Anda di halaman 1dari 12

Sistem Peradilan Pidana– Kelas A

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Tugas Mata Kuliah : Analisis Kasus


Dosen Pengampu : Dr. Lies Sulistiani, S.H., M.Hum.
Dr. Hj. Elis Rusmiati, S.H., M.H.
H. Agus Takariawan, S.H., M.H.
Dr. Erika Magdalena Chandra, S.H., M.H.

Disusun Oleh

Riyadus Solikhin (110110190040)

ANALISIS KASUS PEMBUNUHAN IBU DAN ANAK DIJALAN CAGAK SUBANG


DIKAITKAN DENGAN TUJUAN DAN MODEL PENDEKATAN SISTEM
PERADILAN PIDANA

PENDAHULUAN

Sistem Peradilan Pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses penegakan


hukum pidana yang tidak bisa lepas dari sistem hukum dari suatu negara secara
keseluruhan, khususnya sistem hukum pidana yang mengandung asas persamaan
didepan hukum(Equality Before The Law). Sistem ini ditujukan untuk menanggulangi
kejahatan agar dapat dikendalikan sehingga berada dalam batas-batas yang dapat
ditoleransi oleh masyarakat. Menurut Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana
dapat diartikan sebagai suatu istilah yang yang menunjukan mekanisme kerja dalam
penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Hal
ini senada dengan pendapat dari Remington dan Ohlin yang mengatakan bahwa
Sistem Peradilan Pidana dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem
terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai
suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan,
praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.1

1
R. Sugiharto, Sistem Peradilan Pidana Indonesia dan Sekilas Sistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara,
Semarang: Unissula Press, 2012, hlm. 4.
Sistem ini terdiri dari subsitem-subsistem pendukung (kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, Lembaga Permasyarakatan, dan Advokat), dimana secara keseluruhan
subsistem-subsistem tersebut merupakan satu kesatuan yang berusaha untuk
mewujudkan tujuan daripada sistem peradilan pidana itu sendiri. Selain mempunyai
tujuan, Sistem Peradilan Pidana sendiri memiliki beberapa model dalam praktiknya di
beberapa negara seperti Crime Control Model, Due Process Model, Family Model dan
lain sebagainya.

Untuk itu dalam tulisan ini akan diuraikan kasus pembunuhan ibu dan anak dijalan
cagak subang, dikaitkan dengan tujuan dan model sistem peradilan pidana. Kasus
posisi sendiri bermula saat Tuti dan anaknya yang bernama Amelia Mustika Ratu
ditemuka tak bernyawa dibagasi mobil Alphard miliknya yang terpakir dihalaman
rumah korban dikawasan Jalan Cagak, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Pada
Tanggal 18 Agustus 2021. Jenazah kedua korban tersebut ditemukan oleh Yosef yang
merupakan suami dari korban tuti. Sehari sebelum kejadian, saudara Yosef sendiri
berada di kediaman M yang merupakan istri mudanya, dimana kemudian pulang
kerumah korban di Ciseuti pada rabu pagi yang hendak mengambil stik golf. Hal
tersebut didukung dengan bukti percakapan pesan antara Yoseft dengan caddy golf
sekitar pukul 06.30 WIB. Ketika pulang kerumah korban, Yosef merasa curiga lantaran
tak menemukan anak dan istrinya, sementara kondisi dari rumah korban berantakan.
Yosef kemudian menemukan ceceran darah mulai dari kamar korban hingga ke arah
mobil Toyota Alphard. Yosef lantas menelusuri ceceran darah itu ke mobil dan
terkaget menemukan anak dan istrinya yang sudah tidak bernyawa. Mendapati hal
yang demikian, Yosef kemudian melaporkannya kepada kepolisan setempat.2

PEMBAHASAN

Kasus Pembunuhan Ibu dan Anak di Jalan Cagak Subang Dikaitkan Dengan
Tujuan Sistem Peradilan Pidana.

Untuk menganalisis Tujuan SPP dikaitkan dengan kasus pembunuhan ibu dan anak
di jalan cagak subang, akan dipakai pendapat dari Mardjono Reksodipoetro mengenai

2
Kompas.com, “Merangkai Misteri Pembunuhan Ibu dan Anak di Subang”,
https://regional.kompas.com/read/2021/08/31/063201078/merangkai-misteri-pembunuhan-ibu-dan-anak-di-
subang?page=2, diakses pada tanggal 10 Maret 2022.
tujuan dari sistem peradilan pidana. Menurut Mardjono Reksodipoetro,tujuan dari
sistem peradilan pidana dapat dirumuskan sebagai berikut:3

1. Pertama, mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;


2. Kedua, menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakan dan yang bersalah dipidana;
3. Ketiga, berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi perbuatannya.

Jika dikaitkan dengan kasus posisi dan dihubungkan Republican Theori of Criminal
Justice bahwa kejahatan dalam hal ini dipandang tidak hanya mengancam individu
yang otoritas personalnya dilanggar, tetapi juga mengancam masyarakat secara
keseluruhan. Dengan kata lain tindak pidana pembunuhan yang terjadi dalam kasus
posisi dapat terjadi lagi dikemudian hari dan mengancam individu lainnya yang ada
didalam masyarakat.

Untuk itu tujuan pertama dari sistem peradilan pidana adalah mencegah masyarakat
menjadi korban kejahatan yaitu dengan cara menangkap pelaku pembunuhan
tersebut dan mengadilinya seadil-adilnya. Hal ini dilakukan agar pelaku dalam hal ini
tidak leluasa bebas begitu saja setelah melakukan pembunuhan ibu dan anak
tersebut. Selain itu, dengan ditangkapnya pelaku pembunuhan, secara tidak langsung
akan memberi edukasi atau pembelajaran pada masyarakat bahwa setiap pelaku
tindak pidana, khususnya pada tindak pidana pembunuhan akan
mempertanggungjawabkan perbuatannya dimuka pengadilan.

Kemudian tujuan yang kedua adalah menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga
masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakan dan yang bersalah dipidana. Untuk
itu pihak kepolisian sedang melakukan penyidikan guna menemukan bukti permulaan
yang cukup minimal dua alat bukti. Hal ini dilakukan guna menemukan tersangka,
karena berdasarkan pasal 17 KUHAP memberi syarat bahwa perintah penangkapan
terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana harus berdasarkan
bukti permulaan yang cukup (minimal dua alat bukti). Pihak kepolisian sampai saat ini
pihak kepolisian masih terus bekerja maksimal untuk mengumpulkan informasi,
keterangan serta bukti-bukti untuk memecahkan kasus subang.

3
R. Sugiharto, Op.Cit.., hlm. 7.
Misalnya saja pihak kepolisan telah merilis sketsa wajah terduga pelaku kasus
pembunuhan subang pada 29 Desember 2021. Namun, sketsa wajah tersebut menuai
banyak kritik, misalnya saja Kriminologi Universitas Padjadjaran Yesmil Anwar yang
mempertanyakan perihal pembuatan sketsa warjah terduga pelaku yang dibuat
tampak belakang dan samping kanan saja. Beliau menilai bahwa sketsa wajah
tersebut tidak memiliki nilai signifikan untuk dijadikan sebagai tambahan alat bukti.
Selanjutnya beliau juga berpendapat bahwa pengungkapan kasus pembunuhan
tersebut masih bersifat spekulatif dan belum mengarah pada bukti kongkret yang
kuat.4

Selanjutnya tujuan ketiga dari SPP adalah berusaha agar mereka yang pernah
melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya. Jika dikaitkan dengan
kasus posisi bahwa pelaku pembunuhan ibu dan anak di jalan cagak tersebut nantinya
jika terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
pembunuhan berdasarkan hasil pemeriksaan di persidangan, maka akan dijatuhi
pidana. Contohnya saja pembunuhan tersebut merupakan pembunuhan biasa maka
akan mengacu kepada pasal 338 KUHP dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun
penjara, sedangkan jika pelaku terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
pembunuhan berencana maka akan dijerat pasal 340 KUHP dengan ancaman pidana
mati atau penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun.

Tujuan dari penjatuhan pidana tersebut merupakan salah satu sarana untuk
mencegah kejahatan serta memperbaiki narapidana. Memperbaiki tersebut dalam
konteks bahwa pidana penjara merupakan sarana untuk memperbaiki narapidana
agar menjadi manusia yang lebih berguna dan sudah barang tentu tidak akan
mengulangi perbuatannya lagi dimasa yang akan datang.

Tujuan-tujuan dari Sistem Peradilan Pidana diatas jika dilihat tentu berhubungan
dengan teori pemidananaan yakni teori gabungan bahwa tujuan dari pidana selain
membalas kesalahan dari pelaku tindak pidana, juga dimaksudkan untuk melindungi
masyarakat dengan mewujudkan ketertiban.5 Hal ini senada dengan pendapat dari

4
Ferry Indra Permana, “Kasus Subang Terbongkat Rilis Sketsa Wajah Terduga Pelaku Dinilai Aneh? Ini Kata
Yesmil Anwar, Anjas”, https://deskjabar.pikiran-rakyat.com/jabar/pr-1133397873/ternyata-rilis-sketsa-wajah-
terduga-kasus-subang-diperdebatkan-kenapa-ini-penjelasan-yesmil-anwar-dan-anjas, diakses pada tanggal 10
Maret 2022.
5
Usman, “Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana”, Jurnal Ilmu Hukum Jambi, Vol. 2, No. 1, 2011, hlm. 73.
Robert D. Pursley, bahwa tujuan sistem peradilan pidana diantaranya adalah untuk
melindungi warga masyarakat dan untuk memelihara ketertiban masyarakat. 6

Kasus Pembunuhan Ibu dan Anak di Jalan Cagak Subang Dikaitkan dengan
Model-Model Sistem Peradilan Pidana

Pada dasarnya ada beberapa model yang berkembang, baik di negara-negara yang
menganut sistem hukum civil law maupun di negara yang menganut sistem hukum
common law. Perlu ditegaskan bahwa model ini tidak dapat dilihat sebagai suatu hal
yang bersifat absolut atau bagian dari kenyatan hidup yang harus dipilih melainkan
harus dilihat sebagai sistem nilai yang bisa dibedakan dan secara bergantian dapat
dipilih sebagai prioritas didalam pelaksanaan proses peradilan pidana.

Herbert L Parcker, dalam bukunya yang berjudul “The limits of the criminal sauction”
yang dikutip Rusli Muhammad mengemukakan bahwasannya ada dua model SPP
yakni Crime Control Model (CCM) dan Due Process Model (DPM. Kedua model ini
menurut Herbert Parcker akan memungkinkan kita memahami suatu anatomi yang
normatif hukum pidana. Model ini tidak menyebutkan mengenai apa kenyataannya
dan apa yang seharusnya. Kedua model ini bukanlah suatu polarisasi yang absolute.7
Kedua model tersebut merupakan hasil pengamatan dari Herbert Parcker atas
penyelengaraan peradilan pidana di Amerika Serikat.

Kemudian muncul Family Model yang merupakan kritik terhadap kedua model diatas.
Model ini diperkenalkan oleh John Grifitthst seorang guru besar dari Yale University
di California.8 Family Model dalam hal ini adalah suatu perumpamaan yang ada dalam
keluarga kita yakni meskipun salah satu keluarga kita melakukan kenakalan (misalnya
anak), namun dia tetap harus diberi kasih sayang tanpa memperlakukan sebagai
orang jahat yang khusus (special criminal people). Demikian pula terhadap penjahat,
jika ia dipidana janganlah dianggap sebagai special criminal yang kemudian
diasingkan dari anggota masyarakat, tetapi mereka harus tetap dalam suasana kasih
sayang.9

6
R. Sugiharto, Loc. Cit.
7
Michael Barama, “Model Sistem Peradilan Pidana dalam Perkembangan”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3, No. 8,
2016, hlm. 10
8
Ibid., hlm. 14.
9
Ibid., hlm. 15.
Lalu bagaimana model sistem peradilan pidana Indonesia?. Jika kita melihat
ketentuan dalam Pasal 8 UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 4 Tahun 2004 dan UU
No. 8 Tahun 1981 KUHAP, bahwa ketentuan tersebut mencerminkan adanya asas
praduga tak bersalah (Presumtion of Innocent) sebagai ciri model Due Process of
Law. Dengan adanya asas ini, dituntut untuk adanya suatu proses penyelidikan
terhadap suatu kasus secara formal dengan menemukan fakta secara objektif, dimana
kasus seorang tersangka atau terdakwa didengar secara terbuka dimuka
perisidangan dan peniliaan atas tuduhan penuntut umum baru akan dilaksanakan
setelah terdakwa memperoleh kesempatan sepenuhnya untuk mengajukan fakta
yang membantah atau menolak tuduhan kepadanya. Jadi yang paling penting ialah
proses pembuktian dalam pengadilan.10

Untuk itu analisis pertama dari kasus posisi akan dikaitkan dengan Model Due
Process of Law. Due Process Model sendiri pada hakekatnya menekankan pada hak-
hak individu dari individu (pelaku) dengan berusaha melakukan pembatasan-
pembatasan terhadap wewenang penguasa. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
proses pidana harus dapat diawasi atau dikendalikan oleh HAM dan tidak hanya
ditekankan pada maksimal efisiensi belaka, melainkan pada prosedur penyelesaian
perkara.11 Dengan demikian, penyelesaian kasus pembunuhan ibu dan anak di
Subang tersebut harus dilakukan dengan memperhatikan hak-hak tersangka, saat
tersangka dalam kasus tersebut sudah ditetapkan dan ditangkap berdasarkan bukti
permulaan yang cukup (minimal dua alat bukti). Untuk itu sampai saat ini pihak
kepolisian masih terus mencari alat bukti untuk mencari tersangka, salah satunya
adalah dengan melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap saksi-saksi.
Kepolisian melakukan pemanggilan terhadap saudara yosef dan yoris yang
merupakan saksi kunci dari kasus tersebut. Perlu diketahui bahwasannya keterangan
saksi merupakan salah satu dari alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP.

Dalam setiap kasus seseorang dapat diajukan ke muka pengadilan setelah tersangka
memperoleh hak penuh untuk mengajukan pembelaan. Misalnya saja hal ini diatur
juga dalam Pasal 54 KUHAP bahwa guna kepentingan pembelaan, tersangka atau
terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum
selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang

10
Ibid., hlm. 11.
11
Ibid.
ditentukan dalam undang-undang ini.12 Dari uraian pasal tersebut dapat dipahami
bahwa tersangka atau terdakwa kasus pembunuhan ibu dan anak di Subang tersebut
tetap berhak mendapat bantuan hukum.

Tersangka dalam hal ini harus di proses sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan pidana yang berlaku, mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, pemeriksaan persidangan, sampai pada tahap putusan. Bahkan bila
perlu, tersangka dalam hal ini dapat mengajukan praperadilan sesuai dengan
ketentuan dalam pasal 1 ayat 10 KUHAP dan putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 yang
memuat objek dari praperadilan sendiri. Dengan demikian, hal ini dapat mengajukan
praperadilan berkaitan dengan sah atau tidaknya suatu penangkapan, sah atau
tidaknya penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan, sah atau tidaknya
penuntutan, sah atau tidaknya penetapan tersangka, sah atau tidaknya
penggeledahan dan penyitaan, serta permintaan ganti rugi dan rehabilitasi. Dengan
demikian, penyelesaian dari kasus pembunuhan ibu dan anak ini harus melalui
beberapa tahapan tersebut. Sampai saat ini pihak kepolisian masih melakukan tahap
penyidikan guna mencari alat bukti guna penetapan tersangka.

Konsep pemikiran dari model ini adalah menganggap seseorang bersalah hanya
apabila penetapannya dilakukan secara prosedural oleh pihak yang berwenang.
Dengan kata lain, dalam model ini terdapat asas Praduga Tak Bersalah (Presumtion
of Innocent) yaitu bahwa tersangka atau terdakwa yang dituduh melakukan suatu
tindak pidana, tetap tidak boleh diperlakukan sebagai seseorang yang bersalah
hingga pengadilan menyatakan bahwa ia bersalah dan putusan tersebut memperoleh
kekuatan tetap.13 Tersangka dalam kasus pembunuhan ibu dan anak di Subang
tersebut tidak boleh dianggap sebagai orang yang bersalah sampai ada putusan
hakim yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap yang menyatakan bahwa
tersangka atau terdakwa tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
tindak pidana yang dituduhkan kepadanya. Untuk itu seperti yang telah disebutkan
sebelumya, meskipun nantinya telah ditetapkan tersangka atas kasus pembunuhan
ibu dan anak tersebut, hak-hak dari tersangka harus tetap diperhatikan seperti yang
telah diatur dalam KUHAP.

12
Pasal 54 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
13
Nurhasan, “Keberadaan Asas Praduga Tak Bersalah Pada Proses Peradilan Pidana: Kajian”, Jurnal Ilmiah
Universitas Batanghari Jambi, Vol. 17, No. 3, 2017, Hlm. 209.
Penetapan kesalahan dari terdakwa kasus pembunuhan ibu dan anak tersebut
nantinya harus dilakukan secara adil, sesuai dengan fakta-fakta hukum yang ada dan
juga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku,
sehingga pengadilan dalam hal ini hakim tidak boleh bersikap memihak pihak
manapun. Dari hal tersebut maka dapat dipahami bahwa sistem peradilan pidana
dalam hal harus bersikap adil dalam penyelesaian suatu kasus tindak pidana dan juga
tidak melihat latar belakang dari tersangka. Hal ini juga berkaitan dengan gagasan
persamaan didepan hukum atau adanya asas Equality Before The Law yaitu asas
dimana terdapatnya suatu kesetaraan dalam hukum pada setiap individu tanpa ada
suatu pengecualian.14

Kemudian ada pandangan lain dari Muladi perihal model sistem peradilan pidana yang
cocok dengan Indonesia. Menurut Muladi sistem nilai dalam penegakan hukum pidana
berupa crime control model dan due process model tidak cocok diterapkan di
Indonesia, karena crime control model tindakannya sendiri bersifat represif dalam
pelaksanaan proses peradilan pidana, sementara dilain sisi due process model juga
tidak sepenuhnya menguntungkan karena bersifat anti otoriter dan terlalu berorientasi
kepada pelaku (offender oriented), padahal ada hak-hak korban tindak pidana juga
yang tetap harus diperhatikan.15 Untuk itu muladi berpendapat bahwa model sistem
peradilan pidana yang cocok bagi peradilan pidana Indonesia adalah model yang
mengacu pada daad-dader strafrecht, yang dapat disebut model keseimbangan
kepentingan. Model ini menurutnya merupakan model yang realitis karena
memperhatikan berbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh oleh hukum antara
lain kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan
pelaku tindak pidana, dan kepentingan dari korban kejahatan.16

Untuk itu, analisis kedua dari kasus posisi akan dikaitkan dengan model daad-dader
strafrecht sebagai bahan analisis kasus tersebut. Model daad-dader strafrecht sendiri
didasarkan pada pemikiran aliran neo klasik yang dalam hal ini menjaga
keseimbangan antara faktor objektif (perbuatan/lahiriah), dengan faktor subjektif
(orang/batiniah/sikap batin). Aliran ini memusatkan perhatiannya tidak hanya pada

14
Julita Melissa Walukow, “Perwujudan Prinsip Equality Before The Law bagi Narapidana dalam Lembaga
Permasyarakatan di Indonesia”, Lex Et Societatis, Vol. 1, No. 1, 2013, hlm. 164.
15
Handoko Alfiantoro, “Konstruksi Penegakan Hukum Pidana Bermodel Keseimbangan Kepentingan Daad-
Dader Strafrecht”, Jurnal Ilmiah: Fenomena, Vol. 17, No. 1, 2019, hlm. 1973.
16
Ibid.
perbuatan atau tindak pidana yang terjadi, tetapi terhadap aspek-aspek individual
pelaku tindak pidana.17

Menurut Barda Nawawi Arief, istilah daad-dader strafrecht sendiri berasal dari
pandangan keseimbangan mono dualistik yang bertitik tolak pada perhatian terhadap
keseimbangan masyarakat dan keseimbangan individu. Kemudian berkembang
terhadap upaya mempertahankan keseimbangan asas legalitas dan asas kulpabilitas
(kesalahan) dengan memperluas asas legalitas tidak sebatas pada legalitas formal
yang ada dalam peraturan perundang-undangan namun juga secara materiil berupa
hukum yang hidup dalam masyarakat. Selain itu model daad-dadaer strafrecht juga
tercermin dalam upaya mempertahankan keseimbangan korban dan keseimbangan
individualisasi pidana (orang/pelaku), keseimbangan antara kepastian hukum dan
fleksibilitas keadilan, serta keseimbangan nasional dengan keseimbangan global. 18

Jika dihubungkan dengan kasus posisi, maka tidak hanya perbuatan membunuh dari
sipelaku saja yang harus diperhatikan, tetapi juga kondisi-kondisi batin dari pelaku
harus juga tetap diperhatikan. Sistem Peradilan Pidana juga dalam mengungkap dan
meyelesaikan kasus pembunuhan tersebut harus tetap memperhatikan berbagai
kepentingan seperti yang uraikan sebelumnya. Dalam KUHAP sendiri, jika dipahami
lebih lanjut, maka lebih banyak pengaturan perihal hak-hak dari pelaku daripada
mengenai hak-hak dari korban tindak pidana, sehingga hal ini menimbulkan
ketidakadilan bagi korban tindak pidana, padahal korbanlah pihak yang paling
dirugikan atas tindak pidana yang terjadi. Mengenai hak-hak pelaku dalam KUHAP
sendiri diatur dalam Pasal 50 sampai Pasal 68, sedangkan untuk hak-hak korban
hanya diatur dalam BAB XIII KUHAP tentang Penggabungan Perkara Gugatan Ganti
Kerugian yang terdiri dari 4 pasal (Pasal 98-Pasal 101). Namun, perkembangannya
hak-hak dari korban semakin diperhatikan dengan dikeluarkannya UU No. 13 Tahun
2006 tetang Perlindungan Saksi dan Korban dan UU LPSK. Antara Pelaku dan Korban
dalalam kasus pembunuhan ibu dan anak tersebut seharusnya tetap memperhatikan
antara hak-hak pelaku dan hak-hak korban guna mencapai kepastian hukum serta
keadilan.

17
Marcus Priyo Gunarto, “Asas Keseimbangan dalam Konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana”, Jurnal Mimbar Hukum Universitas Gajah Mada, Vol. 24, No. 1, 2012, hlm. 91.
18
Ibid., hlm. 88.
Pola daad-dader strafrecht senderi sejalan dengan teori hukum progresif yang
dicetuskan oleh satjipto rahorajo yang bertujuan mewujudkan alternatif bagi
pendekatan dominan dalam interpretasi hukum di Indonesia, yaitu pendekatan yang
dianggap formalistik dan kurang memperhatikan sibstansi keadilan. Satjipto Rahardjo
menjelaskan bahwa kepastian hukum terlalu didewakan padahal seharusnya hukum
harus lebih manusiawi, akar permasalahan dari situasi ini bersumber dari keadaan
hukum tertulis sendiri, yang dengan gampang akan menghasilkan tragedi hukum.19

PENUTUP

Pada akhirnya tujuan dari Sistem Peradilan Pidana dapat terwujud jika diantara
subsistem-subsistemnya dalam hal ini dapat saling mendukung satu sama lain
sehingga sistem tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh dan berjalan sebagaimana
mestinya. Dengan kata lain, antara satu subsistem dengan subsistem lainnya tidak
dapat terpisahkan satu sama lain karena saling terhubung dan berkaitan guna
mencapai tujuan dari sistem peradilan pidana yang hendak dicapai.

Kemudian untuk model dari sistem peradilan pidana yang diterapkan di Indonesia,
tentunya harus tetap memperhatikan asas-asas hukum umum, terutama asas hukum
dalam hukum pidana. Dalam perkembangannya, model sistem peradilan pidana yang
dianut di Indonesia tersebut dituntut dapat mengakomodasi berbagai kepentingan dari
pihak-pihak yang tercakup dalam sistem ini. Perhatian atas kepentingan antara pelaku
dan korban tindak pidana juga harus tetap seimbang dengan tetap memperhatikan
hak-haknya.

19
Handoko Alfiantoro, Op.Cit., hlm. 1975.
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
R. Sugiharto, Sistem Peradilan Pidana Indonesia dan Sekilas Sistem Peradilan
Pidana di Beberapa Negara, Semarang: Unissula Press, 2012

Jurnal;
Handoko Alfiantoro, “Konstruksi Penegakan Hukum Pidana Bermodel Keseimbangan
Kepentingan Daad-Dader Strafrecht”, Jurnal Ilmiah: Fenomena, Vol. 17, No. 1,
2019.
Julita Melissa Walukow, “Perwujudan Prinsip Equality Before The Law bagi
Narapidana dalam Lembaga Permasyarakatan di Indonesia”, Lex Et Societatis,
Vol. 1, No. 1, 2013.
Marcus Priyo Gunarto, “Asas Keseimbangan dalam Konsep Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana”, Jurnal Mimbar Hukum Universitas Gajah
Mada, Vol. 24, No. 1, 2012.
Michael Barama, “Model Sistem Peradilan Pidana dalam Perkembangan”, Jurnal Ilmu
Hukum, Vol. 3, No. 8, 2016.
Nurhasan, “Keberadaan Asas Praduga Tak Bersalah Pada Proses Peradilan Pidana:
Kajian”, Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, Vol. 17, No. 3, 2017
Usman, “Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana”, Jurnal Ilmu Hukum Jambi,
Vol. 2, No. 1, 2011.

Sumber Hukum:
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.

Sumber Lain:
Ferry Indra Permana, “Kasus Subang Terbongkat Rilis Sketsa Wajah Terduga Pelaku
Dinilai Aneh? Ini Kata Yesmil Anwar, Anjas”, https://deskjabar.pikiran-
rakyat.com/jabar/pr-1133397873/ternyata-rilis-sketsa-wajah-terduga-kasus-
subang-diperdebatkan-kenapa-ini-penjelasan-yesmil-anwar-dan-anjas,
diakses pada tanggal 10 Maret 2022.
Kompas.com, “Merangkai Misteri Pembunuhan Ibu dan Anak di Subang”,
https://regional.kompas.com/read/2021/08/31/063201078/merangkai-misteri-
pembunuhan-ibu-dan-anak-di-subang?page=2, diakses pada tanggal 10 Maret
2022.

Anda mungkin juga menyukai