Anda di halaman 1dari 20

FILSAFAT HUKUM PANCASILA

DISUSUN OLEH
NAMA : RANDA GUNAWAN
NPM : 221022248
MATKUL : FILSAFAT HUKUM
DOSEN PENGAMPU : DR. Ir. H. SUPARTO, SH, S.IP, MM, M.Si, MH

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
PEKANBARU
2023

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Perkembangan masyarakat dunia yang semakin cepat secara langsung

ataupun tidak langsung mengakibatkan perubahan besar pada berbagai bangsa di

dunia. Gelombang besar kekuatan internasional dan transnasional melalui

globalisasi telah mengancam, bahkan menguasai eksistensi negara – negara bangsa,

termasuk Indonesia. Akibat yang langsung terlihat terjadinya pergeseran nilai-nilai

dalam kehidupan kebangsaan karena adanya perbenturan kepentingan antara

nasionalisme dan internasionalisme.

Filsafat hukum yang berkembang harus ialah berdasarkan filsafat yang

dianut oleh suatu bangsa, sedangkan pendidikan merupakan suatu cara atau

mekanisme dalam menanamkan dan mewariskan nilai-nilai filsafat tersebut.

Pendidikan sebagai suatu lembaga yang berfungsi menanamkan dan mewariskan

sistem norma tingkah laku perbuatan yang didasarkan kepada dasar-dasar filsafat

yang dijunjung oleh lembaga pendidikan dan pendidik dalam suatu masyarakat.

Untuk menjamin supaya pendidikan dan prosesnya efektif, maka dibutuhkan

landasan-landasan filosofis dan landasan ilmiah sebagai asas normatif dan

pedoman pelaksanaan pembinaan.

Prinsip-prinsip dasar yang telah ditentukan oleh peletak dasar (the founding

fathers) negara Indonesia yang kemudian diabstraksikan menjadi suatu prinsip

2
dasar filsafat bernegara, itulah Pancasila. Dengan pemahaman demikian, maka

Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia saat ini mengalami ancaman

dengan munculnya nilai-nilai baru dari luar dan pergeseran nilai-nilai yang terjadi.

Secara ilmiah harus disadari bahwa suatu masyarakat, suatu bangsa, senantiasa

memiliki suatu pandangan hidup atau filsafat hidup masingmasing, yang berbeda

dengan bangsa lain di dunia. Ini yang disebut sebagal local. genius

(kecerdasan/kreativitas lokal) dan sekaligus sebagai local wisdom (kearifan lokal)

bangsa. Dengan demikian, bangsa Indonesia tidak mungkin memiliki kesamaan

pandangan hidup dan filsafat hidup dengan bangsa lain. Ketika para pendiri negara

Indonesia menyiapkan berdirinya negara Indonesia merdeka, mereka sadar

sepenuhnya untuk menjawab suatu pertanyaan yang fundamental “di atas dasar

apakah negara Indonesia merdeka ini didirikan?” (Soekarno, 1945).

Jawaban atas pertanyaan mendasar ini akan selalu menjadi dasar dan tolak

ukur utama bangsa ini mengIndonesia dengan kata lain jati diri bangsa akan selalu

bertolak ukur pada nilai – nilai pancasila sebagai filsafat bangsa. Pancasila yang

terdiri atas lima sila pada hakekatnya merupakan sistem filsafat. Pemahaman

demikian memerlukan pengkajian lebih lanjut menyangkut aspek ontologi,

epistemologi, dan aksiologi dari kelima sila Pancasila. Secara Ontologis kajian

Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakikat

dasar dari sila-sila Pancasila. Menurut Notonagoro hakikat dasar ontolagis

Pancasila adalah manusia. Mengapa? karena manusia merupakan subjek hukum

pokok dari sila-sila Pancasila

3
Berdasarkan penjelasan diatas, penulis tertarik menjelaskan mengenai

filsafat hukum pancasila.

B. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah berdasarkan latar belakang diatas adalah antara

lain sebagai berikut:

1. Apa Yang Dimaksud Dengan Filsafat Hukum ?

2. Apa Yang Dimaksud Dengan Filsafat Hukum Pancasila?

3. Bagaimana Jika Peraturan Perundangan-Undangan Atau Kebijakan Lain Yang

Bertentangan Dengan Salah Satu Sila Dalam Pancasila?

4. Bagaimana Jika Peraturan Perundangan-Undangan Atau Kebijakan Lain Yang

Sesuai Dengan Salah Satu Sila Dalam Pancasila?

BAB II

PEMBAHASAN

4
1. PENGERTIAN FILSAFAT HUKUM

Filsafat pada awalnya dikenal pada kisaran tahun 700 SM, di Yunani.

Filsafat yang dalam bahasa Yunani disebut philoshopia, pada dasarnya

terkonstruksi dari dua suku kata, philos atau philia dan sophos. Philos diartikan

sebagai cinta persahabatan, sedangkan sophos berarti hikmah, kebijaksanaan,

pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, dan inteligensia. Oleh karena itu,

philosophia dapat diartikan sebagai cinta kebijaksanaan atau kebenaran.1

Menurut Soemardi Soerjabrta,2 philosophos harus mempunyai pengetahuan

luas sebagai pengejewantahan daripada kecintaannya akan kebenaran dan mulai

benarbenar jelas digunakan pada masa kaum sois dan Socrates yang memberikan

arti kata philosophien sebagai penguasaan secara sistematis terhadap pengetahuan

teoretis. Philosophia adalah hasil dari perbuatan yang disebut philosophien,

sedangkan philosopos adalah orang yang melakukan philosophien. Bermula dari

kata ini pulalah kemudian dikenal philosophy dalam bahasa Inggris, philosophie

dalam bahasa Belanda, Jerman, dan Perancis atau ilsafat atau falsafat dalam bahasa

Indonesia. Pengistilahan philosophia sendiri untuk pertama kali da lam sejarah

menjadi sesuatu yang diperdebatkan. Ada yang mengatakan bahwa philoshopi

diperkenalkan pertama kali oleh Heraklitos (540480 SM). Ada pula yang menga

takan bahwa Pythagoras lah yang pertama kali. Akan tetapi, terlepas dari

perdebatan siapa yang pertama kali memperkenalkan nomenclature philosophia

1 Amsal Bakhtiar, 1997, Filsafat Agama, Jakarta: Logos, hlm. 7.


2 Soemardi Soerjabrata dikutip dalam Amsal Bakhtiar.

5
(ilsafat), maka yang terpenting bahwa ilsafat telah menjadi bagian dari peradaban

dunia. Oleh karena itu, yang menarik dipertanyakan adalah apakah ilsafat harus

dideinisikan atau tidak? Pertanyaan di atas, merupakan salah satu bagian yang

penting dalam mengurai dan memahami apa itu ilsafat? Akan tetapi, sebelum

menguraikan beberapa pengertian tentang ilsafat, penting kiranya untuk

menguraikan di awal beberapa pendapat yang cenderung menganggap tidak

perlunya dibuatkan suatu definisi filsafa.

Istilah ilsafat hukum memiliki sinonim dengan legal philosophy, philosophy

of law, atau rechts ilosoie. Pengertia n ilsafat hukum pun ada berbagai pendapat.

Ada yang me ngatakan bahwa ilsafat hukum adalah ilmu, ada yang me ngatakan

ilsafat teoretis, ada yang berpendapat sebagai il safat terapan dan ilsafat praktis, ada

yang mengatakan seba gai subspesies dari ilsafat etika, dan lain sebagainya.3

Secara sederhana, ilsafat hukum dapat dikatakan seba gai cabang ilsafat yang

mengatur tingkah laku atau etika yang mempelajari hakikat hukum. Dengan kata

lain, ilsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara ilosois.4 Kelsen

mendekati ilsafat hukum dengan menggunakan pendekatan sebagai seorang

positivis yang kemudian dikenal lahirnya teori hukum murni. Atau Miguel Reale

yang menyajikan ilsafat hukum yang kemudian dikenal dengan historisisme

ontognoseologis kritis. Atau Hart yang mengkaji tradisi Wittgenstein dan Austin

yang menempatkan hukum sebagai suatu fusi dua perangkat kaidah. Pertama

3 Astim Riyanto, 2003, Filsafat Hukum, Bandung: Yapemdo, hlm. 19.


4 Purnadi Purbacaraka dan Soekanto, Op. cit., hlm. 2-4.

6
kaidah yang menetapkan kewajiban; dan kedua yang meyangkut peng akuan dan

penyesuaian kaidah pertama.5

2. PENGERTIAN FILSAFAT HUKUM PANCASILA

Filsafat Pancasila adalah hasil berpikir atau pemikiran yang sedalam-

dalamnya dari bangsa Indonesia yang oleh bangsa Indonesia yang di anggap,

dipercaya dan diyakini sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma,nilai-nilai) yang

paling benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai bagi

bangsa Indonesia.6 Pancasila sebagai dasar negara sering disebut dasar falsafah

negara (phylosofiche grondslag) dari negara, ideologi negara (staatsidee). Dalam

hal ini Pancasila dipergunakan sebagai dasar mengatur pemerintahan Negara,

dengan kata lain, Pancasila digunakan sebagai dasar untuk mengatur

penyelenggaraan negara.

Pancasila sebagai Dasar Negara. Pengertian Pancasila sebagai dasar Negara

seperti dimaksud tersebut sesuai dengan bunyi Pembukaan Undang-Undang Dasar

1945 Alinea IV yang secara jelas menyatakan bahwa Pancasila merupakan norma

dasar atau fundamental Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai dasar negara

Pancasila dipergunakan untuk mengatur seluruh tatanan kehidupan bangsa dan

negara Indonesia, artinya segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan

sistem ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia harus berdasarkan

Pancasila. Hal ini berarti juga bahwa semua peraturan yang berlaku di negara

5 Lorens Bagus, Op. cit., hlm. 294.


6 Burhanuddin Salam, Filsafat Pancasilaisme, Rineka Cipta, Jakarta, 1996

7
Republik Indonesia harus bersumberkan kepada Pancasila. Pancasila sebagai dasar

negara, artinya Pancasila dijadikan sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan

pemerintahan negara.

Pancasila menurut Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 merupakan

“sumber hukum dasar nasional”. Dalam kedudukannya sebagai dasar negara maka

Pancasila berfungsi sebagai:

a. Sumber dari segala sumber hukum (sumber tertib hukum) Indonesia. Dengan

demikian Pancasila merupakan asas kerohanian tertib hukum Indonesia;

b. Suasana kebatinan (geistlichenhinterground) dari Undang-Undang Dasar;

c. Cita-cita hukum bagi hukum dasar negara;

d. Norma-norma yang mengharuskan Undang-Undang Dasar mengandung isi

yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara memegang

teguh cita-cita moral rakyat yang luhur;

e. Sumber semangat bagi Undang-Undang Dasar 1945, penyelenggara negara,

pelaksana pemerintahan. MPR dengan Ketetapan No. XVIIV MPR/1998

telah mengembalikan kedudukan Pancasila sebagai dasar negara RI.7

Pancasila adalah pandangan hidup bangsa Indonesia yang telah dimurnikan

dan dipadatkan menjadi dasar falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pandangan hidup yaitu pandangan dunia atau way of life, yaitu bagaimana cara

menjalani kehidupan. Sebagai falsafah hidup atau pandangan hidup, Pancasila

7 www.pengertianahli.com/2013/05/pengertian-pancasila-sebagai-dasar.html?m=1#_

8
mengandung wawasan dengan hakekat, asal, tujuan, nilai, dan arti dunia seisinya,

khususnya manusia dan kehidupannya, baik secara perorangan maupun sosial.

3. PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN YANG BERTENTANGAN

SILA DALAM PANCASILA

Bedasarkan gagasan Kelsen dan Nawiasky di atas tentang stufenbautheory

atau teori tata urutan norma, dapat dipahami bahwa norma dasar atau norma

fundamental negara berada pada puncak piramida. Oleh karena itu, Pancasila

sebagai norma dasar berada pada puncak piramida norma. Dengan demikian,

Pancasila kemudian menjadi sumber tertib hukum atau yang lebih dikenal sebagai

sumber dari segala sumber hukum. Hal demikian, telah dikukuhkan oleh

memorandum DPR-GR yang kemudian diberi landasan yuridis melalui Ketetapan

MPR No. XX/MPRS/1966 jo Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 jo Ketetapan MPR

No. IX/MPR/1978.8 Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum

dimaksudkan sebagai sumber dari tertib hukum negara Indonesia. Menurut Roeslan

Saleh, fungsi Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum mangandung arti

bahwa Pancasila berkedudukan sebagai:

a. Ideologi hukum Indonesia,

b. Kumpulan nilai-nilai yang harus berada di belakang keseluruhan hukum

Indonesia,

8 TAP MPR No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik
Indonesia Dan Tata Urutan Peraturan Perundang Republik Indonesia. TAP MPR-RI No.V/MPR/1973 Tentang
Peninjauan Produk-Produk Yang Berupa Ketetapan-Ketetapan MPR-RI. TAP MPR No. IX/MPR/1978 Tentang
Perlunya Penyempurnaan Yang Termaktub Dalam Pasal 3 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia No: V/MPR/1973.

9
c. Asas-asas yang harus diikuti sebagai petunjuk dalam mengadakan pilihan

hukum di Indonesia,

d. Sebagai suatu pernyataan dari nilai kejiwaan dan keinginan bangsa

Indonesia, juga dalam hukumnya.9

Keberadaan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum kemudian

kembali dipertegas dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 Tentang Sumber

Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 1 TAP MPR itu

memuat tiga ayat:

a. Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan

peraturan perundang-undangan

b. Sumber hukum terdiri dari sumber hukum tertulis dan hukum tidak tertulis

c. Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana tertulis dalam

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,

Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan

yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan batang tubuh Undang-Undang

Dasar 1945.

Pengaturan TAP MPR di atas lebih memperjelas maksud dari istilah sumber

hukum dalam sistem hukum di Indonesia bahwa yang menjadi sumber hukum

9 Roeslan Saleh, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945, Jakarta: Aksara baru, 1979, h.49

10
(tempat untuk menemukan dan menggali hukum) adalah sumber yang tertulis dan

tidak tertulis. Selain itu, menjadikan Pancasila sebagai rujukan utama dari

pembuatan segala macam peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, tidak lagi

ditemukan istilah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Hal ini

memang tidak mengganggu keberadaan Pancasila sebagai norma dasar yang

menginduki segala norma tetapi tentu mengurangi supremasi dan daya ikat

Pancasila dalam tatanan hukum. Dikatakan demikian, karena nilai-nilai Pancasila

seperti sebagai pandangan hidup, kesadaran, cita-cita hukum dan cita-cita moral

tidak lagi mendapatkan legitimasi yuridis.

Tergerusnya Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum tidak hanya

karena adanya resistensi terhadap Orba dan semakin menguatnya pluralisme

hukum tetapi juga karena Pancasila dalam hukum hanya sebagai acuan formalitas

dalam membuat segala jenis peraturan. Hal yang paling konkrit untuk

mendeskripsikan formalitas Pancasila dalam materi muatan peraturan perundang-

undangan. Apabila diperhatikan, begitu banyak gugatan-gugatan hukum melalui

jalan judicial review di Mahkamah Konstitusi terhadap materi muatan undang-

undang. Kenyataan ini sebenarnya menunjukkan bahwa undang-undang yang

dibuat legislatif tidak secara sungguh-sungguh merujuk UUD 1945 sebagai

peraturan yang berkedudukan lebih tinggi dari UU. Atau dalam sistem peraturan

perundang-undangan sebagai bentuk pelanggaran terhadap asas lex superiori

derogat legi inferiori.

11
Terkait timbulnya pertentangan materi muatan antara peraturan perundang-

undangan menarik untuk mencermati kajian Jawahir Thontowi yang menganggap

muatan materi UUD 1945 hasil amandemen masih memiliki kontradiksi dengan

nilai-nilai Pancasila, Ia mencontohkan mengenai perubahan dari Pasal 6 UUD 1945

terkait dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 18 ayat (5) UUD 1945

terkait pemilihan kepala-kepala daerah, Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah

jelas bertentangan dengan sila keempat (4) Pancasila, permusyawaratan yang

dipimpin oleh hikmah dan kebijaksanaan dan perwakilan. Jawahir Thontowi

menjelaskan jika kata-kata hikmah, kebijaksanaan dan perwakilan tersebut menjadi

nilai dasar, maka indikator pemaknaan dan fungsinya bagi kinerja pemerintahan

tidak serta merta identik dengan keharusan praktek demokrasi sepenuhnya

sebagaimana diterapkan di negara-negara barat. Demokrasi perwakilan

sebagaimana maksud dari nilai-nilai Pancasila seperti dalam sila keempat termasuk

jiga biasa dipraktekkan di berbagai negara maju dan modern.10

Penjelasan J. Thontowi di atas sebenarnya ingin manggambarkan bahwa

bagaimana mungkin disharmonisasi antara peraturan perundangan-undangan tidak

terjadi jika UUD 1945 sebagai puncak hirarki peraturan perundangan saja masih

bertentangan dengan Pancasila sebagai norma dasar. Dengan demikian, tidak dapat

dipungkiri bahwa banyaknya kontradiksi peraturan perundang-undangan

menyebabkan semakin tergerusnya status Pancasila sebagai sumber segala sumber

10 Jawahir Thontowi, Op. Cit., h.25

12
hukum. Ketergerusan status Pancasila tersebut dibuktikan dengan adanya tindakan

pembatalan 139 Perda oleh Mendagri terhitung sejak November 2014 hingga Mei

2015.11 Pembatalan tersebut dilakukan karena perda-perda itu bertentangan dengan

Pancasila dan UUD 1945. Kenyataan seperti ini semakin menunjukkan bahwa

Pancasila tidak lagi mengikat secara hukum melainkan hanya sebagai simbolis

sumber tertib hukum.

4. PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN YANG SESUAI SATU SILA

DALAM PANCASILA

Dalam ruang Falsafah Hukum Pancasila terdapat dua sifat: Sifat Konstanta

dan Sifat Dinamis. Sila Ketuhanan mengandung sifat konstanta karena pengakuan

atas eksistensi Tuhan sifatnya adalah pasti dan tidak berubah. Sifat Dinamis

diwujudkan dalam Sila Kedua hingga Kelima, karena Sila Kemanusiaan, Sila

Persatuan, dan Sila Demokrasi musyawarah hingga Keadilan Sosial menunjukkan

dinamika antar dan intersubjek. Sila Ketiga-Keempat adalah Proses kebersatuan

melalui musyawarah menunjukkan sifat dinamis Bangsa Indonesia dalam beragam

kondisi.Konflik, sengketa, dan juga kerjasama antar subjek menunjukkansifat

dinamis ini.

Dalam proses interaksi untuk membangun nilai-nilai kemanusiaan terjadi

dinamika sesuai dengan sifat relativitas manusia. Sila Kelima mengandung Nilai

11 Terkait hal ini, terdapat perubahan fundamen terhadap pembatalan perda. Putusan MK Nomor 137/PUU-
XIII/2015 menyatakan perda tidak dapat dibatlkan oleh Mendagri tetapi melalui mekanisme judicial review di
Mahkamah Agung. akan tetapi, hanya perda kabupaten/kota yang tidak dapat dibatlkan Mendagri sedangkan perda
provinsi tetap dibatalkan mendagri atau tetap dalam mekanisme executive review.

13
Keadilan Sosial,dan nilai terakhir ini adalah aksiologi dan teleleologis dari Nilai-

nilai Pancasila secara keseluruhan. Dalam ruang kosmik religius-komunal-

kebhinekaan, apakah menghilang-kan sama sekali ide atas perlindungan hak

fundamental manusia yaitu Hak Azasi Manusia? Tidak sama sekali. Gagasan

berketuhanan tidak pernah dilepaskan dalam hubungan kemanusiaan.Berketuhanan

tidak terlepas dari perikemanusiaan yang adil dan beradab.Melindungi hak

komunal sebagai perlindungan yang utama juga menempatkan individu-individu di

dalamnya untuk dilindungi haknya.Untuk itu yang lebih tepat adalah kemerdekaan

individu sebagai pengganti kata kebebasan individu dalam hukum.

Kebebasan dapat berarti membuang jauh ide dan cita hukum religus-

komunal-kebhinekaan dalam konstruksi falsafah hukum Pancasila. Ia merdeka

untuk berbuat, merasa, bersikap, dan bertindak selama dalam bingkai

kemerdekaannya sebagai manusia. Kemerdekaan disini bukanlah kebebasan tak

berbatas, karena kebebasan mutlak hanyalah utopia, ia akan selalu terbatasi

kebebasannya oleh kebebasan orang lain. Maka ruang dinamika gerak manusia

akan selalu berada dalam bingkai optik ketuhanan dan sekaligus optic komunal:

kebersamaan dengan manusia lainnya. Dua nilai yang akan selalu menjadi

pembatas: Kehendak Tuhan dan kehendak manusia lainnya. Ruang komunal ini

memiliki sebuah kekhasan tertentu, yaitu: keberagaman. Kebersamaan ini

merupakan ruang dinamis, didalamnya terdapat kerjasama untuk saling bergotong-

royong antar individu dan kelompok.Kebersamaan ini berada dalam ruang

multikultur, multi etnik, multi Bahasa, dan multi religi. Maka ruang komunal ini

14
menjadi ruang yang diisi oleh proses penerimaan antar beragam unsur budaya,

religi, dan nilai-nilai yang membentuknya.Layak apabila dinyatakan bahwa

komunal bangsa Indonesia adalah komunal keragaman, komunal kebhinekaan.

Jika dikaitkan dengan eksistensi keyakinan akan wujud Immateri Tuhan,

maka dapat dinyatakan sebagai: Religius-komunal kebhinekaan.Nilai religius-

komunal kebhinekaan ini diturunkan dari nilai falsafah hukum Pancasila sebagai

staatsfundamentalnorm. Darinya akan dibentuk grundnorm yaitu Konstitusi,

Undang-Undang Dasar. Pada kondisi inilah maka manusia Indonesia menyadari

akan arti penting falsafah hukum Pancasila sebagai sebuah kebenaran. Bahwa

manusia Indonesia menyadari akan posisinya dalam hubungannya dengan Tuhan

dan kebersamaan dengan manusia lainnya. Manusia Indonesia berhukum dengan

dua nilai tersebut, sehingga ketika terdapat keberlakuan hukum yang

menghilangkan konsep religius atau komunal-kebhinekaan, maka ia akan terasing

dengan hukumnya sendiri. Hukum mengajarkan bahwa ia lahir dan berkembang

bersama dengan jiwa bangsanya. Jiwa bangsa Indonesia akan melahirkan hukum

yang sesuai dengan ruang jiwa bangsa Indonesia. Forma hukum baik hukum negara

maupun hukum rakyat secara ideal akan terisi oleh dua nilai utama sebagai esensi

dari hukum: Nilai Religiusitas dan Nilai Komunalitas-Kebhinekaan.

Mewujudkan Nilai-nilai Falsafah Hukum Pancasila sebagai sebuah nilai-

nilai fundamen hukum Indonesia bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan.Nilai-

nilai hukum barat yang sangat logis individual telah tertanam dengan azas

konkordansi secara empirik telah begitu jauh dari ruang berfikir penstudi hukum di

15
Indonesia.12 Maka untuk membentuk kembali kesadaran akan gagasan Falsafah

Hukum Pancasila perlu kembali menuangkan pemikiran-pemikiran klasikdan

kontemporer akan Falsafah Pancasila. Buya Hamka menjelaskan bahwa Pancasila

sebagai landasan falsafah Bangsa Indonesia terbentuk oleh pengakuan manusia

Indonesia atas eksistensi Tuhan pada dirinya.Tuhan menurut Buya Hamka lebih

dahulu ada daripada manusia, dan Tuhan berkehendak atas Bangsa Indonesia

berupa kemerdekaan. Ia menolak Pancasila semata hanya dimaknai sebagai

Gotong-Royong seperti ide dan gagasan Soekarno, karena ketika hanya

menempatkan gotong-royong sebagai inti Pancasila berarti menafikan peran Tuhan

dalam proses pembentukan Bangsa Indonesia.

Buya Hamka bahkan menjelaskan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa

sebagai urat tunggang Pancasila.Sila Ketuhanan Yang Maha Esa melahirkan sila-

sila Pancasila lainnya.13 Pemikiran Buya Hamka ini membuktikan bahwa ruang

kosmik manusia Indonesia tidaklah terlepas pada keyakinan atas eksistensi Yang

Maha Ghaib yaitu Tuhan.Manusia menyadari bahwa hubungan interaksi manusia

selalu tidak terlepas dari interaksinya kepada Tuhannya.Membangun manusia tidak

semata membangun konsep-konsep akal budi sebagai gerak kendali perilaku,

melainkan juga dengan meletakkan gagasan Ketuhanan sebagai kendali

perilaku.Gotong-royong yang membangun nilai kebersamaan sesama manusia

sebagai sebuah gerak dinamis dikukuhkan pula oleh semangat bertuhan untuk

12 Fuad, F. (2015). Filsafat hukum, akar religiositas hukum. Jakarta: Prenada Media.
13 Hamka. (2005). Dari hati ke hati tentang agama, sosial-budaya, politik. Jakarta: Penerbit Pustaka Panjimas.

16
menyempurnakan peran akal dalam gerak dinamis tersebut.Membangun manusia

berarti membangun sebuah nilai-nilai keadaban, manusia yang memahami bahwa

ada kekuatan diluar dirinya yang mengendalikan, mengatur ruang kosmik

hidupnya.Ia menyadari bahwa ia tak hidup sendiri, ia hidup bersama dengan

lainnya dalam rumah Indonesia dengan semangat kegotong-royongannya. Inilah

pencapaian kesempurnaan manusia Indonesia yang kini mulai tergantikan oleh

penanaman nilai baru berupa euforia kebebasan.14

BAB III

PENUTUP

14YudiLatif. (2011). Negara paripurna, historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Jakarta: Penerbit
Gramedia.

17
A. KESIMPULAN

Pancasila sebagai Dasar Negara. Pengertian Pancasila sebagai dasar

Negara seperti dimaksud tersebut sesuai dengan bunyi Pembukaan Undang-

Undang Dasar 1945 Alinea IV yang secara jelas menyatakan bahwa Pancasila

merupakan norma dasar atau fundamental Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Banyaknya kontradiksi peraturan perundang-undangan menyebabkan semakin

tergerusnya status Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum. Ketergerusan

status Pancasila tersebut dibuktikan dengan adanya tindakan pembatalan 139

Perda oleh Mendagri terhitung sejak November 2014 hingga Mei 2015.15

Pembatalan tersebut dilakukan karena perda-perda itu bertentangan dengan

Pancasila dan UUD 1945. Kenyataan seperti ini semakin menunjukkan bahwa

Pancasila tidak lagi mengikat secara hukum melainkan hanya sebagai simbolis

sumber tertib hukum

B. SARAN

Adanya sikap resistensi terhadap Orba yang telah menjadikan Pancasila sebagai

alat untuk melanggengkan kekuasaan dan melindungi pemerintahan otoriter.

Menguatnya pluralisme hukum yaitu menerapkan beragam sistem hukum yang

mengakibatkan keberadaan Pancasila menjadi semakin termarjinalkan. Pancasila hanya

sebagai simbolis dalam hukum sehingga menimbulkan disharmonisasi antara peraturan

15 Terkait hal ini, terdapat perubahan fundamen terhadap pembatalan perda. Putusan MK Nomor 137/PUU-
XIII/2015 menyatakan perda tidak dapat dibatlkan oleh Mendagri tetapi melalui mekanisme judicial review di
Mahkamah Agung. akan tetapi, hanya perda kabupaten/kota yang tidak dapat dibatlkan Mendagri sedangkan perda
provinsi tetap dibatalkan mendagri atau tetap dalam mekanisme executive review.

18
perundangundangan seperti adanya UU dan Perda yang bertentangan dengan UUD 1945

dan Pancasila.

DAFTAR PUSTAKA

19
Amsal Bakhtiar, 1997, Filsafat Agama, Jakarta: Logos, hlm. 7.

Soemardi Soerjabrata dikutip dalam Amsal Bakhtiar.

Astim Riyanto, 2003, Filsafat Hukum, Bandung: Yapemdo, hlm. 19.

Purnadi Purbacaraka dan Soekanto, Op. cit., hlm. 2-4.

Lorens Bagus, Op. cit., hlm. 294.

Burhanuddin Salam, Filsafat Pancasilaisme, Rineka Cipta, Jakarta, 1996

www.pengertianahli.com/2013/05/pengertian-pancasila-sebagai-dasar.html?m=1#_

Roeslan Saleh, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945, Jakarta: Aksara baru, 1979, h.49

Jawahir Thontowi, Op. Cit., h.25

Terkait hal ini, terdapat perubahan fundamen terhadap pembatalan perda. Putusan MK

Nomor 137/PUU-XIII/2015 menyatakan perda tidak dapat dibatlkan oleh

Mendagri tetapi melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Agung. akan

tetapi, hanya perda kabupaten/kota yang tidak dapat dibatlkan Mendagri

sedangkan perda provinsi tetap dibatalkan mendagri atau tetap dalam

mekanisme executive review.

Fuad, F. (2015). Filsafat hukum, akar religiositas hukum. Jakarta: Prenada Media.

Hamka. (2005). Dari hati ke hati tentang agama, sosial-budaya, politik. Jakarta:

Penerbit Pustaka Panjimas.

YudiLatif. (2011). Negara paripurna, historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila.

Jakarta: Penerbit Gramedia.

20

Anda mungkin juga menyukai