran yang mengenai

kebenaran tertinggi dan mutlak tentang tingkah laku manusia

serta petunjuk untuk hidup selamat di dunia maupun di akhirat

(setelah mati), yaitu sebagai manusia yang bertakwa kepada

13
Tuhannya, beradab dan manusiawi yang sangat berbeda dengan

cara-cara makhluk hidup lainnya.

Agama-agama lokal atau agama primitif memiliki ajaran

yang berbeda yakni ajaran agama tersebut tidak dilakukan dalam

bentuk tertulis namun dalam bentuk lisan, sebagaimana

terwujud dalam sebuah tradisi atau upacara. Sistem ritual agama

tersebut biasanya berlangsung secara berulang-ulang baik itu

setiap hari, setiap musim, atau bahkan hanya kadang-kadnag

saja (Suber Budhi Santoso, 1989: 27).

b. Tradisi Ritual Budaya

Sebagian besar masyarakat di dalam kehidupannya penuh

dengan upacara, baik itu upacara yang berkaitan dengan

lingkaran hidup manusia yang dimulai sejak dari keberadaannya

dalam kandungan, lahir, masa kanak-kanak, remaja, sampai saat

kematiannya, atau juga upacara yang berkaitan dengan aktifitas

sehari-hari dalam mencari nafkah, baik itu para petani,

pedagang, serta nelayan dan upacara yang berhubungan dengan

tempat tinggal, seperti membangun gedung untuk berbagai

keperluan, membangun dan meresmikan rumah tinggal, pindah

rumah dan lain sebagainya.

Berbagai upacara itu awalnya dilaksanakan untuk

menangkal pengaruh buruk dari daya kekuatan gaib yang tidak

dikehendaki yang dapat menyebabkan marabahaya bagi

14
kelangsungan hidup manusia. Upacara dalam kepercayaan lama

dilakukan dengan memberikan sesaji atau semacam korban yang

disajikan kepada daya-daya kekuatan gaib (roh, makhluk halus

dan para dewa) tertentu. Upara ritual tersebut dilaksanakan

dengan harapan agar hidup senantiasa dalam keadaan selamat

(Darori Amin, 2000: 131).

3. Fungsi Tradisi

Suatu tradisi mempunyai fungsi bagi masyarakat diantaranya

adalah (Piotr Sztompka, 2007: 74-75) :

a. Tradisi merupakan kebijakan turun temurun. Tempatnya di

dalam kesadaran, keyakinan, norma dan nilai yang kini kita anut

serta di dalam benda yang diciptakan di masa lalu. Tradisi juga

menyediakan fragmen warisan historis yang dipandang

bermanfaat. Tradisi seperti onggokan gagasan dan material yang

dapat digunakan dalam tindakan kini dan untuk membangun

masa yang akan datang berdasarkan pengalaman di masa

lampau.

b. Memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup, keyakinan,

pranata dan aturan yang sudah ada. Semua ini memerlukan

pembenaran agar dapat mengikat anggotanya. Salah satu sumber

legitimasi dalam tradisi biasanya dikatakan “selalu seperti itu”

atau “orang selalu memiliki keyakinan demikian”, meski dengan

resiko yang paradoksal yakni bahwa tindakan tertentu hanyalah

15
dilakukan sebab orang lain melakukan hal yang sama di masa

lampau atau keyakinan tertentu diterima semata-mata karena

sebelumnya sudah mereka terima.

c. Menyediakan symbol identitas kolektif yang meyakinkan,

memperkuat loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas

maupun kelompok. Tradisi nasional dengan bentuk lagu,

bendera, lambing, mitologi, serta ritual umum merupakan

contoh utama. Tradisi nasional selalu dikaitkan dengan sejarah,

menggunakan masa lampau untuk memelihara persatuan bangsa.

d. Membantu menyediakan tempat pelarian dari keluhan,

ketidakpuasan, serta kekecawaan terhadap kehidupan modern.

Tradisi yang mengesankan masa lampau yang lebih bahagia

memberikan sumber pengganti kebanggaan bila masyarakat

berada dalama keadaan krisis.

B. Zikir Pagi dan Petang

Sebelum karya Imam Hasan Al-Banna, sudah ada karya ulama

terdahulu yang menulis tentang kumpulan doa dan zikir serta bacaan

harian termasuk juga zikir pagi dan petang, diantaranya adalah :

1. Kitab Al-Adzkar Karya Imam Nawawi

Kitab Al-Adzkar merupakan merupakan karya salah satu

ulama yakni Imam Nawawi. Buku ini berisi tentang doa dan zikir

serta bacaan-bacaan harian yang diambil dari Al-Qur’an dan hadits.

16
Tidak hanya itu, karya Imam Nawawi ini juga berisikan bacaan

dalam sholat serta Asmaul Husna.

Untuk menjadi perbandingan sistematika antara Al-Adzkar

dan Al-Ma’tsurat terutama pada bagian zikir pagi dan petang.

Dalam buku Al-Adzkar karya Imam Nawawi yang diterjemahkan

oleh Muhammad Tarsi Hawi (1984: 216) disebutkan pada bagian

awal ini berisi ayat-ayat Al-Qur’an yakni surah Thaha ayat 130,

surah Al-Mu’min ayat 55, surah Al-‘Araf ayat 25, surah Al-An’am

ayat 52, surah An-Nur ayat 36-37, dan surah Shad ayat 18.

Selanjutnya pada bagian kedua ini berisi wirid-wirid yang

diambil dari ayat-ayat pilihan, kemudian dilanjutkan dengan doa-

doa serta shalawat yang berasal dari hadist-hadits pilihan (Imam

An-Nawawi, 1984: 218).

2. Kitab Hisnul Muslim Karya Syaikh Al-Qahthani

Kitab Hisnul Muslim merupakan karya Syaikh Al-Qahthani

yang berisi kumpulan doa dan zikir yang diambil dari Al-Qur’an

maupun hadits yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Buku ini berisi doa-doa harian seperti doa ketika bangun tidur, doa

makan, doa masuk dan keluar wc, doa masuk dan keluar masjid,

dan masih banyak doa harian lainnya.

Selain itu, karya Syaikh Al-Qahthani ini juga berisi bacaan-

bacaan sholat, dzikir setelah sholat, dzikir menjelang tidur, zikir

17
pagi dan petang, beberapa adab serta keutamaan-keutamaan dalam

berzikir.

Pada bagian zikir pagi dan petang dalam kitab Hisnul Muslim

karangan Syaikh Al-Qahthani ini (2010: 56) disebutkan pada

bagian pertama dimulai dengan ta’awudz lalu dilanjutkan dengan

surah Al-Baqarah ayat 225 kemudian selanjutnya surah Al-Ikhlas

ayat 1-3, surah Al-Falaq ayat 1-5, dan surah An-Nas ayat 1-6.

Kemudian pada bagian kedua ini, berisi wirid dan doa-doa

yang berasal dari hadits-hadits pilihan dan diakhiri dengan

membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW (Syaikh Al-

Qahthani, 2010: 58).

3. Al-Ma’tsurat Karya Hasan Al-Banna

Kata al-Ma’tsurat berasal dari kata dasar “atsara” yang

berarti “naqalal hadis” (mengutip ucapan atau sunnah Rasul saw),

tafsir (pengaruh). Secara umum pengertian Al-Ma’tsurat adalah

kumpulan doa (dzikir) pilihan yang ma’tsur (ringkas), yang dipetik

dari Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Kitab risalah ini sebagaimana

kitab-kitab lain secara umum, tentu tidaklah sempurna. Telah

banyak pihak yang memberikan penjelasan, penelitian terhadap

hadisnya bahkan tidak sedikit yang mengkritiknya, hingga tahap

celaan terhadapnya dikatakan, “Tidak boleh dibaca, karena

mengandung hadis-hadis dhaif (palsu).” Padahal sesungguhnya

kesempurnaan hanyalah milik Allah swt, oleh karena itu

18
mengaharapkan selain diri-Nya adalah sempurna, merupakan

tindakan yang keliru dan menyalahi kodrat dan tabiat kehidupan

(Zainurrofieq, 2014: 26).

Al-Ma’tsurat karya Imam Hasan Abdurrahman Al-Banna

adalah risalah kecil berupa wirid, doa (zikir), diambil dari sejumlah

surat pilihan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Buah karya tadi

sangatlah populer di kalangan umat Islam seluruh dunia, tidak

terkecuali di Indonesia. Bahkan wiridan yang terkandung

didalamnya dijadikan sebagai amalan harian wajib bagi para

pengikut kelompok Ikhwanul Muslimin (disebagian besar negara

Arab) dan kebanyakan para aktivis Islam di Indonesia.

a. Sistematika Al-Ma’tsurat Imam Hasan Al-Banna

1) Al-Ma’tsurat Kubra

Pada bagian awal, Imam Hasan Al-Banna memberi

judul Al-Wazhifah, yakni berisi wirid pagi dan sore yang

berasal dari Al-Qur’an dan Hadits. Inilah yang kemudian

beredar di masyarakat dan dikenal dengan sebutan Al-

Ma’tsurat.

Dalam buku Majmu’atu Rasa’il (Risalah Pergerakan)

yang dikarang oleh Imam Hasan Al-Banna dan diterjemahkan

oleh Muhammad Mahdi Akif (2016 : 291-299) dijelaskan

bahwa pada bagian ini dimulai dengan surah Al-Fatihah,

selanjutnya surah Al-Baqarah ayat 1-5, ayat 255-257, ayat

19
284-286, kemudian surah Ali Imran ayat 1-2, surah Thaha

ayat 111-112, surah At-Taubah ayat 129, surah Al-Isra ayat

110-111, surah Al-Mu’minun ayat 115-118, surah Ar-Rum

ayat 17-26, surah Al-Mu’min ayat 1-3, surah Al-Hasyr ayat

22-24, surah Az-Zalzalah ayat 1-8, surah Al-Kafirun ayat 1-6,

surah An-Nasr ayat 1-3, surah Al-Ikhlas ayat 1-3, surah Al-

Falaq ayat 1-5 dan surah An-Nas ayat 1-6.

Kemudian pada bagian kedua dalam Al-Ma’tsurat ini

berisi wirid-wirid yang diambil dari ayat-ayat Al-Qur’an

yang dipilih. Al-Qur’an merupakan sistem komprehensif bagi

seluruh hukum Islam.

Selanjutnya pada bagian ketiga, berisi doa-doa seperti

doa bangun tidur, doa memakai dan melepas baju, doa masuk

dan keluar rumah, doa berjalan menuju masjid, doa masuk

dan keluar masjid, doa masuk kamar kecil, doa wudhu, doa

mandi, doa setelah adzan, doa makan, doa tahajud, doa sulit

tidur, doa mimpi, doa tidur, doa penutup shalat, dan doa

penutup majelis (Hasan Al-Banna, 2016 : 316-329).

Pada bagian keempat, berisi doa-doa ma’tsur seperti

doa istikharah yang syar’i, doa shalat hajat, doa safar, doa

atas kejadian-kejadian alam, doa pernikahan dan anak-anak,

doa terhadap apa yang dilihat, doa keselamatan dan

penghormatan, doa rintangan kehidupan, doa ketika sakit

20
menjelang wafat, doa shalat tasbih (Hasan Al-Banna, 2016 :

330-343).

Pada bagian kelima, berisi wirid-wirid ma’tsur yang

dianjurkan untuk dibaca oleh aktifis Ikhwanul Muslimin. Di

bagian ini terdapat doa rabithah, yang bukan doa ma’tsur

melainkan disusun sendiri oleh Imam Hasan Al-Banna.

2) Al-Ma’tsurat Sughra

Mengenai jumlah ayat dan doa pada Al-Ma’tsurat

Sughra ini terbilang sedikit. Bagian pertama, dimulai dengan

surah Al-Fatihah, selanjutnya surah Al-Baqarah ayat 1-5, ayat

255-257, ayat 284-286, selanjutnya surah Al-Ikhlas ayat 1-3,

surah Al-Falaq ayat 1-5 dan surah An-Nas ayat 1-6 (Hasan

Al-Banna, 2017: 4).

Dalam buku Al-Ma’tsurat Zikir Pagi dan Petang karya

Imam Hasan Al-Banna (2017: 29) disebutkan pada bagian

kedua ini, berisi wirid dan doa-doa serta shalawat yang

berasal dari hadits-hadits pilihan.

Kemudian pada bagian ketiga, ditutup dengan surah

Ash-Shaffat ayat 180-182, dilanjutkan dengan surah Ali

Imran ayat 26-27 dan doa rabithah (Hasan Al-Banna, 2017:

56). Doa rabithah ini bukan doa yang ma’tsur, melainkan

disusun sendiri oleh Imam Hasan Al-Banna.

4. Keutamaan Zikir Pagi dan Petang

21
Dalam buku Majmu’atu Rasa’il (Risalah Pergerakan)

karangan Imam Hasan Al-Banna dan diterjemahkan oleh

Muhammad Mahdi Akif (2016: 85-86) terdapat keutamaan bagi

orang yang melakukan zikir Al-Ma’tsurat yakni salah satunya

memiliki puncak martabat sebagaimana dalam firman Allah SWT

dalam surah Al-Ahzab ayat 35 :

ّ ٰ ‫ت َو‬
َ‫ ِدقِ ْين‬Q‫الص‬ ِ ‫ت َو ْال ٰقنِتِ ْينَ َو ْال ٰقنِ ٰت‬ ِ ‫ ْؤ ِم ٰن‬Q‫ ْؤ ِمنِ ْينَ َو ْال ُم‬Q‫ت َو ْال ُم‬ ِ ٰ‫لِم‬Q‫لِ ِم ْينَ َو ْال ُم ْس‬Q‫اِ َّن ْال ُم ْس‬
َ‫ ِّدقِ ْين‬QQQ‫َص‬ َ ‫ت َو ْال ُمت‬ ِ ‫ ٰع‬QQQ‫ ِع ْينَ َو ْال ٰخ ِش‬QQQ‫ت َو ْال ٰخ ِش‬ ّ ٰ ‫بِ ِر ْينَ َو‬QQQ‫الص‬
Qِ ‫بِ ٰر‬QQQ‫الص‬
ۤ
ّ ٰ ‫ت َو‬ ِ ‫ ِد ٰق‬QQQ‫الص‬
ّ ٰ ‫َو‬
ٰ ۤ
‫ْن‬Qَ ‫ذ ِك ِري‬Qّ Q‫ت َوال‬ِ ‫رُوْ َجهُ ْم َو ْال ٰحفِ ٰظ‬Q ُ‫ت َو ْال ٰحفِ ِظ ْينَ ف‬ ِ ٰ‫ص ِٕىم‬ ّ ٰ ‫ت َوالصَّا ِٕى ِم ْينَ َوال‬ Qِ ‫صد ِّٰق‬َ َ‫َو ْال ُمت‬
‫هّٰللا‬
‫ت اَ َع َّد ُ لَهُ ْم َّم ْغفِ َرةً َّواَجْ رًا َع ِظ ْي ًما‬ ّ ‫هّٰللا َ َكثِ ْيرًا َّو‬
ٰ
ِ ‫الذ ِك ٰر‬
“Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan
perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan
perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk,
laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan
perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak
menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka
ampunan dan pahala yang besar”.
Dalam ayat lain, Allah berfirman dalam surat Ar-Ra’ad ayat
28:
ْ ‫َط َم ِٕى ُّن قُلُوْ بُهُ ْم بِ ِذ ْك ِر هّٰللا ِ ۗ اَاَل بِ ِذ ْك ِر هّٰللا ِ ت‬
ۗ ُ‫َط َم ِٕى ُّن ْالقُلُوْ ب‬ ْ ‫الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا َوت‬
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan
mengingat Allah hati akan selalu tenteram”.
Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah r.a Rasulullah SAW
bersabda :

‫َت ِم ْث َل‬
ْ ‫ت َع ْنهُ خَ طَايَاهُ َوِإ ْن َكان‬
ْ َ‫ ُسب َْحانَ هلَّلا ِ َوبِ َح ْم ِد ِه ِماَئةَ َم َّر ٍة ُحط‬: ‫َم ْن قَا َل‬
‫زَ بَ ِد ْالبَحْ ِر‬
“Barangsiapa mengucapkan: Subhaanallah wa bihamdihi
(Mahasuci Allah dan segala puji hanya milik-Nya) sebanyak
seratus kali, maka dosa-dosanya akan berguguran meskipun
banyaknya seperti buih di lautan”. (Muttafaq ‘alaih).

22
Dari Abu Darda r.a berkata, “Bersabda Rasulullah SAW:
‘Barangsiapa membacakan shalawat untukku di pagi hari sepuluh
kali dan ketika sore sepuluh kali, maka ia akan mendapati
syafa’atku pada hari kiamat kelak” (H.R Ath-Thabrani).
Dari Tsauban r.a ia berkata, Rasulullah SAW bersabda :

‫صلَّى هلَّلا ُ َعلَ ْي ِه‬


َ ‫د‬Qٍ ‫م ِد ْينَا َوبِ ُم َح َّم‬Qَِ‫ْت بِاهلَّلا ِ َربَّا َّوبِاِإل ْسال‬
ُ ‫ضي‬ِ ‫َم ْن قَا َل ِح ْينَ يُ ْم ِس ْي َر‬
َ ْ‫َو َسلَّ َم نَبِيًّا َكانَ َحقًّا َعلَى هلَّلا ِ تَ َعالَى َأ َّن يُر‬
ُ‫ضيَه‬
“Barangsiapa pada waktu petang membaca ‘Radhiitu billahi
rabba, wa bil islaamidiinaa, wa bimuhammadin shallallahu wa
sallama nabiyya (Aku ridha bertuhankan Allah, beragama Islam,
dan bernabi Muhammad SAW), pastilah Allah akan meridhainya”
(H.R At-Tirmidzi).
C. Al-Qur’an

1. Pengertian al-Qur’an

Secara bahasa diambil dari kata qara’a-yaqra’u yang berarti

sesuatu yang dibaca. Arti ini mempunyai makna anjuran kepada

umat Islam untuk membaca Al-qur’an. Al-qur’an juga bentuk

mashdar dari ‫ الق راة‬yang berarti menghimpun dan mengumpulkan.

Dikatakan demikian sebab seolah-olah Al-qu’ran menghimpun

beberapa huruf, kata, dan kalimat secara tertib sehingga tersusun

rapi dan benar (Anshori, 2013: 17). Oleh karena itu Al-qur’an harus

dibaca dengan benar sesuai sesuai dengan makhraj dan sifat-sifat

hurufnya, juga dipahami, diamalkan dalam kehidupan sehari-hari

dengan tujuan apa yang dialami masyarakat untuk menghidupkan

Al-qur’an baik secara teks, lisan ataupun budaya.

Menurut M. Quraish Shihab (1996: 3) Al-qur’an secara

harfiyah berarti bacaan yang sempurna. Ia merupakan suatu nama

23
pilihan Allah yang tepat, karena tiada suatu bacaan pun sejak

manusia mengenal tulis baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat

menandingi Al-qur’an, bacaan sempurna lagi mulia.

Dan juga Al-qur’an mempunyai arti menumpulkan dan

menghimpun qira’ah berarti menghimpun huruf-huruf dan katakata

satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapi. Al-

Qur’an pada mulanya seperti qira’ah, yaitu mashdar dari kata

qara’a, qira’atan, qur’anan (Khalil Manna Al-Qattan, 2015: 15).

2. Nama-nama Lain Al-Qur’an

Nama-nama lain Al-Qur’an menurut sebagian ulama sangat

banyak. Walaupun penamaan tersebut dicampur antara nama dan

sifat-Nya, misalnya dinamai dengan al-‘Ali, al-Majid, al-Aziz,

al-‘Arabi. Namun apapun nama yang dinisbahkan kepada Al-

Qur’an, yang pasti adalah Al-Qur’an berasal dari Kalam Ilahi yang

kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan dijadikan

sebagai pedoman pertama dan utama bagi umat Islam.

Dalam buku Ulumul Qur’an karangan Prof. Dr. H. Amroeni

Drajat, M.Ag (2017: 32-33) disebutkan bahwa dari sekian banyak

penamaan bagi Al-Qur’an, tiga diantaranya yang masyhur di kenal

di kalangan umat Islam, yaitu :

Pertama, Al-Qur’an terkenal dengan nama al-Furqan. Kata

ini berasal dari bahasa Aramia yang berarti memisahkan atau

membedakan. Penamaan dengan nama al-Furqan mengindikasikan

24
bahwa al-Qur’an sebagai pembeda antara yang benar (al-haq) dan

yang salah (al-bathil) sebagaimana firman Allah SWT dalan surah

Al-Furqan ayat 1 :

ۙ ‫ك الَّ ِذيْ نَ َّز َل ْالفُرْ قَانَ ع َٰلى َع ْب ِد ٖه لِيَ ُكوْ نَ لِ ْل ٰعلَ ِم ْينَ نَ ِذ ْيرًا‬
َ ‫ت َٰب َر‬
“Mahasuci Allah yang telah menurunkan Furqan (Al-Qur'an)
kepada hamba-Nya (Muhammad), agar dia menjadi pemberi
peringatan kepada seluruh alam (jin dan manusia)”.
Kedua, Al-Qur’an juga disebut sebagai al-Dzikr. Kata ini

murni bersal dari bahasa Arab yang mempunyai arti kemuliaan.

Allah SWT berfirman dalam surah Al-Hijr ayat 9 :

َ‫اِنَّا نَحْ نُ نَ َّز ْلنَا ال ِّذ ْك َر َواِنَّا لَهٗ لَ ٰحفِظُوْ ن‬


“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an,
dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya”.
Ketiga, Al-Qur’an juga dinamai dengan sebutan Tanzil, kata

ini juga murni berasal dari bahasa Arab, yang memiliki arti sesuatu

yang diturunkan. Ini mengisyaratkan bahwa wahyu-wahyu Allah

yang kemudian diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Allah

SWT berfirman dalam surah Asy-Syu’ara’ ayat 192 :

ۗ َ‫َواِنَّهٗ لَتَ ْن ِز ْي ُل َربِّ ْال ٰعلَ ِم ْين‬


“Dan sungguh, (Al-Qur'an) ini benar-benar diturunkan oleh
Tuhan seluruh alam”.
3. Fungsi Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang banyak

memiliki manfaat bagi umat manusia. Al-Qur’an sebagai petunjuk

utama bagi seluruh manusia yang diturunkan melalui malaikat

Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai seorang Rasul yang

diberi kepercayaan menerima mukjizat Al-Qur’an. Nabi

25
Muhammad SAW menjadi penyampai, pengamal serta penafsir

pertama dalam Al-Qur’an. Adapun fungsi Al-Qur’an antara lain :

a. Menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW, bukti

kebenaran tersebut dikemukakan dalam tantangan yang sifatnya

bertahap, yakni (Quraish Shihab, 2013: 36) :

1) Menantang siapapun yang meragukannya untuk menyusun

semacam Al-Qur’an secara keseluruhan.

2) Menantang mereka untuk menyusun sepuluh surat semacam

Al-Qur’an

3) Menantang mereka untuk menyusun satu surat semacam Al-

Qur’an

4) Menantang mereka untuk meyusun sesuatu seperti atau lebih

kurang sama dengan satu surat dari Al-Qur’an

b. Menjadi petunjuk untuk seluruh umat manusia. Petunjuk yang

dimaksud adalah petunjuk agama

c. Sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW untuk membuktikan

kenabian dan kerasulan beliau dan Al-Qur’an adalah ciptaan

Allah bukan ciptaan nabi. Hal ini didukung dengan firman Allah

SWT dalam surat Al-Isra’ ayat 88 :

َ‫ْأتُوْ ن‬Q َ‫رْ ٰا ِن اَل ي‬QQُ‫ َذا ْالق‬Q‫ ِل ٰه‬Q ‫ت ااْل ِ ْنسُ َو ْال ِج ُّن ع َٰلٓى اَ ْن يَّْأتُوْ ا بِ ِم ْث‬
ِ ‫لْ لَّ ِٕى ِن اجْ تَ َم َع‬QQُ‫ق‬
‫ْض ظَ ِه ْيرًا‬
ٍ ‫ضهُ ْم لِبَع‬ ُ ‫بِ ِم ْثلِ ٖه َولَوْ َكانَ بَ ْع‬
“Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul
untuk membuat yang serupa (dengan) Al-Qur'an ini, mereka
tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun
mereka saling membantu satu sama lain”.

26
d. Sebagai hidayat/petunjuk. Al-Qur’an diturunkan Allah kepada

Nabi Muhammad SAW bukan hanya untuk dibaca melainkan

juga untuk dipahami serta diamalkan dan sebagai pedoman

untuk mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Oleh

sebab itu kita dianjurkan untuk menjaga serta memeliharanya.

Sebagaimana yang telah disebutkan dalan firman Allah surat al-

Baqarah ayat 2 :

٢ َ‫ْب ۛ فِ ْي ِه ۛ هُدًى لِّ ْل ُمتَّقِ ْي ۙن‬ َ ِ‫ٰذل‬


َ ‫ك ْال ِك ٰتبُ اَل َري‬
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia
merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa”.
Dalam ayat lain surat al-Imran ayat 138 Allah SWT berfirman :

١٣٨ َ‫ َّو َموْ ِعظَةٌ لِّ ْل ُمتَّقِ ْين‬Q‫اس َوهُ ًدى‬


ِ َّ‫ان لِّلن‬
ٌ َ‫ٰه َذا بَي‬
“Inilah (Al-Qur’an) suatu keterangan yang jelas untuk semua
manusia, petunjuk, dan pelajaran bagi orang-orang yang
bertakwa”.
e. Sebagai Obat (Syifa’). Secara harfiah, syifa’ berarti obat, maka

al-Qur’an sebagai asy-syia’ merupakan obat bagi umat manusia.

Artinya, al-Qur’an dapat mengobati segala macam penyakit,

baik penyakit rohani maupun jasmani (Yusuf, 2012: 181).

Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat Yunus ayat 57 :

ُّ ‫ا فِى‬QQ‫فَ ۤا ٌء لِّ َم‬Q‫ةٌ ِّم ْن َّربِّ ُك ْم َو ِش‬Qَ‫ٰيٓاَيُّهَا النَّاسُ قَ ْد َج ۤا َء ْت ُك ْم َّموْ ِعظ‬


‫دًى‬Qُ‫ ِر َوه‬Qۙ ْ‫ ُدو‬Q‫الص‬
٥٧ َ‫َّو َرحْ َمةٌ لِّ ْل ُمْؤ ِمنِ ْين‬
“Wahai manusia, sungguh telah datang kepadamu pelajaran
(Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi sesuatu (penyakit)
yang terdapat dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi
orang-orang mukmin”.
Dalam ayat lain juga disebutkan dalam surat al-Isra’ ayat 82

Allah SWT berfirman :

27
ٰ ‫ ُد‬Q‫ ْؤ من ْي ۙنَ واَل يز ْي‬Q‫ ةٌ لِّ ْلم‬Q‫فَ ۤا ٌء َّورحْ م‬Q‫و ش‬Qُ‫ا ه‬QQ‫رْ ٰان م‬QQُ‫ونُن َِّز ُل منَ ْالق‬
‫الظّلِ ِم ْينَ اِاَّل‬ ِ َ َ ِِ ُ َ َ ِ َ َ ِ ِ َ
٨٢ ‫َخ َسارًا‬
“Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar
dan rahmat bagi orang-orang mukmin, sedangkan bagi orang-
orang zalim (Al-Qur’an itu) hanya akan menambah kerugian”.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Al-Qur’an

merupakan sumber utama yang harus dijadikan dasar hukum atau

pedoman dalam hidup dan kehidupan umat manusia.

4. Sejarah Turunnya Al-Qur’an

Al-Qur’an mulai diturunkan kepada Nabi SAW ketika beliau

sedang berkhalwat di gua Hira pada malam itsnin yang bertepatan

dengan tanggal tujuh belas Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi

SAW, peristiwa diturunkannya Al-Qur’an ini kita kenal dengan

Lailatul Qadar, yakni malam yang penuh kemuliaan.

Al-Qur’an Al-Karim terdiri dari 30 juz, 114 surat dan

susunannya telah ditentukan oleh Allah SWT. Dengan cara tawqifi,

tidak menggunakan metode sebagaimana metode-metode

penyusunan buku ilmiah. Buku ilmiah yang membahas satu

masalah selalu menggunakan satu metode tertentu, namun tidak

dalam Al-Qur’an yang di dalamnya banyak persoalan induk silih

berganti diterangkan (M. Quraish Shihab, 2008: 14).

Para ulama membagi sejarah turunnya Al-Qur’an dalam dua

periode, yakni periode sebelum hijrah dan sesudah hijrah. Ayat-

ayat yang diturunkan pada periode pertama disebut dengan ayat-

ayat Makkiyah, dan ayat-ayat yang diturunkan pada periode kedua

28
dinamai ayat-ayat Madaniyah. Namun disini akan dibagi sejarah

turunnya Al-Qur’an menjadi tiga periode guna mempermudah

dalam pengklasifikasiannya.

a. Periode Pertama

Pada permulaan turunnya wahyu pertama Nabi

Muhammad SAW belum dilantik menjadi Rasul, beliau masih

sebagai seorang Nabi yang tidak ditugaskan untuk

menyampaikan wahyu yang diterimanya. Sampai pada wahyu

kedua barulah Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk

menyampaikan wahyu yang diterimanya, dengan firman Allah

SWT surat Al-Mudatsir ayat 1-2 :

ْ‫ر‬Qۖ ‫ٰيٓاَيُّهَا ْال ُم َّدثِّ ۙ ُر قُ ْم فَا َ ْن ِذ‬


“Wahai orang yang berkemul (berselimut)!, bangunlah, lalu
berilah peringatan!”.
Periode ini berlangsung selama kurang lebih 4-5 tahun dan

telah menimbulkan berbagai macam reaksi dari kalangan

masyarakat Arab pada saat itu. Reaksi-reaksi tersebut nyata

dalam tiga hal berikut :

1) Sebagian kecil dari mereka menerima dengan baik ajaran-

ajaran dalam Al-Qur’an.

2) Sebagian besar mereka menolak ajaran Al-Qur’an karena

kebodohan mereka, keteguhan mereka dalam

mempertahankan adat istiadat dan tradisi dari nenek moyang

mereka, serta adanya maksud tertentu dari satu golongan

29
seperti yang digambarkan oleh Abu Sufyan “kalau sekiranya

Bani Hasyim mendapat kemuliaan Nubuwwah, kemuliaan

apa lagi yang tinggal untuk kami”.

3) Dakwah Al-Qur’an mulai melebar luas melampaui

perbatasan Mekkah menuju daerah lain disekitarnya (M.

Quraish Shihab, 2006: 35-36).

b. Periode Kedua

Pada periode kedua ini sejarah turunnya Al-Qur’an terjadi

selama 8-9 tahun. Pada masa ini terjadi pertikaian hebat antara

kelompok Islam dan Jahiliyah. Kelompok oposisi terhadap

Islam menghalalkan segala cara untuk menghalangi kemajuan

dakwah Islam. Dimulai dari fitnah, intimidasi dan penganiayaan

yang menyebabkan para pengikut Rasulullah SAW ketika itu

terpaksa berhijrah ke Habsyah dan pada akhirnya Nabi

Muhammad SAW dan para pengikutnya berhijrah ke Madinah.

Pada masa itu, ayat-ayat Al-Qur’an di satu pihak silih

berganti turun menjelaskan kewajiban prinsipil penganutnya

sesuai dengan kondisi dakwah pada saat itu, sebagaimana firman

Allah SWT dalam surat An-Nahl ayat 125 (M. Quraish Shihab,

2006: 37) :

ُ‫ ۗن‬QQ‫م بِالَّتِ ْي ِه َي اَحْ َس‬Qُْ‫ك بِ ْال ِح ْك َم ِة َو ْال َموْ ِعظَ ِة ْال َح َسنَ ِة َو َجا ِد ْله‬
َ ِّ‫ع اِ ٰلى َسبِي ِْل َرب‬ ُ ‫اُ ْد‬
َ‫ض َّل ع َْن َسبِ ْيلِ ٖه َوه َُو اَ ْعلَ ُم بِ ْال ُم ْهتَ ِد ْين‬
َ ‫اِ َّن َربَّكَ هُ َو اَ ْعلَ ُم بِ َم ْن‬
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan
pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan
cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih

30
mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang
lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk”.
Sementara di lain pihak, ayat-ayat kecaman dan ancaman

terus mengalir kepada kaum musyrik yang berpaling dari

kebenaran, seperti firman Allah yang terdapat dalam surat

Fussilat ayat 13 :

ٰ ‫ص ِعقَةً ِّم ْث َل‬


ۗ ‫ص ِعقَ ِة عَا ٍد َّوثَ ُموْ َد‬ ٰ ‫م‬Qْ ‫فَاِ ْن اَ ْع َرضُوْ ا فَقُلْ اَ ْن َذرْ تُ ُك‬
“Jika mereka berpaling maka katakanlah, “Aku telah
memperingatkan kamu akan (bencana) petir seperti petir yang
menimpa kaum ’Ad dan kaum Samud”.
c. Periode Ketiga

Selama masa periode ketiga ini, dakwah Al-Qur’an telah

mencapai suatu prestasi besar karena para penganutnya dapat

merasakan hidup bebas melaksanakan ajaran-ajaran di Yastrib

(yang kemudian dinamai dengan Al-Madinah Al-Munawarah).

Periode ini berlangsung sekitar sepuluh tahun. Ini merupakan

periode terakhir, saat Islam telah disempurnakan Allah SWT

dengan turunnya ayat terakhir pada saat Rasulullah SAW wuquf

pada Haji Wada’ (9 Dzulhijjah 10 H) yakni surat Al-Madinah

ayat 3 :

ُ‫ة‬Qَ‫ه َو ْال ُم ْنخَ نِق‬Qٖ Qِ‫ر هّٰللا ِ ب‬Q


ِ Q‫ت َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةُ َوال َّد ُم َولَحْ ُم ْال ِخ ْن ِزي ِْر َو َمٓا اُ ِه َّل لِ َغ ْي‬ ْ ‫ُح ِّر َم‬
‫ا ذبِ َح َعلَى‬QQ‫ا َذ َّك ْيتُ ْم َو َم‬QQ‫َو ْال َموْ قُوْ َذةُ َوال ُمتَ َر ِّديَة َوالنَّ ِط ْي َحة َو َمٓا اَ َك َل ال َّسبُ ُع اِاَّل َم‬
ُ ۗ ُ ُ ْ
‫رُوْ ا ِم ْن‬Q َ‫س الَّ ِذ ْينَ َكف‬ ٌ ۗ Q ‫ِم ٰذلِ ُك ْم فِ ْس‬Qۗ ‫ااْل َ ْزاَل‬Q ِ‫ ب‬Q‫ ُموْ ا‬Q ‫ب َواَ ْن تَ ْستَ ْق ِس‬
َ ‫وْ َم يَ ِٕى‬QQَ‫ق اَ ْلي‬ ِ Q‫ص‬ ُ ُّ‫الن‬
‫ت َعلَ ْي ُك ْم نِ ْع َمتِ ْي‬ ُ ‫ت لَ ُك ْم ِد ْينَ ُك ْم َواَ ْت َم ْم‬ ْ ْ
ُ ‫وْ َم اَ ْك َمل‬QQَ‫اخ َشوْ ۗ ِن اَلي‬ ْ ‫م َو‬Qُْ‫ِد ْينِ ُك ْم فَاَل ت َْخ َشوْ ه‬
ْ
‫ف اِّل ِ ث ۙ ٍم فَاِ َّن‬ٍ ِ‫ص ٍة َغي َْر ُمت ََجان‬ ُ ۗ
َ ‫ْت لَ ُك ُم ااْل ِ ْساَل َم ِد ْينًا فَ َم ِن اضْ ط َّر فِ ْي َم ْخ َم‬ ُ ‫ضي‬ ِ ‫َو َر‬
‫هّٰللا َ َغفُوْ ٌر َّر ِح ْي ٌم‬
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah,
yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan
yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu

31
sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk
berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam
(anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini
orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan)
agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka,
tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku
sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan
nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai
agamamu. Tetapi barangsiapa terpaksa karena lapar, bukan
karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang”.
Dan ayat terakhir turun secara mutlak, adalah surat Al-Baqarah

ayat 281, sehinnga dari ayat pertama kalinya memakan waktu

sekitar 23 tahun (Cahaya Khaeroni, 2017: 196).

D. Living Qur’an

1. Pengertian Living Qur’an

Fenomena interaksi atau model “pembacaan” masyarakat

muslim terhadap al-Quran dalam ruang-ruang sosial ternyata sangat

dinamis dan variatif. Sebagai bentuk resepsi sosio-kultural,

apresiasi dan respon umat Islam terhadap al-Qur’an memang sangat

dipengaruhi oleh cara berfikir, kognisi sosial, dan konteks yang

mengitari hidup mereka. Berbagai bentuk dan model praktik

resepsi dan respon masyarakat dalam memperlakukan dan

berinteraksi dengan al-Qur’an itulah yang disebut dengan Living

Qur’an (al-Qur’an yang hidup) ditengah kehidupan masyarakat

(Abdul Mustaqim, 2015: 104).

Ditinjau dari segi bahasa, Living Qur’an adalah gabungan

dari dua kata yang berbeda, yaitu Living yang berarti “hidup” dan

32
“Qur’an”, yaitu kitab suci umat Islam. Secara sederhana, istilah

Living Qur’an bisa diartikan dengan teks al-Qur’an yang hidup

dalam masyarakat (Sahiron Syamsudin, 2007: 14).

2. Arti Penting Kajian Living Qur’an

Kajian di bidang Living Qur’an memberikan kontribusi yang

signifikan bagi pengembangan wilayah objek kajian al-Qur’an. Jika

selama ini ada kesan bahwa tafsir dipahami harus berupa teks grafis

(kitab atau buku) yang ditulis oleh seseorang, maka makna tafsir

sebenarnya bisa diperluas. Tafsir bisa berupa respon atau praktik

perilaku atau suatu masyarakat yang diinspirasi oleh kehadiran al-

Qur’an, dalam bahasa al-Qur’an hal ini disebut dengan tilawah,

yakni pembacaan yang berorientasi kepada pengalaman (action)

yang berbeda dengan qira’ah (pembaca yang berorientasi pada

pemahaman atau understanding (Abdul Mustaqim, 2015: 107).

Arti penting kajian Living Qur’an berikutnya adalah memberi

paradigma baru bagi pengembangan kajian al-Qur’an kontemporer,

sehingga studi al-Qur’an tidak hanya berkutat pada wilayah kajian

teks. Pada wilayah Living Qur’an ini kajian tafsir tidak lagi hanya

bersifat elitis, melainkan emansipatoris dan analisis ilmu-ilmu

sosial-humaniora tentunya menjadi sangat penting dalam hal ini

(Abdul Mustaqim, 2015: 109).

33
34
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis

penelitian lapangan (field research). Alasan peneliti memilih jenis

penelitian ini adalah karena peneliti ingin mengadakan pengamatan

langsung tentang suatu fenomena yang terjadi dengan mengangkat data

di lapangan.

Untuk menjabarkan penelitian tersebut, penulis menggunakan

metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologi.

Penggunaan metode ini dengan alasan bahwa fokus dalam penelitian ini

adalah pengaruh tradisi Al-Ma’tsurat terhadap para santriwan dan

santriwati di Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah Kelurahan Sedau

Kecamatan Singkawang Selatan. Sementara pendekatan fenomenologi

bertujuan untuk menggambarkan makna dari pengalaman hidup yang

dialami oleh beberapa individu, tentang konsep atau fenomena tertentu

dengan mengeksplorasi struktur kesadaran manusia. Jadi disini peneliti

ingin mengetahui makna dari pengalaman yang dialami oleh para santri

di Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah Kelurahan Sedau Kecamatan

Singkawang Selatan terkait tradisi Al-Ma’tsurat melalui studi

fenomenologi ini.

34
B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian akan dilakukan di Pondok Pesantren Ibnu

Taimiyah, Jalan Pendidikan Teluk Karang No 66 RT/040, RW/007

Kelurahan Sedau, Kecamatan Singkawang Selatan, Kota Singkawang,

Kalimantan Barat.

Adapun alasan peneliti memilih lokasi ini adalah karena Pondok

Pesantren Ibnu Taimiyah ini merupakan satu-satunya Pondok Pesantren

di kota Singkawang yang mengadakan pembacaan Al-Ma’tsurat secara

rutin dari awal berdirinya Pondok Pesantren ini hingga sekarang masih

terus dilakukan.

C. Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini adalah kualitatif. Moleong memaparkan bahwa

penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud untuk

memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian,

semisal perilaku, presepsi, motivasi, tindakan, dan lainnya secara

holistik. Penyusunan penelitian ini adalah dengan deskripsi dalam bentuk

kata-kata dan bahasa suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan

memanfaatkan berbagai objek alamiah (Moleong Lexy J, 2005: 18).

Adapun alasan peneliti menggunakan penelitian kualitatif ini

adalah bahwa penelitian ini berusaha menggali secara dalam dan detail

dari fenomena tradisi Al-Ma’tsurat ini yang tidak akan terjawab jika

informannya hanya melakukan wawancara, jadi membutuhkan

pendekatan yang intens dari peneliti bahkan dari personal untuk menggali

35
informasi sehingga bisa mendapatkan informasi yang detai dan akurat

langsung dari sumbernya.

D. Sumber Data

Data yang akan penulis gunakan untuk penelitian ini berasal dari

berbagai sumber data, meliputi informan, dokumen yang berasal dari

berbagai pihak, kepustakaan, meliputi buku-buku teori.

a. Sumber Data Primer

Data primer merupakan data yang didapat dari sumber pertama

baik dari individu atau perseorangan seperti hasil wawancara atau

hasil pengisian kuesinor yang biasa dilakukan oleh peneliti (Husaein

Umar, 2014: 41).

Data primer ini akan diperoleh dari hasil wawancara yang

mendalam mengenai masalah yang dikaji, sumber data yang akan

diperoleh peneliti adalah hasil wawancara dari Pimpinan Pondok, 1

orang Ustadz, 1 orang Ustadzah, 2 orang santri putri dan 2 santri putra

kelas XII MA yang ada di Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah

Kelurahan Sedau, Kecamatan Singkawang Selatan.

b. Sumber Data Sekunder

Data sekunder yaitu biasanya telah tersusun dalam bentuk

dokumen, artikel, jurnal dan lainnya (Nazir, 1988: 58). Sumber data

ini sebagai pelengkap dari sumber data primer. Dalam hal ini, yang

menjadi sumber data sekunder adalah beberapa dokumen yang

diperlukan untuk membantu melengkapi, kebenaran data, seperti

36
profil pondok pesantren, dokumentasi, foto dan laporan-laporan yang

tersedia di lapangan.

E. Teknik Pengumpulan Data

a. Observasi (pengamatan)

Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia

dengan menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu utamanya

selain pancaindra lainnya seperti telinga, pemciuman, mulut dan kulit

(Marisson, 2012: 26).

Peneliti menggunakan teknik observasi ini dengan alasan karena

untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh yang dilakukan

pada situasi sosial, yang akan melibatkan tempat, pelaku dan aktivitas.

Sehingga nantinya akan memperoleh data yang murni dari apa yang

terjadi di lapangan.

Tujuan observasi ini mengadakan pengamatan pada pelaksanaan

pembacaan zikir al-Ma’tsurat di Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah

Kelurahan Sedau, Kecamatan Singkawang Selatan.

b. Interview (wawancara)

Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal, semacam

percakapan dengan tujuan memperoleh informasi. Sebagai salah satu

cara untuk mendapatkan informasi terkait dengan penelitian dengan

memberikan beberapa pertanyaan untuk memperoleh jawaban.

Sehingga dapat dikontruksikan makna dalam suatu topik tertentu

(Sugiyono, 2105: 64).

37
Teknik yang akan digunakan adalah teknik wawancara terfokus

atau focused interview. Wawancara yang terfokus biasanya terdiri dari

pertanyaan yang tidak mempunyai struktur tertentu, tapi selalu

terpusat pada satu pokok tujuan (Koentjaraningrat, 1997: 174).

Peneliti menggunakan teknik wawancara ini dengan alasan

karena mengharapkan agar data yang dibutuhkan dapat diperoleh

secara langsung sehingga kebenarannya tidak diragukan lagi.

Maka dalam penelitian ini, peneliti akan mewawancarai

beberapa informan dan responden yang dianggap dapat memberikan

informasi yang representative. Di Antara informan dan responden

yang akan peneliti wawancarai adalah Pimpinan Pondok Pesantren,

Ustadz, Ustadzah dan para santri. Teknik ini digunakan dengan tujuan

memperoleh informasi yang valid dan mendalam tentang tradisi al-

Ma’tsurat di Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah Kelurahan Sedau,

Kecamatan Singkawang Selatan.

c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk mencari dan

mengumpulkan data mengenai hal-hal yang berkaitan dengan

penelitian, yang berupa catatan, kegiatan, buku-buku, gambar dari

kegiatan penelitian. Studi dokumen merupakan pelengkap dari

penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian

kualitatif (Sugiyono, 2015: 72).

38
Peneliti menggunakan metode dokumentasi ini dikarenakan

ingin memperoleh data dari hasil sumber tertulis, melalui dokumen

atau tulisan simbolik yang memiliki relevansi dengan penelitian

sehingga dapat melengkapi data yang diperoleh di lapangan.

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara

sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan,

dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam

kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun

ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan

membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun

orang lain (Sugiyono, 2013: 335).

Metode analisis data yang ada dalam penelitian Living Qur’an

secara umum menggunakan metode ilmu-ilmu sosial yang berarti

fenomena sosial yang ada di lingkungan masyarakat dianalisis dengan

metode ilmu-imu sosial ini. Adapun ilmu-ilmu sosial diantaranya adalah

antropologi, ekonomi, psikologi, sosial, geografi, sosia, politik,

pendidikan dan sosialistic. Jadi, untuk menganalisis penelitian Living

Qur’an ini, dibutuhkan metode ilmu-ilmu ocial yaitu memahami dari

segala aspek sosial, yang dapat berupa antropologi, fenomenologi,

psikologi, sosiologi dan lain sebagainya.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

data fenomenologi, yang digunakan Moustakas (dalam Awang, 2006:

39
111). Langkah yang peneliti lakukan disini adalah mengumpulkan hasil

wawancara yang didapat, juga data-data yang berkaitan dengan penelitian

seperti buku, jurnal, serta berupa dokumen-dokumen valid lainnya.

Setelah semuanya terkumpul, peneliti akan menganalis data

menggunakan metode fenomenologi Moustakas. Adapun langkah-

langkahnya (Abdul Mustaqim, 2015: 129) :

a. Membaca ulang seluruh deskripsi hasil pembelajaran di lapangan

(observasi-aktif dan dokumentasi) untuk mendapatkan pemahaman

sesuai konteks dan kajian penelitian.

b. Membaca lagi deskripsi hasil pengamatan lapangan (hasil observasi-

aktif dan dokumentasi), lebih pelan, cermat, dan menghilangkan setiap

kali menemukan sesuatu yang tidak relevan.

c. Mencari serangkaian satuan pemaknaan dengan cara mengurai semua

informasi (dari hasil wawancara) secara berulang-ulang dan

mengelaborasi makna masing-masing.

d. Merefleksikan suatu pernyataan dari hasil wawancara yang sudah

tetap dan memunculkan sesuatu yang esensial dari realitas yang ada.

e. Mensistesakan dan mengintegrasikan pengertian yang diperoleh (dari

hasil deskripsi, pemaknaan, refleksi) ke dalam suatu deskripsi struktur

pengetahuan.

40
BAB IV

PAPARAN DATA DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian

1. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah

Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah merupakan salah satu pondok

pesantren yang berada di Kota Singkawang bernaung di bawah payung

hukum Yayasan Ibnu Taimiyah Singkawang. Didirikan oleh H. Ahmad

Hambali, Lc pada hari Kamis, 18 Juli 1991. Dengan program pendidikan

mencakup Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA).

Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah mewujudkan sekolah berbasis

pesantren dengan kurikulum Diknas dan diperkaya dengan nilai-nilai

pesantren.

Pendirian pondok pesantren merupakan cita-cita H. Ahmad

Hambali, Lc sejak beliau menjadi santri di Pondok Modern Gontor

Ponorogo Jawa Timur. Setelah tamat dan kembali ke Kal-Bar, beliau

mendaftar menjadi da’i Dewan Da’wah Islamiyah (DDII) dan ditugaskan

di Desa Antibar, Mempawah Hilir. Rencana membangun pesantren ini

sudah beberapa kali mengalami kegagalan lantaran tidak mendapat

dukungan dari masyarakat di beberapa daerah tempat H. Ahmad

Hambali, Lc ditugaskan. Suatu hari beliau ikut rombongan pak Sukirman

untuk meninjau Desa Sedau, setelah sampai disana lahannya sangat

menarik dan mereka langsung menemui pemilik tanah yakni bapak

41
Ismail Laha dan disambut baik oleh beliau serta bersedia mewakafkan

tanahnya.

Pada saat itu H. Ahamad Hambali, Lc masih merasa bingung untuk

pindah ke Desa Sedau dikarenakan beliau mendapat tawaran untuk

mendirikan pesantren di daerah Ketapang dan Wajok Hilir. Mendengar

rencana ini, pimpinan pondok pesantren Ushuluddin mencegah

kepindahan tersebut dan meminta H. Ahmad Hambali, Lc untuk

membantu beliau di Pondok Pesantren Ushuluddin Singkawang. Setelah

tiga tahun di Pondok Pesantren Ushuluddin, beliau banyak berkenalan

dengan guru-guru dan para ulama di Singkawang dan beliau

menceritakan ke beberapa tokoh tentang Desa Sedau tersebut dan

akhirnya mereka sangat tertarik untuk bergabung, maka diadakanlah

peninjauan kedua kalinya.

Setelah peninjauan tersebut, diputuskanlah untuk membuat yayasan

yang di beri nama “Yayasan Ibnu Taimiyah Singkawang”. Setelah

terbentuknya yayasan dengan perjuangan panjang maka pada tanggal 18

Juli 1991 resmilah berdiri Madrasah Tsanawiyah dengan jumlah murid

pertama 7 orang dan akhir tahun menjadi 14 orang. Kemudian disusul

pada tanggal 18 Juli 1994 resmi berdiri Madrasah Aliyah dengan jumlah

murid pertama 43 orang. (Sumber : Dokumentasi Pondok Pesantren Ibnu

Taimiyah tahun 2019)

2. Letak Geografis

42
Berdasarkan observasi peneliti pada hari Jum’at, 11 Februari 2022

pukul 08.30 WIB, Pondok pesantren Ibnu Taimiyah terletak di jalan

Teluk Karang, No.66 RT/040 RW/007, Kelurahan Sedau, Kecamatan

Singkawang Selatan, Kota Singkawang. Pondok pesantren Ibnu

Taimiyah terletak di lokasi yang strategis dengan suasana yang sejuk

dekat dengan pegunungan, berada di tengah lingkungan masyarakat,

mudah di akses, dan tidak jauh dari jalan raya. Pondok Pesantren Ibnu

Taimiyah memiliki luas tanah 6,2064 ha. Suatu tempat yang sangat

mendukung bagi pembelajaran yang nyaman dan kondusif. (Sumber :

Dokumentasi Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah tahun 2021)

3. Visi, Misi dan Tujuan Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah

Adapun visi, misi dan tujuan Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah

sebagai berikut :

a. Visi

Menjadi lembaga Islam berkualitas sebagai kontributor terdepan

dalam mencetak kader da’i.

b. Misi

- Transformasi ilmu pengetahuan dan bahasa.

- Menanamkan nilai-nilai Islam dan akhlakul karimah.

- Mengarahkan masyarakat menuju kehidupan yang Islami.

c. Tujuan

- Beraqidah yang lurus.

- Beribadah dengan benar.

43
- Berakhlak mulia.

- Sanggup berusaha, terampil dan mandiri.

- Berilmu dan berwawasan luas.

- Berbadan sehat dan kuat.

- Sanggup mengendalikan hawa nafsunya.

- Terampil dan rapi dalam segala urusannya.

- Disiplin dalam membagi waktu.

- Bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa.

(Sumber : Dokumentasi Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah tahun

2021)

4. Profil Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah

Adapun profil Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah adalah sebagai

berikut :

Nama Pesantren : Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah

Tanggal Berdiri : 18 Juli 1991

Pendiri : Yayasan Ibnu Taimiyah

Nomor Akta Notaris : 379 tanggal 22 September 1987

Tanggal Notaris : 22 September 1987

Ketua Yayasan : Helmi Fauzi, S. H

Lokasi Pesantren : Jl. Pendidikan Teluk Karang No. 66 Rt. 40

Rw. 07 Kel. Sedau, Kec. Singkawang Selatan

Kota Singkawang.

(Sumber : Dokumentasi Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah Tahun 2021)

44
5. Pendidikan yang Diselenggarakan

Adapun pendidikan yang diselenggarakan di Pondok Pesantren

Ibnu Taimiyah antara lain :

a. Madrasah Tsanawiyah (MTs) Ibnu Taimiyah

b. Madrasah Aliyah (MA) Ibnu Taimiyah

(Sumber : Dokumentasi Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah tahun

2021)

Tabel 1
Susunan Kepengurusan Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah

Ketua Yayasan Helmi Fauzi, S. H


Pimpinan Pondok H. Ahmad Hambali, Lc
Wakil Pimpinan Pondok H. Al-Fakhri, Lc. MA
Sekretaris Suriatin, S. Pd
Bendahara Faizah Bilhusnayain, S. Th. I
Kepala Sekolah MTs Sobari, S. Pd
Kepala Sekolah MA Dede Hidayat, S. Pd. M. Pd
Pengajaran Madrasah Nurhasanah, S. Ag. M. Pd
Pengajaran Pondok Dede Hidayat, S. Pd. M. Pd
Pembina Putra Fakhrul Islam, S. Pd
Pembina Putri Mardiana, S. Sos
Sumber : Dokumentasi Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah Tahun 2022

45
Tabel 2
Mata Pelajaran Diniyah dan Umum Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah

No Diniyah Umum
1 Bahasa Arab Matematika
2 Fiqih Bahasa Indonesia
3 Ilmu Kalam Bahasa Inggris
4 Sejarah Kebudayaan Islam Ilmu Pengetahuan Alam
5 Aqidah Akhlak Ilmu Pengetahuan Sosial
6 Khot PKN
7 Al-Qur’an Hadits Sejarah Indonesia
8 Ilmu Hadits Seni Budaya
9 Tafsir Prakarya
10 Hadits BK
11 Ilmu Tafsir
12 Akhlak
13 Ushul Fiqh
Sumber : Dokumentasi Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah Tahun 2022

Tabel 3
Data Ustadz dan Ustadzah Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah

No Nama Tempat dan Tanggal Lahir


1 Dede Hidayat, M. Pd Tasikmalaya, 22 September 1988
2 Nurhasanah, M. Pd Sambas, 2 April 1972
3 Sobari, S. Pd Pernasidi, 16 September 1970
4 Sri Endang Agustina, M. Pd Pontianak, 14 Agustus 1967
5 Dra. Fatmawati Sedau, 11 November 1963
6 Fakhrul Islam, M. Pd Singkawang, 29 Desember 1994
7 Faizah Bilhusnayain, S.Th. I Batu Ampar, 11 April 1990
8 Mardiana, S. Sos Parit Setia, 6 Agustus 1996
9 Lidia, S. Pd. I Pauh, 1 Juli 1985

45
10 M. Machrush CP, SE Bandung, 7 Mei 1993
11 Suriatin, S. Pd Sempadian, 30 Maret 1975
12 Mujahid Nashiruddin, S.Pd Singkawang, 30 November 1992
13 Simai, S. Pd Jungkung, 12 Juni 1990
14 Windi Anggraini, S. Pd Singkawang, 23 November 1991
15 Yekti Atisah, S. Pd Anjungan, 29 Oktober 1996
Sumber : Dokumentasi Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah Tahun 2022

Tabel 4
Jumlah Santri Putri Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah

No Jumlah Santri Putra Jumlah Santri Putri


1 68 Orang 72 Orang
Jumlah Seluruh Santri = 140 Orang
Sumber : Dokumentasi Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah Tahun 2022

Tabel 5
Sarana dan Prasarana Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah

No Sarana dan Prasarana Jumlah


1 Asrama 11 ruangan
2 Gedung Sekolah 3 gedung
3 Tempat Ibadah 2 ruangan
4 Kamar mandi 15 pintu
5 Papan Pengumuman 2 buah
6 Papan Tulis 6 buah
7 Tempat Sampah 13 buah
8 Lapangan Olahraga 1
9 Transportasi 1 unit
Sumber : Dokumentasi Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah Tahun 2022

46
Tabel 6
Jadwal Kegiatan Santri Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah

No Waktu Kegiatan
1 03.30  04.00 Bangun pagi, shalat tahajjud
2 04.00  04.30 Muraja’ah hafalan
3 04.30  05.20 Shalat subuh, baca Al-Ma’tsurat
4 05.20  06.00 Kebersihan pagi dan aktivitas pribadi
5 06.00  07.00 Mengambil nasi dan makan pagi
6 07.00  09.30 Belajar formal di kelas
7 09.30  10.00 Shalat dhuha dan istirahat
8 10.00  11.55 Masuk kelas kembali
9 11.55  14.00 Shalat zuhur dan kembali belajar formal di
kelas
10 14.00  15.30 Makan siang dan tidur siang
11 15.30  16.15 Shalat ashar dan baca Al-Ma’tsurat
12 16.15  18.00 Aktivitas pribadi
13 18.00  19.30 Shalat maghrib, tahsin
14 19.30  20.30 Shalat isya, khotiroh (latihan pidato)
15 20.30  21.00 Makan malam
16 21.00  22.00 Aktivitas pribadi
17 Kamis malam Muhadhoroh
18 Jum’at pagi Baksos
19 Sabtu sore Silat
Sumber : Dokumentasi Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah Tahun 2022

Tabel 7
Daftar Informan dalam Penelitian

No Nama Umur Jabatan


1 H. Ahmad Hambali, Lc 69 Th Pimpinan Pondok

47
2 Dede Hidayat, S.Pd. M.Pd 33 Th Pembina Asrama Putra
3 Rizki Kunia Amanah 20 Th Pembina Asrama Putri
4 Ridwan 18 Th Santri Putra
5 Ahmad Zaki Al-fauzi 18 Th Santri Putra
6 Ummi Kalsum 18 Th Santri Putri
7 Afifah Nur Azizah 16 Th Santri Putri
Sumber : Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah Tahun 2022

B. Paparan Data

Pada bagian ini peneliti akan memaparkan data-data yang telah

terkumpul dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi baik dengan

pimpinan pondok, pembina dan para santri. Data yang disajikan berikut

adalah data yang sesuai dengan fokus penelitian.

1. Praktik Tradisi al-Ma’tsurat

Berdasarkan hasil observasi peneliti di lingkungan santri putra

pada hari Senin, 14 Februari 2022 dan observasi di lingkungan santri

putri pada hari Rabu, 16 Februari 2022 selama kegiatan tradisi al-

Ma’tsurat tersebut berlangsung, dapat diketahui bahwa kegiatan ini

dilaksanakan pada waktu pagi dan sore. Pada waktu pagi dilakukan

ba’da subuh dan waktu sore dilakukan ba’da ashar, keduanya

dilakukan setelah zikir rutin sesudah shalat fardhu. Jadi otomatis

kondisi santri masih dalam keadaan suci (berwudhu) karena

kondisinya setelah melakukan shalat. Hal ini sesuai dengan yang

disampaikan oleh Ustadz Dede Hidayat, M.Pd selaku pembina asrama

putra beliau menyampaikan bahwa :

48
“al-Ma’tsurat ini dibaca pada waktu pagi yakni selesai shalat
subuh dan diwaktu sore setelah shalat ashar, tepatnya dibaca
setelah membaca zikir harian sesudah shalat wajib”.
(Wawancara pada 20 Februari 2022 pukul 14.30 WIB)
Hal serupa juga diungkapkan oleh Ahmad Zaki al-Fauzi dan

Ridwan santri putra kelas XII Aliyah, yakni :

“disini waktu pelaksanaannya itu pada waktu pagi dan sore,


yakni setelah shalat subuh dan ashar tepatnya setelah membaca
zikir selesai shalat”. (Wawancara pada 20 Februari 2022 pukul
12.30 WIB)
“Al-Ma’tsurat ini dibaca pada waktu ba’da subuh dan ashar
yakni setelah membaca wirid selesai shalat wajib”.
(Wawancara pada 20 Februari 2022 pukul 13.30 WIB)
Afifah Nur Azizah santri putri kelas XII Aliyah juga

menyampaikan hal yang sama, yaitu :

“al-Ma’tsurat ini dibaca pada waktu pagi yakni setelah shalat


subuh dan di waktu sore setelah shalat ashar”. (Wawancara
pada 19 Februari 2022 pukul 13.30 WIB)
Selain itu, hal ini juga sesuai dengan pernyataan dari Ustadzah

Rizki Kurnia Amanah yang merupakan pembina asrama putri. Beliau

menjawab :

“Untuk waktu pelaksanaan biasanya dilakukan di waktu pagi


dan sore hari yakni setelah shalat subuh dan ashar tepatnya
sesudah membaca zikir selesai shalat fardhu”. (Wawancara
pada 19 Februari 2022 pukul 19.42 WIB)
Al-Ma’tsurat yang pada dasarnya terdapat ayat-ayat al-Qur’an

dan hadits-hadits pilihan di dalamnya, dan jika kita hendak

membacanya maka harus dengan keadaan suci (berwudhu) sebagai

salah satu bentuk adab kita terhadap kalamullah dan hadits Nabi

SAW. Seperti yang telah dilakukan oleh para santri di Pondok

49
Pesantren Ibnu Taimiyah ini yang membaca al-Ma’tsurat di waktu

yang tepat yakni setelah shalat subuh dan shalat ashar. Dengan

demikian kondisi para santri yang akan membaca al-Ma’tsurat sudah

dalam keadaan suci (berwudhu).

Dari hasl observasi yang peneliti lakukan di lingkungan

asrama putra pada hari Senin, 14 Februari 2022 pukul 15.55-16.55

WIB kegiatan membaca al-Ma’tsurat ini merupakan rutinitas wajib

bagi para santri sebelum memulai aktivitas. Adapun mengenai proses

pelaksanaan dari kegiatan ini dilakukan bersama-sama dengan

membentuk lingkaran, lalu kemudian membaca al-Ma’tsurat.

Penyataan ini sesuai dengan hasil wawancara peneliti dengan ustadz

Dede Hidayat, M.Pd, yakni beliau menjelaskan :

“kegiatan membaca al-Ma’tsurat ini dilakukan bersama-sama.


Jadi setelah selesai shalat beserta membaca zikir, para santri
langsung duduk membentuk lingkaran kemudian membaca al-
Ma’tsurat, nanti pas diakhir pembacaan doa robithoh nya ada
satu orang yang membaca dan yang lain mengaminkan”.
(Wawancara pada 20 Februari 2022 pukul 14.30 WIB)
Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Ridwan yang

merupakan santri putra kelas XII Aliyah yaitu :

“Jadi begitu kita selesai membaca wirid sesudah shalat wajib


para santri langsung mengambil posisi duduk membentuk
lingkaran, kemudian membaca al-Ma’tsurat secara besama-
sama. Nanti pada bagian doa robithah akan ada satu orang
yang memimpin untuk membaca doa robithoh tersebut. Dan
santri baru diwajibkan membawa kitab al-Ma’tsurat dengan
tujuan agar tidak terbata-bata membacanya”. (Wawancara pada
20 Februari 2022 pukul 13.30 WIB)
Kemudian, mengenai proses pelaksanaan kegiatan membaca

al-Ma’tsurat di lingkungan asrama putri, dari hasil observasi yang

50
peneliti lakukan pada hari Rabu, 16 Februari 2022 pukul 15.55-16.15

WIB. Peneliti menemukan proses pelaksanaannya serupa dengan yang

ada di lingkungan asrama putra yakni dilakukan bersama-sama dengan

membentuk lingkaran lalu membaca al-Ma’tsurat. Hal ini juga

dibenarkan oleh Ummi Kalsum santri putri kelas XII Aliyah :

“Untuk proses pelaksanaannya kita habis shalat berjama’ah


dan membaca zikir selesai shalat fardhu, kita langsung
berkumpul dan duduk membentuk lingkaran kemudian
membaca al-Ma’tsurat bersama-sama. Dan di akhir ketika
membaca doa robithoh ada satu orang yang bertugas untuk
membaca doa dan yang lain ikut mengaminkan. Untuk santri
baru diharuskan membawa al-Ma’tsurat agar tidak terbata-bata
ketika membacanya”. (Wawancara pada 19 Februari 2022
pukul 09.12 WIB)
Dari penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa membaca al-

Ma’tsurat merupakan kegiatan rutin yang wajib dilakukan oleh para

santri dan dibaca bersama-sama dengan duduk membentuk liingkaran.

Untuk santri baru mereka diwajibkan membawa al-Ma’tsurat yang

memang sudah disediakan oleh pihak pondok agar mereka terbiasa

dan tidak terbata-bata ketika membacanya. Sedangkan santri lama

mereka rata-rata sudah hafal semua isi zikir al-Ma’tsurat tersebut,

walaupun ada beberapa dari mereka yang membawanya pada saat

kegiatan dengan tujuan agar lebih maksimal dalam membaca dan

mengamalkannya.

Terkait dengan kendala, tentunya setiap kegiatan pasti ada

kendala, seperti kendala yang ada pada kegiatan membaca al-

51
Ma’tsurat ini. Hal ini diungkapkan oleh pembina putra yakni ustadz

Dede Hidayat, M.Pd :

“anak-anak kendalanya ngantuk aja sih apalagi di waktu


subuh, nah mereka yang ngantuk itu paling disuruh berdiri biar
bisa ikut baca lagi”. (Wawancara pada 20 Februari 2022 pukul
14.30 WIB)
Kendala tersebut juga dibenarkan oleh ustdzah Rizki Kurnia

Amanah selaku pembina putri :

“Iya tentu ada kendala, salah satunya adalah mereka ngantuk


pas baca al-Ma’tsurat terutama di waktu subuh, nah nanti yang
ngantuk itu disuruh berdiri oleh pengurus. Jadi membaca al-
Ma’tsurat sambil berdiri biar santri tetap fokus dalam
mengikuti kegiatan rutin tersebut”. (Wawancara pada 19
Februari 2022 pukul 19.42 WIB)
Dari penjelasan pembina putra dan putri tersebut, disampaikan

bahwa kegiatan tersebut harus ada yang mengawasi. Karena jika tidak

ada yang mengawasi, bisa jadi santri akan banyak yang main-main

atau bahkan tertidur. Untuk mengantisipasi kejadian tersebut, maka

kegiata rutin tersebut harus diawasi oleh pembina dan pihak OPPPIT

(Organisasi Pelajar Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah).

Kendala serupa juga disampaikan oleh Ahmad Zaki al-Fauzi

selaku santri putra kelas XII Aliyah :

“kendalanya pasti ada, contohnya ada yang terbata-bata ketika


membaca al-Ma’tsurat karena belum hafal atau mengantuk
apalagi di waktu subuh. Kebanyakan dari mereka yang
mengantuk tersebut akan disuruh berdiri oleh pengurus agar
kembali fokus membaca al-Ma’tsurat. Jika dalam kondisi
berdiri masih mengantuk maka akan dikenai sanksi berupa
membersihkan masjid dan sekitar asrama putra”. (Wawancara
pada 20 Februari 2022 pukul 12.30 WIB)

52
Pendapat yang sama juga dibenarkan oleh Ridwan yang juga

merupakan santri kelas XII Aliyah :

“Kendalanya pasti ada terutama di waktu subuh, setelah shalat


subuh pasti merasa ngantuk, nah nanti yang ngantuk itu
disuruh berdiri untuk menghilangkan rasa ngantuk. Jika masih
ngantuk nantinya akan ada sanksi berupa membersihkan
masjid dan di sekitaran asrama putra”. (Wawancara pada 20
Februari 2022 pukul 13.30 WIB)
Hal ini pun juga diungkapkan oleh santri putri yakni Ummi

Kalsum yang juga santri kelas XII Aliyah, beliau menyampaikan :

“Untuk kendalanya sih itu biasanya kebanyakan ngantuk


terutama di waktu subuh. Nah jika ada yang ngantuk seperti itu
biasanya langsung disuruh berdiri sama pengurus biar kembali
fokus membaca al-Ma’tsurat”. (Wawancara pada 19 Februari
2022 pukul 09.12 WIB)
Menurut penjelasan para santri di atas, bahwa setiap hari

mereka mengalami kendala yang sama saat sedang mengikuti kegiatan

tradisi al-Ma’tsurat khususnya pada waktu pagi yakni setelah shalat

subuh. Oleh karena itu sangat diperlukan pengawasan dari pembina

maupun pengurus OPPPIT untuk mengawasi setiap kegiatan santri.

Berdasarkan hasil observasi peneliti di lingkungan asrama

putra pada hari Senin, 14 Februari 2022 dan observasi peneliti di

lingkungan asrama putri hari Rabu, 16 Februari 2022 pukul 15.55-

16.15 WIB, kegiatan rutin ini dilaksanakan di masjid untuk santri

putra, sedangkan santri putri dilakukan di mushala. Adapun yang

berpartisipasi dalam kegiatan tersebut adalah pembina, pengurus

OPPPIT dan para santri. Berkaitan dengan perangkat yang digunakan

para santri adalah menggunakan al-Ma’tsurat Sughro karangan Imam

53
Hasan al-Banna. Para santri membaca al-Ma’tsurat diawali dengan

membaca ta’awuz, kemudian dilanjutkan membaca surat al-Fatihah,

surat al-Baqarah ayat 1-5, surat al-Baqarah ayat 255-257, al-Baqarah

ayat 284-286, lalu membaca surat al-Ikhlas, surat al-Falaq dan surat

an-Nas serta wirid-wirid yang berupa doa pilihan dan shalawat lalu

kemudian diakhiri dengan membaca doa rabithah.

2. Latar belakang Tradisi al-Ma’tsurat

Tradisi membaca al-Ma’tsurat di Pondok Pesantren Ibnu

Taimiyah merupakan kegiatan rutin yang wajib diikuti oleh seluruh

santri. Kegiatan tersebut dimulai sejak tahun 1992 sampai sekarang.

Sebagaimana hasil wawancara peneliti dengan pimpinan Pondok

Pesantren Ibnu Taimiyah yakni ustadz H. Ahmad Hambali, Lc, beliau

menjawab :

“Rutinitas wajib ini sudah lama dilaksanakan yakni dari tahun


1992 sampai sekarang. Dan orang yang pertama kali
menganjurkan untuk mengadakan membaca al-Ma’tsurat ini
adalah ustadz M. Alfan Hadi. Kami berharap dengan adanya
membaca al-Ma’tsurat dengan rutin akan membentengi para
santri dari gangguan setan serta agar para santri terbiasa
mengamalkan membaca al-Ma’tsurat ini”. (Wawancara pada
Jum’at, 25 Februari 2022 pukul 16.00 WIB)
Dari pernyataan pimpinan pondok di atas, kita mengetahui

bahwa rutinitas wajib tersebut sudah sangat lama diadakan yakni dari

tahun 1992 sampai saaat ini sehingga sudah menjadi sebuah tradisi di

kalangan pondok pesantren. Dengan diadakannya kegiatan tersebut

pihak pondok pesantren berharap agar para santri terbiasa dalam

mengamalkan membaca al-Ma’tsurat serta menjadi benteng dari

54
segala macam gangguan. Karena dengan membaca al-Ma’tsurat

bukan semata-mata hanya untuk mendapat pahala, tetapi juga

memiliki banyak manfaat serta keutamaan bagi pembacanya itu

sendiri.

“dengan membaca al-Ma’tsurat akan berdampak baik bagi


yang membacanya serta memberikan ketenangan hati dan juga
mendatangkan pahala jika mengamalkannya, karena al-
Ma’tsurat ini berisi ayat-ayat al-Qur’an dan hadits serta doa-
doa pilihan”. (Wawancara dengan pimpinan pondok pada 25
Februari 2022 pukul 16.00 WIB)
Dari penjelasan di atas, bahwa dengan membaca al-Ma’tsurat

membawa dampak baik bagi para santri, dan menghadirkan rasa

tenang serta mendatangkan pahala karena al-Ma’tsurat ini bukan

hanya berisi ayat-ayat al-Qur’an, tetapi juga berisi hadits serta doa-doa

pilihan. Dengan demikian dapat menunjang proses belajar ilmu-ilmu

agama dan mengembangkan potensi-poensi yang dimiliki oleh santri.

Hal serupa juga disampaikan oleh ustadz Dede Haidayat, M.Pd

selaku pembina asrama putra, beliau mengungkapkan :

“karena tadi niatnya mendekatkan diri kepada Allah dan


bagian dari ibadah, kegitan seperti ini sangat baik menurut
saya. Walaupun cara mendekatkan diri kita kepada Allah
bermacam-macam, tidak hanya membaca al-Ma’tsurat saja,
masih ada amalan yang lain, tetapi membaca al-Ma’tsurat juga
termasuk bagian dari ibadah”. (Wawancara pada 20 Februari
2022 pukul 1.30 WIB)
Pernyataan dari pembina putra di atas, menjelaskan bahwa

banyak cara untuk mendekatkan diri kepada Allah, salah satunya

dengan membaca al-Ma’tsurat. Walaupun caranya tidak hanya dengan

membaca al-Ma’tsurat saja, masih banyak amalan lain yang bisa

55
diamalkan, tetapi membaca al-Ma’tsurat juga termasuk dalam bagian

dari ibadah.

Membaca al-Ma’tsurat menjadi kewajiban bagi santri itu juga

disampaikan oleh ustadzah Rizki Kurnia Amanah selaku pembina

asrama putri menyatakan bahwa :

“dengan adanya kegiatan rutinitas tersebut akan membawa


pengaruh baik dalam kehidupan sehari-hari para santri, karena
selain dianjurkan oleh Nabi SAW, membaca al-Ma’tsurat juga
memiliki banyak manfaat serta keutamaan di dalamnya. Salah
satunya adalah mendapat perlindungan dari Allah SWT
sebelum memulai sebuah aktivitas”. (Wawancara pada Sabtu,
19 Februari 2022 pukul 19.42 WIB)
Dari penjelasan ustadzah Rizki Kurnia Amanah di atas bahwa

dengan adanya kegiatan rutin membaca al-Ma’tsurat bukan hanya

membawa pengaruh baik bagi santri, tetapi juga akan mendapat

perlindungan dari Allah SWT sebagai benteng sebelum memulai

aktivitas sehari-hari.

Selain itu, hal lain juga diungkapkan oleh Ahmad Zaki al-

Fauzi dan Ridwan yang merupakan santri putra kelas XII Aliyah yakni

“dengan diadakannya kegiatan rutin ini akan sangat berdampak


baik bagi yang membacanya dan juga membaca al-Ma’tsurat
ini perbuatan sunnah, dengan begitu kita berarti kita sudah
menghidupkan salah satu sunnah Nabi SAW”. (Wawancara
pada 20 Februari 2022 pukul 12.30 WIB)
“dengan membaca al-Ma’tsurat kita dapat mengetahui bacaan-
bacaan zikir yang Rasulullah SAW anjurkan pada zamannya
dan kita mengamalkannya sekarang dan tentu membawa
dampak baik dalam kehidupan kita sehari-hari”. (Wawancara
pada Minggu, 20 Februari 2022 pukul 13.30 WIB)

56
Dari penjelasan di atas bahwa membaca al-Ma’tsurat

merupakan suatu perbuatan sunnah. Jika kita mengerjakan ibadah

yang sunnah artinya kita sudah mengikuti perbuatan Nabi SAW.

Sedangkan di dalam perbuatan sunnah tersebut sangat banyak sekali

keutamaannya bagi orang yang melaksanakannya.

Dengan membaca al-Ma’tsurat akan melatih para santri agar

terbiasa dengan berzikir dan juga sebagai bentuk mendekatkan diri

kita kepada Sang Pencipta serta mengingatkan kita untuk senantiasa

bersyukur terhadap segala nikmat dan karunia yang telah diberikan-

Nya dengan cara mengingatnya (berzikir). Sebagaimana yang telah

disampaikan oleh pimpinan pondok yakni ustdz H. Ahmad Hambali,

Lc yaitu :

“tujuannya adalah sebagai bentuk mengungkapkan rasa syukur


kepada Allah dengan berzikir, serta melatih para santri untuk
selalu senantiasa berzikir dan tentu dengan mengamalkannya
akan mendapat pahala serta memberikan dampak baik bagi
yang membacanya”. (Wawancara pada 25 Februari 2022 pukul
16.00 WIB)
Hal lain juga diungkapkan oleh Ummi Kalsum dan Afifah Nur

Azizah yang merupakan salah satu santri putri kelas XII Aliyah :

“tujuan membaca al-Ma’tsurat itu banyak sekali salah satunya


adalah bisa mengingatkan diri kita kepada Allah SWT”.
(Wawancara pada 19 Februari 2022 pukul 09.12 WIB)
“tujuannya selain mendekatkan diri kepada Allah, juga melatih
disiplin para santri karena ini kan rutinitas wajib”. (Wawancara
pada 19 Februari 2022 pukul 13.30 WIB)
Pendapat sama juga disampaikan oleh ustadz Dede Hidayat,

M.Pd yakni :

57
“tujuan dari kegiatan ini salah satunya adalah melaksanakan
perintah Allah SWT dan mendapat pahala serta zikir ini kan
merupakan bagian dari ibadah”. (Wawancara pada 20 Februari
2022 pukul 14.30 WIB)

3. Pengaruh Tradisi al-Ma’tsurat Terhadap Santri

Membaca al-Ma’tsurat memiliki banyak manfaat serta

keutamaan di dalamnya yang akan membawa pengaruh baik bagi

orang yang membaca dan mengamalkannya. Diantara banyaknya

fadhilah membaca al-Ma’tsurat, salah satunya yaitu untuk

membentengi diri dari segala macam gangguan dan marabahaya. Dan

bagi yang rutin membacanya tentu akan mendapat perlindungan dari

Allah SWT. Dengan demikian proses belajar ilmu agama yang sedang

dilakukan oleh santri terasa nyaman.

Hal ini dijelaskan oleh ustadz Dede Hidayat, M.Pd yang

merupakan pembina asrama putra, beliau menyatakan bahwa :

“dengan membaca al-Ma’tsurat bisa menenangkan hati serta


mendapat perlindungan dari Allah dari segala gangguan setan.
Apalagi kan al-Ma’tsurat itu banyak memiliki keutamaan-
keutamaan di dalamnya”. (Wawancara pukul 20 Februari 2022
pukul 14.30 WIB)
Pernyataan serupa juga diungkapkan oleh ustadzah Rizki

Kurnia Amanah selaku pembina santri putri yakni :

“dengan membaca al-Ma’tsurat kita dapat terhindar dari


gangguan setan, agar lebih dekat dengan Allah SWT dan
mendapat perlindungan di setiap mengawali rutinitas sehingga
menumbuhkan rasa aman, nyaman dan tenang kepada para
santri”. (Wawancara pada 19 Februari 2022 pukul 19.42 WIB)

58
Selain itu juga, fadhilah dari al-Ma’tsurat ini adalah sebagai

penenang hati. Dimana kita dianjurkan untuk selalu mengingat Allah

SWT maka itulah keutamaannya sebagai penenang hati yang gelisah.

Jika hati gelisah, gundah gelana maka berzikirlah. Dengan berzikir

mengingat Allah hati kita akan jauh lebih tenang dan dengan

ketenangan di dalam hati akan menjadikan hidup lebih terarah.

Dalam hal ini, Ahmad Zaki al-Fauzi yang merupakan santri

putra kelas XII Aliyah menyampaikan bahwa :

“dengan membaca al-Ma’tsurat kita akan mendapat


perlindungan Allah SWT sebelum memulai aktivitas serta
mendapatkan pahala dan juga menumbuhkan ketenangan
batin”. (Wawancara pada 19 Februari 2022 pukul 12.30 WIB)
Kemudian dibenarkan juga oleh Ridwan santri putra kelas XII

Aliyah, yaitu :

“dengan membaca al-Ma’tsurat kita akan mendapat


perlindungan Allah SWT dari segala gangguan dan
marabahaya. Selain itu juga hati akan merasa jauh lebih tenang
dan tentram”. (Wawancara pada 20 Februari 2022 pukul 13.30
WIB)
Hal yang sama juga disampaikan oleh Ummi Kalsum dan

Afifah Nur Azizah yang juga merupakan santri putri kelas XII

Aliyah :

“kita bisa dilindungi dari gangguan-gangguan setan serta hati


menjadi jauh lebih tenang”. (Wawancara pada 19 Februari
2022 pukul 09.12 WIB)
“dengan membaca al-Ma’tsurat itu dapat membentengi diri
kita dari segala macam gangguan”. (Wawancara pada 19
Februari 2022 pukul 13.30 WIB)

59
Jadi dari ungkapan keempat santri tersebut adalah bahwasanya

Allah itu memiliki sifat yang Maha Melindungi para hamba-Nya.

Allah SWT memberikan perlindungan khusus terhadap hamba-hamba

yang senantiasa mengingatnya. Allah memberikan ketenangan di

dalam hati hamba-Nya yang juga ingat kepada Allah SWT.

Ketenangan yang diberikan Alah kepada hamba-Nya menjadikan

hamba tersebut tergerak untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik

terlebih lagi yang bermuatan ibadah. Tentunya yang melakukan

perbuatan tersebut akan mendapatkan hasil yang sesuai dengan apa

yang telah dilakukannya.

Akan banyak manfaat serta pengaruh positif setelah

mengamalkan zikir al-Ma’tsurat yang dibaca secara terus menerus

dengan istiqomah dan konsisten, karena zikir merupakan salah satu

media untuk mengingat serta mendekan diri kepada Allah. Maka jika

pelaksanaannya dilakukan secara rutin akan memberikan dampak baik

bagi pembacanya, seperti merasa lebih dekat kepada Allah SWT dan

memberikan ketenangan seolah merasakan kehadiran Allah SWT,

sehingga segala tindakan setiap harinya akan selalu senantiasa dalam

lindungan dan pengawasan Allah SWT.

Berkaitan dengan hal ini salah satu santri putra kelas XII

Aliyah yakni Ahmad Zaki al-Fauzi mengatakan :

“menurut saya pribadi selama mengikuti kegiatan rutin ini


yang saya dapatkan adalah hati jadi lebih tenang dan tentram
dan juga di al-Ma’tsurat ini banyak ayat-ayat ruqyah yang bisa

60
membentengi kita dari gangguan setan”. (Wawancara pada 20
Februari 2022 pukul 12.30 WIB)
Lalu kemudian Ridwan santri putra kelas XII Aliyah juga

mengatakan hal yang tidak jauh berbeda, yaitu :

“menurut saya, setelah membaca al-Ma’tsurat kita akan


merasa lebih tenang, merasa dilindungi Allah Ta’ala dari
gangguan setan serta marabahaya. Karena dalam al-Ma’tsurat
berisi ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits”. (Wawancara pada 20
Februari 2022 pukul 13.30 WIB)
Pendapat yang serupa juga disampaikan oleh Ummi Kalsum

salah satu santri putri kelas XII Aliyah :

“Selama saya disini yang saya rasakan hati menjadi lebih


tenang, juga dipermudah dalam menuntut ilmu, dan dilindungi
dari segala gangguan setan maupun jin serta dari segala
marabahaya”. (Wawancara pada 19 Februari 2022 pukul 09.12
WIB)
Pendapat yang sama diungkapkan juga oleh Afifah Nur Azizah

yang juga merupakan santri putri kelas XII Aliyah, yakni :

“Menurut saya pribadi yang saya rasakan selama membaca al-


Ma’tsurat secara rutin hati menjadi jauh lebih tenang, lebih
tentram serta terasa lebih mudah dalam menuntut ilmu.
Berbeda ketika saya tidak membacanya, rasanya ada yang
kurang aja begitu, salah satunya lebih cepat emosian, jadi
sebisa mungkin saya selalu membaca al-Ma’tsurat ini”.
(Wawancara pada 19 Februari 2022 pukul 13.30 WIB)
Jadi berdasarkan pengalaman keempat santri tersebut yang

mereka rasakan selama mengamalkan dan membaca al-Ma’tsurat di

Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah ini adalah hati mereka jauh lebih

tenang dan tentram juga dipermudah dalam menuntut ilmu, serta

mendapat perlindungan Allah SWT dari segala macam gangguan dan

malapetaka, karena al-Ma’tsurat ini berisikan ayat-ayat al-Qur’an dan

61
hadits serta doa-doa pilihan yang mana dapat membentengi para santri

dari gangguan setan maupun jin.

C. Pembahasan Hasil Penelitian

Penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti dengan memperoleh

data hasil dari observasi, dokumentasi maupun wawancara kepada para

informan terkait tradisi membaca al-Ma’tsurat di Pondok Pesantren Ibnu

Taimiyah Kelurahan Sedau, Kecamatan Singkawang Selatan. Dari data

yang peneliti peroleh, maka selanjutnya peneliti akan melakukan analisis

data setelah memaparkannya.

1. Praktik Pelaksanaan Tradisi al-Ma’tsurat di Pondok Pesantren

Ibnu Taimiyah Kelurahan Sedau Kecamatan Singkawang Selatan

Pengertian al-Ma’tsurat secara umum ialah kumpulan wirid

dan doa (zikir)yang diambil dari sejumlah surat pilihan di dalam al-

Qur’an maupun Hadits Nabi (Zainurrofieq, 2014 : 26).

Zikir al-Ma’tsurat disusun oleh Imam Haan al-Banna beliau

merupakan seorang berkebangsaan Mesir lahir pada tahun 1906 M.

Beliau merupakan ulama yang juga tokoh pemimpin dari gerakan

Islam dunia yakni Ikhwanul Muslimin. Sejak awal berdirinya gerakan

ini, Imam Hasan Al-Banna senantiasa berusaha untuk membentuk

sebuah generasi Rabbani, layaknya generasi para sahabat dan salafus

shalih. Oleh karena itu, beliau berusaha agar jamaah Ikhwanul

Muslimin membiasakan diri untuk senantiasa berdzikir dengan dzikir-

dzikir yang ma’tsur dari Rasulullah SAW.

62
Dalam hal ini, Imam Hasan Al-Banna membuat sebuah risalah

ringkas yang sangat mudah dipraktikkan oleh jamaah Ikhwanul

Muslimin, ini bertujuan untuk mengenalkan mereka tentang hal-hal

yang ma’tsur dari Rasulullah SAW dalam berbagai kesempatan.

Risalah ringkas ini dikumpukan dari kitab-kitab Ash-Shahih dan As-

Sunan yang kemudian dikenal dengan sebuatan Al-Ma’tsurat (Al-

Banna, 2016: 281).

Adapun al-Ma’tsurat yang berkembang di tengah masyarakat

terbagi menjadi dua bagian yakni al-Ma’tsurat Kubro yang jumlah

ayat dan doanya lebih banyak, dan al-Ma’tsurat Sughro yang jumlah

ayat dan doanya tersusun lebih sedikit (Istiqomah, 2020 : 38).

Berdasarkan informasi yang peneliti dapat dari informan dan

observasi peneliti selama kegiatan membaca al-Ma’tsurat tersebut,

kegiatan ini dilaksanakan pada waktu pagi dan sore. Pada waktu pagi

dilakukan ba’da subuh dan sore dilakukan ba’da ashar, keduanya

dilakukan setelah zikir rutin sesudah shalat fardhu. Mengenai

teknisnya membaca al-Ma’tsurat dilakukan secara bersama-sama

dengan posisi duduk membentuk lingkaran kemudian baru membaca

al-Ma’tsurat.

Adapun terkait kendala yang dihadapi, rata-rata para santri

merasakan ngantuk pada saat membaca al-Ma’tsurat, terutama pada

waktu subuh. Perangkat yang digunakan selama kegiatan berlangsung

ialah al-Ma’tsurat Sughro karangan Imam Hasan al-Banna. Kemudian

63
dibaca dengan diawali membaca ta’awuz, lalu dilanjutkan membaca

surat al-Fatihah, surat al-Baqarah ayat 1-5, surat al-Baqarah ayat 255-

257, al-Baqarah ayat 284-286, lalu membaca surat al-Ikhlas, surat al-

Falaq dan surat an-Nas serta wirid-wirid yang berupa doa pilihan dan

shalawat lalu kemudian diakhiri dengan membaca doa rabithah.

2. Latar Belakang Pelaksanaan Tradisi al-Ma’tsurat di Pondok

Pesantren Ibnu Taimiyah Kelurahan Sedau Kecamatan

Singkawang Selatan

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan

peneliti mengenai tradisi al-Ma’tsurat di Pondok Pesantren Ibnu

Taimiyah ini, sudah dilaksanakan rutin sejak tahun 1992 hingga

sekarang masih berjalan. Tradisi al-Ma’tsurat ini dibaca setiap ba’da

subuh dan ashar. Kegiatan rutin ini wajib diikuti oleh seluruh santri

yang diawasi oleh ustadz/ustadzah dan pengurus OPPPIT. Tradisi ini

tidak ada gerakan-gerakan khusus yang dilakukan.

Di dalam al-Ma’tsurat terdapat banyak ayat-ayat al-Qur’an,

hadits serta doa-doa pilihan, yang bisa dijadikan rujukan untuk

berzikir mengikuti Rasulullah SAW. Dengan membaca al-Ma’tsurat

berarti sudah menghidupkan salah satu sunnah Nabi SAW.Dalam

pendidikan pondok, pasti diajarkan tentang sunnah-sunnah Nabi

SAW. Selain melaksanakan amalan yang wajib di pondok pesantren

juga dibiasakan untuk mengerjakan amalan yang sunnah. Contohnya

membaca al-Ma’tsurat yang merupakan kumpulan zikir dan doa yang

64
pernah dibaca oleh Rasulullah SAW. Apabila al-Ma’tsurat tersebut

dibaca secara rutin maka akan menimbulkan pengaruh baik bagi yang

membacanya serta mengamalkannya.

Menurut analisa penulis, bahwa dengan membaca al-

Ma’tsurat yang di dalamnya terdapat ayat-ayat al-Qur’an pilihan,

secara langsung kita telah mengerjakan salah satu amalan sunnah Nabi

SAW, kemudian dalam hal berzikir membaca bacaan yang pernah

dibaca oleh Nabi SAW bisa dikatakan menghidupkan kembali sunnah

beliau. Karena kita adalah umat beliau maka sudah menjadi keharusan

bagi kita untuk mengikuti sunnah-sunnahnya. Sebagaimana Nabi

SAW bersabda :

‫َم ْن َأحْ يَا ُسنَّةً ِم ْن ُسنَّتِى فَ َع ِم َل بِهَا النَّاسُ َكانَ لَهُ ِم ْث ُل َأجْ ِر َم ْن َع ِم َل بِهَا‬
‫ُأ‬
ِ ‫الَ يَ ْنقُصُ ِم ْن ج‬
‫ُور ِه ْم َش ْيًئا‬
“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-
sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan
mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang
mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka
sedikitpun” (H.R Ibnu Majah).
Dalam riwayat lain Nabi SAW juga bersabda :

‫ َو َم ْن َأ َحبَّنِي َكانَ َم ِعي فِي ْال َجنَّ ِة‬،‫َم ْن َأحْ يَا ُسنَّتِي فَقَ ْد َأ َحبَّنِي‬
“Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku, maka ia telah
mencintaiku. Dan barangsiapa yang telah mencintaiku, maka
aku bersamanya di surga” (H.R At-Tirmidzi).
Dari hadits di atas menandakan bahwa jika kita membaca al-

Ma’tsurat maka telah melakukan salah satu sunnah Nabi SAW. Selain

itu juga dengan membaca al-Ma’tsurat diharapkan agar senantiasa

65
berzikir dan semua urusan santri baik dalam hal belajar, menghafal

serta mendapat kemudahan dari Allah SWT.

Dari hasil wawancara dengan pimpinan pondok pesantren,

ustadz/ustadzah dan para santri, bahwa latar belakang

dilaksanakannya tradisi al-Ma’tsurat di Pondok Pesantren Ibnu

Taimiyah adalah agar terbiasa dengan berzikir dan juga sebagai

bentuk mendekatkan diri kita kepada Allah agar mendapat

perlindungan-Nya serta terhindar dari segala macam gangguan.

Menurut analisa penulis bahwa membaca al-Ma’tsurat itu

sama dengan membentengi diri dari berbagai macama gangguan-

gangguan setan maupun jin. Karena bacaan dalam al-Ma’tsurat adalah

bacaan-bacaan zikir, dan orang yang senantiasa berzikir akan

mendapatkan perlindungan dari Allah SWT. Berzikir merupakan salah

satu tanda berimannya seorang hamba kepada Sang Pencipta. Allah

berfirman :

ٗ‫ه‬QQُ‫ت َعلَ ْي ِه ْم ٰا ٰيت‬ ْ َ‫ َر هّٰللا ُ َو ِجل‬QQ‫وْ نَ الَّ ِذ ْينَ اِ َذا ُذ ِك‬QQُ‫ا ْال ُمْؤ ِمن‬QQ‫اِنَّ َم‬
ْ َ‫م َواِ َذا تُلِي‬Qُْ‫وْ بُه‬QQُ‫ت قُل‬
٢ َ‫ن‬Qۙ ْ‫زَا َد ْتهُ ْم اِ ْي َمانًا َّوع َٰلى َربِّ ِه ْم يَت ََو َّكلُو‬
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah mereka yang
jika disebut nama Allah, gemetar hatinya dan jika dibacakan
ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan
hanya kepada Tuhannya mereka bertawakal”. (Q.S Al-Anfal :
2).
Dan orang yang beriman kepada Allah tentu akan mendapatkan

perlindungan dari-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam surat An-

Nahl ayat 99 :

٩٩ َ‫ْس لَهٗ س ُْل ٰط ٌن َعلَى الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا َوع َٰلى َربِّ ِه ْم يَت ََو َّكلُوْ ن‬
َ ‫اِنَّهٗ لَي‬

66
“Sesungguhnya ia (setan) tidak memiliki pengaruh terhadap
orang-orang yang beriman dan bertawakal hanya kepada
Tuhan mereka”.

3. Pengaruh Tradisi al-Ma’tsurat terhadap Santri di Pondok

Pesantren Ibnu Taimiyah Kelurahan Sedau Kecamatan

Singkawang Selatan

Seperti yang kita ketahui, salah satu keutamaan zikir adalah

sebagai penenang hati. Menjadi penyembuh bagi penyakit yang ada

dalam dada manusia. Yakni seperti penyakit hati, iri, dengki, amarah,

dendam, dan lain sebagainya. Membaca zikir yang di dalamnya

terdapat ayat-ayat al-Qur’an (al-Ma’tsurat) merupakan solusi yang

tepat agar terhindar dari penyakit yang seperti itu. Karena salah satu

fungsi al-Qur’an ialah sebagai penawar/obat dari penyakit baik itu

jasmani maupun rohani. Sebagaimana yang terkandung dalam al-

Qur’an Allah berfirman :


ٰ ‫ ُد‬Q‫ ْؤ من ْي ۙنَ واَل يز ْي‬Q‫ ةٌ لِّ ْلم‬Q‫فَ ۤا ٌء َّورحْ م‬Q‫و ش‬Qُ‫ونُن َِّز ُل منَ ْالقُرْ ٰان ما ه‬
‫الظّلِ ِم ْينَ اِاَّل‬ ِ َ َ ِِ ُ َ َ ِ َ َ ِ ِ َ
٨٢ ‫َخ َسارًا‬
“Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi
penawar dan rahmat bagi orang-orang mukmin, sedangkan
bagi orang-orang zalim (Al-Qur’an itu) hanya akan
menambah kerugian” (Q.S Al-Isra’ : 82).
Mengetahui bahwa salah satu fungsi al-Qur’an sebagai

penawar/obat penyembuh dari segala penyakit baik fisik dan jiwa, dan

al-Ma’tsurat yang di dalamnya terdapat ayat-ayat al-Qur’an, hadits

Nabi SAW serta doa-doa pilihan, maka hal tersebut bisa dijadikan

rujukan untuk berzikir mengikuti Rasulullah SAW. Dengan membaca

al-Ma’tsurat, selain sudah melaksanakan sunnah beliau, dapat juga

67
menterapi diri dari penyakit jasmani dan rohani. Dan apabila kita

melakukan hal tersebut maka tentunya akan mendapatkan keutamaan-

keutamaan serta terhindar dari segala penyakit baik jasmani maupun

rohani.

Membaca al-Ma’tsurat memiliki banyak fadhilah khusus bagi

kehidupan. Apabila kita membaca al-Ma’tsurat secara rutin maka

akan mendapat keutamaan yaitu terhindar dari berbagai macam

gangguan setan maupun jin serta mendapatkan perlindungan dari

Allah SWT. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi SAW tentang

faedah bagi orang yang membaca ayat kursi, sedangkan ayat kursi

tesebut merupakan salah satu bacaan yang terdapat dalam al-

Ma’tsurat.

Rasulullah SAW bersabda :

‫ا َحتَّى‬QQ‫ص ْيرُ) َوآيَةَ ْال ُكرْ ِس ِّي ِح ْينَ يُصْ بِ ُح ُحفِظَ بِ ِه َم‬
ِ ‫َم ْن قَ َرَأ حم ْال ُمْؤ ِمنَ ِإلَى (ِإلَ ْي ِه ْال َم‬
‫يُ ْم ِس َي َو َم ْن قَ َرَأهُ َما ِح ْينَ يُ ْم ِسي ُحفِظَ بِ ِه َما َحتَّى يُصْ بِ َح‬
“Barangsiapa membaca Haa Miim (dalam surat) al-Mu’min sampai
ayat (Ilaihi Mashiir) dan membaca ayat kursi pada waktu pagi, maka
ia akan dijaga hingga tiba waktu sore, dan barangsiapa membaca
keduanya pada waktu sore maka ia akan dijaga hingga tiba waktu
pagi” (HR. Tirmidzi no 2804).
Di dalam hadits pun sudah jelas menganjurkan kita untuk

membaca bacaan zikir yang ada di dalam al-Ma’tsurat. Dengan rutin

membaca al-Ma’tsurat, maka kita akan mendapat perlindungan dari

Allah SWT dan terhindar dari berbagai macam gangguan . merasakan

ketenangan dan ketentraman di dalam hati sehingga menjadi sebab

68
untuk melakukan kebaikan. Seperti itu juga kegiatan rutin yang

dilakukan oleh seluruh santri di Pondok Pesantren Ibnu Taimiyah.

Selain ayat-ayat al-Qur’an yang terkandung di dalam al-

Ma’tsurat, juga merupakan ayat-ayat ruqyah yakni surat al-Ikhlas, al-

Falaq dan surat an-Nas yang memiliki fadhilah untuk membentengi

diri dari segala gangguan setan. Hal ini diperkuat dengan hadits Nabi

SAW yakni :

َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم لِي‬


‫ُصلِّ َي‬ َ ِ ‫َطلُبُ َرسُو َل هَّللا‬ ْ ‫َخ َرجْ نَا فِي لَ ْيلَ ِة َمطَ ٍر َوظُ ْل َم ٍة َش ِدي َد ٍة ن‬
ْ‫ قُل‬: ‫ال‬ َ َ‫ قُلْ فَلَ ْم َأقُلْ َش ْيًئا ثُ َّم ق‬: ‫م ؟ فَلَ ْم َأقُلْ َش ْيًئا فقال‬Qُْ‫صلَّ ْيت‬ َ ‫ َأ‬: ‫ال‬
َ َ‫ فََأ ْد َر ْكنَاهُ فَق‬، ‫لَنَا‬
ُ ‫ قُلْ ه َُو هَّللا‬: ْ‫ قُل‬: ‫ يَا َرسُو َل هَّللا ِ ما أقول ؟ قال‬: ‫ت‬ ُ ‫ قُلْ فَقُ ْل‬: ‫فَلَ ْم َأقُلْ َش ْيًئا ثُ َّم قَا َل‬
‫ك ِم ْن ُك ِّل َش ْيء‬ َ ‫ت تَ ْكفِي‬ ٍ ‫ث َمرَّا‬ َ ‫َأ َحد والمعوذتين ِحينَ تُ ْم ِسي َو ِحينَ تُصْ بِ ُح ثَاَل‬
“Kami keluar waktu malam turun hujan dan malam yang
sangat. Kami mencari Rasulullah Shallahualaihi wa sallam
agar shalat bersama kami. Kemudian kami dapatkan dan
bertanya, “Apakah kamu semua sudah selesai shalat? Saya
tidak mengatakan apapun. Beliau berkata, “Katakan. Saya
tidak mengatakan apapun juga. Kemudian mengatakan,
“Katakan. Saya tidak mengatakan apapun. Kemudian
mengatakan, “Katakan. Saya bertanya, “Wahai Rasulullah,
apa yang saya katakan? Beliau menjawab, “Bacalah: ‘Qul
Huwallahu Ahad dan dua surat yang dapat melindungi (Al-
Mu’awidzatain ; maksudnya al-Falaq dan an-Nas). Ketika
sore dan ketika pagi sebanyak tiga kali, dapat menjaga anda
dari segala sesuatu” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud).

Maka dengan rutin membaca al-Ma’tsurat menjadikan benteng

bagi setiap santri dari segala macam gangguan dan memberikan

dampak baik bagi santri misalnya nyaman ketika berada dalam

lingkungan Pondok Pesantren dengan kata lain santri menjadi betah,

tidak mudah gelisah, dan langkahnya pun jadi lebih terarah. Tekad

santri belajar ilmu agama di Pesantren pun tak tergoyah.

69
Temuan yang peneliti dapatkan di lapangan diketahui bahwa

pengaruh membaca al-Ma’tsurat secara rutin adalah mendapat

ketenangan hati serta memperoleh perlindungan dari Allah SWT dari

segala gannguan dan marabahaya. Dengan kondisi demikian maka

tentunya akan memudahkan santri dalam belajar ilmu agama di

pondok pesantren. Dengan rutin membaca al-Ma’tsurat ini

menjadikan hati kita merasa tenang dan tentram sehingga bisa

meningkatkan kualitas kesyukuran pada Allah SWT dengan cara

melakukan hal-hal yang bermuatan ibadah.

Hal tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Lukman

Junaidi dalam bukunya yang berjudul The Power of Wirid : Rahasia

dan Khasiat Zikir Setelah Shalat untuk Kedamaian Jiwa dan

Kebugaran Raga (2007 : 18) menjelaskan bahwa zikir setelah shalat

memiliki banyak manfaat diantaranya manfaat bagi kedamaian jiwa

dan kesehatan raga.

Selain itu, amalan zikir juga dapat memberikan manfaat bagi

yang mengamalkannya. Adapun manfaat dari zikir kepada Allah SWT

antara lain (Istiqomah, 2020 : 34) :

1. Menghadirkan ketentraman dan ketenangan hati

2. Mendapat perlindungan dari Allah SWT

3. Terhindar dari berbagai macam gangguan

4. Allah SWT akan mengingat hamba-Nya yang selalu berzikir

5. Menghilangkan perasaan sedih dan gelisah

70
6. Diampuni dosa-dosanya dan mendapatkan pahala yang besar

Hal tersebut sesuai dengan yang para santri rasakan selama

merutinkan membaca al-Ma’tsurat yakni mendapat ketenangan dan

ketentraman hati, memperoleh perlindungan dari Allah SWT dari

segala gangguan dan mendapat pahala yang besar.

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Anfal ayat 1 yakni :

١ َ‫ هّٰللا َ َو َرسُوْ لَهٗ ٓ اِ ْن ُك ْنتُ ْم ُّمْؤ ِمنِ ْين‬Q‫َواَ ِط ْيعُوا‬


“Maka, bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan
di antara sesamamu dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya
jika kamu orang-orang mukmin.”
Dari ayat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa berzikir

merupakan salah satu bentuk ketaatan kita terhadap perintah Allah dan

Rasul-Nya. Karena ketaatan tersebut maka Allah SWT memberikan

ganjaran yang luhur yakni berupa ketentraman dan ketenangan jiwa.

Selain itu, berzikir juga termasuk mengerjakan salah satu sunnah Nabi

SAW. Tentunya sangat banyak keuntungn yang di peroleh bagi orang-

orang yang senantiasa berzikir kepada Allah SWT, sebagaimana

dalam firman-Nya :

٤٥ َ‫ هّٰللا َ َكثِ ْيرًا لَّ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُوْ ۚن‬Q‫َو ْاذ ُكرُوا‬


“dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu
beruntung” (QS. Al-Anfal : 45).
Ayat di atas bisa dijadikan sebagai acuan bahwa orang-orang

yang selalu berzikir tidak merasakan kerugian sedikitpun, justru

sebaliknya. Mereka akan mendapat keuntungan yang berlipat ganda

dari Allah SWT yakni menjadikan hati merasa tenang dan tentram dan

71
juga mengerjakan salah satu sunnah Nabi SAW. Kondisi yang seperti

ini sangat menunjang dalam proses pembelajaran santri di Pesantren

maka akan lebih mudah dalam mempelajari ilmu-ilmu agama dan

yang lainnya. Allah SWT berfirman :

ْ ‫َط َم ِٕى ُّن قُلُوْ بُهُ ْم بِ ِذ ْك ِر هّٰللا ِ ۗ اَاَل بِ ِذ ْك ِر هّٰللا ِ ت‬


ُ‫َط َم ِٕى ُّن ْالقُلُوْ ب‬ ْ ‫الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا َوت‬
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya
dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram” (QS. Ar-
Ra’ad : 28).
Dengan situasi tersebut bisa dijadikan sebagai momen untuk

mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh santri. Tidak

hanya itu, dengan membaca al-Ma’tsurat berarti kita telah melakukan

sunnah Nabi SAW dalam hal zikir. Dan yang menghidupkan sunnah

beliau maka akan memperoleh balasan yang mulia dari Allah ‘Azza

wa Jalla.

Hal di atas menunjukkan bahwa ada dampak psikologis yang

dialami oleh santri setelah rutin membaca al-Ma’tsurat. Yakni

memperoleh ketenangan dan ketentraman jiwa yang kemudian

berbuah positif yaitu pengembangan potensi-potensi yang dimiliki

oleh santri baik di bidang keagamaan maupun di bidang akademik.

72
73

Anda mungkin juga menyukai