ABBASIYAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata Kuliah Sejarah Perdaban Islam
Disusun oleh :
Kelompok 4
Bilqis tsaniyah 2201043
Egi Nurul S 2201094
Muhammad Alwi 2201077
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................... 1
DAFTAR ISI................................................................................................................................ 2
BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................................................. 3
A. LATAR BELAKANG..........................................................................................................3
B. RUMUSAN MASALAH....................................................................................................3
C. TUJUAN MASALAH........................................................................................................ 3
BAB 2 PEMBAHASAN.................................................................................................................4
1. Pertumbuhan kebudayaan Islam masa Bani AbbasiyaH...............................................4
2. Kemajuan kebudayaan Islam pada masa Bani Abbasiyah.............................................8
3. Hubungan Islam dan kebudayaan Persia......................................................................13
KESIMPULAN.............................................................................................................................17
REFERENCES..............................................................................................................................17
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan Islam Periode/ Zaman Keemasan (Pada tahun 650 M –
1250 M ) Bani Abbasiyah, yang mana Pemerintahan dinasti Abbasiyah dinisbatkan
kepada Al- Abbas, paman Rasulullah, sementara Khalifah pertama dari
pemerintahan ini adalah Abdullah Ash- Sahffah bin Muhammad bin Ali Bin
Abdulah bin Abbas bin Abdul Muthalib.Pada tahun 132 H/750 M, oleh Abul abbas
Ashsaffah,dan sekaligus sebagai khalifah pertama. Selama lima Abad dari tahun
132-656 H (750 M- 1258 M). Penelitian ini menggunakan metode sejarah sosial.
Data yang diperoleh akan dianalisis dan disajikan secara deskriptif dengan cara
memilih topik, mengumpulkan sumber, memverifikasi data,
menginterpretasikannya dan untuk selanjutnya dilakukan rekonstruksi agar
menjadi penjelasan yang utuh dan komprehensif sehingga mudah dimengerti dan
dipahami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pada zaman keemasan ini kita
dapat mengetahui sejarah berdirinya Dinasti Abbasiyah beserta Khalifah-Khalifah
bani Abbasiyah begitu pula dengan bagaimana runtuhnya Dinasti Abbasiyah
tersebut yang kita ketahui bahwa itu terdapat karena dua faktor tertentu yaitu
faktor internal dan faktor eksternal.
B. Rumusan Masalah
A. Bagaimana Pertumbuhan kebudayaan Islam masa Bani Abbasiyah ?
B. Bagaimana Kemajuan kebudayaan Islam pada masa Bani Abbasiyah ?
C. Bagaimana Hubungan Islam dan kebudayaan Persia?
C. Tujuan masalah
1. Mengetahui Pertumbuhan kebudayaan Islam masa Bani Abbasiyah
2. Mengetahui Kemajuan kebudayaan Islam pada masa Bani Abbasiyah
3. Mengetahui Hubungan Islam dan kebudayaan Persia
BAB 2
PEMBAHASAN
Dari 37 khalifah Bani Abbasiyah yang memerintah selama 505 tahun, terdapat
beberapa orang khalifah yang terkenal, diantaranya adalah Ja’far AlMansur,
Harun al-Rasyid dan putranya al-Makmun. Pada masa pemerintahan ketiganya
merupakan masa-masa keemasan peradaban Islam. Para khalifah agung tersebut
dikenal sebagai penguasa adil dan bijaksana serta memiliki perhatian kecintaan
yang kuat terhadap ilmu pengetahuan. a. Abu Ja'far Al-Mansur Beliau dikenal
sebagai khalifah yang cerdas dan tegas. Dialah yang menetapkan tujuh kebijakan
khalifah yang menjadi pedoman pemerintahan Bani Abbasiyah. Tujuh kebijakan
ini dianalisa oleh para ahli sejarah mampu menjadi penyokong, pendorong dan
memberi motivasi besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan di Bani
Abbasiyah. Pada masa pemerintahan Abu Ja’far kerajaan besar di selat Bosporus
dapat ditaklukan oleh pasukan Islam dan Ratu Irene sebagai penguasa wilayah itu
takluk dan membayar upeti yang banyak pada Abu Ja’far al-Mansur. Ratu Irene
harus membayar mahal pada kekalahannya tersebut. Ratu harus menjual
beberapa gereja hanya untuk mendapatkan emas
untuk bayar kepada khalifah Abu Ja’far Ulama besar Ibnu Tabatiba
menceritakan kehidupan al-Mansur adalah, "al Mansur seoang raja yang agung,
tegas dan bijaksana, alim, berϐikir cerdas, pemerintahannya raϐi, amat disegani
oleh rakyat dan baik budi pekertnya, Ibnu Tabatabi mengutip kata-kata Yazid bin
Umara bin Hubairah mengenai al-Mansur: aku tidak pernah menjumpai seorang
laki-laki di masa perang atau damai yang siap siaga, lebih bijak dan sadar dari
pada al-Mansur". b. Harun al-Rasyid Lahir di kota kecil Raiyi pada tahun 145 H -
767 M. Ibunya seorang hamba. Ayahandanya adalah al-Mahdi khalifah ketiga
Abbasiyah yang memerintah selama 10 tahun. Harun adalah seorang khalifah
yang paling dihormati, alim dan sangat dimuliakan sepanjang usia menjadi
khalifah. Pada waktu melaksanakan ibadah haji, beliau bersembahyang seratus
rakaat setiap hari dan pergi menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki. Semua
perbuatannya terutama di dalam bershadaqah sama dengan al-Mansur, Sejarah
Kebudayaan Islam Kurikulum 2013 59 beliau sangat rahim dan pemurah
berhubungan dengan harta benda yang dimilikinya. Pemerintahan khalifah Harun
al-Rasyid adalah puncak keemasan Bani Abbasiyah. Kota Bagdad sebagai ibu kota
negara telah mencapai puncak kejayaannya pada masa itu. Bukan khalifah saja
yang mendapatkan limpahan harta kekayaan dari kejayaan itu, akan tetapi semua
pembesar istana sepeti pegawai-pegawai pemerintah, panglima-panglima tentara
dan para pekerja istana lainnya. Di dalam kota Baghdad di bangun taman-taman
kota yang indah, saluran–saluran air yang lancar. Di zaman Harun al-Rasyid itu
juga Baitul Mal ditugaskan menanggung narapidana dengan memberikan setiap
orang makanan yang cukup serta pakaian musim panas dan musim dingin.
Khalifah Harun al-Rasyid menjadikan program sosial tersebut di atas sebagai
tugas dan tanggung jawab Baitu Mal.
Pogram Harun al-Rasyid lainnya yang membuat terkenal adalah dengan
mendirikan Baitul Hikmah yang merupakan sebuah institusi kebudayaan dan
pikiran cemerlang pada zaman itu. Lembga intitusi kebudayaan terbesar dan
terlengkap ini menjadi rujuan para pelajar Eropa yang belajar dari Islam,
kemudian kembali ke eropa mereka kembangan menjadi lembaga-lembaga kajian
yang menjadi perintis jalan menuju masa Renaisance dan Industrialisasi di Eropa
abad ke 17. c. Khalifah Al Makmum al-Makmum berkuasa tahun 198H-218H, dia
dilahirkan dari seorang ibu hamba sahaya bernama Marajil. Dia dilahirkan enam
bulan lebih dahulu dari saudara sebapak al-Amin. Sifat –sifat beliau yang sangat
menonjol diantaranya pemaaf, beliau memaaϐkan peberontak Fadhli bin ar
Rabi’yah yang telah menghasut komplotan penjahat menentang dirinya. Beliau
juga memaafkan Ibrahim bin al-Mahdi yang telah melantik dirinya sebagai
khalifah di Bagdad pada waktu itu khalifah al-Mamum sedang di luar di kota
Bagdad. Walaupun saudara-saudara al-Makmum menghendaki Ibrahim dibunuh
akan tetapi khalifah al-Makmum tetap berisikeras untuk memaafkan Ibrahim.
Khalifah alMakmum termasuk khalifah yang memerintah pada saat masa
keemasan Abbasiyah, beliau juga seorang pencinta ilmu dan pemerhati masalah
sosial seperti bapaknya Harun al-Rasyid.
Pada tahun 637 M, Kekaisaran Sassania di Persia ditaklukkan bangsa Arab (Islam)
yang kemudian menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Islam. Interaksi antara
kebudayaan Persia dan Arab-Islam terlihat pada periode pertama Dinasti Abbasiyah 132
H/750 M sampai 232 H/847 M atau yang disebut dengan periode pengaruh Persia
pertama. Khalifah Abu Ja’far al-Manshur memindahkan ibukota negara dari Damaskus,
Syiria ke Hasyimiyah kemudian ke kota yang baru dibangunnya yaitu, Baghdad. Kota ini
berdekatan dengan bekas ibukota Dinasti Sassania, Persia, Ctesiphon pada 762 M.
Dengan demikian pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah berada di tengah bangsa
Persia.
Kondisi ini berbeda ketika peradaban Islam dikuasai oleh imperium pertama Islam
yakni Umayyah. Misalnya strata sosial yang pernah dirajut pada era Dinasti Umayyah
cenderung diskriminatif, yakni elit keturunan Arab sangat dominan
dalam trah kekuasaan Islam saat itu. Sedangkan ketika masa Abbasiyah konsep
kesukuan Arab digantikan dengan konsep Islamisasi yang tidak melihat pada etnik dan
kesukuan. Struktur pemerintahan tidak hanya diisi oleh orang-orang Arab, melainkan
juga oleh bangsa non-Arab, bahkan dari golongan non-Muslim (Yahudi, Nasrani),
terutama pada pos keuangan dan administrasi negara. Namun kemudian, perlu dilihat
ketika masa dari beberapa khalifah Umayyah, seperti Marwan, Umar bin Abdul Aziz,
mereka telah menciptakan kebijakan dalam sosial ekonomi bahkan administrasi negara.
Hingga masa kudeta para keluarga Abbasiyah oleh al-Khurasani dengan gerakan politik
bawah tanah dengan menumpas habis keluarga Umayyah.
Pelonggaran sistem kelas yang terdapat di masyarakat Arab umumnya terjadi di era
Abbasiyah, meski sesungguhnya Abbasiyah didirikan oleh Bangsa Arab asli. Akan tetapi
sesungguhnya loyalis Abbasiyah merupakan kaum non-Arab sehingga sistem tersebut
diperlunak dan cenderung dihapuskan di masa mendatang. Di era Abbasiyah terjadi
perubahan yang mana khalifah dipegang orang Arab dan menteri diisi orang Persia.
Sebagian besar pangeran diisi orang Arab dan bangsa Persia yang mulia di eranya.
Pembangunan perkotaan di era Abbasiyah lebih terarah pada aktivitas komersial dan
aktivitas perdagangan, sehingga muncul kelas menengah sebagai tren dari ekonomi.
Seperti halnya di Baghdad muncul demikian sebab kota tersebut sudah dirancang secara
komprehensif dan lingkungan Karkh merupakan pusat perdagangan dan menjadi bagian
yang aktif di Baghdad. Selain itu, kemajuan Baghdad juga didorong dengan pertukaran
mata uang di masanya. Selain di Baghdad pusat pertukaran uang juga terdapat di Kufah.
Setidaknya di era ini terdapat 4 jenis keuntungan yang terbesar yakni; leasing (sewa
guna usaha), perdagangan, industri, dan pertanian.
Kehidupan sosial masyarakat kebanyakan pada masa itu berada pada tingkat
pergaulan yang sama. Tidak ada perbedaan antara darah Arab dan non-Arab, klan
merdeka, para budak, serta kaum bangsawan dan rakyat jelata. Begitupun antara kaum
pria dan wanita sama-sama mendapat posisi di tengah-tengah masyarakat. Lembaran
dawai sejarah melukiskan betapa hampir seluruh khalifah yang memimpin ini terlahir
dari rahim perempuan non-Arab dan kandungan budak perempuan. Misalnya ibu al-
Mansur tidak lain adalah seorang budak Berber. Ibunda al-Ma’mun merupakan budak
perempuan Persia, ibu al-Wasiq dan al-Muqtadi berasal dari budak Yunani, al-Muntansir
lahir dari rahim seorang budak Yunani-Abissinia, ibu al-Musta’in seorang budak dari
Slavia, dan ibu Muktaf dan al-Muqtadir merupakan budak dari Turki. Harun al-Rasyid,
peletak dasar kejayaan dinasti Abbasiyah, juga beribukan seorang budak yang dikenal
dengan nama al-Khaizuran; perempuan pertama yang memiliki pengaruh penting dalam
urusan administrasi kenegaraan dinasti ini.
Perlu dicatat pula, pada era kekuasaan Abbasiyah, perkembangan pendidikan dan
pengajaran sangat pesat dan merata di seluruh pelosok negeri taklukannya. Madrasah
dibangun tidak hanya di kota-kota besar, tetapi juga di desa-desa terpencil. Anak-anak
dan orang dewasa berlomba-lomba menuntut ilmu pengetahuan dan melawat ke pusat-
pusat pendidikan dengan meninggalkan kampung halamannya. Perkembangan dunia
pendidikan yang cukup signifikan ini mengantarkan umat Islam kepada fase kejayaan
peradaban. Levy menambahkan kekuatan politik orang Persia yang berbondong-
bondong ke ibukota pada masa pemerintahan Khalifah Ma’mun tampaknya telah
menjadi sarana nyata untuk mendirikan posisi non-Arab di bidang kesetaraan dengan
sesama Muslim Arabnya.
Di sisi lain, pada masa Abbasiyah juga terdapat beberapa kelompok gerakan yang
tidak setuju akan pemerintahan Abbasiyah atau disebut gerakan Zindiq/Syu’ubiyyah.
Gerakan Syu’ubiyyah ini merupakan gerakan yang diinisiasi oleh orang-orang Persia atas
ketidaksukaannya terhadap pemerintahan Abbasiyah, terutama karena budaya Arab
yang dibawa dan membumi di Persia. Gerakan ini memakai baju Islam sebagai bentuk
perlawanan. Kekuasaan Arab yang berada di Persia ini telah memunculkan banyak
perspektif, bahwa setelah penaklukan Umar bin Khattab (Qaddisiyah dan Nahwand)
kemudian berlanjut masa Umayyah hingga Abbasiyah. Iran tidak mau terus ada
penekanan bahwa adanya bentuk Arabisasi di Iran, meskipun Islam sudah dipeluk oleh
masyarakat Iran pada umumnya. Sehingga masa Ali bin Abi Thalib, sebagai kekuatan
pendukung kekhalifahannya yakni kelompok Islam Syiah yang membuat gerakan dan
kelompok Islam semakin bercabang dan mereka menempati sebagian wilayah kota di
Iran yakni di Qum. Sehingga Iran menciptakan kebudayaannya sendiri dan mencoba
untuk meninggalkan bentuk-bentuk Arab.
Jadi, pertemuan antara unsur Arab dan Persia dalam masyarakat Islam terjadi sejak
runtuhnya kekaisaran Sassania dan masuknya Islam di Persia. Namun, kepemimpinan
setelah Khulafaur Rasyidun berdiri Umayyah tidak melibatkan sama sekali unsur-unsur
kesukuan di luar Arab. Namun, ketika peradaban Islam dibawa oleh al-Manshur ke
Baghdad, memang kala itu negeri tersebut juga menjadi wilayah kekuasaan Persia,
sehingga dimulai dari Abbasiyah unsur non-Arab masuk dan menjadi bagian dalam
dinasti Abbasiyah. Bahkan tidak hanya dalam sistem kerajaan, melainkan di kehidupan
bersosial masyarakat dan kebudayaan, Arab dan Persia dipertemukan. Misalnya
jabatan-jabatan wazir pada masa dinasti Abbasiyah mayoritas orang-orang Persia.
Ketika penaklukkan Sassania sebagai kekaisaran Persia akhir, integrasi antara Muslim
Arab dan Persia mulai menunjukkan kekompakkannya, terutama ketika Abbasiyah
berdiri sebagai imperium besar di tanah bekas kekuasaan Persia kuno. Pada tahun 762
M, Baghdad didirikan untuk menjadi ibu kota Khalifah Abbasiyah, dinasti setengah
Persia yang menggantikan dinasti Umayyah. Pertumbuhan kota-kota membawa serta
pembagian penduduk yang pasti menjadi penduduk kota. Hal ini semakin
memantapkan diri mereka di rumah-rumah dan telah menetap di rumah-rumah, dan
orang-orang yang berpegang teguh pada cara hidup nomaden. Salah satu konsekuensi
besar adalah dengan peningkatan populasi perkotaan dan pembentukan pusat
pemerintahan di kota-kota seperti Damaskus atau Baghdad, kekuasaan politik di
Khilafah menjadi lebih. Biasanya dipegang oleh penduduk kota daripada oleh suku
nomaden.
Dampak daripada adanya sebuah perubahan sosial dan pertemuan akan unsur Arab
dan Persia terciptanya dan terbangunya unsur perkotaan yang maju. Bahkan isi dari kota
tersebut terdapat beragam unsur masyarakat Arab Muslim, Arab non-Muslim, dan
Muslim non-Arab. Terbitnya penerbitan, berdirinya pusat perdagangan, banyaknya
kegiatan keterampilan dan pertanian tidak lepas dari peran penting dampak perubahan
sosial dalam sektor ekonomi, yang kemudian mereka menciptakan peradaban dan
membentuk sebuah kehidupan hingga berdirilah sebuah perkampungan bahkan
perkotaan. Misalnya Fustat, Qairawan, Kufah dan Basrah
Mobilitas vertikal dan horizontal yang pasti di setiap tempat membuat perubahan.
Proses perubahan dari masyarakat Arab ke daerah-daerah
jajahannya; pertama, perubahan sistem kabilah ke umat, kabilah raja kecil menjadi satu
sistem administrasi yang terusan. Kedua, masyarakat arab awal itu adalah masyarakat
yang mempunyai pikiran jihad dan perluasan wilayah. Pendorong utamanya
adalah ghanimah. Kota-kota tertentu dibangun untuk tujuan jihad dan keperluan lain
dan berkembang menjadi pusat kemodernan. Kota-kota yang dikembangkan ada
berhasil dan ada yang tidak. Dari kamp militer kemudian menjadi
kota. Ketiga, berdirinya kota-kota yang dibangun oleh orang Islam menjadi pusat sosial
politik, administrasi, dan pusat ekonomi.
KESIMPULAN
Dinasti Abbasyiah merupakan masa pemerintahan umat islam yang merupakan asa
keemasan dan kejayaan dari peradaban uumat islam yang pernah ada. Pada masa
dinasti Abbasyiah kekayaan negara melimpah dan kesejahteraan rakyat sangat tinggi.
Pusat peradaban islam mengalami kemajuan yang pesat sehingga pada masa ini disebut
dengan istilah “The Golden Age of Islam” serta banyak pula muncul para tokoh ilmuan
dari kalangan umat islam, baik itu dalam bidang agama, bidang umum dan bidang
ekonomi dan juga melahirkan tokoh-tokoh dibidang ilmu masing-masing. Pada masa
pemerintahan khalifah Harun Al-Rasyid kesejahteraan umat islam sangat
terjamin, karena pada masa inilah puncak dari kajayaan dinasti Abbasiyah pembangunan
dilakukan dimana-mana. Namun diakhir pemerintahan khalifah dinasti Abbasiyah, islam
mengalami keterpurukan yang sangat rendah. Hal ini disebabkan karena adanya
peperangan salib serta serangan tentara Mongol yang telah menghancurkan pusat
peradaban umat islam di Baghdad. Mongol membuat wilayah kekuasaan Islam mejadi
lemah, apalagi serangan Hulangu Khan dengan pasukan Mongol yang biadab
menyebabkan kekuatan Abbasyiah mejadi lemah dan akhirnya menyerah kepada
kekuatan Mongol.
REFERENCES
Dedi Wahyudi dkk, (2017), “Bunga Rampai; Sejarah Kebudayaan, Pemikiran dan Peradaban
Islam”, Metro Lampung:CV IQRO. Sugiyono, (2012), Memahami Penelitian Kualitatif,
Bandung: ALFABETA. M. Nazir,(2012), Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia. Punaji
Setyosari, (2007), Metode Penelitian Penelitian dan Pengembangan, Jakarta: Kencana. Helius
Sjamsuddin,(2007), Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Ombak. Anwar Sewang, (2017), “Sejarah
Peradaban Islam”, Parepare: STAIN Parepare. Syamruddin Nasution, “Sejarah Peradaban
Islam”, Riau: Yayasan Pustaka Riau. Direktorat Pendidikan Madrasah, “Buku Siswa Sejarah
Kebudayaan Islam”, Jakarta: Kementrian Agama RI. Ahkmad Saufi dan Hasmi Fadillah,
“Sejarah Peradaban Islam”, Yogyakarta: Deepublish. Edianto, (2017), “BANI ABBASIYAH
(Pembentukan, Perkembangan, dan Kemajuan)” dalam jurnal Al-hikmah, No.2. Nuril Fathiha,
“Peradaban Islam Masa Dinasti Abbasiyah (Periode Kemunduran)” dalam ISTORIA: Jurnal
Pendidikan dan Sejarah, Abdul Aziz Al-Douri’, Muqaddimatu fii Taarikh Shodri al-
Islam, (Beirut: Markaz Dirosat al-Wakhidah al-‘Arabiyah, edisi 2, 2007.