Anda di halaman 1dari 29

STUDI KASUS DOKTER LIGHTHOUSE INDONESIA:

Penatalaksanaan Terapi untuk Pasien Obesitas

Case Lead
Nama Dokter : dr. Ichtiyaumullail
Nama Pasien : Ny. Jeffa Ferdiana Fadella
No. Medical Record Pasien : LV003116
Tanggal Penatalaksanaan : 25/6/2023

Data Penunjang Pasien


Antropometri

Tanggal TB BB BMI Kategori TD Fat Mus. TBW BMR Metab. Vic. LP/LP
(cm) (kg) % mass ( % ) Age Fat (cm)

25/05/202 152 69.8 30.2 OB II 164/100 41.9 38.2 43.6 1273 58 9 86.5/97.5
3
31/05/202 152 69.1 29.9 OB I 138/83 41.5 38 44 1268 58 9 86.5/97.0
3
8/6/2023 152 68.2 29.5 OB I 137/87 41 37.8 44.4 1259 58 8 81/91
15/6/2023 152 65.6 28.4 OB I 145/92 40.2 36.9 43 1222 57 8 77.5/86.5
22/06/202 152 64.7 28 OB I 134/84 39 36.7 43.4 1213 56 8 76.5/83
3
28/6/2023 152 66.4 28.7 OB I 124/71 39.7 37.7 45.9 1245 56 8 78.5/86
7/7/2023 152 65.3 28.3 OB I 140/71 39.6 37.1 44.6 1226 56 8 79/85
13/7/2023 152 64.9 28.1 OB I 141/81 39.5 37 44.4 1220 56 8 78/84
27/7/2023 152 66.2 28.7 OB I 134/88 39.8 37.6 45.3 1239 56 8 79/85
11/8/2023 152 63.3 27.4 OB I 130/70 38.5 36.7 45 1204 53 7 79/85
4/9/2023 152 62.3 27 OB I 114/76 38.2 36.3 44.6 1189 52 7 77/83
18/9/2023 152 61 26.4 OB I 140/110 37.9 35.7 44.3 1169 51 7 76/82
19/10/202 152 61.2 26.5 OB I 110/80 37.2 36.2 45.8 1182 50 7
3
27/10/202 152 60.8 26.3 OB I 120/80 37 36.1 45.7 1177 49 7
3
3/11/2023 152 61.5 26.6 OB I 120/80 37.2 36.4 46 1188 50 7

Anamnesa
Pasien datang dengan keluhan BB naik 5 kg dalam 1 tahun terakhir. BB naik sejak 2020. Saat
pandemi pun lebih banyak waktu kosong bebas untuk sambil makan. Saat ini merasa BB
sudah tinggi dan sulit kontrol atau turunkan BB sehingga ingin dibantu. Pasien ingin turun
BB harapan 57 kg. Target turun 14 kg dalam 12 minggu. Pasien sering bekerja di rumah
cenderung jenuh dan stress meningkat akhirnya mengalihkan ke makanan atau belanja.
Pasien merasa jika stress masalah keluarga dan pekerjaan beralih meningkatkan nafsu makan
sebagai stress release. Pasein merasa sulit menahan nafsu makan dan lapar mata, saat sudah
makan dan tidak lapar tetap mencari makanan hingga merasa penuh dan kekenyangan.
Perasaan stress timbul bisa sepanjang hari. Namun lebih sering merasa stress menumpuk
seharian dan setelah selesai aktifitas pasien cenderung kembali makan banyak malam hari.

Pola makan rata-rata 3 kali sehari nasi dan lauk porsi bersar, minuman manis disangkal,
cemilan diluar makan porsi berat ada seperti jajanan pasar, kue, bolu, donat, dan keripik
terutama saat bekerja. Namun jika beban kerja overload dan ada masalah internal keluarga
maka pasien cenderung merasa ingin mencari makanan manis atau fast food, setelah makan
pasien akan berhenti saat merasa perut penuh atau kenyang. Rasa stress sedikit menghilang
dan pasien lupa sejenak namun merasa menyesal jika menyadari telah makan banyak. Siklus
pola makan seperti itu terjadi terus meneurs hingga saat ini. Olahraga baru mulai gym 1 hari
dan merasa tidak kuat untuk melanjutkan karena cepat lelah. Sehingga saat ini tidak ada
olahraga atau aktivitas fisik lainnya.

Pasien memiliki riwayat penyakit kolesterol tinggi. Hasil cek lab 22 Desember 2022
didapatkan kolesterol total 244 (H), Trigliserid 125, HDL 55 (L), LDL 184 (H), Gula Darah
Puasa 80. Pasien tidak ada obat minum apapun dan baru saat ini mau mulai menjaga pola
hidup sehat. Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak kehamilan anak kedua 2018. Saat usia
kehamilan 7 bulan didapatkan tekanan darah 160/90mmHg dirujuk ke IGD dirawat hingga
tensi normal 130/80. Kemudian tidak ada pengobatan apapun terkait tekanan darah, dan lahir
pervaginam tanpa penyulit. Saat ini pasien melakukan pemeriksaan tekanan darah dirumah
selalu tinggi sekitar 160/100 mmHg. Pasien pernah minum obat amlodipine 5mg hanya 2 hari
dan selanjutnya tidak minum obat rutin.

Riwayat Buang Air Besar tidak lancar tiap hari, 2-3 hari sekali.

Riwayat menstruasi lancar tiap bulan. Hari Pertama Haid Terakhir 5 Mei 2023.

Riwayat Kontrasepsi pasien menggunakan IUD.

Riwayat penyakit lainnya disangkal pasien seperti asma, alergi obat, alergi makanan,
autoimun, hiv, dan hepatitis.
Pasien setuju untuk mulai pola makan sehat dan ikuti aturan pola makan. Pasien sudah
diedukasi untuk ke psikolog jika kedepannya masih sulit untuk mengontrol nafsu makan
terkait stress eating.
Diagnosa
Diagnosa I : Obesitas I/ Obesitas II

Diagnosa II : Susp. Sindrom Metabolik (Hipertensi Grade II, Dislipidemi)

Diagnosa III : Susp. Eating Disorder – Emotional Eating

Perkiraan Penyebab Kenaikan Berat Badan


Kondisi psikologi yang memicu stress akibat kerja dan masalah internal keluarga pasien
berperan penting dalam kenaikan BB pasien. Saat WFH sudah terbentuk pola makan berlebih
dan stress eating yang berlanjut hingga saat ini sudah bekerja WFO. Dengan beban pekerjaan
semakin meningkat dan masalah internal keluarga menjadi stressor timbulnya makan
berlebihan. Aktivitas fisik yang kurang juga menambah resiko semakin naiknya BB pasien.
Adanya makan berlebih meningkatkan intake kalori dan kurangnya aktivitas fisik mengyrnagi
output energi menghasilkan kenaikan berat badan.

Pemeriksaan Penunjang
Hasil cek lab 22 Desember 2022 didapatkan kolesterol total 244 (H), Trigliserid 125, HDL 55
(L), LDL 184 (H), Gula Darah Puasa 80. Saran melakukan cek lab profil lipid terbaru selama
program pola makan.

Anjuran Terapi
Obat :
Fase Induksi:
Litoprena 2 x 1 (pagi dan siang sebelum makan)
Action 12 1 x 1 (malam sebelum tidur)
Fase 1 dan 2:
Prenamat 0 1 x 1 (pagi sebelum makan)
Prenamai 1 1 x 1 (siang sebelum makan)
Action 12 2 x 1 (siang dan malam sebelum makan)
Antihipertensi: Amlodipin 1x10mg malam
Treatment :

Direkomendasikan untuk treatment invasive dan non invasive


Dikarenakan pasien memiliki riwayat HT maka treatment Injex dapat dilakukan jika TD
pasien < 140/90mmHg.

Hasil
Berdasarkan riwayat antropometri, BB turun sebanyak 8.8 kg dan fat% berkurang sebanyak
4% dalam jangka waktu 3 bulan. Lingkar perut atas berkurang sebanyak 10.5cm, sedangkan
lingkar perut bawah berkurang sebanyak 15.5cm. Tekanan darah pasien awal kunjungan
164/100mmHg kemudian dibantu pola makan dan antihipertensi selama program menurun
dengan rerata TDS 135-140mmHg dan TDD 71-84mmHg. Pengukuran tekanan darah
terakhir kunjungan sudah normal 120/80mmHg. Selain itu pasien sudah mulai memiliki
kontrol diri yang lebih baik terhadap nafsu makan, obat minum penahan nafsu makan sudah
mulai dikurangi. Sejauh ini pasien tidak ada keluhan efek samping obat dan treatment.
Pembahasan
HIPERTENSI
Definisi dan Klasifikasi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah >140/90 mmHg secara kronis.
Berdasarkan klasifikasi JNC VII dan VIII, hipertensi dapat dikategorikan menjadi:
A. Prehipertensi
B. Hipertensi derajat I
C. Hipertensi derajat II

Hipertensi sistolik terisolasi: tekanan darah sistol > 140 mmHg, tetapi tekanan darah
diastolik <90 mmHg. Kondisi ini biasanya ditemukan pada usia lanjut. Berdasarkan
etiologinya, hipertensi diklasifikasikan menjadi:
1. Hipertensi Primer/Esensial (insidens 80-85%): Hipertensi yang tidak diketahui
penyebabnya
2. Hipertensi Sekunder: Akibat adanya penyakit yang mendasari, seperti stenosis arteri
renalis, penyakit parenkim ginjal, feokromositoma, hiperladosteronisme.

Patogenesis Hipertensi Primer


Hipertensi adalah penyakit multifaktoral. Berbagai mekanisme yang berperan dalam
peningkatan tekanan darah, antara lain:
- Mekanisme neural: stress, aktivasi simpatis, variasi diurnal.
- Mekanisme renal: asupan natrium tinggi dengan retensi cairan.
- Mekanisme vaskular: disfungsi endotel, radikal bebas, dan remodelling pembuluh
darah.
- Mekanisme hormonal: sistem renin, angiotensin, dan aldosteron.
Faktor lainnya seperti genetik, perilaku, dan gaya hidup juga berpengaruh dalam hipertensi.

Patofisiologi Hipertensi
Tekanan darah adalah produk Curah Jantung (cardiac output) x Tahanan perifer
(peripheral resistancy). Pada hipertensi primer (esensial) ada sejumlah factor yang berperan,
yaitu factor hormonal pada sisrem renin-angiotensis-aldosteron (renin aldosterone
angiotensis system RAAS), system saraf otonom, peripheral resisten, asupan garam (NaCl),
dll.

Unsur-unsur dan kerja utama dari system renin-angiotensin dan kalikrein di jaringan
dapat dilihat pada gambar. Enzim pengubah angiotensin (ACE) diposisikan untuk mengatur
keseimbangan antara efek pressor/proliferative dengan efek depressor/antiproliferatif.
Efek bradikinin terhadap kardiovaskular dimediasi melalui reseptor Beta 2. Dengan
merangsang sintesis dan pelepasan nitrat oksida (NO), prostasiklin, dan factor hiperpolarisasi
yang berasal dari endothelium, bradikinin juga bisa menyebabkan vasodilatasi, menghanbat
adhesi platelet, dan menghambat proliferasi sel-sel. Ada 4 reseptor Ang II yang sudah
teridentifikasi, dan reseptor AT1 adalah yang paling diketahui. Reseptor AT2 bisa
mengimbangi efek reseptor AT1, sedangkan reseptor AT3 bisa merangsang pelepasan PAI-1
dari endothelium.
ACE meningkatkan Angiotensin II dan mendegradasi Bradikinin. Ang (1-7) dibentuk
dari Ang1 oleh kerja beberapa endopeptidase spesifik jaringan, terutama neprilysin, yang
terletak pada permukaan sel-sel endotel dan epitel, yang diubah menjadi peptide inaktif
Ang(1-5) oleh ACE. Semakin banyak bukti yang menyarankan bahwa sebagian besar efek
Ang(1-7) dimediasi oleh suatu subtype reseptor endothelial yang berbeda dari AT1 dan AT2.
Penghambat resptor AT1 (ARBs) tidak tampak memiliki efek utama terhadap ektivitas
Ang(1-7). Kerja biologis Ang(1-7) juga telah diteliti. Seperti halnya bradikinin, Ang(1-7)
menghasilkan berbagai respon vasodilatoris, natriuretic, dan antiproliferatif untuk
mengimbangi efek AngII. Dua target penting dalam Sistem Renin Angiotensin untuk
pengobatan hipertensi adalah menghambat kerja ACE dan menghambat di reseptor AT1.

FISIOLOGI TEKANAN DARAH


Tekanan arteri rerata adalah tekanan darah yang diatur dan dipantau tubuh, bukan
tekanan sistolik dan diastolik arteri atau tekanan nadi dan juga bukan tekanan di bagian lain
pohon vaskular. Pengukuran tekanan darah rutin merekam tekanan sistolik dan diastolik
arteri, yang dapat digunakan untuk menilai tekanan arteri rerata. Nilai ambang terkini untuk
tekanan darah normal menurut National Institute Health adalah kurang dari 120/80mmHg.
Tekanan arteri rerata adalah gaya dorong utama mengalirkan darah ke jaringan.
Tekanan ini harus cukup kuat untuk mencukupi otak dan organ lain. Namun tekanan ini tidak
boleh terlalu tinggi karena memperberat kerja jantung dan meningkatkan resiko rusaknya dan
pecahnya pembuluh darah halus. Penentu arteri rerata adalah curah jantung dan resistensi
perifer total.

Menghitung tekanan arteri rerata adalah tekanan diastol + 1/3 tekanan nadi. Faktor-
faktor yang mempengaruhi tekanan arteri rerata:
- Tekanan arteri rerata bergantung curah jantung dan resistensi perifer total
- Curah jantung bergantung kecepatan jantung dan isi sekuncup
- Kecepatan jantung bergantung keseimbangan relatif aktivitas parasimpatis yang
menurunkan kecepatan jantung. Dan aktivitas simpatis yang meningkatkan kecepatan
jantung (termasuk epinefrin).
- Isi sekuncup meningkat sebagai respon terhadap simpatis (kontrol ekstrinsik isi
sekuncup) Isi sekuncup juga meningkat jika aliran darah balik ke vena meningkat
(Venous Return). Kontrol intrinsik isi sekuncup sesuai hukum Frank-Starling jantung.
- Aliran balik vena ditingkatkan oleh vasokontriksi vena yang diinduksi saraf simpatis,
pompa otot rangka, pompa pernapasan, dan penghisapan jantung.
- Volume darah sirkulasi efektif juga mempengaruhi seberapa banyak darah dialirkan
kembali ke jantung. Volume darah jangka pendek bergantung pada ukuran perpindahan
cairan bulkflow pasif antara plasma dan cairan interstisium menembus dinding kapiler.
Volume darah jangka panjang, volume darah bergantung pada kesimbangan garam dan
air, yang secara hormonal dikontrol masing-masing oleh sistem renin-angiotensin-
aldosteron dan vasopresin.
- Penentu lain tekanan darah arteri rerata adalah resistensi perifer total, bergantung pada
semua jari-jari arteriol dan kekentalan darah. Faktor utama penentu kekentalan darah
adalah jumlah sel darah merah. Namun, jari-jari arteriol adalah penentu paling penting
resistensi perifer total.
- Jari-jari arteriol dipengaruhi oleh kontrol metabolik lokal (intrinsik) yang menyamakan
aliran darah dan kebutuhan metabolik. Sebagai contoh, perubahan lokal yang terjadi di
otot-otot rangka yang aktif menyebabkan vasodilatasi arteriol lokal dan meningkatkan
tekanan darah ke otot-otot tersebut.
- Jari-jari arteriol juga dipengaruhi aktivitas simpatis, suatu mekanisme kontrol ekstrinsik
yang menyebabkan vasokontriksi arteriol, untuk meningkatkan resistensi perifer total dan
tekanan darah arteri rerata.
- Jari-jari arteriol juga dipengaruhi hormon vasopresin dan angiotensin II. Yaitu hormon
yang menyebabkan vasokontriksi dan keseimbangan garam dan air.

Faktor tersebut diatas mempengaruhi tekanan darah kecuali jika terjadi kompensasi
dari variabel tersebut. Gaya dorong tekanan arteri rerata dan derajat vasokontriksi arteriol
organ tersebut akan menentukan aliran darah ke organ. Karena tekanan darah dipengaruhi
curah jantung dan vasokontriksi arteriol, jika arteriol di organ tertentu dilatasi makan arteriol
organ lain harus vasokontriksi untuk mempertahankan tekanan darah arteri yang adekuat.
Karena itu, variabel- variabel kardiovaskular harus terus menerus diatur untuk
mempertahankan tekanan darah yang konstan meskupiun kebutuhan akan darah dari masing-
masing organ berubah-ubah.
Jalur eferennya adalah sistem saraf otonom. Pusat kontrol kardiovaskular mengubah
perbandingan antara aktivitas simpatik dan parasimpatik ke organ-organ efektor (jantung dan
pembuluh darah), yang meringkaskan efek-efek utama stimulasi simpatis dan parasimpatis
pada jantung dan pembuluh darah.
Jika tekanan arteri rerata meningkat maka baroreseptor sinus karotis dan arkus aorta
meningkatkan frekuensi lepas muatan di neuron-neuron aferennya. Pusat kontrol
kardiovaskular dibagi menjadi pusat jantung dan vasomotor, yang kadang-kadang dibagi lagi
menjadi pusat vasokontriktor dan vasodilator yang selanjutnya disebut pusat kontrol
kardiovaskular.
Pusat kontrol kardiovaskular setelah mendapat informasi oleh peningkatan lepas
muatan bahwa tekanan darah terlalu tinggi, berespon mengurangi aktivitas simpatis dan
meningkatkan aktivitas parasimpatis ke sistem kardiovaskular. Sinyal-sinyal eferen ini
mengurangi kecepatan jantung, menurunkan isi sekuncup, dan menyebabkan vasodilatasi
arteriol dan vena, yang pada gilirannya menyebabkan penurunan curah jantung, dan resistensi
perifer total, diikuti oleh penurunan tekanan darah ke normal.
Sebaliknya, ketika tekanan darah turun dibawah normal, aktivitas baroreseptor
menurun, memicu pusat kardiovaskular untuk meningkatkan saraf vasokontriktor dan saraf
simpatis jantung sekaligus menurunkan impuls parasimpatisnya. Pola aktivitas eferen ini
meningkatkan kecepatan jantung dan isi sekuncup, disertai vasokontriksi arteriol dan vena.
Perubahan ini meningkatkan curah jantung maupun resistensi perifer total sehingga tekanan
darah naik ke arah normal.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi tekanan darah selain baroreseptor adalah:
1. Reseptor volume atrium kiri dan osmoreseptor hipotalamus terutama penting
dalam keseimbangan air dan garam di tubuh. Karena itu keduanya mempengaruhi
regulasi jangka panjang tekanan darah mengontrol volume plasma
2. Kemoreseptor yang berada di arteri karotis dan aorta berkaitan erat, tetapi berbeda
dari baroreseptor karena berhubungan dengan konsentrasi kadar O2 yang rendah
dan asam yang tinggi dalam darah. Fungsi utama kemoreseptor ini meningkatkan
aktivitas pernapasan untuk membawa masuk lebih banyak O2 atau mengeluarkan
lebih banyak CO2 pembentuk asam, tetapi kemoreseptor tersebut secara refleks
meningkatkan tekanan darah dengan mengirim impuls eksitatorik ke pusat
kardiovaskular.
3. Respon kardiovaskular berkaitan dengan perilaku dan emosi tertentu diperantarai
melalui jalur korteks serebri hipotalamus dan tampaknya telah terprogram. Respon
ini mencakup perubahan luas dalam aktivitas kardiovaskular yang menyertai
respon generalisata simpatis fight or flight, peningkatan kecepatan jantung,
tekanan darah, vasodilatasi saat blushing/malu.
4. Peningkatan kardiovaskular terjadi pada olahraga meliputi peningkatan aliran
darah otot rangka, peningkatan signifikan curah jantung, penurunan resistensi
perifer total (karena peningkatan vasodilatasi aliran ke otot rangka), dan
peningkatan sedang tekanan arteri rerata. Terdapat bukti adanya pusat olahraga
tertentu di otak yang memicu perubahan jantung dan pembuluh darah pada saat
dan akan olahraga.
5. Kontrol hipotalamus terhadap arteriol kulit untuk tujuan pengaturan suhu lebih
didahulukan dibanding kontrol pusat kardiovaskular terhadap pembuluh yang
sama dengan tujuan pengaturan tekanan darah. Akibatanya tekanan darah bisa
turun juka terjadi vasodilatasi di kulit untuk mengeluarkan panas tubuh, meskipun
baroreseptor menghendaki vasokontriksi kulit untuk membantu mempertahankan
resistensi perifer total yang kuat.
6. Bahan-bahan vasoaktif yang dibebaskan endotel untuk mengatur tekanan darah.
Seperti NO berperan vasodilatasi.

Hipertensi sekunder
Kausa hipertensi hanya dapat ditemukan pada 10% kasus. Hipertensi yang terjadi akibat
masalah primer lain disebut hipertensi sekunder. Inilah beberapa hipertensi sekunder:
1. Hipertensi Ginjal. Sebagai contoh lesi aterosklerotik yang menonjol ke dalam lumen
suatu arteri renalis atau penekanan eksternal pembuluh ini oleh suatu tumor dapat
mengurangi aliran darah ke ginjal. Ginjal berespon dengan mengaktifkan jalur
hormon yang melibatkan angiotensin II. Jalur ini mendorong retensi garam dan air
sewaktu pembentukan urin sehingga volume darah bertambah.
2. Hipertensi Endokrin. Sebagai contoh, feokromositoma adalah tumor medula adrenal
yang mengeluarkan epinefrin dan norepinefrin berlebihan. Peningkatan kadar kedua
hormon ini menyebabkan penigkatan curah jantung dan vasokontriksi perifer
generalisata, dimana keduanya berperan menyebabkan hipertensi khas pada penyakit
ini.
3. Hipertensi Neurogenik. Salah satu contoh adalah hipertensi karen suatu defek pada
pusat kardiovaskular untuk kontrol tekanan darah.

Hipertensi Primer/Idiopatik/Esensial
Penyebab 90% hipertensi tidak diketahui. Disebabkan oleh berbagai faktor yang tidak
diketahui dan bukan entitas tunggal. Seseorang dapat menunjukkan kecenderungan genetik
yang kuat mengidap hipertensi primer lalu dipercepat atau diperburuk dengan faktor resiko
lain seperti kegemukan, stres, merokok, kebiasaan makan. Berbagai kemungkinan:
 Gangguan penanganan ginjal dalam regulasi garam dan cairan tubuh sehingga terjadi
akumulasi garam dan air, mengakibatkan peningkatan tekanan darah.
 Asupan garam berlebihan. Karena sifat garam secara osmotis menahan air dan karenanya
meningkatkan volume darah dan berperan dalam kontrol jangka panjang tekanan darah,
maka asupan garam berlebihan dapat menyebabkan hipertensi.
 Diet rendah sayur, buah, dan produk susu (rendah K, dan Ca). Menurut diet DASH
(Dietary Approaches to Stop Hypertension) diet rendah lemak, tinggi sayur buah dan
susu menurunkan tekanan darah. Asupan tinggi Kalium dari sayur dan buah melemaskan
pembuluh darah. Konsumsi calsium dari susu masih belum diketahui mekanismenya
dalam mengatur tekanan darah.
 Kelainan membran plasma misalnya gangguan pompa Na-K. Kelainan ini mengubah
gradien elektrokimia menembus membran plasma sehingga mengubah kepekaan dan
kontraktilitas jantung dan otot polos dinding pembuluh darah sehingga terjadi
peningkatan tekanan darah. Selain itu, pompa Na-K sangat penting dalam penanganan
garam oleh ginjal.
 Variasi dalam gen yang menjadi angiotensinogen. Angiotensinogen adalah jalur
penghasil vasokontriktor kuat yaitu angiotensin II serta mendorong retensi garam dan air.
Penelitian berspekulasi bahwa variasi gen menyebabkan sedikit aktifnya angiotensinogen
sehingga tekanan darah naik.
 Bahan endogen mirip digitalis. Bahan ini meningkatkan kontraktilitas jantung serta
mempersempit pembuluh darah dan mengurangi eliminasi garam dari urin.
 Kelainan pada NO, endotelin, dan bahan kimia vasoaktif. Kekurangan NO dehingga sulit
vasodilatasi. Kelainan gen penyandi endotelin, suatu vasokontriktor lokal.
 Kelebihan vasopresin. Malfungsi sel penghasil vasopresin di hipotalamus. Vasopresin
adalah vasokontriktor kuat dan juga mendorong retensi air.

Adaptasi Baroresptor
Baroreseptor tidak menurunkan tekanan darah kembali ke normal pada hipertensi karena
telah beradaptasi atau “disetel ulang” untuk bekerja pada tekanan yang lebih tinggi. Pada
tekanan darah yang terus menerus tinggi, baroreseptor berfungsi mengatur tekanan darah
tetapi mempertahankannya pada tingkat tekanan yang lebih tinggi.
Penyulit Hipertensi
Hipertensi menimbulkan stres pada jantung dan pembuluh darah. Jantung beban
kerjanya naik memompa melawan resistensi perifer total lebih tinggi, pembuluh darah
mungkin rusak karena tekanan internal tinggi akibat aterosklerotik juga. Komplikasinya gagal
jantung kongestif, stroke pecah pembuluh darah otak, dan serang jantung pecahnya arteri
koroner, mimisan ruptur pembuluh darah hidung. Gagal ginjal akibat progresif gangguan
aliran darah menuju ginjal karena pembuluh darah rusak. Kerusakan retina akibat kelainan
pembuluh darah mata menyebabkan gangguan penglihatan. Sampai terjadi penyulit diatas,
pasien tidak ada gejala karena masih ada pasokan darah cukup. Karena itu kecuali dengan
pengukuran tekanan darah rutin sulit diketahui penyakit ini.
Prahipertensi
NIH mengidentifikasi prahipertensi sebagai kategori baru untuk tekanan antara
120/80 dan 139/89. Tekanan prahipertensi dapat dikurangi dengan olahraga dan diet yang
sesuai, sedangkan yang sudah masuk hipertensi dibantu obat. Ekstrem hipotensi yaitu
hipotensi ortostatik dan syok.
Hipotensi ortostatik atau postural adalah hipotensi akibat kurang memadaianya
aktivitas simpatis secara transient. Hipotensi terjadi ketika ketidakseimbangan antara
kapasitas vaskular dan volume darah (volume darah terlalu sedikit untuk mengisi pembuluh
darah) atau ketika jantung terlalu lemah untuk mendorong darah. Situasi tersering dimana
terjadi hipotensi transien adalah hipotensi ortostatik. Yaitu keadaan hipotensi sesaat setelah
insufisiensi respon kompensasi terhadap perubahan darah akibat gravitasi saat seseorang
berpindah posisi dari horizontal ke vertikal, khususnya setelah lama tirah baring.
Penumpukan darah di vena tungkai menurunkan aliran balik darah ke vena sehingga
mengurangi isi sekuncup dan menurunkan curah jantung dan tekanan darah. Kontrol simpatis
atas vena tungkai kurang memadai sehingga saat berdiri darah kumpul di vena, refleks
baroresptor lenyap secara temporer karena jarang digunakan. Diperparah kurangnya volume
darah kurang yang menyertai. Gejalanya kurang darah ke otak pusing atau pingsa. Ubah
posisi bertahap dari horizontal ke tegak. Sehingga tubuh menyesuaikan secara perlahan
terhadap perubahan gravitasi.
Diagnosis Hipertensi
1. Anamnesis: kebanyakan pasien bersifat asimtomatik. Beberapa pasien mengalami
sakit kepala, rasa seperti berputar, atau penglihatan kabur. Hal yang dapat menunjang
kecurigaan ke hipertensi sekunder antara lain penggunaan obat-obatan (kontrasepsi
hormonal, kortikosteroid, dekongestan, NSAID); sakit kepala paroksismal,
berkeringat, atau takikardi (feokromositoma); riwayat penyakit ginjal sebelumnya.
Mencari faktor resiko kardiovaskular lainnya: merokok, obesitas, aktivitas fisik,
dislipidemia, diabetes mellitus, mikroalbuminuria, atau laju filtrasi glomerulus (LFG)
<60mL/mnt, usia (laki-laki >55thn, perempuan >65thn), riwayat keluarga dengan
penyakit kardiovaskular dini (laki-laki <55thn atau perempuan <65thn).
2. Pemeriksaan fisik: nilai tekanan darah diambil dari rerata dua kali pengukuran pada
setiap kali kunjungan ke dokter. Apabila tekanan darah >140/90 mmHg pada dua atau
lebih kunjungan, hipertensi dapat ditegakkan. Pemeriksaan tekanan darah harus
dilakukan dengan alat yang baik, ukuran dan posisi manset yang tepat (setingkat
dengan jantung), serta teknik yang benar.

3. Pemeriksaan Penunjang
A. Memeriksa komplikasi yang telah atau sedang terjadi:
a. Pemeriksaan Laboratorium: darah lengkap, kadar ureum, kreatinin, gula darah,
lemak darah, elektrolit, kalsium, asam urat, dan urinalisis
b. Pemeriksaan lain: pemeriksaan fungsi jantung (elektrokardiografi),
funduskopi, USG ginjal, foto toraks, ekokardiografi.
B. Pemeriksaan penunjang untuk kecurigaan klinis hipertensi sekunder:
a. Hipertiroidisme/hipotiroidisme: fungsi tiroid (TSH, FT4, FT3)
b. Hiperparatiroidisme: kadar PTH, Ca2+
c. Hiperaldosteronisme primer: kadar aldosteron plasma, renin plasma, CT-scan
abdomen, kadar serum Na naik, K turun, peningkatan ekskresi K dalam urin,
ditemukan alkalosis metabolik.
d. Feokromositoma: kadar metanefrin, CT-scan/MRI abdomen
e. Sidrom Cushing: kadar kortisol urin 24 jam
f. Hipertensi renovaskular: CT-angiografi arteri renalis, USG ginjal, Doppler
sonografi.

Tatalaksana Hipertensi Primer


Tata laksana hipertensi dapat dimulai dengan modifikasi gaya hidup, namun terapi
antihipertensi dapat langsung dimulai untuk hipertensi derajat 1 dengan penyerta dan
hipertensi derajat 2. Penggunaan antihipertensi harus tetap disertai dengan modifikasi gaya
hidup.
Tata laksana hipertensi meliputi modifikasi gaya hidup dan terapi medikamentosa:
1. Modifikasi gaya hidup
a. Penurunan berat badan. Target BMI asia pasifik 18.5-22.9Kg/m2
b. Diet DASH. Dietary Approaches to Stop Hypertension. DASH mencakup
konsumsi buah-buahan, sayur-sayuran, serta produk susu rendah lemak
jenuh/lemak total.
c. Penurunan asupan garam. Konsumsi NaCl yang disarankan adalah <6 g/hari.
d. Aktivitas fisik. Target aktivitas fisik yang disarankan minimal 30 menit/hari,
dilakukan paling tidak 3 hari dalam seminggu.
e. Pembatasan konsumsi alkohol.

2. Terapi Medikamentosa
Terdapat beberapa panduan dalam
penggunaan hipertensi. Menurut National
Institute for Health and Care Excellence
(NICE) 2013, usia pasien <55 tahun lebih
disarankan memulai terapi dengan
penghambat ACE atau ARB, sementara
usia > 55 thn dengan CCB. Menurut JNC
8, pilihan antihipertensi didasarkan pada
usia, ras, serta ada atau tidaknya DM dan
penyakit ginjal kronik. Pada ras kulit
hitam, penghambat ACE dan ARB tidak
menjadi pilihan kecuali terdapat PGK,
dengan atau tanpa DM.
Sekali terapi antihipertensi dimulai, pasien
harus rutin kontrol dan mendapat
pengaturan dosis setiap bulan sampai target tekanan darah tercapai. Pantau tekanan darah,
LFG, dan elektrolit. Frekuensi kontrol untuk hipertensi derajat 2 disarankan untuk lebih
sering. Setelah tekanan darah mencapai target dan stabil, frekuensi kunjungan dapat
diturunkan hingga menjadi 3-6 bulan sekali. Namun jika belum tercapai, diperlukan evaluasi
terhadap pengobatan dan gaya hidup serta pertimbangan terapi kombinasi.
Setelah tekanan darah tercapai, pengobatan
harus dilanjutkan dengan tetap memperhatikan
efek samping dan komplikasi hipertensi.
Pasien perlu diedukasi bahwa terapi
antihipertensi bersifat jangka panjang dan
terus dievaluasi berkala. Pemberian Ace-I
sebaiknya dihentikan jika terdapat penurunan
LFG >30% dari nilai dasar dalam 4 bulan atau
kadar kalium >5,5 mEq/L.
Khusus pada kasus kehamilan, antihipertensi
yang direkomendasikan ialah metildopa (250-
100 mg per oral), labetalol (100-200 mg), atau
nifedipin (30-60 mg). Tata laksana hipertensi
pada kehamilan dapat dilihat Bab Hipertensi
Kehamilan.

Diuretik
Yang utama digunakan adalah golongan
tiazid. Mekanisme kerjanya menghambat
pompa Na/K di tubulus distal. Golongan ini
efektif sebagai obat lini pertama dan bisa
dikombinasikan dengan CCB, BB, ACE-I, dan
ARB. Indikasi khusus: gagal jantung, resiko
PJK tinggi, diabetes, stroke, dan hipertensi
sistolik terisolasi. Contoh: Hidroklorotiazid 12.5-25mg/hari, Klortalidon 12.5-50mg/hari,
diuretic bisa meningkatkan kadar asam urat.

Penghambat Sistem Renin Angiotensin (RAS Bloker)


ACE-I dan ARB menghambat vasokontriksi dengan cara menghambat sintesis atau
menghambat kerja angiotensin II, sehingga menyebabkan vasodilatasi yang berimbang. Obat-
obatan ini dapat dipergunakan sebagai obat lini pertama atau dikombinasi dengan diuretika
atau CCB. Indikasi khusus: gagal jantung, pasca infark miokard, resiko PJK, diabetes, GGK,
stroke. Contoh: Enalapril 2.5-40mg/hari, lisinopril 5-40mg/hari, irbesartan 150-300mg/hari.

Beta Bloker
BB bekerja menghhambat secara kompetitif pengikatan katekolamin ke reseptor
adrenergic. Contoh: atenolol 25-100 mg/hari, bisoprolol 5-10mg/hari. Hati-hati pada
penderita asma dan PPOK, selama pemakaian harus dipantau denyut nadi, gula darah pada
diabetes.
Calsium Channel Blocker (CCB)
Mekanisme kerjanya mengurangi influx kalsium kedalam sel-sel otot polos di
pembuluh darah. Contoh: amlodipine 2.5-10mg, diltiazem 30mg, verapamil 80-160mg.
Jangan menggunakan Nifedipin kerja pendek sudah tidak dianjurkan rutin. Harus dipantau
edema perifer di tungkai, nadi (bisa menyebabkan reflex takikardi).
Agonis Alfa 2
Mekanisme kerjanya adalah sebagai neurotransmitter palsu menurunkan outflow
simpatis sehingga dapat menurunkan tomus simpatis. COntoh: Klonidin 0.1-0.6mg,
metildopa. Selama pengobatan harus dipantau nadi. Efek samping mulut kering, hipotensi
ortostatik, sedasi. Hati-hati efek withdrawal (tekanan darah meningkat setelah obat
dihentikan).
Vasodilator
Mekanisme kerja adalah vasodilatasi langsung terhadap arteriol melalui peningkatan
cAMP intraselular. Contoh: Hidralazine 20-400 mg, minoxidil 2.5-40 mg. Perlu dipantau
nadi karena bisa sebabkan takikardia reflex, retensi Na/air. Hidralazin adalah suatu
alternative pada ggal jantung bila penghambat RA adalah kobtraindikasi. Monoxidil bisa
dipertimbangkan pada pasien hipertensi resisten/refrakter yang diobat dengan beberapa obat.
Penghambat Alfa1
Mekanisme kerja menghambat reseptor post sinaptik perifer sehingga mengebabkan
vasodilatasi. Contoh: terazosin 1-20mg/hari. Obat ini bisa menyebabkan hipotensi ortostatik
yang berat sehingga sebaiknya diberikan sebagai obat tambahan apabila TD belum terkontrol
dengan kombinasi obat lain. Saat ini beberapa kombinasi obat tetap antara amlodipine dengan
RAS atau diuretic, dan BB dengan diuretic.

Komplikasi
Hipertensi bisa menyebabkan kerusakan organ tubuh yaitu jantung (hipertrofi
ventrikel kiri), ginjal (nefropati), saraf otak (ensefalopati), mata (retinopati atau perdarahan),
dan bahkan disfungsi ereksi. Kerusakan pada jantung bisa menyebabkan disfungsi, baik
diastolik maupun sistolik, dan berakhir pada gagal jantung. Hipertensi juga merupakan factor
resiko penyakit jantung coroner, dan terhadap otak hipertensi bisa stroke. Komplikasi
hipertensi berdasarkan target organ, antara lain:
a. Serebrovaskular: stroke, transient ischemis attack, demensia vaskular
b. Mata: retinopati hipertensif
c. Kardiovaskular: penyakit jantung hipertensif, disfungsi atau hipertrofi ventrikel kiri,
penyakit jantung koroner
d. Ginjal: nefropati hipertensif, albuminuria, penyakit ginjal kronis.
e. Arteri perifer: klaudikasi intermitten.
DISLIPIDEMIA
Definisi
Adalah kelainan pada metabolisme lipid yang ditandai adanya peningkatan atau
penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama meliputi kenaikkan
kolestrol total, kolestrol LDL, trigliserida, dan penurunan kolestrol HDL.

Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, dyslipidemia dapat dibedakan menjadi dyslipidemia
primer dan sekunder. Dislipidemia primer diakibatkan oleh kelainan genetic baik
hiperkolesterolemia poligenik maupun dyslipidemia kombinasi familial. Dislipidemia berat
(peningkatan/penurunan fraksi lipid plasma yang relative lebih banyak) umumnya disebabkan
oleh hiperkolesterolemia familial, dyslipidemia remnan, dan hipertrigliserida primer.
Dislipidemia sekunder merupakan kelainan lainnya, misalnya hipotiroidisme,
sindroma nefrotik, sindrom metabolic, pengaruh obat-obatan (progestin, steroid anabolic,
kortikosteroid, inhibitor protease), dan diabetes mellitus.

Diagnosis
Anamnesis
Pada anamnesis perlu dicari faktor resiko aterosklerosis yaitu kebiasaan merokok,
riwayat hipertensi, riwayat pemeriksaan kadar lipid sebelumnya yang menunjukkan kadar
plasma kolestrol HDL rendah, riwayat penyakit jantung dini dari keluarga (laki-laki <55thn
dan perempuan <65thn) dan usia (laki-laki>45thn, perempuan >55thn).

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan evaluasi tekanan darah, serta kelainan fisik lain
yang ditemui yang berkaitan dengan dyslipidemia, misalnya bruit pada arteri karotis atau
gambaran klinik penyakit arteri perifer. Pada dyslipidemia sekunder, dapat ditemui tanda-
tanda penyakit dasar seperti pada kasus sindrom Cushing, sindrom nefrotik, hipotiroidisme,
hepatitis, dsb.

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium merupakan modalitas utama dalam mendiagnosis
dyslipidemia. Pemeriksaan profil lipid meliputi kolesterol total, LDL, HDL, dan trigliserida.
Di laboratorium-laboratorium besar, pemeriksaan kolesterol LDL biasanya sudah dengan
cara direk. Akan tetapi, dapat dilakukan perhitungan pemeriksaan secara indirek dengan
rumus Friedwald:
LDL = Kolesterol Total – HDL – (TG/5)
Sesuai ATP (Adult Treatment Panel) III terdapat beberapa kelompok populasi
beresiko dengan target terapi yang berbeda-beda yang dimuat dlm Tabel 2.
Skrining pemeriksaan profil lipid dianjurkan untuk setiap individu berusia >20thn, yang
meliputi pemeriksaan kadar kolestrol total, LDL, HDL, dan Trigliserida. Apabila hasil yang
didapat normal maka pemeriksaan ulangan dianjurkan tiap 5 thn. Untuk kelompok B dan C
dengan kolestrol sudah mencapai sasaran, skrining dilakukan setiap 1-2 thn. Apabila
kolesterol belum mencapai sasaran maka skrining dilakukan tiap 3 bulan. Untuk kelompok A
dengan kolesterol sudah mencapai sasaran skrining dilakukan setiap 6-12bulan.
Untuk pemeriksaan kolesterol total, LDL, dan HDL pasien tidak perlu dipuasakan,
sementara untuk pemeriksaan TG pasien harus puasa 10-14 jam agar mendapatkan kadar TG
endogen. Sehingga untuk skrining, dianjurkan pasien puasa 12-16jam semalam sebelumnya.
Tata Laksana
Tujuan dan Target Berdasarkan Faktor Resiko
Penentuan stratifikasi factor resiko dan target LDL dapat dilihat table 2. Selain LDL,
target penatalaksanaan juga meliputi kolesterol total, HDL, TG. Berikut target profil lipid
non-LDL:
- Kolesterol Total: <200 mg/dl
- HDL: >40 mg/dl
- TG: <150 mg/dl
Pada kelompok dengan riwayat PJK, sasaran kolesterol total adalah <200 mg/dl.
Kadar HDL ditargetkan setinggi mungkin, namun setidaknya >40 mg/dL untuk laki-laki dan
perempuan. Sasaran kadar TG pada kelompok ini adalah <150 mg/dL. Untuk Apo B, kadar
yang direkomendasikan adalah <90 untuk pasien dengan resiko penyakit arteri coroner,
termasuk yang sudah menderita diabetes, dan <80 untuk pasien dengan penyakit arteri
coroner atau diabetes ditambah >1 faktor resiko. Demikian pula, untuk pasien dengan
dyslipidemia yang hanya meliputi kadar kolesterol HDL yang rendah, target penatalaksanaan
adalah untuk mencapai kadar HDL >40 mg/dL.

Untuk mencapai sasaran tersebut, terdapat beberapa modalitas terapi yang dapat
dilakukan. Secara umum tata laksana meliputi terapi non farmakologi berupa terapi nutrisi
medis dan aktivitas fisik, serta terapi farmakologis dengan obat-obatan dyslipidemia.
a. Terapi Non-famakologi
Tata laksana nutrisi meliputi skrining evaluasi gizi awal dan kebiasaan asupan
makanan, kemudian edukasi untuk mengurangi asupan lemak total dan lemak jenuh,
serta meningkatkan asupan lemak tidak jenuh rantai tunggal dan ganda (Tabel 3).
Pasien dengan trigliserida tinggi perlu mengurangi konsumsi karbohidrat, alcohol, dan
lemak.
Aktivitas fisik juga memegang peranan penting dalam penatalaksanaan dyslipidemia.
Dari penelitian, aktivitas fisik dapat meningkatkan HDL dan ApoA1, menurunkan
kolesterol LDL, meningkatkan sensitivitas insulin, dan menjaga berat badan. Aktivitas
fisik berupa aktivitas sehari-hari secara umum seperti kegiatan rumah tangga,
sementara olahraga merupakan kegiatan yang dikhususkan. Kondisi pasien harus
dinilai terlebih dahulu untuk dokter menentukan aktivitas fisik yang sesuai. Untuk
pasien dyslipidemia dengan hipertensi berat atau riwayat infark miokard akut, tidak
dianjurkan olahraga berat. Aktifitas fisik intensitas sedang misal menyapu halaman 30
menit, membersihkan rumah atau berdansa 30 menit. Olahraga misalnya berenang
selama 20 menit, bersepeda selama 30 menit, atau bermain basket 15-20 menit.
Kegiatan-kegiatan tersebut diperkirakan menggunakan 4-7 kkal/menit.
b. Terapi Farmakologi
Secara umum terapi farmakologi dilakukan setelah terapi nonfarmakologi tidak
berespon, terutama kadar kolesterol LDL untuk menentukan penggunaan statin. Pada
keadaan tertentu, seperti DM tipe 2 atau sindrom coroner akut dengan kadar
kolesterol LDL >100 mg/dL (untuk pasien DM tipe 2) dan <70 mg/dL (untuk pasien
riwayat penyakit kardiovaskular: sindrom coroner akut, stroke, atau penyakit arteri
perifer). Apabila kadar trigliserida > 500 mg/dL, golongan fibrat merupakan pilihan
utama.
Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pengobatan meliputi evaluasi efektivitas dan efek samping terutama pada
pasien dengan gangguan ginjal dan hari (Tabel 5). Bila ada keluhan menyerupai miopati
dapat dilakukan pemeriksaan creatine kinase (CK) untuk mengetahui ada tidaknya efek
samping miopati dari obat. Dosis lazim obat hipolipidemik dan efek samping yang mungkin
terjadi dapat dilihat pada tabel.
Panduan tata laksana dari AHA tahun 2013 mengenai dyslipidemia menyatakan
bahwa obat hipolipidemik golongan statin dapat dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan
intensitasnya. Kelompok tersebut antara lain terapi statin intensitas ringan, sedang, dan tinggi
(Tabel 4). Intensitas tersebut dikelompokkan berdasarkan harapan presentase penurunan
kadar LDL.
Pemantauan profil lipid dilakukan setiap 4-12minggu. Jika dalan 4-12minggu tidak
tercapai target penurunan sesuai yang diharapkan segera evaluasi kepatuhan minum obat dan
penyebab sekunder dyslipidemia. Jika kepatuhan minum obat baik dan tidak ada etiologi
sekunder maka intensitas terapi dapat ditingkatkan. Jika dengan pemberian terapi statin
tunggal intensitas tinggi tidak memberikan hasil maka dipertimbangkan pemberian obat
hipolipidemik golongan non statin.
SINDROM METABOLIK
Definisi
Sindrom metabolik adalah kelainan metabolik terdiri dari obesitas sentral, dyslipidemia,
tekanan darah tinggi, dan gangguan toleransi glukosa. Menurut International Diabetes
Federation adalah adanya obesitas sentral yang ditandai ukuran lingkar perut, pada pria
>90cm dan wanita >80cm (Asia Pasifik), ditambah 2 dari 4 kriteria:
1. Tekanan darah >130/85 mmHg
2. Kadar glukosa puasa >100 mg/dL
3. Kadar Trigliserida > 150 mg/dL
4. Kadar HDL kolesterol, pada pria <40 mm/dL, dan wanita <50 mg/dL
Adanya Sindrom Metabolik pada seseorang akan menyebabkan komplikasi penyakit
kardiovaskular dan diabetes. Selain itu bisa menyebabkan timbunan fatty liver yang akhirnya
menyebabkan sirosis. Ginjal juga akan terkena dampak yaitu terjadinya kebocoran protein
pada urin yang berpotensi menyebabkan terjadinya kerusakan pada ginjal.

Penyebab
Terdapat 2 faktor penyebab utama sindrom metabolik yaitu obesitas dan resistensi
insulin. Selain itu, factor lain memperberat sindrom metabolik, yaitu kurangnya aktivitas
fisik, penuaan, dan genetik. Riwayat keluarga dengan DM tipe 2, hipertensi, dan penyakit
jantung akan meningkatkan resiko. Faktor lingkungan yaitu kurang olahraga, gaya hidup
buruk, dan peningkatan berat badan terlampau cepat.
Obesitas dihubungkan dengan berbagai perubahan dalam ekspresi adipokin seperti
peningkatan TNF-alfa, IL-6, resistin, PAI-1 dan leptin serta berkurangnya adiponektin yang
akan mempengaruhi fungsi endotel pembuluh darah dan system koagulasi.
Selain itu, adanya resistensi insulin pada sindroma metabolic akan berhubungan
dengan disfungsi endotel. Konsentrasi PAI-1 yang meningkat akan menbantu terjadinya
proses aterosklerosis dan mengganggu pembersihan thrombus dari pembuluh darah.
Obesitas adalah faktor resiko yang sangat penting untuk terjadinya sindrom metabolik
disamping hal-hal berikut:
- Perempuan yang telah memasuki menopause
- Merokok
- Mengkonsumsi terlalu banyak karbohidrat
- Kurang olah raga
- Konsumsi minuman alkohol
Suatu hipotesis menyatakan bahwa penyebab primer dari sindrom metabolik adalah
resistensi insulin. Resistensi insulin mempunyai hubungan dengan timbunan lemak perut
(visceral) yang dapat ditentukan dengan pengukuran lingkar pinggang. Resistensi insulin
berpengaruh pada timbulnya hipertensi, dislipidemi, dan peningkatan kadar gula darah.
Apabila kelainan-kelainan tersebut berlangsung lama dan tidak terkontrol dengan baik, maka
kelainan tersebut menyebabkan timbulnya aterosklerosis terutama pada pembuluh darah
arteri akibat penumpukan plak kolesterol. Aterosklerosis mempermudah timbulnya penyakit
jantung, diabetes, kerusakan ginjal, stroke.
Diketahui juga bahwa sindrom metabolik berkaitan dengan rendahnya testosterone yang
menyebabkan hipogonadisme dan disfungsi ereksi. Riset AL Burnet 2005 menyebutkan laki-
laki gemuk yang mengalami sindrom metabolik memiliki kadar terstosteron lebih rendah 150
mg/dL daripada laki-laki yang tidak sindrom metabolik. Sindrom metabolik menyebabkan
disfungsi endotel sehingga timbul disfungsi ereksi.
Komplikasi
Jika sindrom metabolik tidak cepat ditangani maka akan terserang diabetes, penyakit
jantung koroner, gagal jantung, stroke, fibrilasi atrium, tromboembolisme vena, dan
penurunan fungsi kognitif, kematian mendadak.

Pencegahan
Menerapkan pola hidup sehat, pola makan yang baik dan pemeriksaan kesehatan yang
teratur. Olah raga yang teratur setiap hari minimal 30 menit, mengurangi makanan yang
banyak mengandung lemak, karbohidrat, dan garam, serta pemeriksaan darah di lab rutin
profil lipid.

Pengobatan
Tujuan utama pengobatan adalah mengobati penyebab utama sindrom dan penyakit
lain yang sudah terjadi. Modifikasi pola hidup paling utama karena penyebab utama SM
adalah kelebihna berat badan. Penurunan BB dapat memperbaiki semua aspek dari sindrom
metabolic. Penurunan BB paling realistis adalah 7-10% dalam 6-12 bulan.
Perubahan diet spesifik ditujukan terhadap aspek-aspek tertentu dari sindrom metabolik
seperti:
- Mengurangi asupan lemak jenuh untuk menurunkan resistensi insulin
- Mengurangi asupan garam untuk menurunkan tekanan darah
- Mengurangi asupan karbohidrat untuk menurunkan kadar glukosa darah dan
trigliserid
- Menu makanan yang banyak mengandung serat seperti buah-buahan, sayur-sayuran,
biji-bijian, lemak tak jenuh dan produk susu rendah lemak bermanfaat pada sebagian
besar pasien sindrom metabolic.
Selain mengatur diet, latihan fisik terbukti dapat menurunkan kadar lipid dan resistensi
insulin dalam otot. Pasien menjalani latihan fisik dengan intensitas sedang teratur dalam
jangka panjang. Kombinasi latihan fisik aerobic dan latihan fisik beban. Jalan kaki dan
jogging selama 1 jam terbukti menurunkan lemak perut visceral secara bermakna tanpa
mengurangi jumlah kalori yang dibutuhkan. Olahraga disarankan setiap hari sampai
menghabiskan kalori +300 kcal atau setara dengan berjalan 3 km atau bisa juga dengan sit up
sebanyak 50-100 kali. Penurunan BB 5-10% dapat menurunkan HbA1C sebesar 1% dan
menurunkan tekanan darah hipertensi.

Eating Disorder
Emotional Eating
Gangguan makan (F50) adalah salah satu bagian dari sindrom perilaku yang
berhubungan dengan gangguan fisiologi dan faktor fisik. Gangguan makan terdiri dari:
F50.0 Anoreksia Nervosa
F50.1 Anoreksia Nervosa Tak Khas
F50.2 Bulimia Nervosa
F50.3 Bulimia Nervosa Tak Khas
F50.4 Makan Berlebihan yang berhubungan dengan gangguan psikologis lainnya
F50.5 Muntah yang berhubungan dengan gangguan psikologis lainnya
F50.8 Gangguan Makan lainnya

(F50.4) Makan Berlebihan yang berhubungan dengan gangguan psikologis lainnya


Makan berlebihan sebagai reaksi terhadap hal-hal yang membuat stress (emotionally
distressing event), sehingga menimbulkan “obesitas reaktif” terutama pada individu dengan
predisposisi untuk bertambah berat badan.
Obesitas sebagai penyebab timbulnya berbagai gangguan psikologis tidak termasuk
disini (Obesitas dapat menyebabkan seseorang menjadi sensitive terhadap penampilannya
dan meningkatkan kurang percaya diri dalam hubungan interpersonal). Obesitas sebagai efek
samping penggunaan obat-obatan (neuro leptika, antidepresan, dll) juga tidak termasuk disini.
Emotional eating didefinisikan sebagai keinginan berlebih untuk konsumsi makanan
tinggi gula, garam dan lemak sebagai respon negative terhadap emosi. Emosional eating yang
tidak bisa dikontrol akan meningkatkan resiko terjadinya gangguan makan seperti bulimia
nervosa, binge-eating disorder, obesitas, penyakit kardiovaskular, DM tipe II.
Berdasarkan Jurnal 2023 PubMed terdapat hubungan antara Emosional eating dengan
kondisi psikologis (depresi dan gangguan cemas), overweight/obesitas, dan pola makan tidak
sehat. Stres dan depresi terus berhubungan dengan peningkatan asupan makanan, dimana
terjadi peningkatan asupan makan saat periode stressful. Terlebih lagi, emotional eating
mempengaruhi jenis makanan yang dikonsumsi. Mayoritas makanan yang dipilih termasuk
kategori olahan rendah nilai nutrisi atau tidak sehat. Fenomena emosional eating terjadi
secara kompleks dan kompilasi multilayer faktor internal dan eksternal, mempengaruhi
keputusan untuk memilih makanan dan kuantitas serta jenis makanan yang akan dikonsumsi.
Pencegahan yang dapat dilakukan pada pasien emotional eater adalah merubah konsep
mekanisme coping tanpa menggunakan makanan. Dibutuhkan intervensi seperti manajemen
stress, terapi kognitif behavior dan conscious eating memilih makanan lebih sehat.
Emosional eating adalah mekanisme coping yang terjadi terhadap perasaan stressfull.
Menurut penelitian, sekitar 75% kita makan karena adanya dorongan emosional, dalam kata
lain kita makan bukan saat kita lapar tetapi saat bosan, stress, atau cemas. Pada saat kita
merasakan emosi sedih atau waspada atau strressful, tubuh produksi hormone kortisol.
Kortisol membuat kita craving makanan manis, asin, dan berlemak (dr.Albers,Psyd).
Mekanisme tubuh manusia seperti di masa lampau, saat tubuh menghadapi situasi
mengancam maka tubuh akan mengambil banyak kalori.
Tanda sesorang mengalami emosional eating yaitu
- Timbul craving atau perasaan ingin makan berbagai jenis dan merasakan sensasi
terpenuhi serta merasakan perasaan puas.
- Craving makanan tertentu seperti manis coklat untuk memenuhi perasaan pasien.
- Overeating, sebanyak apapun yang dimakan tidak akan memperbaiki emosi kecuali
hingga merasa penuh.
- Merasa malu dan bersalah setelah emosional eating.

FISIOLOGI ASUPAN MAKAN


Meskipun asupan makanan disesuaikan untuk mengimbangi pengeluaran energi,
namun tidak terdapat reseptor kalori tersendiri untuk memantau masukan energi, pengeluaran
energi atau kandungan energi total. Terdapat berbagai faktor kimiawi dalam tubuh yang
memberi sinyal tentang keadaan nutrisi tubuh yaitu seberapa banyak lemak yang tersimpan
atau status kenyang lapar yang penting dalam pengendalian asupan makan.

1.Peran Nukleus Arkuatus: NPY dan Melanokortin


Pusat kontrol keseimbangan energi dan asupan makanan yang utama adalah fungsi
hipotalamus. Nuklues Arkuatus hipotalamus berperan sentral dalam kontrol jangka panjang
kesimbangan energi dan berat tubuh, serta kontrol jangka pendek asupan makanan sehari-
hari. Nukleus arkuatus adalah kumpuln neuron didekat dasar ventrikel ketiga. Sinyal makan
menimbulkan sensasi lapar, mendorong kita mencari makanan. Sinyal kenyang memberi
tahu kita bahwa kita sudah cukup makan dan menekan keinginan untuk makan.
Nuklues arkuatus punya dua subset neuron yang berfungsi berlawanan. Satu subset
mengeluarkan neuropeptida-Y dan yang lain mengeluarkan melanokortin. Kedua subset
neuron di nukleus arkuatus adalah populasi NPY/AgRP dan populasi POMC/CART. AgRP
adalah agoutirelated protein. NPY dan AgRP merangsang nafsu makan. POMC adalah
proopiomelanokortin, molekul prekursor yang menghasilkan melanokortin. CART adalah
cocaine-and amphetamine related transcript. Melanokortin dan peptida CART menekan nafsu
makan.
NPY adalah perangsang nafsu makan paling kuat, meningkatkan asupan makan
sehingga meningkatkan berat badan. Melanokortin adalah sekelompok hormon yang
berfungsi dalam homeostasis energi khususnya yaitu alpha-melanosit stimulating hormone
menekan nafsu makan sehingga menurunkan asupan dan berat badan. Hormon ini menekan
nafsu makan sebagai respon terhadap peningkatan asupan lemak. Tetapi NPY dan
melanokortin bukan efektor akhir dalam kontrol nafsu makan. Pembawa-pembawa pesan
kimiawi nukleus arkuatus ini selanjutnya mempengaruhi pelepasan neuropeptida dibagian
otak-otak lain yang memiliki efek kontrol lebih langsung pada asupan makanan. Para
ilmuwan saat ini berupaya mencari faktor-faktor lain yang bekerja di sisi hulu dan hilir NPY
dan melanokortin dalam mengatur nafsu makan.

2.Pemeliharaan Jangka Panjang Keseimbangan Energi: Leptin dan Insulin


Adiposit selain tempat penyimpanan lemak trigliserida, juga mengeluarkan beberapa
hormon secara kolektif dinamai adipokin, yang berperan penting dalam keseimbangan energi
dan metabolisme. Karena itu jaringan lemak sekarang disebut kelenjar endokrin. Adipokin
terpenting adalah leptin yaitu suatu hormon yang esensial untuk regulasi berat tubuh normal.
Jumlah leptin dalam darah adalah indikator yang baik dalam jumlah lemak trigliserida yang
disimpan di jaringan lemak.
Nukleus arkuatus adalah tempat utama kerja leptin. Peningkatan leptin dari simpanan
lemak yang berkembang menjadi sinyal “pelangsing” untuk menekan nafsu makan dan
menghambat sinyal NPY (perangsang nafsu makan) dan merangsang pengeluaran sinyal
melanokortin (penekan nafsu makan) dari hipotalamus.
Penurunan simpanan lemak dan penurunan sekresi leptin menyebabkan peningkatan
nafsu makan dan penambahan berat badan. Sinyal leptin umumnya dianggap sebagai faktor
dominan dalam penyesuaian jangka panjang asupan makanan. Leptin juga pemicu
dimulainya pubertas, wanita telah memiliki cukup simpanan energi lemak untuk mendukung
kehamilan.
Sinyal dalam darah selain leptin adalah insulin. Insulin adalah hormon yang
disekresikan oleh pankreas sebagai respon terhadap peningkatan konsentrasi glukosa dan
nutrien lain di darah setelah makan, merangsang penyerapan, pemakaian, dan penyimpanan
nutrien-nutrien oleh sel. Karena itu, peningkatan sekresi insulin yang menyertai kelimpahan,
pemakaian dan penyimpanan nutrien secara cepat akan menghambat sel penghasil NPY di
nukleus arkuatus, sehingga menekan asupan makan. Beberapa sinyal dalam darah dari
saluran cerna dan pankreas yang berperan penting dalam mengatur asupan makan yaitu
sebagai berikut.
3.Perilaku Makan Jangka Pendek: Sekresi Ghrelin dan PYY
Terdapat dua peptida yang penting dalam kontrol jangka pendek asupan makan:
ghrelin dan peptidaYY3-36, yang masing-masing menandakan lapar dan kenyang. Keduanya
disekresi oleh saluran cerna. Ghrelin, yang disebut hormon lapar adalah perangsang nafsu
makan poten yang dihasilkan lambung dan diatur oleh status makan. Sekresi perangsang
nafsu makan ini memuncak sebelum makan dan menyebabkan orang ingin makan, kemudian
turun setelah hidangan dimakan. Ghrelin merangsang nafsu makan dengan mengaktifkan
neuron penghasil NPY di hipotalamus.
PYY3-36 adalah mitra ghrelin. Sekresi PYY3-36 yang dihasikan oleh usus halus dan
besar, berada dalam kadar terendah sebelum makan tetapi meningkat selama makan dan
memberikan sinyal rasa kenyang. Peptida ini bekerja dengan menghabat neuron-neuron
penghasil NPY perangsang makan di nukleus arkuatus. Dengan menghilangkan nafsu makan,
PYY3-36 berperan dalam penghentian makan. Faktor-faktor berikut ini juga terlibat dalam
pembentukan sinyal yang menunjukkan dimana tubuh berada dalam skala lapar kenyang.
4.Setelah Nukleus Arkuatus: Oreksin dan yang lain
Dua daerah hipotalamus menerima banyak akson dari neuron penghasil NPY dan
melanokortin nukleus arkuatus. Daerah-daerah neuron ordo kedua yang terlibat dalam
keseimbangan energi dan asupan makanan ini adalah daerah hipotalamus lateral (lateral
hypothalamic area, LHA) dan nukleus hipotalamus paraventrikel (paraventricular
hypothalamic nucleus, PVN). LHA dan PVN mengeluarkan pembawa pesan kimiawi sebagai
respon masukan dari neuron nukleus arkuatus. Pembawa pesan ini bekerja di hilir dari sinyal
NPY dan melanokortin untuk mengatur nafsu makan. LHA menghasilkan dua neuropeptida:
oreksin yaitu stimulator kuat asupan makanan. NPY merangsang oreksin dan melanokortin
menghambat pelepasan oreksin, sehingga terjadi peningkatan nafsu makan. Sebaliknya, PVN
mengeluarkan pembawa pesan kimiawi yaitu corticotropim-releasing-hormone (CRH)
yang mengurangi nafsu makan. Melanokortin meransang dan NPY menghambat CRH
penekan nafsu makan ini.
Suatu bagian dibadang otak yaitu nukleus traktur solitarius (NTS) memproses
sinyal-sinyal yang penting dalam perasaan kenyang. Bagian ini dianggap pusat kenyang. NTS
tidak saja menerima kasukan dari neuron hipotalamus yang lebih tinggi dalam homeostasis
energi, tetapi juga mendapat masukan dari saluran cerna dan bagian lain sabagai penanda
kenyang (misal sinyal saraf aferen yang menunjukkan tingkat peregangan lambung).
5.Kolesistokinin sebagai sinyal kenyang
Kolesistokinin (CCK) adalah salah satu hormon gastrointestinal yang dikeluarkan
mukosa duodenum sewaktu pencernaan makanan, CCK adalah sinyal kenyang. CCK
dikeluarkan sebagai respon adanya nutrien di usus halus. CCK mempermudah pencernaan
dan penyerapan nutrien. Sinyal melalui darah ini yang laju sekresinya berkorelasi dengan
jumlah nutrien yang ditelan, juga menimbulkan rasa kenyang setelah makan ditelan sebelum
makanan tersebut dicerna dan diserap. Kita merasa kenyang ketika makanan untuk mengganti
simpanan telah berada di salutan cerna, meskipun simpanan energi tubuh sebenarnya masih
rendah. Hal ini menjelaskan mengapa kita berhenti makan sebelum makanan yang ditelan
tersedia untuk mencukup kebutuhan tubuh.
6.Pengaruh Psikososial dan Lingkungan
Kebiasaan makan seseorang dibentuk oleh faktor psikologis, sosial dan lingkungan.
Sering keputusan kita untuk makan atau berhenti makan tidak semua ditentukan oleh sinyal
lapar kenyang. Karena jadwal makan makan, kebiasaan sosial, tekanan keluarga habiskan
makanan.
Selain itu, derajat kesenangan yang berasal dari makanan dapat memperkuat perilaku
makan. Makan hidangan dengan rasa, aroma, dan tekstur nikmat menambah nafsu makan.
Stres, rasa cemas, depresi dan kebosanan juga mengubah perilaku makan melalui cara-cara
yang tidak berkaitan dengan kebutuhan energi. Orang sering makan untuk memenuhi
kebutuhan psikoogis bukan untuk menghilangkan lapar. Pengaruh lingkungan seperti
ketersediaan jumlah makanan.
Obesitas
Adalah kelebihan kandungan lemak di jaringan adiposa, batas untuk obesitas adalah
kelebihan berat lebih dari 20% berat standar normal. Faktor penyebab obesitas:
 Gangguan jalur sinyal leptin. Sebagian besar kasus obesitas terkait resistensi leptin. Pada
obesitas, pusat di hipotalamus yang berperan dalam homeostasis energi “distel lebih
tinggi”. Otak tidak mendeteksi tingginya kadar leptin dalam darah yang berasal dari
jaringan lemak yang banyak sehingga tidak menurunkan nafsu makan sampai titik
patokan lebih tinggi (dan karenanya simpanan lemak lebih banyak). Hal ini menjeaskan
mengapa orang kelebihan berat badan mempertahankan beratnya ditingkat lebih tinggi
dari normal. Selain gangguan reseptor, gangguan lain jalur leptin adalah gangguan
transpor leptin menembus sawar darah otak atau defisiensi pembawa pesan kimiawi di
jalur leptin.
 Kurang olahraga. Tingkat aktivitas fisik rendah biasanya tidak disertai penurunan asupan
makanan.
 Perbedaan “fidget factor”. Termogenesis non olahraga (nonexercise activity
thermogenesis, NEAT) atau fidget factor dapat menjelaskan mengapa ada variasi
penyimpanan lemak diantara orang. NEAT merujuk pada energi yang dikeluarkan oleh
aktivitas fisik di luar olahraga yang direncanakan. Mereka yang sering fidgetting atau
mengetuk kaki atau aktivtasi fisik spontan lain berulang menghabiskan kalori sepanjang
hari tanpa disadari.
 Perbedaan dalam mengekstraksi energi dari makanan. Alasan mengapa orang gemuk dan
langsing memiliki perbedaan mencolok berat badan meski konsumsi kilokalori yang
sama adalah dalam efisiensi mengekstraksikan energi dari makanan. Orang langsing
cenderung kurang peroleh energi dari makanan yang mereka santap karena mereka lebih
banyak mengubah energi jadi panas dibanding disimpan. Contoh, orang langsing lebih
banyak punya uncoupling protein yang memungkinkan sel-sel tubuh mereka mengubah
lebih banyak energi kalori nutrien menjadi panas dan bukan menjadi lemak. Mereka
adalah orang yang dapat makan banyak tanpa naik berat badan. Sebaliknya orang
obesitas mungkin punya sistem metabolik yang lebih efisien mengekstraksikan energi
makanan menjadi simpanan, suatu sifat yang bermanfaat saat kekurangan makanan tetapi
menjadi beban saat makanan berlimpah.
 Kecenderungan herediter. Perbedaan jalur regulatorik untuk keseimbangan energi baik
jalur mengatur asupan makanan maupun yang mempengaruhi pengeluaran energi sering
berasal dari variasi genetik.
 Pembentukan sel lemak dalam jumlah berlebihan akibat makan berlebihan. Masalah
dalam obesitas adalah sekali terbentuk sel lemak maka sel tersebut tidak akan lenyap
dengan pembatasan dan penurunan berat badan. Orang berdiet akan kehilangan lemak
trigliserida dalma sel lemak, tetapi sel tersebut tetap ada dan bisa diisi lagi. Karena itu,
penambahan berat secara rebound setelah penurunan berat sulit dihindari dan dapat
mematahkan semangat berdiet.
 Keberadaan penyakit endokrin tertentu misalnya hipotiroidisme. Defisiensi hormon
tiroid, faktor utama yang meningkatkan BMR sehingga tubuh membakar lebih banyak
kalori dalam keadaan istirahat.
 Ketersediaan makanan yang melimpah, lezat, padat energi, dan relatif murah.
 Gangguan emosi dimana makan berlebihan menggantikan kepuasan yang lain
 Kemungkinan keterkaitan dengan virus. Salah satu hipotesis yang menarik mengaitkan
virus flu biasa dengan kecenderungan mengalami kelebihan berat.
Kesimpulan
Pada kunjungan pertama, berdasarkan hasil anamnesis, riwayat penyakit, riwayat
pemeriksaan laboratorioum, pemeriksaan BMI dan tekanan darah, didapatkan diagnosis
pasien obesitas II disertai hipertensi grade II dan dyslipidemia. Faktor penyebab pada pasien
adalah stress yang menimbulkan reaksi perilaku makan berlebih secara ontinyu sehingga
terjadi “reset” pusat lapar kenyang hipotalamus sehingga sinyal lapar kenyang pasien
terganggu menimbulkan tumpukan lemaka berlebih menjadi obesitas. Pola makan berlebih
ini selain menimbulkan obesitas juga meningkatkan kadar kolesterol sehingga timbul
dislipidemi. Setelah menjalani program pola makan dibantu treatment dan obat terlihat
keberhasilan program dari turunnya berat badan dan tekanan darah. Hal ini sesuai dengan
teori tatalaksana panduan pola makan disertai tatalaksana awal hipertensi. Stres dan perilaku
makan berlebih juga berkurang, dilihat dari nafsu makan yang sudah bisa dikontrol. Hal ini
sesuai dengan teori mengembalikan normalnya fungsi sinyal lapar kenyang pasien . Perlu
dipertimbngkan pemeriksaan ulang lab profil lipid untuk mengetahui apakah ada perbaikan
pada dislipidemi.

Daftar Pustaka
1. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Ed 8. Jakarta: EGC; 2016.
2. Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK UI jilid II. Edisi VI.
Jakarta:InternaPublishing, 2015.
3. Arifputera A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Editor, Tanto C, dkk. Edisi 4. Jakarta:
Media Aesculapius. 2014; jilid 2.
4. DEPKES. RI. 2000. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III(PPDGJ-
III). Direktorat Kesehatan Jiwa Depkes RI.

Anda mungkin juga menyukai