Anda di halaman 1dari 10

8 Fakta Menarik Suku Kajang Ammatoa selain

Kesaktian Ilmu Hitamnya (ilmu Doti)


Suku Kajang adalah salah satu suku bangsa di Indonesia yang masih melestarikan
kearifan lokal dan hukum adatnya. Tidak ada listrik, alat komunikasi modern,
perabotan rumah tangga modern, jalan beraspal, hingga sekolah.

Secara geografis, masyarakat adat suku Kajang terbagi dua, yakni mereka yang masih
mempertahankan ajaran leluhurnya dan hidup di kawasan adat, dikenal orang Kajang
dalam (Ilalang Embayya), dan mereka yang tinggal di luar kawasan adat dan telah
menerima teknologi, dikenal orang Kajang luar (Ipantarang Embayya).

Di bawah ini beberapa fakta menarik tentang masyarakat adat suku Kajang yang akan
memperkaya khazanah pengetahuanmu.

Pertama, Manusia Suku Kajang yang Pertama disebut To


Manurung

Ada banyak versi mitologis tentang asal usul orang Kajang yang beredar dan diyakini
kebenarannya oleh masyarakat adat Kajang hingga hari ini.
Versi pertama mengatakan bahwa orang Kajang berasal dari To Manurung yang
bernama Batara Daeng Rilangi (Gadis cantik dari langit) yang dinikahi oleh
Tamparang Daeng Malowang.

Pernikahan keduanya lalu melahirkan tiga orang anak yang kelak menjadi penguasa
di tiga daerah (Desa) terpisah yaitu:

 Tau Tentaya Matanna yang menjadi Raja Laikang.


 Tau Kale Bojo’a yang menjadi Raja Lembang.
 Tau Sapaya Lilana yang menjadi Raja Kajang.

Adapun kisah versi kedua mengatakan bahwa manusia pertama di Kajang adalah
manusia yang diturunkan dari langit (Tau Manurung) atas kehendak Turi'e A'ra'na
(Tuhan YME). Kehadiran Tau Manurung ini diperkirakan terjadi sekitar tahun 1300
M (Haris. 2016).

Untuk istilah Kajang sendiri ternyata memiliki arti yang beragam. Setidaknya ada 3
versi makna:

 Pertama, Kajang adalah nama burung yang digunakan To Manurung turun ke


bumi, yakni Koajang.
 Kedua, Kajang berasal dari kata sikajarian atau akkajarian yang berarti segala
sesuatu tercipta mula-mula dari daerah Tanatowa (sekarang desa Tanah Towa).
 Ketiga, Kajang berasal dari bahasa melayu yang artinya tempat bernaung.

Kedua, Ammatoa adalah Pemimpin Tertinggi bagi Masyarakat


Adat Kajang
Ammatoa adalah pemimpin adat tertinggi yang diyakini memiliki sejumlah kekuatan
dan kemuliaan (niturungi pangngellai). Tidak sembarang orang bisa menjadi
Ammatoa.

Bagi masyarakat adat Kajang, ia adalah orang yang turun dari langit (To Manurung)
dan sekaligus orang yang pertama yang turun di daerah Tanatowa.

Secara harfiah, isitlah “Ammatoa” berarti “seorang bapak yang dituakan”. Ia memiliki
pandangan dan pengetahuan yang luas sehingga mampu mengambil keputusan yang
bijak atas berbagai masalah.

Beberapa fungsi dan peran Ammatoa (Hafid. 2013):

 Sebagai pelindung dan pengayom masyarakat adat, termasuk Hutan yang


dikeramatkan (Borong Karamaka)
 Sebagai penghubung spiritual dengan Turi’e A’ra’na (Tuhan)
 Sebagai penegak hukum dan ajaran adat (Pasang ri Kajang)

Ketiga, Agama Orang Kajang adalah Islam (Amalan Tarekat)


Agama orang Kajang secara administratif adalah Islam. Meskipun di KTP sebagai
penganut Islam, namun dalam pengamalannya terdapat perbedaan antara orang
Kajang dalam dan orang Kajang luar.

Bagi orang Kajang dalam (Ilalang Embayya), mereka masih memegang teguh ajaran
leluhur mereka yang bersumber dari Pasang ri Kajang (sumber hukum tidak tertulis).

Adapun Islam yang diyakini sebagaimana yang telah diajarkan oleh Dato’ ri Tiro pada
awal abad 17 M adalah Islam kebatinan (tarekat).Mereka mengamalkan konsep
“sembayang tatappu je’ne talluka” (sholat yang tak putus-putus dan wudhu yang tak
pernah batal).

Sementara bagi orang Kajang luar (Ipantarang Embayya), mereka tetap menjalankan
syariat islam seperti sholat, puasa, zakat, dan Haji.

Keempat, Pakaian Orang Kajang Serba Hitam (Baju Le’leng)


Pakaian sehari-hari orang Kajang adalah Baju Hitam (Baju le’leng), khusunya bagi
orang Kajang dalam. Mereka juga memakai sarung hitam (

tope le’leng) yang mereka tenun sendiri dengan menggunakan pewarna alami.
Tope Le’leng adalah sarung khas kajang yang ditenun dari tangan-tangan terampil
perempuan Kajang. Sarung ini juga menjadi syarat ketika ada upacara-upacara adat
di Kajang.

Secara filosofis, warna hitam merupakan simbol kesamaan dalam segala hal termasuk
kesamaan dalam hidup kesederhanaan (Tallasa' Kamase masea)

Kelima, Rumah Adat Orang Kajang Semuanya Menghadap ke


Barat (Gunung Bawakaraeng)
Bentuk rumah adat orang kajang (

ad
Balla to Kajang) adalah rumah panggung yang hampir mirip dengan rumah adat suku Bugis dan
Makassar.
Pola rumah orang Kajang dalam (llalang Embaya) itu berkelompok dan didirikan di
tengah kebun keluarga. Kemudian arah bangunan rumah mereka
membelakangi Borong Karama' (Hutan keramat).

Dengan kata lain, semua rumah orang Kajang menghadap ke barat (Gunung
Bawakareng), tertata rapi serta berjejer dari utara ke selatan.

Hal unik lainnya adalah seluruh bentuk dan desain rumah orang Kajang serupa dan
dapurnya terletak di bagian depan rumah. Ini sebagai penegasan ajaran Pasang ri
Kajang tuk hidup sederhana (Tallasa' Kamase masea)
Keenam, Mata Pencaharian Orang Kajang adalah Petani dan
Pekebun

ad
Pekerjaan orang Kajang dalam adalah petani atau peladang. Pada musim tertentu,
mereka meramu hasil hutan dan berburu serta menyadap nira.

Sementara bagi kaum wanitanya bekerja sebagai penenun dan membantu di sawah
atau ladang. Hampir semua kaum wanita pandai menenun tope’ (sarung) secara
tradisional.

Mereka membeli ganti' (benang) sebagai bahan dasar di pasar Kalimporo, dan proses
pewarnaannya (hanya warna hitam) dikerjakan sendiri dengan mencampurkan
sejenis daun pohon yang disebut tarung pada benang. Setelah beberapa waktu
direndam, benang akan berubah warna.
Sebahagian hasil tenun dipergunakan untuk keperluan pakaian sendiri dan sebagian
lagi dijual.

Ketujuh, Bahasa Orang Kajang adalah Konjo

Bahasa sehari-hari orang Kajang adalah bahasa Konjo yang merupakan sub bahasa
Makassar.

Secara geografis, penutur bahasa konjo mendiami wilayah sekitar pegunungan


Bawakaraeng Malino dan pesisir pantai Bulukumba (Mattulada, 1964)

Secara harfiah, Konjo merujuk pada sebuah dialek bahasa Makassar yang dituturkan
di desa-desa perbatasan kawasan berbahasa Makassar dan Bugis.

Kedelapan, Aturan yang Berlaku adalah Hukum Adat


Bagi orang Kajang yang tinggal di kawasan adat, mereka masih menjalankan berbagai
tradisi dan ajaran leluhur (Pasang ri Kajang) yang dipimpin dan diawasi oleh
Ammatoa.

Berikut beberapa tradisi dan aturan adat yang masih bertahan hari ini;

 Orang luar yang masuk di kawasan adat wajib menggunakan pakaian hitam, dan
tidak memakai sendal.
 Orang luar yang masuk di kawasan adat dilarang memasuki daerah Borong
Karamaka (Hutan Keramat).
 Ritual Attunu Panroli (Memegang Linggis Panas) yakni mekanisme penyelesaian
perkara yang belum diketahui tersangkanya.
 Ritual Andingingi (Mendinginkan Bumi), bertujuan memohon keselamatan dan
kesehatan. Dilaksanakan tiap tahun.
 Ritual Akkatere, bertujuan mensucikan diri dan dianggap setara dengan pergi
naik haji.
 Ritual Kalomba, bertujuan menyematkan identitas kesukuan bagi seluruh anak
keturunan Kajang dan untuk menghindari penyakit kulit.

Anda mungkin juga menyukai