Guru inspiratif tidak hanya berusaha agar anak menguasai sebanyak mungkin
materi pelajaran, melainkan berusaha dengan ketulusan hati untuk memberikan
teladan dan menggerakkan atau menginspirasi anak. Guru yang inspiratif mampu
menggerakkan hati dan potensi anak untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat.
Sementara anak yang terinspirasi akan sanggup melakukan sesuatu dengan rela
dan menjadikan sesuatu keinginan terwujud. Inspirasi juga mampu membuat anak
percaya diri dan memiliki harapan yang tinggi untuk menyelesaikan masalah atau
tugas dengan baik. Guru yang inspiratif mengingini anak didiknya “berjalan” atau
bahkan “berlari” jauh di depan langkahnya.
Guru dapat pula menginspirasi anak dengan berbagai cara. Misalnya, ketika
mengawali atau di sela-sela kegiatan pembelajaran, guru dapat mengenalkan atau
menceritakan kisah kepahlawanan atau kisah hidup para ilmuwan. Guru perlu
mengenalkan proses kreatif yang dilakukan para ilmuwan tersebut dalam
menemukan berbagai ilmu. Hal demikian akan menginspirasi anak untuk
melakukan proses kreatif serupa. Berikutnya adalah melaksanakan pembelajaran
yang bermakna. Pembelajaran akan bermakna apabila anak tidak hanya dapat
menjawab pertanyaan “apa” dan “bagaimana”, melainkan juga mampu menjawab
berbagai pertanyaan “mengapa” terkait materi pembelajaran. Anak perlu
mengetahui dengan jelas tujuan kegiatan yang dilakukan. Apabila anak tidak
memahami, mereka akan kehilangan minat. Pelajaran sejarah mungkin akan
menjadi masalah apabila anak tidak memahami perlunya mengetahui kejadiana
masa lampau. Hal ini akan terjadi apabila hal itu tidak dikaitkan relevansinya
dengan masa depan. Namun demikian, topik apapun akan menjadi tidak relevan
apabila memang tidak dijelaskan relevansinya.
Guru tidak hanya bisa menginspirasi anak melalui ucapan, melainkan juga
tindakan. Misalnya, guru dapat menginspirasi anak untuk memiliki budaya
membaca apabila guru juga melakukan tindakan yang sama. Penelitian
menunjukkan bahwa anak, bahkan sejak hari pertama ia lahir, memiliki
kemampuan untuk meniru tindakan. Mari kita ingat kembali pada peristiwa
perjanjian Hudaibiyah, bagaimana para sahabat bersegera mencukur rambut ketika
melihat Rasululloh untuk melakukan hal sama. Sementara sebelumnya, mereka
masih enggan ketika Rasululloh memintanya secara lisan.