Anda di halaman 1dari 109

ANALISIS FAKTOR PENYEBAB KETIDAKSESUAIAN KODE

DIAGNOSIS PENYAKIT PASIEN POLI UMUM PADA


REKAM MEDIS DENGAN SIMPUS DI PUSKESMAS
PURWOHARJO

SKRIPSI

Oleh

Sulandari
G41180199

PROGRAM STUDI MANAJEMEN INFORMASI KESEHATAN


JURUSAN KESEHATAN
POLITEKNIK NEGERI JEMBER
2022
ANALISIS FAKTOR PENYEBAB KETIDAKSESUAIAN KODE
DIAGNOSIS PENYAKIT PASIEN POLI UMUM PADA
REKAM MEDIS DENGAN SIMPUS DI PUSKESMAS
PURWOHARJO

SKRIPSI

HALAMAN JUDUL

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Terapan
(S.Tr.RMIK) di Program Studi Manajemen Informasi Kesehatan
Jurusan Kesehatan

oleh

Sulandari
G41180199

PROGRAM STUDI MANAJEMEN INFORMASI KESEHATAN


JURUSAN KESEHATAN
POLITEKNIK NEGERI JEMBER
2022

i
ii
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama : Sulandari
NIM : G41180199
Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam skripsi
saya yang berjudul “Analisis Faktor Penyebab Ketidaksesuaian Kode Diagnosis
Penyakit Pasien Poli Umum pada Rekam Medis dengan SIMPUS di Puskesmas
Purwoharjo” merupakan gagasan dan hasil karya saya sendiri dengan arahan
komisi pembimbing, dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada
perguruan tinggi manapun.
Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas
dan dapat diperiksa kebenarannya. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam naskah dan
dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir Skripsi ini.

Jember, 06 Juli 2022

Sulandari
NIM. G41180199

SURAT PERNYATAAN MAHASISWA

iii
iv
HALAMAN MOTTO

“Be a good girl and respect in others”


(Elsa Frozen)

“Bukan usaha yang tidak mengkhianati hasil, namun memang manusia


berkewajiban berusaha terlepas dari hasilnya baik atau tidak karena hasil adalah
urusan tuhan”
(Katiran)

“Keluarlah dan lakukan yang kamu mau, untuk sekarang lakukanlah saja
semuanya. Sekarang atau tidak sama sekali.”
(StrayKids)

“Lelah itu istirahat, bukan menyerah”


(Stay)

HALAMAN MOTTO

v
HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada :


1. Orang Tua saya tercinta Bapak Katiran dan Ibu Mariyatun, terima kasih atas
semua kasih sayang dan cintanya, dukungan baik moril maupun materiil,
serta doa yang tak henti dan pengorbanan yang tak terhingga. Putrimu ini tak
akan pernah bisa membalas semua hal yang telah bapak dan ibu berikan,
hanya doa yang bisa putrimu panjatkan disetiap menitnya dengan meminta
bapak dan ibu selalu diberi kesehatan dan umur panjang, karya skripsi ini
dipersembahkan paling utama untuk bapak dan ibu.
2. Adik saya tercinta, Priyambodo Pujo Sasongko, terima kasih karena telah
memberi warna baru dalam hidup.
3. Nenek saya tercinta, Ponisah, terima kasih karena selalu menjaga saya dengan
selalu memberikan wejangan-wejangan.
4. Mbah Kung dan Mbah Uti yang selalu menyertai jalan saya.
5. Terima kasih kepada Dosen Pembimbing saya Ibu Ida Nurmawati, S.KM.,
M.Kes., yang selama ini meluangkan waktu, selalu sabar dalam memberikan
nasihat serta membimbing saya sampai terselesainya skripsi ini.
6. Tim suksesku yang selalu menemani, Anindya Fajarin, Wiwik Dian Sari,
Latifatud Dini, dan Virda Hardiana, terima kasih karena telah menjadi
penyemangat, pendengar setia keluh kesah, dan ikut membantu dengan
memberikan nasihat-nasihat dalam skripsi ini.
7. Mbak Dian yang selalu berusaha memberikan bantuan dan dukungannya.
8. Teman-teman seperjuangan Rekam Medik 2018 terima kasih atas dukungan,
semangat, serta kebersamaan kalian selama ini.
9. Almamater tercinta Politeknik Negeri Jember.
HALAMAN PERSEMBAHAN

vi
Analisis Faktor Penyebab Ketidaksesuaian Kode Diagnosis Penyakit Pasien
Poli Umum pada Rekam Medis dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo,
Ida Nurmawati S.KM., M.Kes (Pembimbing)

Sulandari
Program Studi Manajemen Informasi Kesehatan
Jurusan Kesehatan

ABSTRAK

Kode diagnosis yang sesuai, tepat, dan akurat akan memberikan efektifitas dalam
pengambilan keputusan dan keakuratan pembuatan laporan data kesakitan.
Berdasarkan hasil observasi di Puskesmas Purwoharjo ditemukan 42 dari 89 kode
diagnosis penyakit pada rekam medis rawat jalan tidak sesuai dengan kode
penyakit pada SIMPUS dan terhitung 30 dari 42 data tersebut berasal dari poli
umum. Tujuan penelitian yaitu menganalisis faktor penyebab ketidaksesuaian
kode diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS di
Puskesmas Purwoharjo. Jenis penelitian yaitu deskriptif kualitatif dengan
pengumpulan data melalui obervasi, wawancara mendalam, dokumentasi, USG,
dan brainstorming. Subjek penelitian terdiri dari 2 coder yaitu perawat SIMPUS
dan perekam medis, 1 dokter penanggungjawab UKP, dan Kepala Puskesmas.
Objek penelitian yaitu 96 rekam medis pasien poli umum menggunakan simple
random sampling. Kredibilitas data melalui triangulasi sumber dan teknik. Hasil
yang didapatkan pada saat observasi terhadap 96 rekam medis pasien poli umum
dengan SIMPUS pada bulan Januari-April 2022 ditemukan ketidaksesuaian kode
sebesar 43%. Dari hasil analisis didapatkan bahwa ketidaksesuaian tersebut terjadi
karena coder kurang mengetahui tata cara pengkodingan dengan ICD-10, sikap
coder yang kurang mendukung pelaksanaan koding sesuai standar, prasarana yang
kurang memadai seperti komputer rusak dan tidak ada ICD-10, coder belum
pernah mengikuti pelatihan kodefikasi, belum terdapatnya kejelasan isi SOP, serta
kurangnya motivasi terhadap coder. Saran yang dapat diberikan yaitu diusulkan
untuk coder dapat diikutkan dalam pelatihan kodefikasi, perbaikan serta
pemeliharaan terhadap prasarana kodefikasi, perbaikan isi SOP serta dilakukan
sosialisasi ulang.

Kata Kunci : Ketidaksesuaian Kode, Rekam Medis, Diagnosis

vii
Analysis of Factors Causing Incompatibility of Disease Diagnosis Codes for
General Polyclinic Patients in Medical Record with SIMPUS at Purwoharjo
Public Health Center, Ida Nurmawati S.KM., M.Kes. (Commission Guide)

Sulandari
Study Program of Health Information Management
Majoring of Health

ABSTRACT

The appropriate, precise, and accuracy diagnosis codes will provide effectiveness
in decision-making process and accuracy of reporting disease data. Based on
observational data, 42 of 89 disease diagnosis codes in the outpatient medical
record were incompatible or incomplete with the disease code on SIMPUS and 30
of 42 data came from the general polyclinic. The purpose of this study was to
analysis of factors causing incompatibility of disease diagnosis codes for general
polyclinic patients in medical record with SIMPUS at Purwoharjo Public Health
Center. The type of research used was qualitative descriptive with in-depth
interview, observation, documentation, USG, and brainstorming data collection.
The subject of this research was 1 nurse SIMPUS, 1 clerk medical record, 1
doctor UKP and leader of Puskesmas in Purwoharjo. The object of this study was
96 medical records of general polyclinic patient with simple random sampling.
The credibility data using triangulation of sources and techniques. The result
obtained during observation 96 medical record of general polyclinic patient with
SIMPUS on Januari-April 2022 found a incompatibility of disease diagnosis
codes was 43%. From the analysis it was found that the incompatibility occurred
due to staff coding doesn’t know how to codes with ICD-10, the demeanor of the
coders that doesn’t support the implementation of coding according to standards,
inadequate infastructures, staff coding has never attended to coding training, the
contents of the SOP there is no clarity regarding the coding steps and the clarity
of the staff who can code a disease diagnosis, and the lack of motivation, so it
necessary to add recommendation for the staff coding can be attended to coding
training, maintenance of the coding infrastructure, SOP content improvement
then SOP socialization.

Keywords : Code incompatibility, Medical Record, Diagnosis

viii
RINGKASAN

Analisis Faktor Penyebab Ketidaksesuaian Kode Diagnosis Penyakit Pasien


Poli Umum pada Rekam Medis dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo,
Sulandari, NIM G41180199, Tahun 2022, 159 halaman, Manajemen Informasi
Kesehatan, Politeknik Negeri Jember, Ida Nurmawati S.KM., M.Kes
(Pembimbing)

Setiap puskesmas dalam melaksanakan kerjanya harus mampu memberikan


pelayanan kesehatan yang aman, bermutu tinggi, dan efektif dengan
mengedepankan kepentingan pasien sesuai standar pelayanan yang berlaku di
puskesmas. Pelayanan kesehatan yang dikatakan baik tidak hanya dilihat dari segi
pelayanan medis, akan tetapi juga dapat dilihat dari segi pelayanan penunjang
seperti penyelenggaraan rekam medis salah satunya pengkodingan diagnosis.
Berdasarkan hasil observasi di Puskesmas Purwoharjo ditemukan 42 dari 89 kode
diagnosis penyakit pada rekam medis rawat jalan tidak sesuai dengan kode
penyakit pada SIMPUS dan terhitung 30 dari 42 data tersebut berasal dari poli
umum.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor penyebab ketidaksesuaian
kode diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS di
Puskesmas Purwoharjo. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif
kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara
mendalam, dokumentasi, USG dan brainstorming. Subjek penelitian adalah 1
coder, 1 perawat, 1 dokter penanggung jawab UKP, dan kepala puskesmas. Objek
penelitian adalah 96 rekam medis bulan Januari-April 2022 menggunakan simple
random sampling. Uji kredibilitas data menggunakan triangulasi sumber dan
teknik.
Hasil dari penelitian ini adalah pengkodingan diagnosis penyakit pasien poli
umum pada rekam medis dengan SIMPUS masih terdapat ketidaksesuaian kode
yang mencapai besar 43% untuk kode ketidaksesuaian dan 57% data sudah sesuai.
Penyebab ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli umum tersebut
dapat terjadi karena beberapa faktor. Coder kurang mengetahui tata cara

ix
pengkodingan diagnosis penyakit pasien poli umum dengan penggunaan ICD-10.
Sikap kurang mendukung dari coder karena lebih memilih penggunaan bantuan
buku kumpulan kode diagnosis penyakit dalam mengkode daripada ICD-10.
Prasarana pengkodingan yang ada kurang memadai. Coder belum pernah
mengikuti pelatihan pengkodingan guna menunjang pengetahuan. Kejelasan isi
SOP terkait urutan langkah pengkodingan diagnosis penyakit dalam SIMPUS
maupun rekam medis menggunakan ICD-10 dan wewenang petugas yang dapat
melakukan proses pengkodingan diagnosis penyakit belum ada. Sosialisasi SOP
belum dilaksanakan secara maksimal karena hanya dilakukan pada awal setelah
SOP dibuat. Pemberian reward atau punishment secara individu terhadap proses
pengkodingan oleh coder belum pernah diberikan.
Faktor penyebab ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli umum
pada rekam medis dengan SIMPUS tersebut dapat diberikan beberapa saran.
Pihak Puskesmas Purwoharjo dapat mengusulkan pelatihan pengkodingan bagi
coder. Perbaikan terhadap prasarana yang rusak serta pemeliharaan prasarana
pengkodingan oleh Puskesmas Purwoharjo. Perbaikan isi SOP pengkodingan oleh
Puskesmas Purwoharjo untuk dilakukan sosialisasi ulang.

x
PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan Skripsi yang berjudul “Analisis
Faktor Penyebab Ketidaksesuaian Kode Diagnosis Penyakit Pasien Poli Umum
pada Rekam Medis dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo” dapat
diselesaikan dengan baik.
Skripsi ini adalah laporan hasil penelitian yang dilaksanakan mulai bulan
september bertempat di Puskesmas Purwoharjo, sebagai syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Sains Terapan (S.Tr.RMIK) di Program Studi Manajemen Informasi
Kesehatan Jurusan Kesehatan Politeknik Negeri Jember. Penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya sebagai berikut.
1. Saiful Anwar, S.Tp., MP selaku Direktur Politeknik Negeri Jember.
2. Sustin Farlinda, S.Kom., M.T. selaku Ketua Jurusan Kesehatan Politeknik
Negeri Jember.
3. Atma Deharja, S.KM., M.Kes., selaku Ketua Program Studi Rekam Medik
Politeknik Negeri Jember.
4. Ida Nurmawati S.KM.,M.Kes., selaku dosen pembimbing yang telah banyak
memberikan masukan dan motivasi dalam penyusunan Skripsi ini.
5. Seluruh petugas Puskesmas Purwoharjo sebagai tempat penelitian.
Skripsi ini masih kurang dari kata sempurna, mengharapkan kritik dan saran
yang membangun guna perbaikan di masa mendatang. Semoga tulisan ini dapat
bermanfaat.

xi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... ii
SURAT PERNYATAAN MAHASISWA....................................................... iii
SURAT PERNYATAAN PUBLIKASI........................................................... vi
HALAMAN MOTTO....................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vi
ABSTRAK ........................................................................................................ vii
ABSTRACT ....................................................................................................... viii
RINGKASAN ................................................................................................... ix
PRAKATA ....................................................................................................... xi
DAFTAR ISI .................................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xvi
DAFTAR TABEL ............................................................................................xvii
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................xviii
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 7
1.3 Tujuan....................................................................................................... 8
1.3.1 Tujuan Umum........................................................................................... 8
1.3.2 Tujuan Khusus.......................................................................................... 8
1.4 Manfaat..................................................................................................... 8
1.4.1 Bagi Puskesmas........................................................................................ 8
1.4.2 Bagi Politeknik Negeri Jember................................................................. 9
1.4.3 Bagi Peneliti ............................................................................................ 9
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 10
2.1 State Of The Art...................................................................................... 10
2.2 Puskesmas................................................................................................. 11
2.2.1 Pengertian Puskesmas .............................................................................. 11

xii
2.2.2 Tugas Puskesmas ..................................................................................... 12
2.2.3 Fungsi Puskesmas .................................................................................... 12
2.2.4 Sumber Daya Manusia Kesehatan Puskesmas ........................................ 14
2.2.5 Pelayanan Puskesmas .............................................................................. 14
2.2.6 Gambaran Umum Puskesmas Purwoharjo .............................................. 15
2.3 Rekam Medis ........................................................................................... 17
2.3.1 Pengertian Rekam Medis ......................................................................... 17
2.3.2 Tujuan Rekam Medis............................................................................... 17
2.3.3 Kegunaan Rekam Medis ........................................................................... 19
2.4 Pengodean (Coding) ................................................................................ 21
2.4.1 Pengertian Pengodean (Coding) ............................................................... 21
2.4.2 Standar Pengodean (Coding) .................................................................... 22
2.4.3 Penggunaan Pengodean (Coding) ............................................................. 22
2.4.4 Tahapan Proses Pengodean (Coding) ....................................................... 23
2.5 Sistem Informasi Manajemen Puskesmas (SIMPUS) ......................... 24
2.5.1 Pengertian SIMPUS ................................................................................. 24
2.5.2 Tujuan dan Manfaat SIMPUS ................................................................. 24
2.5.3 Penyelenggaraan SIMPUS ...................................................................... 24
2.6 Perilaku .................................................................................................... 26
2.6.1 Definisi Perilaku ...................................................................................... 26
2.6.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku ......................................... 27
2.7 Faktor Penyebab Ketidaksesuaian Kode Diagnosis Penyakit
Pasien Poli Umum Pada Rekam Medis Dengan SIMPUS................. 28
2.7.1 Pengetahuan ............................................................................................. 28
2.7.2 Sikap ........................................................................................................ 28
2.7.3 Sarana ...................................................................................................... 29
2.7.4 Prasarana ................................................................................................. 29
2.7.5 Pelatihan .................................................................................................. 30
2.7.6 SOP (Standart Operational Procedure).................................................. 30
2.7.7 Motivasi ................................................................................................... 31
2.8 Kerangka Konsep ................................................................................... 32

xiii
BAB 3. METODE PENELITIAN ................................................................... 34
3.1 Jenis Penelitian ....................................................................................... 34
3.2 Lokasi Penelitian ..................................................................................... 34
3.2.1 Lokasi Penelitian ..................................................................................... 34
3.2.2 Waktu Penelitian ..................................................................................... 35
3.3 Subjek dan Objek Penelitian ................................................................. 35
3.3.1 Objek Penelitian ...................................................................................... 35
3.3.2 Subjek Penelitian ..................................................................................... 35
3.4 Jenis Data ................................................................................................ 36
3.4.1 Data Primer ............................................................................................. 36
3.4.2 Data Sekunder ......................................................................................... 36
3.5 Variabel Penelitian dan Definisi Istilah ............................................... 36
3.5.1 Variabel Penelitian .................................................................................. 36
3.5.2 Definisi Istilah ......................................................................................... 37
3.6 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data .......................................... 39
3.6.1 Teknik Pengumpulan Data ....................................................................... 39
3.6.2 Instrumen Pengumpulan Data .................................................................. 42
3.7 Uji Kredibilitas Data .............................................................................. 44
3.8 Analisis Data ........................................................................................... 44
3.9 Tahapan Penelitian ................................................................................. 39
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 49
4.1 Mengidentifikasi Ketidaksesuaian Kode Diagnosis Penyakit
Pasien Poli Umum pada Rekam Medis dengan SIMPUS di
Puskesmas Purwoharjo......................................................................... 49
4.2 Menganalisis faktor Predisposing yang menyebabkan
ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli umum pada
rekam medis dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo................ 55
4.2.1 Pengetahuan .............................................................................................. 55
4.2.2 Sikap ......................................................................................................... 59
4.3 Menganalisis faktor Enabling yang menyebabkan ketidaksesuaian
kode diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis

xiv
dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo....................................... 61
4.3.1 Sarana ....................................................................................................... 61
4.3.2 Prasarana ................................................................................................... 62
4.3.3 Pelatihan ................................................................................................... 66
4.4 Menganalisis faktor Reinforcing yang menyebabkan
ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli umum pada
rekam medis dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo ............... 68
4.4.1 SOP (Standart Operational Procedure) ................................................. 68
4.4.2 Motivasi .................................................................................................. 71
4.5 Menentukan prioritas penyebab masalah ketidaksesuaian kode
diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis dengan
SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo dengan metode penilaian
Urgency, Seriousness, and Growth (USG) ........................................... 73
4.6 Merumuskan upaya perbaikan dengan brainstorming terhadap
faktor penyebab ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien
poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS di Puskesmas
Purwoharjo ........................................................................................... 77
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 79
5.1 Kesimpulan .............................................................................................. 79
5.2 Saran ........................................................................................................ 80
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 81
LAMPIRAN ..................................................................................................... 90

xv
DAFTAR GAMBAR

2.1 Struktur Organisasi Puskesmas Purwoharjo.............................................. 16


2.2 Kerangka Konsep Penelitian..................................................................... 32
3.1 Tahapan Penelitian................................................................................... 46
4.1 Presentase Ketidaksesuaian Kode Diagnosis Penyakit Pasien Poli
Umum pada Rekam Medis dengan SIMPUS............................................ 53
4.2 Tempat pengkodingan diagnosis penyakit pasien poli umum.................. 62
4.3 Buku kumpulan kode diagnosis penyakit................................................. 64

xvi
DAFTAR TABEL

1.1 Data Observasi Awal Ketidaksesuaian Kode Diagnosis Penyakit Pasien


Rawat Jalan pada Rekam Medis dengan SIMPUS Bulan September
2021........................................................................................................... 2
2.1 State Of The Art Penelitian........................................................................ 10
3.1 Definisi Istilah Penelitian.......................................................................... 37
3.2 Contoh matriks skoring pemecahan masalah dengan metode USG.......... 41
4.1 Data Observasi Ketidaksesuaian Kode Diagnosis Penyakit Pasien Poli
Umum pada Rekam Medis dengan SIMPUS Bulan Januari-April 2022.. 49
4.2 Identifikasi Penyebab Ketidaksesuaian Kode Diagnosis Penyakit Pasien
Poli Umum pada Rekam Medis dengan SIMPUS di Puskesmas
Purwoharjo................................................................................................. 74
4.3 Hasil Perhitungan Menggunakan USG...................................................... 75
4.4 Prioritas Masalah....................................................................................... 77
4.5 Upaya Perbaikan Menggunakan Brainstorming........................................ 78

xvii
DAFTAR SINGKATAN

AHIMA : American Health Information Management Association


BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
ICD-10 : International Statistical Classification of Disease and
Related Health Problems 10
IGD : Instalansi Gawat Darurat
JKN : Jaminan Kesehatan Nasional
KIA : Kesehatan Ibu dan Anak
Kepmenkes RI : Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
LAN : Local Area Network
Menkes : Menteri Kesehatan
Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat
Permenaker : Peraturan Menteri Ketenagakerjaan
Permenkes RI : Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Permenpan RB : Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi
PJ : Penanggung Jawab
SDM : Sumber Daya Manusia
SIMPUS : Sistem Informasi Manajemen Puskesmas
SIMRS : Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit
SOP : Standart Operational Procedure
SP2TP : Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas
UGD : Unit Gawat Darurat
UKP : Upaya Kesehatan Perseorangan
UPTD : Unit Pelaksana Teknis Daerah
WHO : World Health Organization

xviii
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia terdiri dari berbagai macam,
salah satunya adalah puskesmas. Pusat kesehatan masyarakat atau yang lebih
dikenal dengan istilah Puskesmas merupakan salah satu sarana teknis unit
pelaksana dinas kesehatan yang mempunyai tanggung jawab menyediakan
kesehatan untuk semua tingkat masyarakat dan juga sebagai pelayanan kesehatan
tingkat pertama dengan mengedepankan upaya promotif dan preventif (Setiawan
& Haryati, 2017). Puskesmas dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan
dasar selalu mengutamakan mutu pelayanan kesehatan. Mutu dalam pelayanan
kesehatan dikatakan baik tidak hanya dilihat dari segi pelayanan medis, akan
tetapi juga dapat dilihat dari segi pelayanan penunjang seperti penyelenggaraan
rekam medis (Sanggamele et al., 2018).
Rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang
pasien yang berisi identitas, pemeriksaan, pengobatan, tindakan medis lain yang
telah diberikan (Permenkes RI, 2008). Rekam medis dianggap penting adanya
dalam sebuah pelayanan kesehatan. Rekam medis dapat digunakan sebagai bukti
konkret hukum yang didalamnya memuat prosedur medis pengobatan, terapi,
perawatan pasien maupun pengkodingan diagnosis yang berpengaruh terhadap
pembiayaan kesehatan (Tinungki, 2019).
Coding adalah penetapan kode diagnosis yang dilakukan secara tepat serta
memperhatikan panduan dari World Health Organization (WHO) dan
International Statistical Classification of Disease and Related Health Problems
10 (ICD-10) dalam proses pengodeannya (Ulfa et al., 2017). Validasi kode
diagnosis dalam rekam medis dilakukan oleh petugas rekam medis (Permenkes
RI, 2013). Sesuai dengan kompetensinya, perekam medis harus mampu
menetapkan klasifikasi klinis, kodefikasi penyakit, dan masalah kesehatan
lainnya, serta prosedur klinis dengan tepat sesuai klasifikasi yang diberlakukan di
Indonesia (Kemenkes RI, 2020).

1
2

Kodefikasi penyakit di Indonesia tidak hanya dituliskan dalam rekam medis


melainkan dapat diinputkan dalam sistem informasi kesehatan sesuai
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (Syafira, 2020). Sistem
informasi kesehatan yang berlaku di pelayanan kesehatan dasar seperti Puskesmas
adalah SIMPUS. Sistem Informasi Manajemen Puskesmas (SIMPUS) adalah
suatu tatanan yang menyediakan informasi untuk membantu proses pengambilan
keputusan dalam melaksanakan manajemen puskesmas untuk mencapai sasaran
kegiatannya (Kepmenkes RI, 2004). Beberapa manfaat yang diperoleh dengan
adanya SIMPUS antara lain, memudahkan pekerjaan petugas, mempercepat
pelayanan yang diberikan, serta memperoleh data dan informasi yang akurat
(Rewah et al., 2020).
Berdasarkan studi pendahuluan di Puskesmas Purwoharjo, dilakukan cek
rekam medis yaitu sebanyak 89 data, yang dilakukan pada bulan September 2021.
Terlihat dalam hasil nyatanya masih ditemukan adanya ketidaksesuaian kode
diagnosis penyakit pasien rawat jalan berdasarkan ICD-10 pada rekam medis
dengan hasil input SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo. Peneliti menjumpai
adanya ketidaksesuaian tersebut terlihat lebih banyak dari bagian poli umum.
Tabel 1.1 Data Observasi Awal Ketidaksesuaian Kode Diagnosis Penyakit Pasien Rawat Jalan
pada Rekam Medis dengan SIMPUS Bulan September 2021

Diagnosis Kode Rekam Kode


No Tempat Keterangan
penyakit Medis SIMPUS
Tidak sesuai (Kode
Infeksi Saluran
1. N39 N39.9 Poli umum yang sesuai adalah
Kencing
N39.9)
Tidak sesuai (Kode
Radang kulit
2. L21 L23.9 Poli umum yang sesuai adalah
kontak alergi
L23.9)
Tidak sesuai (Kode
3. Lepas implan Z30 Z30.8 KIA yang sesuai adalah
Z30.8)
Tidak sesuai (Kode
4. DM 2 E11 E11.9 Poli umum yang sesuai adalah
E11.9)
Tidak sesuai (Kode
DM 2 dengan E10 dan E11.9 dan
5. Poli umum yang sesuai adalah
gastritis K29.7 K29.7
E11.9 dan K29.7)
Tidak sesuai (Kode
6. Tifus A09 A01.0 Poli Umum yang sesuai adalah
A01.0)
3

Diagnosis Kode Rekam Kode


No Tempat Keterangan
penyakit Medis SIMPUS
Tidaksesuai (Kode
7. Skizoprenia F20 F20.0 Poli umum yang sesuai adalah
F20.0)
Tidak sesuai (Kode
8. Tifus A09 A01.0 Poli Umum yang sesuai adalah
A01.0)
Tidak sesuai(Kode
9. Tifus A09 A01.0 Poli Umum yang sesuai adalah
A01.0)
Tidak sesuai (Kode
10. HIV B20 B20.0 Poli umum yang sesuai adalah
B20.0)
Tidak sesuai (Kode
11. Tinggi Kolesterol E70 E78.5 Poli umum yang sesuai adalah
E78.5)
Tidak sesuai (Kode
12. Epilepsi G40 G40.9 Poli umum yang sesuai adalah
G40.9)
Tidak sesuai (Kode
Radang
13. H10 H10.9 Poli umum yang sesuai adalah
conjunctiva
H10.9)
Tidak sesuai (Kode
14. Kontrol HT I10 I15.9 Poli umum yang sesuai adalah
I15.9)
Tidak sesuai (Kode
Telinga tersumbat
15. H60 H61.2 Poli umum yang sesuai adalah
kotoran
H61.2)
Tidak sesuai (Kode
16. CHF I11 I11.0 Poli umum yang sesuai adalah
I11.0)
Tidak sesuai (Kode
17. Stroke infark I60 I63.9 Poli umum yang sesuai adalah
I63.9)
DM2 dengan Tidak sesuai (Kode
E11.9 dan
18. anamnesis keju- E10.9 dan R53 Poli umum yang sesuai adalah
R53
keju E11.9 dan R53)
Tidak sesuai (Kode
19. HIV B20 B20.0 Poli Umum yang sesuai adalah
B20.0)
Tidak sesuai (Kode
Gagal jantung, I50.9 dan
20. I50 dan J40.9 Poli Umum yang sesuai adalah
PPOK J44.9
I50.9 dan J44.9)
Tidak sesuai (Kode
21. Tifus A01 A01.0 Poli umum yang sesuai adalah
A01.0)

Gagal jantung, I50.9 dan Tidak sesuai (Kode


22. I50 dan J40.9 Poli Umum yang sesuai adalah
PPOK J44.9
I50.9 dan J44.9)
NIDDM dengan Tidak sesuai (Kode
23. komplikasi tidak E10 E11.8 UGD yang sesuai adalah
diketahui E11.8)
4

Diagnosis Kode Rekam Kode


No Tempat Keterangan
penyakit Medis SIMPUS

Tidak sesuai (Kode


24. Lepas implan Z30 Z30.8 KIA yang sesuai adalah
Z30.8)

Supervisi hamil Tidak sesuai (Kode


25. Z31 Z34.8 KIA yang sesuai adalah
normal
Z34.8)
Tidak sesuai (Kode
26. DM E10 E14.9 Poli umum yang sesuai adalah
E14.9)
Tidak sesuai (Kode
DM2 disertasi E10 dan E11.9 dan
27. Poli umum yang sesuai adalah
radang lambung K29.7 K29.7
E11.9 dan K29.7)
IDDM dengan Tidak sesuai (Kode
28. komplikasi tidak E10 E10.8 Poli
yang sesuai adalah
diketahui umum
E10.8)

Diabetes dan E10 dan E11.9 Tidak sesuai (Kode


29. Poli
Gastritis K29.7 K29.7 yang sesuai adalah
umum
E11.9 dan K29.7)
Tidak sesuai (Kode
30. Cidera kaki S91 S90.9 UGD yang sesuai adalah
S90.9)

Gejala luka sisa Tidak sesuai (Kode


31. I60 I69.8 UGD yang sesuai adalah
serebrovascular
I69.8)
Tidak sesuai (Kode
32. Cidera kaki S91 S90.9 UGD yang sesuai adalah
S90.9)
Tidak sesuai (Kode
33. Dilaserasi gigi K00 K00.4 Poli Gigi yang sesuai adalah
K00.4)
Tidak sesuai (Kode
34. Erupsi gigi K00 K00.6 Poli Gigi yang sesuai adalah
K00.6)
Tidak sesuai (Kode
35. Pulpitis Kronis K00 K04.0 Poli Gigi yang sesuai adalah
K04.0)
Keju-keju Tidak sesuai (Kode
I10 dan Poli
36. (tensi M10 yang sesuai adalah
M10.0 umum
150/90mmHg) I10 dan M10.0)

Gagal jantung, I50.9 dan Tidak sesuai (Kode


37. I50 dan J40 Poli
PPOK J44.9 yang sesuai adalah
umum
I50.9 dan J44.9)
Tidak sesuai (Kode
38. PPOK J40 J44.9 Poli
yang sesuai adalah
Umum
J40)
5

Diagnosis Kode Rekam Kode


No Tempat Keterangan
penyakit Medis SIMPUS

Gatal bengkak Tidak sesuai (Kode


39. L30 L23.9 Poli
kena sabun yang sesuai adalah
Umum
L23.9)
Tidak sesuai (Kode
Infeksi Saluran
40. N39 N39.9 Poli umum yang sesuai adalah
Kencing
N39.9)
Tidak sesuai (Kode
41. Erupsi gigi K00 K00.6 Poli gigi yang sesuai adalah
K00.6)
Tidak sesuai (Kode
42. Erupsi gigi K00 K00.6 Poli gigi yang sesuai adalah
K00.6)
Sumber : Puskesmas Purwoharjo 2021

Pengkodingan pasien rawat jalan dalam input SIMPUS yang ada di


Puskesmas Purwoharjo dibagi menjadi 4 bagian, yaitu bagian poli pemeriksaan
umum, bagian KIA, bagian poli gigi, dan bagian UGD. Berdasarkan data
observasi awal pada rekam medis, ditemukan 42 dari 89 kode diagnosis penyakit
rekam medis rawat jalan tidak sesuai dengan kode penyakit pada SIMPUS.
Ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit paling banyak terdapat pada poli umum
yaitu terhitung 30 dari 42 data koding penyakit pada rekam medis. Hal tersebut
sesuai dengan wawancara awal terhadap coder, yang menyatakan bahwa banyak
pasien datang dengan tujuan poli umum dibanding poli lainnya sehingga
kesalahan proses pengkodingan sering didominasi dari poli umum.
Berdasarkan hasil wawancara dengan coder yaitu perawat SIMPUS dan
perekam medis dalam proses pengkodingan diagnosis penyakit diketahui bahwa
pengkodingan dilakukan dengan bantuan buku kumpulan kode diagnosis penyakit
pasien milik petugas bukan buku ICD-10. Penginputan kode diagnosis penyakit
pasien pada SIMPUS dilakukan oleh perawat bukan perekam medis. Setelah
penginputan kode diagnosis penyakit pasien pada SIMPUS, perawat terkadang
lupa tidak menuliskan kode diagnosis penyakit yang telah diinput ke SIMPUS
pada rekam medis. Rekam medis yang tidak lengkap pengisiannya tersebut
kemudian akan dicek dan dilengkapi oleh perekam medis sesuai dengan
kewenangannya. Kode yang belum terisi ataupun sudah terisi di rekam medis
akan divalidasi oleh perekam medis.
6

Hambatan dalam proses pengkodingan diagnosis penyakit juga masih


ditemukan, berdasarkan wawancara awal diketahui adanya beban rangkap tugas
coder saat SIMPUS mengalami error sehingga coder kurang teliti saat
pengkodingan. Coder belum pernah mengikuti training tentang pengkodingan
diagnosis penyakit guna menambah wawasan. Tidak terdapatnya isi SOP
(Standart Operational Procedure) pengkodingan diagnosis penyakit di Puskesmas
Purwoharjo yang menjelaskan langkah-langkah dalam mengkoding diagnosis
serta kurangnya reward atau punishment kepada coder yang telah melakukan
pekerjaan pengkodingan diagnosis penyakit dengan baik, tepat, dan akurat juga
menjadi penyumbang terjadinya ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit.
Hal tersebut sejalan dengan penelitian Qurrota & Puspita (2017) yang
menyatakan bahwa ketidaktepatan kode diagnosis penyakit pasien Non-JKN
terjadi lebih dari 50%. Terdapatnya hambatan dalam proses pengkodingan,
sehingga menimbulkan ketidaktepatan koding antara lain pelaksanaan
pengkodean pasien Non-JKN rawat jalan belum mengikuti prosedur karena tidak
adanya SOP. Pengkodean yang dilakukan dengan bantuan buku kumpulan kode
penyakit bukan ICD, masih belum ada acuan kebijakan, petugas pelaksana
pengodean tidak sesuai dengan kualifikasi jabatan yaitu perawat bukan coder,
serta tidak adanya hukuman ataupun reward bagi petugas yang melaksanakan
koding. Pengetahuan serta kemampuan petugas rekam medis yang kurang dalam
pengkodingan seperti membaca tulisan dokter juga ikut andil dalam hambatan
proses pengkodean (Christy & Siagian, 2021).
Dampak yang ditimbulkan dari adanya ketidaksesuaian kode diagnosis
rekam medis dengan SIMPUS berdasarkan wawancara awal kepada coder yaitu
adanya pengaruh terhadap pembuatan laporan data penyakit yang di kirimkan ke
Dinas Kesehatan, pasien dapat mengorbankan biaya yang sangat besar dimana
pasien yang seharusnya tidak minum obat antibiotika tetapi diberi antibiotika dan
dampak yang lebih fatal dapat berisiko mengancam jiwa pasien (Hatta, 2014).
Berdasarkan penelitian Fatmalla (2018) menyatakan bahwa kode diagnosis yang
sesuai, tepat, dan akurat akan memberikan efektifitas dalam hal pengambilan
keputusan dan keakuratan pembuatan laporan data kesakitan. Ketidaksesuaian
7

kode diagnosis yang ada dan ditegakkan maka validitas data pada informasi yang
dihasikan juga rendah dan memberikan dampak ketidaktepatan dalam pembuatan
laporan serta pengambilan keputusan baik di puskesmas maupun rumah sakit
(Fatmalla, 2018).
Ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam
medis dengan SIMPUS merupakan sebuah perilaku dari petugas medis ataupun
nonmedis yang tidak sesuai dengan prosedur kerja rekam medis dalam
pengkodean penyakit (Cahyono et al., 2021). Berdasarkan Teori Lawrence Green
dikatakan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu faktor
predisposisi, faktor pendukung, dan faktor pendorong (Notoadmodjo, 2014).
Berdasarkan uraian tersebut, perlu dilakukan penelitian mengenai “Analisis
Faktor Penyebab Ketidaksesuaian Kode Diagnosis Penyakit Pasien Poli Umum
pada Rekam Medis dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo”.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana faktor penyebab ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien
poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Menganalisis faktor penyebab ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit
pasien poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengidentifikasi ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli umum
pada rekam medis dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo.
2. Menganalisis faktor Predisposing (pengetahuan, sikap petugas) yang
menyebabkan ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli umum
pada rekam medis dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo.
8

3. Menganalisis faktor Enabling (sarana, prasarana, pelatihan) yang


menyebabkan ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli umum
pada rekam medis dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo.
4. Menganalisis faktor Reinforcing (SOP, motivasi) yang menyebabkan
ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis
dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo.
5. Menentukan prioritas penyebab masalah ketidaksesuaian kode diagnosis
penyakit pasien poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS di Puskesmas
Purwoharjo dengan metode penilaian Urgency, Seriousness and Growth
(USG).
6. Merumuskan upaya perbaikan dengan brainstorming terhadap permasalahan
ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis
dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo.

1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dan pertimbangan
dalam peningkatan keakuratan pengkodean pada rekam medis, peningkatan
kompetensi pegawai secara khusus bagi petugas kesehatan yang bertugas dalam
melakukan proses pengkodingan diagnosis penyakit, serta menjaga agar rekam
medis tetap lengkap, sesuai, dan akurat dalam pengisiannya sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

1.4.2 Bagi Politeknik Negeri Jember


Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran bagi peneliti lain yang akan
melakukan penelitian lebih lanjut dengan topik yang berhubungan dengan judul
penelitian di atas.
9

1.4.3 Bagi Peneliti


Melalui penelitian ini akan menambah wawasan dan pengetahuan penulis
selama berkuliah, serta memberikan pengalaman yang berharga untuk
pengembangan diri dalam meningkatkan kemampuan ilmiah dalam rekam medis.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 State Of The Art


Tabel 2.1 State Of The Art Penelitian

No Materi Syafira, 2020 A. A. Putri, 2018 Sulandari, 2022

1. Judul Kesesuaian Antara Analisis Analisis Faktor


Kode Diagnosis ICD- Keakuratan Kode Penyebab
10 Dalam Rekam Diagnosis Penyakit Ketidaksesuaian Kode
Medis Dan Hasil Berdasarkan ICD- Diagnosis Penyakit
Input SIMPUS di 10 Dalam Rekam Pasien Poli Umum
Puskesmas Kutasari Medis Rawat Jalan Pada Rekam Medis
Kabupaten Di Puskesmas Dengan SIMPUS di
Purbalingga Tlogosari Kulon Puskesmas Purwoharjo
Kota Semarang
2. Jenis Penelitian Deskriptif Kuantitatif Deskriptif Deskriptif Kualitatif

3. Tujuan Mengetahui Mengetahui Menganalisis faktor


kesesuaian antara keakuratan kode penyebab
kode diagnosis ICD- diagnosis penyakit ketidaksesuaian kode
10 dalam rekam berdasarkan ICD diagnosis penyakit
medis dan hasil input -10 dalam rekam pasien poli umum pada
SIMPUS di medis rawat jalan rekam medis dengan
Puskesmas Kutasari Puskesmas SIMPUS di Puskesmas
Kabupaten Tlogosari Kulon Purwoharjo.
Purbalingga. Kota Semarang.
4. Aspek Man (Manusia), Petugas Koding Predisposing factor
Penelitian Methods (regulasi ), (Pendidikan dan (pengetahuan, sikap),
Money (Biaya), Pelatihan), Enabling Factor
Materials (Bahan- Kebijakan, Sarana (sarana , prasarana,
bahan), Machine pelatihan), Reinforcing
(Mesin), dan Factor (SOP,
Ketidaksesuaian motivasi), dan
antara kode diagnosis Ketidaksesuaian kode
ICD-10 dalam dan diagnosis penyakit
hasil input SIMPUS pasien poli umum pada
rekam medis dengan
SIMPUS
5. Teknik Wawancara Wawancara, Wawancara mendalam,
Pengumpulan mendalam, Observasi Observasi,
Data Observasi, Dokumentasi,
Dokumentasi USG, Brainstorming
6. Teknik Simple Random Systematic Random Simple Random
Sampling Sampling Sampling Sampling
7. Subjek Dokter, Perawat, Petugas Koding, 2 coder yang terdiri
Penelitian Koordinator Rekam Koordinator dari 1 perawat dan 1
Medis, Kepala perekam medis, 1
Puskesmas Kutasari dokter
Purbalingga penangggungjawab
rawat jalan (UKP) serta

10
11

Kepala Puskesmas

8. Objek 99 rekam medis 98 rekam medis 96 rekam medis pasien


Penelitian rawat jalan triwulan rawat jalan poli umum bulan
III 2019 Triwulan III 2017 Januari-April 2022
9. Lokasi Puskesmas Kutasari Puskesmas Puskesmas Purwoharjo
Kabupaten Tlogosari Kulon Banyuwangi Provinsi
Purbalingga Provinsi Kota Semarang Jawa Timur
Jawa Tengah

Perbedaan pada penelitian diatas adalah Syafira (2020) melakukan


penelitian hanya sampai pada mengetahui kesesuaian antara kode diagnosis ICD-
10 dalam rekam medis dan hasil input SIMPUS di Puskesmas Kutasari Kabupaten
Purbalingga tanpa dilakukan perumusan upaya perbaikan masalah, kemudian
untuk aspek penelitian digunakan unsur 5M. Penelitian oleh Putri (2018) hanya
sampai pada mengetahui tingkat keakuratan pengkodean diagnosis yang dilakukan
dan mengetahui faktor penyebab ketidakakuratan kode diagnosis penyakit tanpa
adanya upaya perbaikan masalah maupun prioritas masalah, kemudian untuk
aspek penelitian digunakan pendidikan, pelatihan, kebijakan serta sarana.
Penelitian yang saya lakukan yaitu menganalisis faktor penyebab ketidaksesuaian
kode diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS di
Puskesmas Purwoharjo menggunakan teori Lawrence Green yaitu predisposing
factor, enabling factor, dan reinforcing factor yang selanjutnya dilakukan
prioritas masalah untuk dilakukan diskusi dalam mencari upaya perbaikan
masalah.
Persamaan pada penelitian diatas adalah sama-sama berkaitan dengan
pengkodingan diagnosis penyakit serta lokasi terdapat pada pelayanan kesehatan
tingkat dasar yaitu Puskesmas.

2.2 Puskesmas
2.2.1 Pengertian Puskesmas
Puskesmas merupakan sebuah kesatuan organisasi kesehatan yang
fungsional berguna sebagai pusat pengembangan masyarakat, membina peran
serta sarana masyarakat, memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu
12

kepada masyarakat sebagai pusat pelayanan pertama dari suatu wilayah dalam
bentuk kegiatan pokok (Dinata, 2018). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2019 mendefinisikan Pusat Kesehatan
Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya
kesehatan perseorangan tingkat pertama dengan lebih mengutamakan upaya
promotif dan preventif di wilayah kerjanya.

2.2.2 Tugas Puskesmas


Puskesmas dalam melaksanakan kerjanya yakni mempunyai tugas
melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai tujuan pembangunan
kesehatan di wilayah kerjanya. Untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan,
puskesmas mengintegrasikan program yang dilaksanakannya dengan pendekatan
keluarga (Permenkes RI, 2019).
Berdasarkan penelitian Sanah (2017) menyatakan bahwa Puskesmas adalah
pusat kesehatan pada tingkat awal yang melaksanakan kegiatan pelayanan untuk
masyarakat secara menyeluruh, terpadu, serta berkesinambungan yang meliputi
baik pelayanan perorangan maupun pelayanan masyarakat. Puskesmas disebut
juga sebagai unit pelaksana teknis daerah (UPTD) kabupaten/kota yang
bertanggung jawab dalam mengupayakan pembangunan kesehatan dalam wilayah
kerjanya.

2.2.3 Fungsi Puskesmas


Puskesmas dalam wilayah kerjanya berfungsi sebagai pusat penggerak
pembangunan berwawasan kesehatan, sebagai pemberdaya keluarga dan
masyarakat serta digunakan sebagai pusat pelayanan kesehatan untuk masyarakat
pada strata pertama (Irmawati et al., 2017).
Fungsi puskesmas dijabarkan kembali dalam Kepmenkes RI Nomor
128/MENKES/SK/II/2004 Tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat
yang berisi :
a. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan
13

Puskesmas selalu berupaya menggerakan dan memantau penyelenggaraan


pembangunan lintas sektor termasuk oleh masyarakat dan dunia usaha di wilayah
kerjanya, sehingga berwawasan serta mendukung pembangunan kesehatan.
Puskesmas juga aktif memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari
penyelenggaraan setiap program pembangunan di wilayah kerjanya. Khusus untuk
pembangunan kesehatan, upaya yang dilakukan puskesmas adalah mengutamakan
pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa mengabaikan
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.
b. Pusat pemberdayaan masyarakat
Puskesmas selalu berupaya agar perorangan terutama pemuka masyarakat,
keluarga dan masyarakat termasuk dunia usaha memiliki kesadaran, kemauan, dan
kemampuan melayani diri sendiri dan masyarakat untuk hidup sehat, berperan
aktif dalam memperjuangkan kepentingan kesehatan termasuk pembiayaannya,
serta ikut menetapkan, menyelenggarakan, dan memantau pelaksanaan program
kesehatan. Pemberdayaan perorangan, keluarga dan masyarakat ini
diselenggarakan dengan memperhatikan kondisi dan situasi, khususnya sosial
budaya masyarakat setempat.
c. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama
Puskesmas bertanggungjawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan
tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Pelayanan
kesehatan tingkat pertama yang menjadi tanggungjawab puskesmas meliputi :
1) Pelayanan kesehatan perorangan
Pelayanan kesehatan perorangan adalah pelayanan yang bersifat pribadi
(private goods) dengan tujuan utama menyembuhkan penyakit dan pemulihan
kesehatan perorangan, tanpa mengabaikan pemeliharaan kesehatan dan
pencegahan penyakit. Pelayanan perorangan tersebut adalah rawat jalan dan untuk
puskesmas tertentu ditambah dengan rawat inap.
2) Pelayanan kesehatan masyarakat
Pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan yang bersifat publik
(public goods) dengan tujuan utama memelihara dan meningkatkan kesehatan
serta mencegah penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan
14

pemulihan kesehatan. Pelayanan kesehatan masyarakat tersebut antara lain


promosi kesehatan, pemberantasan penyakit, penyehatan lingkungan, perbaikan
gizi, peningkatan kesehatan keluarga, keluarga berencana, kesehatan jiwa serta
berbagai program kesehatan lainnya.

2.2.4 Sumber Daya Manusia Kesehatan Puskesmas


Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2019
menyatakan bahwa sumber daya manusia kesehatan puskesmas terdiri dari atas
tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan. Tenaga kesehatan yang dimaksud
paling sedikit terdiri atas : perawat, bidan, tenaga promosi kesehatan dan ilmu
perilaku, tenaga sanitasi lingkungan, nutrisionis, tenaga apoteker dan/ atau tenaga
teknis kefarmasian, dan ahli teknologi laboratorium medik. Terlihat dalam kondisi
tertentu, puskesmas juga dapat menambah jenis tenaga kesehatan lainnya meliputi
terapis gigi dan mulut, epidemiologi kesehatan, entomolog kesehatan, perekam
medis dan informasi kesehatan, dan tenaga kesehatan lain sesuai dengan
kebutuhan. Tenaga non kesehatan harus mendukung kegiatan ketatausahaan,
administrasi keuangan, sistem informasi, dan kegiatan operasional lain di
Puskesmas.
Perekam medis dan informasi kesehatan adalah profesi yang kegiatannya
berkecimpung dalam pengelolaan sumber informasi dengan menguraikan sifat
alami data, struktur dan mengartikannya dalam bentuk informasi untuk
mendukung kemajuan kesehatan (Oktamianiza, 2019). Jabatan fungsional
perekam medis di Puskesmas terdiri dari 5 orang tenaga terampil (yang telah
menempung pendidikan Diploma III) dan 2 tenaga ahli (yang telah menempuh
pendidikan Diploma VI atau S1) (Permenpan No. 30, 2013).

2.2.5 Pelayanan Puskesmas


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 43
Tahun 2019 Tentang Pusat Kesehatan Masyarakat yang menyatakan bahwa dalam
penyelenggarakan kesehatan perorangan pada tingkat dasar dilaksanakan dalam
bentuk sebagai berikut.
15

a. Rawat Jalan
Rawat jalan merupakan salah satu unit kerja di puskesmas dalam melayani
pasien untuk observasi, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi medik dengan berobat
jalan dan tidak lebih dari 24 jam pelayanan atau tanpa menginap, serta termasuk
kedalam seluruh prosedur pelayanan. Rawat jalan adalah pelayanan medis kepada
seorang pasien dan tidak lebih dari 24 jam pelayanan untuk tujuan pengamatan,
diagnosis, pengobatan, rehabilitasi, dan pelayanan kesehatan lainnya, tanpa
mengharuskan pasien tersebut di rawat inap (Sudra, 2017).
b. Pelayanan Gawat Darurat
Pelayanan Kegawatdaruratan adalah tindakan medis yang dibutuhkan oleh
pasien gawat darurat dalam waktu segera untuk menyelamatkan nyawa dan
pencegahan kecacatan (Kemenkes RI, 2018). Instalasi kesehatan yang bertugas
dalam penyelenggaraan pelayanan gawat darurat disebut dengan IGD (Instalansi
Gawat Darurat).
c. Pelayanan satu hari (one day care)
Pelayanan Rawat Sehari (one day care) adalah pelayanan pasien untuk
tujuan pengamatan, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi, dan pelayanan kesehatan
lainnya dalam jangka waktu pendek yaitu 1 hari atau 24 jam.
d. Perawatan di rumah (home care)
Perawatan di rumah adalah pelayanan kesehatan untuk tujuan observasi,
pengobatan, dan rehabilitasi pasca rawat inap.
e. Rawat Inap
Rawat inap merupakan pelayanan kesehatan perorangan, yang meliputi
observasi, diagnosis, pengobatan, keperawatan, rehabilitasi medik, dengan
menginap di ruang rawat inap pada sarana kesehatan dimana dengan alasan medik
penderita harus menginap (Anggrianni et al., 2017).

2.2.6 Gambaran Umum Puskesmas Purwoharjo


Puskesmas Purwoharjo adalah Puskesmas pedesaan dengan rawat inap
besar, berada di Jalan Bhakti Husada No. 5, Purwoharjo, Banyuwangi, Jawa
Timur 68483, Telp. 0333–396491, E-mail pkm_purwoharjo@yahoo.co.id.
16

Puskesmas Purwoharjo memiliki luas wilayah 37,23 Km², berada pada titik
koordinat LS :- 8.474921, BT : 114.226463 dan terletah di dataran rendah.
Pembagian wilayah kerja Puskesmas Purwoharjo meliputi 4 desa (Desa Kradenan,
Desa Purwoharjo, Desa Bulurejo, dan Desa Sidorejo).
a. Visi :
“ Terwujudnya masyarakat sehat mandiri di wilayah Puskesmas Purwoharjo ”
b. Misi :
1) Menggerakan pembangunan berwawasan kesehatan
2) Mendorong kemandirian hidup sehat
3) Meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat beserta
lingkungannya
4) Memberikan pelayanan secara prima
5) Meningkatkan mutu, keterjangkauan dan pemerataan pelayanan
kesehatan
6) Meningkatkan kwalitas sumber daya manusia
c. Motto :
“ Kesehatan masyarakat yang utama ”
d. Tata Nilai
“SIP” (Sinergi, Profesional)
e. Struktur Organisasi Puskesmas Purwoharjo

Gambar 2.1 Struktur Organisasi Puskesmas Purwoharjo


17

2.3 Rekam Medis


2.3.1 Pengertian Rekam Medis
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
269/MENKES/PER/III/2008 Tentang Rekam Medis menyebutkan bahwa rekam
medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang pasien yang
berisi identitas, pemeriksaan, pengobatan, tindakan medis lain pada sarana
pelayanan kesehatan untuk rawat jalan, rawat inap baik yang dikelola pemerintah
maupun swasta.
Rekam medis adalah catatan maupun dokumen yang terkumpul dalam suatu
berkas berisi identitas milik pasien, pemeriksaan, pengobatan maupun perawatan,
dan tindakan yang telah diterima pasien selama pelayanan (Wiranata & Chotimah,
2020).

2.3.2 Tujuan Rekam Medis


Berdasarkan Sudra (2017) menyatakan bahwa tujuan penggunaan rekam
medis terbagi menjadi primer dan sekunder.
a. Tujuan Primer
Bagi pasien adalah sebagai berikut.
1) Mencatat jenis pelayanan yang telah diterima.
2) Bukti pelayanan
3) Memungkinkan tenaga kesehatan dalam menilai dan menangani kondisi
risiko.
4) Mengetahui biaya pelayanan.
Bagi pihak pemberi layanan kesehatan adalah sebagai berikut.
1) Membantu kelanjutan pelayanan (sarana komunikasi).
2) Menggambarkan keadaan penyakit dan penyebab (sebagai pendukung
diagnostik kerja).
3) Menunjang pengambilan keputusan tentang diagnosis dan pengobatan.
4) Menilai dan mengelola risiko pasien.
5) Memfasilitasi pelayanan sesuai dengan pedoman praktik klinis.
6) Mendokumentasi faktor risiko pasien.
18

7) Menilai dan mencatat keinginan serta kepuasan pasien.


8) Menghasilkan rencana pelayanan.
9) Menetapkan sarana pencegahan atau promosi kesehatan.
10) Sarana pengingat para klinisi.
11) Menunjang pelayanan pasien.
12) Mendokumentasikan pelayanan yang diberikan.
Bagi pihak manjemen pelayanan pasien adalah sebagai berikut.
1) Mendokumentasikan adanya kasus penyakit gabungan dan praktiknya.
2) Menganalisis kegawatan penyakit.
3) Merumuskan pedoman praktik penanganan risiko.
4) Memberikan corak dalam penggunaan pelayanan.
5) Dasar penelaahan dalam penggunaan sarana pelayanan (utilisasi).
6) Melaksanakan kegiatan menjaga mutu.
Bagi pihak penunjang pelayanan pasien adalah sebagai berikut.
1) Alokasi sumber.
2) Menganalisis kecenderungan dan mengembangkan dugaan.
3) Menilai beban kerja.
4) Mengomunikasikan informasi berbagai unit kerja.
Bagi pihak pengelola pembayaran dan penggantian biaya pelayanan pasien adalah
sebagai berikut.
1) Mendokumentasikan unit pelayanan yang memungut biaya pemeriksaan.
2) Menetapkan biaya yang harus di bayar.
3) Mengajukan klaim asuransi.
4) Mempertimbangkan dan memutuskan klaim asuransi.
5) Dasar dalam menetapkan ketidakmampuan dalam pembayaran (misal
kompensasi pekerja).
6) Menangani pengeluaran.
7) Melaporkan pengeluaran.
8) Menyelenggarakan analisis aktuarial (tafsiran pra penetapan asuransi).
b. Tujuan Sekunder
Edukasi
19

1) Mendokumentasikan pengalaman profesional di bidang kesehatan.


2) Menyiapakan sesi pertemuan dan presentasi.
3) Bahan pengajaran.
Regulasi
1) Bukti pengajuan ke perkara pengadilan (ligitasi).
2) Membantu pemasaran pengawasan (surveillanse).
3) Menilai kepatuhan sesuai standar pelayanan.
4) Sebagai dasar pemberian akreditasi bagi profesional dan rumah sakit.
5) Membandingkan organisasi pelayanan kesehatan.
Riset
1) Mengembangkan produk baru.
2) Melaksanakan riset klinis.
3) Menilai teknologi.
4) Studi keluaran pasien.
5) Studi efektivitas serta analisis manfaat dan biaya pelayanan pasien.
6) Mengidentifikasi populasi yang berisiko.
7) Mengembangkan registrasi dan pangkalan data (database).
8) Menilai manfaat dan biaya sistem rekaman.
Pengambilan kebijakan
1) Mengalokasikan sumber-sumber.
2) Melaksanakan rencana strategis.
3) Memonitor kesehatan masyarakat.
Industri
Pengelolaan rekam medis bertujuan untuk menunjang tercapainya tertib
administrasi dalam rangka upaya mencapai tujuan pelayanan kesehatan, dengan
adanya peningkatan mutu pelayanan (Sanggamele et al., 2018).

2.3.3 Kegunaan Rekam Medis


Berdasarkan Sudra (2017) yang menyatakan bahwa kegunaan rekam medis
dapat dilihat dari berbagai aspek yang seringkali dirangkum dalam akronim
20

ALFRED (Administration, Legal, Finance, Research, Education,


Documentation), antara lain :
a. Administration
Rekam Medis digunakan untuk kebutuhan administrasi dalam pelayanan
kesehatan. Sejak pasien diterima, baik rawat jalan; rawat darurat; maupun rawat
inap, hingga pasien pulang. Semua proses pencatatan ini kelak akan sangat
dibutuhkan pada saat menelusuri kembali riwayat kedatangan pasien tersebut.
b. Legal
Rekam medis digunakan sebagai bukti telah terjadinya proses pelayanan
kesehatan. Rekam medis akan dihadirkan dalam proses persidangan untuk
menyelesaikan kasus mediko-legal (kasus medis yang bermuatan hukum) guna
menelusuri kembali kejadian suatu pelayanan kesehatan melalui runtutan „cerita‟
yang tercacat/terekam di dalamnya.
c. Finance
Rekam medis digunakan untuk menghitung biaya. Rekam medis digunakan
untuk menghitung biaya pelayanan kesehatan yang telah diberikan kepada pasien.
Hal ini terutama apabila sistem penagihan biaya pelayanannya berdasarkan item
pelayanan yang telah diberikan. Jika menggunakan sistem penagihan biaya
pelayanan berdasarkan diagnosis maka ketepatan diagnosis dan keakuratan kode
diagnosis sangat berpengaruh terhadap nilai klaim pembiayaan yang diajukan.
d. Research
Sebuah penelitian, baik bidang medis maupun non medis, banyak yang
dilakukan dengan menggunakan rekam medis sebagai sumber datanya. Terlihat
dalam hal penggunaan informasi dalam rekam medis untuk penelitian tetap harus
memperhatikan etika dan peraturan perundangan yang berlaku.
e. Education
Proses pendidikan tenaga kesehatan, baik kelompok tenaga medis;
paramedis; penunjang medis; keteknisian medis; maupun keterapian fisik, banyak
digunakan informasi dalam rekam medis sebagai bahan pendidikan. Penggunaan
informasi dalam rekam medis untuk pendidikan harus memperhatikan etika dan
peraturan perundangan yang berlaku.
21

f. Documentation
Suatu berkas rekam medis mempunyai nilai dokumentasi karena isinya
menyangkut sumber ingatan yang harus didokumentasikan dan dipakai sebagai
bahan pertanggungjawaban dan laporan sarana pelayanan kesehatan.
Berdasarkan Permenkes RI (2008) Pasal 13 tertulis bahwa Rekam medis
dapat digunakan sebagai pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien; alat
bukti dalam proses penegakan hukum; keperluan penelitian dan pendidikan; dasar
pembayaran biaya pelayanan kesehatan; dan data statistik kesehatan.

2.4 Pengodean (Coding)


2.4.1 Pengertian Pengodean (Coding)
Pemberian Kode adalah pemberian penetapan kode dengan menggunakan
huruf atau angka atau kombinasi huruf dalam angka yang mewakili komponen
data. Kegiatan dan tindakan serta diagnosis yang ada didalam rekam medis harus
diberi kode dan selanjutnya di indeks agar memudahkan pelayanan pada
penyajian informasi untuk menunjang fungsi perencanaan, manajemen, dan riset
bidang kesehatan (Depkes RI, 2006).
Coding adalah penetapan kode diagnosis yang dilakukan dengan tepat serta
memperhatikan panduan dari World Health Organization (WHO) dan
menggunakan International Statistical Classification of Disease and Related
Health Problems 10 (ICD-10) dalam proses pengkodeannya (Ulfa et al., 2017).
Sedangkan menurut Pertiwi (2019), Koding dalam rekam medis sendiri diartikan
sebagai tafsiran dari suatu penyakit, prosedure, jasa ataupun pelayanan kesehatan
kedalam sebuah kode alfanumerik atau numerik yang digunakan sebagai proses
pelaporan statistik.
Berdasarkan Cahyono et al. (2021), proses ketepatan pengodean harus
memonitor beberapa elemen, yaitu : konsisten bila dikode petugas berbeda
kode tetap sama (reliability), kode tepat sesuai diagnosis dan tindakan (validity),
mencakup semua diagnosis dan tindakan yang ada di rekam medis
(completeness), dan tepat waktu (timeless). Ketepatan dalam pengisian kode
penyakit tentunya saling berkaitan dengan penulisan kode penyakit yang
22

sesuai dengan klasifikasi yang ada di dalam ICD-10. Dampak yang terjadi bila
penulisan kode diagnosis tidak tepat antara lain pasien mengorbankan biaya yang
sangat besar, pasien yang seharusnya tidak minum obat antibiotika tetapi harus
diberi antibiotika dan dampak yang lebih fatal berisiko mengancam jiwa pasien
(Hatta, 2014).

2.4.2 Standar Pengodean (Coding)


Standar pengodean (coding) yang dikembangkan AHIMA, meliputi
beberapa standar yang harus dipenuhi oleh seorang pengode (Hatta, 2014), antara
lain yaitu :
a. Akurat, komplet, dan konsisten antara pengode 1 dengan yang lainnya untuk
menghasilkan data yang berkualitas.
b. Pengode harus mengikuti sistem klasifikasi yang sedang berlaku dengan
memilih pengodean diagnosis yang tepat.
c. Pengodean harus ditandai dengan laporan kode yang jelas dan konsisten pada
dokumentasi dokter dalam rekam medis.
d. Pengode harus berkonsultasi dengan dokter untuk klarifikasi dan kelengkapan
pengisian data diagnosis dan tindakan dalam proses pengodean.
e. Pengode tidak mengganti kode pada bill pembayaran.
f. Pengode harus sebagai anggota kesehatan, harus membantu dan
menyosialisasikan kepada dokter dan tenaga kesehatan lainnya.
g. Pengode harus secara rutin meningkatkan kemampuannya di bidang
pengodean.
h. Pengodean senantiasa berusaha untuk memberi kode yang paling sesuai.

2.4.3 Penggunaan Pengodean (Coding)


Berdasarkan Hatta (2014) yang menyatakan bahwa penerapan pengodean
sistem ICD memiliki beberapa kegunaan antara lain :
a. Mengindeks pencatatan penyakit dan tindakan di sarana pelayanan kesehatan.
b. Masukan bagi sistem pelaporan diagnosis medis.
23

c. Memudahkan proses penyimpanan dan pengambilan data terkait diagnosis


karakteristik pasien dan penyedia layanan.
d. Pelaporan nasional dan internasional morbiditas dan mortalitas.
e. Tabulasi data pelayanan kesehatan bagi proses evaluasi perencanaan dan
dikembangkan sesuai kebutuhan zaman.
f. Analisis pembiayaan pelayanan kesehatan.
g. Untuk penelitian epidemiologi dan klinis.
Pengkodean penyakit sangatlah penting bagi fasilitas kesehatan, dalam
prakteknya kodefikasi penyakit harus dilakukan dengan tepat dan akurat karena
digunakan dalam pembuatan laporan morbiditas sehingga dalam pengambilan
keputusan juga tepat. Kodefikasi penyakit yang ditegakkan apabila tidak sesuai
dan akurat maka akan menghasilkan data informasi dengan validasi data rendah
yang akan mempengaruhi pembuatan laporan morbiditas (Fatmalla, 2018).

2.4.4 Tahapan Proses Pengodean (Coding)


Pengkodean yang sesuai dan akurat dalam sebuah pelayanan kesehatan
diperlukan rekam medis pasien yang lengkap. Setiap fasilitas kesehatan
mengupayakan supaya pengisian rekam medis harus lengkap sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Pengode harus melakukan analisis kualitatif terhadap isi
rekam medis tersebut untuk menemukan diagnosis, kondisi, terapi, dan pelayanan
yang diterima pasien. Rekam medis harus memuat lembar yang harus dikode,
seperti laporan tindakan serta hasil pemeriksaan. Pengkode membantu meneliti
rekam medis untuk verifikasi diagnosis dan tindakan kemudian baru ditetapkan
kode dari diagnosis dan tindakan tersebut. Pengkodean sistem klasifikasi yang
digunakan pelayanan kesehatan di Indonesia pada saat ini yaitu International
Statictical Classification of Disease and Related Health Problems (ICD) revisi ke-
10 (Hatta, 2014). Proses pengkodean yang dilakukan harus sesuai dengan
diagnosis yang ditegakkan oleh dokter. Jika ditemukan kesalahan atau
inkonsistensi pencatatan diagnosis, maka koder wajib melakukan klarifikasi
kepada dokter penanggungjawab pelayanan (Cahyono et al., 2021).
24

2.5 Sistem Informasi Manajemen Puskesmas (SIMPUS)


2.5.1 Pengertian SIMPUS
Sistem Informasi Manajemen Puskesmas (SIMPUS) adalah suatu tatanan
yang menyediakan informasi untuk membantu proses pengambilan keputusan
dalam melaksanakan manajemen puskesmas dengan mencapai sasaran
kegiatannya (Kepmenkes RI, 2004). SIMPUS dibuat dengan adanya harapan
untuk peningkatan pelayanan kesehatan kepada pasien dengan
penyelenggaraannya yang cepat dan tepat melalui pemanfaatan Sistem Pencatatan
Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP). Sistem Informasi Manajemen Puskesmas
(SIMPUS) merupakan suatu program atau software yang digunakan untuk
membantu manajemen puskesmas dengan mengoptimalisasi pengurangan beban
kerja petugas dan peningkatan efisiensi pelayanan kesehatan agar tersedia dalam
pelayanan secara cepat dan mudah kepada pasien (Aulia, 2017).

2.5.2 Tujuan dan Manfaat SIMPUS


Sistem Manajemen Puskesmas adalah suatu aplikasi yang digunakan untuk
membantu pelayanan kesehatan di Puskesmas dengan fungsi utamanya adalah
memanage data pasien mulai dari pendaftaran, registrasi, pemeriksaan (penyakit)
serta pelayanan pengobatan pasien. Data yang telah terakumulasi menjadi satu
nantinya akan dikategorikan sesuai dengan kebutuhan laporan, seperti laporan
kunjungan harian, cara pembayaran, laporan 10 besar penyakit serta laporan lain
yang dibutuhkan dalam manajemen Puskesmas. Pengkodingan pada SIMPUS
telah terintegrasi dengan ICD-10 yang diberikan oleh Dinas Kesehatan setempat.
SIMPUS juga memberikan manfaat bagi puskesmas antara lain dengan
mempermudah dan mempercepat pelayanan, membakukan prosedur dan standar
pelayanan serta mendapatkan data dan informasi yang akurat (Thenu et al., 2016).

2.5.3 Penyelenggaraan SIMPUS


a. Sumber Informasi
SP2TP terdiri dari bagian pencatatan dan bagian pelaporan. Penunjang
kegiatan manajemen puskesmas paling banyak didominasi oleh bagian
25

pencatatan. Hal tersebut dikarenakan hasil informasi yang diperoleh lebih lengkap
pada bagian pencatatan daripada bagian pelaporan (Syafira, 2020). Beberapa
pencatatan-pencatatan yang dilakukan di Puskesmas antara lain :
1) Kartu Identitas, seperti kartu rawat jalan, kartu ibu dan anak, kartu TB, dll.
2) Register, seperti register kunjungan, register KIA, register Posyandu, dll.
3) Laporan kejadian luar biasa.
4) Rekam kesehatan keluarga (RKK/family folder).
5) Salah satu anggota keluarga yang menderita penyakit TB Paru.
6) Salah satu anggota keluarga yang menderita penyakit kusta.
7) Salah satu angota keluarga yang mempunyai resiko tinggi seperti gravida,
bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR), balita kurang nutrisi, dll.
8) Salah satu anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa.
b. Mekanisme
1) Data SP2TP dan data lain yang ada mengikuti arahan pengolahan dan
penggunaan data serta prosedur yang tersedia (seperti program ISPA (Infeksi
Saluran Pernapasan Atas), malaria, imunisasi, kesehatan lingkungan, KIA,
gizi, rencana pelayanan kesehatan, dll).
2) Analisis, pemrosesan, interpretasi dan pengutaraan yang dilakukan oleh
penanggungjawab kegiatan di Puskesmas serta pengelola program dari semua
tingkat administrasi.
3) Informasi yang diperoleh dari pemrosesan dan interpretasi data SP2TP serta
sumber lainnya dapat bersifat kualitatif (seperti meningkat, menurun, atau
tidak berubah) dan bersifat kuantitatif dalam bentuk angka, seperti jumlah,
presentase, dll. Informasi yang dihasilkan dapat berupa laporan.
c. Pemanfaatan
1) Informasi yang diperoleh dari SP2TP dan informasi yang lain dimanfaatkan
untuk menunjang proses manajemen di tingkat puskesmas sebagai bahan
untuk penyusunan rencana tahunan puskesmas, penyusunan rencana kerja
operasional puskesmas, bahan pemantauan evaluasi dan pembinaan.
2) Informasi dari SP2TP dan informasi lain kan membantu Dinas Kesehatan
dalam penyusunan perencanaan tahunan, penilaian kinerja puskesmas,
26

penilaian akreditasi puskesmas, serta penentuan prioritas masalah agar


diperoleh upaya pemecahan masalah.
3) Informasi dari SP2TP akan membantu kelancaran perencanaan, pelaksanaan,
dan penilaian, yang digunakan sebagai masukan untuk pendiskusian sebuah
masalah.

2.6 Perilaku
2.6.1 Definisi Perilaku
Perilaku merupakan bagian dari aktivitas suatu organisme. Perilaku adalah
apa yang dilakukan organisme atau apa yang diamati oleh organisme lain.
Berdasarkan Notoadmodjo (2014) merumuskan bahwa perilaku merupakan proses
terjadinya suatu respon atau reaksi terhadap sebuah stimulus atau rangsang dari
luar. Reaksi yang diberikan setiap orang dapat berbeda tergantung pada karakter
atau pengaruh faktor lain yang berasal dari orang yang bersangkutan. Berdasarkan
Notoadmodjo (2014) bahwa perilaku dibagi menjadi dua yaitu :
a. Covert behavior, merupakan perilaku tertutup yang terjadi jika respon
terhadap stimulus masih belum dapat diamati oleh orang lain secara jelas,
atau masih terselubung.
b. Overt behavior, merupakan perilaku terbuka yang terjadi jika respon terhadap
stimulus sudah dapat diamati oleh orang lain, atau sudah berupa tindakan.
Ketika suatu organisme mempelajari cara baru berperilaku sebagai reaksi
terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya, ini disebut respons. Terdapat 2
jenis respons yaitu :
a) Respondent response, yaitu respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-
rangsangan (stimulus) tertentu. Contoh, makanan yang lezat menimbulkan
keinginan untuk makan, cahaya terang menyebabkan mata tertutup, dan
sebagainya.
b) Operant response, yaitu respons yang timbul dan berkembang kemudian
diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang ini disebut
reinforcing stimulation atau reinforcer, karena memperkuat respons.
Misalnya, apabila seorang petugas kesehatan melaksanakan tugasnya dengan
27

baik (respons terhadap tugasnya atau job deskripsi) kemudian memperoleh


penghargaan dari atasannya (stimulus baru), maka petugas kesehatan tersebut
akan lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya.

2.6.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku


Menurut Notoadmodjo (2014) merumuskan bahwa perilaku merupakan
proses terjadinya suatu respon atau reaksi terhadap sebuah stimulus atau rangsang
dari luar. Reaksi yang diberikan setiap orang dapat berbeda tergantung pada
karakter atau pengaruh faktor lain yang berasal dari orang yang bersangkutan.
Faktor yang membedakan reaksi yang diberikan setiap orang terhadap rangsangan
yang berbeda dari luar disebut dengan determinan perilaku. Teori Lawrence
Green mengatakan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu
faktor predisposisi (predisposing factor), faktor pendukung (enabling factor), dan
faktor pendorong (reinforcing factor). Berdasarkan pendapat Notoadmodjo (2014)
yang menyatakan bahwa faktor perilaku dipengaruhi oleh 3 hal yakni :
a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor), yakni faktor-faktor yang
mempermudah terjadinya perilaku seseorang. Faktor-faktor ini terwujud
dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan ataupun keyakinan.
b. Faktor-faktor pendukung (enabling factor), yakni faktor yang sudah ada
dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas
seperti sarana dan prasarana kesehatan, pelatihan dan sebagainya.
c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor), yakni faktor-faktor yang
mendorong atau memperkuat terjadinya suatu perilaku. Faktor-faktor
pendorong tersebut terwujud dalam peraturan-peraturan, undang-undang,
serta motivasi.

2.7 Faktor Penyebab Ketidaksesuaian Kode Diagnosis Penyakit Pasien Poli


Umum Pada Rekam Medis Dengan SIMPUS
2.7.1 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari suatu proses belajar yang dapat diperoleh
baik secara formal maupun informal dan mengarah pada pemahaman secara
28

teoritis dan praktikal dari individu (Meilina & Bernator, 2021). Pengetahuan
merupakan fakta kebenaran informasi yang diperoleh melalui pengalaman atau
pembelajaran. Pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau
segala perbuatan manusia untuk memahami suatu obyek yang dihadapinya, serta
hasil usaha manusia untuk memahami suatu obyek tertentu (Surajiyo & Sriyono,
2017).
Hasil penelitian oleh Christy & Siagian (2021) yang menyatakan bahwa
pengkodean diagnosis kasus neoplasma yang ada di RSUP H. Adam Malik Medan
terdapat ketidaktepatan sebesar 9% atau sekitar 8 kode diagnosis dari 93 kode
diagnosis yang diteliti. Pengkodingan diagnosis dilakukan oleh coder akan tetapi
masih belum sesuai dengan aturan ICD-10. Keterbatasan pengetahuan coder yang
muncul terhadap terminologi medis, anatomi, fisiologi penyakit, dan morfologi
serta kesulitan membaca tulisan dokter dapat menyebabkan ketidaktepatan kode
yang dihasilkan (Indawati, 2019).

2.7.2 Sikap
Sikap adalah evaluasi atau reaksi perasaan. Pengukuran sikap dapat
dilakuan secara langsung atau tidak langsung, melalui pendapat atau pertanyaan
responden terhadap suatu objek secara tidak langsung dilakukan dengan
pertanyaan hipotesis, kemudian dinyatakan pendapat responden (Irwan, 2017).
Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak
maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak pada objek tersebut
(Sukesih et al., 2020).
Hasil penelitian oleh Priyadi & Lestari (2020) yang menyatakan bahwa
keakuratan kode tindakan bedah di Rumah Sakit Sumber Waras didapatkan
jumlah kode tindakan akurat sebanyak 43,6 % rekam medis dan tidak akurat
sebanyak 56,4 %. Pelaksanaan pengkodingan tindakan yang ada di Rumah Sakit
Sumber Waras belum sepenuhnya dilakukan langsung pada saat rekam medis
kembali ke ruang rekam medis. Menurut penelitian Ulya (2021) yang menyatakan
bahwa terdapatnya proses pengodean diagnosis penyakit yang dilakukan oleh
dokter atau perawat di bagian poli umum Puskesmas Tanah Merah ditemukan
29

97,55 % kode tidak sesuai karena sikap petugas lebih memilih menggunakan buku
pintar daripada buku ICD-10 yang jelas sudah terdapat acuan ketentuan-ketentuan
dalam melakukan pengkodean.

2.7.3 Sarana
Sarana prasarana pelayanan kesehatan dapat didefinisikan sebagai proses
kerjasama pendayagunaan semua sarana dan prasarana kesehatan secara efektif
dan efisien untuk memberikan layanan secara profesional dibidang sarana dan
prasarana dalam proses pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien (Ristiani,
2017). Sarana adalah bangunan yang sebagian atau seluruhnya berada di atas
tanah/perairan, ataupun di bawah tanah/perairan dan digunakan untuk
penyelenggaraan atau penunjang pelayanan (Permenkes RI, 2018). Sarana seperti
tidak terdapatnya bangunan serta tata ruang yang tidak teratur juga akan membuat
pegawai atau penghuni kantor lainnya merasa tidak nyaman dalam melakukan
pekerjaan. Ketidaknyamanan tersebut akan berpengaruh juga dalam optimalisasi
kerja dari pegawai sebuah organisasi (Oktavianti, 2018).

2.7.4 Prasarana
Sarana prasarana pelayanan kesehatan dapat didefinisikan sebagai proses
kerjasama pendayagunaan semua sarana dan prasarana kesehatan secara efektif
dan efisien untuk memberikan layanan secara profesional dibidang sarana dan
prasarana dalam proses pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien (Ristiani,
2017). Prasarana adalah alat, jaringan, dan sistem yang membuat suatu sarana
dapat berfungsi (Permenkes RI, 2018). Berdasarkan penelitian Pertiwi (2019)
menyatakan bahwa prasarana yang mempengaruhi proses pengkodingan diagnosis
penyakit dapat dilihat dari kualitas rekam medis yang disediakan. Prasarana juga
dapat dilihat dari alat bantu penunjang pelaksanaan pengodean antara lain buku
ICD-10 maupun aplikasi ICD-10, komputer yang memadai, printer, internet,
kamus kedokteran dan kamus bahasa inggris yang berguna dalam pengkodean
(Sari & Pela, 2017).
30

2.7.5 Pelatihan
Berdasarkan penelitian Sulaiman & Asanudin (2020), menyatakan bahwa
pelatihan adalah suatu usaha untuk memperbaiki prestasi kerja atau kinerja
pegawai, pada suatu pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggung jawabnya.
Pelatihan merupakan suatu kegiatan dalam organisasi dimana para pimpinannya
mendukung adanya pelatihan karena melalui pelatihan para pegawai akan lebih
menjadi terampil dan meningkatkan produktivitas. Pelatihan juga merupakan
suatu kegiatan yang mengutamakan pengetahuan, keterampilan, dan peningkatan
sikap seseorang dalam melaksanakan tugasnya dalam rangka pencapaian tujuan
organisasi dengan efektif dan efisien (Sulaiman & Asanudin, 2020).
Berdasarkan hasil penelitian tentang ketidaksesuaian kode diagnosis pada
SIMRS dengan berkas klaim BPJS Klinik Obgyn di RSUD Dr. Saiful Anwar
Malang diperoleh bahwa dalam pelaksanaan pengkodean masih terdapat ketidak
sesuaian, hal ini salah satunya disebabkan oleh belum pernah adanya pelatihan
khusus bagi petugas rekam medis maupun petugas administrasi (Rahmadhani et
al., 2020). Pelatihan kepada petugas sangat berpengaruh terhadap kinerja petugas
dalam bekerja. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian Rahmadhani et al.
(2020) yang menyatakan bahwa latar belakang petugas koding yang belum pernah
mengikuti pelatihan adalah salah satu penyebab ketidaksesuaian pemberian kode
diagnosis utama.

2.7.6 SOP (Standart Operational Procedure)


SOP adalah suatu pedoman atau acuan terkait peraturan-peraturan untuk
melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian kinerja
instansi pemerintah berdasarkan indikator-indikator teknis, administratif dan
prosedural sesuai tata kerja, prosedur kerja dan sistem kerja pada unit kerja yang
bersangkutan (Gishella, 2018). SOP adalah proses yang disusun untuk
memudahkan, merapihkan dan menertibkan pekerjaan yang kemudian
disosialisasikan kepada pekerja. Sistem ini berisi urutan proses melakukan
pekerjaan dari awal sampai akhir (Hidayat & Hayati, 2019). Adanya SOP dapat
31

menjadi pedoman petugas dalam melakukan tugasnya dan meminimalisasi


kesalahan saat melakukan tugasnya masing-masing (Gabriele, 2018).
Pengelolahan rekam medis harus memiliki SOP atau kebijakan yang dibuat
oleh suatu instansi pelayanan kesehatan dimana harus diketahui dan dipenuhi oleh
semua tenaga kesehatan yang terlibat didalamnya, seperti proses pengkodingan
penyakit (Isnaini, 2019). Kesediaan SOP dan kebijakan yang mengatur kegiatan
pengkodean diagnosis serta mengatur siapa yang memiliki wewenang dalam
pelaksanaan pengkodean diagnosis di sebuah pelayanan kesehatan menjadikan hal
tersebut sebagai salah satu faktor penyebab ketidaksesuaian kode diagnosis pasien
(Pramono et al., 2020). SOP sendiri sangat berguna untuk menjelaskan alur tugas,
wewenang dan tanggung jawab dari petugas yang terkait (N. W. S. D. Dewi,
2017).

2.7.7 Motivasi
Menurut Notoadmodjo (2014), motivasi (motivation) dapat diartikan
sebagai dorongan kekuatan dari seseorang dalam membangkitkan semangat serta
ketekunan melakukan kegiatan tertentu untuk mencapai sesuatu yang diinginkan.
Semangat kerja yang timbul akan membuat karyawan semakin meningkatkan
produktiftas kerjanya. Karyawan yang mampu bekerja secara optimal maka tujuan
pekerjaan akan segera terselesaikan (Purba et al., 2020). Sesuatu yang
mempengaruhi motivasi individu antara lain melalui pemberian penghargaan
(reward) dan hukuman (punishment) kepada karyawan (Pradnyani et al., 2020).
Berdasarkan hasil penelitian oleh Hasanah (2018) menyatakan bahwa faktor
motivasi merupakan salah satu penyebab ketidaktepatan kode diagnosis pasien
BPJS Unit Rawat Inap di Rumah Sakit Mitra Medika Bondowoso, dalam hal ini
motivasi yang dimaksud adalah bentuk pemberian apresiasi atau penghargaan
(reward) terhadap kinerja yang dihasilkan. Pemberian reward akan menimbulkan
gairah dan semangat untuk bekerja (Pradnyani et al., 2020). Karyawan sudah
merasakan gairah dan semangat tersebut dari dalam dirinya, otomatis karyawan
akan termotivasi untuk meningkatkan produktivitas dan menunjukkan kinerja
terbaik saat bekerja. Pemberian punishment dalam pengkodingan juga diharapkan
32

akan mengarahkan/mendidik karyawan kepada perilaku positif dan mendorong


adanya motivasi kerja. Semakin tinggi punishment, maka motivasi kerja akan
semakin tinggi, dan sebaliknya jika punishment rendah, maka motivasi kerja akan
menurun (Pradnyani et al., 2020).

2.8 Kerangka Konsep


Berikut merupakan kerangka konsep penelitian yang akan peneliti lakukan.
Berdasarkan latar belakang permasalahan, tujuan dari penelitian, serta tinjauan
pustaka yang telah dibahas, maka peneliti mengambil sebuah kerangka konsep
seperti dibawah ini.

Faktor Penyebab Ketidaksesuaian Ketidaksesuaian Kode


Kode Diagnosis Penyakit Pasien Diagnosis Penyakit Pasien Poli
Poli Umum pada Rekam Medis Umum pada Rekam Medis
dengan SIMPUS di Puskesmas dengan SIMPUS di Puskesmas
Purwoharjo (Lawrence Green Purwoharjo
dalam Notoadmodjo (2014)).

a. Predisposing Factor
1) Pengetahuan
2) Sikap Penentuan prioritas faktor
b. Enabling Factor penyebab utama permasalahan
1) Sarana menggunakan Urgency,
2) Prasarana Seriousness, Growth (USG)
3) Pelatihan
c. Reinforcing Factor
1) SOP Upaya Perbaikan Masalah
2) Motivasi menggunakan Brainstorming

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Sumber : Teori Lawrence Green dalam buku (Notoadmodjo, 2014)

Berdasarkan penelitian ini, komponen penyebab ketidaksesuaian kode


diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS yang
akan diteliti yaitu faktor predisposisi (presdiposing factor) yang didalamnya
terdapat variabel pengetahuan, sikap. Faktor pemungkin (enabling factor) yang
33

didalamnya memuat sarana dan prasarana pengkodingan serta adanya pelatihan


yang dapat digunakan untuk meningkatkan keahlian dan dapat memperbaiki
produktifitas kerja agar dapat optimal. Faktor pendorong (reinforcing factor) akan
diteliti ada tidaknya motivasi kepada petugas pelaksanaan pengkodean serta
mengetahui ketersediaan dan penggunaan SOP pengkodingan sebagai acuan
dalam proses pengkodingan diagnosis penyakit. Selanjutnya dilakukan penentuan
prioritas masalah melalui USG dan penyusunan upaya perbaikan ketidaksesuaian
kode diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS
menggunakan brainstorming.
34

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah deskriptif kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada
kondisi obyek yang alamiah dimana peneliti adalah instrumen kunci, teknik
pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat
induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna
daripada generalisasi (Sugiono, 2019).
Metode deskriptif merupakan metode yang berusaha menggambarkan
fenomena yang terjadi secara nyata, realistis aktual, dengan penjelasan untuk
memperoleh gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat serta
mendapatkan arti dari sebuah masalah dari penelitian (Rukajat, 2018). Penelitian
deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan, mengeksplorasi,
menerangkan, menjelaskan secara terperinci akan permasalahan yang diteliti
dengan mempelajari seorang individu, atau suatu kelompok, atau suatu kejadian
dengan lebih mendalam.
Tujuan penelitian deskriptif kualitatif disini adalah untuk memperoleh
gambaran secara terperinci mengenai ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit
pasien poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS serta menganalisis faktor-
faktor penyebab adanya ketidaksesuaian kode tersebut berdasarkan Teori
Lawrence Green yang selanjutnya dilakukan prioritas masalah dengan USG
kemudian perumusan upaya perbaikan dari hasil analisis faktor tersebut
menggunakan brainstorming.

3.2 Lokasi Penelitian


3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Puskesmas Purwoharjo Banyuwangi yang
beralamatkan pada Jl. Bhakti Husada No. 5, Purwoharjo, Banyuwangi, Jawa
Timur 68483.
35

3.2.2 Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan pada bulan September 2021 – Juni 2022.

3.3 Subjek dan Objek Penelitian


3.3.1 Objek Penelitian
Objek penelitian adalah pokok persoalan atau apa yang menjadi titik
perhatian pada sebuah penelitian, guna mendapatkan data yang lebih terarah.
Objek penelitian yang ada dalam penelitian ini adalah rekam medis pasien poli
umum berjumlah 96 rekam medis dengan menggunakan rumus slovin pada total
rekam medis bulan Januari – April 2022 sebanyak 2565. Pengambilan sample
rekam medis dilakukan secara system random sampling.
Perhitungan menggunakan rumus Slovin :
n=

n=

n=

n = 96 rekam medis.
Keterangan :
N = Jumlah total rekam medis (populasi)
n = Jumlah sample
e = Toleransi error (1% = 0,1)

3.3.2 Subjek Penelitian


Subjek penelitian merupakan informan yang memiliki arti sebagai orang
pada penelitian yang dimanfaatkan untuk memberikan banyak informasi tentang
topik yang ingin diteliti oleh peneliti dengan keadaan latar penelitian. Pemilihan
subjek didasarkan pada penggunaan purposive sampling dengan kriteria petugas
yang berkecimpung dalam proses pengkodean diagnosis pada poli umum. Subjek
dalam penelitian berjumlah 4 orang yaitu 2 coder terdiri dari 1 perawat SIMPUS
dan 1 perekam medis, 1 orang dokter penganggungjawab UKP (Rawat Jalan) serta
kepala puskesmas. Penelitian ini menggunakan informan 1 yaitu perawat
36

SIMPUS, informan 2 yaitu perekam medis, informan 3 yaitu dokter penanggung


jawab rawat jalan (UKP), dan informan 4 yaitu Kepala Puskesmas.

3.4 Jenis Data


3.4.1 Data primer
Data primer dalam penelitian ini diperoleh secara langsung dari hasil
wawancara dan observasi langsung terkait faktor penyebab ketidaksesuaian kode
diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS di
Puskesmas Purwoharjo. Wawancara pada penelitian ini digunakan untuk meneliti
beberapa variabel yaitu predisposing factor (pengetahuan, sikap), enabling factor
(sarana, prasarana, pelatihan), reinforcing factor (SOP, motivasi), dan data
ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis
dengan SIMPUS. Observasi pada penelitian ini digunakan untuk meneliti variabel
yaitu enabling factor (sarana, prasarana), dan reinforcing factor (SOP).

3.4.2 Data Sekunder


Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui dokumen lain dan
tidak secara langsung melalui informan. Data sekunder diperoleh dari dokumen
organisasi seperti adanya profil, struktur organisasi, laporan kunjungan pasien,
rekam medis serta dokumentasi yang dipakai untuk studi dalam penelitian seperti
buku, jurnal, dan internet yang dapat memberikan wawasan bagi referensi
penelitian. Data sekunder dalam penelitian ini terkait data ketidaksesuaian kode
diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS di
Puskesmas Purwoharjo.

3.5 Variabel Penelitian dan Definisi Istilah


3.5.1 Variabel Penelitian
Variabel dapat didefinisikan sebagai atribut seseorang atau objek yang
mempunyai variasi antara satu orang dengan yang lain atau satu objek dengan
objek yang lain. Variabel juga dapat merupakan atribut yang dipilih peneliti
sendiri untuk dipelajari (Sugiono, 2019).
37

Variabel penelitian dalam penelitian ini adalah :


a. Faktor predisposisi (predisposing factor) meliputi pengetahuan dan sikap.
b. Faktor pemungkin (enabling factor) meliputi sarana, prasarana dan pelatihan.
c. Faktor pendorong atau penguat (reinforcing factor) meliputi SOP, dan
motivasi.
d. Ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam
medis dengan SIMPUS.
e. Prioritas masalah.
f. Upaya perbaikan.

3.5.2 Definisi Istilah


Tabel 3.1 Definisi Istilah Penelitian

Pengumpulan
No Variabel Definisi Istilah
Data
1 Predisposing Factor Sebuah situasi yang dapat
mempermudah terjadinya perilaku pada
diri seorang petugas seperti
pengetahuan serta sikap yang dimiliki
oleh petugas pengkodingan terhadap
pengkodean diagnosis penyakit pasien.
a. Pengetahuan Segala sesuatu yang diketahui dan Wawancara
dipahami oleh petugas pengkodingan mendalam
terkait prosedur pengkodingan
diagnosis penyakit pasien sesuai acuan
pedoman atau peraturan-peraturan yang
berlaku, pentingnya penulisan dan
penginputan diagnosis serta kode
diagnosis dalam rekam medis maupun
SIMPUS, dan dampak yang akan
ditimbulkan terhadap ketidaksesuaian
kode diagnosis penyakit pasien poli
umum pada rekam medis dengan
SIMPUS.
b. Sikap Bentuk respon seseorang yang Wawancara
mendukung atau tidak mendukung mendalam
dalam pelaksanaan tugas seperti
penulisan kode diagnosis dalam rekam
medis, menginputkan diagnosis dan
kode diagnosis ke SIMPUS dalam
proses pengkodingan
2. Enabling Factor Sebuah situasi dalam lingkungan fisik
tentang tersedia atau tidak tersedianya
fasilitas-fasilitas yang diberikan seperti
sarana dan prasarana kesehatan serta
pelatihan petugas pengkodingan.
38

a. Sarana Terkait sarana adalah segala bentuk Wawancara


bangunan atau tempat yang dapat mendalam,
digunakan untuk menunjang sebuah Observasi,
kegiatan seperti terdapatnya ruang Dokumentasi
pengkodingan diagnosis penyakit.
b. Prasarana Terkait prasarana merupakan segala Wawancara
sesuatu baik bahan, alat, benda, mendalam,
apapun yang menunjang atau Observasi,
digunakan dalam proses pengkodingan Dokumentasi
diagnosis penyakit seperti adanya buku
ICD/Aplikasi ICD, komputer yang
memadai, printer, jaringan internet
yang stabil
c. Pelatihan Suatu bentuk kegiatan yang dilakukan Wawancara
oleh petugas pengkodingan untuk mendalam
meningkatkan kompetensi kerja
petugas terkait pengkodingan diagnosis
penyakit seperti sharing antar petugas
yang berpengalaman, kegiatan training
pengkodingan diagnosis penyakit
menggunakan kode-kode diagnosis
terbaru sesuai WHO atau kegiatan lain.
3. Reinforcing Factor Sesuatu yang mendorong serta
memperkuat perilaku petugas
kesehatan dan petugas rekam medis
dalam melaksanakan pengkodingan
diagnosis penyakit pasien, seperti SOP
serta motivasi.
a. SOP Suatu pedoman atau acuan terkait Wawancara
peraturan-peraturan untuk mendalam,
melaksanakan tugas atau pekerjaan Observasi,
yang dibuat dan disosialisasikan Dokumentasi
kepada petugas yang bersangkutan
seperti kejelasan tentang urutan
langkah pengkodingan diagnosis
penyakit dalam SIMPUS maupun
rekam medis menggunakan ICD-10,
kejelasan wewenang petugas yang
dapat melakukan proses pengkodingan
diagnosis penyakit sesuai regulasi yang
berlaku saat ini dan dipakai oleh
tempat tersebut serta kesediaan acuan
pedoman itu sendiri.
b. Motivasi Suatu dorongan kekuatan yang Wawancara
diberikan seseorang kepada orang lain mendalam
yang menimbulkan semangat bagi
dirinya dalam pelaksanaan
pengkodingan diagnosis penyakit
pasien poli umum dengan seperti
pemberian apresiasi reward dan
punishment terkait pengkodingan
diagnosis penyakit yang telah
dilakukan.
4. Ketidaksesuaian kode Terdapatnya sesuai/tidaksesuai kode Wawancara
diagnosis penyakit baik itu dari 3 digit, 4 digit, maupun 5 mendalam,
39

pasien poli umum pada digit pada pengkodingan diagnosis Observasi,


rekam medis dengan penyakit pasien poli umum pada rekam Dokumentasi
SIMPUS medis dengan SIMPUS.
5. Prioritas masalah Faktor penyebab yang dijadikan Urgency,
sebagai prioritas masalah Seriousness and
ketidaksesuaian kode diagnosis Growth (USG)
penyakit pasien poli umum pada rekam
medis dengan SIMPUS.
6. Upaya Perbaikan Solusi dari diskusi yang dapat Brainstorming
digunakan untuk memperbaiki
permasalahan ketidaksesuaian kode
diagnosis penyakit pasien poli umum
pada rekam medis dengan SIMPUS.

3.6 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data


3.6.1 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara :
a. Wawancara mendalam (in-depth interview)
Wawancara mendalam merupakan sebuah teknik pengumpulan data dengan
dialog tanya jawab antara orang satu dengan orang yang lainnya atau percakapan
secara langsung yang berkaitan dengan tema penelitian antara peneliti dengan
informan untuk pengumpulan sebuah data yang berguna bagi penelitian untuk
digali secara mendalam (Sugiono, 2019). Informan dari wawancara yang ada
dalam penelitian berjumlah 4 orang yaitu 2 coder terdiri dari 1 perawat SIMPUS
dan 1 perekam medis, 1 orang dokter penganggungjawab UKP (Rawat Jalan) serta
kepala puskesmas
Wawancara mendalam dalam penelitian ini guna memperoleh data terkait
variabel predisposing factor yang meliputi pengetahuan petugas terhadap tata cara
pengkodingan diagnosis penyakit, pentingnya penulisan diagnosis dan kode
diagnosis pada rekam medis, penginputan kode diagnosis pada SIMPUS serta
dampak yang ditimbulkan mengenai adanya ketidaksesuaian kode diagnosis
penyakit pasien poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS serta sikap
petugas terhadap penulisan kode diagnosis pada rekam medis, juga menginputkan
kode diagnosis penyakit pada SIMPUS; variabel enabling factor yang meliputi
tersedianya sarana dan prasarana yang memadai guna membantu proses
pengkodingan diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis maupun
SIMPUS dan ada tidaknya pelatihan terhadap coder mengenai pengkodingan
40

diagnosis penyakit; variabel reinforcing factor yang meliputi adanya SOP


pengkodingan diagnosis penyakit yang memuat tata cara pengkodingan baik dari
segi proses maupun penggunaan ICD dan tertulisnya dengan jelas siapa saja yang
dapat melakukan pengkodingan diagnosis penyakit pada rekam medis maupun
SIMPUS yang ada di SOP, ada tidaknya pemberian motivasi kepada coder oleh
atasan dalam pekerjaannya selama ini; serta ketidaksesuaian kode diagnosis
penyakit pasien poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS.
b. Observasi
Observasi merupakan alat pengumpulan data dimana peneliti dapat melihat,
mendengar, atau merasakan informasi secara langsung yang dapat peneliti peroleh
saat terjung langsung ke lapang (Sugiono, 2019). Observasi pada penelitian ini
untuk pengamatan dan melihat langsung terkait data ketidaksesuaian kode
diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS,
tersedianya sarana dan prasarana yang memadai guna membantu proses
pengkodingan diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis maupun
SIMPUS, serta adanya SOP pengkodingan diagnosis penyakit yang memuat tata
cara pengkodingan baik dari segi proses maupun penggunaan ICD dan tertulisnya
dengan jelas siapa saja yang dapat melakukan pengkodingan diagnosis penyakit
pada rekam medis maupun SIMPUS yang ada di SOP.
c. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa dahulu yang berbentuk tulisan,
gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang (Sugiono, 2019).
Dokumentasi yang dilakukan oleh peneliti dengan mencari data dari berbagai
media bisa dalam bentuk tulisan atau karya seseorang, catatan riwayat seseorang,
buku, jurnal, notulensi rapat, dan lainnya. Dokumentasi pada penelitian ini akan
dilakukan pada SOP pengkodingan diagnosis penyakit, data ketidaksesuaian kode
diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS serta
sarana dan prasarana yang ada terkait dengan proses pengkodingan diagnosis
penyakit pasien poli umum.
d. Urgency, Seriousness and Growth (USG)
41

Metode Urgency, Seriousness, Growth (USG) adalah suatu metode yang


digunakan untuk menyusun urutan prioritas masalah yang harus diselesaikan
(Permenkes RI, 2016). Cara menentukan tingkat urgensinya, keseriusannya dan
adanya kemungkinan berkembangnya (meluasnya) adalah dengan menentukan
skala nilai 1-5, masalah yang memiliki nilai skor tertinggi akan dijadikan prioritas
masalah. Contoh penggunaan USG :
Tabel 3.2 Contoh matriks skoring pemecahan masalah dengan metode USG
No Masalah U S G Total
1 Masalah A 5 3 3 11
2 Masalah B 4 5 5 14
3 Masalah C 4 4 4 12
Keterangan : Keterangan: berdasarkan skala 1-5 (5=sangat besar, 4=besar, 3=sedang, 2=kecil, 1=sangat
kecil). Atas dasar contoh tersebut maka isu yang merupakan prioritas adalah Isu C.

e. Brainstorming
Brainstorming dilakukan dalam penelitian ini dengan menggunakan forum
diskusi antara peneliti dengan informan memakai topik penelitian yang telah
disiapkan sebelumnya. Tujuan paling utama dalam brainstorming ini adalah
mendapatkan solusi upaya perbaikan dari proses diskusi tentang informasi yang
telah didapatkan dengan sebanyak-banyaknya oleh peneliti. Brainstorming akan
dilakukan untuk pengupayaan solusi masalah terkait data yang telah diperoleh
mengenai faktor penyebab ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli
umum pada rekam medis dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo yang telah
dilakukan prioritas masalah sebelumnya menggunakan USG. Brainstroming akan
dihadiri oleh peneliti sendiri, 1 orang perawat input SIMPUS, 1 orang petugas
rekam medis, 1 orang dokter penganggungjawab UKP (Rawat Jalan) serta kepala
puskesmas. Berdasarkan langkah sebelumnya, telah dilakukan prioritas masalah
menggunakan metode USG dengan contoh urutan prioritas adalah B,C, dan A.
Prioritas masalah tersebut selanjutnya dirumuskan upaya perbaikan berdasarkan
urutan prioritas yang telah ada.
42

3.6.2 Instrumen Pengumpulan Data


Instrumen pengumpulan data merupakan suatu alat yang digunakan dalam
pengukuran fenomena alam maupun sosial yang diamati. Instrumen penelitian
dalam penelitian ini memakai pedoman wawancara mendalam, lembar observasi,
lembar dokumentasi, pedoman USG dan pedoman brainstorming.
a. Pedoman Wawancara Mendalam (in-depth interview)
Peneliti membuat pedoman wawancara untuk mencari faktor penyebab
ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis
dengan SIMPUS yang digunakan untuk mencari informasi terkait variabel
predisposing factor yang meliputi pengetahuan petugas terhadap tata cara
pengkodingan diagnosis penyakit, pentingnya penulisan diagnosis dan kode
diagnosis pada rekam medis, penginputan kode diagnosis pada SIMPUS serta
dampak yang ditimbulkan mengenai adanya ketidaksesuaian kode diagnosis
penyakit pasien poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS serta sikap
petugas terhadap penuliskan kode diagnosis pada rekam medis juga menginputkan
kode diagnosis penyakit pada SIMPUS; variabel enabling factor yang meliputi
tersedianya sarana dan prasarana yang memadai guna membantu proses
pengkodingan diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis maupun
SIMPUS serta ada tidaknya pelatihan terhadap petugas mengenai pengkodingan
diagnosis penyakit; variabel reinforcing factor yang meliputi adanya SOP
pengkodingan diagnosis penyakit yang memuat tata cara pengkodingan baik dari
segi proses maupun penggunaan ICD dan tertulisnya dengan jelas siapa saja yang
dapat melakukan pengkodingan diagnosis penyakit pada rekam medis maupun
SIMPUS yang ada di SOP serta ada tidaknya pemberian motivasi kepada petugas
oleh atasan dalam pekerjaannya selama ini; ketidaksesuaian kode diagnosis
penyakit pasien poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS. Pengumpulan
data juga menggunakan alat bantu seperti perekam suara maupun material alat
tulis yang dapat membantu pelaksanaan wawancara menjadi lancar.
b. Pedoman Observasi
Lembar yang digunakan sebagai intrumen penelitian yang dilaksanakan
melalui pengamatan dan penglihatan. Jika informasi yang didapat memenuhi
43

kriteria maka dapat dicantumkan pada lembar observasi. Lembar observasi dibuat
dalam bentuk cheklist ya/ada dan tidak kemudian disertai dengan keterangan yang
digunakan untuk mencari data terkait tersedianya sarana dan prasarana yang
memadai guna membantu proses pengkodingan diagnosis penyakit pasien poli
umum pada rekam medis maupun SIMPUS, ketersediaan SOP serta adanya SOP
pengkodingan diagnosis penyakit yang memuat tata cara pengkodingan baik dari
segi proses maupun penggunaan ICD dan tertulisnya dengan jelas siapa saja yang
dapat melakukan pengkodingan diagnosis penyakit pada rekam medis maupun
SIMPUS yang ada di SOP serta lembar observasi untuk data ketidaksesuaian kode
diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS yang
dibuat dalam bentuk tabel sesuai dan tidak sesuai yang disertai dengan
keterangan.
c. Lembar Dokumentasi
Dokumentasi pada penelitian ini, peneliti gunakan untuk mempelajari dan
memahami kejadian dimasa lalu. Dokumentasi ini digunakan sebagai alat bantu
untuk pengumpulan data seperti gambar, dokumen, foto kegiatan penelitian, serta
kumpulan hasil dari adanya wawancara yang dilakukan. Peneliti menggunakan
lembar dokumentasi untuk menggali informasi terkait data variabel enabling
factor yang meliputi tersedianya sarana dan prasarana yang memadai dalam
proses pengkodingan penyakit dan variabel reinforcing factor yaitu SOP serta
variabel ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam
medis dengan SIMPUS.
d. Pedoman USG
Pedoman USG (Urgency, Seriousness and Growth) berguna untuk
memprioritaskan masalah yang berhubungan dengan permasalahan dalam
penelitian, sehingga akan menghasilkan prioritas masalah yang telah disepakati
oleh informan. Lembar pedoman Urgency, Seriousness and Growth (USG) dalam
hal ini berisi daftar masalah serta hasil perbandingan masalah-masalah yang sudah
dirangking.
e. Pedoman Brainstorming
44

Brainstorming disini digunakan untuk pertukaran pendapat antara informan


mengenai topik permasalahan penelitian yang nantinya akan dilakukan perumusan
masalah dengan melahirkan usulan-usulan perbaikan terhadap permasalahan topik
yang dibahas. Brainstroming akan dihadiri oleh peneliti, 2 coder terdiri dari 1
perawat SIMPUS dan 1 perekam medis, 1 orang dokter penganggungjawab UKP
(Rawat Jalan) serta kepala puskesmas.

3.7 Uji Kredibilitas Data


Uji kredibilitas data pada penelitian ini dilakukan dengan triangulasi.
Triangulasi yang dipakai adalah triangulasi teknik dan sumber. Triangulasi
merupakan pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan
teknik yang dilakukan (Sugiono, 2019).
1) Triangulasi Sumber
Triangulasi sumber dilakukan untuk menguji kredibilitas data dengan
dilakukan pengecekan data kepada beberapa sumber yang berbeda. Triangulasi
sumber dilakukan terhadap variabel yang diteliti yaitu predisposing factor
(pengetahuan, sikap), enabling factor (sarana ,prasarana, pelatihan), dan
reinforcing factor (SOP, motivasi) yang berasal dari beberapa sumber antara lain
2 coder terdiri dari 1 perawat SIMPUS dan 1 perekam medis, 1 orang dokter
penganggungjawab UKP (Rawat Jalan) serta kepala puskesmas.
2) Triangulasi Teknik
Triangulasi teknik dilakukan untuk menguji kredibilitas data dengan
dilakukan pengecekan data kepada sumber yang sama namun dengan teknik yang
berbeda. Triangulasi teknik dilakukan dengan pengumpulan data wawancara,
observasi, dan dokumentasi. Triangulasi teknik dilakukan terhadap variabel
enabling factor (sarana dan prasarana), reinforcing factor (standar operasional
prosedur (SOP)), serta ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli umum
pada rekam medis dengan SIMPUS.
45

3.8 Analisis Data


a. Data Collection/Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian dilakukan dengan wawancara
mendalam, observasi, dokumentasi, dan brainstorming. Tahap awal peneliti
melakukan pencarian secara umum terhadap situasi sosial/objek yang diteliti.
b. Data Reduction/Reduksi Data
Mereduksi data dengan merangkum, memilih hal-hal yang pokok kemudian
memfokuskan penelitian pada hal yang penting untuk dicari tema dan polanya.
Data yang telah direduksi akan memuat gambaran penelitian lebih jelas dan
memudahkan peneliti untuk mencari data yang selanjutnya diperlukan.
c. Menentukan prioritas masalah upaya perbaikan masalah
Penentuan prioritas masalah ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien
poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS dengan menggunakan teknik USG
(Urgency, Seriousness and Growth) serta upaya perbaikan masalah terhadap
prioritas masalah dilakukan dengan menggunakan teknik brainstorming.
d. Data Display/Penyajian Data
Penyajian data yang dilakukan dapat berupa uraian deskripsi, bagan,
flowchart ataupun sejenisnya. Penyajian data dapat memberikan kemudahan
dalam memahami apa yang terjadi serta memberikan ide rencana kerja selanjutnya
yang didasari pemahaman akan apa yang terjadi.
e. Conclusion Drawing/Verification
Kesimpulan dalam penelitan kualitatif adalah merupakan temuan baru yang
sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran
suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah
diteliti menjadi jelas.
46

3.9 Tahapan Penelitian

Studi Studi
Identifikasi Masalah
Pendahuluan Pustaka

Rumusan Masalah

Menentukan Tujuan Penelitian

Penentuan Variabel

Teknik Pengumpulan Data

Membuat Instrumen Penelitian

Pengumpulan Data

Analisis dan Pengolahan Data

Penentuan Prioritas Masalah dengan


USG dan penyelesaian masalah
dengan Brainstorming

Hasil dan Pembahasan

Kesimpulan dan Saran


Gambar 3.1 Tahapan Penelitian
47

Keterangan Tahapan Penelitian :


1. Studi Pendahuluan
Peneliti melakukan studi pendahuluan di Puskesmas Purwoharjo guna
mengidentifikasi permasalahan yang ada.
2. Studi Pustaka
Studi Pustaka pada penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi masalah-
masalah yang ada dengan teori-teori.
3. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah merupakan tahap awal dalam penelitian. Identifikasi
masalah digunakan untuk merumuskan masalah dan membuat judul penelitian.
4. Rumusan Masalah
Peneliti melakukan perumusan masalah berdasarkan permasalahan-
permasalahan yang muncul pada saat dilakukan studi pendahuluan.
5. Menentukan Tujuan Penelitian
Peneliti menentukan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian dengan
rumusan masalah yang telah dibuat.
6. Penentuan Variabel Penelitian
Peneliti akan menentukan segala sesuatu yang akan dijadikan objek
pengamatan, yang didalamnya memuat hal-hal yang mempengaruhi proses yang
akan diteliti.
7. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti memakai wawancara,
observasi, dokumentasi, USG, dan brainstorming.
8. Membuat Instrumen Penelitian
Instrumen pengumpulan data merupakan suatu alat yang digunakan dalam
pengukuran fenomena alam maupun sosial yang diamati. Instrumen penelitian
dalam penelitian ini memakai pedoman wawancara, pedoman observasi, pedoman
dokumentasi, pedoman USG dan pedoman brainstorming.
9. Pengumpulan Data
Peneliti melakukan pengumpulan data menggunakan teknik pengumpulan
yang digunakan untuk mendapatkan data-data terkait faktor penyebab
48

ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis
dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo.
10. Pengolahan Data
Peneliti akan melakukan pengolahan data yang telah diperoleh dari proses
pengumpulan data dengan wawancara mendalam, observasi, serta dokumentasi.
Setelah pengolahan data selesai akan dihasilkan data-data yang sistematis
mengenai faktor penyebab ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli
umum pada rekam medis dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo.
11. Penentuan Prioritas Masalah
Data yang telah didapatkan diolah oleh peneliti selanjutnya maka akan
dilakukan penentuan prioritas masalah yang menyebabkan ketidaksesuaian kode
diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS di
Puskesmas Purwoharjo dengan menggunakan USG (Urgency, Seriousness and
Growth).
12. Brainstorming
Brainstorming yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kegiatan diskusi
dengan anggota/responden untuk merumuskan upaya perbaikan terhadap faktor
penyebab ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam
medis dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo.
13. Hasil Dan Pembahasan
Peneliti akan memberikan gambaran dengan pendeskripsian hasil penelitian
yang telah diperoleh melalui tahap pengumpulan data dan tahap perumusan upaya
perbaikan tentang faktor penyebab ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit
pasien poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo.
14. Kesimpulan Dan Saran
Peneliti akan menarik kesimpulan atas pendeskripsian hasil dan pembahasan
penelitian, kemudian memberikan saran kepada pihak Puskesmas Purwoharjo
mengenai permasalahan yang diteliti.
49

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Mengidentifikasi Ketidaksesuaian Kode Diagnosis Penyakit Pasien Poli


Umum pada Rekam Medis dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo
Penggunaan kode diagnosis penyakit yang sesuai dan akurat dalam
pelayanan kesehatan seperti puskesmas diperlukan untuk mencapai tujuan sistem
klasifikasi diagnosis penyakit, salah satunya yaitu untuk pencatatan data
mortalitas dan morbiditas (Irmawati & Nazillahtunnisa, 2019). Berdasarkan hasil
observasi yang peneliti lakukan terhadap rekam medis pasien poli umum dengan
hasil input SIMPUS pada bulan Januari-April 2022 masih terdapat
ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis
dengan SIMPUS.
Tabel 4.1 Data Observasi Ketidaksesuaian Kode Diagnosis Penyakit Pasien Poli Umum pada
Rekam Medis dengan SIMPUS Bulan Januari-April 2022

Kode Rekam
No Diagnosis Penyakit Kode SIMPUS Keterangan
Medis
Tidak sesuai (Kode
HT + DM2 tanpa
1 E11.9 & I10 E11 & I10 yang benar adalah
komplikasi
E11.9 & I10)
2 Epilepsi G40.9 G40.9 Sesuai
Congenital malformation
3 Q24.9 Q24.9 Sesuai
of heart, unspecified
Glomerular disorders in
systemic connective tissue
N05.8 &
4 disorders, Hydronephrosis N05.8 & N13.2 Sesuai
N13.2
with renal and ureteral
calculous obstruction
Tidak sesuai (Kode
5 Control HT I15.9 I15 yang benar adalah
I15.9)
Hypertensive heart
6 disease without I11.9 I11.9 Sesuai
(congestive) heart failure
7 Gonarthrosis M17.9 M17.9 Sesuai
8 DM2 E11.9 E11.9 Sesuai
9 Struk I64 I64 Sesuai
10 ISPA J06.9 J06.9 Sesuai
HIV (riwayat tb) ,
Psychological and
Tidak sesuai (Kode
behavioural factors
11 B20.0 & F54 B20 & F54 yang benar adalah
associated with disorders
B20.0 & F54)
or diseases classified
elsewhere
12 Mialgia R53 R53 Sesuai
50

Kode Rekam
No Diagnosis Penyakit Kode SIMPUS Keterangan
Medis
Tidak sesuai (Kode
13 DM2 + Mialgia E11.9 & R53 E11 & R53 yang benar E11.9 &
R53)
14 ISPA J06.9 J06.9 Sesuai
Tidak sesuai (Kode
15 DM2 + Mialgia E11.9 & R53 E11 & R53 yang benar E11.9 &
R53)
16 DM2 + Mialgia E11.9 & R53 E11.9 & R53 Sesuai
Tidak sesuai (Kode
17 Demam R50.9 R50 yang benar adalah
R50.9)
Tidak sesuai (Kode
18 DM2 E11.9 E11.0 yang benar adalah
E11.9)
Tidak sesuai (Kode
19 Low Vision sedang H54.2 H50 yang benar adalah
H54.2)
Tidak sesuai (Kode
20 Lemak Hati K76.0 K76 yang benar adalah
K76.0)
Tidak sesuai (Kode
21 ISPA J06.9 J03 yang benar adalah
J06.9)
22 Luka robek S90.9 S90.9 Sesuai
Tidak sesuai (Kode
23 ISPA J06.9 J06 yang benar adalah
J06.9)
Tidak sesuai (Kode
24 Katarak H26.9 H26 yang benar adalah
H26.9)
Pemeriksaan lanjutan
25 E04.9 Z09.0 E04.9 Z09.0 Sesuai
karena sakit gondok
26 Asma J45.9 J45.9 Sesuai
27 Epilepsi G40.9 G40.9 Sesuai
28 ISPA J06.9 J06.9 Sesuai
Tidak sesuai (Kode
29 Demam Thypoid A01.0 A01 yang benar adalah
A01.0)
30 ISPA J06.9 J06.9 Sesuai
31 Ca. Mamae C50.9 C50.9 Sesuai
32 DM2 E11.9 E11.9 Sesuai
DM2 tanpa keterangan
33 E11.8 E11.8 Sesuai
komplikasi
34 ISPA J06.9 J06.9 Sesuai
35 Paranoid schizophrenia F20.0 F20.0 Sesuai
36 DM2 + Mialgia E11.9 & R53 E11.9 & R53 Sesuai
37 DM2 E11.9 E11.9 Sesuai
38 ISPA J06.9 J06.9 Sesuai
39 Defek septum ventrikel Q21.0 Q21.0 Sesuai
40 DM2 + Mialgia E11.9 & R53 E11.9 & R53 Sesuai
Katarak ( anamnese : usia Tidak sesuai (Kode
41 H25.9 H26
tua) yang benar adalah
51

Kode Rekam
No Diagnosis Penyakit Kode SIMPUS Keterangan
Medis
H25.9)
42 Idiopathic gout M10.0 M10.0 Sesuai
43 Mialgia R53 R53 Sesuai
Tidak sesuai (Kode
44 Demam Thypoid A01.0 A01 yang benar adalah
A01.0)
Tidak sesuai (Kode
45 Radang lambung + asma J45.9 & K29.7 K29.7& J45 yang benar adalah
J45.9 & K29.7)
Tidak sesuai (Kode
46 HT + Mialgia I10 & R53 I10.9 & R53 yang benar adalah
I10.9 & R53)
Gangguan tidur karena F41.9 &
47 F41.9 & G47.9 Sesuai
cemas G47.9
Pneumonia due to other Tidak sesuai (Kode
48 specified infectious J16.8 J16 yang benar adalah
organisms J16.8)
Tidak sesuai (Kode
49 HT + DM2 E11.9 & I10 E11 & I10 yang benar adalah
E11.9 & I10)
Tidak sesuai (Kode
Katarak ( anamnese : usia
50 H25.9 H26 yang benar adalah
tua)
H25.9)
Tidak sesuai (Kode
51 Cholecystitis K81.9 K81 yang benar adalah
K81.9)
Tidak sesuai (Kode
52 Luka robek S90.9 S81.8 yang benar adalah
S90.9)
Tidak sesuai (Kode
DM 2 (Riwayat
53 E11.0 E11.9 yang benar adalah
komplikasi ginjal)
E11.0)
54 LBP M54.5 M54.5 Sesuai
55 Pneumonia + PPOK J18.9 & J44.9 J44.9 & J18.9 Sesuai
Tidak sesuai (Kode
56 Schizophrenia F20.9 F20 yang benar adalah
F20.9)
57 Sindrom nephrotic N04.9 N04.9 Sesuai
Tidak sesuai (Kode
Penyakit diskus
58 M51.9 M50 yang benar adalah
degeneratif
M51.9)
Tidak sesuai (Kode
59 Schizophrenia F20.9 F20 yang benar adalah
F20.9)
Tidak sesuai (Kode
60 HIV (riwayat TB) B20.0 B20 yang benar adalah
B20.0)
Pneumonia due to other Tidak sesuai (Kode
61 specified infectious J16.8 J16 yang benar adalah
organisms J16.8)
62 HIV (riwayat TB) B20.0 B20.0 Sesuai
63 HIV akibat infeksi B20.9 B20 & F54 Tidak sesuai (Kode
52

Kode Rekam
No Diagnosis Penyakit Kode SIMPUS Keterangan
Medis
yang benar adalah
B20.9)
Tidak sesuai (Kode
64 Low Vision sedang H54.2 H50 yang benar adalah
H54.2)
65 DM2 + Mialgia E11.9 & R53 E11.9 & R53 Sesuai
Tidak sesuai (Kode
66 Miastenia gravis G70.0 G70 yang benar adalah
G70.0)
67 CKD N18.9 N18.9 Sesuai
68 Nyeri Dada R07.4 R07.4 Sesuai
Tidak sesuai (Kode
Iritasi karena tersentuh
69 L24.4 L24.0 yang benar adalah
obat tertentu
L24.4)
Tidak sesuai (Kode
70 Peradangan Konjungtiva H10.9 H10 yang benar adalah
H10.9)
Tidak sesuai (Kode
71 HIV (riwayat TB) B20.0 B20 yang benar adalah
B20.0)
Tidak sesuai (Kode
DM 2 tanpa komplikasi
72 E11.8 & I10 E11.9 & I10.9 yang benar
dengan hipertensi
adalahE11.8 & I10)
73 Katarak senile insipiens H25.0 H25.0 Sesuai
Tidak sesuai (Kode
74 Peradangan konjungtiva H10.9 H00 yang benar adalah
H10.9)
Tidak sesuai (Kode
Radang lambung disertai
75 K29.9 & R50.9 K29.7 & R50 yang benar adalah
panas
K29.7 & R50.9)
DM2 dengan komplikasi
76 E11.8 E11.8 Sesuai
tidak diketahui
77 DM2 + Mialgia E11.9 & R53 E11.9 & R53 Sesuai
78 Mialgia R53 R53 Sesuai
79 CVA I69.8 I69.8 Sesuai
DM2 tanpa keterangan
80 E11.8 E11.8 Sesuai
komplikasi
Tidak sesuai (Kode
Peradangan tonsil
81 J35.0 J35.9 yang benar adalah
(anamnese : ± 1 tahun)
J35.0)
82 DM2 + Mialgia E11.9 & R53 E11.9 & R53 Sesuai
83 DM2 + Mialgia E11.9 & R53 E11.9 & R53 Sesuai
84 Pembesaran Jantung I57.1 I57.1 Sesuai
Tidak sesuai (Kode
85 Luka robek S90.9 S90 yang benar adalah
S90.9)
86 Other hipertensi I15.8 I15.8 Sesuai
DM + Sakit kepala E10.8 &
87 E10.8 & G44.0 Sesuai
berpola G44.0
88 DM2 + Mialgia E11.9 & R53 E11.9 & R53 Sesuai
89 Pembesaran Jantung I57.1 I57.1 Sesuai
90 LBP M54.5 M54.5 Sesuai
53

Kode Rekam
No Diagnosis Penyakit Kode SIMPUS Keterangan
Medis
Tidak sesuai (Kode
91 HIV (riwayat TB) B20.0 B20 yang benar adalah
B20.0)
HIV (riwayat tb) ,
Psychological and
Tidak sesuai (Kode
behavioural factors
92 B20.0 & F54 B20 yang benar adalah
associated with disorders
B20.0 & F54)
or diseases classified
elsewhere
Control akibat pendarahan
93 I61.9 & Z09.0 I61.9 & Z09.0 Sesuai
otak
94 Telinga tersumbat H61.2 H61.2 Sesuai
95 DM2 + Mialgia E11.9 & R53 E11.9 & R53 Sesuai
Pendarahan Ulkus
96 K27.4 K27.4 Sesuai
Peptikum

Berdasarkan tabel 4.1 observasi ketidaksesuaian didapatkan jumlah kode


diagnosis penyakit sesuai sebanyak 55 rekam medis dan tidak sesuai sebanyak 41
data dari jumlah sample 96 data rekam medis. Selanjutnya dihitung presentase
ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit, dan didapatkan hasil sebagai berikut :

Presentase Ketidaksesuaian

43%
57% Sesuai
Tidak Sesuai

Gambar 4.1 Presentase Ketidaksesuaian Kode Diagnosis Penyakit Pasien Poli Umum pada Rekam
Medis dengan SIMPUS

Berdasarkan gambar 4.2 presentase ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit


pasien poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo
mencapai angka 43% sedangkan untuk kesesuaian kode diagnosis penyakit
mencapai angka 57%. Akurasi pengkodean diagnosis penyakit berdasarkan
standar pelayanan minimal bidang rekam medis harus mencapai angka 100% (Sri
54

& Ali, 2019). Ketidaksesuaian pengodean diagnosis penyakit pasien poli umum
pada rekam medis dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo belum sesuai
standar profesi perekam medis dan informasi kesehatan dalam penetapan kode
diagnosis penyakit dengan tepat sesuai klasifikasi yang ada di Indonesia (ICD-10)
(Kemenkes RI, 2020). Kode diagnosis penyakit pasien yang tidak terkode secara
sesuai dan akurat dapat menyebabkan adanya validasi data rendah yang berakibat
pada pembuatan laporan seperti laporan morbiditas rawat jalan dan 10 besar
penyakit (Isnaini, 2019).
“Pernah dijumpai kendala terkait laporan penyakit di Puskesmas Purwoharjo yang
disebabkan oleh adanya SIMPUS yang belum kesinambungan dengan P-care. Namun kendala
tersebut tersebut sudah dapat teratasi sehingga laporan penyakit dapat diambil langsung dari
SIMPUS”
Informan 1-4

Berdasarkan hasil wawancara tersebut diketahui bahwa terdapatnya data


kode diagnosis penyakit yang tidak sesuai dapat mempengaruhi keakuratan
pembuatan laporan yang ada di Puskesmas Purwoharjo. Kendala dalam
pembuatan laporan 10 besar penyakit pernah dijumpai karena belum adanya
kesinambungan antara data SIMPUS dengan P-care, namun untuk kendala
tersebut sudah dilakukan perbaikan sehingga kesinambungan data SIMPUS
dengan P-care terealisasi. Data yang sudah berkesinambungan antara SIMPUS
dengan P-care diharapkan dapat menghasilkan laporan yang akurat dan tepat
waktu serta mempermudah pekerjaan petugas.
“Coder berusaha melakukan pengkodingan diagnosis penyakit pasien poli umum segera
setelah status pasien didapatkan, namun ternyata masih dijumpai pengkodingan diagnosis
yang terkendala tidak dapat segera dicoding karena banyaknya pasien yang masuk sedangkan
coder tidak hanya bertugas dalam mengkode namun juga pekerjaan yang lain seperti
assembling juga distribusi rekam medis”
Informan 1,2

Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa proses pengkodingan


diagnosis penyakit yang dilakukan coder tidak dapat terselesaikan karena adanya
double job oleh coder. Banyaknya pekerjaan yang dilakukan oleh coder dapat
membuat coder kurang teliti dalam mengkode diagnosis penyakit. Menurut coder,
ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit dapat terjadi karena kurang telitinya
coder dalam penegakkan kode diagnosis. Hal tersebut didukung oleh hasil
55

penelitian Maimun et al. (2018) yang menyatakan bahwa kesalahan pengodean


diagnosis penyakit terjadi karena kurang telitinya coder dalam melakukan
pengodean yang berakibat pada ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit.
Penelitian Maryati et al. (2020) juga menyatakan bahwa adanya beban kerja coder
yang menumpuk dapat menyebabkan ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit
hingga 70% dibandingkan dengan adanya beban kerja coder yang rendah hanya
terdapat ketidaksesuaian kode diagnosis sebesar 22%. Pengkodingan diagnosis
penyakit pasien poli umum yang dilakukan oleh coder masih terdapat kendala
terkait beban kerja petugas yang berpengaruh terhadap ketelitian petugas dalam
pengkodingan sehingga dapat berdampak pada ketidaksesuaian kode diagnosis
penyakit pasien poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS.
Ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli umum di Puskesmas
Purwoharjo dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Untuk mengetahui faktor-
faktor penyebab ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit tersebut, peneliti
melakukan analisis terkait faktor penyebab ketidaksesuaian kode diagnosis
penyakit pasien poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS menggunakan
teori Lawrence Green yaitu faktor predisposisi (predisposing factor), faktor
pendukung (enabling factor), dan faktor pendorong (reinforcing factor) yang
selanjutnya dilakukan ranking permasalahan dengan USG dan akan dicarikan
solusi dari prioritas permasalahan menggunakan brainstorming.

4.2 Menganalisis faktor Predisposing yang menyebabkan ketidaksesuaian


kode diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis dengan
SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo
4.2.1 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari suatu proses belajar yang dapat diperoleh
baik secara formal maupun informal dan mengarah pada pemahaman secara
teoritis dan praktikal dari individu (Meilina & Bernator, 2021). Pada penelitian
ini, pengetahuan yang dimaksud adalah segala sesuatu yang diketahui dan
dipahami oleh petugas pengkodingan terkait prosedur pengkodingan diagnosis
penyakit pasien sesuai acuan pedoman atau peraturan-peraturan yang berlaku,
56

pentingnya penulisan dan penginputan diagnosis serta kode diagnosis dalam


rekam medis maupun SIMPUS, dan dampak yang akan ditimbulkan terhadap
ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis
dengan SIMPUS. Berdasarkan hasil wawancara kepada petugas pengkodingan
mengenai proses prosedur pengkodingan diagnosis penyakit pasien poli umum,
sebagai berikut :
“Pengkodingan diagnosis penyakit dilakukan setelah status pasien didapatkan. Status pasien
tersebut akan diinputkan ke dalam SIMPUS dan dilakukan pengkodingan diagnosis penyakit.
Kode yang telah terinput pada SIMPUS selanjutnya dituliskan ke dalam rekam medis sehingga
rekam medis dapat dikembalikan ke ruang rekam medis setelah proses pengkodingan selesai”
Informan 1,2

Berdasarkan hasil wawancara diatas, diketahui bahwa prosedur


pengkodingan diagnosis penyakit pasien poli umum dilakukan setelah dokter
selesai melakukan pemeriksaan hingga pasien pulang kemudian didapatkan status
pasien yang nantinya diinputkan ke SIMPUS oleh petugas SIMPUS untuk
dilakukan pengkodingan diagnosis. Rekam medis dapat dikembalikan ke ruang
rekam medis setelah proses penginputan data SIMPUS selesai, tetapi pada
kenyataannya masih terdapat beberapa rekam medis yang sudah dilakukan
penginputan kode diagnosis penyakit pada SIMPUS namun saat dikembalikan ke
ruang rekam medis belum terkode.
“ Pengkodingan diagnosis pasien poli umum terdapat kendala terkait adanya beberapa
berkas yang sudah terkode ke SIMPUS namun belum dituliskan kodenya ke dalam rekam
medis karena banyaknya pasien yang datang berobat. Maka dari itu, kode yang belum
dikoding pada rekam medis akan dilengkapi oleh petugas rekam medis. Namun untuk
pengkodingan sendiri dilakukan coder segera setelah status pasien didapatkan”
Informan 1,2

Hasil wawancara diatas menunjukkan bahwa terdapatnya rekam medis yang


belum terkode kembali ke ruang rekam medis tetapi sudah dilakukan
pengkodingan oleh petugas SIMPUS dikarenakan banyaknya pasien masuk.
Rekam medis yang belum terkode akan dilengkapi langsung oleh perekam medis.
Hal tersebut menunjukkan bahwa coder sudah mengerti akan pentingnya
pengkodingan diagnosis penyakit yang dilakukan segera setelah pasien pulang,
57

namun dalam keseharian proses pengkodingan diagnosis penyakit coder masih


menemui hambatan atau kesulitan dalam proses pengkodingan.
“ Kesulitan pada proses pengkodingan masih ada. Kode diagnosis penyakit terkait pasien
rujukan sering menjadi kesulitan dalam proses pengkodingan. Kesulitan tersebut terkait kode
karakter ke empat atau lima seperti diagnosa luka dengan kode S90, dimana terdapat
kebingungan terkait karakter setelah kode tersebut kemudian terkait tata cara alur
pengkodingan dengan ICD belum ada“
Informan 1,2

Berdasarkan hasil wawancara diatas, coder masih mengalami kesulitan


dalam proses pengkodingan diagnosis penyakit pasien poli umum karena kurang
mengetahui tata cara pengkodingan dengan ICD-10. Hal tersebut didukung oleh
penelitian Oktavia (2017) yang menyatakan bahwa kurangnya pengetahuan coder
tentang tata cara penggunaan ICD-10 dapat memicu adanya kesalahan dalam
proses penegakan kode diagnosis penyakit. Penelitian Oktavia & Azmi (2019)
menyatakan bahwa pengetahuan petugas pengkodingan mengenai ketentuan-
ketentuan ICD-10 dalam menunjang kesesuaian kode diagnosis sangat diperlukan
agar dapat menentukan kode diagnosis dengan lebih akurat. Ketidaktahuan coder
terkait penggunaan ICD-10 sehingga dapat menimbulkan ketidaktahuan ketentuan
atau aturan-aturan penggunaan kode tertentu seperti kode karakter yang ada
didalam ICD-10 dapat memicu timbulnya kesalahan kode yang berdampak pada
ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis
dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo. Hal tersebut didukung oleh
pernyataan coder sebagai berikut :
“Kesulitan dalam proses pengkodingan masih dijumpai yakni terkait kode karakter karena
masih sedikit kurang mengerti terkait pemahaman penggunaan ICD-10 yang didalamnya
memuat ketentuan acuan kode dimana pengkodingan diagnosis selama ini menggunakan
bantuan buku kumpulan kode diagnosis”
Informan 1,2

Berdasarkan hasil wawancara diatas, kesulitan coder dalam pengkodingan


yang dapat timbul akibat ketidaktahuan ketentuan-ketentuan atau aturan
penggunaan kode tertentu yang ada di dalam ICD-10 seperti kode karakter. Coder
dalam kesehariannya melakukan pengkodingan diagnosis penyakit juga
menggunakan bantuan buku kumpulan kode diagnosis penyakit bukan ICD-10
(dapat dilihat pada gambar 4.3). Penggunaan buku pintar belum memenuhi
58

standar pengodean diagnosis sesuai klasifikasi dan kodefikasi yang ditetapkan di


Indonesia (Harjanti & Wariyanti, 2020). Menurut penelitian Ulya (2021) yang
menyatakan bahwa terdapatnya proses pengodean diagnosis penyakit yang
dilakukan oleh dokter atau perawat di bagian poli umum Puskesmas Tanah Merah
ditemukan 97,55 % kode tidak sesuai karena petugas menggunakan buku pintar
dalam mengkode daripada ICD-10. Penggunaan buku kumpulan kode diagnosis
penyakit daripada ICD-10 dalam penegakan kode diagnosis membuat coder
kurang memahami terkait acuan kode seperti acuan kode karakter yang ada di
dalam ICD-10 dan tidak terdapat pada buku kumpalan kode diagnosis tersebut.
Hal itu dapat memicu kesalahan dalam kode yang ditegakkan oleh coder sehingga
timbul ketidaksesuaian kode yang dapat menimbulkan dampak bagi Puskesmas
sendiri.
“Dampaknya dapat mempengaruhi ketidakakuratan laporan data penyakit puskesmas yang
dikirimkan ke Dinas Kesehatan”
Informan 1,2

Pernyataan diatas menunjukkan bahwa coder diagnosis penyakit pasien poli


umum mengetahui akan dampak dari adanya ketidaksesuaian kode diagnosis
penyakit pasien poli umum. Berdasarkan penelitian Rahmawati & Lestari (2018)
menyatakan bahwa kode diagnosis yang sesuai, tepat, dan akurat akan
memberikan efektifitas dalam hal pengambilan keputusan dan keakuratan
pembuatan laporan data kesakitan. Ketidaksesuaian kode diagnosis yang ada dan
ditegakkan maka validitas data pada informasi yang dihasikan juga rendah dan
memberikan dampak ketidaktepatan dalam pembuatan laporan serta pengambilan
keputusan baik di puskesmas maupun rumah sakit (Fatmalla, 2018). Coder sudah
mengerti akan pentingnya penulisan dan penginputan diagnosis serta kode
diagnosis dalam rekam medis maupun SIMPUS, dan dampak yang akan
ditimbulkan terhadap ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli umum
pada rekam medis dengan SIMPUS namun kurang mengetahui tata cara
pengkodingan dengan ICD-10 karena belum termuat dalam SOP. Coder yang
memiliki pengetahuan kurang dapat diikutsertakan dalam pelatihan pengkodingan
diagnosis penyakit guna menambah pengetahuan petugas terkait tata cara
59

pengkodingan yang baik dan benar. Pengetahuan coder akan pentingnya proses
pengkodingan yang baik dan benar bisa berdampak terhadap hasil kerja guna
meminimalisir adanya ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli umum
dengan SIMPUS.

4.2.2 Sikap
Sikap merupakan sebuah perasaan mendukung atau tidak mendukung,
setuju atau tidak setuju dengan ketentuan dan anjuran-anjuran terkait sebuah
pengaturan tertentu (Mujani & Irvani, 2020). Berdasarkan hasil penelitian kepada
coder mengenai sikap coder terhadap proses pengkodingan diagnosis penyakit
pasien poli umum melalui wawancara didapatkan hasil sebagai berikut :
“Pengkodingan diagnosis penyakit lebih mudah menggunakan buku kumpulan kode diagnosis
dibanding dengan penggunaan ICD-10 karena selain dari segi mudah, penggunaan buku
kumpulan kode tersebut lebih efisien waktu dalam membantu pengkodingan”
Informan 1,2

Berdasarkan hasil wawancara tersebut didapatkan bahwa coder


menggunakan bantuan buku kumpulan kode diagnosis penyakit daripada ICD-10
dalam proses pengkodingan. Penggunaan ICD-10 dalam pengkodingan diagnosis
penyakit telah sesuai dengan standar pengodean di Indonesia yang memuat baik
prosedur pengkodingan, acuan kode diagnosis, maupun ketentuan-ketentuan
terkait kode diagnosis penyakit tertentu yang digunakan dalam penegakan kode
diagnosis. Berdasarkan pemaparan tersebut, petugas rekam medis telah
mengetahui bahwa data diagnosis yang valid dapat dilakukan dengan pengecekan
kode melalui ICD-10. Sesuai dengan kompetensinya, validasi kode diagnosis
dalam rekam medis dilakukan oleh petugas rekam medis. Tetapi pada
kenyataannya coder yang ada di Puskesmas Purwoharjo lebih memilih
menggunakan buku kumpulan kode diagnosis penyakit daripada ICD-10 karena
dinilai dapat mempercepat pekerjaan.
60

“Penggunaan buku kumpulan kode diagnosis penyakit dibanding dengan ICD-10 dinilai
lebih memudahkan pekerjaan coder dalam proses pengkodingan diagnosis dimana terdapat
harapan buku kumpulan kode diagnosis yang ada dapat diperbaiki dan disesuaikan dengan
kode ICD yang sekarang karena masih terdapat beberapa kode yang berbeda dengan
SIMPUS”
Informan 1,2

Berdasarkan hasil wawancara diatas diketahui bahwa coder yang lebih


memilih menggunakan buku kumpulan kode diagnosis penyakit dibandingkan
ICD-10 menunjukkan bahwa sikap coder tersebut kurang mendukung untuk
berjalannya proses pengodean diagnosis penyakit sesuai dengan standar yang
berlaku di Indonesia. Selain itu, keberadaan buku kumpulan kode diagnosis
penyakit yang ada di Puskemas Purwoharjo dalam proses pengodean disetujui
oleh Kepala Puskesmas.
“ Kepala Puskesmas sudah mengetahui keberadaan penggunaan buku kumpulan kode
diagnosis penyakit dimana penggunaan buku kumpulan kode diagnosis penyakit tidak menjadi
masalah selama penggunaan buku kumpulan tersebut dinilai lebih mempercepat pekerjaan
coder “
Informan 1-4

Berdasarkan hasil wawancara diatas diketahui bahwa pihak atasan yaitu


Kepala Puskesmas juga mengetahui akan keberadaan buku kumpulan kode
diagnosis penyakit yang digunakan petugas pengkodingan dalam proses
pengodean diagnosis penyakit pasien poli umum. Kepala puskesmas menyatakan
bahwa penggunaan buku kumpulan diagnosis penyakit dibandingkan dengan ICD
pada proses pengodean tidak menjadi masalah selama petugas merasa terbantu
akan pekerjaannya. Penelitian Harjanti & Wariyanti (2020) menyatakan bahwa
penggunaan buku pintar dalam proses pengkodingan belum memenuhi standar
pengodean diagnosis yang ada di Indonesia. International Statistical
Classification of Diseases and Related Health Problems (ICD-10) merupakan
acuan nasional Indonesia untuk melakukan pengkodingan baik di puskesmas atau
rumah sakit (Menkes RI, 2006). Penggunaan buku kumpulan kode diagnosis
penyakit daripada ICD dapat mempengaruhi pengetahuan coder terkait ketentuan-
ketentuan kode diagnosis maupun pengetahuan penunjang lainnya yang tidak
tercantum dalam buku kumpulan kode diagnosis tetapi ada pada ICD sehingga
61

dapat mempengaruhi kesalahan dalam pengodean yang menimbulkan


ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit (Kurnianingsih, 2020).
Sikap yang ditunjukkan baik oleh atasan maupun coder dengan tidak
mempermasalahkan penggunaan buku kumpulan kode diagnosis penyakit dalam
mengkode diagnosis dibandingkan dengan ICD-10 menunjukkan bahwa sikap
tersebut belum mendukung terlaksananya pengodean diagnosis penyakit yang ada
di Puskesmas Purwoharjo sesuai standar yang berlaku. Proses pengkodingan
diagnosis penyakit pasien poli umum di Puskesmas Purwoharjo yang tidak sesuai
standar dapat memicu timbulnya ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit antara
rekam medis dengan SIMPUS. Penggunaan ICD-10 dibanding buku kumpulan
kode diagnosis dalam proses pengkodingan diagnosis penyakit pasien poli umum
di Puskesmas Purwoharjo seharusnya dapat ditingkatkan kembali guna
meminimalisir terjadinya ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit.

4.3 Menganalisis faktor Enabling yang menyebabkan ketidaksesuaian kode


diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis dengan
SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo
4.3.1 Sarana
Sarana merupakan sebuah bangunan yang digunakan untuk
penyelenggaraan atau penunjang sebuah pelayanan (Permenkes RI, 2018). Sarana
dalam penelitian ini adalah segala bentuk bangunan atau tempat yang dapat
digunakan untuk menunjang sebuah kegiatan seperti terdapatnya ruang
pengkodingan diagnosis penyakit. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa
sudah terdapat ruang pengkodingan diagnosis penyakit pasien poli umum.
“ Pengkodingan diagnosis penyakit sudah memiliki ruang tersendiri untuk proses
pengkodingan dimana ruang tersebut terletak dekat dengan tempat pemeriksaan pasien oleh
dokter poli umum”
Informan 1-4

Berdasarkan hasil wawancara diatas, informan menyatakan bahwa proses


pengkodingan diagnosis penyakit poli umum sudah terdapat ruang pengkodingan
sendiri. Ruang pengkodingan diagnosis penyakit pasien poli umum menurut coder
62

tidak menjadi hambatan atau masalah dalam proses pengkodingan diagnosis


penyakit. Adanya ruang pengkodingan diagnosis tersebut dapat menunjang
berjalannya proses pengkodingan diagnosis penyakit pasien poli umum dengan
baik. Hal tersebut sesuai dengan hasil obervasi, sebagai berikut :

Gambar 4.2 Tempat pengkodingan diagnosis penyakit pasien poli umum

Berdasarkan gambar 4.2 hasil observasi diatas diketahui bahwa tempat


pengkodingan diagnosis sudah tersedia serta dekat dengan ruang pemeriksaan
dokter atau ruang pelayanan pasien poli umum namun diberikan sekat sehingga
juga memudahkan petugas untuk entry data ke SIMPUS. Menurut standar
pelayanan rekam medis, sarana prasarana yang memadai diwajibkan ada pada
suatu pelayanan guna memperoleh keefektifan dalam pelayanan itu sendiri (Dinda
& Putra, 2022). Hasil penelitian M. A. Putri & Yenni (2022) menyatakan bahwa
kurangnya sarana ruang pengkodingan yang ada di RSUD M. Natsir Solok karena
ruang pengkodingan yang sempit sebab masih tergabung dengan ruang
assembling dan penyimpanan sehingga menyulitkan petugas dalam proses
pengkodingan diagnosis. Keberadaan ruang pengkodingan diagnosis penyakit di
Puskesmas Purwoharjo yang sudah ada sendiri dan dekat dengan ruang
pemeriksaan dokter lebih memudahkan petugas dalam penegakkan kode diagnosis
karena jika terdapat data pasien ataupun diagnosis yang kurang jelas, petugas
dapat dengan mudah untuk melakukan konfirmasi dengan dokter poli umum
sehingga meminimalisir terjadinya ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit
pasien poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS.

4.3.2 Prasarana
Prasarana pengkodingan adalah segala sesuatu baik bahan, alat, benda,
apapun yang menunjang atau digunakan dalam proses pengkodingan diagnosis
63

penyakit seperti adanya buku ICD/Aplikasi ICD, komputer yang memadai,


printer, jaringan internet yang stabil (Sari & Pela, 2017). Prasarana yang
digunakan dalam proses pengkodingan diagnosis penyakit menurut informan
masih terdapat kendala dalam penggunaannya. Berdasarkan hasil wawancara
kepada informan mengenai prasarana didapatkan hasil sebagai berikut :
“Proses pengkodingan diagnosis penyakit pasien poli umum masih terdapat beberapa
prasarana yang kurang memadai seperti terdapatnya komputer yang rusak pada ruang input
SIMPUS sehingga membuat pekerjaan coder menumpuk, printer yang tidak dapat dipakai,
jarigan LAN yang kurang stabil”
Informan 1,3

Pernyataan diatas menunjukkan bahwa faktor prasarana di Puskesmas


Purwoharjo mengenai proses pengkodingan diagnosis penyakit pasien poli umum
masih terdapat beberapa masalah. Masalah yang pertama adalah kurang
maksimalnya penggunaan prasarana untuk membantu proses pengkodingan
dikarenakan beberapa prasarana komputer rusak, printer tidak dapat dipakai, serta
kadang kala jaringan internet bermasalah. Penelitian M. A. Putri & Yenni (2022)
menyatakan bahwa ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit dapat terjadi karena
adanya prasarana yang kurang memadai seperti LAN system yang tidak stabil,
printer, dan terdapatnya komputer bermasalah. Penelitian Maryati et al. (2020)
yang menyatakan bahwa adanya beban kerja coder yang menumpuk
mengakibatkan adanya ketidakakuratan kode diagnosis hingga 70% dibandingkan
dengan adanya beban kerja coder yang rendah hanya terdapat ketidakakuratan
kode diagnosis sebesar 22%. Adanya prasarana seperti komputer, print yang rusak
serta jaringan internet bermasalah dalam proses pengkodingan diagnosis penyakit
di Puskesmas Purwoharjo dapat menjadi kendala dalam proses pengodean
sehingga menyebabkan beban kerja coder menumpuk. Banyaknya pekerjaan yang
menumpuk oleh coder dapat membuat coder kurang teliti dalam melakukan
pengodean diagnosis penyakit pasien poli umum yang dapat memicu timbulnya
ketidaksesuaian kode yang ditegakkan.
64

Gambar 4.3 Buku kumpulan kode diagnosis penyakit

Berdasarkan hasil observasi pada gambar 4.3, diketahui bahwa coder dalam
melaksanakan pengodean diagnosis penyakit menggunakan bantuan buku
kumpulan kode diagnosis penyakit pasien milik coder karena belum terdapat
aplikasi/buku ICD-10 di Puskesmas Purwoharjo. Buku kumpulan kode diagnosis
penyakit yang ada di Puskesmas Purwoharjo dibuat oleh coder pada awal mula
terealisasinya kesinambungan antara P-care dengan SIMPUS. Penggunaan buku
kumpulan kode diagnosis penyakit pasien poli umum di Puskesmas Purwoharjo
masih ditemui kendala karena terdapatnya beberapa kode yang berbeda antara
buku kumpulan kode diagnosis penyakit yang dipakai oleh coder dengan kode
diagnosis yang ada pada SIMPUS sekarang. Walaupun coder sudah mengetahui
terdapat perbedaan kode antara buku kumpulan kode diagnosis dengan kode
SIMPUS, coder tetap lebih memilih menggunakan buku kumpulan kode diagnosis
dibanding dengan ICD-10.
Hal tersebut didukung oleh penelitian Yani & Nur (2019) yang menyatakan
bahwa penegakan kode diagnosis di Rumah Sakit Condong Catur yang
menggunakan buku daftar kode diagnosis penyakit tanpa adanya cross-cek dengan
ICD-10 menjadikan kode yang dihasilkan rentan terhadap adanya ketidaktepatan
kode diagnosis. Penegakan kode diagnosis penyakit sesuai acuan standar dalam
mengkode harus dilakukan cross-chek dengan ICD-10 baik dari volume III
65

ataupun volume I (Ferdianto & Lutfiati, 2021). Penggunaan buku kumpulan kode
diagnosis penyakit yang ada di Puskesmas Purwoharjo dinilai lebih mempercepat
proses pengkodingan diagnosis penyakit pasien poli umum namun pada
kenyataannya, penggunaan buku kumpulan diagnosis penyakit tersebut belum
sesuai dengan standar pengodean yang ada di Indonesia dimana hal tersebut
rentan menjadi salah satu penyebab dalam terjadinya kesalahan penegakan kode
yang memicu timbulnya ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli
umum pada rekam medis dengan SIMPUS.
“ Belum terdapatnya komputer pada ruang rekam medis yang digunakan untuk melihat data
yang kurang jelas pada SIMPUS guna membantu proses pengkodingan menjadi salah satu
kendala dalam proses pengkodingan”
Informan 2

Berdasarkan hasil pernyataan coder diatas, diketahui bahwa ruang rekam


medis juga belum terdapat adanya komputer. Hal tersebut didukung oleh hasil
observasi bahwa dalam proses pengkodingan jika coder ingin melihat data pasien
lebih lengkap dalam SIMPUS untuk proses pengkodingan, coder harus
menggunakan komputer yang ada dibagian pendaftaran dimana harus menunggu
penggunaan komputer luang pada bagian tersebut. Hasil penelitian Nabila et al.
(2020) menyatakan bahwa terdapatnya prasarana komputer yang memadai
menjadi salah satu penunjang berjalannya proses pengkodingan dengan baik.
Penelitian M. A. Putri & Yenni (2022) menyatakan hal serupa dimana belum
terdapatnya komputer dalam proses pengkodingan diagnosis menjadi salah satu
kendala proses pengkodingan yang dapat berdampak pada keakuratan kode
diagnosis yang ditegakkan.
Berdasarkan hal tersebut, belum terdapatnya komputer dalam ruang rekam
medis untuk penunjang proses pengkodingan diagnosis dimana coder harus
menunggu waktu luang penggunaan komputer loket menjadi salah satu kendala
dalam proses pengkodingan diagnosis di Puskesmas Purwoharjo. Hal itu yang
menyulitkan coder untuk dapat melakukan pengkodingan dengan baik sehingga
memungkinkan adanya ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli
umum pada rekam medis dengan SIMPUS. Berdasarkan hasil pemaparan terkait
faktor prasarana pengkodingan di Puskesmas Purwoharjo, solusi yang dapat
66

diberikan yaitu diadakannya perbaikan dan maintenance secara berkala pada


komputer agar dapat terhindar dari kerusakan yang sangat serius (Syaputra, 2020),
disediakannya buku ICD/Aplikasi ICD serta jika memungkinkan Puskesmas
Purwoharjo juga dapat mempertimbangkan pemberian komputer pada ruang
rekam medis.

4.3.3 Pelatihan
Pelatihan adalah keseluruhan kegiatan dalam memberi maupun memperoleh
pengembangan atau peningkatan kompetensi kerja serta produktivitas pada tingkat
keterampilan dan keahlian tertentu dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau
pekerjaan (Permenaker, 2022). Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa
coder belum pernah mengikuti pelatihan (training) pengkodingan diagnosis
penyakit dan hanya sekedar sharing dengan sesama coder yang lain. Berikut
merupakan kutipan hasil wawancara kepada coder.
“Sharing permasalahan pengkodingan pernah dilakukan dengan sesama coder di Puskesmas
Purwoharjo. Sharing yang selama ini dilakukan sebatas bertanya terkait kode yang dapat
djiadikan kode rujukan untuk pasien poli umum ”
Informan 1,2

Berdasarkan hasil wawancara diatas diketahui bahwa kegiatan sharing terkait


pengkodingan diagnosis pernah dilakukan oleh coder namun hanya sebatas
bertanya kode pasien yang dapat dirujuk apa. Menurut Zulaikha et al. (2022)
adanya kegiatan seperti tukar pendapat, keluh kesah, ataupun sharing dapat
membuat orang tersebut mendapatkan banyak pelajaran ataupun pengetahuan dari
pengalaman orang lain serta dalam memahami sesuatu dapat dengan lebih mudah.
Hal tersebut sesuai dengan penelitian N. Hasanah et al. (2020) yang menyatakan
bahwa adanya wahana kelompok sebagai tempat kelas/tempat belajar dengan
kegiatannya sharing dan diskusi bersama membantu dalam penyelesaian sebuah
masalah. Berdasarkan pemaparan tersebut, terdapatnya sharing antar sesama coder
di Puskesmas Purwoharjo dalam proses pengkodingan diagnosis penyakit
membantu coder dalam penyelesaian masalah koding namun apabila sharing yang
dilakukan hanya sesama coder di lingkup tersebut dan tidak dengan orang yang
67

lebih berpengalaman, hal tersebut kurang membantu petugas untuk penambahan


wawasan yang lebih luas terkait proses pengkodingan diagnosis penyakit
Berdasarkan penelitian Prastiwi (2021) menyatakan bahwa selain sharing,
pelatihan juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kualitas
sumber daya manusia.
“Selama ini belum pernah ada pelatihan untuk pengkodingan”
Informan 1-4

Berdasarkan pernyataan diatas diketahui bahwa di Puskesmas Purwoharjo


belum pernah ada pelatihan untuk coder diagnosis penyakit. Menurut Maimun &
Silitonga ( 2021) adanya pelatihan kerja seperti training bagi coder menjadi aspek
penting yang berpengaruh pada tingkat keakuratan pengkodingan diagnosis
penyakit. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Sri & Ali (2019) yang
menyatakan bahwa pelatihan kodefikasi mempengaruhi pengetahuan petugas
yang terbukti dapat meningkatkan ketepatan kodefikasi penyakit karena
memperoleh kualitas kodefikasi penyakit yang lebih baik. Pelatihan yang
diberikan kepada coder terkait kode diagnosis penyakit ICD-10 dapat memberikan
manfaat penambahan wawasan serta pengetahuan oleh coder sendiri guna
meminimalisir terjadinya ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli
umum pada rekam medis dengan SIMPUS yang dapat berpengaruh terhadap
laporan pembuatan data penyakit di Puskesmas Purwoharjo.
“Jika terdapat pelatihan pengkodingan oleh coder dapat berguna dalam penambahan
wawasan terkait pengkodingan dimana pengetahuan yang didapat dari pelatihan tersebut
dapat dijadikan bekal penunjang karir kedepannya serta bagi perekam medis sendiri dapat
digunakan untuk penambahan SKP terkait kontrak kerja”
Informan 1,2

Berdasarkan hasil wawancara diatas, terdapat banyak manfaat yang akan


dirasakan oleh coder jika terdapat pelatihan pengkodingan diagnosis penyakit
salah satunya dapat menambah pengetahuan coder terkait kode-kode diagnosis
penyakit. Hasil penelitian Rahmadhani et al. (2020) menyatakan bahwa adanya
coder yang belum pernah mengikuti pelatihan mengenai tata cara pengkodingan
yang sesuai standar ICD sehingga menyebabkan coder hanya mengetahui
68

pentingnya mengkode diagnosis tanpa menerapkan standar acuan penggunaan


ICD dalam kodefikasi yang menimbulkan ketidakakuratan kode diagnosis.
Menurut Harwaty et al. (2019) adanya pegawai yang terlatih dapat menunjukkan
bahwa SDM sebuah organisasi memiliki keterampilan yang berkualitas untuk
diaplikasikan di lingkungan kerjanya guna memberikan kontribusi peningkatan
kinerja pegawai itu sendiri maupun organisasinya untuk berkembang ke arah yang
lebih baik. Berdasarkan hal tersebut, terdapatnya pelatihan terkait kode diagnosis
penyakit sangatlah diperlukan oleh coder dikarenakan pelatihan merupakan
investasi atasan sebagai pengirim peserta dan bermanfaat besar dalam menunjang
pekerjaan coder sendiri maupun Puskesmas Purwoharjo, untuk itu alahkah
baiknya jika coder dapat diikut sertakan dalam pelatihan pengkodingan guna
pembahan wawasan yang dapat menunjang kegiatan pengkodingan dengan baik
dan meminimalisir terjadinya ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli
umum pada rekam medis dengan SIMPUS.

4.4 Menganalisis faktor Reinforcing yang menyebabkan ketidaksesuaian


kode diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis dengan
SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo
4.4.1 SOP (Standart Operational Procedure)
SOP adalah suatu pedoman atau acuan terkait peraturan-peraturan untuk
melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian kinerja
instansi pemerintah berdasarkan indikator-indikator teknis, administratif sesuai
tata kerja, prosedur dan sistem kerja pada unit kerja yang bersangkutan (Gishella,
2018). Berdasarkan hasil penelitian mengenai SOP (Standart Operational
Procedure) pengkodingan diagnosis penyakit yang dilakukan dengan wawancara
didapatkan hasil sebagai berikut :
“ SOP pengkodingan diagnosis penyakit sudah ada”
Informan 2,3

Berdasarkan keterangan yang didapat melalui wawancara diketahui bahwa


Puskesmas Purwoharjo sudah mempunyai SOP terkait pengelolaan rekam medis
salah satunya adalah SOP pengkodingan diagnosis penyakit. Hal tersebut sesuai
69

dengan hasil observasi bahwa SOP pengkodingan penyakit berisi alur


pengkodingan mulai dari pasien datang, diperiksa, data dientrykan ke SIMPUS
hingga status pasien pulang. Hasil penelitian oleh Hudayana (2021) menyatakan
bahwa dengan terdapatnya SOP telah memberikan dampak terhadap penyelesaian
tugas pegawai dari segi waktu penyelesaian yang telah diatur sesuai porsinya,
sehingga penyelesaian pekerjaan dapat terlaksana secara efektif dan efisien.
Adanya SOP sendiri dapat menjadi pedoman petugas dalam melakukan tugasnya
dan meminimalisasi kesalahan saat melakukan tugasnya masing-masing
(Gabriele, 2018). SOP pengkodingan diagnosis penyakit yang ada di Puskesmas
Purwoharjo dapat digunakan sebagai acuan dalam proses pengkodingan diagnosis
guna menghindari kesalahan saat coder melakukan tugasnya namun SOP yang
terdapat di puskesmas sendiri hanya berisi terkait alur mengkode penyakit pasien
poli umum ke SIMPUS atau rekam medis dan belum terdapat alur tata cara
pengkodingan dengan ICD-10.
“SOP pengkodingan diagnosis berisi alur pengkodingan mulai dari pasien diperiksa, data
dientrykan ke SIMPUS dan bukan terkait tata cara/alur pengkodingan menggunakan ICD
dimana pengkodingan yang ada di Puskesmas Purwoharjo tidak hanya dilakukan oleh
perekam medis namun juga perawat SIMPUS”
Informan 2

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi diketahui bahwa SOP


pengkodingan yang tersedia menjelaskan langkah mengkode mulai dari pasien
masuk, dilayani, entry data hingga pasien pulang, namun belum menyebutkan tata
cara pengkodean ICD-10 dengan SIMPUS maupun rekam medis serta dalam
proses pelaksanaan pengkodingan sehari-hari pada Puskesmas Purwoharjo tidak
hanya dilakukan oleh petugas rekam medis melainkan juga perawat SIMPUS.
Sesuai dengan standar yang berlaku pengkodingan diagnosis penyakit harus
dilakukan oleh perekam medis (Permenkes RI, 2013). Pelaksanaan pengkodingan
diagnosis penyakit yang dilakukan oleh perawat SIMPUS di Puskesmas
Purwoharjo belum memenuhi acuan standar pengodean diagnosis penyakit. Hal
tersebut didukung oleh penelitian Isnaini (2019) yang menyatakan bahwa proses
pengkodingan diagnosis penyakit yang dilakukan oleh perawat dan bukan
perekam medis menyebabkan adanya ketidaksesuaian pada kode diagnosis yang
70

ditegakkan karena kualifikasi coder yang tidak sesuai standar peraturan yang
berlaku.
Menurut hasil penelitian Rahmadhani et al. (2020) yang menyatakan bahwa
SOP yang ada di Klinik Obgyin hanya menjelaskan tata cara pengodean secara
umum, belum terdapatnya job description pada setiap coder seperti khusus
perekam medis atau perawat serta standar pelaksanan entry data kode diagnosis
secara khusus baik pada SIMRS maupun rekam medis yang mengakibatkan
adanya perbedaan kode yang diinput pada SIMRS dengan rekam medis. Adanya
ketidakjelasan isi SOP terkait langkah-langkah pengkodingan baik untuk SIMPUS
ataupun rekam medis serta kejelasan petugas siapa saja yang melakukan
pengkodingan diagnosis penyakit di Puskesmas Purwoharjo tersebut dapat
mempengaruhi proses pengkodingan yang mengakibatkan adanya ketidaksesuaian
kode diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS.
“Sosialisasi SOP yang ada di Puskesmas Purwoharjo dilakukan awal setelah SOP itu selesai
dibuat”
Informan 2,4

Berdasarkan hasil wawancara diketahui Puskesmas Purwoharjo telah


memiliki SOP pengkodingan namun untuk pengadaan sosialisasi hanya dilakukan
pada awal setelah SOP dibuat dimana seharusnya sosialisasi SOP dapat dilakukan
secara berkala agar semua coder memahami isi SOP secara keseluruhan. SOP
sendiri sangat berguna untuk menjelaskan alur tugas, wewenang dan tanggung
jawab dari petugas yang terkait (N. W. S. D. Dewi, 2017). Tidak terdapatnya
sosialisasi ulang SOP menjadi salah satu penyebab adanya kesalahan kerja yang
dilakukan oleh petugas (I. I. Dewi et al., 2021). Menurut penelitian Ramayanti et
al. (2019) yang menyatakan bahwa perlunya pelaksanaan sosialisasi ulang (secara
berkala) karena adanya pelaksanaan program yang belum maksimal akibat kinerja
petugas yang masih kurang untuk memenuhi tujuan program itu sendiri.
Terdapatnya sosialisasi SOP dapat memberikan manfaat baik untuk individu
pegawai itu sendiri maupun organisasi serta dapat memberikan wawasan terkait
acuan atau aturan alur pekerjaan yang harus diikuti oleh coder dalam proses
pengkodingan diagnosis. Jika semua coder sudah memahami keseluruhan isi SOP,
71

hal tersebut dapat menunjang kinerja coder dalam penegakan kode diagnosis agar
sesuai standar yang berlaku dan diharapkan dapat meminimalisir terjadinya
ketidaksesuaian kode diganosis penyakit. Berdasarkan hal tersebut, sebaiknya
Puskesmas Purwoharjo dapat melakukan perbaikan isi SOP pengkodingan terkait
alur pengkodingan dengan penggunaan ICD-10 dan terdapatnya kejelasan petugas
siapa saja yang dapat melakukan pengkodingan diagnosis penyakit serta
setelahnya dapat dilakukan sosialisasi ulang terkait isi perbaikan SOP tersebut.

4.4.2 Motivasi
Motivasi (motivation) dapat diartikan sebagai dorongan kekuatan dari
seseorang dalam membangkitkan semangat serta ketekunan melakukan kegiatan
tertentu untuk mencapai sesuatu yang diinginkan (Notoadmodjo, 2014). Sesuatu
yang mempengaruhi motivasi individu antara lain melalui pemberian penghargaan
(reward) dan hukuman (punishment) kepada karyawan (Pradnyani et al., 2020).
Motivasi pada penelitian ini membahas motivasi dalam pelaksanaan
pengkodingan diagnosis penyakit pasien poli umum dengan SIMPUS seperti
pemberian apresiasi reward dan punishment terkait pengkodingan diagnosis
penyakit yang telah dilakukan.
“ Reward yang pernah diberikan kepada petugas puskesmas berupa adanya pujian tetapi
dianggap kurang memotivasi serta terdapatnya pemberian kain batik namun untuk reward
kepada coder sendiri secara individu untuk pekerjaan pengkodingan secara tepat belum
pernah diberikan “
Informan 1-4

Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa sudah terdapat reward yang


diberikan pimpinan kepada coder namun bentuk reward yang diberikan menurut
coder kurang memotivasi untuk giat dalam melaksanakan pekerjaannya. Reward
yang diberikan berupa pujian ataupun pemberian batik kepada semua petugas
sebagai simbolis namun belum pernah ada reward kepada coder secara individu
sendiri terkait pengkodingan yang telah dilakukan dengan baik dan benar.
Menurut penelitian Handayani & Marpaung (2021) pemberian reward dapat
diberikan dalam bentuk uang atau barang yang bergantung pada kebijakan
pimpinan organisasi, dapat diberikan beberapa tahun sekali maupun diberikan
72

berkala secara subjektif. Dampak dari pemberian reward itu sendiri dapat
meningkatkan motivasi kerja bagi petugas yang bersangkutan (Wijayanti &
Nuraini, 2018). Belum pernah adanya reward kepada coder secara individu yang
telah melakukan pekerjaannya dengan baik dan benar di Puskesmas Purwoharjo
dapat memicu kurangnya motivasi dalam bekerja. Kurangnya motivasi petugas
karena tidak adanya penghargaan yang diberikan berakibat pada menurunnya
kinerja petugas dalam melakukan pekerjaannya. Adanya kinerja coder yang
menurun dapat memicu timbulnya ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien
poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS.
“ Punishment yang ada di Puskesmas Purwoharjo dalam bentuk seperti teguran. “
Informan 1-4

Motivasi yang diperoleh selain dari reward, juga dapat didorong oleh
adanya punishment. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa punishment
yang ada di Puskesmas Purwoharjo berbentuk teguran namun tidak semata-mata
diberikan secara langsung kepada petugas yang bermasalah. Punishment berupa
teguran dapat diberikan setelah dilakukan penelusuran terhadap penyebab
masalah. Teguran dapat diberikan jika setelah penggalian masalah ditemukan
memang karena adanya kinerja yang buruk dari diri petugas itu sendiri.
“ Teguran yang diberikan kepada petugas tidak secara langsung diberikan namun dapat
dicari terlebih dahulu akar penyebab dari masalah tersebut. Jika penyebab masalahnya
berasal dari diri petugas itu sendiri maka hal tersebut dapat diberikan teguran hingga sanksi
seperti permasalahan laporan data penyakit yang dicari dulu akar penyebab masalah tidak
langsung kesalahan dilimpahkan kepada petugas dimana akhirnya diketahui bahwa masalah
tersebut terjadi karena dari segi SIMPUS yang belum berkesinambungan sendiri dan bukan
dari coder, untuk itu teguran tidak dapat diberikan langsung kepada coder“
Informan 3,4

“...Pengkodingan diagnosis penyakit pasien poli umum belum pernah mendapat teguran dan
hanya sekedar wejangan untuk segera menyelesaikan pekerjaan masing-masing “
Informan 1,2

Berdasarkan hasil wawancara tersebut diketahui bahwa coder tidak pernah


mendapat sanksi terkait proses penegakan diagnosis penyakit poli umum. Sanksi
hanya diberikan terhadap permasalahan yang timbul karena kinerja petugas itu
sendiri. Teguran yang diberikan atau kalau perlu adanya sanksi, akan dapat
73

memberikan efek takut pada para karyawan akan pemberhentian kerja atau
penurunan pangkat, dan sebagainya (Munawaroh, 2019). Penelitian Nurjannah
(2020) menyatakan bahwa adanya pemberian reward ataupun punishment kepada
coder dapat memotivasi dalam menjalankan pekerjaannya agar dapat
meningkatkan ketepatan kode dengan hasil yang optimal. Adanya motivasi yang
diberikan dapat menambah rasa semangat dari petugas itu sendiri untuk
melakukan pekerjaannya (Rachmawati et al., 2020). Berdasarkan hal tersebut,
pemberlakuan pemberian punishment terhadap coder yang tidak melaksanakan
kerjanya sesuai standar yang berlaku dapat lebih memotivasi petugas dalam
bekerja agar selalu mengikuti acuan standar yang ada serta terdapatnya pemberian
reward kepada coder sendiri lebih memotivasi coder dalam bekerja. Motivasi
sangat penting untuk diberikan kepada coder melalui baik reward maupun
punishment sebagai bentuk dorongan agar coder dapat bekerja lebih giat untuk
menghasilkan penegakan kode yang lebih baik dan memungkinkan dapat
mengurangi adanya ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pada rekam medis
dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo.

4.5 Menentukan prioritas penyebab masalah ketidaksesuaian kode diagnosis


penyakit pasien poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS di
Puskesmas Purwoharjo dengan metode penilaian Urgency, Seriousness,
and Growth (USG)
Penelitian ini memakai metode Urgency, Seriousness, and Growth (USG)
dalam penentuan prioritas masalah. Metode ini digunakan sebagai alat penentuan
prioritas masalah melalui tingkat urgency masalah, keseriusan masalah serta
perkembangan masalah yang ada. Berdasarkan hasil uraian permasalahan yang
ada terkait faktor penyebab ketidaksesuain kode diagnosis penyakit pasien poli
umum pada rekam medis dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo, tertera pada
tabel 4.2 berikut :
74

Tabel 4.2 Identifikasi Penyebab Ketidaksesuaian Kode Diagnosis Penyakit Pasien Poli Umum
pada Rekam Medis dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo

No. Variabel Penyebab masalah Dampak


1. Pengetahuan Coder kurang mengetahui tata Dapat menimbulkan
cara pengkodingan dengan ICD- ketidaktahuan coder mengenai
10 karena belum termuat dalam ketentuan-ketentuan atau
SOP. aturan-aturan penggunaan kode
tertentu dalam ICD-10 yang
kemudian timbul kode yang
dituliskan dapat tidak sesuai
walaupun diagnosisnya sama.
2. Sikap Sikap kurang mendukung proses Penggunaan buku kumpulan
pengkodingan diagnosis kode diagnosis penyakit
penyakit sesuai standar daripada ICD-10 dapat
klasifikasi yang dilakukan oleh berpengaruh ke pengetahuan
coder karena lebih memilih coder karena dapat
penggunaan buku kumpulan menyebabkan coder kurang
kode diagnosis milik coder mengetahui ketentuan-ketentuan
daripada ICD-10. terkait kode diagnosis maupun
pengetahuan penunjang lainnya
terkait koding yang tidak
tercantum dalam buku
kumpulan kode diagnosis
melainkan ada pada ICD-10
serta terdapatnya beberapa
perbedaan kode antara buku
kumpulan koding dengan kode
di ICD-10 dapat menimbulkan
kesalahan dalam pengkodingan.
2. Prasarana Kurang maksimalnya Menumpuknya beban kerja
penggunaan prasarana untuk coder yang dapat membuat
membantu proses pengkodingan coder kurang teliti dalam
dikarenakan beberapa prasarana pelaksanaan pengodean serta
komputer rusak, printer tidak coder kesulitan untuk melihat
dapat dipakai serta kadang kala data lengkap pasien yang ada
jaringan internet bermasalah pada SIMPUS untuk proses
pengkodingan diagnosis
penyakit pasien poli umum
Tidak terdapatnya buku Coder melakukan pengkodingan
ICD/Aplikasi ICD diagnosis penyakit
menggunakan bantuan buku
kumpulan kode diagnosis yang
belum sesuai standar klasifikasi
di Indonesia
3. Pelatihan Belum adanya pelatihan Jika terdapat pelatihan dapat
pengkodingan oleh coder menambah pengetahuan coder
terkait pengkodingan diagnosis
serta dapat digunakan untuk
pertimbangan jenjang karir
4. SOP Belum terdapatnya kejelasan isi Coder kurang mengetahui tata
SOP terkait langkah-langkah cara pengkodingan dengan ICD-
pengkodingan ICD-10 baik 10
untuk SIMPUS ataupun rekam
75

No. Variabel Penyebab masalah Dampak


medis serta kejelasan petugas
siapa saja yang melakukan
pengkodingan diagnosis
penyakit.
Adanya sosialisasi SOP Terdapat coder yang belum
pengkodingan yang hanya mengerti isi SOP pengkodingan
dilakukan pada awal setelah diagnosis penyakit seperti
SOP selesai dibuat pegawai baru yang dapat
mempengaruhi kinerja pegawai
tersebut
5. Motivasi Belum pernah ada pemberian
reward secara individu kepada
coder yang telah melaksanakan
Coder kurang termotivasi untuk
pekerjaanya dengan baik
giat dalam melaksanakan
Tidak terdapatnya sanksi tegas
pekerjaannya.
kepada coder yang tidak
melaksanakan pekerjaanya
dengan baik

Berdasarkan tabel 4.2 mengenai penyebab ketidaksesuaian kode diagnosis


penyakit pasien poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS di Puskesmas
Purwoharjo akan dilakukan scoring penilaian yang kemudian dilakukan
penjumlahan masing-masing scoring dari Urgency, Seriousness, dan Growth.
Penjumlahan scoring dari Urgency, Seriousness, Growth akan ditemukan total
jumlah scoring untuk setiap penyebab masalah yang kemudian diberikan ranking
guna mengetahui urutan masalah yang menjadi prioritas utama dalam penyebab
ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis
dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo.
Tabel 4.3 Hasil Perhitungan Menggunakan USG
Penyebab Masalah Urgency Seriousness Growth Total Ranking
Coder kurang mengetahui tata
cara pengkodingan dengan ICD-
19 19 18 56 III
10 karena belum termuat dalam
SOP.
Sikap kurang mendukung proses
pengkodingan diagnosis penyakit
sesuai standar klasifikasi yang
dilakukan oleh coder karena lebih 12 12 12 36 VIII
memilih penggunaan buku
kumpulan kode diagnosis milik
coder daripada ICD-10.
Kurang maksimalnya penggunaan
prasarana untuk membantu proses 20 19 18 57 II
pengkodingan dikarenakan
76

Penyebab Masalah Urgency Seriousness Growth Total Ranking


beberapa prasarana komputer
rusak, printer tidak dapat dipakai
serta kadang kala jaringan internet
bermasalah
Tidak terdapatnya buku
9 10 11 30 IX
ICD/Aplikasi ICD
Belum adanya pelatihan
20 20 20 60 I
pengkodingan oleh coder
Belum terdapatnya kejelasan isi
SOP terkait langkah-langkah
pengkodingan ICD-10 baik untuk
SIMPUS ataupun rekam medis 16 16 17 49 IV
serta kejelasan petugas siapa saja
yang melakukan pengkodingan
diagnosis penyakit.
Adanya sosialisasi SOP
pengkodingan yang hanya
16 16 16 48 V
dilakukan pada awal setelah SOP
selesai dibuat
Belum pernah ada pemberian
reward secara individu kepada
15 15 15 45 VI
coder yang telah melaksanakan
pekerjaanya dengan baik
Tidak terdapatnya sanksi tegas
kepada coder yang tidak
15 12 12 39 VII
melaksanakan pekerjaanya
dengan baik

Berdasarkan tabel 4.3 ranking penyebab masalah tersebut diketahui urutan


prioritas yang menjadi faktor penyebab ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit
pasien poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo
adalah belum adanya pelatihan pengkodingan oleh coder, kurang maksimalnya
penggunaan prasarana untuk membantu proses pengkodingan dikarenakan
beberapa prasarana komputer rusak, printer tidak dapat dipakai serta kadang kala
jaringan internet bermasalah, coder kurang mengetahui tata cara pengkodingan
dengan ICD-10 karena belum termuat dalam SOP, belum terdapatnya kejelasan isi
SOP terkait langkah-langkah pengkodingan ICD-10 baik untuk SIMPUS ataupun
rekam medis serta kejelasan petugas siapa saja yang melakukan pengkodingan
diagnosis penyakit, adanya sosialisasi SOP pengkodingan yang hanya dilakukan
pada awal setelah SOP selesai dibuat, belum pernah adanya pemberian reward
secara individu kepada coder yang telah melaksanakan pekerjaanya dengan baik,
tidak terdapatnya sanksi tegas kepada coder yang tidak melaksanakan pekerjaanya
77

dengan baik, sikap kurang mendukung proses pengkodingan diagnosis penyakit


sesuai standar klasifikasi yang dilakukan oleh petugas pengkodingan karena lebih
memilih penggunaan buku kumpulan kode diagnosis milik coder daripada ICD-
10, serta tidak terdapatnya buku ICD/Aplikasi ICD. Pelaksanaan USG untuk
menentukan ranking permasalahan yang telah dilakukan bersama beberapa
petugas telah disepakati untuk pengambilan prioritas masalah yang akan
dilakukan diskusi untuk pencarian upaya perbaikan masalah adalah prioritas
masalah dengan ranking 1,2, dan 3 yang terdapat pada tabel 4.4 berikut ini :
Tabel 4.4 Prioritas Masalah
Penyebab Masalah U S G Total Ranking
Belum adanya pelatihan pengkodingan
20 20 20 60 I
oleh coder
Kurang maksimalnya penggunaan
prasarana untuk membantu proses
pengkodingan dikarenakan beberapa
20 19 18 57 II
prasarana komputer rusak, printer tidak
dapat dipakai serta kadang kala
jaringan internet bermasalah
Coder kurang mengetahui tata cara
pengkodingan dengan ICD-10 karena 19 19 18 56 III
belum termuat dalam SOP.

4.6 Merumuskan upaya perbaikan dengan brainstorming terhadap faktor


penyebab ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli umum
pada rekam medis dengan SIMPUS di Puskesmas Purwoharjo
Penyusunan upaya rekomendasi penyelesaian atau solusi atau rumusan
upaya perbaikan dari beberapa permasalahan terkait penyebab ketidaksesuaian
kode diagnosis penyakit pasien poli umum pada rekam medis dengan SIMPUS di
Puskesmas Purwoharjo dilakukan dengan kegiatan brainstorming dengan
beberapa petugas yang menjadi informan dalam penelitian ini serta didasarkan
pada hasil USG. Dari hasil USG terdapat 3 prioritas maslaah utama yang telah
disepakati oleh seluruh peserta diskusi. Penyusunan upaya perbaikan dari
permasalahan yang terdapat pada hasil USG dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut
ini :
78

Tabel 4.5 Upaya Perbaikan Menggunakan Brainstorming

No. Penyebab Masalah Solusi


1. Belum adanya pelatihan pengkodingan Usulan untuk diikutkannya coder dalam
oleh petugas koding pelatihan koding
2. Kurang maksimalnya penggunaan Diadakan perbaikan terhadap prasarana yang
prasarana untuk membantu proses rusak kemudian dilakukan pengecekan
pengkodingan dikarenakan beberapa berkala atau maintenance terhadap prasarana
prasarana komputer rusak, printer tidak yang ada sebanyak 2 atau 3x dalam setahun.
dapat dipakai serta kadang kala jaringan Diberikannya buku/Aplikasi ICD-10 dalam
internet bermasalah proses pengkodingan diagnosis penyakit.
Penempelan SOP pengkodingan di ruang
pengkodingan diagnosis penyakit.yang telah
dilakukan perbaikan terkait isi SOP tersebut.
3. Petugas pengkodingan kurang Adanya perbaikan isi SOP yang kemudian
mengetahui tata cara pengkodingan dilakukan sosialisasi kembali (ulang) terkait
dengan ICD-10. isi perbaikan SOP pengkodingan diagnosis
penyakit.
79

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
a. Angka ketidaksesuaian kode diagnosis penyakit pasien poli umum pada
rekam medis dengan SIMPUS sebesar 43% dan 57 % data sudah sesuai.
b. Pengetahuan coder terkait tata cara pengkodingan diagnosis penyakit
dengan ICD-10 masih kurang sebab belum tercantum dalam SOP serta
sikap petugas pengkodingan yang kurang mendukung dalam penegakan
diagnosis penyakit sesuai standar yang berlaku.
c. Prasarana komputer yang rusak, printer tidak dapat dipakai, jaringan
internet bermasalah, tidak ada buku/Aplikasi ICD yang membantu proses
pengkodingan sesuai standar serta belum pernah ada pelatihan
pengkodingan bagi coder.
d. Tidak ada kejelasan isi SOP terkait alur pengkodingan ICD-10 serta
kejelasan petugas siapa saja yang melakukan pengkodingan diagnosis
penyakit serta belum adanya pemberian reward secara individu atau
punishment kepada coder dalam bekerja.
e. Prioritas masalah dari hasil USG meliputi coder belum pernah mengikuti
pelatihan koding, prasarana pengkodingan kurang memadai seperti
komputer, printer, jaringan internet masih bermasalah serta pengetahuan
coder yang masih kurang terkait tata cara pengkodingan dengan ICD-10.
f. Upaya perbaikan masalah yang dapat diusulkan meliputi diikutkannya
coder dalam pelatihan koding, diadakan perbaikan terhadap prasarana
yang rusak kemudian dilakukan pengecekan berkala atau maintenance
terhadap prasarana yang ada sebanyak 2 atau 3x dalam setahun,
diberikannya buku/Aplikasi ICD-10 dalam proses pengkodingan diagnosis
penyakit pasien poli umum, adanya perbaikan isi SOP serta sosialisasi
kembali (ulang) isi SOP.
80

5.2 Saran
a. Pihak Puskesmas Purwoharjo dapat mengusulkan coder untuk dapat
diikutkan dalam pelatihan pengkodingan diagnosis penyakit.
b. Pihak Puskesmas Purwoharjo perlu mengadakan perbaikan terhadap
prasarana yang rusak serta dapat dilakukan pengecekan berkala atau
maintenance terhadap prasarana pengkodingan yang ada sebanyak 2 atau
3x dalam setahun.
c. Pihak Puskesmas Purwoharjo diharapkan dapat menyediakan
buku/aplikasi ICD-10 guna membantu coder melakukan proses
pengkodingan diagnosis penyakit sesuai standar yang berlaku di
Indonesia.
d. Pihak Puskesmas Purwoharjo diharapkan dapat melakukan perbaikan isi
SOP terkait langkah-langkah pengkodingan diagnosis penyakit dengan
ICD serta petugas siapa saja yang dapat melakukan pengkodingan
diagnosis penyakit.
e. Pihak Puskesmas Purwoharjo perlu melakukan sosialisasi ulang perbaikan
isi SOP terkait langkah-langkah pengkodingan diagnosis penyakit dengan
ICD serta petugas siapa saja yang dapat melakukan pengkodingan
diagnosis penyakit.
f. Pihak Puskesmas dapat menempelkan SOP pengkodingan di ruang
pengkodingan diagnosis penyakit.yang telah dilakukan perbaikan terkait
isi SOP tersebut.
81

DAFTAR PUSTAKA

Anggrianni, S., Adji, I. S., Mustofa, A., & Wajdi, M. F. (2017). Kepuasan Pasien
Rawat Inap dan Rawat JalanTerhadap Pelayanan Gizi Pasien Diet Diabetes
Melitus. Jurnal Ekonomi Manajemen Sumber Daya, 19(1), 74–83.

Aulia, N. R. (2017). Faktor Human, Organization, dan Technology dalam


Penggunaan Aplikasi SIMPUS Untuk Pendaftaran Pasien di Puskesmas
Mulyorejo Surabaya. The Indonesian Journal of Public Health, 12(2), 237–
248. https://doi.org/10.20473/ijph.v12i2.2017.237-248

Cahyono, N. P. D., Munawir, A., & Rohkman, D. (2021). Pengaruh Faktor


Predisposing Terhadap Perilaku Ketepatan Pengisian Kode Penyakit Rawat
Inap pada Klaim JKN (di Era Vedika (Verifikasi Di Kantor) Rumah Sakit
Daerah Lumajang. MID-Z(Midwifery Zigot) Jurnal Ilmiah Kebidanan, 1(2),
13–20. https://jmiki.aptirmik.or.id/index.php/jmiki/article/download/58/44

Christy, J., & Siagian, E. E. (2021). Ketidaktepatan Kode Diagnosis Kasus


Neoplasma Menggunakan ICD-10 di RSUP H.Adam Malik Medan Tahun
2019. Perekam Dan Informasi Kesehatan Imelda, 6(1), 23–30.
http://jurnal.uimedan.ac.id/index.php/JIPIKI/article/view/477/451

Depkes RI. (2006). Pedoman Pengelolaan Rekam Medis Rumah Sakit Di


Indonesia (Revisi II). Direktorat Jenderal Pelayanan Medik.

Dewi, I. I., Rachmawati, E., & Pandeangan, J. (2021). Analisis Faktor Kinerja
Penyediaan Berkas Rekam Medis Rawat Jalan Non Perjanjian di RSUPN
Dr. Cipto Mangunkusumo. Politeknik Negeri Jember.
https://sipora.polije.ac.id/5244/

Dewi, N. W. S. D. (2017). Studi Penerapan Standar Operasional Prosedur (Sop)


Pemasangan Infus pada Pasien Dewasa di IGD RSU Bahteramas Provinsi
Sulawesi Tenggara Karya. 6–20. http://repository.poltekkes-
kdi.ac.id/351/1/KARYA TULIS ILMIAH NI WAYAN SINTIA DEWI.pdf

Dinata, A. (2018). Pendampingan Penyusunan DRD Pembangunan Puskesmas


Kecamatan Dempo Utara Kota Pagar Alam. Ngabdimas, 1(1), 1–5.
https://doi.org/10.36050/ngabdimas.v1i1.89

Dinda, A. D., & Putra, H. N. (2022). Analisis Faktor yang Mempengaruhi


Keakuratan Pengkodean Diagnosis Penyakit Berdasarkan ICD-10 di
Puskesmas Siulak Gedang Kerinci 2021. Administration & Health
Information of Journal, 3(1), 151–155.
http://ojs.stikeslandbouw.ac.id/index.php/ahi/article/view/288
82

Fatmalla, L. I. L. (2018). Dampak Ketepatan Kode Penyakit Berdasarkan ICD-10


Terhadap Laporan LB 1 di Puskesmas Mlati I SLeman [Program Studi D3
Universitas Jenderal Achmad Yani].
http://repository.unjaya.ac.id/2982/4/Larika Ikko Lambada
Fatmalla_INTISARI.pdf

Ferdianto, A., & Lutfiati. (2021). Analisis Keakuratan Kodefikasi Rekam Medis
Pasien Rawat Inap Bedah Orthopedi Berdasarkan ICD-10 di RSUD
dr.Mohammad Zyn Kabupaten Sampang. Jurnal Manajemen Informasi
Kesehatan Indonesia, 9(2), 175–179.

Gabriele. (2018). Analisis Penerapan Standar Operasional Prosedur (SOP) di


Departemen Marketing dan HRD PT. Cahaya Indo Persada. Jurnal AGORA,
6(1), 1–10.

Gishella, S. (2018). Analisis Penerapan Standard Operational Procedure Dalam


Proses Produksi pada PT Pertiwimas Adi Kencana. Agora, 6(2).

Handayani, M., & Marpaung, N. (2021). Implementasi Metode Vikor Sebagai


Pendukung Keputusan Penentuan Karyawan Penerima Reward. Journal of
Science and Social Research, 4(2), 171.
https://doi.org/10.54314/jssr.v4i2.581

Harjanti, & Wariyanti, A. S. (2020). Ketepatan Kode Diagnosis di Era Jaminan


Kesehatan Nasional (JKN). Link, 16(2), 98–104.
https://doi.org/10.31983/link.v16i2.6369

Harwaty, I., Hakim, A. A. A. A., & Ardiansyah, V. (2019). Pengaruh Knowledge


Sharing Dan Transfer of Trainining Terhadap Kinerja Pegawai Balai
Wilayah Sungai Sulawesi Iv Provinsi Sulawesi Tenggara. Mega Aktiva:
Jurnal Ekonomi Dan Manajemen, 8(2), 128.
https://doi.org/10.32833/majem.v8i2.96

Hasanah, N., Kusmiyati, & Sulistyowati, D. (2020). Pemberdayaan Anggota


Kelompoktani Melalui Penerapan Tumpangsari Budidaya Ubi Jalar dengan
Tanaman Jagung Manis di Kecamatan Cibeber Kabupaten Cianjur, Jawa
Barat. Penyuluhan Pertanian, 15(1), 35–52. https://jurnal.polbangtan-
bogor.ac.id/index.php/jpp/article/view/431/413

Hasanah, R. R. (2018). Analisis Faktor Penyebab Ketidaktepatan Kode Diagnosis


Pasien BPJS Unit Rawat Inap di Rumah Sakit Mitra Medika Bondowoso. In
Politeknik Negeri Jember. Politeknik Negeri Jember.

Hatta, G. (2014). Pedoman Manajemen Informasi Kesehatan di Sarana


Pelayanan Kesehatan (Edisi Revi). UI-Press.
83

Hidayat, R., & Hayati, H. (2019). Pengaruh Pelaksanaan SOP Perawat Pelaksana
Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien di Rawat Inap RSUD Bangkinang.
Jurnal Ners, 3(2), 84–96.

Hudayana, E. C. (2021). Evaluasi Kebijakan Tentang Standar Operasional


Prosedure Administrasi Pemerintahan di Lingkungan Sekretarat Daerah
Kabupaten Tasikmalaya. JAK PUBLIK (Jurnal Administrasi & Kebijakan …,
2(1), 1–8. http://administrasiku.com/index.php/jakp/article/view/50

Indawati, L. (2019). Analisis Akurasi Koding pada Pengembalian Klaim BPJS


Rawat Inap di RSUP Fatmawati Tahun 2016. Jurnal Manajemen Informasi
Kesehatan Indonesia, 7(2), 113. https://doi.org/10.33560/jmiki.v7i2.230

Irmawati, & Nazillahtunnisa, N. (2019). Keakuratan Kode Diagnosis Penyakit


Berdasarkan ICD-10 pada Rekam Medis Rawat Jalan di Puskesmas. Jurnal
Rekam Medis Dan Informasi Kesehatan, 2(2), 100.
https://doi.org/10.31983/jrmik.v2i2.5359

Irmawati, S., Sultan, H., & Nurhannis. (2017). Kualitas Pelayanan Kesehatan di
Puskesmas Sangurara Kecamatan Tatanga Kota Palu. Katalogis, 5(1), 188–
197. https://media.neliti.com/media/publications/157122-ID-kualitas-
pelayanan-kesehatan-di-puskesma.pdf

Irwan. (2017). Etika dan Perilaku Kesehatan (Cetakan I). CV. Absolute Media.

Isnaini, V. A. (2019). Strategi Perbaikan Ketidaktepatan Kodefikasi Berkas


Rekam Medis Pasien Rawat Jalan Berdasarkan ICD-10 dengan PDCA di
Puskesmas Sukodono Lumajang. Prosiding Seminar Rekam Medik Dan
Informasi Kesehatan, 1(1), 7–8.
https://publikasi.polije.ac.id/index.php/prosidingrmd/article/view/1536

Kemenkes RI. (2018). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


47 Tahun 2018 Tentang Pelayanan Kegawatdaruratan. In Menteri Kesehatan
Republik Indonesia.

Kemenkes RI. (2020). Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 312 Tahun 2020
Tentang Standar Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan. Menteri
Kesehatan Republik Indonesia.

Kepmenkes RI. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


128/MENKES/SK/II/2004 Tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan
Masyarakat. In Menteri Kesehatan RI.

Kurnianingsih, W. (2020). Hubungan Pengetahuan Coder dengan Keakuratan


Kode Diagnosis Pasien Rawat Jalan BPJS Berdasarkan ICD – 10 di Rumah
84

Sakit Nirmala Suri Sukoharjo. Jurnal Manajemen Informasi Dan


Administrasi Kesehatan (JMIAK), 3(01).
https://doi.org/10.32585/jmiak.v3i01.680

Maimun, N., Natassa, J., Trisna, W. V., & Supriatin, Y. (2018). Pengaruh
Kompetensi Coder Terhadap Keakuratan dan Ketepatan Pengkodean
Menggunakan ICD 10 di Rumah Sakit X Pekanbaru Tahun 2016.
KESMARS: Jurnal Kesehatan Masyarakat, Manajemen Dan Administrasi
Rumah Sakit, 1(1), 31–43. https://doi.org/10.31539/kesmars.v1i1.158

Maimun, N., & Silitonga, T. D. (2021). Analisis Keakuratan Kodefikasi Diagnosis


Frakture pada Berkas Rekam Medis di Rumah Sakit “X” Pekanbaru.
Ensiklopedia of Journal ANALISIS, 3(2), 247–251.
http://jurnal.ensiklopediaku.org

Maryati, W., Rahayuningrum, I. O., & Sari, N. P. (2020). Dampak Beban Kerja
Coder yang Tinggi Terhadap Ketidakakuratan Kode Diagnosis. Jurnal
Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia, 8(1), 49.
https://doi.org/10.33560/jmiki.v8i1.252

Meilina, & Bernator, I. (2021). Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan


Perawat Terhadap Kepuasan Pasien. Jurnal Administrasi Bisnis (Jab), 11(1),
1–6. https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jab/article/view/33534/31735

Menkes RI. (2006). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:


844/Menkes/SK/X/2006 Tentang Penetapan Standar Kode Data Bidang
Kesehatan (pp. 1–15).

Mujani, S., & Irvani, D. (2020). Sikap dan Perilaku Warga Terhadap Kebijakan
Penanganan Wabah Covid-19. Politika: Jurnal Ilmu Politik, 11(2), 219–238.
https://doi.org/10.14710/politika.11.2.2020.219-238

Munawaroh, A. (2019). Pengaruh Kompetensi dan Motivasi Kerja Terhadap


Kinerja Perawat di Rumah Sakit Paru Mangunharjo Madiun Tahun 2019
(Vol. 52, Issue 1) [STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN].
http://repository.stikes-bhm.ac.id/559/

Nabila, S. F., Santi, M. W., & Deharja, A. (2020). Analisis Faktor Penyebab
Pending Klaim Akibat Koding Berkas Rekam Medis Pasien Rawat Inap.
Jurnal Rekam Medik Dan Informasi Kesehatan, 1(4), 519–528.

Notoadmodjo, S. (2014). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan (Cetakan


Pe). Rineka Cipta.

Nurjannah, S. (2020). Analisis Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Petugas


85

Koder Dalam Proses Coding Ina-Cbg’s Rawat Inap di Rumah Sakit Umum
Haji Surabaya [Universitas Airlangga]. https://repository.unair.ac.id/102682/

Oktamianiza, D. L. (2019). Analisis Pendayagunaan Tenaga Rekam Medis di


Puskesmas Kota Padang. Indonesian of Health Information Management
Journal, 7(2), 86–90.

Oktavia, N. (2017). Gambaran Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap


Ketepatan Kode Diagnosa Pasien Jiwa dengan Skizofrenia pada DRM Rawat
Inap Ruang Murai B di RSKJ Soeprapto Bengkulu. Jurnal Manajemen
Informasi Kesehatan (Health Information Management), 2(2), 10–14.
https://doi.org/10.51851/jmis.v2i2.34

Oktavia, N., & Azmi, I. N. (2019). Gambaran Faktor yang Berpengaruh Terhadap
Ketepatan Kode Diagnosa Dokumen Rekam Medik Pasien Skizofrenia di
RSKJ Soeprapto Bengkulu. Jurnal Ilmiah Farmacy, 6(1), 1–11.
http://jurnal.stikesalfatah.ac.id/index.php/jiphar/article/view/3/4

Oktavianti, F. N. (2018). Analisis Tata Ruang Dalam Kenyamanan Bekerja dan


Optimalisasi Kinerja Bagian Humas dan Protokol Sekretariat DRPD Kota
Surakarta. Jurnal Informasi Dan Komunikasi, 2(3), 72–84.
http://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/jikap

Permenaker. (2022). Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Iindonesia


Nomor 5 Tahun 2022 Tentang Akreditasi Lembaga Pelatihan Kerja. Menteri
Ketenagakerjaan Republik Indonesia.

Permenkes RI. (2008). Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor


269/MENKES/PER/III/2008 Tentang Rekam Medis. In Menteri Kesehatan
Republik Indonesia.

Permenkes RI. (2013). Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 55 Tahun 2013


Tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Perekam Medis.

Permenkes RI. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


44 Tahun 2016 Tentang Pedoman Manajemen Puskesmas.

Permenkes RI. (2018). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


31 Tahun 2018 Tentang Aplikasi Sarana, Prasarana, dan Alat Kesehatan. In
Permenkes.

Permenkes RI. (2019). Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 43 Tahun 2019


Tentang Pusat Kesehatan Masyarakat.

Permenpan No. 30. (2013). Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara


86

dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2013 Tentang


Jabatan Fungsional Perekam Medis dan Angka Kreditnya. Republik
Indonesia.

Pertiwi, J. (2019). Faktor Yang Mempengaruhi Akurasi Koding Diagnosis di


Rumah Sakit. Smiknas, 41–50.
http://ojs.udb.ac.id/index.php/smiknas/article/view/692

Pradnyani, G. A. A. ., Rahmawati, P. I., & Suci, N. M. (2020). Pengaruh Reward


dan Punishment Terhadap Motivasi Kerja Karyawan pada CV Ayudya
Tabanan Bali. Jurnal Manajemen Dan Bisnis, 2(1), 21–30.
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/Prospek/article/download/26186/15
506

Pramono, A. E., Ratnasari, A., & Ramadhan, A. (2020). Kontinuitas Kode ICD-
10: Studi Kasus Diabetes Mellitus pada Pasien Prolanis di Puskesmas
Gondomanan Kota Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional Rekam Medik
& Informasi Kesehatan, 47–53.
https://publikasi.aptirmik.or.id/index.php/snarsjogja/article/view/96

Prastiwi, N. L. P. E. (2021). Peningkatan Kinerja Pegawai Melalui Knowledge


Sharing, Pelatihan dan Kompetensi. Jurnal Artha Satya Dharma, 14(1), 35–
41. http://ojs.stie-satyadharma.ac.id/ojs/index.php/ASD/article/view/65/61

Priyadi, G., & Lestari, C. D. (2020). Tinjauan Keakuratan Kodefikasi Tindakan


Kasus Bedah Pasien Rawat Inap Tahun 2017. Media Informasi, 16(1), 18–
23. https://doi.org/10.37160/bmi.v16i1.382

Purba, S., Revida, E., Parinduri, L., Purba, B., Purba, M. P. B., Tasnim, Sara, P.,
Pasetya, A. B., Sherly, & Leuwol, N. V. (2020). Perilaku Organisasi
(Cetakan 1). Yayasan Kita Menulis.

Putri, A. A. (2018). Analisis Keakuratan Kode Diagnosis Penyakit Berdasarkan


ICD-10 Dalam Rekam Medis Rawat Jalan di Puskesmas Tlogosari Kulon
Kota Semarang. Poltekkes Kemenkes Semarang.

Putri, M. A., & Yenni, R. A. (2022). Analisis Keakuratan Kode Diagnosa


Penyakit Berdasarkan ICD-10 di RSUD M. Natsir Solok. Administration &
Health Information of Journal, 3(1), 53–62.
http://ojs.stikeslandbouw.ac.id/index.php/ahi

Qurrota, Q., & Puspita, K. (2017). Tinjauan Pelaksanaan Pengodean Diagnosis


Penyakit pada Pasien Rawat Jalan di RSUD Tugurejo Provinsi Jawa Tengah.
Media Ilmu Kesehatan, 6(2), 139–147.
https://ejournal.unjaya.ac.id/index.php/mik/article/download/189/188/
87

Rachmawati, E., Fadillah, A. R., Nuraini, N., & Erawantini, F. (2020). Analisis
Penyebab Keterlambatan Pengembalian Berkas Rekam Medis Rawat Jalan di
Rumah Sakit Mitra Medika Bondowoso. J-REMI : Jurnal Rekam Medik Dan
Informasi Kesehatan, 2(1), 64–72. https://doi.org/10.25047/j-remi.v2i1.2213

Rahmadhani, I., Wijayanti, R. A., & Nuraini, N. (2020). Analisis Ketidaksesuaian


Kode Diagnosis pada SIMRS dengan Berkas Klaim BPJS Klinik Obgyn. J-
REMI : Jurnal Rekam Medik Dan Informasi Kesehatan, 1(4), 545–552.
https://publikasi.polije.ac.id/index.php/j-remi/article/viewFile/2075/1471

Rahmawati, E. N., & Lestari, S. (2018). Tinjauan Keakuratan Kode Sebab Dasar
Kematian pada Sertifikat Kematian di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro
Klaten. Journal of Chemical Information and Modeling, 8(9), 86–97.

Ramayanti, Semiarty, R., & Lestari, Y. (2019). Analisis Pelaksanaan Program


Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Nosokomial di RSUD Pasaman Barat
(Standar Akreditasi Versi 2012). Jurnal Kesehatan Andalas, 8(3), 617.
https://doi.org/10.25077/jka.v8i3.1050

Rewah, D. R., Sambiran, S., & Pangemanan, F. (2020). Efektivitas Penerapan


Sistem Informasi Manajemen Puskesmas (SIMPUS) di Kota Manado (Studi
Puskesmas Bahu). Jurnal Eksekutif, 2(5), 1–10.
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jurnaleksekutif/article/view/30201

Ristiani, I. Y. (2017). Pengaruh Sarana Prasarana dan Kualitas Pelayanan


Terhadap Kepuasan Pasien (Studi pada Pasien Rawat Jalan Unit Poliklinik
IPDN Jatinegoro). Jurnal Coopetition, 8(2), 155–166.
https://ikopin.ac.id/jurnal/index.php/coopetition/article/download/34/35.pdf

Rukajat, A. (2018). Pendekatan Penelitian Kuantitatif Quantitative Research


Approach (Edisi I). Deepublish.

Sanah, N. (2017). Pelaksanaan Fungsi Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat)


Dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Kesehatan di Kecamatan Long
Kali Kabupaten Paser. eJournal Ilmu Pemerintahan, 5(1), 305–314.
http://ejournal.ip.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2017/03/Nor
Sanah (03-01-17-09-15-45).pdf

Sanggamele, C., Kolibu, F. K., & Maramis, F. R. R. (2018). Analisis Pengelolaan


Rekam Medis di Rumah Sakit Umum Pancaran Kasih Manado. Kesmas,
7(4). https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/kesmas/article/view/22972

Sari, T. P., & Pela, T. H. (2017). Ketidaktepatan Kode Kombinasi Hypertensi


pada Penyakit Jantung dan Penyakit Ginjal Berdasarkan ICD-10 di Rumah
Sakit Islam Ibnu Sina Pekanbaru. Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan
88

Indonesia, 5(1), 53–59. https://doi.org/10.33560/.v5i1.148

Setiawan, E., & Haryati, Y. T. (2017). Public Health Center (Puskesmas)


Efficiency Level In Semarang Regency Year 2014. Economics Development
Analysis Journal, 6(3), 306–312.
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/edaj/article/view/22273

Sri, E. D., & Ali, M. (2019). Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Akurasi Kode
Diagnosis di Puskesmas Rawat Jalan Kota Malang. Jurnal Kedokteran
Brawijaya, 30(3), 228–234.
https://jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/article/view/2384

Sudra, R. I. (2017). Rekam Medis (Edisi 2). Universitas Terbuka.

Sugiono. (2019). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Cetakan


Ke). ALFABETA.

Sukesih, Usman, Budi, S., & Sari, D. N. A. (2020). Pengetahuan dan Sikap
Mahasiswa Kesehatan Tentang Pencegahan Covid-19 di Indonesia. Jurnal
Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan, 11(2), 258–264.
https://doi.org/10.26751/jikk.v11i2.835

Sulaiman, & Asanudin. (2020). Analisis Peranan Pendidikan dan Pelatihan Dalam
Peningkatan Kinerja Pegawai. Journal Akuntanika, 6(1), 38–45.
http://journal.poltekanika.ac.id/index.php/akt/article/view/140

Surajiyo, & Sriyono. (2017). Struktur Pengetahuan Ilmiah dan Sikap Ilmiah
Ilmuwan. Prosiding Diskusi Panel Pendidikan “Menjadi Guru Pembelajar,”
12–22.
https://journal.lppmunindra.ac.id/index.php/repository/article/view/1660

Syafira, N. (2020). Kesesuaian Antara Kode Diagnosis ICD-10 Dalam Rekam


Medis dan Hasil Input SIMPUS di Puskesmas Kutasari Kabupaten
Purbalingga. Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang.

Syaputra, A. (2020). Pelatihan Maintenance Komputer Pada Himpunan


Mahasiswa Teknik Informatika Kota Pagar Alam. Ngabdimas, 3(2), 75–81.
https://doi.org/10.36050/ngabdimas.v3i2.274

Thenu, V. J., Sediyono, E., & Purnami, C. T. (2016). Evaluasi Sistem Informasi
Manajemen Puskesmas Guna Mendukung Penerapan Sikda Generik
Menggunakan Metode Hot Fit di Kabupaten Purworejo. Jurnal Manajemen
Kesehatan Indonesia, 4(2), 129–138.
https://doi.org/10.14710/jmki.4.2.2016.129-138
89

Tinungki, J. P. (2019). Kewajiban Dokter Dalam Membuat Rekam Medis


Menurut Undang-Undang No 29 Tahun 2004. Lex Et Societatis, 7(5), 5–12.
https://doi.org/https://doi.org/10.35796/les.v7i5.24717

Ulfa, H. M., Octaria, H., & Sari, T. P. (2017). Analisis Ketepatan Kode Diagnosa
Penyakit Antara Rumah Sakit dan BPJS Menggunakan ICD-10 Untuk
Penagihan Klaim di Rumah Sakit Kelas C Sekota Pekanbaru Tahun 2016.
Jurnal INOHIM, 5(2), 119–124.
https://inohim.esaunggul.ac.id/index.php/INO/article/view/137

Ulya, S. (2021). Tinjauan Keakuratan Kode Diagnosis pada Poli Umum Pasien
Rawat Jalan Berdasarkan ICD-10 di Puskesmas Tanah Merah Tahun 2020.
Stikes Ngudia Husada Madura.

Wijayanti, R. A., & Nuraini, N. (2018). Analisis Faktor Motivasi, Opportunity,


Ability dan Kinerja Petugas Program Kesehatan Ibu di Puskesmas. Jurnal
Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia, 6(1), 7.
https://doi.org/10.33560/.v6i1.178

Wiranata, A., & Chotimah, I. (2020). Gambaran Kelengkapan Dokumen Rrekam


Medis Rawat Jalan di RSUD Kota Bogor Tahun 2019. Mahasiswa
Kesehatan Masyarakat, 3(2). http://ejournal.uika-
bogor.ac.id/index.php/PROMOTOR/article/view/4161/2363

Yani, A., & Nur, H. (2019). Faktor Penyebab Ketidaktepatan Pengodean Kasus
Cedera dengan Diagram Fishbone di RS Condong Catur Sleman Yogyakarta.
Permata Indonesia, 10(November).

Zulaikha, L. I., A‟yun, Q., & Yunita, E. (2022). Pengabdian Masyarakat Untuk
Meningkatkan Proses Pemberian Asi Eksklusif Melalui Kegiatan
Pendampingan Ibu Menyusui. Pengabdian Kepada Masyarakat, 02(02),
1267–1272. https://stp-mataram.e-journal.id/Amal/article/view/1561/1202
90

Anda mungkin juga menyukai