Anda di halaman 1dari 41

PARTAI POLITIK SEBAGAI KEKUATAN POLITIK DI INDONESIA PADA MASA

PEMERINTAHAN ORDE REFORMASI

Diajukan untuk memenuhi Syarat Tugas Formatif I (FI)

Mata Kuliah Kapita Selekta Politik

OLEH : KELOMPOK II

JURUSAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2015

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur tim penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME karena atas rahmat-Nyalah tim
penulis dapat menyusun makalah sederhana ini, yang membahas tentang Partai Politik
sebagai kekuatan politik di Indonesia pada masa pemerintahan era reformasi. Adapun
laporan hasil penelitian ini di buat untuk memenuhi tugas Formatif I dari Bapak
Drs.Halking,M.Si & Budi Ali Mukmin,S.IP.,M.A. pada mata kuliah Kapita Selekta Politik.
Dengan adanya makalah ini diharapkan mahasiswa dapat mengetahui bagaimana peran
Partai Politik sebagai kekuatan politik di Indonesia pada masa pemerintahan era
reformasi.

Adapun sistematika makalah ini yaitu terdiri atas empat bab. Bab satu yaitu,
pendahuluan yang memuat tentang tiga hal, yakni Latar belakang masalah, rumusan
masalah serta tujuan penulisan. Bab dua adalah landasan teoritis. Bab tiga menyangkut
pembahasan dan, Bab empat berisi kesimpulan dan saran tim penulis.

Dengan terselesainya makalah ini, tak lupa tim penulis mengucapkan


terimakasih kepada dosen pengampu dan juga semua pihak yang telah banyak
memberikan bimbingan, ajaran, dan motivasi dalam penyusunan laporan hasil penelitian
ini. Upaya semaksimal mungkin telah tim penulis lakukan dalam menyusun makalah ini,
namun tak gading yang tak retak. Tim penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari para pembaca untuk melengkapi makalah ini.

Medan, Maret 2015

Tim Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1

BAB I PENDAHULUAN 5

A. Latar Belakang Masalah 5

B. Rumusan Masalah 9

C. Tujuan Penulisan 9

BAB II LANDASAN TEORITIS 11

1. KEKUATAN POLITIK 11

1.1 Pengertian Kekuatan Politik 11

2
1.2 Sumber kekuatan politik 13

1.3 Fungsi Kekuatan Politik 13

1.4 Penggolongan Kekuatan Politik 14

2. PARTAI POLITIK 14

2.1 Pengertian Partai Politik 14

2.2 Teori Asal Usul Partai Politik 16

2.3 Fungsi Partai politik 18

2.4 Sistem Kepartaian 19

2.5 Tipologi Partai Politik 19

2.6 Peran Kepemimpinan dalam Partai Politik 22

BAB III PEMBAHASAN 25

A. Kekuatan Politik 25

B. Partai politik pada masa Reformasi 28

C. Pelaksanaan Fungsi Partai Politik Pada Masa Reformasi 31

D. Peta Permasalahan Peran Partai Politik di Era Reformasi dan Penguatan Peran
Partai Politik dalam Peningkatan Partisipasi Politik Masyarakat 38

E. Partai Golkar dan PAN dalam peranannya sebagai Kekuatan Politik 43

F. Pembenahan Partai Politik 46

BAB IV PENUTUP 48

A. Kesimpulan 48

B. Saran 48

DAFTAR PUSTAKA 50

3
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Berjalannya suatu negara tidak terlepas dari sistem politik. Hal tersebut dikarenakan
sistem politik merupakan tolak ukur kemajuan dalam suatu negara. Sistem politik yang
tertata baik akan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap kemajuan suatu
negara. Seiring dengan berjalannya waktu, dimana indonesia telah melewati banyak
rintangan mulai dari pasca proklamasi kemerdekaan hingga era reformasi saat ini. Hal
tersebut tidak terlepas dari kekuatan-kekuatan politik di dalamnya. Salah satu kekuatan
politik tersebut adalah partai politik. Dalam sistem demokrasi, eksistensi suatu partai
politik merupakan hal yang sangat penting. Hal ini dikarenakan banyaknya fungsi-fungsi
partai politik yang menyangkut pada kebutuhan masyarakat. Fungsi partai politik yang
lebih cenderung menunjukkan diri sebagai kekuatan politik adalah artikulasi
kepentingan, pemandu kepentingan, komunikasi politik, kontrol politik serta pembuatan
kebijakan.

Namun, fenomena yang terjadi pada masa reformasi saat ini, banyak partai politik yang
meninggalkan peranan sebagai “penyambung lidah masyarakat” dan hanya mengejar
keuntungan untuk partainya saja. Hal ini dapat dilihat pada partai-partai politik yang
lebih mengutamakan politik koalisi dengan partai politik pemegang kekuasaan dan tidak
memiliki peran oposisi. Fenomena pemilu 2009 contohnya, dimana sebagian besar dari
sembilan partai politik mempunyai kursi di DPR, sekalipun berbeda ideologi dengan
partai demokrat, berkoalisi dengan motif perolehan kekuasaan di kabinet (jabatan
menteri). Mereka yang berkoalisi dengan Partai Demokrat ialah, Partai Golkar, PPP, PAN,
PKB,PKS. Padahal sesungguhnya kelima partai tersebut berbeda ideologi dengan partai
demokrat yang memiliki ideologi sekuler. Golkar pada awalnya tidak mendukung
pasangan SBY-Boediono dalam pilpres 2009. Golkar mendukung pasangan Jusuf Kalla-
Wiranto, saat Jusuf Kalla ketua umum Golkar dan Wiranto serbagai ketua umum Partai
Hanura. Namun kekalahan Jusuf Kalla dan Wiranto karena sosok figur SBY-Boediono
lebih tinggi dibanding dengan partai politik tidak menyebabkan Golkar kehilangan
kekuasaan di eksekutif. Golkar yang awalnya tidak mendukung pasangan SBY-Boediono
berubah sikap menjadi pendukungnya sehingga mendapat beberapa jabatan menteri
dalam kabinet hasil pilpres 2009. Salah satunya bahkan jabatan strategis, yakni Menteri
Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) dipegang oleh kader senior
GolkarAgung Laksono. Maksudnya, meskipun mengalami kekalahan dan lawan politik
meraih kemenangan, namun Golkar tetap saja berupaya memperoleh kekuasaan melalui
keanggotaannya koalisi pendiukung SBY-Boediono. Posisi Golkar tidak menjadi kekuatan
oposisional, melainkan kekuatan koalisi.

4
Selain hal tersebut, karakteristik politik kartel dimana elite Parpol mengutamakan
koalisi, bukan oposisi, sekalipun tergolong kalah dalam pertarungan perolehan suara
dalam Pemilu legislatif, dapat dicontohkan pengalaman PAN saat penentuan dukungan
terhadap calon Presiden RI dalam Pilpres 2009. Amien Rais adalah seorang aktor yang
sangat menentukan keputusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PAN terutama politik
kekuasaan seperti penentuan rekruitmen politik anggota PAN di eksekutif dan juga
legislatif. Jabatan formal Amin Rais di PAN saat itu adalah Ketua MPP (Majelis Penasehat
Partai) DPP PAN, bukan sebagai Ketua Umum DPP PAN.  Menjelang Pemilu 2009, Amien
Rais mengarang buku berjudul, Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia!. Di
dalam buku ini, Amien menilai bahwa Indonesia dewasa ini telah semakin dalam
menjadi subordinat dari jaringan korporatokrasi internasional, jelas-jelas menguras
habis-habisan kekayaan Indonesia. Korporatokrasi adalah sebuah jaringan ekonomi,
keuangan, politik, militer, intelektual dan media massa dibangun oleh kekuatan-
kekuatan kapitalis dan demokrasi liberal Barat. Kedaulatan nasional kita justru
tergadaikan ke berbagai korporasi asing. Selain itu Amien juga berpendapat Pemerintah
Indonesia telah menjadi pelayan kepentingan asing, diberi payung hukum dengan
perundang-undangan dan berbagai keputusan politik. State capture corruption (korupsi
sandera negara), paling berbahaya semakin menjulang. Sejauh ini Pemerintah SBY tidak
menunjukkan kemauan dan komitmen politik untuk memberantas korupsi sungguh-
sungguh serta Pemerintah SBY pada dasarnya telah menjadi “broken government”,
pemerintahan kucar kacir, pecah koordinasi dan kepentingan rakyat banyak tidak
dilayani, misalnya antrian minyak tanah, makan nasi aking dan raskin, listrik mati di Jawa
dan luar Jawa, kenaikan harga BBM sampai lebih dari 100%, kondisi infrastruktur jalan
parah penuh berlubang besar. Berdasarkan beberapa penilaian di atas antara lain,
Amien lalu mengajak pembaca untuk tidak lagi memberi kesempatan kepada SBY
memimpin Indonesia. Dikatakannya, bila kepemimpinan SBY, atau model kepemimpinan
SBY diberi kesempatan memimpin Indonesia 5 tahun lagi sesudah 2009, penjajahan
ekonomi asing semakin luas dan mendalam sehingga negeri ini agaknya tidak punya
harapan untuk bangkit kembali dan kondisi multi-dimensional semakin terpuruk. Jenis
“korupsi sandera negara” menjadi semakin sistematik, melembaga, mengakar makin
mendalam dan desktruktif. 

Buku Amien Rais ini menjadi populer di kalangan kader PAN dan telah dibedah di
bebebapa kota dihadiri dominan kader PAN. Karena itu, apa terkandung di dalam buku
ini menjadi acuan bagi para politisi PAN untuk membangun opini positif terhadap PAN
baik menjelang maupun saat kampanye Pemilu legislatif tahun 2009 berlangsung.
Namun, kandungan buku ini tidak konsisten dipertahankan segera setelah Pemilu
legislatif tahun 2009 usai. Amien mendahului Keputusan DPP PAN dipimpin Ketua
Umum Soetrisno Bachir, menyampaikan sepihak pernyataan mendukung SBY menjadi
Calon Presiden. Dikesankan, pernyataan ini sebagai keputusan pertemuan silahturahim
MPP DPP PAN di Rumahnya sendiri di Yogyakarta. Pernyataan dukungan tidak dihadiri
oleh beberapa petinggi DPP PAN, termasuk Ketua Umum DPP PAN Soetrisno Bachir.

5
Intinya, dukungan terhadap SBY bukanlah bermula dari prakarsa atau gagasan DPP PAN,
melainkan Amien Rais peribadi dikesankan sebagai hasil keputusan MPP DPP PAN.
Alasan disampaikan Amien kepada publik mendukung SBY yakni Partai Demokrat telah
menjadi Parpol pemenang Pemilu dan SBY masih berpeluang besar untuk menang. Itu
setidaknya menjamin pemerintahan ke depan akan lebih kuat dan stabil. “Berkoalisi
dengan the losing side, bukan the winning side, itu sebuah kemubaziran,” kilah Amin.
Padahal sebelumnya, Amien dikenal publik sebagai pengkritik tajam model
kepemimpinan SBY pro korporasi asing. Berdasarkan kedua fenomena partai politik
sebagai kekuatan politik yang sangat menonjol pada masa reformasi tersebut, maka
pada bab berikut akan di bahas bagaimana fungsi partai politik sebagai kekuatan politik
di Indonesia masa Pemerintahan Orde Reformasi.

Menyadari keadaan yang sangat distruktif bagi perkembangan negara dan bangsa, maka
lahirlah gerakan reformasi yang tujuannya tidak lain untuk menghambat dan
menghentikan proses dan praktik-praktik yang distruktif dan menggantinya dengan
tatanan, proses, dan praktik-praktik yang konstruktif bagi perkembangan masyarakat,
bangsa, dan negara. Selanjutnya gerakan reformasi berubah bentuknya secara lebih
sistematik menjadi agenda nasional. Sejalan dengan upaya reformasi yang merupakan
agenda nasional yang kemudian ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya Undangundang
No. 3 Tahun 1999, kehidupan kepartaian berubah kembali dengan kehidupan multi
partai dan telah melahirkan 147 partai politik. Dengan mencermati uraian tersebut di
atas, sangat mudah dimengerti bahwa ternyata sepak terjang peran partai politik sejak
kemerdekaan sampai saat ini mengalami pasang dan surut dalam pembangunan bangsa
khususnya peningkatan partisipasi politik masyarakat di dalam segenap aspek kehidupan
pembangunan nasional. Peran partai politik yang bersifat pasang surut tersebut
terutama dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat terlihat dalam pasang
surutnya peran sebagai wadah penyalur aspirasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana
rekrutment politik, dan sarana pengaturan konflik; karena keempat peran itu diambil
alih oleh pemerintah khususnya eksekutif yang didukung oleh legislatif dan yudikatif.

Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini adalah:

Apa yang dimaksud dengan kekuatan politik?

Apa saja sumber-sumber kekuatan politik itu?

Apakah fungsi kekuatan politik itu?

Apa saja penggolongan kekuatan politik itu?

Apa yang dimaksud dengan partai politik?

6
Apa saja tipologi partai politik itu?

Apa saja fungsi partai politik?

Apa yang dimaksud sistem kepartaian?

Bagaimana peran kepemimpinan dalam partai politik?

Kekuatan politik apa saja yang mempengaruhi kebijakan era reformasi?

Bagaimana Partai politik pada masa Reformasi khususnya Partai Golkar dan PAN dalam
peranannya sebagai Kekuatan Politik?

Bagaimana permasalahan yang terjadi pada partai politik di era reformasi?

Tujuan Penulisan

Tujuan pembuatan makalah ini adalah :

Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kekuatan politik.

Untuk mengetahui sumber-sumber kekuatan politik.

Untuk mengetahui fungsi kekuatan politik.

Untuk mengetahui penggolongan kekuatan politik.

Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Partai Politik.

Untuk mengetahui tipologi partai politik.

Untuk mengetahui fungsi partai politik.

Untuk mengetahui yang dimaksud dengan sistem kepartaian.

Untuk mengetahui peran kepemimpinan dalam partai politik.

Untuk mengetahui kekuatan politik yang mempengaruhi kebijakan era reformasi

Untuk mengetahui kekuatan Partai politik pada masa Reformasi khususnya Partai Golkar
dan PAN dalam peranannya sebagai Kekuatan Politik.

Untuk mengetahui permasalahan yang terjadi pada partai politik di era reformasi.

7
BAB II

LANDASAN TEORITIS

KEKUATAN POLITIK

1.1 Pengertian Kekuatan Politik

Miriam Budiarjo mengatakan bahwa yang diartikan dengan kekuatan- kekuatan politik
adalah bisa masuk dalam pengertian Individual maupun dalam pengertian kelembagaan.
Dalam pengertian yang bersifat individual, kekuatan-kekuatan politik tidak lain adalah
aktor-aktor politik atau orang-orang yang memainkan peranan dalam kehidupan politik.
Orang-orang ini terdiri dari pribadi- pribadi yang hendak mempengaruhi proses
pengambilam keputusan politik. Dan secara kelembagaan di sini kekuatan politik sebagai
lembaga atau organisasi ataupun bentuk lain yang melembaga dan bertujuan untuk
mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam sistem politik.

Dalam masyarakat terdapat berbagai kelompok sosial yang masing-masing memiliki


aspirasi dan kepentingan sendiri salah satunya adalah partai politik. Oleh karena
kepentingan tersebut bersangkut paut dengan sistem politik yang artinya mereka yang
memiliki kepentingan terhadap suatu keputusan atau kebijakan publik yang di keluarkan
oleh sistem politik maka kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan tersebut
berusaha mempengaruhi sistem politik agar membuat dan melaksanakan keputusan/

8
kebijakan yang menguntungkan kelompok sosial tersebut. Keputusan atau kebijakan
tersebut tak lain adalah pembagian dan penjatahan sesuatu yang di inginkan, yang
dicita-citakan yang menyangkut dengan kebutuhan masyarakat baik yang bersifat
spiritual maupun material. Suatu sistem politik akan dapat berjalan dengan stabil kala
pemerintah itu terdiri atas koalisi besar. Jadi, kelompok-kelompok sosial yang memiliki
kekuasaan tersebutlah yang disebut dengan kekuatan politik. Jadi, Partai politik
merupakan kekuatan politik.

Peranan kekuatan politik dalam suatu sistem politik adalah terutama mempengaruhi
proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan/kebijakan publik yang mengikat
masyarakat sehingga keputusan atau kebijakan tersebut menguntungkan kelompok
masyarakat yang memiliki power tersebut. Mempengaruhi ini bisa berarti
mempengaruhi isi keputusan/ kebijakan yang akan diambil dan akan dilaksanakan, dan
bisa juga mempengaruhi pembuatan keputusan yaitu berusaha menentang aktor-aktor
pembuat keputusan dengan mengusulkan aktor-aktor politik sebagai decision maker i1
baru yang sesuai dengan kehendak kelompok atau kekuatan politik tadi.

Selain pendapat tersebut, kekuatan politik adalah aktor-aktor politik atau orang-orang
yang memainkan peranan dalam kehidupan politik. Orang-orang ini terdiri atas pribadi-
pribadi yang hendak mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik.

Dan secara kelembagaan disini, kekuatan-kekuatan politik bisa berupa lembaga ataupun
organisasi-organisasi ataupun bentuk lain yang melembaga dan bertujuan untuk
mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik dalam sistem politik. Pada
dasarnya, menurut Bachtiar Effendy, 2 sifat dari kekuatan politik itu ada yang bersifat
formal ada yang bersifat nonformal. kekuatan politik yang formal mengambil bentuk
kedalam partai-partai politik. Sementara yang diartikan dengan kekuatan-kekuatan
politik yang bersifat nonformal adalah merupakan bagian dari bangunan civil society.
Dalam hal ini yang dapat dimasukkan yakni :

Dunia usaha

Kelompok Profesional dan kelas menengah

Pemimpin agama

Kalangan cedik/pandai (intelektual)

Lembaga-lembaga

Media massa, dan lain-lain

1.2 Sumber kekuatan politik


1

9
Adapun sumber kekuatan politik  di era reformasi yang bisa dilihat terdiri dari 3 :

Sarana paksaan fisik seperti senjata, teknologi dan lain-lain.

Kekayaan seperti uang, tanah, bankir, pengusaha.

Normatif seperti pemimpin agama, kepala suku atau pemerintah yang diakui.

Popularitas pribadi, seperti bintang film, pemain sepakbola.

Jabatan keahlian seperti pengetahuan, teknologi, keterampilan.

Massa yang terorganisir seperti organisasi buruh, petani, guru.

Informasi seperti pers yang punya kemampuan membentuk opini publik.

1.3 Fungsi Kekuatan Politik

Kekuatan Politik adalah Segala sumber daya politik yang digunakan seseorang untuk
memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Fungsi Kekuatan Politik yaitu: 4

Mempengaruhi kebijakan mulai dari proses pembuatan sampai jalannya kebijakan


tersebut

Keseimbangan kekuatan

Agregator dan artikulator kepentingan Pendekatan Analisa Kekuatan Politik

Struktural Pendekatan yang melihat peran dan fungsi sesorang atau masyarakat dalam
sebuah struktur/sistem.

1.4 Penggolongan Kekuatan Politik

Golongan yang digunakan di dalam mencari penyelesaian persoalan-persoalan yang


dihadapi oleh sistem politik tidak lagi didasarkan pada golongan Infrastruktur politik dan
sufrastruktur politik, partai dan bukan partai. Akan tetapi, kekuatan politik dikategorikan
ke dalam golongan ‘radikal’, ‘konservatif’, dan ‘moderat’:

Golongan Radikal

Golongan Radikal dalam menegakkan suatu kestabilan, hendaklah dilakukan oleh


mereka yang bersih dari pengaruh Orde Baru. Pemuka dalam golongan radikal ini datang
dari kalangan yang lebih condong untuk berpaling ke Barat dalam mengambil contoh
untuk mengatur kehidupan politik dan ekonomi di Indonesia.
3

10
Golongan Konservatif

Golongan Konservatif lebih diwarnai oleh politik sipil juga menghendaki pembersihan
terhadap sisa-sisa rezim Orde Baru, namun menghendaki peranan yang besar dalam
politik Indonesia. Golongan ini menghendaki pembangunan yang benar-benar
didasarkan kepada kekuatan modal dari dalam negeri. Golongan Konservatif melihat
bahwa pengaturan masyarakat lebih baik menggunakan unsur yang terdapat di dalam
masyarakat sendiri, serta pengambilan keputusan melalui musyawarah dan mufakat.

Golongan Moderat

Golongan Moderat lebih memilih suatu pengambilan keputusan melalui tradisi yang
khas Indonesia.

PARTAI POLITIK

2.1 Pengertian Partai Politik

Ada beberapa defenisi parpol yang diberikan oleh para sarjana ilmu politik, diantaranya:

Carl Fredrich : “Sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan untuk
merebut atau mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan bagi pimpinan
partainya dan berdasarkan kekuasaan itu akan memberikan kegunaan material dan ideal
kepada anggota-anggotanya”.5

Soultau : “Sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak
sebagai suatu kesatuan politik dan dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih,
bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan menjalankan kebijaksanaan umum yang
mereka buat”.6

Inu Kencana Syafi’I : “Sekelompok orang-orang memiliki ideologi yang sama, berniat
merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan tujuan untuk memperjuangkan
kebenaran, dalam suatu level Negara”.7

Partai politik sebagai bagian yang terpenting dari infra struktur politik, perlu didalami
lebih lanjut mengenai hakikatnya sebagai organisasi sosial politik yang utama, fungsi dan
perannya, bagaimana seharusnya kemampuan organisasionalnya, sehingga kinerjanya
sesuai posisi, fungsi dan perannya tersebut. 8

Partai politik merupakan alat yang pernah di desain oleh manusia dan yang paling
ampuh untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya. Partai politik sebagai institusi

7
8

11
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masyarakat dalam mengendalikan
kekuasaan. Hubungan ini banyak dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat yang
melahirkannya. Kalau kelahiran partai politik sebagai pengejawantahan dari kedaulatan
rakyat dalam politik formal maka semangat kebebasan selalu dikaitkan orang dalam
membicarakan partai politik sebagai pengendali kekuasaan. Partai politik selalu dianggap
sebagai salah satu atribut Negara demokrasi modern, dan tidak seorang ahlipun dapat
membantahnya, karena partai politik sangat diperlukan kehadirannya bagi Negara-
negara yang berdaulat.9

Dengan demikian, partai politik merupakan sekelompok anggota yang terorganisir


secara rapi dan stabil yang disatukan dan didorong oleh suatu ideologi tertentu, yang
berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan lewat
pemilihan umum guna melaksanakan kebijaksanaan umum yang mereka susun.
Kebijaksanaan umum partai tersebut merupakan hasil pemaduan berbagai kepentingan
yang hidup dalam masyarakat, sedangkan cara mencari dan mempertahankan
kekuasaan dalam pemerintahan guna melaksanakan kebijaksanaan umum itu adalah
lewat pemilihan umum.

Teori Asal Usul Partai Politik

Merujuk pada tulisan Ramlan Surbakti, maka ada tiga teori tentang asal usul munculnya
partai politik, yakni:10

Teori Kelembagaan

Teori kelembagaan yang melihat adanya saling hubungan antara parlemen awal dengan
timbulnya partai politik. Dalam teori ini dikemukakan bahwa partai politik timbul karena
adanya kebutuhan para anggota parlemen untuk mengadakan kontak dan membina
dukungan dari anggota masyarakat. Artinya, dengan membentuk organisasi politik
setempat, maka para anggota parlemen itu akan dapat dengan mudah mengadakan
kontak dan sekaligus memudahkan pembinaan dukungan kepadanya. Jadi, partai politik
pertama kali dibentuk oleh kalangan lembaga legislatif dan eksekutif.

Setelah itu, baru muncul partai politik lain yang dibentuk oleh kalangan luar kedua
badan tersebut sebagai usaha menandingi partai yang dibentuk oleh kalangan badan
legislatif dan eksekutif. Partai yang lahir dari kalangan luar kedua badan tersebut,
biasanya dibentuk atas kesadaran politik sekelompok kecil orang yang memiliki aspirasi
dan cita-cita politik yang sama, yang penuh kesadaran pula ingin menggunakan partai
yang akan dibentuk itu sebagai sarana mencapai tujuan politiknya. Partai seperti ini
dapat ditemui dalam wilayah atau bangsa yang tengah mengalami penjajahan yang
menggunakan partai itu untuk mencapai kemerdekaannya. Akan tetapi, ini juga dapat

10

12
ditemui dalam masyarakat negara maju dimana terdapat sekelompok masyarakat yang
kepentingannya kurang terwakili dalam sistem kepartaian yang ada, seperti Partai Buruh
di Inggris dan Australia.

Teori Situasi Historis

Teori situasi historis yang melihat timbulnya partai politik sebagai upaya suatu sistem
politik menghadapi krisis situasi sejarah dan tugas-tugas. Teori pembangunan yang
melihat munculnya partai politik sebagai akibat dari modernisasi dan pembangunan
dalam bidang sosial, budaya, dan ekonomi. Krisis situasi historis terjadi manakala suatu
sistem politik mengalami perkembangan dari bentuk tradisional ke bentuk modern.
Pada masa seperti ini terjadi berbagai perubahan, seperti inflasi. Depresi, gerakan-
gerakan populis, pertambahan penduduk, mobilitas okupasi, perubahan pola pertanian
dan industri, kemajuan komunikasi dan media massa, mobilitas penduduk peningkatan
aspirasi. Krisis situasi-historis ini menimbulkkan tiga masalah politik besar, yaitu: (1)
legitimasi; (2) integrasi; dan (3) partisipasi. Artinya, perubahan-perubahan tadi
menimbulkan masalah keabsahan rezim yang berkuasa atas dukungan dari khalayak
kepada rezim yang ada menimbulkan masalah penciptaan identitas bersama sebagai
suatu bangsa dan menimbulkan masalah tuntutan anggota masyarakat untuk ikut serta
dalam proses politik. Untuk menjawab ketiga masalah politik inilah, partai politik
dibentuk. Partai politik yang mempunyai akar dalam masyarakat diharapkan akan
mengendalikan pemerintahan sehingga terbentuklah pola hubungan kewenangan
antara pemerintah dan rakyat.

Teori Modernisasi

Teori ini dikemukakan bahwa modernisasi di segala bidang kehidupan, seperti


sekularisasi pendidikan, urbanisasi, industralisasi, kemajuan transportasi, kemunikasi
dan media massa, meluasnya kekuasaan negara, meningkatnya kemampuan individu
untuk mempengaruhi lingkungan, dan munculnya organisasi-organisasi profesi dan
kepentingan, akan menibulkan keinginan dan tuntutan individu dan kelompok
masyarakat untuk membentuk organisasi politik untuk memperjuangkan aspirasi
mereka.

2.3 Fungsi Partai politik

Menurut Budiardjo, ada empat fungsi partai politik, yaitu komunikasi politik, sosialisasi
politik, rekruitmen politik dan pengelolaan konflik. 11 Penjabaran dari keempat fungsi
tersebut, adalah sebagai berikut:

Komunikasi Politik

11

13
Partai politik bertugas menyalurkan beragam aspirasi masyarakat dan menekan
kesimpangsiuran pendapat di masyarakat. Keberadaan partai politik menjadi wadah
penggabungan aspirasi anggota masyarakat yang senada (interest aggregation) agar
dapat di rumuskan secara lebih terstruktur atau teratur (interest articulation).
Selanjutnya, partai politik merumuskan aspirasi tersebut menjadi suatu usulan
kebijak(sana)an, untuk diajukan kepada pemerintah agar menjadi suatu kebijakan
publik. Di sisi lain, partai politik bertugas membantu sosialisasi kebijakan pemerintah,
sehingga terjadi suatu arus informasi berkesinambungan antara pemerintah dan
masyarakat.

Sosialisasi Politik

Dalam usahanya untuk memperoleh dukungan luas masyarakat, partai politik akan
berusaha menunjukkan diri sebagai pejuang kepentingan umum. Oleh karena itu partai
politik harus mendidik dan membangun orientasi pemikiran anggotanya (dan
masyarakat luas) untuk sadar akan tanggungjawabnya sebagai warga negara. Proses
tersebut dinamakan sosialisasi politik, yang wujud nyatanya dapat berbentuk ceramah
penerangan, kursus kader, seminar dan lain-lain. Lebih lanjut, sosialisasi politik dapat
pula diartikan sebagai usaha untuk memasyarakatkan (Asshiddiqie, 2006) ide, visi dan
kebijakan strategis partai politik kepada konstituen agar mendapatkan feedback berupa
dukungan masyarakat luas.

Rekruitmen Politik

Partai politik memiliki fungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk
aktif berpolitik sebagai anggota partai politik tersebut (political recruitment). Hal ini
merupakan suatu usaha untuk memperluas partisipasi politik. Selain itu, rekruitmen
politik yang di arahkan pada generasi muda potensial menjadi sarana untuk
mempersiapkan regenerasi kepemimpinan di dalam struktur partai politik.

Pengelola Konflik

Partai politik bertugas mengelola konflik yang muncul di masyarakat sebagai suatu
akibat adanya dinamika demokrasi, yang memunculkan persaingan dan perbedaan
pendapat.

Sistem Kepartaian

Menurut Sartori mengklasifikasikan sistem kepartaian menjadi tiga, yaitu: 12

Pluralisme Sederhana

Sistem Pluralisme sederhana ini mempunyai dua kutub (bipolar) dengan jarak polaritas
tidak ada dan arah politik mengarah pada sentripental.
12

14
Pluralisme Moderat

Sistem Pluralisme moderat ini memiliki dua kutub (bipolar) dengan polaritas kecil dan
arah politik partai sentripental.

Pluralisme Ekstrem

Sistem Pluralisme ekstrem yang memiliki banyak kutub (multipolar) dengan polaritas
besar dan arah perilaku politik sentrifugal.

Tipologi Partai Politik

Partai politik diklasifikasikan ke dalam tiga tipe. Adapun tipologi partai politik sebagai
berikut: 13

Berdasarkan asas dan orientasinya

Partai politik pragmatis: Suatu partai yang mempunyai program dan kegiatan yang tak
terkait kaku pada suatu doktrin dan ideologi tertentu. Artinya, perubahan waktu, situasi
dan kepemimpinan akan mengubah program,kegiatan, dan penampilan partai politik
tersebut.

Partai politik doktriner. Suatu partai politik yang memiliki sejumlah program dan
kegiatan konkret sebagai penjabaran ideologi. Artinya, ideologi disini adalah sebagai
perangkat nilai politik yang dirumuskan secara konkret dan sistematis dalam bentuk
program-program kegiatan yang pelaksanaannya diawasi secara ketat oleh aparat
partai.

Partai politik kepentingan. Suatu partai politik yang dibentuk dan dikelola atas dasar
kepentingan tertentu seperti petani, buruh, etnis, agama atau lingkungan hidup secara
langsung ingin berpartisipasi dalam pemerintahan.

Komposisi dan Fungsi Anggota

Secara umum, klasifikasi dari sistem kepartaian dapat dibagi dua jenis, yaitu partai
massa dan partai kader. Partai massa mengutamakan kekuatan berdasarkan jumlah
anggota, yang terdiri atas berbagai aliran politik dan kelompok. Sementara partai kader
lebih menekankan pada kekuatan organisasi dan disiplin para anggotanya.14

Berdasarkan ideologi kepentingan, partai terbagi atas sebagai berikut:

Partai kader, yang sangat ditentukan oleh masyarakat kelas mennegah yang memiliki
hak pilih. Pada partai ini, karakteristik serta para pemberi dana organisasi masih sedikit,
dan aktivitas yang dilakukan jarang berdasarkan pada program dan organisasi yang kuat.
13

14

15
Selain itu, keanggotaan berasal dari kelas menengah ke atas, ideologi konservatisme
ekstrem atau maksimal reformisme moderat, organisasi kecil, cenderung berbentuk
kelompok moderat.

Partai massa, muncul saat terjadi perluasan hak pilih rakyat. Partai ini berada diluar
lingkungan parlemen (ekstrem parlemen). Ciri khas partai massa adalah berorientasi
pada basis pendukung yang luas, seperti buruh, petani, kelompok agama, dan
sebagainya. Tujuan utama tidak hanya memperoleh suara dalam pemilu, tetapi
memberikan pendidikan politik bagi para anggotanya dalam rangka membentuk elite
yang direkrut dari massa.

Partai diktatorial merupakan sublipe dari partai massa, dengan ciri-ciri ideologi yang
lebih kaku dan radikal. Pemimpin tertinggi partai memiliki kontrol yang sangat ketat
terhadap pengurus bawahan ataupun anggota parta; rekrutmen anggota dilakukan
secara lebih selektif dari partai massa; calon anggota harus teruji kesetiannya terhadap
ideologi partai; menuntut pengabdian secara total dari setiap anggotanya.

Partai cath-all merupakan gabungan partai kader dan partai massa, yang tujuan
utamanya adalah menerangkan pemilu dengan cara menawarkan program dan
keuntungan bagi anggotanya sebagai ganti ideologi yang kaku.

Seorang ilmuan politik, Prancis, Maurice Duverger membedakan antara partai kader
dengan massa partai sebagai berikut:15

Partai-partai kader

Partai kader adalah kelompok terkemuka untuk persiapan pemilu, memimpin kampanye
dan mempertahankan kontak dengan para kandidatnya. Partai kader adalah para elite
politik yang memiliki tujuan untuk mengamankan pemilu bagi kandidatnya.

Partai-partai massa

Tidak seperti partai kader, partai massa benar-benar mencoba untuk merekrut anggota
dan mendapatkannya sebanyak mungkin. Para anggota menjadi sumber penghasilan
bagi partai. Mereka adalah kolam para buruh yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan tugas-tugas kampanye. Dalam kasus partai dengan ideologi yang sudah
pasti, mereka adalah basis untuk menyebarkan ideologi tersebut. Sebagai imbalan untuk
kontribusi mereka sebagai anggota setiap individu diharapkan memiliki kuasa (pada
teorinya) atas tujuan dan aktivitas partai.

Basis Sosial

Menurut basis sosial, partai politik dibagi menjadi empat tipe, yaitu:

15

16
Partai yang beranggotakan lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat seperti kelas atas,
menengah dan bawah.

Partai yang beranggotakan berasal dari kalangan kelompok kepentingan tertentu seperti
petani, buruh dan pengusaha.

Partai yang anggotanya berasal dari pemeluk agama tertentu seperti Islam, Kristen,
Hindu dan Budha.

Partai yang anggotanya berasal dari kelompok budaya tertentu seperti suku bangsa,
bahasa dan daerah tertentu.

Berdasarkan tujuan

Berdasarkan tujuannya, partai politik dibagi menjadi tiga tipe, yaitu:

Partai perwakilan kelompok. Artinya, partai politik yang menghimpun berbagai


kelompok masyarakat untuk memenangkan sebanyak mungkin kursi dalam parlemen.

Partai pembinaan bangsa. Artinya, partai yang bertujuan menciptakan kesatuan


nasional, dan biasanya menindas kepentingan-kepentingan sempit.

Partai mobilisasi. Artinya, partai yang berupaya memobilisasi masyarakat kearah


pencapaian tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh pemimpin partai, sedangkan partisipasi
dan perwakilan kelompok cenderung diabaikan.

Peran Kepemimpinan dalam Partai Politik

Pemimpin partai politik pada awal-awal kemerdekaan memainkan peranan penting


dalam perkembangan partai tersebut. Keberadaan para kaum intelektual dalam partai
politik saat itu memberikan kekuatan untuk bangkit melawan penjajahan konial
Belanda.16 Pada tahun 1967-1998, kebebasan partai politik untuk memilih ketua umum
secara demokrasi sangatlah sulit. Rezim otoriter Suharto, mengambil alih siapa yang
berhak menjadi ketua umum partai politik di Indonesia. Dengan alasan untuk menjaga
stabilitas politik, ekonomi dan keamanan maka partai politik yang ada hanya pasrah
menerima keputusan tersebut. Jika tidak menuruti peraturan pemerintah, maka
pemerintahan Suharto akan membubarkan partai politik tersebut dan yang lebih
mengerikan adalah melakukan penculikan dan pembantaian terhadap para
pemberontak pemerintah.17

Keadaan ini tak berubah sampai adanya reformasi pada tahun 1998. Turunnya Suharto
dari kursi Presiden Republik Indonesia membuka kembali demokrasi kebebasan
berpartai politik, maka tak heran jika pemilu tahun 1999 diikuti oleh 48 partai politik.

16

17

17
Kemunculan partai yang begitu banyak juga dipengaruhi oleh setiap orang menginginkan
menjadi pemimpin bangsa ini. Dengan latar belakang pemimpin partai yang bermacam-
macam, namun yang menjadi pemenang adalah partai-partai politik yang memiliki
pemimpin yang berpengaruh dalam masyarakat. Dominasi kepemimpinan partai politik
di Indonesia saat reformasi pun masih didominasi oleh kaum intelektual terpelajar. 18

Banyak ahli politik Indonesia yang menyetujui penguanaan istilah “Bapakisme” untuk
menyebutkan sifat kepemimpinan di dalam masyarakat Indonesia. Menurut Herbet
Feith bahwa di dalam kepemimpinan, “Bapak atau pemimpin memperoleh
penghormatan secara mendalam, kasih sayang, kesetiaan serta dukungan dari anak
buah, pengikut ataupun murid.” Begitu pula terhadap tindakan-tindakan yang hendak
dilakukannya.19

Dalam pakem ilmu politik, partai politik mengemban fungsi kaderisasi politik sebagai
fungsi yang strategis untuk merekrut, mendidik dan melatih anggota partai politik yang
berbakat menjadi kader politik yang dipersiapkan menduduki jabatan publik atau untuk
mengisi regenerasi kepemimpinan partai politik. 20 Pemimpin mempunyai konotasi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan ketua. Karena itu dalam politik tidak dikenal istilah
“ketua politik” melainkan “pemimpin politik”. Karenanya menjadi pemimpin politik
tidaklah mudah. Kepemimpinan politik di Indonesia saat ini berkaitan erat dengan
pengusaha. Trend ini seakan kembali berulang. Namun yang membedakan saat ini
adalah maraknya pengusaha media yang terjun ke bidang politik melalui partai politik
dengan menjadi ketua, anggota atau ketua dewan Pembina atau Pakar. Hary
Tanoesoedibyo menjadi bukti konkretnya.21

Kepemimpinan merupakan hal wajib yang harus dimiliki oleh partai politik. Hal itu
disebabkan partai politik merupakan sebuah organisasi yang bergerak dibidang politik.
Kepemimpinan partai politik di Indonesia sangatlah beragam. Hal ini ditunjukan dengan
berbagai profesi seperti intelektual, pedagang, buruh, guru, dsb yang terjadi dalam
kepemimpinan partai politik saat masa kolonial dan masa kemerdekaan. Perkembangan
kepemimpinan partai di Indonesia yang saat marak saat ini adalah banyaknya pengusaha
yang menjadi pemimpin partai politik.22

18

19

20

21

22

18
BAB III

PEMBAHASAN

Kekuatan Politik

Menganalisa kekuatan politik indonesia tidak terlepas dari budaya politik yang dimiliki
oleh indonesia yang berupa, ketidakjelasan hierarki atau adanya sumber homogen,
kecendrungan patronage/klientilistic masa orba, Neo-patrimonialistik sehingga
minimnya civil society. Kekuatan politik indonesia sedikit banyak telah menampakan diri
melalui angkatan bersenjata, partai politik, golongan intelektual dan mahasiswa,
kelompok pedagang, pengusaha dan profesional, serta kelompok penekan yang baru
muncul semenjak dekade XX.

Konsep-konsep yang berkaitan dengan kekuatan politik, yakni : 23

Influence atau pengaruh, yaitu bagimana seseorang mampu mempengaruhi agar orang
lain berubah secara sukarela.

Persuasi yaitu cara meyakinkan orang dengan memberikan argumentasi.

Manipulasi adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain namun yang


dipengaruhi tidak menyadari.

Coersion adalah ancaman atau paksaan agar orang lain sesuai dengan kehendak yang
punya kekuasaan.Force yaitu tekanan fisik, seperti membatasi kebebasan. Ini biasanya
dilengkapi dengan sejata, sehingga orang lain mengalami ketakutan.

Dalam studi politik klasik ataupun modern, kekuatan-kekuatan politik dapat


mengorganisasikan diri dalam berbagai kekuatan politik yang lebih memungkinkan suatu
kekuatan politik untuk berkontestasi dengan kekuatan politik yang lain, baik dalam
perebutan sumber ekonomi maupun kekuasaan politik. Pengorganisasian tersebut dapat
mewujud dalam civil society, seperti LSM, kelompok studi, dan organisasi
kemahasiswaan; political society, seperti parpol, birokrasi, militer, buruh; serta
economical society, seperti pemilik modal dan organisasi bisnis, yang semuanya
bergantung padakaraktersistik dan modal sosial yang mendukungnya. 24

Menganalisis bagaimana kekuatan yang dimiliki partai Golkar Pasca reformasi, memang
menjadi salah satu kekuatan politik yang menarik untuk diamati. Demikian pula
menjelaskan posisinya menjelang Pilpres Juli 2009. Penjelasan ini, sebetulnya sama
menariknya untuk mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan kemerosotan suara dari

23

24

19
partai berlambang pohon beringin ini. Bahkan dalam beberapa hal, alasan-alasan
tersebut saling melengkapi (komplementatif) dengan pilihan-pilihan berkoalisinya.
Beberapa hal yang perlu diungkapkan tentang magnitude-nya Partai Golkar. Pertama,
dari sisi sejarah perpolitikan di Indonesia. Partai Golkar adalah pewaris utama dari
Golongan Karya, sebuah kekuatan politik dominan, yang menjadi mesin politik setia bagi
kekuasaan politik Orde Baru, yang memerintah lebih dari 32 tahun. Jika kita gunakan
istilah Donnald K. Emerson, Golkar adalah penunjang utama sistem One Party Dominant
System yang dijalankan penguasa Orde Baru. Jelas, posisi ini amat menguntungkan,
karena elekbilitasnya menjadi tinggi.

Kedua, kemapanan jaringan dan struktur politik kepartaian. Terkait dengan panjangnya
perjalanan sejarah politik partai ini, maka, ia menjadi salah satu partai yang memiliki
jaringan politik yang begitu kuat. Ketiga, kapasitas elit yang merata. Hampir dapat
dipastikan, tidak ada satu tokoh sentral yang terkesan dikultuskan. Memang ia memiliki
tokoh seperti JK, Wakil Presiden RI, namun ketokohannya tidak sepopuler dan sekuat
Megawati Sukarnoputeri di PDI-P maupun SBY di Partai Demokrat. Dari sisi ketokohan,
elit partai yang merata, sejatinya partai ini dapat menjanjikan sebagai partai moderen.
Keempat, kemampuan adaptasi.

Pemilu Legislatif 2009, suara partai ini melorot. Ironisnya, hal itu terjadi di saat Sang
Ketua Umum, Jusuf Kalla sedang menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia.
Dapat dikatakan, ada dua alasan mendasar yang menyebabkan melorotnya suara partai
ini. Kedua faktor itu adalah faktor internal dan faktor eksternal. 25 Secara sederhana,
untuk menggambarkan faktor internal, dapat digunakan dua asumsi. Pertama dari aspek
figur Jusuf Kalla (JK) dan kepemimpinannya. Kedua, dapat dikaji dengan menggunakan
konsep fungsi-fungsi partai politik. Ramlan Surbakti menjelaskan tujuh konsep fungsi
partai politik, yaitu sosialisasi politik, rekrutmen politik, partisipasi politik, pemadu
kepentingan, komunikasi politik, pengendalian konflik dan kontrol politik. Faktor
Internal, Langkah Awal Dari Keterpurukan antara lain:

Aspek Kefiguran Jusuf Kalla (JK)

Figur seperti Jusuf Kalla (JK), sebenarnya menjadi dilemma bagi Golkar. Di satu sisi,
sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar, JK terpilih pada Musyawarah Nasional Partai
Golkar pada 2004, dengan meninggalkan catatan penting. Pertama, Munas
terselenggara di saat ia sudah menjadi Wakil Presiden, sehingga jabatan ini akan
memengaruhi keberhasilannya sebagai Ketua Umum terpilih. Kedua, ia menyingkirkan
Akbar Tandjung, Ketua Umum DPP Partai Golkar periode 1999 – 2004, yang langkah
politiknya di Koalisi Kebangsaan berhenti saat Megawati Sukarnoputri gagal menjadi
orang nomor satu di republik ini. Jadi, ada aspek eksternal yang begitu kuat dalam
produk Munas Golkar di Bali tersebut.

25

20
Selain itu, sosok JK dianggap sebagai tokoh yang berlari cepat meninggalkan sang
presiden dan cenderung melebihi kewenangan yang dimilikinya. Respon masyarakat
menunjukkan, prilaku JK ini belum pas bagi kultur masyarakat kita, yang sangat menanti
tokoh-tokoh yang elegan, berwibawa serta mampu memahami perasaan masyarakat.
Jadi tidak sekadar asal cepat saja.

Aspek Kepemimpinan

Dapat dikatakan, elit-elit Golkar pada periode ini belum menunjukkan model
kepemimpinan yang ideal. Alih-alih ideal, di saat bangsa sedang menderita, banyak
tokoh Golkar di tingkat nasional terkesan tidak empati terhadap nasib dan penderitaan
rakyat. Ini dapat dilihat saat Aburizal Bakrie, anggota Dewan Penasihat Partai Golkar,
menjadi Menko Perekonomian.

Lain halnya kekuatan partai Golkar yang semakin merosot dan hanya menjadi
pendamping penjalan kekuasaan di era Pemerintahan, justru Partai Partai Amanat
Nasional (PAN) tidak mencamtumkan Agak berbeda dengan apa yang termuat dalam
Anggaran Dasar dan Anggaraan Rumah Tangganya (AD/ART), Partai Amanat Nasional
(PAN), justru tidak mencantumkan idiologi apa yang dianut oleh partai ini. Pada pasal 4,
AD/ART-nya PAN hanya menyebutkan bahwa PAN berdasarkan Pancasila dan
berasaskan akhlak politik dengan berlandaskan agama yang membawa rahmat bagi
sekalian alam. Pebedaan sedikit terlihat dari isi tujuan pokok partai PAN, yaitu
mewujudkan Indonesia Baru yang menjunjung tinggi dan menegakan nilai-nilai iman dan
takwa. Kalimat ”mewujudkan Indonesia baru” 26 menunjukan bahwa partai ini
mengandaikan adanya format lama dari sistem bernegara selama ini yang harus
ditinggalkan, dan digantikan dengan format yang sama sekali baru. Namun kemudian,
format baru yang dibayangkan kembali sama yaitu terciptanya kedaulatan rakyat,
keadilan sosial, kemakmuran dan kesejahteraan dalam wadah Negara Republik
Indonesia.

Yang menarik dari keorganisasian PAN adalah keberadaan Mahkamah Penyelesaian


Sengketa (MPS), yang berada pada Dewan Pimpinan Pusat dan berwenang
menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam tubuh partai. Lebih dari itu, dalam
kelembagaan partai juga dikenal pendekatan pemberian penghargaan bagi kader,
anggota, dan disimpan sebagai yang berjasa terhadap partai, Sanksi bagi anggota
maupun pengurus partai yang melakukan pidana kejahatan dan/atau melakukan
pelanggaran terhadap undang-undang, Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan
peraturan-peraturan partai, dan rehabilitasi yaitu pemulihan nama baik, harkat,
martabat, dan hak anggota dan atau pengurus.

Partai politik pada masa Reformasi

26

21
Parpol adalah salah satu kelengkapan utama dari negara demokrasi. Negara tanpa
Parpol tidaklah layak disebut negara demokrasi. Demokrasi merupakan sistem
pemerintahan yang paling populer di seluruh dunia. Karena, demokrasi diyakini mampu
mewujudkan tujuan bernegara yakni, kesejahteraan dan keadilan sosial bagi segenap
warga negara27. Bahkan pendapat yang lebih ekstrim mengatakan bahwa tidak ada
demokrasi ketika tidak ada partai politik didalamnya, karena partai politiklah yang
memainkan peranan penting dalam sistem demokrasi 28.

Oleh karena itu, Era reformasi muncul sebagai gerakan korektif dan pelopor perubahan-
perubahan mendasar di berbagai aspek kehidupan. Reformasi yang ditandai oleh
lengsernya Soeharto dan naiknya B.J Habibie sebagai presiden, yang didahului dengan
gerakan perlawanan dari berbagai elemen masyarakat, terutama mahasiswa dan kaum
intelektual perkotaan, hanya merupakan titik awal yang menandaii berakhirnya rezim
otoritarian di Indonesia. Setelah menjabat, Habibie mencoba melakukan liberalisasi dan
keterbukaan politik, unutk berkomunikasi secara bebas melalui pers serta pembentukan
organisasi sosiall dan politik. Secara khusus, liberalisasi dilakukan dengan membuka
ruang publik seluas-luasnya dengan kebebasan pers, izin mendirikan partai politik, dan
organisasi buruh.29 Hal ini mengapa hanya focus pada peran partai Golkar saja, hal ini
dikarenakan partai Golkarlah yang pernah menjabat dalam era pemerintahan Reformasi
sebagai pemegang kekuasaan disaat Jusuf Kalla menjabat wakil Presiden masa
pemerintahan SBY jilid 1 dan Partai Amanat Naional (PAN) hanya sebagai penguat
kekuasaan perpolitikan saja yang tidak pernah menjadi partai penguasa di era reformasi.

Yang pada pelaksanaanya, gerakan reformasi melahirkan UU No. 2 Tahun 1999, UU No.
3 Tahun 1999, dan UU No.4 Tahun 1999 tentang partai politik yang memungkinkan
dilaksanakannya pemilu secara bebas, jujur, dan adil. Harapan peran partai sebagai
wadah penyalur aspirasi politik akan semakin baik, meskipun hingga saat ini belum
menunjukkan kenyataan. Hal ini terlihat dari kampanye Pemilu yang masih diwarnai
banyaknya partai politik yang tidak mengaktualisasikan aspirasi rakyat dalam wujud
program partai yang akan diperjuangkan. Mirip dengan fenomena lama dimana yang
ada hanya janji dan slogan-slogan kepentingan politik sesaat. Meskipun rezim otoriter
telah berakhir dan keran demokrasi telah dibuka secara luas sejalan dengan bergulirnya
proses reformasi30.

Berbagai kebijakan tersebut, pada akhirnya membuka jalan bagi munculnya partai-partai
politik baru, menghilangkan monopoli kekuasaaan oleh Golkar dan militer,
memungkinkan dilakukannya pengawasan oleh pers terhadap penyelenggaraan negara,
serta membuka jalan menuju transisi demokrasi yang lebih baik. Partai-partai baru
memaksa Golkar sebagaimpartai pro status quo untuk menyesuaikan diri terhadap
27
28

29

30

22
tuntutan mereka yang memperoleh dukungan di parlemen. Kekuatan politik lain pun
semakin aktif mempengaruhi arah perubahan politik sebagai tuntutan reformasi, salah
satunya adalah ditariknya militer dari barak, semakin memperoleh dukungan MP.
Terbukti setelah dikeluarkannya UU No. 2 tahun 1999 tentang partai politik, partai
politik yang mendaftarkan diri ke Departemen Kehakiman pun mencapai hingga 141
partai politik. Meskipun jumlah partai yang lolos dengan memenuhi syarat untuk
menjadi pesera pemilihan umum hanya 48 partai politik. Bersamaan dengan itu, jumlah
media masa saat itu juga ikut meningkat dengan 1.389 media cetak baru, 830,60 televisi,
2.000 radio berizin dan 10 ribu radio gelap.

Dalam pemilu 1999, sebagai pemilu pertama pasca reformasi, rakyat Indonesia
memberikan mandat lebih pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang
digawangi oleh Megawati Soekarno Putri. Megawati menjelma sebagai perwujudan dari
wong cilik yang hakhaknya terserabut dari Orde Baru. Dengan memposisikan diri sebagai
orang yang tertindas. Megawati mampu mengangkat PDI-P sebagai partai yang mampu
mendapat mandat rakyat. Sedangkan pada 2004, Partai Golkar dengan paradigma
barunya kembali memenangkan pemilu, pasca menjadi partai politik di era reformasi.
Analis mengenai kemenangan Partai Golkar menunjukan bahwa selain faktor ketua
Umum Partai, ada beberapa faktor yang menyebabkan posisi partai Golkar signifikan
dalam konstalasi politik Indonesia; Pertama, infrastruktur politik Partai Golkar. kedua,
“merek politik” Golkar sudah terlanjur “ mengakar”, sehingga sulit bagi yang lain, yakni
mereka yang semula kader Golkar mendirikan partai politik sendiri, untuk melakukan
klaim politik sebagai “ Golkar Sesungguhnya”. Ketiga, Partai Golkar diuntungkan oleh
kondisi di lapangan, di mana masyarakat banyak yang mengeluh soal merosotnya tingkat
sosial-ekonomi mereka. Sebagian masyarakat merindukan “masa lalu” di zaman Golkar,
dimana ketika Golkar berkuasa kondisi sosial-ekonomi tidak seburuk sekarang.

Menghadapi pemilu 2004, partai Golkar dalam menjaring calon presiden dan wakil
presiden dari partai menggelar konvensi politik. Keputusan konvensi yang dilakukan
Golkar, menurut Akbar Tandjung adalah kerangka memberikan kesempatan secara
terbuka kepada siapa saja, tokoh-tokoh nasional yang terpanggil untuk menjadi calon
presiden. Kesempatan tersebut bisa diikuti siapa saja, baik dari lingkungan Partai Golkar
maupun luar partai. Menurutnya, konvensi bukan etalase demokrasi, melainkan
sungguh-sungguh merupakan cerminan dari keinginan partai Golkar untuk memberikan
kontribusi terbaik bagi bangsa dan Negara. Ide konvensi ini menyedot dan membetot
perhatian kalangan masyarakat dan para akademisi sebagaiterobosan demokrasi di
Indonesia. Dengan strategi politik yang dilakukan Partai Golkar diatas nmampu
membawa angin segar partai dalam memenangkan kontestasi politik di pemilu 2004.
Pada pemilu 2004, Partai Demokrat sudah mengikuti kontestasi dengan hasilnya yang
mengagumkan dengan 8.455.225 suara atau 7,45 persen,14 maka Partai Demokrat
menempati posisi lima besar dan menghantar Susilo Bambang Yudhoyono menjadi
presiden Republik Indonesia yang pertama berdasarkan pilihan rakyat.

23
Pelaksanaan Fungsi Partai Politik Pada Masa Reformasi

Banyaknya fungsi yang di emban oleh partai politik mengartikan bahwa partai-partai
politik yang saat ini telah berdiri memiliki kewajiban untuk dapat membangun kapasitas
dirinya, sehingga memiliki kapabilitas yang cukup untuk memenuhi apa yang telah di
amanatkan oleh undang-undang. Namun, realitas yang terkandung dalam kekhasan
masyarakat Indonesia yang majemuk baik secara norma adat, kesukuan, agama,
sehingga tingkat pendidikan dan kemapanan sosialnya menjadi tantangan lain yang
harus di akomodasi oleh partai politik yang ada 31. Selain hal tersebut, pelaksanaan fungsi
partai politik pada masa reformasi yakni :

Sosialisasi politik

Sosialisasi politik ialah proses pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota
masyarakat, melalui proses sosialisasi politik inilah masyarakat mengetahuinya arti
pentingnya politik beserta instumen-instumennya. Sosialisasi politik kemudian
menghasilkan budaya politik politik dalam bentuk perilaku politik yang tidak destruktif,
mengutamakan konsensus dibanding menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan
konflik, mempunyai pertimbangan yang rasional dalam menentukan pilihan atau
membuat keputusan yang kemudian perilaku seperti akan menjadi modal untuk
pelaksanaan demokrasi (kedewasaan demokrasi) 32.

Sosialisasi politik diartikan sebagai proses pembentukan sikap dan orientasi politik
kepada para kader partai. Fungsi internal ini tidak dijalankan secara sungguh-sungguh
oleh para elit partai. Dapat dikatakan, dibutuhkan seorang tokoh dengan energi yang
kuat dan tahan lama untuk membentuk konsolidasi partai. Sehingga, kader partai akan
terus bergerak dinamis dan solid mengikuti arahan para elit. Di masa lalu, sosok seperi
Harmoko dan Akbar Tandjung, dikenal tidak pernah lelah untuk turun menjumpai kader
partainya, bahkan hingga ke pelosok desa di segenap penjuru tanah air. Tidak adanya
elit Golkar yang memiliki stamina seperti Harmoko ataupun Akbar Tandjung, maka,
sentuhan psikologis terhadap para kader di bawah sangat kurang dan melemahkan
mereka di dalam menjalankan amanah organisasi. Sehingga berimplikasi pada
rendahnya semangat kader di dalam memperjuangkan kepentingan partai di masyarakat
akibatnya, masyarakat pun jadi makin tidak mampu merespon partai ini. 33

Rekrutmen politik

Rekrutmen politik yang adil, transparan, dan demokratis pada dasarnya adalah untuk
memilih orang-orang yang berkualitas dan mampu memperjuangkan nasib rakyat

31

32

33

24
banyak untuk mensejahterakan dan menjamin kenyamanan dan keamanan hidup bagi
setiap warga negara.

Rekrutmen politik diartikan sebagai seleksi dan pemilihan bagi seseorang di dalam
menjalankan fungsi-fungsi perpolitikan di tubuh partai. Proses ini sangat penting untuk
meningkatkan motivasi berpolitik dari para kader partai. Meski Golkar melakukan upaya
rekrutmen politik terutama pada masa pendaftaran calon anggota legislatif (caleg),
namun, unsur kolusi dan nepotisme kekeluargaan begitu kental. Banyak keluarga dari
tokoh teras dan berpengaruh di DPP Partai Golkar periode 2004 – 2009, ditempatkan
pada nomor urut atas pada daftar calon sementara (DCS) Pemilu 2009. Ini jelas
merugikan kader lain yang tidak memiliki hubungan spesial dengan tokoh-tokoh DPP,
meski selama ini mereka telah menunjukkan prestasi yang baik. Meskipun mekanisme
pemilihan diserahkan kepada rakyat melalui suara terbanyak yang didasarkan pada
keputusan Mahkamah Konstitusi tentang cara penentuan anggota parlemen terpilih,
tetapi nomor urut tetap tidak berubah. Cara ini jelas membuat para kader partai yang
telah berpengalaman dan mengakar di basis konstituennya terkesan terabaikan. Inilah
yang menyebabkan tokoh sepopuler Yudhy Chrisnandi mengundurkan diri dari proses
pencalegan di Golkar. Bagi masyarakat, prilaku elit partai yang tega membuang kader
potensialnya, dianggap sebagai bagian dari egoisme yang begitu tinggi di kalangan
pengurus partai.

Partisipasi Politik

Partisipasi politik adalah kegiatan para kader Golkar dalam upaya memengaruhi proses
kebijakan politik di partai. Seharusnya, partai memberikan keleluasaan kepada para
kadernya untuk mendorong dan mengajak masyarakat lain untuk menggunakan partai
sebagai sarana menyalurkan kepentingan politiknya. Tapi, ini tidak berjalan dengan
efektif. Misalnya dalam pelaksanaan Pilkada, para kader yang dicalonkan Golkar tidak
bisa memiliki keleluasaan untuk menggerakkan konstituennya karena dibatasi oleh para
elit. Jadi, mesin politik partai cenderung tidak berjalan secara optimal.

Pemandu Kepentingan

Dalam masyarakat terdapat sejumlah kepentingan yang berbeda bahkan acapkali


bertentangan, seperti antara kehendak mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya
dan kehendak untuk mendapatkan barang dan jasa dengan harga murah tetapi
bermutu; antara kehendak untuk mencapai efisiensi dan penerapan teknologi yang
canggih, tetapi memerlukan tenaga kerja yang sedikit, dan kehendak untuk mendapat
dan mempertahankan pekerjaan; antara kehendak untuk mendapatkan dan
mempertahankan pendidikan tinggi yang bermutu tinggi, tetapi dengan Kegiatan
menampung, menganalisis dan memadukan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan
bertentangan menjadi berbagai alternatif kebijakan umum, kemudian diperjuangkan

25
dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Itulah yang dimaksud
dengan fungsi pemandu kepentingan34.

Sebagai partai politik, tentunya Golkar menjadi rumah dari berbagai macam kader
dengan segenap kepentingan politiknya. Persoalannya, fungsi sekretariat jenderal tidak
berjalan optimal. Hal ini ditandai oleh kakunya pihak sekretariat jenderal di dalam
mengakomodasi kebutuhan perubahan yang ada di masyarakat. Kesekretariatan partai
sebesar Golkar, seharusnya tidak lagi diurus oleh orang-orang yang bekerja berdasarkan
prinsip-prinsip birokratis.

Komunikasi Politik

Komunikasi politik adalah proses penyampaian informasi mengenai politik dari


pemerintahan kepada masyarakat dan dari masyarakat ke pemerintah. Informasi
merupakan hal yang sangat penting ketika kita berbicara organisasi modern, karena
organisasi (Pemerintah) tersebut akan dapat mempertahan kekuasaan ketika mengerti
apa saja yang menjadi kebutuhan dari masyarakatnya. Banyak rezim di dunia ini yang
tidak dapat mempertahankan kekekuasaannya yang dikarenakan mereka tidak mengerti
apa yang menjadi kebutuhan masyarakat sehingga dari situ muncul ketidak puasan
masyarakat kepada penguasanya yang kemudian berujung pada proses penggantian
penguasa baik itu dengan cara yang diatur secara konstitusi ataupun dengan kudeta.
Disisi lain informasi juga dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengetahui sejauh mana
pemerintah dalam menjalankan fungsinya, dengan cara seperti apa dan bagaimana
capaian yang dikehendaki. Partai politik ini berada diantara pemerintah dan masyarakat,
sehingga sangat strategis posisinya dalam hubungan ini. Dalam hubunga ini tentunya
akan sangat tergantung di pihak mana partai politik berada, apakah di pihak pemerintah
ataukah oposisi, tentunya hal ini akan mempengaruhi isi dari pemberian informasi yang
diberikan kepada masyarakat terkait dengan sudut pandang atau nilai-nilai yang
diperjuangkan35.

Kemampuan kader Golkar dalam memainkan peran komunikasi politik terkesan tidak
maksimal. Padahal, banyak aspek kemajuan yang dijalankan oleh pemerintahan SBY-JK
yang merupakan kontribusi dari kader partai. Namun, karena hal ini tidak mampu
dijelaskan kepada masyarakat, maka, masyarakat menilai kinerja pemerintah yang bagus
adalah sebagai kinerja SBY. Jelas, ini amat memukul Golkar, karena apapun kebaikannya
di dalam pemerintah tidak dilirik oleh masyarakat sebab tertutup dengan kinerja
seorang presiden. Elit dan kader Golkar juga terkesan panik dalam menyikapi hal ini,
sehingga dalam beberapa kampanye politiknya, Lebih Cepat Lebih Baik, tidak lagi laku di
pasaran.

Pengendalian Konflik

34

35

26
Berbicara konflik ini kemudian akan berkaitan dengan kepentingan, konflik ini muncul
karena ada kepentingan-kepentingan yang berbeda saling bertemu. Kepentingan disini
adalah kepentingan dari orang, kelompok, atau golongan-golongan yang ada dalam
masyarakat. Mengingat di dalam masyarakat Indonesia khususnya, dimana dengan
berbagai macam keberagaman yang ada baik itu golongan, agama, etnis ataupun yang
bersifat sektoral. Tentunya akan banyak sekali kepentingan yang akan saling
berbenturan, hal ini tentunya akan membawa dampak yang luar biasa ketika dibiarkan
begitu saja. Memang konflik dalam masyarakat itu tidak bisa dihilangkan tetapi yang
harus dilakukan adalah bagaimana memanajemen konflik tersebut supaya konflik
tersebut sifatnya tidak merusak hubunga antar golongan tadi dengan cara-cara
kekerasan. Partai politik sebagai salah satu lembaga demokrasi berfungsi untuk
mengendalikan konflik melalui cara berdialog dengan pihak-pihak yang berkonflik,
menampung dan memadukan berbagai aspirasi dan kepentingan pihak-pihak yang
berkonflik dan membawa permasalahan kedalam musyarawarah badan perwakilan
rakyat untuk mendapatkan penyelesaian berupa keputusan politik 36.

Dalam negara demokrasi, konflik merupakan hal yang biasa dan terjadi karena adanya
perbedaan pandangan di masyarakat. Persoalannya, bagi Golkar, kesan beberapa
perbedaan pandangan yang terjadi antara JK dengan SBY, misalnya dalam pro-kontra
pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP-PPR),
pada November 2006, sangat merugikan Golkar. Padahal, Golkar bisa menjadikan
momentum ini untuk menimbulkan simpati rakyat.

Kontrol Politik

Kontrol politik ialah kegiatan untuk menunjukkan kesalahan, kelemahan dan


penyimpangan dalam isi suatu kebijakan atau dalam pelaksanaan kebijakan yang dibuat
dan dilaksanakan oleh pemerintahan. Produk dari pemerintahan ada suatu kebijakan,
kebijakan-kebijakan ini yang kemudian akan menyangkut kepentingan masyarakat
secara umum. Baik buruknya kebijakan tentunya sangat bisa diperdebatkan mengingat
kebijakan pemerintah tidak akan pernah mungkin bisa memberikan kepuasan kepada
semua orang. Permasalahan yang muncul adalah kepada siapa kebijakan itu akan
memberi keuntungan. Pada titik inilah kemudian kontrol partai politik memainkan
fungsinya untuk menyikapi suatu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait
kelemahan yang ada dan kemana alokasi nilai-nilai dari kebijakan itu akan diberikan.
Ketika suatu kebijakan telah dibuat dan dimplementasikanpun perang partai politik
masih diperlukan untuk mengawal kebijakan tersebut sesuai dengan tujuan awal yaitu
untuk apa kebijakan itu dibuat. Ketika kebijakan itu sudah menjadi keputusan tidak serta
merta dapat menyelesaikan permasalahan seperti yang telah direncanakan. Banyak
sekali faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya kebijakan tersebut dalam
menyelesaikan masalah. Faktor pelaksana kebijakan merupakan salah satu faktor yang

36

27
sangat berpengaruh, karena dibanyak kasus banyak kebijakan itu gagal atau kurang
berhasil yang diakibatkan oleh pelaku atau oknum yang mengejar kepentingan
pribadinya37.

Persoalannya, kader Golkar tidak bisa leluasa melakukan kontrol politik kepada
pemerintah, karena ia akan mengontrol dirinya sendiri. Inilah yang membedakannya
dengan PDI-P, yang sejak awal beroposisi dengan Golkar. Dalam kasus luapan lumpur di
Sidiarjo, misalnya, elit Golkar terkesan mendua karena Aburizal Bakrie berada dalam
jajaran elit partai ini.

Selain itu, berbagai problema akut tengah menghimpit politik kepartaian Indonesia.
Partai politik Era Reformasi yang seharusnya menjadi salah satu pilar bagi tegaknya
demokrasi ternyata lebih berkutat pada cita-cita primitifnya, yaitu sekadar meraih dan
mempertahankan kekuasaan. Partai politik mengerahkan segala daya upaya demi
mewujudkan pragmatisme politik ini. Dalam praktiknya, pragmatisme politik ini
beriringan dengan pragmatisme ekonomi. Politik kepartaian menjadi transaksional dan
sibuk memburu rente (rent-seekers). Para elite dan fungsionaris partai politik, terutama
partai politik yang memiliki perwakilan di DPR dan DPRD serta menduduki posisi
eksekutif nasional dan daerah, berlomba-lomba meraup akumulasi finansial baik untuk
keperluan pembiayaan politik yang memang mahal maupun untuk memperkaya diri
sendiri. Akibatnya, banyak dari mereka terjerat dan terseret kasus korupsi politik 38.

Dari kenyataan yang di temui pada masa reformasi ini yang seharusnya partai politik ini
terbentuk karena teori situasi historis dimana pada awal tahun 1998 partai-partai politik
politik yang mempunyai akar dalam masyarakat diharapkan akan mengendalikan
pemerintahan sehingga terbentuklah pola hubungan kewenangan antara pemerintah
dan rakyat. Akan tetapi, hal tersebut berbalik dengan kenyataan. Partai-partai saat ini
lebih condong kepada teorikelembagaan dimana teori ini menyatakan pembentukan
partai dimana partai politik dibentuk karena adanya kebutuhan para anggota parlemen
untuk mengadakan kontak dan membina dukungan dari anggota masyarakat. Hal
tersebut membuat para partai politik pada masa reformasi ini hanya terfokus kepada
tujuan partai politik tanpa ada kontrol terhadap pemerintah.

Peta Permasalahan Peran Partai Politik di Era Reformasi dan Penguatan Peran Partai
Politik dalam Peningkatan Partisipasi Politik Masyarakat

Peta Permasalahan Peran Partai Politik

Peran Sebagai Wadah Penyalur Aspirasi Politik

37

38

28
Era reformasi muncul sebagai gerakan korektif dan pelopor perubahan perubahan
mendasar di berbagai aspek kehidupan. Gerakan reformasi yang melahirkan proses
perubahan dan melengserkan pemerintahan orde baru dan melahirkan UU No. 3 Tahun
1999 tentang partai politik memungkinkan sistem multi partai kembali bermunculan.
Harapan peran partai sebagai wadah penyalur aspirasi politik akan semakin baik,
meskipun hingga saat ini belum menunjukkan kenyataan. Hal ini terlihat dari kampanye
Pemilu yang masih diwarnai banyaknya partai politik yang tidak mengaktualisasikan
aspirasi rakyat dalam wujud program partai yang akan diperjuangkan. Mirip dengan
fenomena lama dimana yang ada hanya janji dan slogan – slogan kepentingan politik
sesaat. Meskipun rezim otoriter telah berakhir dan keran demokrasi telah dibuka secara
luas sejalan dengan bergulirnya proses reformasi, namun perkembangan demokrasi
belum terarah secara baik dan aspirasi masyarakat belum terpenuhi secara maksimal.
Aspirasi rakyat belum tertangkap, terartikulasi, dan teragregasikan secara transparan
dan konsisten. Distorsi atas aspirasi, kepentingan, dan kekuasaan rakyat masih sangat
terasa dalam kehidupan politik, baik distorsi yang datangnya dari elit politik,
penyelenggara negara, pemerintah, maupun kelompok - kelompok kepentingan. Di lain
pihak, institusi pemerintah dan negara tidak jarang berada pada posisi yang seolah tidak
berdaya menghadapi kebebasan yang terkadang melebihi batas kepatutan dan bahkan
muncul kecenderungan yang mengarah anarkis walaupun polanya tidak melembaga dan
lebih banyak bersifat kontekstual.39

Peran sebagai Sarana Rekrutmen Politik

Pada era reformasi seperti sekarang, sesungguhnya peran partai politik masih sangat
terbatas pada penempatan kader-kader politik pada jabatan-jabatan politik tertentu.
Itupun, masih belum mencerminkan kesungguhannya dalam merekrut kader politik yang
berkualitas, berdedikasi, dan memiliki loyalitas serta komitmen yang tinggi bagi
perjuangan menegakkan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan bagi rakyat banyak.
Banyak terjadi fenomena yang cukup ganjil, dimana anggota DPRD di beberapa daerah
tidak menjagokan kadernya, tetapi justru memilih kader lain yang belum dikenal dan
belum tahu kualitas profesionalismenya, kualitas pribadinya, serta komitmennya
terhadap nasib rakyat yang diwakilinya. Proses untuk memenangkan seorang calon
pejabat politik tidak berdasarkan pada kepentingan rakyat banyak dan bahkan juga tidak
berdasarkan kepentingan partai, tetapi masih lebih diwarnai dengan motivasi untuk
kepentingan yang lebih bersifat pribadi atau kelompok. Meskipun tidak semua daerah
mengalami hal semacam ini, namun fenomena buruk yang terjadi di era reformasi
sangat memprihatinkan, Dalam kondisi seperti itu, tentu saja pembinaan, penyiapan,
dan seleksi kader-kader politik sangat boleh jadi tidak berjalan secara memadai. 40

39

40

29
Partai politik era reformasi lebih fokus pada upaya memperoleh kekuasaan semata,
kurang dalam pendidikan politik serta pemenuhah kepentingan rakyat. Me-nurut jajak
pendapat (Kompas 23 Maret 2010), mayoritas responden menyatakan tidak puas atas
kinerja parpol, terutama sembilan parpol yang ada di DPR (Partai Demokrat, Partai
Golkar, PDI-P, PKS, PAN, PPP, PKB, Partai Hanura dan Partai Gerindra). Citra negatif
terhadap parpol ditengarai terjadinya lantaran ada kesenja-ngan yang telalu besar
antara politisi dan pejabat, baik legislatif maupun eksekutif dengan masyarakat.
Sekalipun anggota par-pol yang menjadi anggota legislatif telah terjun ke masyarakat
dalam rangka men-jaring aspirasi dan memberikan bantuan fi-nansial dalam kegiatan
masyarakat, namun parpol kalah bersaing dengan agen-agen demokrasi dalam
menyalurkan aspirasi rak-yat melalui organisasi masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat (LSM), perguruan tinggi dan sebagainya. 41

Penguatan Peran Partai Politik dalam Peningkatan Partisipasi Politik Masyarakat

Dari analisis bahasan peta permasalahan partai politik dalam peningkatan partisipasi
politik masyarakat, dihadapkan kepada tuntutan kebutuhan yang tercermin pada
prospek peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat,
menunjukkan bahwa masih terdapat hal yang perlu disempurnakan, direvisi, dan bahkan
diperbaharui. Hal ini sejalan dengan sebagian tujuan reformasi dalam mewujudkan
kedaulatan rakyat pada seluruh sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, melalui perluasan dan peningkatan partisipasi politik rakyat. Partisipasi
politik yang otonom pada hakekatnya merupakan suatu pengejawantahan dari
penyelenggaraan kekuasaan politik yang syahih oleh adanya peningkatan partisipasi
politik rakyat. Adapun Program-program Aksi Reformasi antara lain: 42

Restrukturisasi Partai Politik, dalam pengertian melakukan perubahan dan/ atau


penyesuaian struktur politik yang berkaitan erat dengan peran partai politik, antara lain
adalah:

Partai politik merupakan sarana yang sangat efektif dan bersifat legal dalam
mewujudkan kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran dalam
mengembangkan kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.

UU No. 3 Tahun 1999, mengatur tentang pelaksanaan pemilu, yang merupakan sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat.

Dalam pelaksanaan pemilu di masa mendatang perlu lebih disempurnakan, sehingga


dapat dikurangi tingkat kecurangan-kecurangan sehingga dapat terwujud pemilu yang
benar-benar bersifat luber dan jurdil.

41

42

30
Jumlah partai politik yang optimal adalah bila mampu mewakili semua aspirasi rakyat
namun tidak menimbulkan konflik kepentingan yang makin divergen.

Refungsionalisasi yaitu memfungsikan kembali lembaga negara dan lembaga - lembaga


politik, serta kemasyarakatan sesuai fungsi dasarnya, termasuk profesionalisme TNI
sebagai kekuatan militer yang tangguh dalam melindungi NKRI sebagai satu kesatuan
wilayah darat, laut, dan udara; dimana program aksinya meliputi :

Peningkatan peran partai politik dilaksanakan dengan cara melakukan refungsionalisasi


partai politik agar mampu menyalurkan aspirasi rakyat.

Partai politik selama ini mudah di intervensi oleh kekuasaan untuk kepentingan
pemerintah dan/ atau politik tertentu.

Dalam kaitan ini, barangkali akan sangat mendukung perkembangan partai politik ke
arah yang lebih otonom, manakala untuk kepentingan operasionalnya didukung dengan
alokasi anggaran melalui APBN, agar kegiatan partai politik dapat berjalan secara fokus
dan efektif dan dihindari bantuan dari pihak pemerintah atau golongan tertentu untuk
kepentingan partai politik tertentu.

Semua partai politik pada dasarnya merupakan aset negara, bangsa dan masyarakat
sehingga mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat.

Revitalisasi, yaitu menyusun skala prioritas permasalahan yang dihadapi Bangsa


Indonesia akhir-akhir ini, mengedepankan dan memprioritaskan persatuan dan kesatuan
di atas kepentingan yang lain, termasuk ancaman distegrasi.

Dalam kaitan ini banyak masalah yang dihadapi namun yang cukup memprihatinkan
adalah organisasi partai politik yang ada saat ini di dalam pengelolaannya masih
menunjukkan adanya kekurangan-kekurangan seperti: (1) Motivasi anggota pengurus
partai politik masih berorientasi kepada kepentingan pribadi, sedangkan perjuangan
partai dan kepentingan pengikutnya sangat rendah; (2) Kualitas pengurus partai politik
relatif rendah sehingga mudah ditunggangi oleh kepentingan kelompok tertentu; (3)
Pemerintah masih banyak turut campur baik secara langsung maupun tidak langsung
dalam penyelesaian perpecahan yang terjadi dan dalam menentukan kader/calon
pemimpin partai politik (pemimpin karbitan); (4) Kekuatan partai politik belum
mewujudkan kemandirian yang kuat dan belum mempunyai program yang jelas, realistis
dalam mensejahterakan rakyat; dan (5) Masih ditemukannya kecemburuan diantara
kekuatan partai politik, karena ketidak seimbangan sarana dan peluang untuk
mendukung keberhasilan organisasi. Untuk mencegah terjadinya permasalahan tersebut
atau paling tidak meminimalkan intensitas dan frekuensinya perlu dilakukan upaya
revitalisasi sebagai berikut :

31
Perlu dilakukan seleksi yang ketat dan transparan untuk memilih kepengurusan
organisasi serta diakui oleh seluruh anggota, bukan karena rekayasa.

Perlu diwujudkan kualitas dan kemandirian organisasi, sehingga terhindar adanya


intervensi dari pihak lain.

Terlaksananya konsolidasi organisasi secara bebas tanpa campur tangan pemerintah


atau pihak lain yang tidak kompeten, sehingga berkembangan pendewasaan kekuatan
partai politik.

Pemerintah dan negara perlu dan harus berlaku secara adil dan seimbang dalam
mendukung keberhasilan organisasi.

Kemampuan, dedikasi serta loyalitas yang tinggi dalam diri setiap pemimpin organisasi,
serta didukung moral dan etika setiap anggota, akan menghindari terjadinya kemelut di
dalam organisasi.

Agar setiap keputusan yang diambil oleh pemimpin organisasi dapat diterima
anggotanya, maka ketauladanan seorang pemimpin merupakan motor penggerak
didalam pencapaian tujuan organisasi, dalam arti pola pikir, sikap, dan pola tindak harus
dapat menjadi cermin untuk seluruh anggotanya.

Partai Golkar dan PAN dalam peranannya sebagai Kekuatan Politik

Apabila kita amati organisasi - organisasi partai politik yang dalam dewasa ini, beberapa
organisasi memiliki ide politik dan prinsip-prinsip yang sama dalam azas Pancasila. Maka
bukannya tidak mungkin terjadi merger atau koalisi di hari -hari yang akan datang. Hal
itu terjadi terutama apabila tujuan akhir perjuangan adalah ideologi politiknya dan
bukannya sekedar kedudukan dan jabatan di lembaga-lembaga pemerintahan belaka 43.
Seperti yang telah di jelaskan pada kajian teori, bahwa Peranan kekuatan politik dalam
suatu sistem politik adalah terutama mempengaruhi proses pembuatan dan
pelaksanaan keputusan/kebijakan publik yang mengikat masyarakat sehingga
keputusan/ kebijakan tersebut menguntungkan kelompok masyarakat yang memiliki
power tersebut. Mempengaruhi ini bisa berarti mempengaruhi isi keputusan/ kebijakan
yang akan diambil dan akan dilaksanakan, dan bisa juga mempengaruhi pembuatan
keputusan yaitu berusaha menentang aktor-aktor pembuat keputusan dengan
mengusulkan aktor-aktor politik sebagai decision maker baru yang sesuai dengan
kehendak kelompok atau kekuatan politik tadi. Namun pada kenyataan, partai politik
sebagai salah satu kekuatan politik tersebut tidak menjalankan peranannya untuk
mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan/kebijakan publik yang
mengikat masyarakat sehingga keputusan/ kebijakan tersebut menguntungkan
kelompok masyarakat yang memiliki power tersebut. Seperti yang dilakukakn oleh

43

32
partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) justru hanya mementingkan
kepentingan partai politiknya.

Bahkan tidak jarang pula terjadi konflik internal dalam partai politik. Problem lain akibat
sistem presidensiil yang diikuti dengan sistem multi partai adalah sikap mendua yang
selalu diperagakan oleh partai politik dalam koalisi pendukung pemerintah, praktek
ketatanegaraan selama pemerintahan SBY-Boediono merupakan fakta bahwa sistem
presidensiil yang diikuti dengan sistem multi partai ternyata menjadi persoalan serius
bagi presiden yang berkuasa. Seperti contoh misalnya dalam penggunaan hak angket
oleh DPR dalam kasus kasus century yang dalam hasil voting dimenangkan oleh opsi
yang menyatakan bahwa dalam kasus bail out terhadap Bank Century terjadi
pelanggaran hukum, hasil voting ini dianggap kekalahan dari partai politik pendukung
pemerintah. Dan dianggap sejumlah partai politik pendukung pemerintah melakukan
“pengkhinatan” terhadap kontrak politik yang telah disepakati. Kasus lain juga dapat kita
lihat dalam hal penggunaan hak angket mafia pajak. Hasil voting angket pajak berakhir
dengan skor 264 (setuju) dan 266 (menolak) terhadap penggunaan angket pajak.
Kegagalan dalam penggunaan hak angket dianggap kemenangan partai pendukung
pemerintah, namun kenyataanya meninggalkan sejumlah persoalan karena partai Golkar
dan PKS yang merupakan bagian dari partai mitra koalisi pemerintah dianggap
melakukan sikap pelanggaran terhadap 11 (sebelas) kesepakatan yang telah disepakati,
sebagaimana terucap dalam pidato presiden merespon terbelahnya sikap partai koalisi
dalam kasus angket pajak44.

Kabinet pelangi SBY yang merupakan institusi pembantu presiden banyak diisi oleh
orang-orang dari parpol (kader partai). Hal ini memang suatu keniscayaan apabila
presiden mengharapkan dukungan yang cukup besar di DPR. Namun kemudian misi
utama kabinet menjadi bergeser, lebih banyak menjalankan misi mengadakan kompromi
dan akomodasi dengan partai-partai politik. Suatu hal yang oleh banyak pengamat
disepakati merupakan kemampuan untuk membangun sebuah jembatan yang cukup
efektif dalam memelihara pola hubungan konsultatif dengan legislatif. Menurut
beberapa pengamat politik kompromi dan akomodasi itu sendiri di lain sisi mengandung
beberapa hal yang kurang menguntungkan. Pertama, dengan banyaknya pihak yang
terlibat dalam politik kompromi keputusan yang dibuat kerap kali berjalan lambat dan
tidak responsif. Hal ini terutama tidak saja demikian banyaknya pihak yang harus
dilibatkan, tetapi juga mempertimbangkan efek-efek politik yang akan terjadi. Sering
dalam situasi tersebut, obyektivitas menjadi tersingkir dan jalan tengah yang tidak
tuntas menjadi pilihan pemerintah. Kasus lumpur Lapindo dan fenomena
pemberantasan korupsi yang tebang pilih merupakan contoh-contoh hal tersebut.
Kedua, keterlibatan banyak partai menyebabkan keputusan yang ditujukan untuk
kepentingan umum dan masa depan bangsa, terhambat oleh kepentingan sesaat partai-
partai politik. Nuansa oligarki ini menyebabkan persoalan-persoalan seperti kemiskinan,
44

33
jumlah pengangguran, dan melambungnya harga-harga sembako seolah menjadi angin
lalu saja. Ketiga, nuansa politik yang lebih diutamakan dalam beragam masalah sebagai
konsekuensi politik kompromi dan akomodasi, akhirnya memperlambat penguatan dan
pendewasaan sistem politik.45

Partai PAN dan Golkar yang beralih dari yang seharusnya bersikap oposisi dimana lebih
menjalankan peranannya sebagai kekuatan politik dalam mempengaruhi keputusan/
kebijakan publik tergiur akan kekuasaan dimana mereka lebih memilih sikap koalisi
tanpa memikirkan kepentingan rakyat dimana tujuan partai politrik tersebut di bentuk.
Tidak jarang pula seperti partai PAN yang awalnya benar-benar mengkritik dan berusaha
untuk mempengaruhi kebijakan Publik, tergiur akan kekuasaan tanpa bermusyawarah
dengan anggota partai politiknya sehingga terjadinya gesekan internal partai politik itu
sendiri. Demikian juga dengan Partai Golkar, yang berusaha untuk berkoalisi dengan
partai pemenang dalam pemilu, mereka berusaha menjadi sahabat dari partai tersebut
untuk mendapat jatah pembagian kekuasaan dan bahkan meninggalkan peranannya
sebagai partai politik.

Pembenahan Partai Politik

Merosotnya kualitas parpol, makin tidak percayanya (distrust) warga pada parpol dan
kondisi demokrasi yang makin defisit tentu tidak bisa dibiarkan, karena bisa juga
mengarah pada kebangkrutan politik. Untuk itu, diperlukan pembenahan partai politik
antara lain:46

Pertama, sudah saatnya parpol kembali merumuskan dan mendalami idieologi selama
ini cenderung diabaikan pada saat ini, partai politik lupa diri seolah ideologi tidak
penting. Segalanya diukur dengan uang, dimana perjuangan semilitan apapun dari
kadar selalu dikalahkan oleh mereka yang berduit. Hal ini berahaya, karena kadar-kadar
parpol bisa rusak mentalnya akibat jebakan pragmatisme. Harus ada pendidikan kader
yang sistematis, mengenai peran parpol dan parlemen dalam sistem demokrasi.

Kedua, Rekrutmen parpol yang harus selektif atas dasar komitemen dan kapasitas.
Parpol adalah alat perjuangan, bukan sekedar tempat mengadu nasib, sambililan dan
asal-asalan. Karena itu, parpol harus membenahi inputnya yakni merekrut para calon
kadar yang memiliki komitemen yang jelas, kecendrungan yang pengetahuan yang
menadai, dedikasi organisasi serta keseriusan dalam berkomitmen.

Ketiga, Parpol perlu mengembangkan tata kelola (governance) internal yang bersih,
sehat dan demokratis. Sejauh ini, parpol identik dengan ketidakberesan mengelola
organisasi, yang memperburuk citranya dimata masyarakat. Hal ini harus segera

45

46

34
dibenahi, dengan maksud menerapkan mekanisme, kerja dalam parpol yang egaliter,
transparasi, partisipatif sebagaimana menjadi cerminan institusi politik modern .

Keempat, parpol perlu segera membuat kerangka program dan kerja dengan rute
perubahan dan kerja dengan rute perubahan yang jelas dan sistematik. Saya percaya
parpol sudah merumuskan visi dan misi, serta plattform dan rencana kerja. Tetapi pada
umumnya program itu tidak dirumuskan dengan mempertimbangkan kondisi empirik,
serta orientasi-orientasi yang berpatokan pada skema ideologi parpol. banyak kegiatan
yang sangat artifisial, instan, cenderung mempertahankan antara pendekatan strategi
pragmatis dan misi ideologis dari parpol itu. Akibat, program kerja parpol ibarat seperti
sirkus dan sambil lalu saja.

Kelima, parpol perlu konsistensi menjalankan program itu selama lima tahun, dan
senantiasa direview tiap tahun untuk memastikan apakah capaian-capaian strategi itu
bermanfaat bagi konstitus, bagi parpol maupun pada sistem politik secara umum.
Sejumlah kasus, parpol hanya berkerja 1tahun menjelang pemilu, dimana mereka
berkepentingan. Cara ini buruk dengan akibat parpol tidak populer karena tidak
memperhatikan nasib pemilih atau kostituennya.

BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Seiring berjalannya waktu sejak pasca proklamasi kemerdekaan hingga era reformasi,
Indonesia lahir dan berkembang sebagai negara dan bangsa dengan berbagai kekuatan
politik didalamnya. Ada yang eksistensinya hanya bertahan seumur jagung dan hilang
seiring zaman yang bergulir, ada pula yang bertahan dari dulu hingga sekarang.
Kekuatan politik pada dasarnya adalah simbol dari suatu rezim yang tengah berlangsung,
namun tentu saja setiap rezim mengikuti peribahasa patah tumbuh hilang berganti
ketika suatu rezim berakhir, ada rezim baru yang akan menggantikannya, sehingga
secara tidak langsung diperlukan adaptasi terhadap perubahan sosial secara terus
menerus.

Golongan yang digunakan di dalam mencari penyelesaian persoalan-persoalan yang


dihadapi oleh sistem politik tidak lagi didasarkan pada golongan Infrastruktur politik dan
sufrastruktur politik, partai dan bukan partai. Akan tetapi, kekuatan politik dikategorikan
ke dalam golongan ‘radikal’, ‘konservatif’, dan ‘moderat’. Fungsi Kekuatan Politik yaitu,

35
Mempengaruhi kebijakan mulai dari proses pembuatan sampai jalannya kebijakan
tersebut, Keseimbangan kekuatan , Agregator dan artikulator kepentingan.

Dari berbagai sumber kekuatan politik, banyak kekuatan politik yang mempunyai
pengaruh terhadap berbagai segala aspek bidang kehidupan masyarakat. Hal ini meliputi
masalah pengaruh pembuatan kebijakan, pengaruh di bidang aspek ekonomi, sosial dan
budaya dan juga hukum yang didasari oleh Partai politik, Mahasiwa, Pengusaha,
Golongan Cendikiawan, Pers dan sebagainya.

Saran

Kadangkala dalam perumusan kebijakan menyangkut berbagai masalah elemen warga


Negara, beberapa kekuatan politik atau golongan sering tidak memperhatikan secara
detail pemenuhan kebutuhan aspek warga Negara dimana beberapa golongan lebih
cenderung mementingkan kepentingan kelompok. Terlebih pada proses pembuatan dan
penerapan kebijakan. Dalam proses pembuatan kebijakan, beberapa kekuatan politik di
Indonesia berperan sangat besar, mengingat adanya keterlibatan partai politik di dalam
eksekutif, legislative, dan dalam mekanismenya sendiri, yaitu melalui lobby-lobby politik.

Dalam proses penerapan kebijakan, kekuatan politik juga mempunyai andil berupa
control atas kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Tapi kekuatan politik di
Indonesia pada saat ini telah bergeser menjadi kendaraan politik yang dikemudikan
oknum-oknum tertentu yang hanya mementingkan kepentingan pribadi atau
golonganya semata, bukan kepentingan rakyat, sehingga tak pelak, sistem politik di
dalam Negara tersebut juga mengalami suatu pergeseran sehingga sistem tersebut tidak
berjalan secara optimal.

36
DAFTAR PUSTAKA

REFERENSI BUKU

Anwat, M. Khoirul dan Vina Salviana DS. 2004. Perilaku Partai Politik : Studi Perilaku
politik dalam Kampanye dan kecenderungan Pemilih pada pemilu 2004. Malang :
UMM Press.

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama

Gatara, Sahid. 2008. Ilmu Politik : Memahami dan Menerapkan. Bandung : Pustaka
Setia

Halking & Budi Ali Mukmin. 2013. Sistem Politik Indonesia. Medan : Unimed Press.

Ibrahim, Amin. 2009. Pokok-Pokok Pengantar Ilmu Politik. Bandung : CV. Mandar Maju

Muslim Mufthi. 2012. Teori-teori Politik. Bandung: Pustaka Setia.

. 2013. Kekuatan politik di Indonesia. Bandung : Pustaka Setia.

____________ 2013. Studi Organisasi Politik Modern. Bandung: Pustaka Setia

Rahman, Arifin. 2002. Sistem Politik Indonesia. Surabaya: SIC

37
Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : Kompas Gramedia.

Setiadi, Elly M dan Usman Kolip. 2013. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta:
Penerbit Kencana.

REFERENSI E-BOOK

Rais, Muh. Amien. 2008. Selamatkan Indonesia: Agenda mendesak bangsa.


Yogyakarta : PPSK Press.

REFERENSI JURNAL & TESIS

Agus Muhammad, Yusoff “Dari pada Orde Baru Reformasi: Politik Lokal di Indonesia
Pasca Orde Baru.” Dalam Jurnal Imu Politik (Vol. 39. No. 1. Juli 2012)

Djafar, TB Massa. 2008. Demokratisasi, DPRD, dan Penguatan Politik Lokal. Dalam Jurnal
Poelitik. FISIP dan Pasca Sarjana Ilmu Politik Universitas Nasional. Vol.1 No.1

Hidayatullah, Bagus Anwar “Refleksi Yuridis Perkembangan Demokratisasi Politik Pemilu


Pasca Reformasi.” Dalam jurnal hukum (Vol. 2. No. 2 Desember 2013)

Illiyana, Ummi. 2012. Perkembangan koalisi parpol di DPRD era reformasi. Jakarta:
Tesis Pascasarjana Universitas Indonesia.

Imansyah, Teguh. 2012. Regulasi Partai Politik dalam Mewujudkan Penguatan Peran
dan Fungsi Kelembagaan Partai Politik. Dalam Jurnal Rechts Vinding Media
Pembinaan Hukum Nasional. Vol. 1. No. 3 Desember.

Indra,Mexsasai.2012. Gagasan Penyederhanaan Jumlah Partai Politik Dihubungkan


Dengan Sistem Pemerintahan Republik Indonesia. Dalam Jurnal Ilmu
Hukum. Pekanbaru : UIN Press, Vol. 2 No. 2.

Irawan, Dedi. 2009. Membaca Arah Konsolidasi Politik Partai Golkar Pasca Pilpres
2009. Dalam Jurnal Kajian Politik dan Masalah Pembangunan. Vol. 5 No. 1.

Junaidi. 2008. Pergeseran Peran Partai Politik Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor : 22-24/PUU-VI/2008. Dalam Jurnal Ilmu Hukum. PekanBaru : UIN Vol 2 No. 2.

38
Kurniasih, Dewi dan Tatik Rohmawati. 2013. Pelaksanaan Fungsi Komunikasi Politik
Partai Demokrat : Studi Pemilihan Walikota Bandung 2013. Dalam Jurnal
Ilmiah. Jakarta : Majalah Ilmiah UNIKOM Vol.11 No. 2.

Manan, Munafrizal. 2012. Partai Politik dan Demokrasi Indonesia Menyongsong


Pemilihan umum 2014 : Political Party and Indonesian Democracy
Towards The 2014 General Election. Dalam Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 9
No. 4 Desember.

Metera, I Gede Made. 2011. Peran Partai Politik Dalam Mewujudkan Demokrasi Yang
Santun Dan Kesejahteraan Rakyat. Dalam Jurnal Sains dan Teknologi. Vol. 10 No. 3
April.

Prasetya, Imam Yudhi. 2011. Pergeseran Peran Ideologi Dalam Partai Politik. Dalam
Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan. Vol. 1, No. 1.

Purwoko. 2010. Sistem Politik Dan Pemerintahan Indonesia Setelah Reformasi. Dalam
Jurnal POLITIKA. Vol. I, No. 1, April 2010.

Romli, Lili “ Kecenderungan Pilihan Masyarakat Dalam Pilkada”. Dalam Jurnal Politik (Vol.
1. No. 1 Juni 2008).

Setyadarmodjo, Soenarko H. 2000. Organisasi Partai Politik dan Demokrasi. Dalam


Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik. Th XIII, No 1, Januari.

Setyawati , Endang. 2012. Pengusaha Media dan Kepemimpinan Partai Politik. Studi
Kasus : Hary Tanoesoedibjo sebagai Ketua Dewan Pakar Partai NASDEM. Dalam Jurnal
Politik Muda. Vol. 1, No. 1, Oktober-Desember, hal 55-66.

Sitepu, P. Antonius. 2004. Transformasi Kekuatan-Kekuatan Politik : Suatu Studi Teori


Kelompok Dalam Konfigurasi Politik Sistem Politik Indonesia. Dalam Jurnal
Pemberdayaan Komunitas. Medan: USU Press. No. 3 Vol. 3.

Soebagio. 2009. Distorsi Dalam Transisi Demokrasi Di Indonesia. Dalam Jurnal


Makara : Sosial Humaniora. Vol.13, No.2, Desember.

Subijanto, Bijah. 2000. Penguatan Peran Partai Politik dalam Peningkatan


Partisipasi Politik Masyarakat. Dalam Jurnal Naskah. Jakarta : Universitas
Pancasila. No. 20, Juni – Juli.

Sujito, Arie. 2008. Golput dan Reformasi Parpol : menuju Pemilu yang bermakna.
Dalam Jurnal Dialog : Kebijakan Publik. Edisi 4, Tahun II, Desember.

Syarbaini, Syahrial. 2001. Partai Politik dalam Proses Demokratisasi : Peranan Partai
dalam Era Reformasi. Dalam Jurnal Forum Ilmiah. Fakultas Hukum Ubiversitas Esa
Unggul, Jakarta. Volume 9 Nomer 1, Januari

39
1|Page
i

Anda mungkin juga menyukai