Remisi
Remisi
Oleh :
Elisabet Citra Dewi
Pembimbing :
Erikavitri Yulianti
i
ABSTRAK
Skizofrenia merupakan suatu kumpulan gejala dengan manifestasi klinis yang
bervariasi antar indvidu yang meliputi gejala positif, gejala negatif dan gejala
kognitif yang berlangsung selama 1 bulan atau lebih serta ada perubahan yang
konsisten dan bermakna yang mengganggu diri dan lingkungan. Perjalanan klinis
skizofrenia bersifat kronis yang dapat terbagi menjadi fase premorbid, fase
prodromal, fase akut, fase stabil dan fase stabilisasi. Hasil akhir dari skizofrenia
bervariasi, mulai dari rekoveri, remisi, berkelanjutan, terjadi deteorisasi hingga
meninggal. Remisi adalah suatu kondisi hilang atau berkurang hingga intensitas
yang sangat minimal dari gejala positif, gejala negatif dan gejala umum yang
spesifik dalam jangka waktu 6 bulan. Tujuan dari penatalaksanaan remisi adalah
mengurangi gejala klinis yang ada dengan mengoptimalkan tatalaksana
psikofarmaka. Rekoveri merupakan suatu kondisi di mana penderita skizofrenia
telah mengalami perbaikan gejala klinis, disertai pulihnya fungsi kognitif, sosial,
pekerjaan dan mampu berpartisipasi penuh di lingkungan serta telah berlangsung
selama 2 tahun. Penatalaksanaan rekoveri bersifat holistik dengan
mengoptimalkan intervensi psikososial dan tetap mempertahankan tatalaksana
psikofarmaka dengan dosis rumatan, sehingga dapat mengontrol kondisi gejala
psikotik yang dialami dan memfasilitasi partisipasi penderita skizofrenia dalam
perawatan psikososial.
Kata kunci : skizofrenia, remisi, rekoveri
ABSTRACT
ii
DAFTAR ISI
Abstrak ............................................................................................................ ii
iii
3.3.1.3. Fungsi kognitif ................................................... 18
3.3.2.Ruang lingkup yang dinilai secara subyektif................... 18
3.3.2.1. Kepuasan subyektif ............................................ 18
3.3.2.2. Rasa nyaman dan sejahtera ................................ 19
3.4. Kematian ..................................................................................... 19
3.5. Faktor yang berhubungan dengan prognosis .............................. 19
3.5.1. Faktor prognostik klinis .................................................. 20
3.5.2. Faktor prognostik lingkungan ......................................... 22
iv
DAFTAR TABEL
v
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Skizofrenia adalah suatu bentuk gangguan jiwa berat yang mengenai 7 dari
1000 populasi orang dewasa, terutama pada kelompok usia 15-35 tahun.
Gangguan ini jarang muncul pada masa anak-anak, dengan angka kejadian 4-10
kasus diantara 10.000 anak. Meskipun insidennya rendah yaitu hanya sekitar
0,03%, tetapi angka prevalensi skizofrenia cukup tinggi. Hal ini dikarenakan
kronisitas dari perjalanan penyakit ini (WHO 2014).
Skizofrenia ditemukan pada seluruh lapisan masyarakat dan hampir di
semua area geografis, termasuk di Indonesia. Sebuah studi menyebutkan bahwa
perkiraan nilai tengah dari prevalensi skizofrenia adalah 4.6 per 1000 orang,
dengan risiko terjadinya skizofrenia seumur hidup adalah sekitar 0,3% - 0,7%
(American Psychiatry Association 2013).
Kronisitas gangguan skizofrenia merupakan salah satu faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam penatalaksanaan. Selama bertahun-tahun, skizofrenia
telah dipandang sebagai suatu penyakit kronis dengan sedikit atau tidak ada
harapan untuk sembuh. Perbaikan dari gejala skizofrenia sering kali dipandang
sebagai kesalahan diagnosis (Andreasen NC, Carpenter WT, Kane JM, et al.
2005). Hampir semua penderita skizofrenia kronis mengalami kekambuhan
berulang kali yang mengakibatkan defisit ketrampilan personal dan vokasional
(Fleischhacker WW, Eerdekens M, Karcher K et al. 2003).
* Dokter umum, peserta PPDS I Ilmu Kedokteran Jiwa Depatemen/SMF Ilmu Penyakit
Jiwa FK Universitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
** Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa/Psikiater, Staf pengajar pada Depatemen/SMF Ilmu
Penyakit Jiwa FK Universitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo Surabaya
2
BAB 2
SKIZOFRENIA
2.1. Definisi
Skizofrenia adalah suatu sindroma klinis dari variabel psikopatologi yang
melibatkan fungsi kognitif, emosi, persepsi dan aspek-aspek lain dari perilaku
yang manifestasinya bervariasi (Sadock BJ, Sadock VA dan Kaplan HI 2007).
Skizofrenia merupakan suatu gangguan yang diakibatkan oleh
abnormalitas pada salah satu atau lebih dari lima domain, yaitu delusi, halusinasi,
disorganisasi dalam pikiran dan percakapan, disorganisasi atau abnormalitas
perilaku (termasuk katatonik) dan adalnya gejala-gejala negatif (DSM-5 2013).
Menurut PPDGJ III, gangguan skizofrenia merupakan sindrom dengan
variasi penyebab dan perjalananan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang
tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. Pada
umumnya, ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari
pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar atau tumpul. Kesadaran
yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun
kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Departemen
Kesehatan RI 1993).
2.2. Epidemiologi
Dari hasil penelitian besar di Amerika Serikat, Eropa dan Australia,
tentang prevalensi gangguan jiwa didapatkan penurunan dari prevalensi
skizofrenia pada 1 dekade terakhir (Sadock BJ, Sadock VA dan Kaplan HI 2007).
Pada negara maju, prevalensi gangguan ini lebih besar di pusat kota yang
padat daripada di pedesaan. Hal ini dapat dikarenakan individu dengan gejala
skizofrenia mempunyai ketidakmampuan bersosialisasi, sehingga jatuh ke arah
kelompok sosial miskin di daerah perkotaan yang kumuh. Penemuan terbaru
berpendapat bahwa individu yang lahir dan dibesarkan di kota mempunyai risiko
yang lebih besar untuk menderita skizofrenia. Prevalensi penderita skizofrenia
pada pria dan wanita hampir seimbang, hanya saja onset pada pria lebih muda bila
dibandingkan wanita. Hal ini mungkin disebabkan karena pada wanita adanya
4
hormon estrogen sebagai faktor proteksi. Onset pada pria adalah 10-25 tahun,
sedangkan pada wanita 25-35 tahun (Sadock BJ, Sadock VA dan Kaplan HI,
2007).
kondisi medis umum lain dapat berperan dalam terjadinya skizofrenia (DSM-5,
2013).
c. Halusinasi auditorik
- suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku penderita
- mendiskusikan perihal penderita di antara mereka sendiri (di antara
berbagai suara yang berbicara)
- jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan
agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia
biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca atau berkomunikasi dengan
makhluk asing dari dunia lain).
Atau paling sedikit dua dari gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara
jelas :
e. Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-
valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus;
f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan atau neologisme;
g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme,
dan stupor;
h. Gejala-gejala negatif, seperti sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja
sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tidak disebabkan oleh depresi atau
medikasi neuroleptika;
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodromal)
9
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak
berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude) dan
penarikan diri secara sosial.
BAB 3
TAHAPAN DAN PERJALANAN KLINIS GANGGUAN SKIZOFRENIA
prodromal skizofrenia, salah satu tanda dari depresi, atau hanya merupakan
gangguan penyesuaian sementara dari remaja atau dewasa muda (Green MF
2001).
gejala negatif, dan beberapa hanya dapat mencapai remisi tidak sempurna. Derajat
penurunan kognitif bervariasi dan relatif tidak berhubungan dengan gejala
psikotik. Pada beberapa penderita akan sering mengalami gejala-gejala disforik
nonpsikotik, misalnya tekanan, kecemasan, depresi dan insomnia. Gradasi tingkat
dari fungsi kemandirian penderita skizofrenia berkisar dari mampu secara penuh
untuk hidup tanpa bergantung hingga membutuhkan banyak sekali bantuan untuk
menjalankan aktivitas sehari-hari (Hers MI & Marder SR 2002; Lieberman,
Stroup, dan Perkins 2006; Sadock BJ, Jones PB & Buckley PF 2006; Sadock BJ,
Sadock VA & Ruiz P 2015).
Tujuan dari pengobatan dari fase stabil adalah menurunkan sebisa
mungkin gejala positif dan gejala negatif; mengurangi efek samping pengobatan;
meningkatkan fungsi kognitif, sosial dan pekerjaan; menurunkan kerentanan
penderita terhadap kondisi stres dengan meningkatkan mekanisme coping dan
kemampuan untuk mengontrol afek disforik; mengedukasi penderita untuk
mengenali gejala prodromal dari relaps; menurunkan angka relaps dan rawat inap
berulang; melakukan edukasi kepada penderita dan keluarga tentang karakteristik
skizofrenia, prognosis dan perjalanan penyakitnya (Hers MI & Marder SR 2002;
Hirsch SR & Weinberger DR 2003; Lieberman, Stroup, dan Perkins 2006).
Tatalaksana pada fase stabil harus melibatkan kesatuan dari
psikofarmakologi, psikososial, dan pendekatan rehabilitasi. Pendekatan
pengobatan yang dilakukan sangat individual (Hers MI & Marder SR 2002;
Lieberman, Stroup, dan Perkins 2006).
3.4. Kematian
Hal yang paling tidak diharapkan pada penanganan gangguan skizofrenia
adalah kematian. Angka kematian individu laki-laki dengan skizofrenia 5 kali
lebih tinggi daripada populasi umum, sedangkan pada wanita 2 kali lebih tinggi
daripada populasi normal. Adapun penyebab terbanyak dari hal ini adalah bunuh
diri (Brown S, Inskip H, dan Barraclough B 2000).
Risiko bunuh diri paling besar terjadi pada saat periode rekoveri setelah
diagnosis skizofrenia pertama kali ditegakkan. Oleh karena itu, bagian dari
tatalaksana tahap awal yang penting pada fase rekoveri dari skizofrenia episode
20
pertama adalah mengurangi risiko percobaan bunuh diri (Lieberman, Stroup, dan
Perkins 2006).
Selain itu, penderita skizofrenia juga berisiko meninggal karena penyakit
kardiovaskular, diabetes, penyakit paru dan kecelakaan (Brown S, Inskip H, dan
Barraclough B 2000). Risiko ini dapat disebabkan oleh adanya kerentanan faktor
genetik, hal-hal yang berkaitan dengan pola hidup, faktor sosial dan faktor
lingkungan yang sebenarnya dapat dicegah (Hirsch SR & Weinberger DR 2003;
Jones PB & Buckley PF 2006; Lieberman, Stroup, dan Perkins 2006).
baik. Hal ini berdampak pada kemungkinan rekoveri yang lebih besar dan
frekuensi hospitalisasi yang rendah dengan durasi lebih singkat. Dikatakan
pada kepustakaan, pengaruh hormon estrogen sebagai neuroprotektif
berperan pada hal tersebut (Lieberman, Stroup, dan Perkins 2006).
2. Onset pertama pada usia yang lebih tua
Onset pertama pada usia yang lebih tua memberikan kesempatan
pada individu tersebut untuk membangun fungsi sosial dan keterampilan
pekerjaan yang berguna ketika penyakit tersebut kambuh (Hers MI &
Marder SR 2002; Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P 2015; Lieberman,
Stroup, dan Perkins 2006).
3. Onset yang akut
4. Gejala negatif yang lebih minimal
5. Hendaya kognitif yang lebih minimal
Defisit kognitif yang progresif selama fase premorbid dan adanya
gejala yang timbul secara bertahap dalam fase prodromal dapat
mendukung penurunan fungsi secara umum pada penderita skizofrenia.
Beberapa penelitian terkini membuktikan terdapat hubungan yang besar
antara defisit kognitif dan tingkat dari rekoveri. Defisit kognitif tidak statis
dalam perjalanan penyakit, tetapi dapat membaik, stabil atau memburuk
seiring perjalanan waktu (Hers MI & Marder SR 2002; Sadock BJ, Sadock
VA dan Ruiz P 2015).
6. Tidak ada riwayat faktor genetika
Adanya polimorfisme gen yang mengkode enzim terkait dengan
metabolisme dopamin, catechol-O-methyltransferase berhubungan dengan
gejala yang lebih parah. Selain itu, perubahan pada gen yang mengkode N-
methyl-D-aspartate receptor 2A subunit dapat mempengaruhi
neurotransmisi dari glutamat. (Tsai et al. 2004)
7. Adanya riwayat keluarga dengan gangguan afektif (Sadock BJ, Sadock
VA, Ruiz P 2015).
8. Adanya intervensi pengobatan yang cepat dan kurang terjadi efek samping
selama pengobatan (Jones PB & Buckley PF 2006).
22
BAB 4
KONSEP REMISI PADA PENDERITA SKIZOFRENIA
4.1. Batasan
Remisi adalah suatu kondisi hilang atau berkurangnya gejala positif, gejala
negatif dan gejala umum yang spesifik hingga intensitas yang minimal, sehingga
tidak lagi berhubungan secara bermakna dengan tingkah laku dan dibawah batas
gejala yang digunakan untuk mendiagnosis awal dari skizofrenia serta dalam
jangka waktu 6 bulan (Andreasen NC, Carpenter WT, Kane JM, et al. 2005).
Batasan waktu 6 bulan dalam kriteria remisi dibuat dengan pertimbangan
dalam waktu 6 bulan diharapkan sudah masuk dalam tahap maintenance di mana
kondisi klinis penderita sudah relatif stabil karena menurut teori respon perbaikan
gejala klinis pengobatan skizofrenia dengan antipsikotik mulai tampak dalam
waktu 2 minggu. (Harvey PD & Bellack AS 2009)
3. Obyektif
4. Konsisten dengan test-retest reproducibility
5. Tidak tergantung kepada yang memeriksa
6. Dapat digunakan untuk mengevaluasi status longitudinal
7. Memberikan bantuan untuk pergeseran fokus dari tatalaksana fase akut ke
fase maintenance untuk perawatan jangka panjang (Andreasen NC,
Carpenter WT, Kane JM, et al. 2005; Sadock BJ, Sadock VA & Ruiz P
2015).
3. Scale for the Assestment of Positive Symptomps (SAPS) dan Scale for the
Assestment of Negative Symptomps (SANS)
SAPS terdiri dari 34 macam skala yang digunakan untuk memeriksa gejala
positif pada skizofrenia, dirancang untuk digunakan bersama dengan 25 macam
skala dari SANS yang digunakan untuk memeriksa gejala negatif. Penilaian dari
SAPS dan SANS dibagi menjadi 3 dimensi gejala, yaitu dimensi psikotik
(halusinasi dan waham), gejala negatif (penumpulan afek, alogia, avolition-
apathy, dan anhedonia) dan disorganisasi (afek yang tidak sesuai, perilaku aneh,
dan gangguan bentuk pikiran) (Sadock BJ, Sadock VA & Ruiz P 2015).
Dalam penilaian gejala harus diperhatikan kemungkinan apakah gejala
tersebut merupakan gejala primer atau gejala sekunder, misalnya dalam gejala
negatif anhedonia, dapat merupakan gejala sekunder dari pemberian neuroleptik
atau penderita tersebut memiliki komorbiditas depresi atau gejala positif
terkadang juga merupakan gejala sekunder, misalnya kegelisahan yang dapat
merupakan gejala dari akatisia akibat pemberian neuroleptik (Harvey PD &
Bellack AS 2009).
memperoleh skor kurang atau sama dengan 3, dan telah berlangsung sedikitnya 6
bulan (Andreasen NC, Carpenter WT, Kane JM, et al. 2005).
Selain itu, remisi juga dapat didefinisikan sebagai penurunan total PANSS
score >20% dan atau > 1 poin pada subskala gejala positif, terutama pada item P1,
P2, P3 dan P6 (Mosolov SN, Potapov AV dan Ushakov UV, 2012).
Definisi remisi juga dapat menggunakan SAPS dan SANS. Pada skala
pertanyaan SAPS (item 7, halusinasi; item 20, waham; item 25, perilaku aneh;
item 34 pikiran tidak memadai) mendapat skor ≤ 2 dalam kurun waktu 3 bulan.
Pada skala pertanyaan SANS (item 7, penumpulan afek; item 13, alogia; item 17,
avolisi-apathy; item 22 anhedonia-asosialisasi) mendapat skor ≤ 2 dalam kurun
waktu 3 bulan. Semua skala pertanyaan SAPS dan SANS mendapat skor ≤ 2
dalam kurun waktu 6 bulan (Cassidy CM, Norman R, Manchanda R, et al. 2010).
Sumber : Andreasen NC, Carpenter WT, Kane JM, et al, 2005. Remission in
Schizophrenia: Proposed Criteria and Rationale for Consensus. Am J Psychiatry.
2005; 162:441-449
28
Berdasarakan studi Lasser et al. 1964 dan Rossi et al. 2009, didapatkan pada
pasien yang gejala klinisnya stabil, tetapi tidak mengalami remisi dalam jangka
waktu 6 bulan, maka bila psikofarmaka diganti menjadi obat suntik jangka
panjang risperidone, maka 20% hingga 32% pasien akan mengalami remisi pada
tahun pertama. (Fleischhacker WW, Eerdekens M dan Karcher K 2003; Mosolov
SN, Potapov AV dan Ushakov UV 2012)
Dari suatu studi yang mengalami remisi didapatkan bahwa 59% penderita
yang mendapatkan terapi quetiapine, 32% penderita dengan aripriprazole dan 22%
penderita yang diterapi dengan haloperidol. Clozapine dapat meningkatkan
outcome pada individu dengan skizofrenia yang berat dan menurunkan risiko
bunuh diri. (Mosolov SN, Potapov AV dan Ushakov UV 2012)
Antipsikotika generasi kedua juga lebih bermanfaat dalam menurunkan
risiko relaps, meningkatkan fungsi kognitif dan mengurangi derajat keparahan
psikopatologi serta durasi waktu yang lebih pendek dari respons pengobatan.
(Keefe et al. 2004; Mosolov SN, Potapov AV dan Ushakov UV 2012)
BAB 5
KONSEP REKOVERI PADA PENDERITA SKIZOFRENIA
5.1. Batasan
Tidak semua individu yang mengalami gejala psikotik menjadi kronis dan
terjadi hendaya dalam fungsi sehari-hari. Rekoveri dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan sebagai suatu proses pemulihan. Rekoveri pada penderita dengan
skizofrenia difenisikan sebagai suatu proses remisi gejala dan hendaya yang
minimal dalam fungsi dengan durasi minimal 2 tahun. Batasan pemilihan waktu 2
tahun adalah karena waktu 2 tahun adalah cukup panjang untuk perbaikan klinis
dari fase akut ke fase stabil yang dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang
(Lieberman RP & Kopelowicz 2005; A Robinson DG, Woerner MG, McMeniman
M, et al. 2004; Harrison G, Hopper K, Craig T, et al.2001). Alasan hendaya
minimal dalam pekerjaan, sosial dan hubungan dekat diperbolehkan sebagai
kriteria rekoveri adalah karena banyak orang yang tidak menderita skizofrenia
memiliki defisit sosial yang persisten, sehingga pasien yang mengalami rekoveri
dari skizofrenia tidak dapat diharapkan untuk tidak memiliki hendaya fungsi sama
sekali. Nama lain dari rekoveri adalah wellness atau pemulihan, yaitu fungsi yang
normal dari hilangnya gangguan (Andreasen NC, Carpenter WT, Kane JM, et al.
2005).
Berdasarkan DSM-IV TR, rekoveri adalah kembalinya fungsi pasien ke
fungsi premorbidnya. Akan tetapi, hal ini mengalami perdebatan karena pada
penderita skizofrenia dengan onset pada saat remaja/dewasa muda di mana pada
usia tersebut, seseorang belum dapat melakukan fungsi sosial, pekerjaan dan
kehidupan secara mandiri, sehingga kembali ke fungsi premorbid berarti penderita
tersebut kembali pada tingkat fungsi di bawah batas normal fungsi psikososial
seorang dewasa (Lieberman RP & Kopelowicz A. 2005).
Definisi dari rekoveri tidak membutuhkan kembalinya penderita kepada
kepribadian premorbidnya, tetapi menekankan pada partisipasi yang penuh dalam
pekerjaan, kehidupan sosial, kehidupan yang mandiri dan tidak adanya serta
stabilnya gejala klinis dari psikopatologi yang signifikan (Lieberman RP,
32
mendapat skor > 60, dikatakan bahwa penderita tersebut memiliki fungsi yang
baik, yaitu penderita menunjukkan beberapa kesulitan dalam fungsi sosial,
pekerjaan dan sekolah, tetapi pada umumnya berfungsi dengan baik, dengan
beberapa hubungan interpersonal yang baik (Sadock BJ, Sadock VA, Kaplan HI
2007; Cassidy CM, Norman R dan Manchanda R 2010).
6. Adanya kolaborasi dengan tenaga medis, sarana dan prasarana serta model
layanan kesehatan yang mendukung dapat mempercepat proses rekoveri.
(Levitt AJ, Mueser KT, DeGenove J, et al. 2009).
7. Adanya tatalaksana atau program kemandirian dapat meningkatkan
perasaan pemberdayaan yang dapat menjadi sebuah motivasi yang
mendukung terapi (Kusumawardhani 2014).
8. Terkontrolnya komorbiditas dari penyakut lain, misalnya penyalahgunaan
zat (Levitt AJ, Mueser KT, DeGenove J, et al. 2009).
9. Adanya kepatuhan dalam pengobatan (Davidson L, Schumutte T, Dinzeo
T, et al. 2008; Wood L, Price J dan Morrison A 2010).
10. Dapat dikendalikannya stresor yang mempengaruhi coping dan
ketrampilan sosial (Lieberman RP & Kopelowicz A 2005).
11. Gejala negatif merupakan faktor prediksi buruknya status fungsi karena
berhubungan dengan avolition, asociality, dan keduanya berhubungan
dengan terganggunya kapasitas dalam pekerjaan dan sosialisasi (Cassidy
CM, Norman R, Manchanda R, et al. 2010; Strauss GP, Harrow M,
Grossman LS, et al. 2010).
5.6. Tatalaksana
5.6.1. Tujuan Penatalaksanaan
Tatalaksana untuk mencapai rekoveri pada individu dengan skizofrenia
harus dilakukan secara holistik. Adapun tujuan yang diharapkan adalah sebagai
berikut :
1. Memperkuat individu dan self, yaitu suatu proses yang bermakna dalam
mengontrol kehidupan seseorang dengan cara membangun identitas diri
yang positif.
2. Meningkatkan motivasi, dengan cara membentuk harapan dan partisipasi
aktif di dalam proses rekoveri.
3. Membentuk kompetensi pada penderita skizofrenia dengan cara
meningkatkan pengetahuan umum.
37
menghindar yang sering digunakan oleh penderita skizofrenia (Yanos PT, Roe D,
Markus K, et al. 2008).
Persepsi terhadap suatu peristiwa merupakan dasar dari terapi kognitif dari
gejala psikotik. Penilaian yang salah terhadap persepsi secara terus menerus ini
akan menimbulkan bias memori, mempengeraruhi belief yang akan
mempengaruhi kesalahan yang konsisten dalam proses kognitif. Hal ini
mengakibatkan suatu kondisi psikotik pada penderita skizofrenia (misalnya
halusinasi dan waham) dipersepsikan sebagai sesuatu yang normal yang juga
dapat diakibatkan dari kondisi khusus, misalnya kurang tidur, stres berlebihan,
penyalahgunaan obat dan alkohol, dan kehilangan sensosis (Kern RS, Glynn SM,
Horan WP, et al. 2009).
Metode dari CBT terbagi menjadi 2, yaitu terapi individu dan terapi
kelompok. Komponen dari CBT untuk penderita skizofrenia meliputi penilaian
dan penggabungan, peningkatan coping, pembangunan dari pengalaman psikosis,
bekerja dengan waham dan halusinasi, menunjukkan perasaan dan evaluasi diri
yang negatif, mengatur risiko dari relaps dan disabilitas sosial (Kern RS, Glynn
SM, Horan WP, et al. 2009).
yang mengalami lebih banyak perbaikan dalam gejala melalui farmakoterapi yang
lebih baik memiliki potensi yang lebih besar untuk memperoleh manfaat dari
intervensi psikososial. Hal ini juga menunjukkan bahwa salah satu tujuan jangka
panjang farmakoterapi adalah untuk memfasilitasi partisipasi dalam perawatan
psikososial, misalnya pelatihan keterampilan sosial, CBT, perbaikan kognitif, atau
pelatihan kognisi sosial.sehingga dapat terjadi rekoveri (Kern RS, Glynn SM,
Horan WP, et al. 2009).
Meskipun penderita telah mengalami remisi atau bahkan telah mengalami
rekoveri, maka terapis masih perlu memantau kepatuhan pengobatan terutama
dalam pemantauan terjadinya efek samping pengobatan. Dari beberapa studi yang
telah dilakukan, penderita skizofrenia yang telah mengalami remisi dan menerima
pengobatan psikofarmaka, masih mungkin mengalami efek samping pengobatan
(misalnya akatisia). Hal ini harus diperhatikan karena dapat mengganggu
penderita dalam penyesuaian sosial. Selanjutnya temuan ini menunjukkan bahwa
efek dari obat hanya terbatas dalam mengendalikan kondisi psikotik, tetapi tidak
ada bukti dalam meningkatkan fungsi harian penderita secara berkesinambungan
(Kern RS, Glynn SM, Horan WP, et al. 2009).
42
BAB 6
RINGKASAN
DAFTAR PUSTAKA
Strauss GP, Harrow M, Grossman LS, et al. (2010) Periods of recovery in deficit
syndrome schizophrenia: a 20-year multi-follow up longitudinal study.
Schizophrenia Bulletin. 36:788-799.
Substance Abuse and Mental Health Administration (SAMHSA), (2004) U.S.
Department of Health and Human Services. Mental Health Recovery. Center
for Mental Health Services.
Tsai SJ, Hong CJ, Liao DL, et al. (2004) Association of study of a functional
catechol-O-methyltransferase genetic polymorphism with age of onset,
cognitive function, symptomatology and prognosis in chronic schizophrenia.
Neuropsycobiology 49:196-200.
Wood L, Price J, Morrison A (2010) Conceptualisation of recovery from
psychosis: a service-user perspective. The Psychiatrist Online 34:465-470.
World Health Organization (1996) Psychosocial Rehabilitation : A Concensus
Statement. WHO, Geneva.
World Health Organization (2014) A Concensus Statement. Geneva : WHO.
Wunderink L, Sytema S, Nienhuis FJ, et al. (2009) Clinical recovery in first-
episode psychosis. Schizophrenia Bulletin 35:362-369.
Yanos PT, Roe D, Markus K, et al. (2008) Pathways between internalized stigma
and outcomes related to recovery in schizophrenia spectrum disorders.
Psychiatry Services 59:1437-1442.