yang tepat, sebanyak 800 s.d 1000 kata, dapat berupa penyataan sikap (dukungan atau
penolakan, penilaian yang meyakinkan, dan pemberian rekomendasi) terhadap kasus di
bawah ini dengan mengaitkan teori atau konsep pada komunikasi politik yang telah
dipelajari!
JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Politik Badan Riset dan
Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor menilai, menempatkan Presiden Joko Widodo
sebagai wakil presiden pada 2024 tak akan menyelesaikan persoalan negara. Justru,
ini berpotensi melanggengkan masalah karena tidak ada pembaruan di pucuk
pemerintahan. "Ini akan memperpanjang juga problem yang mungkin dengan presiden
baru itu bisa diselesaikan," kata Firman kepada Kompas.com, Rabu (14/9/2022).
Selama dua periode pemerintahan Jokowi, kata Firman, masih banyak persoalan
negara yang belum teratasi. Misalnya, soal lemahnya demokrasi. Menurutnya,
menempatkan Jokowi sebagai wakil presiden hanya akan memperpanjang masalah-
masalah yang sama ke depan. Padahal, jika kursi RI-1 dan RI-2 dijabat oleh wajah
baru, sangat mungkin problem di era kepemimpinan Jokowi teratasi. "Jadi kalau tetap
ada seorang Jokowi di pojok sana ya saya kira tidak ada satu perubahan dari mereka
yang selama ini sudah cukup berkuasa, akan ikutan juga berkepanjangan
kekuasaannya," ujar Firman. Firman menilai, keberadaan sosok Jokowi di kursi RI-2
justru bisa menjadi jebakan pemerintah, khususnya presiden yang baru. Diprediksi,
tidak akan ada perubahan yang fundamental karena presiden sangat mungkin
bergantung pada wapres.
"Saya kira waktu Jokowi sudah cukuplah satu dekade, biarkan kalangan lain yang
mungkin lebih punya ide-ide segar, yang lebih bisa banyak menyelesaikan persoalan
diberikan kesempatan yang besar untuk berbuat sesuatu," katanya.
Sebelumnya, muncul wacana Jokowi menjadi wakil presiden pada 2024. Ketua Badan
Pemenangan Pemilu PDI Perjuangan Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul
mengatakan, Jokowi sangat mungkin jadi cawapres jika ada partai yang mengusungnya
di pemilu. "Kalau Pak Jokowi mau jadi wapres, ya sangat bisa. Tapi, syaratnya diajukan
oleh parpol atau gabungan parpol," kata Bambang saat ditemui di Gedung DPR RI,
Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (13/9/2022). Bambang mengatakan, secara aturan,
Jokowi diizinkan jika ingin maju sebagai calon wakil presiden. Namun, ini tergantung
apakah mantan Wali Kota Solo itu ingin menggunakan peluang tersebut atau tidak.
"Kalau Pak Jokowi, kita enggak tahulah maunya kayak apa," ucap Bambang.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Menempatkan Jokowi Jadi
Wapres, Melanggengkan Persoalan Negara", Klik untuk
baca: https://nasional.kompas.com/read/2022/09/15/09035861/menempatkan-jokowi-
jadi-wapres-melanggengkan-persoalan-negara.
Bahasan
Penempatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai wakil presiden pada 2024 menjadi
perdebatan hangat yang melibatkan berbagai pihak di ranah politik Indonesia. Artikel ini
menggambarkan pandangan beberapa pakar dan politisi terkait implikasi dari langkah
ini terhadap kemajuan negara. Mari kita melakukan analisis komunikasi politik dalam
konteks ini, mengaitkan teori dan konsep komunikasi politik yang relevan.
1. Identifikasi Isu Komunikasi Politik: Isu utama dalam kasus ini adalah potensi
penempatan Jokowi sebagai wakil presiden pada 2024. Firman Noor, seorang peneliti
ahli, menyoroti bahwa keberadaan Jokowi sebagai wakil presiden dapat melanggengkan
persoalan negara, dengan alasan bahwa pembaruan tidak akan terjadi di pucuk
pemerintahan. Firman menekankan bahwa terobosan dan ide segar diperlukan dalam
pengelolaan negara.
2. Analisis Melalui Teori Komunikasi Politik: a. Teori Elit Politik: Konsep ini
menggambarkan bagaimana elit politik, dalam hal ini Jokowi, memiliki pengaruh yang
kuat dalam pengambilan keputusan politik. Penempatan beliau sebagai wakil presiden
dianggap dapat memengaruhi arah kebijakan dan proses pengambilan keputusan yang
mendasar. b. Teori Kepemimpinan Transaksional dan Transformasional:
Pembahasan Firman Noor tentang kebutuhan akan terobosan dan ide segar
menghubungkan dengan teori ini. Jokowi sebagai figur yang sudah lama berkuasa
mungkin menghadapi keterbatasan dalam membawa perubahan transformatif yang
dibutuhkan oleh negara.