Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam menjalankan profesi Notaris atau menjadi seorang Notaris memiliki

pedoman untuk menjalankan dan melaksanakan tugas dan jabatannya dan selain

itu, Notaris juga adalah seorang pejabat yang memiliki kewenangan dalam

pembuatan akta autentik yang diberikan dan diatur oleh Undang-Undang, seperti

yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yaitu : “Notaris

adalah Pejabat Umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan

lainnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan

Undang-Undang lainnya”.1 Berkaitan dengan perkembangan peraturan jabatan

Notaris, Pada tahun 2004 dilakukan pembentukan dan pembuatan peraturan guna

mengikuti perkembangan hukum yang kian mengalami perubaha seiring dengan

perkembangan yang terjadi Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang jabatan

Notaris adalah produk hukumnya, yang juga menjadi penggati Staatsblad 1860 No.

30). Pelaksanaan Tugas serta Jabatan oleh seorang Notaris, secara langsung

melekatlah sebuah kewajiban serta tanggung jawab yang berkenaan kepatuhan

pada sebuah peraturan juga berkaitan dengan alat bukti yang dapat menentukan hak

dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum yang berkaitan dengan pembuktian

berupa surat atau berbentuk akta autentik.

Notaris adalah sebuah profesi yang juga memiliki peran dalam mendukung

proses penegakan hukum dalam NKRI yang terdapat pada akta otentik yang

1
Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

1
dibuatnya, dalam hal ini kedudukan akta otentik dapat dilihat dan di gambarkan

dalam suatu isi peraturan yang dapat menjadikan bayangan kedudukan akta otentik

pada Pasal 1868 KUHPerdata/BW yang berbunyi : “Suatu akta otentik adalah suatu

akta yang dalam bentuknya ditentukan Undang-Undang yang dibuat oleh atau

dihadapan pegawai umum yang berkuasa di tempat dimana akta tersebut

dibuatnya”.2 Dalam hal kewajiban seorang notaris, kewajiban merupakan hal yang

memiliki keterkaitan erat dengan kewenangan atau jabatan yang telah diemban.

Terkait dengan hal tersebut, kewajiban ini merupakan hal yang harus dilakukan dan

dijalankan, jika tidak dijalankan akan mengakibatkan bereaksinya suatu aturan

dalam bentuk penegakan sanksi atau pemberian sanksi kepada pihak yang

melanggar kewajiban yang telah berada dalam ketentuan sebuah peraturan seperti

halnya di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Disamping harus

dilaksanakannya suatu kewajiban yang telah tertera dalam Undang-Undang Jabatan

Notaris pada Pasal 16 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Kewajiban dalam

ketentuan ini dimaksudkan juga untuk menjaga keautentikan suatu Akta dengan

menyimpan Akta dalam bentuk aslinya, sehingga apabila ada pemalsuan atau

penyalahgunaan grosse, salinan, atau kutipannya dapat segera diketahui dengan

mudah dengan mencocokkannya dengan aslinya.

Berkaitan dengan hal tersebut, adapun badan/instansi yang berperan

seiring dengan berjalannya proses dan kegiatan yang dilangsungkan oleh

notaris, menteri salah satunya sebagai penyelenggara atau pihak yang

2
Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)

2
menyelenggarakan urusan pemerintahan dan membentuk beberapa badan di

bawahnya yang juga menjadi lingkup kewenangannya, badan tersebut disebut

sebagai Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia. Terkait dengan menteri

yang memiliki badan di bawahnya yakni majelis pengawasan notaris yang

selanjutnya disebut majelis pengawasan adalah suatu badan yang mempunyai

kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan

terhadap notaris. Majelis Pengawas terdiri atas unsur Pemerintahan,

Organisasi Notaris dan Ahli/Akademisi.

Sedikit membahas terkait dengan kewenangan pengawasan dimulai dari

pengawasan yang dilakukan oleh badan pengadilan. Sebelum Undang-Undang

Jabatan Notaris dibentuk dan di implementasikan atau diterapkan dalam

pelaksanaan profesi Notaris terutama dalam bidng kenotariatan yang berfungsi

sebagai pengatur, pedoman serta penggerakan penegakan hukum berkaitan

dengan kegiatan penegakan hukum seperti kegiatan pengawasan, pemeriksaan

dan penjatuhan sanksi dilakukan oleh badan pengadilan yang yang

sebelumnya pernah dibentuk menjadi sebuah aturan yang berada dalam

Lembaran Negara 1946 Nomor 135, dan Pasal 50 Peraturan Jabatan Notaris,

kegiatan penegakan hukum berupa pengawasan terhadap Notaris dilaksanakan

oleh Peradilan Umum dan Mahkamah Agung sebagaimana tersebut dalam

Pasal 32 dan 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan

dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung, setelah itu

dibentuklah sebuah aturan dalam bentuk yang berupa Surat Edaran Mahkamah

Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1984 tentang Tata Cara

Pengawasan Terhadap Notaris, Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung

3
dan Menteri Kehakiman Nomor KMA/006/SKB/VII/1987 tentang Tata Cara

Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Notaris, dan terakhir dalam

Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004. Terkait dengan hal tersebut,

meskipun Notaris diangkat oleh pemerintah (dahulu oleh Menteri Kehakiman,

sekarang oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) mengenai

pengawasannya dilakukan oleh badan peradilan, dikarenakan kekuasaan

kehakiman berada pada Departemen Kehakiman dan agar juga mengantisipasi

terjadi kekosongan hukum dalam pengaturan, pelaksanaan dan penegakan

hukum sehingga tidak menimbulkan adanya pelanggaran yang disebabkan

tidak adanya norma atau aturan yang mengatur dan penegakan hukum yang

pengaturan sebelumnya tidak dibentuk sehingga tidak terlaksana.3

Pada tahun 1999 sampai dengan 2002 perubahan terhadap Undang-

Undang Dasar (UUD) 1945 telah mengalami perubahan sebanyak 4 (empat)

kali amandemen yang secara substansi ikut mengalami perubahan sehingga

merubah dalam Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan

peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,

lingkungan peradilan tata usaha negara dan Mahkamah Konstitusi yang mana

hal tersebut berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman, yang berada di dalam

Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Sejak pengalihan kekuasaan serta kewenangan

tersebut, Notaris yang diangkat oleh Pemerintah (Menteri) tidak tepat lagi

dilakukan pengawasannya oleh instansi lain dalam badan peradilan. Menteri

sudah tidak memiliki kewenangan lagi terkait dengan hal itu. Sehingga
3
Hakiki Wari Desky. Tesis: “Peran Majelis Pengawas Daerah Notaris Dalam Mencegah
Terjadinya Perbuatan Melawan Hukum Oleh Notaris Di Kota Medan”. (Medan: Universitas
Sumatera Utara, 2017). Hlm. 6.

4
berkaitan dengan Pengawasan terhadap Notaris yang diatur dalam Pasal 54

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 telah dihapus dan dicaput oleh Pasal

91 Undang-Undang Jabatan Notaris. Dalam hal ini, Setelah diberlakukannya

Undang-Undang Jabatan Notaris, badan peradilan tidak lagi melakukan

kegiatan proses penegakan hukum berupa pengawasan, pemeriksaan dan

penjatuhan sanksi terhadap Notaris, tetapi pengawasan, pemeriksaan serta

penjatuhan sanksi dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

dengan melakukan pembentukan sebuah Majelis atau Tim Penegak Hukum

dalam bidang kenotariatan bernama Majelis Pengawas Notaris untuk

melaksanakan dan melakukan pembinaan serta pengawasan.4

Majelis Pengawas Notaris merupakan Majelis Pengawas yang dibentuk

oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, selain itu majelis ini disebut

sebagai perpanjangan tangan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam

melakukan penegakan hukum seperti melakukan pembinaan dan pengawasan

terhadap Notaris.5 Dalam Permenkumham Nomor 15 Tahun 2020 tentang Tata

Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Terhadap Notaris dalam Pasal 1 ayat (2)

menjelaskan bahwa majelis pengawas Notaris adalah yang mempunyai

kewenangan dan kewajiban melaksanakan pembinaan dan pengawasan

terhadap Notaris, Adapun dalam Pasal 2 bahwa selain memiliki peran untuk

melakukan pembinaan dan pengawasan, majelis pengawas Notaris juga dapat

melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku dan

pelaksanaan jabatan Notaris. Majelis sebagaimana yang dimaksudkan pada

4
Adjie, Habib, (2015), Majelis Pengawas Notaris Sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, PT Refika
Aditama, Bandung. Hlm. 1-3.
5
Adjie Habib. (2017), Memahami : Majelis Pengawas Notaris (MPN) dan Majelis Kehormatan
Notaris (MKN), PT Refika Aditama, Bandung Hlm. 11.

5
Pasal 2, dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi

Manusia membentuk 3 majelis pengawas yaitu Majelis Pengawas Daerah yang

terletak pada kab/kota, Majelis Pengawas Wilayah yang terletak di Ibu Kota

Provinsi dan Majelis Pengawas Pusat merupakan majelis yang terletak dan

berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Terkait dengan peran

Majelis Pengawas Notaris ini melakukan pengawasan dan pembinaan untuk

dan atas nama Menteri yang membentuk majelis ini.

Dalam hal pengawasan terhadap notaris, Kementerian Hukum Dan Hak

Asasi Manusia guna untuk mendapatkan kepastian hukum, badan tersebut

membentuk sebuah dewan yang mengemban tugas kenegaraan. Dewan

tersebut biasa disebut sebagai majelis, dalam hal majelis yang telah dibentuk

ini, memiliki kewenangan yang berbeda, yang akan dibahas dalam hal ini

adalah Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Daerah terletak di

kabupaten/kota yang dibentuk oleh Kantor Wilayah Hukum Dan Hak Asasi

Manusia terkait dengan pembagian tugas, pengawasan juga pembinaan

terhadap notaris. Peran Majelis Pengawas Daerah ini adalah sebagai dewan

pengawas yang mengawasi notaris agar dalam melaksanakan tugas dan

kewajibannya dalam jabatannya dapat terkoordinir dan sistematis sehingga

memiliki kesesuain antara peraturan dengan pelaksanaan tugas dan kewajiban

dalam jabatannya. Dalam hal ini juga, Majelis Pengawas Daerah mempunyai

wewenang untuk menerima laporan dari masyarakat dan dari notaris lainnya

serta memeriksa adanya dugaan pelanggaran pelaksanaan jabatan notaris,

tetapi tidak diberi kewenangan untuk menjatuhkan sanksi apapun.

6
Pasal 1 Ayat 5 Permen No. M.02.PR.08.10 Tahun 2004 dijelaskan,

berkaitan dengan pengawasan, bersifat preventif dan kuratif. Kegiatan

Preventif mencakup kewenangan yang bersifat administratif yaitu berkaitan

dengan dilakukannya pemeriksaan sebagai bentuk pengawasan terhadap

Notaris, sedangkan yang bersifat kuratif adalah kegiatan tentang pengambilan

tindakan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap

Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik yang berupa pemeriksaan atas

laporan dan hasil pemeriksaan berkala dan jika terbukti pelanggaran tersebut

dilakukan oleh Notaris maka akan dilakukannya pembinaan juga proses

pemeriksaan lainnya seperti rekomendasi sanksi hingga sampai kepada

penjatuhan sanksi diakibatkan oleh pelanggaran yang dilakukan. Dalam hal

keterkaitan antara Notaris dengan Majelis Pengawas Daerah (MPD)6,

keduanya saling berkaitan dikarenakan bisa dilihat dari tugas daripada Majelis

Pengawas Daerah (MPD) itu sendiri seperti melakukan pengawasan terhadap

notaris dan memeriksa adanya dugaan pelanggaran UUJN dan kode etik

notaris terhadap proses kegiatan pada notaris, dan juga telah di atur di dalam

UUJN pada pasal 67 ayat 1 dan 2, Pada Ayat 1 berbunyi pengawasan atas

notaris dilakukan oleh menteri dan setelahnya dalam ayat 2 menjelaskan

bahwa dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana yang dimaksud pada

ayat 1 Menteri membentuk majelis pengawas, dalam hal majelis pengawas ini,

terdiri atas 3 majelis pengawas sesuai dengan hierarki kewenangan, salah

satunya adalah Majelis Pengawas Daerah, yang mana majelis ini dibentuk

untuk melakukan tugas berupa pengawasan terhadap notaris, majelis ini


6
Didit Wardio dan Lathifah Hanim, Peranan Majelis Pengawas Daerah (MPD) Terhadap
Pengawasan Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris Di Kabupaten Sleman, Jurnal Akta Vol. 4, 2018,
Hlm. 127.

7
berkedudukan di daerah kota/kabupaten dan wilayah kerjanya adalah

kota/kabupaten, dan dalam hal ini, majelis pengawas daerah memiliki

kewenangan dalam melakukan pemeriksaan yang diartikan sebagai bentuk

atas pengawasan terhadap Notaris terkait dengan kegiatan yang berpotensi

adanya pelanggaran kode etik atau Undang-Undang Jabatan Notaris atau

dugaan pelanggaran peraturan yang ada.

Berkaitan dengan tugasnya sebagai pengawas, dalam Peraturan Menteri

Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2020

tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja, Tata Cara Pengangkatan dan

Pemberhentian, serta Anggaran Majelis Pengawas Notaris, dijelaskan bahwa

Majelis Pengawas Notaris yang selanjutnya disebut Majelis Pengawas adalah

suatu badan yang memiliki kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan

pengawasan dan pembinaan terhadap Notaris dan Pasal 1 Ayat 4 berbunyi :

Pengawasan adalah kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif termasuk

kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris7

dan dapat dilihat serta disimpulkan bahwa dalam hal ini keterkaitan antara

Majelis Pengawas Daerah (MPD) dengan Notaris sangat erat, dikarenakan

tugasnya sangat berkaitan erat dengan notaris dalam kegiatan yang dijalankan

oleh Notaris. Peran Majelis Pengawas Daerah ini adalah sebagai dewan

pengawas dan pembina yang mengawasi notaris agar dalam melaksanakan

tugas dan kewajibannya dalam jabatannya dapat terkoordinir atau sistematis

sehingga memiliki kesesuain antara peraturan dengan pelaksanaan tugas dan

kewajiban dalam jabatannya. terkait dengan hal tersebut, penelitian


7
Pasal 1, Ayat (4), Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia (HAM) Nomor 24 Tahun
2020 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja, Tata Cara Pengangkatan Dan Pemberhentian,
Serta Anggaran Majelis Pengawas Notaris.

8
sebelumnya menjelaskan MPD yang dilihat dari peran dan fungsi MPD dalam

pengawasan terhadap Notaris, Mengkategorikan MPD memiliki peran

Pengawas dan Pembinaan dan meninjau Efektivitas peran MPD dengan

menghubungkannya Kode Etik Notaris dengan Lokasi Penelitian D.I

Yogyakarta. Permasalahannya adalah keefektivitasan penerapan penegakan

hukum terhadap Notaris, sebagai pengawas (Peran dan Kewenangannya).

Melalui hasil wawancara dari Pra Penelitian yang telah dilakukan untuk

menyempurnakan proposal ini, dalam hal menjalankan tugas dan perannya

juga sebagai payung hukum dalam menjalankan tugas serta perannya berada

pada Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia No. 15 Tahun 2020

tentang Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Terhadap Notaris, dalam

hal tugas dari Majelis Pengawas Daerah adalah Pengawasan dan Pembinaan.

Dalam hal pemeriksaan notaris yang dilakukan oleh penyidik atau tim

pemeriksa harus meminta izin dengan Majelis Pengawas Daerah. Setelah

berlakunya Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia No. 15 Tahun

2020 dan Undang-Undang Jabatan Notaris No 2 Tahun 2014 Majelis

Pengawas Daerah bertugas untuk melakukan Pengawasan dan Pembinaan,

tidak memiliki kewenangan untuk memberikan izin terhadap penyidik untuk

memeriksa notaris. Dalam hal ini, Majelis Pengawas Daerah juga bertugas

untuk melakukan Pemeriksaan berkala terhadap Notaris setiap tahun sekali

minimal.

Terkait dengan hal tersebut, peran Majelis Pengawas Daerah ini lebih

kepada Pengawasan dan Pembinaan juga Kepastian Hukum bagi masyarakat

yang merasa adanya dugaan pelanggaran jabatan notaris. Konkretnya adalah

9
jika terjadi kesalahan dalam jabatan pada saat melakukan tugas terhadap

masyarakat, disinilah bentuk pembinaan yang dimaksudkan, juga dalam

proses dikarenakan adanya pengaduan dari masyarakat, sebagai contohnya

tidak dibacakannya akta yang telah dibuat di depan dan/atau hadapan notaris,

juga tidak menyertakan isteri seseorang yang melakukan perjanjian atau tidak

dihadirkannya isteri seseorang tersebut.

Melalui hasil wawancara penelitian yang telah dilaksanakan,

menjelaskan bahwa Majelis Pengawas Daerah, adalah majelis yang memiliki

kewenangan juga peran untuk melakukan dan/atau meleksanakan penegakan

hukum yang dilakukan dengan pemeriksaan terkait dnegan Laporan

Masyarakat, Pemeriksaan Berkala dan menemukan fakta-fakta hukum lain

atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris bersangkutan. Dalam

melakukan peran pada penegakan hukum ini, Majelis Pengawas Daerah

membentuk sebuah majelis untuk melakukan pemeriksaan. Dalam penegakan

hukum yang dilakukan, Majelis Pengawas Daerah diberikan kewenangan

sebagai awalan terbukanya pintu tindakan hukum yang dilakukan oleh

penegak hukum seperti halnya pemeriksaan yang didasari atas 3 (tiga) hal

yang telah disebutkan sebelumnya. Penegakan huku tersebut juga, dapat

dilakukan berdasarkan adanya dugaan pelanggaran atas kewajiban dalam

undang-undang jabatan Notaris yang dilakukan oleh Notaris yang

bersangkutan yang diketahui melalui dilaksanakannya pemeriksaan.

Terkait dengan sanksi, Majelis Pengawas Daerah memberikan usulan

atau mengusulkan ke Majelis Pengawas Wilayah, mekanismenya yang

menjadi pintu masuknya adalah Laporan Masyarakat, Hasil Pemeriksaan

10
Protokol Notaris setiap tahunnya minimal 1 tahun sekali datang ke kantor

untuk memeriksa hal-hal yang berkaitan dengan notaris seperti minuta dan

laporan lainnya atau protokol notaris, dan fakta hukum, atau putusan

pengadilan berkekuatan hukum tetap. Dalam hal ini, peran Majelis Pengawas

Daerah dilakukan dengan merekomendasikan sanksi kepada Majelis Pengawas

Wilayah untuk memberikan sanksi yang tepat terhadap Notaris yang

melakukan pelanggaran.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis akan merumuskan

permasalahan sebagai berikut :

Bagaimana Pelaksanaan Pengawasan yang dilakukan oleh Majelis

Pengawas Dearah terhadap Notaris?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui dan mendeskripsikan pelaksanaan pengawasan yang

dilakukan oleh Majelis Pengawas Daerah (MPD) Balikpapan.

D. Manfaat Penelitian

1. Dapat memberikan ilmu dan pengetahuan baru bagi perkembangan

disiplin ilmu kenotariatan terhadap peneliti dan juga pembaca,

khususnya yang berkaitan dengan peran dan kewenangan serta

keefektivitasan Majelis Pengawas Daerah (MPD) dalam penegakan

hukum dalam suatu sanksi yang telah diberlakukan di undang-undang

11
dan untuk menjadi rujukan terhadap suatu badan/lembaga dalam hal

melaksanakan kewenangan dalam penegakan hukum.

2. Dapat membantu dan memberikan masukan serta sumbangan pemikiran

bagi para pihak yaitu antara lain, Notaris, Majelis Pengawas Daerah (MPD)

yang telah dibentuk oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Ikatan

Notaris Indonesia (INI) dalam masalah yang diteliti dan yang terjadi

terhadap jalannya peran, kewenangan dan penegakan hukum yang

dilakukan oleh Majelis Pengawas Daerah (MPD).

3. Memberikan Kontribusi terhadap hal yang berkaitan dengan Peran,

kewenangan dan keefektifan Suatu Penegakan Hukum terhadap Notaris.

E. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Akademis : dapat memberikan ilmu dan pengetahuan bagi

pembaca terkait dengan Kewenangan, Tugas serta Peran Majelis

Pengawas Daerah atau disingkat MPD dalam melakukan penegakan

hukum terhadap penertiban Notaris dalam melaksanakan Kewajiban.

2. Kegunaan Praktis : dapat membantu dan memberikan masukan serta

sebagai rujukan terhadap peran MPD dalam penegakan hukum di

bidang kenotariatan dan pelaksanaan kewajiban Notaris.

F. Metode Penelitian

1. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, Metode Pendekatan yang digunakan oleh

penulis sebagai dasar mengamati dan memecahkan permasalahan

yang terjadi dan dalam penyusunan tugas akhir adalah metode

12
penelitian partisipatif yaitu sebuah metode pendekatan yang dilakukan

oleh peneliti dengan melihat dan mengamati bagaimana pelaksanaan

pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Daerah, dengan

mendatangi atau mengunjungi kantor-kantor Notaris yang terletak di

daerah Kab/Kota, sehingga dalam hal ini penulis melihat bagaimana

proses dilaksanakannya pengawasan berupa pemeriksaan yang

dilakukan Majelis Pengawas Daerah (MPD) terhadap Protokol

Notaris hingga pada unsur teknis dan letak penyimpanan akta Notaris,

serta dalam aspek perilaku jabatan Notaris berupa kewajiban Notaris

dan berdasarkan larangan yang berada di dalam Undang-Undang

Jabatan Notaris.

Metode Penelitian yang digunakan oleh Penulis adalah, metode

penelitian empiris, sebagai dasar mengamati dan memecahkan

permasalahan yang terjadi dan dalam penyusunan tugas akhir adalah

metode empiris, yang mana metode tersebut merupakan metode yang

menggunakan pendekatan melihat dan mengamati reaksi serta

interaksi yang terjadi ketika suatu hukum bekerja melalui penegakan

hukum yang dilakukan oleh pihak yang berwenang. Terkait dengan

turunan metode Penelitian Empiris ini yakni Empiris Yuridis

Sosiologis terkait dengan efektivitas dari hukum itu sendiri, dimana

digunakan menjadi bahan penelitian karena mengamati dari cara kerja

sanksi ketika hukum ini bertindak dalam hal penerapan sanksi

tersebut8.

8
Dr. Mukti Fajar ND & Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 47.

13
2. Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian di Kantor Notaris PPAT Dwi Fariasandy, SH.,

M.Kn, Jl. Soekarno Hatta Km. 4,5 RT. 25 No. 117 Batu Ampar

Balikpapan (76126), Kalimantan Timur.

3. Jenis Bahan Hukum

1. Sumber Data

a) Data Primer : Data Primer terdiri atas data yang diperoleh

di lapangan secara langsung mengenai masalah yang

diteliti dengan wawancara menggunakan teknik

pengumpulan data seperti melakukan tanya jawab secara

langsung antara penulis dengan narasumber, selain itu data

primer ini juga memasukkan undang-undang sebagai

bahan hukum primer karena menjadi dasar dalam

pendapat yang telah dikatakan oleh narasumber. Data

Primer juga merupakan data utama atau data yang menjadi

bahan penting dalam penyusunan penelitian.

b) Data Sekunder : Data Sekunder adalah data yang

dijadikan sebagai rujukan atas penelitian yang

dilakukan seperti diperoleh dari buku-buku, jurnal,

artikel, hasil penelitian terdahulu dan lain-lain.

c) Data Tersier : data/bahan hukum ini digunakan untuk

memperjelas, mengartikan maksud istilah yang ditemukan

dalam data/bahan-bahan hukum primer dan sekunder

terdiri atas Kamus Besar Bahasa Indonesia dan lainnya.

14
4. Teknik Pengumpulan Data/Bahan Hukum

Dalam pengumpulan data atau bahan hukum empiris (lapangan)

terdapat 3 (tiga) teknik yang dapat digunakan secara sendiri-sendiri

atau terpisah maupun digunakan secara Bersama-sama sekaligus,

ketiga teknik tersebut adalah Wawancara, Kuesioner dan Observasi,

dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode

wawancara (interview), yaitu melakukan tanya jawab secara langsung

antara peneliti dengan responden atau narasumber atau informan

untuk mendapatkan informasi.9

5. Teknik Analisis Data/Bahan Hukum

Analisa data/bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Analisis Kualitatif, Analisis ini adalah Analisis yang menghasilkan

data deskriptif-analisis, yaitu apa yang diutarakan atau dinyatakan oleh

narasumber secara tertulis atau lisan dan perilaku nyata diteliti menjadi

sesuatu yang utuh10. Setelah analisis data selesai maka hasilnya akan

disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan

menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

Berdasarkan hasil tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan yang

merupakan jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian

ini.

9
Dr. Mukti Fajar ND & Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 161.
10
Soerjono Soekanto, 1992, Pengantar Ilmu Hukum, UI Press, Jakarta, Hlm. 250.

15
G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan adalah sistematika Laporan Tugas Akhir bentuknya

disesuaikan dengan Sistematika dalam buku pedoman yaitu. Pendahuluan,

Tinjauan Pustaka, Hasil Penelitian dan Pembahasan serta Penutup. Adapun

sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab PENDAHULUAN ini berisi tentang latar belakang masalah,

rumusan masalah, metode penelitian, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab TINJAUAN PUSTAKA ini membahas mengenai Kerangka

Teoritis dan Kerangka Pemikiran. Kerangka Teoritis yang

mendasari penulisan ini adalah tinjauan tentang Peran Majelis

Pengawas Daerah Dalam Melakukan Penegakan Sanksi di dalam

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Peran

Majelis Pengawas Daerah dalam Peraturan Menteri Hukum dan

Hak Asasi Manusia Nomor 15 Tahun 2020 Tata Cara Pemeriksaan

Majelis Pengawas Terhadap Notaris. Selain itu, dalam Undang-

Undang Jabatan Notaris.

BAB III : HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab HASIL DAN PEMBAHASAN ini merupakan pembahasan

dan Analisa terhadap peran majelis pengawas daerah dalam

penegakan sanksi yang berada di dalam Undang-Undang Nomor 2

16
Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004 Tentang Jabatan Notaris dan Peran Majelis Pengawas Daerah

dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor

15 Tahun 2020 Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas

Terhadap Notaris. Selain itu, dalam Undang-Undang Jabatan

Notaris.

BAB IV : PENUTUP

Bab PENUTUP sebagai bagian akhir dari penulisan penelitian

berisi mengenai kesimpulan dan saran sebagai suatu masukan dan

perbaikan dari apa saja yang telah didapatkan selama dilakukannya

penelitian.

17

Anda mungkin juga menyukai