Tidak ada petunjuk akan sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga bentuk
primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkembang di Nusantara
sampai awal penanggalan modern, sehingga angklung merupakan bagian dari relik
pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara.
Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu
hitam (awi wulung) dan bambu ater (awi temen), yang jika mengering berwarna kuning
keputihan. Tiap nada dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah
tiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
Di antara fungsi angklung yang dikenal oleh masyarakat Sunda sejak masa
kerajaan Sunda adalah sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi
angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa
penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat
menggunakan angklung. Pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung
menurun dan hanya dimainkan oleh anak-anak pada waktu itu.