Anda di halaman 1dari 6

TEKNOLOGI SEDIAAN BAHAN ALAM

“RESUME”

DISUSUN OLEH :

NAMA : MARIA N. SIA


NIM : G 701 18 105
KELAS :A

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2021
Ekstraksi secara umum merupakan suatu proses pemisahan zat aktif dari suatu
padatan maupun cairan dengan menggunakan bantuan pelarut. Untuk dapat
digunakan sebagai bahan aktif sediaan obat, perlu dilakukan standarisasi ekstrak
untuk menjamin mutu dan keamanannya. Standarisasi dilakukan agar dapat
diperoleh bahan baku yang seragam yang akhirnya dapat menjamin efek
farmakologi tanaman tersebut. Standardisasi merupakan proses penjaminan
produk akhir (simplisia, ekstrak atau produk herbal) agar mempunyai nilai
parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan terlebih dahulu.

1. Standarisasi Ekstrak Cair dan Kering


a. Ekstrak Cair
Ekstrak cair (Extractum fluidum) merupakan sediaan dari simplisia nabati
yang mengandung etanol sebagai pelarut atau sebagai pengawet atau
sebagai pelarut dan pengawet. Jika tidak dinyatakan lain pada masing-
masing monografi tiap ml ekstrak mengandung bahan aktif dari 1 g
simplisia. Misalnya contoh ekstrak cair etanol Daun leilem (Clerodendrum
minahassae Teisjm. & Binn).

Penentuan nilai standardisasi ini perlu acuan yang menandakan bahwa


simplisia dan ekstrak tersebut memenuhi persyaratan yang telah
ditetapkan. Acuan standardisasi resmi untuk daun leilem sendiri belum
tercantum dalam terbitan Departemen Kesehatan maupun dari sum- ber
lain, sehingga sebagai acuan penelitian ini adalah dengan menggunakan
persyaratan secara umum.

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah simplisia dan ekstrak
etanol daun leilem. Ekstrak diperoleh dari hasil ekstraksi dengan
menggunakan metode maserasi selama 3 x 24 jam dan remaserasi selama 2
x 24 jam menggunakan pelarut etanol 70%. Ekstrak kental
diperolehsebanyak 88,003 g de-ngan persen rendemen sebesar 22 %
(lampiran 6). Simplisia dan ekstrak selanjutnya distandardisasi
• Pemeriksaan Identitas simplisia dan ekstrak bertujuan untuk
memberikan identitas obyektif nama secara spesifik (Depkes RI.,
2000).
• Uji Makroskopik, Pengujian makroskopik bertuju-an mencari
kekhususan bentuk morfologi dan warna simplisia daun leilem
(Eliyanoor, 2012). Hasil peme-riksaan makroskopik menunjukkan
simplisia daun leilem berwarna cokelat kehijauan, berbentuk bundar
telur, ujungnya runcing, berpangkal tumpul, permukaannya licin,
bertepi rata, umumnya terdapat 6 pasang tulang daun yang menyirip.
Panjang 9,2 – 13,5 cm dan lebar 5,1 – 5,5 cm.
• Uji Mikroskopik, Pengujian mikroskopik dilaku-kan terhadap serbuk
simplisia daun leilem. Serbuk simplisia daun leilem menunjukkan
fragmen seperti pada gambar 2. Pengujian mikroskopik bertujuan
untuk menentukan frag-men pengenal yang terdapat pada daun leilem,
sehingga dapat mence-gah pemalsuan simplisia (Eliyanoor, 2012).
• Pemeriksaan Organoleptik, Pemeriksaan organoleptik sim-plisia dan
ekstrak diperoleh hasil bahwa simplisia daun leilem berbentuk serbuk,
berwarna coklat kehijauan, berbau khas, berasa pahit. Ekstrak etanol
daun leilem berkonsistensi kental, berwarna hitam, berbau khas dan
berasa pahit. Pemeriksaan organoleptik dilaku-kan pengamatan sampel
meliputi bentuk, warna, bau dan rasa. Parameter organoleptik ekstrak
bertujuan memberikan pengenalan awal terhadap simplisia dan ekstrak
menggunakan panca indera dengan mendeskripsikan bentuk, warna,
bau dan rasa (Depkes RI., 2000).
• Uji Kandungan Kimia bertujuan untuk memberikan gambaran awal
komposisi kandungan kimia (Depkes RI., 2000). Uji kandungan kimia
dilakukan terhadap ekstrak etanol daun leilem, hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun leilem mengandung senyawa
alkaloid, steroid, flavonoid dan tanin
b. Ekstrak kering merupakan sediaan padat yang diperoleh dengan cara
menguapkan pelarut berdasarkan kandungan bahan aktif. Ekstrak kering
memiliki nilai susut pengeringan biasanya tidak lebih dari 5%. Ekstrak kering
mudah menarik lembab dan cendrung membentuk gumpalan-gumpalan.
Untuk mengatasinya disarankan suatu penggerusan intensif dengan
menggunakan laktosa, dimaksudkan agar zat-zat dapat dikeringkan dengan
baik. Setelah itu dilanjutkan dengan pengujian simplisia yang bertujuan
untuk mendapatkan simplisia yang bermutu baik dan memenuhi
standarisasi Farmakope Herbal Indonesia Edisi I misalnya ambil contoh
dari esktrak kering simplisia jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.).
• Susut pengeringan simplisa jati belanda yang diperoleh 9,4924% ±
0,4428%, memenuhi nilai standarisasi yang terdapat dalam Farmakope
Herbal Indonesia Edisi I (2008) dimana nilai susut pengeringan tidak
lebih dari 12%.
• Kadar abu total simplisia jati belanda 6,6795% ± 0,2403%, memenuhi
nilai standarisasi yang terdapat dalam Farmakope Herbal Indonesia
Edisi I (2008) dimana nilai kadar abu total tidak lebih dari 7,2%.
• Kadar abu tidak larut asam simplisia jati belanda 2,1738% ± 0,1435%,
memenuhi nilai standarisasi yang terdapat dalam Farmakope Herbal
Indonesia Edisi I (2008) dimana nilai kadar abu tidak larut asam tidak
lebih dari 2,7%.
• Kadar sari larut dalam air simplisia jati belanda 12,8555% ± 0,1642 %
(Lampiran I, Tabel VIII) memenuhi nilai standarisasi yang terdapat
dalam Farmakope Herbal Indonesia Edisi I (2008) dimana nilai kadar
sari larut dalam air tidak kurang dari 12,4%.
• Kadar sari larut dalam etanol simplisia jati belanda 3,7932% ±
0,2005%, memenuhi nilai standarisasi yang terdapat dalam Farmakope
Herbal Indonesia Edisi I (2008) dimana nilai kadar sari larut dalam
etanol tidak kurang dari 3,2%.
• Pemeriksaan Mikroskopik Simplisia Jati Belanda berupa epidermis
atas, epidermis bawah dengan stomata, rambut penutup berbentuk
bintang, rambut penutup pada tulang daun, serabut dengan kristal
kalsium oksalat, dan rambut kelenjar dengan kristal kalsium oksalat
dimana pemeriksaan tersebut sesuai dengan standarisasi yang terdapat
dalam Farmakope Herbal Indonesia Edisi I (2008).
• Pola Kromatografi simplisia dengan KLT, nilai Rf yang diperoleh
mendekati nilai Rf dari Farmakope Herbal Indonesia, noda sampel
untuk simplisia yang terlihat pada plat terdapat 4 noda, yang
menyerupai jumlah noda yang terdapat didalam Farmakope Herbal
Indonesia Edisi I (2008).
• Penetapan Kadar Flavonoid Total pada simplisia Jati Belanda 1,5052%
± 0,0035% memenuhi nilai standarisasi yang terdapat dalam
Farmakope Herbal Indonesia Edisi I (2008) dimana nilai kadar
flavonoid tidak kurang dari 0,30%.
2. Stabilisasi Ekstrak Cair dan Kering
Stabilitas sediaan farmasi merupakan salah satu kriteria yang sangat penting
untuk suatu hasil produksi yang baik. Stabilitas merupakan suatu aplikasi
produk untuk mempertahankan sifat dan karakteristiknya agar sama dengan
yang dimilikinya saat dibuat dalam batasan yang ditetapkan sepanjang periode
penyimpanan dan penggunaan. Sediaan yang berasal dari bahan alam
cenderung memiliki stabilitas yang cukup rendah yang sangat dipengaruhi
oleh proses prapanen, pasca panen hingga proses ekstraksi. Ketidakstabilan
produk obat dapat menyebabkan penurunan hingga hilangnya khasiat, obat
dapat berubah menjadi toksis, atau terjadi perubahan penampilan dari sediaan
farmasi (warna, bau, rasa, konsistensi, dan lain-lain) sehingga dapat
merugikan penggunaan.

Stabilitas merupakan faktor esensial mutu, keamanan dan khasiat obat karena
pengujian stabilitas memperoleh kepastian mengenai stabilitas produk obat
yakni kemampuannya untuk mempertahankan spesifikasi apabila dikemas
dalam kemasan tertentu serta disimpan dalam kondisi tertentu selama waktu
yang ditetapkan.

Ekstrak kering maupun ekstrak cair memiliki stabilitas baik fisika sediaan
farmasi yang mengandung bahan alam dapat diketahui dengan uji organoleptis
seperti perubahan warna,rasa, bau dan tekstur. Hasil stabilitas kimia dan fisika
dari sediaan farmasi yang mengandung zat aktif dari bahan alam berbeda-
beda. Stabilitas suatu sediaan farmasi sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan seperti pH, suhu dan cahaya sehingga untuk menjaga kestabilan
sediaan farmasi perlu memperhatikan sifat dari senyawa bahan alam yang
digunakan. Sediaan yang berasal dari bahan alam cenderung memiliki
stabilitas yang cukup rendah yang dapat mempengaruhi stabilitas suatu
sediaan, stabilitas fisika dan kimia suatu sediaan farmasi mengandung bahan
alam sangat mempengaruhi efek farmakologi zat aktif didalam sediaan.
Apabila suatu sediaan tidak stabil secara fisika dan kimia maka dapat
menurunkan efek farmakologi zat aktif di dalam suatu sediaan tersebut.
3. Spesifikasi Ekstrak Cair dan Kering
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No : 55/Menkes/SK/1/2000,
obat tradisional yang beredar di Indonesia harus memenuhi persyaratan mutu,
keamanan dan kemanfaatannya (Depkes RI, 2000). Oleh karena itu, perlu
dilakukan suatu penelitian pengukuran parameter spesifik ekstrak cair atau
kering (organoleptis, pola kromatogram, macam-macam kandungan kimia,
penetapan kadar sari larut air dan larut etanol) dan non spesifik (susut
pengeringan, kadar abu total, kadar abu tidak larut asam, kadar air, bobot
jenis dan cemaran mikroba).

Anda mungkin juga menyukai