Anda di halaman 1dari 26

RIVIEW JURNAL

Pelarutan Fosfat Anorganik oleh Kultur Campur Jamur Pelarut Fosfat Secara In
Vitro

NAMA : RYAN AFRIZAL

NIM : 2004290102

Judul Pelarutan Fosfat Anorganik oleh Kultur


Campur Jamur Pelarut Fosfat Secara In Vitro
Nama Jurnal Jurnal Sains & Matematika (JSM)
Volume dan Halaman Vol 15 (2) dan Hal 45-54
Tahun 2007
Penulis Budi Raharjo , Agung Suprihadi, Agustina
D.K
Publikasi Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi
FMIPA Undip
Riviewer Ryan Afrizal
Tanggal Riview 15 Januari 2023
Abstrak Fosfat merupakan nutrient essensial yang
diperlukan oleh tanaman dalam pertumbuhan
dan perkembangannya. Fosfat sebenarnya
terdapat dalam jumlah yang melimpah dalam
tanah, namun sekitar 9599% terdapat dalam
bentuk fosfat tidak terlarut sehingga tidak
dapat digunakan oleh tanaman Upaya untuk
mengatasi masalah ini, salah satunya adalah
dengan pembuatan pupuk biologi dengan
mikroba pelarut fosfat sebagai agen
biofertilizer. Penelitian terdahulu, diperoleh
isolat jamur pelarut fosfat dari sampel tanah
gambut yang sudah teruji kemampuannya
dalam melarutkan fosfat. Penelitian ini
bertujuan untuk memperoleh perbandingan
isolat jamur pelarut fosfat yang tepat untuk
digunakan sebagai formula kultur campur agar
dapat melarutkan fosfat secara optimal,
meningkatkan kemampuan jamur dalam
melarutkan fosfat dengan adanya kerja yang
sinergis dari jamur-jamur tersebut,
menghasilkan pupuk biologi dengan mikroba
sebagai agen biofertilizer. Penelitian dilakukan
dengan Rancangan Acak Kelompok dengan
perlakuan perbandingan isolat jamur pelarut
fosfat yaitu kultur jamur tunggal NSJ 1, NSJ
5, NSJ 6, kultur jamur campur NSJ 1-NSJ 5,
NSJ 1NSJ 6, NSJ 5-NSJ 6, NSJ 1-NSJ 5-NSJ 6
dan kontrol. Kontrol perlakuan digunakan
medium uji Pikovskaya tanpa inokulasi jamur.
Variabel yang diamati meliputi pH medium
kultur, total konsentrasi fosfat yang terlarut.
Setiap perlakuan diulang sebanyak empat kali.
Analisis data yang digunakan analisis sidik
ragam (Ansira) dengan taraf kepercayaan 95 %
untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan.
Jika Fhitung> Ftabel dilakukan uji lanjut
dengan uji Duncan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa aktivitas pelarutan fosfat
pada setiap perlakuan perbandingan isolat
jamur F1-F7 secara umum terlihat pada
perubahan medium Pikovskaya cair yang
semula keruh menjadi bening. Aktivitas
pelarutan fosfat mulai terlihat pada awal
inkubasi (jam ke 0), dengan konsentrasi fosfat
terlarut tertinggi 7,87 ppm yang dihasilkan
oleh F5 dan terendah 5,33 ppm oleh F3.
Konsentrasi fosfat terlarut menunjukkan
penurunan setelah inkubasi 24 jam dengan
memperlihatkan penurunan pH dari pH kultur
awal inkubasi (jam ke 0) yang tidak begitu
drastis. Pada inkubasi 48 jam, semua perlakuan
mulai menunjukkan kenaikan konsentrasi
fosfat terlarut. Penurunan pH pada inkubasi 48
jam ini dikarenakan adanya aktivitas
metabolisme yang mensekresi asam organik.
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi fosfat
terlarut pada inkubasi 48 jam, menunjukkan
adanya perbedaan nyata (p<0,05) antar
perlakuan perbandingan isolat jamur dalam
pelarutan fosfat anorganik. Hal ini berarti
bahwa formulasi perbandingan isolat jamur
F1-F7 mempengaruhi pelarutan fosfat
anorganik. Hasil analisis pada inkubasi 48 jam
ini memperlihatkan bahwa perlakuan
formulasi F7 paling tinggi dalam melarutkan
fosfat dan adanya kerja sinergis dalam
meningkatkan pelarutan fosfat.
Latar Belakang Pertanian di Indonesia merupakan bidang yang
sangat penting saat ini, hal ini berkaitan dengan
permasalahan utama yang dihadapi oleh
pemerintah sekarang adalah untuk
mengupayakan peningkatan produksi
pertanian dalam rangka memenuhi kebutuhan
pangan masyarakat yang terus meningkat dan
mengurangi impor hasil pertanian. Salah satu
upaya peningkatan produksi pangan tersebut
berupa intensifikasi lahan-lahan pertanian,
yaitu dengan menggunakan pupuk sintetik
termasuk pupuk fosfat sintetik.
Fosfat merupakan nutrient essensial yang
diperlukan oleh tanaman dalam proses
pertumbuhan dan perkembangannya. Fosfat
sebenarnya terdapat dalam jumlah yang
melimpah dalam tanah, namun sekitar 95-99%
terdapat dalam bentuk fosfat tidak terlarut
sehingga tidak dapat digunakan oleh tanaman
(Vassileva et al., 1998). Peningkatan
ketersediaan fosfat bagi tanaman diusahakan
dengan pengunaan pupuk fosfat anorganik
maupun organik. Tetapi setelah aplikasi,
ternyata sejumlah besar fosfat bentuk tersedia
dari pupuk langsung diubah kedalam bentuk
tidak terlarut (Omar, 1998). Sehingga
pemanfaatan pupuk tersebut kurang efektif
sehingga memerlukan perlakuan yang
berkelanjutan dan tentunya biaya yang tinggi.
Upaya untuk mengatasi masalah ini, akhir-
akhir ini terpusatkan pada pemanfaatan
mikroba pelarut fosfat dengan alasan mudah
dimanipulasi dan murah operasionalnya. Salah
satunya adalah dengan pembuatan pupuk
biologi dengan mikroba pelarut fosfat sebagai
agen biofertilizer. Penelitian terdahulu,
diperoleh isolat jamur pelarut fosfat dari
sampel tanah gambut yang sudah teruji
kemampuannya dalam melarutkan fosfat
(Normasari, 2005). Penelitian untuk mencari
mikoorganisme pelarut fosfat yang mampu
meningkatkan ketersediaan fosfat terlarut
dalam tanah sangat diperlukan mengingat
pemanfaatan mikroba tesebut dapat menjadi
salah satu alternatif untuk intesifikasi lahan
pertanian. Penelitian yang dilakukan pada
sampel tanah gambut Sampit menghasilkan 3
isolat jamur pelarut fosfat yaitu NSJ 1, NSJ 5
dan NSJ 6, yang berpotensi sebagai agen
biofertilizer (Normasari, 2005).
Permasalahannya adalah memperoleh formula
yang tepat dari kultur campur isolat jamur-
jamur tesebut dengan komposisi inokulum
tertentu sehingga pelarutan fosfat dapat
berjalan optimal. Penelitian ini memiliki
tujuan:
1. Memperoleh perbandingan isolat jamur
pelarut fosfat yang tepat untuk digunakan
sebagai formula kultur campur agar dapat
melarutkan fosfat secara optimal
2. Meningkatkan kemampuan jamur
dalam melarutkan fosfat dengan adanya kerja
yang sinergis dari jamur-jamur tersebut
3. Menghasilkan pupuk biologi dengan
mikroba sebagai agen biofertilizer yang
dibutuhkan dalam pertanian, terutama dalam
rangka menunjang peningkatan produksi
pertanian.
Mikroba Pelarut Fosfat
Mikroba pelarut fosfat meliputi berbagai jenis
mikroba yang dapat mengubah senyawa fosfat
tidak terlarut menjadi fosfat terlarut (Prepena-
Akhaury et al, 1997: Raju & Reddy, 1999).
Bacillus dan Pseudomonas merupakan
golongan bakteri yang penting dalam pelarutan
fosfat. Aspergillus dan Penicillium merupakan
golongan jamur penting dalam melarutkan
fosfat (Motsara et al.,
1995). Rhizobium juga mempunyai
kemampuan dalam melarutkan fosfat organik
dan anorganik (Abd-Alla, 1994).
Menurut Lynch & Poole (1979), mikroba
pelarut fosfat berperan dalam perubahan fosfat
menjadi bentuk terlarut dengan cara :
1. Mengubah kelarutan senyawa fosfat
anorganik
2. Mineralisasi senyawa organik dengan
melepaskan orthophosphat
3. Mengubah fosfat anorganik yang
menyediakan anion ke protoplasma sel
(immobilisasi)
4. Oksidasi dan reduksi senyawa fosfat
anorganik.
Mikroba pelarut fosfat mampu melarutkan
Cafosfat. Spesies dari Pseudomonas, Bacillus,
Flavobacterium, Mycobacterium,
Micrococcus, Penicillium, Sclerotium,
Aspergillus mampu menggunakan Ca3(PO4)2
(apatit) atau material fosfat tidak terlarut
lainnya sebagai sumber fosfat. Asam organik
mampu mengubah Ca3(PO4)2 (apatit) menjadi
menjadi fosfat bervalensi satu (H2PO4-) dan
bervalensi dua (HPO4-2) (Lynch & Poole,
1979).
Fosfor juga mengalami mineralisasi dan
immobilisasi. Proses tersebut dipengaruhi oleh
persentase fosfor dari sisa tanaman yang terurai
dan nutrien yang dibutuhkan oleh populasi
mikroba. Bila terjadi kelebihan fosfor
dibanding kebutuhan nutrisi mikroba akan
terjadi akumulasi fosfat anorganik. Sebaliknya
jika terjadi kekurangan fosfat dalam
lingkungan akan terjadi immobilisasi fosfat
anorganik. Pertumbuhan mikroba
membutuhkan fosfor yang penting untuk
pembentukan sel. Pertumbuhan mikroba
dipengaruhi oleh ketersediaan senyawa fosfor
siap pakai dalam habitatnya (Chapelle, 2001).
Potensi Mikroba dalam Pelarutkan Fosfat
Kemampuan mikroba pelarut fosfat dalam
melarutkan fosfat yang terikat dapat diketahui
dengan membiakkan biakan murninya pada
media agar Pikovskaya atau media agar ekstrak
tanah yang berwarna putih keruh karena
mengandung P tidak terlarut seperti kalsium
fosfat (Ca3(PO4)2). Pertumbuhan mikroba
pelarut fosfat dicirikan dengan adanya zona
bening di sekitar koloni mikroba yang tumbuh,
sedangkan mikroba yang lain tidak
menunjukkan ciri tersebut (Gambar 02.).
Kemampuan mikoba pelarut fosfat dalam
melarutkan fosfat tidak terlarut huga dapat
diuji secara kuantitatif dengan menggunakan
medium Pikovskaya cair (Isroi, 2005).
Gambar 01. Pelarutan fosfat oleh mikroba
(Isroi, 2005)

Hasil penelitian Sen & Paul (1957)


menunjukkan bahwa bakteri-bakteri seperti
Bacterium substilis, Bacterium mycoides dan
Bacterium mesentericus mampu melarutkan
FePO4 (2,1-7,1%), Ca3(PO4)2 (3,2-9,6%),
glisero-fosfat (3,6-13,2%), lesitin (5,7-21,2%)
dan tepung tulang (14,22%). Jenis jamur yang
banyak diteliti adalah Aspergillus sp dan
Penicillium sp. Kelompok Penicillium sp dapat
melarutkan 25,9-39,0% dari Ca3(PO4)2,
sedangkan Aspergillus sp melarutkan 17,8%
(Rao, 1982). Asam sitrat yang dihasilkan oleh
Aspergillus awamori berperan dalam
melarutkan Ca-fosfat. Aspergillus niger
menunjukkan pertumbuhan yang kuat dengan
sumber P dari senyawa AlPO4, sedangkan
Penicillium sp sama baiknya pada media
AlPO4, FePO4, dan Ca3(PO4)2 (Anas &
Premono, 1989). Aspergillus flavus memiliki
kemampuan memproduksi asam organik
terbesar (1,835 g/l) daripada Penicillum
canscens dan Aspergillus niger (Rashid et al.,
2004).
Penelitian yang berkaitan dengan pemanfaatan
mikroba pelarut fosfat telah banyak dilakukan.
Di India telah dilakukan eksperimen lapangan
menggunakan suspensi kultur dari Bacillus
polymyxa, Bacillus circulans, Pseudomonas
striata dan Aspergillus awamori dengan dan
tanpa penambahan super fosfat atau batuan
fosfat pada tanaman gandum dan padi.
Hasilnya menunjukkan adanya peningkatan
secara signifikan pada tanaman gandum yang
diinokulasikan dengan P. striata dengan
penambahan batuan fosfat 100 kg P2O5/ha
(Gaur et al., 1980).
Kultur Campur Mikroba Pelarut Fosfat
Penggunaan kultur campur mikroba pelarut
fosfat sudah mulai dikembangkan. Kultur
campur mikroba pelarut fosfat dapat
meningkatkan efektivitas pelarutan fosfat
anorganik dalam tanah sehingga dapat
dimanfaatkan oleh tanaman. Interaksi antara
Rhizobium leguminosarum dengan jamur
pelarut fosfat seperti Aspergillus flavus,
Aspergillus niger dan Penicillium pinophillum
mampu meningkatkan efektivitas pelarutan
fosfat anorganik dibandingkan dengan kultur
tunggal Rh. leguminosarum (Mehana &
Wahid, 2002).
Penelitian yang dilakukan oleh Mujib dkk.
(2002) menunjukkan bahwa perlakuan P.
aeruginosa baik yang tunggal maupun yang
dikombinasi dengan pupuk fosfat tidak
berbeda nyata dalam peningkatan luas daun,
tetapi pada perlakuan isolat gabungan P. putida
dan P. aeruginosa tanpa pupuk fosfat (P0I3)
diperoleh hasil kadar P trubus yang sangat
nyata lebih tinggi dibandingkan isolat tunggal.
Demikian juga pada perlakuan isolat gabungan
P. putida dan P. aeruginosa dengan pemakaian
pupuk SP-3 maupun rock fosfat mampu
meningkatkan kadar P trubus dibandingkan
isolate tunggal.
Fosfat
Fosfat di dalam tanah terdapat dalam bentuk
fosfat anorganik dan fosfat organik. Bentuk
anorganiknya berupa senyawa-senyawa Ca-
fosfat, Fe-fosfat dan Al-fosfat. Fosfor organik
mengandung senyawa-senyawa yang berasal
dari tanaman dan mikroba dan tersusun dari
asam nukleat, fosfolipid dan fitin. Materi
organik yang berasal dari sampah tanaman
mati dan membusuk kaya akan sumber-sumber
fosfor organik (Sutedjo, 1996).
Indranuda (1994) menjelaskan bahwa fosfor
merupakan bagian integral tanaman di bagian
penyimpanan (storage) dan pemindahan
(transfer) energi. Fosfor terlibat pada
penangkapan cahaya dari sebuah molekul
klorofil. Begitu energi tersebut sudah
tersimpan dalam ADP (adenosine diphosphate)
atau ATP (adenosine triphosphate), maka akan
digunakan untuk menjalankan reaksi-reaksi
yang memerlukan energi, seperti pembentukan
sukrosa, tepung dan protein.
Fosfor selalu diserap oleh tanaman sebagai
H2PO4-, HPO42- dan PO43- yang terutama
berada di dalam larutan tanah. Ada hubungan
yang erat antara konsentrasi fosfor di dalam
larutan tanah dengan pertumbuhan tanaman
yang baik. Defisiensi fosfor selalu timbul
akibat dari terlalu rendahnya konsentrasi
H2PO4- dan HPO42- di dalam larutan tanah.
Senyawa fosfor dalam bentuk larut yang
dimasukkan ke dalam tanah untuk mengatasi
defisiensi fosfor cepat sekali mengendap dan
terikat oleh matriks tanah (Indranuda, 1994).
Elemen fosfor di dalam tanah kebanyakan ada
dalam keadaan tidak larut, sehingga tidak
mungkin masuk ke dalam sel-sel akar. Tetapi
sebagai anion fosfat ia mudah bertukar dengan
OH- (Dwijoseputro, 1994).
Menurut Indranuda (1994), berdasarkan
kation-kation yang bersenyawa dengan fosfor,
fosfor anorganik dapat dikelompokkan ke
dalam calcium-bonded phosphates (Ca-P),
aluminium-bonded phosphates (Al-P), dan
iron-bonded phosphates (Fe-P). Bentuk fosfor
yang dominan di dalam tanah tergantung pada
tingkat pelapukan dan pH tanah. Yang jelas,
ketiga bentuk P tersebut mengikat P, sehingga
konsentrasi fosfor di dalam larutan tanah selalu
rendah.
Menurut Mas’ud (1993), tanah asam dengan
pH < 5,5 didominasi oleh kation Fe³+ dan Al³+
yang mengikat anion H2PO4ֿ dan
mengendapkannya sebagai hidroksi Fe-fosfat
dan Al-fosfat melalui reaksi :

H2PO4ֿ + 2OH²ֿ + Al³+ → Al(OH)2H2PO4

H2PO4ֿ + 2OH²ֿ + Fe³+ → Fe(OH)2H2PO4

Sedangkan pada pH > 6,0 sistem tanah


didominasi oleh kation Ca²+ dan Mg²+ yang
juga mampu mengikat H2PO4ֿ dati tanah
maupun pupuk fosfat sehingga menjadi dalam
bentuk tidak tersedia melalui reaksi :

Ca(H2PO4)2 + 2Ca²+ ↔ Ca3(PO4)2 + 4H+

Ca(H2PO4)2 + 2CaCO3 ↔ Ca3(PO4)2 +


2CO2
+ 2H2O

Senyawa-senyawa Al-fosfat dan Fefosfat


semakin tersedia jika keasaman
meningkat hingga pH ≤ 5,5 dan pada pH > 5,5
kelarutannya berkurang sehingga menyusutkan
pengaruh meracuni dan menyusutkan
kemampuannya dalam mengendapkan fosfat
dari larutan tanah (Mas’ud, 1993).
Mekanisme Pelarutan Fosfat
Mikroba pelarut P di dalam aktivitasnya akan
membebaskan sejumlah asamasam organik,
seperti asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat,
oksalat, glioksalat, malat, fumarat, tartarat dan
asam α-keto butirat (Rao, 1982).
Tan (1982) menjelaskan bahwa meningkatnya
asam-asam organik tersebut biasanya diikuti
dengan penurunan pH yang tajam, sehingga
berakibat terjadinya pelarutan Cafosfat. Selain
karena penurunan pH, adanya kecenderungan
Ca2+, Mg2+, Fe3+, dan Al3+ untuk
membentuk khelat (kompleks yang stabil)
dengan asam-asam organik juga menyebabkan
terjadinya pembebasan P menjadi larut. Reaksi
pembentukan khelat yang membebaskan P
menjadi terlarut seperti pada gambar 02.
Aspergillus niger memproduksi asam oksalat
dan asam sitrat yang merupakan asam organik
utama (Rashid et al.¸2004). Sedangkan
Aspergillus falvus dan Penicillium canscens
memproduksi asam oksalat, asam sitrat, asam
glukonat dan adanya asam suksinat untuk A.
flavus (Cunningham, 1992; Illmer et al., 1995).
Gaur (1990) menjelaskan bahwa ada
keterkaitan antara produksi asam organik
terhadap pelarutan fosfat anorganik. Produksi
asam organik yang tinggi, akan diikuti dengan
peningkatan pelarutan fosfat anorganik.
Tujuan Penelitian Untuk memperoleh perbandingan isolat jamur
pelarut fosfat yang tepat untuk digunakan
sebagai formula kultur campur agar dapat
melarutkan fosfat secara optimal,
meningkatkan kemampuan jamur dalam
melarutkan fosfat dengan adanya kerja yang
sinergis dari jamur-jamur tersebut,
menghasilkan pupuk biologi dengan mikroba
sebagai agen biofertilizer.
Permasalahan 1. Fosfat merupakan nutrient essensial yang
diperlukan oleh tanaman dalam
pertumbuhan dan perkembangannya.
Fosfat sebenarnya terdapat dalam jumlah
yang melimpah dalam tanah, namun sekitar
9599% terdapat dalam bentuk fosfat tidak
terlarut sehingga tidak dapat digunakan
oleh tanaman.
Metode Penelitian Metode yang digunakan adalah Rancangan
Acak Kelompok dengan perlakuan
perbandingan isolat jamur pelarut fosfat yaitu
kultur jamur tunggal NSJ 1, NSJ 5, NSJ 6,
kultur jamur campur NSJ 1-NSJ 5, NSJ 1NSJ
6, NSJ 5-NSJ 6, NSJ 1-NSJ 5-NSJ 6 dan
kontrol. Kontrol perlakuan digunakan medium
uji Pikovskaya tanpa inokulasi jamur. Variabel
yang diamati meliputi pH medium kultur, total
konsentrasi fosfat yang terlarut. Setiap
perlakuan diulang sebanyak empat kali.
Analisis data yang digunakan analisis sidik
ragam (Ansira) dengan taraf kepercayaan 95 %
untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan.
Jika Fhitung> Ftabel dilakukan uji lanjut
dengan uji Duncan.
Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas
pelarutan fosfat pada setiap perlakuan
perbandingan isolat jamur F1-F7 secara umum
terlihat pada perubahan medium Pikovskaya
cair yang semula keruh menjadi bening.
Aktivitas pelarutan fosfat mulai terlihat pada
awal inkubasi (jam ke 0), dengan konsentrasi
fosfat terlarut tertinggi 7,87 ppm yang
dihasilkan oleh F5 dan terendah 5,33 ppm oleh
F3. Konsentrasi fosfat terlarut menunjukkan
penurunan setelah inkubasi 24 jam dengan
memperlihatkan penurunan pH dari pH kultur
awal inkubasi (jam ke 0) yang tidak begitu
drastis. Pada inkubasi 48 jam, semua perlakuan
mulai menunjukkan kenaikan konsentrasi
fosfat terlarut. Penurunan pH pada inkubasi 48
jam ini dikarenakan adanya aktivitas
metabolisme yang mensekresi asam organik.
Hasil analisis sidik ragam konsentrasi fosfat
terlarut pada inkubasi 48 jam, menunjukkan
adanya perbedaan nyata (p<0,05) antar
perlakuan perbandingan isolat jamur dalam
pelarutan fosfat anorganik. Hal ini berarti
bahwa formulasi perbandingan isolat jamur
F1-F7 mempengaruhi pelarutan fosfat
anorganik. Hasil analisis pada inkubasi 48 jam
ini memperlihatkan bahwa perlakuan formulasi
F7 paling tinggi dalam melarutkan fosfat dan
adanya kerja sinergis dalam meningkatkan
pelarutan fosfat.
Kesimpulan Perbandingan isolat jamur pelarut fosfat yang
tepat untuk digunakan sebagai agen
biofertilizer yang dapat melarutkan fosfat
secara optimal adalah formulasi F7, kultur
campur jamur NSJ1, NSJ5 dan NSJ6. Kultur
campur jamur menunjukkan adanya kerja
sinergis dalam meningkatkan pelarutkan
fosfat.
Perlu penelitian lebih lanjut tentang formulasi
kultur campur F7 dengan carier seperti tanah
gambut, batu apung yang diaplikasikan sebagai
pupuk biologi.
Jurnal Sains & Matematika (JSM) ISSN 0854-0675
Artikel Penelitian
Volume 15, Nomor 2, April 2007 Artikel Penelitian: 45-54

Pelarutan Fosfat Anorganik oleh Kultur Campur Jamur Pelarut Fosfat


Secara In Vitro
Budi Raharjo1 , Agung Suprihadi1, Agustina D.K1
1
Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi FMIPA Undip

ABSTRAK---Fosfat merupakan nutrient essensial yang diperlukan oleh tanaman dalam pertumbuhan
dan perkembangannya. Fosfat sebenarnya terdapat dalam jumlah yang melimpah dalam tanah, namun sekitar 95-
99% terdapat dalam bentuk fosfat tidak terlarut sehingga tidak dapat digunakan oleh tanaman Upaya untuk
mengatasi masalah ini, salah satunya adalah dengan pembuatan pupuk biologi dengan mikroba pelarut fosfat
sebagai agen biofertilizer. Penelitian terdahulu, diperoleh isolat jamur pelarut fosfat dari sampel tanah gambut
yang sudah teruji kemampuannya dalam melarutkan fosfat. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh
perbandingan isolat jamur pelarut fosfat yang tepat untuk digunakan sebagai formula kultur campur agar dapat
melarutkan fosfat secara optimal, meningkatkan kemampuan jamur dalam melarutkan fosfat dengan adanya
kerja yang sinergis dari jamur-jamur tersebut, menghasilkan pupuk biologi dengan mikroba sebagai agen
biofertilizer. Penelitian dilakukan dengan Rancangan Acak Kelompok dengan perlakuan perbandingan isolat
jamur pelarut fosfat yaitu kultur jamur tunggal NSJ 1, NSJ 5, NSJ 6, kultur jamur campur NSJ 1-NSJ 5, NSJ 1-
NSJ 6, NSJ 5-NSJ 6, NSJ 1-NSJ 5-NSJ 6 dan kontrol. Kontrol perlakuan digunakan medium uji Pikovskaya
tanpa inokulasi jamur. Variabel yang diamati meliputi pH medium kultur, total konsentrasi fosfat yang terlarut.
Setiap perlakuan diulang sebanyak empat kali. Analisis data yang digunakan analisis sidik ragam (Ansira)
dengan taraf kepercayaan 95 % untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Jika Fhitung> Ftabel dilakukan uji
lanjut dengan uji Duncan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas pelarutan fosfat pada setiap perlakuan
perbandingan isolat jamur F1-F7 secara umum terlihat pada perubahan medium Pikovskaya cair yang semula
keruh menjadi bening. Aktivitas pelarutan fosfat mulai terlihat pada awal inkubasi (jam ke 0), dengan
konsentrasi fosfat terlarut tertinggi 7,87 ppm yang dihasilkan oleh F5 dan terendah 5,33 ppm oleh F3.
Konsentrasi fosfat terlarut menunjukkan penurunan setelah inkubasi 24 jam dengan memperlihatkan penurunan
pH dari pH kultur awal inkubasi (jam ke 0) yang tidak begitu drastis. Pada inkubasi 48 jam, semua perlakuan
mulai menunjukkan kenaikan konsentrasi fosfat terlarut. Penurunan pH pada inkubasi 48 jam ini dikarenakan
adanya aktivitas metabolisme yang mensekresi asam organik. Hasil analisis sidik ragam konsentrasi fosfat
terlarut pada inkubasi 48 jam, menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0,05) antar perlakuan perbandingan
isolat jamur dalam pelarutan fosfat anorganik. Hal ini berarti bahwa formulasi perbandingan isolat jamur F1-F7
mempengaruhi pelarutan fosfat anorganik. Hasil analisis pada inkubasi 48 jam ini memperlihatkan bahwa
perlakuan formulasi F7 paling tinggi dalam melarutkan fosfat dan adanya kerja sinergis dalam meningkatkan
pelarutan fosfat.

Key word: Agen biofertilizer, kultur campur, pelarutan fosfat

PENDAHULUAN pertumbuhan dan perkembangannya. Fosfat


Pertanian di Indonesia merupakan sebenarnya terdapat dalam jumlah yang
bidang yang sangat penting saat ini, hal ini melimpah dalam tanah, namun sekitar 95-99%
berkaitan dengan permasalahan utama yang terdapat dalam bentuk fosfat tidak terlarut
dihadapi oleh pemerintah sekarang adalah sehingga tidak dapat digunakan oleh tanaman
untuk mengupayakan peningkatan produksi (Vassileva et al., 1998). Peningkatan keter-
pertanian dalam rangka memenuhi kebutuhan sediaan fosfat bagi tanaman diusahakan
pangan masyarakat yang terus meningkat dan dengan pengunaan pupuk fosfat anorganik
mengurangi impor hasil pertanian. Salah satu maupun organik. Tetapi setelah aplikasi,
upaya peningkatan produksi pangan tersebut ternyata sejumlah besar fosfat bentuk tersedia
berupa intensifikasi lahan-lahan pertanian, dari pupuk langsung diubah kedalam bentuk
yaitu dengan menggunakan pupuk sintetik tidak terlarut (Omar, 1998). Sehingga peman-
termasuk pupuk fosfat sintetik. faatan pupuk tersebut kurang efektif sehingga
Fosfat merupakan nutrient essensial memerlukan perlakuan yang berkelanjutan dan
yang diperlukan oleh tanaman dalam proses tentunya biaya yang tinggi.

Budi Raharjo, Suprihadi, Agustina: Pelarutan Fosfat Anorganik 45


Artikel Penelitian

Upaya untuk mengatasi masalah ini, puan dalam melarutkan fosfat organik dan
akhir-akhir ini terpusatkan pada pemanfaatan anorganik (Abd-Alla, 1994).
mikroba pelarut fosfat dengan alasan mudah Menurut Lynch & Poole (1979),
dimanipulasi dan murah operasionalnya. Salah mikroba pelarut fosfat berperan dalam peru-
satunya adalah dengan pembuatan pupuk bahan fosfat menjadi bentuk terlarut dengan
biologi dengan mikroba pelarut fosfat sebagai cara :
agen biofertilizer. Penelitian terdahulu, diper- 1. Mengubah kelarutan senyawa fosfat
oleh isolat jamur pelarut fosfat dari sampel anorganik
tanah gambut yang sudah teruji kemam- 2. Mineralisasi senyawa organik dengan
puannya dalam melarutkan fosfat (Normasari, melepaskan orthophosphat
2005). Penelitian untuk mencari miko- 3. Mengubah fosfat anorganik yang
organisme pelarut fosfat yang mampu mening- menyediakan anion ke protoplasma
katkan ketersediaan fosfat terlarut dalam tanah sel (immobilisasi)
sangat diperlukan mengingat pemanfaatan 4. Oksidasi dan reduksi senyawa fosfat
mikroba tesebut dapat menjadi salah satu anorganik.
alternatif untuk intesifikasi lahan pertanian. Mikroba pelarut fosfat mampu melarutkan
Penelitian yang dilakukan pada sampel tanah Cafosfat. Spesies dari Pseudomonas, Bacillus,
gambut Sampit menghasilkan 3 isolat jamur Flavobacterium, Mycobacterium, Micrococ-
pelarut fosfat yaitu NSJ 1, NSJ 5 dan NSJ 6, cus, Penicillium, Sclerotium, Aspergillus
yang berpotensi sebagai agen biofertilizer mampu menggunakan Ca3(PO4)2 (apatit) atau
(Normasari, 2005). Permasalahannya adalah material fosfat tidak terlarut lainnya sebagai
memperoleh formula yang tepat dari kultur sumber fosfat. Asam organik mampu mengu-
campur isolat jamur-jamur tesebut dengan bah Ca3(PO4)2 (apatit) menjadi menjadi fosfat
komposisi inokulum tertentu sehingga pelaru- bervalensi satu (H2PO4-) dan bervalensi dua
tan fosfat dapat berjalan optimal. Penelitian ini (HPO4-2) (Lynch & Poole, 1979).
memiliki tujuan : Fosfor juga mengalami mineralisasi
1. Memperoleh perbandingan isolat jamur dan immobilisasi. Proses tersebut dipengaruhi
pelarut fosfat yang tepat untuk digunakan oleh persentase fosfor dari sisa tanaman yang
sebagai formula kultur campur agar dapat terurai dan nutrien yang dibutuhkan oleh
melarutkan fosfat secara optimal populasi mikroba. Bila terjadi kelebihan fosfor
2. Meningkatkan kemampuan jamur dalam dibanding kebutuhan nutrisi mikroba akan
melarutkan fosfat dengan adanya kerja terjadi akumulasi fosfat anorganik. Sebaliknya
yang sinergis dari jamur-jamur tersebut jika terjadi kekurangan fosfat dalam ling-
3. Menghasilkan pupuk biologi dengan kungan akan terjadi immobilisasi fosfat
mikroba sebagai agen biofertilizer yang anorganik. Pertumbuhan mikroba membu-
dibutuhkan dalam pertanian, terutama tuhkan fosfor yang penting untuk pembentukan
dalam rangka menunjang peningkatan sel. Pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh
produksi pertanian. ketersediaan senyawa fosfor siap pakai dalam
habitatnya (Chapelle, 2001).

Mikroba Pelarut Fosfat Potensi Mikroba dalam Pelarutkan Fosfat


Mikroba pelarut fosfat meliputi Kemampuan mikroba pelarut fosfat
berbagai jenis mikroba yang dapat mengubah dalam melarutkan fosfat yang terikat dapat
senyawa fosfat tidak terlarut menjadi fosfat diketahui dengan membiakkan biakan murni-
terlarut (Prepena-Akhaury et al, 1997: Raju & nya pada media agar Pikovskaya atau media
Reddy, 1999). Bacillus dan Pseudomonas agar ekstrak tanah yang berwarna putih keruh
merupakan golongan bakteri yang penting karena mengandung P tidak terlarut seperti
dalam pelarutan fosfat. Aspergillus dan kalsium fosfat (Ca3(PO4)2). Pertumbuhan mi-
Penicillium merupakan golongan jamur pen- kroba pelarut fosfat dicirikan dengan adanya
ting dalam melarutkan fosfat (Motsara et al., zona bening di sekitar koloni mikroba yang
1995). Rhizobium juga mempunyai kemam- tumbuh, sedangkan mikroba yang lain tidak
menunjukkan ciri tersebut (Gambar 02.).

J. Sains & Mat. Vol. 15, No.2 April 2007: 45-54 46


Artikel Penelitian

Kemampuan mikoba pelarut fosfat dalam Kultur Campur Mikroba Pelarut Fosfat
melarutkan fosfat tidak terlarut huga dapat Penggunaan kultur campur mikroba
diuji secara kuantitatif dengan menggunakan pelarut fosfat sudah mulai dikembangkan.
medium Pikovskaya cair (Isroi, 2005). Kultur campur mikroba pelarut fosfat dapat
meningkatkan efektivitas pelarutan fosfat anor-
ganik dalam tanah sehingga dapat diman-
faatkan oleh tanaman. Interaksi antara Rhizo-
bium leguminosarum dengan jamur pelarut
fosfat seperti Aspergillus flavus, Aspergillus
niger dan Penicillium pinophillum mampu
meningkatkan efektivitas pelarutan fosfat
anorganik dibandingkan dengan kultur tunggal
Rh. leguminosarum (Mehana & Wahid, 2002).
Penelitian yang dilakukan oleh Mujib
dkk. (2002) menunjukkan bahwa perlakuan P.
Gambar 01. Pelarutan fosfat oleh mikroba
aeruginosa baik yang tunggal maupun yang
(Isroi, 2005)
dikombinasi dengan pupuk fosfat tidak
berbeda nyata dalam peningkatan luas daun,
Hasil penelitian Sen & Paul (1957)
tetapi pada perlakuan isolat gabungan P.
menunjukkan bahwa bakteri-bakteri seperti
putida dan P. aeruginosa tanpa pupuk fosfat
Bacterium substilis, Bacterium mycoides dan
(P0I3) diperoleh hasil kadar P trubus yang
Bacterium mesentericus mampu melarutkan
sangat nyata lebih tinggi dibandingkan isolat
FePO4 (2,1-7,1%), Ca3(PO4)2 (3,2-9,6%),
tunggal. Demikian juga pada perlakuan isolat
glisero-fosfat (3,6-13,2%), lesitin (5,7-21,2%)
gabungan P. putida dan P. aeruginosa dengan
dan tepung tulang (14,22%). Jenis jamur yang
pemakaian pupuk SP-3 maupun rock fosfat
banyak diteliti adalah Aspergillus sp dan
mampu meningkatkan kadar P trubus
Penicillium sp. Kelompok Penicillium sp dapat
dibandingkan isolate tunggal.
melarutkan 25,9-39,0% dari Ca3(PO4)2,
sedangkan Aspergillus sp melarutkan 17,8%
Fosfat
(Rao, 1982). Asam sitrat yang dihasilkan oleh
Fosfat di dalam tanah terdapat dalam
Aspergillus awamori berperan dalam
bentuk fosfat anorganik dan fosfat organik.
melarutkan Ca-fosfat. Aspergillus niger
Bentuk anorganiknya berupa senyawa-senya-
menunjukkan pertumbuhan yang kuat dengan
wa Ca-fosfat, Fe-fosfat dan Al-fosfat. Fosfor
sumber P dari senyawa AlPO4, sedangkan
organik mengandung senyawa-senyawa yang
Penicillium sp sama baiknya pada media
berasal dari tanaman dan mikroba dan tersusun
AlPO4, FePO4, dan Ca3(PO4)2 (Anas &
dari asam nukleat, fosfolipid dan fitin. Materi
Premono, 1989). Aspergillus flavus memiliki
organik yang berasal dari sampah tanaman
kemampuan memproduksi asam organik terbe-
mati dan membusuk kaya akan sumber-sumber
sar (1,835 g/l) daripada Penicillum canscens
fosfor organik (Sutedjo, 1996).
dan Aspergillus niger (Rashid et al., 2004).
Indranuda (1994) menjelaskan bahwa
Penelitian yang berkaitan dengan
fosfor merupakan bagian integral tanaman di
pemanfaatan mikroba pelarut fosfat telah
bagian penyimpanan (storage) dan pemin-
banyak dilakukan. Di India telah dilakukan
dahan (transfer) energi. Fosfor terlibat pada
eksperimen lapangan menggunakan suspensi
penangkapan cahaya dari sebuah molekul
kultur dari Bacillus polymyxa, Bacillus
klorofil. Begitu energi tersebut sudah tersim-
circulans, Pseudomonas striata dan Asper-
pan dalam ADP (adenosine diphosphate) atau
gillus awamori dengan dan tanpa penambahan
ATP (adenosine triphosphate), maka akan
super fosfat atau batuan fosfat pada tanaman
digunakan untuk menjalankan reaksi-reaksi
gandum dan padi. Hasilnya menunjukkan
yang memerlukan energi, seperti pembentukan
adanya peningkatan secara signifikan pada
sukrosa, tepung dan protein.
tanaman gandum yang diinokulasikan dengan
Fosfor selalu diserap oleh tanaman
P. striata dengan penambahan batuan fosfat
sebagai H2PO4-, HPO42- dan PO43- yang
100 kg P2O5/ha (Gaur et al., 1980).

Budi Raharjo, Suprihadi, Agustina: Pelarutan Fosfat Anorganik 47


Artikel Penelitian

terutama berada di dalam larutan tanah. Ada meningkat hingga pH ≤ 5,5 dan pada pH > 5,5
hubungan yang erat antara konsentrasi fosfor kelarutannya berkurang sehingga menyusutkan
di dalam larutan tanah dengan pertumbuhan pengaruh meracuni dan menyusutkan kemam-
tanaman yang baik. Defisiensi fosfor selalu puannya dalam mengendapkan fosfat dari laru-
timbul akibat dari terlalu rendahnya konsen- tan tanah (Mas’ud, 1993).
trasi H2PO4- dan HPO42- di dalam larutan
tanah. Senyawa fosfor dalam bentuk larut yang Mekanisme Pelarutan Fosfat
dimasukkan ke dalam tanah untuk mengatasi Mikroba pelarut P di dalam aktivi-
defisiensi fosfor cepat sekali mengendap dan tasnya akan membebaskan sejumlah asam-
terikat oleh matriks tanah (Indranuda, 1994). asam organik, seperti asam sitrat, glutamat,
Elemen fosfor di dalam tanah keba- suksinat, laktat, oksalat, glioksalat, malat,
nyakan ada dalam keadaan tidak larut, sehing- fumarat, tartarat dan asam α-keto butirat (Rao,
ga tidak mungkin masuk ke dalam sel-sel akar. 1982).
Tetapi sebagai anion fosfat ia mudah bertukar Tan (1982) menjelaskan bahwa me-
dengan OH- (Dwijoseputro, 1994). ningkatnya asam-asam organik tersebut biasa-
Menurut Indranuda (1994), berda- nya diikuti dengan penurunan pH yang tajam,
sarkan kation-kation yang bersenyawa dengan sehingga berakibat terjadinya pelarutan Ca-
fosfor, fosfor anorganik dapat dikelompokkan fosfat. Selain karena penurunan pH, adanya
ke dalam calcium-bonded phosphates (Ca-P), kecenderungan Ca2+, Mg2+, Fe3+, dan Al3+
aluminium-bonded phosphates (Al-P), dan untuk membentuk khelat (kompleks yang
iron-bonded phosphates (Fe-P). Bentuk fosfor stabil) dengan asam-asam organik juga
yang dominan di dalam tanah tergantung pada menyebabkan terjadinya pembebasan P menja-
tingkat pelapukan dan pH tanah. Yang jelas, di larut. Reaksi pembentukan khelat yang
ketiga bentuk P tersebut mengikat P, sehingga membebaskan P menjadi terlarut seperti pada
konsentrasi fosfor di dalam larutan tanah selalu gambar 02.
rendah. Aspergillus niger memproduksi asam
Menurut Mas’ud (1993), tanah asam oksalat dan asam sitrat yang merupakan asam
dengan pH < 5,5 didominasi oleh kation Fe³+ organik utama (Rashid et al.¸2004). Sedangkan
dan Al³+ yang mengikat anion H2PO4ֿ dan Aspergillus falvus dan Penicillium canscens
mengendapkannya sebagai hidroksi Fe-fosfat memproduksi asam oksalat, asam sitrat, asam
dan Al-fosfat melalui reaksi : glukonat dan adanya asam suksinat untuk A.
flavus (Cunningham, 1992; Illmer et al., 1995).
Gaur (1990) menjelaskan bahwa ada keter-
H2PO4ֿ+ 2OH²ֿ + Al³+ → Al(OH)2H2PO4 kaitan antara produksi asam organik terhadap
pelarutan fosfat anorganik. Produksi asam
H2PO4ֿ + 2OH²ֿ + Fe³+ → Fe(OH)2H2PO4 organik yang tinggi, akan diikuti dengan
peningkatan pelarutan fosfat anorganik.

Sedangkan pada pH > 6,0 sistem tanah


didominasi oleh kation Ca²+ dan Mg²+ yang METODE PENELITIAN
juga mampu mengikat H2PO4ֿ dati tanah Alat dan Bahan
maupun pupuk fosfat sehingga menjadi dalam Alat-alat yang digunakan dalam
bentuk tidak tersedia melalui reaksi : penelitian ini adalah erlenmeyer, gelas kimia,
tabung reaksi, jarum ose, lampu spiritus,
inkubator, autoklaf, pipet ukur 1 ml, pipet ukur
Ca(H2PO4)2 + 2Ca²+ ↔ Ca3(PO4)2 + 4H+ 5 ml , pipet ukur 10 ml, pipet tetes, mikropipet,
timbangan sartorius, batang pengaduk, gelas
Ca(H2PO4)2 + 2CaCO3 ↔ Ca3(PO4)2 + 2CO2 ukur, corong, vortex, desicator, spektro-
+ 2H2O fotometer, sentrifuge, rotary shaker, pH meter,
penyaring Seitz dan vacuum pump, oven.
Senyawa-senyawa Al-fosfat dan Fe- Bahan- bahan yang digunakan adalah
fosfat semakin tersedia jika keasaman isolat jamur NSJ 1, NSJ 5 dan NSJ 6; medium

J. Sains & Mat. Vol. 15, No.2 April 2007: 45-54 48


Artikel Penelitian

Pikovskaya (1% glukosa, 0.02% NaCl, 0.5% vimetri. Metode gravimetri dilakukan sebagai
Ca3(PO4)2, 0.05% (NH4)2SO4, 0.02% KCl, berikut: biakan murni NSJ 1, NSJ 5 dan NSJ 6
0.01% MgSO4.7H2O, 0.00025% MnSO4, pada media PKVA miring umur 4 hari yang
0.00025% FeSO4, 0.05% gram yeast extract, diinkubasi pada suhu ruang dibuat suspensi
1.5% agar), kertas saring What man no. 42, dengan menambahkan akuades steril 5 ml.
reagen Ammonium molybdate (asam sulfat, Kemudian sebanyak 1% (v/v) suspensi jamur
ammonium molybdate), reagen Stannous diinokulasikan ke dalam media Pikovskaya
chloride (SnCl2. 2H2O, gliserin), akuades, HCl. cair 100 ml dan diinkubasi selama 7 hari pada
rotary shaker 150 rpm. Pengamatan dilakukan
Cara Kerja setiap 24 jam, mengukur biomassa jamur yaitu
Tahapan-tahapan penelitian yang menyaring kultur cair jamur dalam media
dilaksanakan meliputi : Pikovskaya cair dengan penyaring Seitz yang
telah diberi kertas saring. Setelah airnya hilang
Pembuatan Reagensia Metode Stannous
kemudian diletakkan dalam kertas saring yang
Chloride
masih kering, kemudian dimasukkan ke dalam
Preparasi reagen Ammonium molybdate
oven yang bersuhu 80 °C, sampai mencapai
Asam sulfat (H2SO4) sebanyak 280 ml ditam-
berat kering konstan, baru dilakukan penim-
bahkan dalam akuades hingga volumenya 400
bangan dengan neraca sartorius. Berat kering
ml. Sebanyak 25 g (NH4)6Mo7O24:4H2O
yang diperoleh dikurangi dengan berat kering
(ammonium molybdate) dilarutkan dalam 175
kertas saring merupakan berat kering jamur
ml akuades. Ketika larutan asam sudah men-
(gram/100ml).
jadi dingin, ditambahkan larutan molybdate
dan akuades hingga volumenya 1 liter.
Pembuatan Starter
Preparasi reagen Stannous chloride se-
Dari kurva pertumbuhan akan diketahui
banyak 2,5 gram SnCl2. 2H2O dilarutkan ke
fase log maksimal masing-masing isolat.
dalam 100 ml gliserin, larutan dipanaskan
Masing-masing biakan murni NSJ 1, NSJ 5
untuk mempercepat kelarutan.
dan NSJ 6 pada media PKVA miring umur 4
hari yang diinkubasi pada suhu ruang dibuat
Pembuatan medium Pikovskaya
suspensi dengan menambahkan akuades steril
Medium Pikovskaya dibuat dengan
5 ml kemudian diinokulasikan pada media
memasukkan 10 gram glukosa, 0.2 gram NaCl,
starter sebanyak 5 % (v/v), diinkubasi pada
5 gram Ca3(PO4)2, 0.5 gram (NH4)2SO4, 0.2
rotary shaker 150 rpm pada suhu ruang hingga
gram KCl, 0.1 gram MgSO4.7H2O, 0.0025
diperoleh fase log maksimal. Berdasarkan fase
gram MnSO4, 0.0025 gram FeSO4, 0.5 gram
log pertumbuhan kultur diambil sejumlah
yeast extract ke dalam erlenmeyer ukuran 1
suspensi kultur (10%) yang diinokulasikan ke
liter. Campuran bahan-bahan tersebut kemu-
dalam medium uji pelarut fosfat (Pikovskaya
dian dilarutkan dengan 1 liter aquades dan
cair).
diaduk. Larutan medium dipanaskan dalam
penangas air hingga semua bahan larut
Inokulasi Kultur Campur Jamur Pelarut
homogen. Larutan medium dalam autoklaf
Fosfat
pada 121ºC, 1atm, selama 15-20 menit.
Pada percobaan ini dibuat 7 perlakuan
perbandingan isolat jamur pelarut fosfat yaitu
Peremajaan dan Pemeliharaan Isolat
Isolat jamur pelarut fosfat NSJ 1, NSJ 5
dan NSJ 6 ditumbuhkan pada medium Pikov-
NSJ 1 : NSJ 5 : NSJ 6
skaya Agar selama 7 hari pada suhu 30 ºC.
F1 = 1 : 0 : 0
Isolat yang tidak dipakai disimpan pada suhu
F2 = 0 : 1 : 0
4 ºC.
F3 = 0 : 0 : 1
F4 = 1 : 1 : 0
Pembuatan Kurva Pertumbuhan
F5 = 1 : 0 : 1
Pertumbuhan isolat jamur NSJ 1, NSJ 5
F6 = 0 : 1 : 1
dan NSJ 6 dapat dinyatakan dengan konsen-
F7 = 1 : 1 : 1
trasi biomassa menggunakan metode gra-

Budi Raharjo, Suprihadi, Agustina: Pelarutan Fosfat Anorganik 49


Artikel Penelitian

Masing-masing kultur campur jamur NSJ 1 : NSJ 5 : NSJ 6


tersebut (F1-F7) diinokulasikan pada media F1 = 1 : 0 : 0
PKV steril. Suatu kontrol dibuat yaitu berupa F2 = 0 : 1 : 0
medium PKV broth tanpa penambahan F3 = 0 : 0 : 1
suspensi jamur. Jamur ditumbuhkan selama 7 F4 = 1 : 1 : 0
hari pada rotary shaker 150 rpm dengan suhu F5 = 1 : 0 : 1
30 ºC. Pengamatan dilakukan setiap 24 jam F6 = 0 : 1 : 1
dan pH medium diukur. Kultur disentrifuse F7 = 1 : 1 : 1
pada 5.000 rpm selama 10 menit. Larutan yang
sudah disentrifuse, disaring pada kertas saring
What man No. 42 dan larutan yang bening sebagai kontrol (F0) tanpa inokulasi isolat
(clear solution) dikumpulkan pada 100 ml jamur pada medium. Setiap perlakuan diulang
volumetric flask dan dilakukan penambahan sebanyak empat kali. Data yang diperoleh diuji
akuades hingga volumenya menjadi 100 ml normalitas dan homoge-nitasnya. Jika asumsi
. normalitas dan homoge-nitas diterima, maka
Analisis Fosfat yang Tersedia dilanjutkan dengan Analisis sidik ragam
Analisis fosfat yang tersedia dilakukan (Ansira) dengan taraf kepercayaan 95 % untuk
dengan menggunakan metode Stannous chlo- mengetahui perbe-daan antar perlakuan. Jika
ride. Sebanyak 25 ml larutan sampel yang akan Fhitung> Ftabel dilakukan uji lanjut dengan uji
dianalisis diambil kedalam tabung reaksi. Lalu Duncan.
ditambahkan 1ml larutan ammonium molyb-
date kemudian digojog. Setelah itu, ditam-
bahkan 2 tetes larutan stannous chloride PEMBAHASAN
kemudian digojog. Jika terdapat fosfat terlarut, Konsentrasi fosfat terlarut oleh jamur
dalam intensitas maksimum setelah 5 menit, pelarut fosfat NSJ1, NSJ5 dan NSJ6 baik
warna larutan menjadi berwarna biru. kultur tunggal maupun campur disajikan pada
Pengukuran warna harus dilakukan sela- Gambar 03.
ma 5-15 menit setelah penambahan stannous
chloride. Periode waktu tersebut merupakan GRAFIK KONSENTRASI P
periode perkembangan warna kritis. Pengu-
9
kuran absorbansi warna menggunakan spektro-
fotometer pada 650 nm. Larutan blanko 8

digunakan untuk menetapkan absorbansi nol. 7


f0
6
Konsentrasi P (ppm)

f1

Pengukuran pH Kultur 5
f2
f3
Pengukuran pH kultur sampel dilakukan 4
f4

setiap 24 jam. Kultur sampel diukur pH-nya f5


f6
3
dengan menggunakan pH meter, sebelum f7

penggunaan pH meter dikalibrasi terlebih dulu 2

dengan buffer 4 dan 7 (Hadiwiyoto, 1994). 1

0
0 12 24 36 48 60 72 84 96 108 120 132 144 156 168 180
Variabel Waktu (jam)
Variabel yang diamati meliputi pH
medium kultur, total konsentrasi fosfat yang
terlarut dan pertumbuhan jamur. Gambar 02. Pola grafik konsentrasi fosfat
terlarut pada berbagai perlakuan perbandingan
Rancangan Percobaan dan Analisis Data isolat jamur F1-F7 selama inkubasi 168 jam
Penelitian dilakukan dengan Ran-
cangan Acak Kelompok dengan perlakuan Perubahan pH kultur selama masa
perbandingan isolat jamur pelarut fosfat yaitu inkubasi disajikan pada Gambar 04.

J. Sains & Mat. Vol. 15, No.2 April 2007: 45-54 50


Artikel Penelitian

KURVA pH KULTUR SELAMA INKUBASI


dalam transfer atau konsumsi glukosa ke dalam
sel untuk pembentukan energi ATP dan
7
biomassa sehingga akan meningkatkan
6 pertumbuhan. Hawker (1950) menyatakan
bahwa fosfor harus disuplai dengan jumlah
F0
5
F1 yang cukup dalam medium untuk proses
F2 fosforilasi karbohidrat bagian akhir dan
pH Kultur

4
F3
F4 pembentukan energi dalam sintesis bahan
3
F5 organik kompleks yang biasanya diturunkan
F6
2 F7
dari komponen fosfor kaya energi. Fosfor juga
termasuk dalam komposisi fosfolipid yang
1
merupakan unsur penting sel yeast dan asam
0 nukleat. Hal yang sama juga dinyatakan oleh
0 12 24 36 48 60 72 84 96 108 120 132 144 156 168 180
Khalil (1995) dan Gaur (1990) bahwa unsur
Waktu (jam)
fosfor seperti nitrogen dapat dimineralisasi dan
diimobilisasi, sangat esensial untuk sintesis sel
Gambar 03. Pola grafik pH kultur pada mikroba dan kebanyakan strain jamur
berbagai perbandingan isolat jamur F1-F7 mengimobilisasi fosfor dalam jumlah yang
selama inkubasi 168 jam lebih besar daripada strain bakteri. Disamping
itu, menurut Poeponegoro (2005), adanya
Gambar 03 menunjukkan kemampuan kandungan fosfat terlarut yang tinggi dalam
pelarutan fosfat kultur jamur baik tunggal medium dapat menghambat aktivitas enzim
maupun campur yang lebih baik dibandingkan fosfofruktokinase dan piruvat dekarboksilase
dengan F0 (kontrol / tanpa inokulasi jamur) yang berperan dalam glikolisis untuk
dengan kecenderungan profil yang hampir pembentukan asam piruvat dan asetil ko-A
sama. Aktivitas pelarutan fosfat mulai terlihat yang dibutuhkan dalam biosintesis asam
pada awal inkubasi (jam ke 0), dengan organik. Adanya penghambatan dalam bio-
konsentrasi fosfat terlarut tertinggi 7,87 ppm sintesis asam organik menyebabkan pengham-
yang dihasilkan oleh F5 dan terendah 5,33 batan proses pelarutan fosfat. Tan (1982)
ppm oleh F3. Aktivitas pelarutan fosfat yang menjelaskan bahwa meningkatnya asam-asam
terjadi pada awal inkubasi ini merupakan organik yang diikuti dengan penurunan pH
aktivitas tertinggi pada semua perlakuan yang tajam, dapat berakibat terjadinya
dikarenakan kultur jamur yang diinokulasikan pelarutan Ca-fosfat. Selain karena penurunan
sebagai starter telah memasuki fase log pH, adanya kecenderungan Ca2+, Mg2+, Fe3+,
pertumbuhan dan mensekresi asam organik dan Al3+ untuk membentuk khelat (kompleks
sehingga telah terjadi aktivitas pelarutan fosfat. yang stabil) dengan asam-asam organik juga
Griffin (1994) menyatakan bahwa pada fase menyebabkan terjadinya pembebasan P
log pertumbuhan, jamur mensekresikan suatu menjadi larut. Hasil pengukuran pH kultur
substansi asam yang menyebabkan medium (Gambar 04) juga memperlihatkan bahwa pada
menjadi basi. Substansi ini umumnya inkubasi 24 jam tidak menunjukkan penuru-
diproduksi oleh beberapa strain seperti nan yang drastis dari pH kultur awal inkubasi
Fusarium, Penicillium, Trichoderma dan strain (jam ke 0).
yang memiliki aktivitas yang besar. Pada inkubasi 48 jam, semua per-
Konsentrasi fosfat terlarut menun- lakuan mulai menunjukkan kenaikan konsen-
jukkan penurunan setelah inkubasi 24 jam. trasi fosfat terlarut. Kenaikan tersebut disebab-
Penurunan konsentrasi fosfat terlarut ini kan oleh adanya pembentukkan kembali asam
diduga disebabkan oleh adanya pemakaian organik, hal ini dapat dilihat pada pH kultur
kembali fosfat terlarut oleh kultur jamur medium yang mengalami penurunan secara
sebagai sumber nutrisi untuk aktivitas drastis (Gambar 04), khususnya pada perla-
metabolismenya. Adanya fosfat terlarut yang kuan F2 yang menujukkan adanya korelasi
tinggi dalam medium digunakan untuk antara pH dengan pelarutan fosfat dimana
aktivitas respirasi oksidatif yang berperan konsentrasi fosfat terlarut paling tinggi dengan

Budi Raharjo, Suprihadi, Agustina: Pelarutan Fosfat Anorganik 51


Artikel Penelitian

pH kultur paling rendah. Adanya penurunan glukosa pada medium uji oleh pemanasan
fosfat terlarut pada inkubasi 24 jam menyebabkan keasaman pada medium sehing-
menyebabkan penurunan energi ATP, sehingga ga pH medium menjadi turun..
mengaktifkan kembali enzim piruvat karbok- Hasil analisis sidik ragam konsentrasi
silase pada proses glikolisis yang berperan fosfat terlarut pada inkubasi 48 jam,
dalam biosintesis asam organik. Poeponegoro menunjukkan adanya perbedaan nyata
(2005) menyatakan bahwa terjadinya defisiensi (p<0,05) antar perlakuan perbandingan isolat
fosfat di dalam medium menyebabkan aktivitas jamur dalam pelarutan fosfat anorganik. Hal
sistem transpor asam sitrat memuran sel ini berarti bahwa formulasi perbandingan isolat
menjadi meningkat sehingga merangsang jamur F1-F7 mempengaruhi pelarutan fosfat
ekskresi asam sitrat ke luar sel. Asam organik anorganik. Hasil analisis pada inkubasi 48 jam
tersebut mampu memecah komponen apatit ini memperlihatkan bahwa perlakuan formulasi
Ca-fosfat dalam medium yang merupakan F7 paling tinggi dalam melarutkan fosfat dan
bentuk fosfat tidak larut menjadi bentuk adanya kerja sinergis dalam meningkatkan
terlarut (Rao, 1994 dan Alexander, 1961). Hal pelarutan fosfat. Kultur campur mikroba
ini sesuai dengan hasil penelitian Burgs taller pelarut fosfat dapat meningkatkan efektivitas
et al. (1992), bahwa Aspergillus dan pelarutan fosfat anorganik dalam tanah
Penicillium melarutkan fosfat dengan mempro- sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman.
duksi sejumlah besar asam organik, demikian Interaksi antara Rhizobium leguminosarum
juga dengan hasil penelitian Illmer (1995) dengan jamur pelarut fosfat seperti Aspergillus
bahwa Aspergillus niger memproduksi asam flavus, Aspergillus niger dan Penicillium
sitrat, oksalat dan glukonat dalam melarutkan pinophillum mampu meningkatkan efektivitas
fosfat. Perubahan pH kultur pada inkubasi 48 pelarutan fosfat anorganik dibandingkan
jam terlihat mencolok dengan pelarutan fosfat dengan kultur tunggal Rhizobium legumino-
yang lebih rendah bila dibandingkan dengan sarum (Mehana dan Wahid, 2002).
inkubasi 0 jam, hal ini dikarenakan adanya Berdasarkan hasil penelitian ini maka
pengikatan fosfat terlarut oleh biomassa jamur isolat jamur pelarut fosfat NSJ1, NSJ 5 dan
sehingga fosfat terlarut dalam medium rendah. NSJ 6 berpotensi untuk dikaji lanjut
Penurunan pH pada inkubasi 48 jam ini dikare- potensinya dalam penyediaan pupuk biologi
nakan adanya aktivitas metabolisme yang yang dapat meningkatkan ketersediaan fosfat
mensekresi asam organik. terlarut dalam tanah sehingga dapat dimanfa-
Aktivitas pelarutan fosfat pada setiap atkan oleh tanaman.
perlakuan perbandingan isolat jamur F1-F7
secara umum terlihat pada perubahan medium
Pikovskaya broth yang semula keruh menjadi KESIMPULAN
bening. Perubahan medium kultur selama masa Perbandingan isolat jamur pelarut
inkubasi ini disebabkan oleh adanya peme- fosfat yang tepat untuk digunakan sebagai agen
cahan ikatan senyawa trikalsium fosfat dalam biofertilizer yang dapat melarutkan fosfat
medium menjadi fosfat terlarut oleh kultur secara optimal adalah formulasi F7, kultur
jamur. Menurut Katznelson dan Bose (1959), campur jamur NSJ1, NSJ5 dan NSJ6. Kultur
Sundara Rao dan Sinha (1962) dan Das (1963), campur jamur menunjukkan adanya kerja
jamur dikatakan bisa melarutkan fosfat apabila sinergis dalam meningkatkan pelarutkan fosfat.
jamur dikelilingi zona berwarna terang. Perlu penelitian lebih lanjut tentang
Hasil pengukuran fosfat terlarut pada formulasi kultur campur F7 dengan carier
perlakuan F0 (kontrol / tanpa inokulasi jamur) seperti tanah gambut, batu apung yang
menunjukan adanya fosfat terlarut dan diaplikasikan sebagai pupuk biologi.
penurunan pH kultur pada awal inkubasi (jam
ke 0), hal ini diduga disebabkan adanya
pengaruh pemanasan pada proses sterilisasi UCAPAN TERIMA KASIH
autoklaf yang mengakibatkan terpecahnya Penulis mengucapkan banyak terima kasih
ikatan Ca-fosfat pada medium secara fisik kepada:
menjadi bentuk fosfat terlarut. Adanya bahan

J. Sains & Mat. Vol. 15, No.2 April 2007: 45-54 52


Artikel Penelitian

1. Direktorat Jendral Perguruan Tinggi Sterile Condition. Bodenkultur, 46 : 197-


(DIKTI) melalui Program PKMP yang 204
telah memberikan dana bagi penelitian ini 13. Indranuda, H. K. 1994. Pengelolaan
2. Normasari, Hevi Diyowati, Salamah, Kiki Kesuburan Tanah. Cetakan ke-3. Bumi
Bayu Wardani atas bantuan selama Aksara. Bandung
penelitian berlangsung 14. Isroi, 2005. Bioteknologi Mikroba untuk
Pertanian Organik.
http://www.ipardboo@ondo.net.id. Selasa,
DAFTAR PUSTAKA 17 Mei 2005
1. Abd-Alla, M. H. 1994. Phospahtes and 15. Katznelson, H. And Bose, B. 1959.
Utilization of Organic Phosphorus by Metabolic Activity and Phosphate
Rhizobium leguminosarum biovar viceae. Dissolving Capability of Bacterial Isolates
Letters of Applied Microbiol. 18 : 294-296 from Wheat Roots, Rizosphere and Non
2. Anas, Iswandi, & M. Edi Premono. 1989. Rhizosphere Soil. Canadian J. Microbiol.
Mikroba Tanah Pelarut Fosfat dan 5(1): 79-85
Peranannya dalam Pertanian. jurnal 16. Khalil, S. 1995. Direct Application of
Konggres Nasional V. Himpunan Ilmu phosphate rock and appropriate technology
Tanah Indonesia. Medan fertilizers in Pakistan. Proc. International
3. Alexander, M. 1961. Introduction to Soil Workshop, Direct application of rock
Microbiology, John Wiley & Sons Inc. phosphate and appropriate technology
New York and London fertilizers in Asia-What hinders acceptance
4. Burgstaller, W., H. Strasser & F. Shinner. and growth, Februari 20-25. Kandy. Sri
1992. Solubilization of zinc oxide from Lanka, pp:231-236
filter dust with Penicillium 17. Lynch, J. M. & N. J. Poole. 1979.
simplicisssimum: Bioreaktor, lerching and Microbial Ecology A Conceptual
stoichiometri. Environmental Sci. and. Approach. Blackwell Scientific
Technol. 26:340-346 Publications. Oxford
5. Chapelle, F. H. 2001. Ground-Water 18. Mas’ud. 1993. Telaah Kesuburan Tanah.
Microbilogy and Geochemistry. John Angkasa. Bandung
Wiley and Sons. New York 19. Motsara, M. R.,P. B. Bhattacharyya and B.
6. Cunningham, J. E. & C. Kuiack. 1992. Srivastava. 1995. Biofertilizer-their
Production of Citric and Oxalic Acids and Description and Characteristics In:
Solubilization of Calcium Phosphate by Biofertilizer Technology, Marketing and
Penicillium bilaii. Applied and Usage, A sourcebook-cum-Glossary.
Environmental Microbiol. 58:1451-1458 Fertilizer development and consultation
7. Das, A. C. 1963. Utilization of Insoluble organization 204-204 A Bhanot Corner, 1-
Phosphates by Soil Fungi. J. Indian Soc. 2 Pamposh Enclave. New Delhi. India
Soil Sci. 11:203-207 20. Normasari. 2005. Isolasi dan Karakterisasi
8. Dwijoseputro. 1994. Dasar-dasar Jamur Pelarut Fosfat dari Sampel Tanah
Mikrobiologi. Djembatan. Jakarta Gambut Sampit. Biologi Undip. Semarang
9. Gaur, A. C. 1990. Phosphate Solubilizing 21. Omar, S. A. 1998. World Journal
Microorganisms as Biofertilizer. Omega Microbial Biotech. 14 : 211-218
Scientific Publisher. New Delhi. 176 22. Poeponegoro, Milono. 2005. Pengaruh
10. Griffin, David H. 1994. Fungal Phisiology Limitasi Nutrien Pada Fermentasi Asam
second edition. Wiley-Liss, Inc. United Sitrat Secara Biak-Rendam Dengan
States of America Kapang Aspergillus niger ATCC 11414 .
11. Hawker, Lilian E. 1950. Physiologi of ITB Central Library. Bandung
Fungi. University of London Press LTD. 23. Prerena-Akhaury, K. K. Kapoor & P.
Warwick Square. London. E.C.4 Akhaury. 1997. Solubilization of Insoluble
12. Illmer, P. & F. Schinner. 1995. Phosphate Phosphates by Fungi Isolated from
Solubilizing Microorganism Under Non- Compost and Soil. Environ. Ecol. 15: 524-
527

Budi Raharjo, Suprihadi, Agustina: Pelarutan Fosfat Anorganik 53


Artikel Penelitian

24. Raju, R. A. & M. N. Reddy. 1999. Effect Microorganisms in The Soil and
of Rock Phosphate Amanded with Rhizosphere. Indian J. Sci. 23:272-278
Phospahte Solubilizing Bacteri and 28. Sutedjo, Mul Mulyani, dkk, 1996.
Farmyard Manure in Wetland Rice (Oryza Mikrobiologi Tanah. Rineka Cipta. Jakarta
sativa). Indian J. Agril. Sci. 69 : 451-453 29. Tan, K. H. 1982. Principles of Soil
25. Rao, Subba N. S. 1982. Biofertilizer in Chemistry. Marcel Decker Inc. New York
Agriculture. Oxford and IBH Publishing 30. Vassileva, M., Vassilev, N., R. Azcon.
Co. New Delhi 1998. World Journal Microbial Biotech. 14
26. Rashid, M. et al. 2004. Organic Acid : 281-284
Production and Solibilization by Phosphate 31. Watanabe, F. S.& S. R. Olsen. 1965. Test
Solubilizing Microorganism (PSM) Under of An ascorbic Acid Method for
In Vitro Conditions. Pakistan Journal of Determining Phosphorus in Water and
Biological Sciences 7 (2): 187-196 NaHCO3 Extract from Soil. Soil Sci. Soc.
27. Sundara Rao, W. C. B. & Sinha, M. K. Amer. Proceed. 29: 677-678
1962. Phosphate Dissolving

J. Sains & Mat. Vol. 15, No.2 April 2007: 45-54 54

Anda mungkin juga menyukai