Anda di halaman 1dari 84

MODEL BRANDING SMART CITY BERBASIS GREEN ECO-FRIENDLY

YANG DIMODERASI OLEH BEHAVIORAL ECO-INTENTIONS DAN


PUBLIC ENGAGEMENT DI INDONESIA

PROPOSAL DISERTASI

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh


Gelar Doktor pada Program Studi Doktor Manajemen
Konsentrasi Manajemen Pemasaran

Oleh:
NENG SUSI SUSILAWATI SUGIANA
NIM: 2211167

PROGRAM STUDI DOKTOR MANAJEMEN


FAKULTAS PENDIDIKAN EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2023

1
2

Daftar Isi
BAB i...................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...............................................................................................................4
1.1. Latar Belakang...................................................................................................4
1.2. Rumusan Masalah............................................................................................14
1.3. Tujuan Penelitian.............................................................................................15
1.4. Kegunaan penelitian........................................................................................16
BAB II...............................................................................................................................18
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS......................18
2.1. Kajian Pustaka.....................................................................................................18
2.1.1. Konsep Branding smart city (BSC).............................................................19
2.1.1.1. Definisi Branding Smart City...............................................................20
2.1.1.2. Pengukuran Branding Smart City.......................................................22
2.1.2. Konsep Behavioural Eco-Intentions (BE-I)...............................................24
2.1.2.1. Sintesa Konsep Behavioural Eco-Intentions......................................28
2.1.2.2. Pengembangan Proposisi Behavioural Eco-Intentions (BE-I).........31
2.1.2.3. Pengukuran Behavioural Eco-Intentions...........................................32
2.1.3. Konsep Public Engagement (PE)................................................................39
2.1.3.1. Definisi Public Engagement (PE)........................................................40
2.1.3.2. Pengukuran Public Engagement........................................................41
2.1.4. Konsep Green Eco-friendly (GE-f).............................................................43
2.1.4.1. Definisi Green Eco-friendly.........................................................................45
2.1.4.2. Pengukuran Green Eco-friendly..........................................................47
2.1.5. Konsep Adoption technology (AT)...............................................................48
2.1.5.1. Definisi Adoption technology (AT)......................................................50
2.1.5.2. Pengukuran Adoption technology (AT)..............................................51
2.1.6. Natural Resource (NR).................................................................................53
2.1.6.1. Definisi Natural Resource...................................................................54
2.1.6.2. Pengukuran Natural Resource...........................................................55
2.1.7. Konsep Living Culture (LC)........................................................................57
2.1.7.1. Definisi Living Culture........................................................................58
2.1.7.2. Pengukuran Living Culture (LC)........................................................60
2.1.8. Transportasion and Mobility (TM)............................................................61
2.1.8.1. Definisi Transportasi dan Mobilitas...................................................62
3

2.1.8.2. Pengukuran Dimensi Transportasi dan Mobilitas............................64


2.2. Kerangka Pemikiran............................................................................................66
2.3. Hipotesis................................................................................................................70
4

BAB i

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian

Branding smart city (BSC) untuk dapat bertahan pada kota-kota perlu
memberikan kebermanfaatan yang maksimal bagi para pihak pihak yang
melakukan aktifitas didalamnya
(Allahar, 2020; Ninevi Pašali et al., 2021b; Nunes et al., 2021; J. Y
. Smart City perlu memutuskan posisi
branding mereka di pasar global atau regional dengan melibatkan identifikasi
nilai-nilai inti dari keunggulan kompetitif
(Allahar, 2020; Ismagilova et al., 2022; Nunes et al., 2021)
, dan manfaat yang ditawarkan kepada penduduk, pengusaha,
dan pengunjung. Namun tingkat implementasi dari nilai nilai tersebut belum dapat
diterima sepenuhnya bagi masyarakat dengan kata lain belum mendapatkan
dukungan proaktif (Kapoor et al., 2021a) , sehingga menyebabkan implementasi
branding smart city ini hanya menjadi kemasan implementasi dengan standarisasi
nilai keunggulan yang kompetitif namun kurang berdampak signifikan bagi
keberlangsungan lingkunganya.
(Hou et al., 2023; Peng, 2023a; Wassmann et al., 2023; Zhu et al., 2022a)
,
Andilnya pemerintah cenderung memfokuskan pada kontribusi
penghasilan sebagai unsur komersial dari penyelarasan konsep smart city ini
(Lin & Zhai, 2023; Peng, 2023b)
, mengakibatkan adanya ruang implementasi branding
smart city ini tidak sepenuhnya berbasis green Eco-friendly sehingga tanggapan
masyarakatpun diduga tidak memiliki niat yang kuat untuk mendukung program
pemerintah tersebut, karena dari value branding smart citynya tersebut kurang
memberikan jaminan atau janji sesuai dengan konsep smart
(Allahar, 2020; Nunes et al., 2021)
. Lantas hal ini dapat dilihat dari jumlah pendapatan yang diperoleh
daerah atau Penghasilan Asli Daerah (PAD) dari smart city yang sudah ada di
Indonesia namun tidak terjadi peningkatan signifikan mengenai PAD dari setiap
kota smart city.
5

Jaminan dari branding smart city ini tidak lepas dari aktifitas marketing
yang termutakhir dengan tujuan untuk memperkuat Branding Smart City (BSC)
yang diharapkan dapat membantu peningkatan pengunjung wisatawan. Selaras
dengan ini, penelitian terdahulu yang dilakukan menjelaskan bahwa kota-kota di
Indonesia telah mengalami proses pergeseran perubahan yang besar dimana
pembangunan modern telah dilakukan berkiblat pada kota-kota cerdas di negara
lain dan sebagai bentuk triger untuk dapat bersaing di dunia bisnis khususnya
sektor Tourism (Ishida et al., 2016; Sun et al., 2022).
Faktanya bahwa Indonesia hanya mampu memberikan 3 kota dengan
Branding Smart City (BSC) (BSC) dalam rangking dunia berdasarkan The Smart
City Observatory yang diterbitkan oleh IMD World Competitiveness Center pada
tahun 2023, terdapat tiga kota di Indonesia yang tercantum dalam daftar 141 kota
cerdas di seluruh dunia, yaitu Jakarta, Medan dan Makassar. Berkaca dari masalah
tersebut Indonesia berinisiatif melaksanakan sebuah program yang dicanangkan
sejak tahun 2017 dengan tujuan untuk memberikan dukungan kepada 100
kota/kabupaten sebagai model dalam perancangan dan implementasi rencana
utama (Master Plan) Smart City di wilayah indonesia. "Gerakan Menuju 100
Smart City".
Kondisi ini menunjukan bahwa kota-kota Indonesia mempunyai daya
saing yang sangat besar peluangnya dikarenakan letak geografis Indonesia yang
sangat menarik berbagai perhatian khususnya menarik dalam sektor wisata.
Berkaitan dengan hal ini adanya penelitian terdahulu yang menjelaskan bahwa
untuk menciptakan branding kota cerdas perlu membangun habit yang lebih
termutakhir baik dari perangkat kota maupun perilaku masyarakatnya
(Dhiman & Arora, 2020a; S. A. Khan et al., 2022; Y. K. Kim & Sullivan, 2019; Park &

. Akan tetapi hal ini belum berdampak begitu luas bagi


Indonesia yang terdiri dari provinsi dengan banyak kota. serta belum berdampak
begitu luas bagi kota-kota Indonesia yang terdiri dari provinsi dengan banyak kota
namun predikat smart city ini belum dapat terjamin tersebar kesemua kota dalam
hal ini dapat disimpulkan bahwa jumlah smart city ini terhitung sedikit.
6

Melihat Grafik 1.3. Masalah lain yang timbul bisa terlihat dari beberapa
provinsi yang mempunya potensi wisatawan besar namun tidak dapat terkelola
secara baik dalam segi pembangunan fasilitas dan akomodasi sehingga
menyebabkan konsep smart pada sebuah kota, yang tidak tercerminkan
dampaknya dengan baik menyebabkan tingkat kunjungan yang rendah bagi
daerah-daerah tersebut. Pada akhirnya timbul asumsi bahwa konsep smart city
membuka peluang potensi wisatawan besar namun tidak mendapatkan
meningkatkan PAD yang maksimal, sehingga menyebabkan beberapa masalah
mengenai tingkat Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tidak terasa secara
signifikan.

Grafik Tingkat Kerusakan Lahan Seiring Dengan


Pembangunan Area
100
0
8 9 9 9 9 9 0 0 0 0 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3
01 01 01 01 01 01 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02
1/2 3/2 7/2 0/2 2/2 5/2 8/2 1/2 3/2 5/2 7/2 2/2 5/2 7/2 9/2 3/2 6/2 8/2 1/2 5/2 8/2 0/2
/2 /1 4/ 6/3 9/2 2/1 3/ 5/3 8/2 1/1 2/ 5/ 7/2 0/1 1/ 4/ 6/2 9/1 2/1 3/ 5/2 8/2
10 1 1 1 1 1
KERUSAKAN LAHAN DI INDONESIA: (Indonesia)
TEMPAT WISATA BARU: (Indonesia)

Gambar 1.1. Grafik Tingkat Kerusakan Lahan Seiring Dengan Pembangunan Area Wisata Baru (
Untuk Tingkat Kerusakan Alam, Untuk Tingkat Pembangunan Area Wisata Baru)
Sumber : Diolah dari https://trends.google.co.id/trends/explore?date=today%205-
y&geo=ID&gprop=images&q=KERUSAKAN%20LAHAN%20DI%20INDONESIA,TEMPAT
%20WISATA%20BARU&hl=id
Paradigma baru saat ini memandang bahwa kolerasi antara Branding kota-
kota di Indonesia dengan para pengunjung dalam hal untuk berwisata dapat
dikategorikan sebagai sebuah bisnis dimana kepentingan konsumen selalu
berdampak pada kepentingan komersial. Sehingga pada penyelenggaraaan sebuah
Kotapun sekarang merupakan sebuah implementasi dari kegiatan pemasaran
(Ananda et al., 2016; Hu & Wang, 2020; Santos-Vijande et al., 2022; Saura, 2021a) .
Perencanaan dan penyelenggaraan tata letak kota tidak lepas dari aktifitas
marketing yang termutakhir dengan tujuan untuk memperkuat Branding Smart
7

City (BSC) yang diharapkan dapat membantu peningkatan pengunjung wisatawan.


Selaras dengan ini, penelitian terdahulu yang dilakukan menjelaskan bahwa kota-
kota di Indonesia telah mengalami proses pergeseran perubahan yang besar
dimana pembangunan modern telah dilakukan berkiblat pada kota-kota cerdas di
negara lain dan sebagai bentuk triger untuk dapat bersaing di dunia bisnis
khususnya sektor Tourism (Ishida et al., 2016; Sun et al., 2022a) . Diperoleh
informasi pula tentang bagaimana pendapatan Pariwisata Indonesia pada tahun
2020 dilaporkan mencapai 4 miliar dolar AS. Jumlah ini menunjukkan penurunan
yang signifikan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, di mana pada tahun
2019, pendapatan pariwisata mencapai rekor sebesar 18 miliar dolar AS. Data
mengenai Pendapatan Pariwisata Indonesia diperbarui secara tahunan dan dalam
periode dari tahun 2002 hingga 2020, rata-rata pendapatannya adalah sekitar 8
miliar dolar AS. Data ini tercatat dalam 19 observasi yang berbeda. Selama
periode tersebut, pendapatan pariwisata Indonesia mencapai puncaknya pada
tahun 2019 dengan 18 miliar dolar AS, sedangkan rekor terendahnya terjadi pada
tahun 2020 dengan hanya 4 miliar dolar AS. Informasi mengenai Pendapatan
Pariwisata Indonesia terus diawasi dan diperbarui oleh CEIC Data, serta
dikategorikan dalam Global Economic Monitor World Trend Plus.
Berdasarkan gambar 1.3. Selama periode 5 tahun terkahir minat pencarian
kota Smart City pada mesin pencarian sebagai tujuan wisata mencerminkan bahwa
adanya fluktuasi yang bergerak tidak stabil. Dengan kata lain didapat satu
pembahasan tentang pertanyaan penyebab mengapa minat dari kunjungan wisara
di Indonesia berflutuaksi. Sedangkan menurut penelitian terdahulu menjelaskan
bahwa salah satu penggerak ekonomi yang dihasilkan terhitung berkontribusi
besar adalah sector wisata
(Agrawal et al., 2022; Ahmad et al., 2023a; Skare et al., 2023; Tiago et al.,
8

Gambar 1.2. Grafik Minat Pencarian Kota Smart City di Indonesia sebagai Destinasi Wisata 5
tahun tekahir.
Sumber : https://trends.google.co.id/trends/explore?cat=67&date=today%205-y&geo=ID&q=smart
%20city&hl=id
Geografis Indonesia yang membentuk kota kota mempunyai keunikan
masing-masing dikarenakan letaknya yang terdiri dari banyak pulau. Menjadikan
Indonesia sebagai lokasi dengan banyak pilihan untuk melakukan kunjungan
wisata namun hal ini belum terasa, sehingga informasi yang diperoleh pengunjung
wisata baik domestik ataupun wisatawan luar negeri terhitung rendah untuk
mengenalkan bahkan mematenkan Branding Smart City (BSC) sebagai tujuan
wisata di Indonesia. Dari sebaran Smart City yang sedang dikembangkan dapat
terlihat dari gambar 2 bahwa 4 pulau besar di Indonesia memiliki titik area yang
digandrungi oleh para turis.

Gambar 1.3. Sebaran titik Smart City di Indonesia yang sering dikunjungi para pelancong.
Sumber : https://trends.google.co.id/trends/explore?cat=67&date=today%205-y&geo=ID&q=smart%20city&hl=id

Sejalan dengan penelitian terdahulu bahwa titik lokasi yang sering menjadi
pencarian para pengunjung akan lebih difokuskan dalam pembangunan kotanya,
lantas program pembangunan kota cerdas ini telah menjadi fokus dunia bahkan
Indonesia sendiri (D. Li et al., 2009; J. Yang et al., 2021) , namun kendati
demikian dampak dari lancarnya pembangunan komersil di area Smart City ini
dapat membuat sebuah masalah lebih lanjut yaitu mengenai kerusakan alam, yang
sebetulnya menjadi nilai originalitas Indonesia.
9

Memaparkan seberapa besar potensi area di Indonesia sangat digemari


untuk menjadi tujuan wisata dapat terlihat dari Gambar 1.4. yang memberikan
informasi tentang jumlah perjalanan wisatawan Nusantara dari berbagai provinsi
di Indonesia selama tiga tahun berbeda yaitu ditahun 2021, 2022, dan 2023.
Interpretasi data ini berdasarkan jumlah total pengunjung dan rata-rata
pengunjung per tahun untuk masing-masing provinsi.
Meninjau provinsi yang ada dalam data tersebut, Provinsi DKI Jakarta
memiliki jumlah pengunjung terbesar, terutama pada tahun 2022, dengan lebih
dari 63 juta pengunjung pada tahun tersebut. Jawa Barat juga memiliki jumlah
pengunjung yang signifikan, melebihi 120 juta pengunjung pada tahun 2022. Jawa
Tengah memiliki jumlah pengunjung yang signifikan pada tahun 2021, mencapai
lebih dari 134 juta pengunjung pada tahun tersebut. Jawa Timur adalah provinsi
lain yang memiliki jumlah pengunjung yang besar, melebihi 150 juta pengunjung
pada tahun 2022. Sumatera Utara juga menunjukkan pertumbuhan yang signifikan
dalam jumlah pengunjung selama periode tersebut, mencapai lebih dari 21 juta
pengunjung pada tahun 2022. Sulawesi Selatan memiliki jumlah pengunjung yang
tinggi pada tahun 2022, dengan lebih dari 30 juta pengunjung pada tahun tersebut.
Bali tetap menjadi tujuan wisata yang populer dengan lebih dari 11 juta
pengunjung pada tahun 2022. Nusa Tenggara Barat juga mengalami pertumbuhan
yang signifikan dalam jumlah pengunjung selama periode tersebut. Penting untuk
dicatat bahwa data ini hanya mencerminkan perjalanan wisatawan nusantara
dalam negeri dan bukan perjalanan wisatawan internasional ke Indonesia.
Data ini dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut mengenai tren
pariwisata di berbagai provinsi di Indonesia selama periode tersebut. Sebagaimana
pada penelitian terdahulu yang menjelaskan bahwa pangsa pasar lokasi wisata
tidak terbatas (Kapoor et al., 2021; Verma et al., 2022) , sehingga belum
sepenuhnya dapat teridentifikasi sebagai sector yang dapat memperkuat ekonomi
pada suatu negara. Hal ini menyajikan masalah selanjutnya bahwa untuk
meningkatkan pengunjung turis luar negeri agar dapat mencoba pilihan alternatif
lainya.
10

Tingkat Rata-Rata Kunjungan Wisata Dari Tahun 2021-2023 Di


Indonesia

434

613.3

735

2021 2022 2023

Gambar. 1.4. Tingkat Rata-Rata Kunjungan Wisata dari Tahun 2021-2023 di Indonesia
Sumber: Data diolah berdasarkan data statistik BPS (Angka kunjungan dalam jutaan)

Melihat, jumlah pengunjung yang paling tinggi terjadi pada tahun 2022.
Pada tahun 2022, jumlah total pengunjung mencapai 734.864.693 wisatawan,
jumlah ini merupakan yang tertinggi dalam tiga tahun yang tercatat dalam data
tersebut. Jadi, tahun 2022 adalah tahun dengan jumlah pengunjung tertinggi di
antara tahun 2021, 2022, dan 2023. Kejadian pelonjakan kunjungan ini dapat
dirasakan setelah beberapa kondisi yang menjadi penyebab penurunan ditahun
sebelumnya, faktor ekseternal dengan adanya pembatasan skala besar-besaran
untuk orang-orang bepergian. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian terdahulu
yang menjelaskan bahwa efek yang terasa akan mempengaruhi kegiatan
marketing termasuk dalam menawarkan dan mengenalkan pilihan wilayah wisata
(Mason et al., 2021).
Penjabaran data-data tersebut, menjadi alasan kuat atas terlibatnya para
pengunjung wisata terhadap keberlangsungan kota-kota yang sudah memiliki
Branding Smart City (BSC), seperti Pulau Bali, DKI Jakarta, Pulau Jawa, Medan
dan Makasar. Masalah dari aktifitas komersial di kota tersebut menjadikan bahan
11

perhatian badan pemerhati lingkungan hidup karena tingkat polusi serta kerusakan
alam yang signifikan dari tahun ke tahum. Namun di satu sisi bahwa pemerintah
berkomitmen dengan target akan menjalankan program 100 kota/kabupaten cerdas
yang ada di Indonesia agar dapat mempertahakan dan meningkatkan jumlah
kunjungan wisata baik lokal atapun wisatawan asing dengan cara memproses
pembangunan infrastruktur pengadopsian teknologi berstandar SNI.
Pembangunan-pembanguna kota pintar sebagai modal untuk
mendatangkan para tamu mendapatkan tantangan yaitu aspek internal yang harus
dilibatkan dengan tingginya resiko kehilangan identitias sebagai kota cerdaspun
akan terjadi apabila para masyarakat atau pengunjung wisata merasa bahwa label
kota cerdas tidak dapat menyuguhkan fasilitas sebagaimana citra yang dibangun
dapat mempengaruhi minat mereka terhadap lingkungan alamnya. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan, bahwa unsur unsur yang menjadi keunikan
sebuah kota pintar akan dinilai lebih bermanfaat jika memberikan interaksi
humanitas dengan lingkungan yang tetap terjaga dan bagaimana Branding Smart
City (BSC) itu akan tetap mempunyai resistensi pada setiap perubahan baik dari
sisi teknologi ataupun dari sisi perilaku manusianya.
(Ismagilova et al., 2022; Ju & Lee, 2020; Kapoor et al., 20
.
Dari tahun ketahun berada dalam keragaman konteks penelitian dari
berbagai belahan dunia yang berkecimbung mengenai bagaimana untuk mengkaji
Smart City hal ini dapat terlihat dari gambar 1.3. bahwa lingkup penelitian yang
membahas Konsep smar city masih relatif sedikit, sehingga masih bisa dijadikan
garapan untuk penelitian selanjutnya serta dapat dlihat dari hasil SLR
(Ismagilova et al., 2022; Lee & Trimi, 2018; J. Yang
. Berjalan dengan pemaparan
kondisi permasalah lapangan mengenai Branding Smart City (BSC) yang harus
dikembangkan dan diperkuat melalui interaksi kerangka kerja kota cerdas banyak
menampilkan konsep smart city berbasis Green Eco Friendly (G-EF), namun
dalam temuanya terdapat ketidak konsistenan terhadap faktor yang menjadikan
Branding Smart City (BSC) ini kurang melekat dan meluas pada calon turis baik
lokal maupun asing.
12

Gambar 1.4. Density Visualizations Research Smart City


Sumber : Data diolah dengan VostViewer

Lantas dikaji lebih lanjut dalam penelitian yang melakukan pengembangan


konsep Smart City di daratan Eropa mengatakan bahwa masing terdapat tantangan
yang menjadi pertaruhan bahwa Branding Smart City (BSC) ini masih diragukan
mengenai apakah hanhya faktor kepedulian lingkungan sajakah yang mendukung
terbentuknya Branding Smart City (BSC) (Ninevi Pašali et al., 2021a) ,
sedangkan tantangan-tantangan selanjutnya dapat menjadi ancaman yang
signifikan namun menjadi topik utama dalam sebuah riset yang mempertanyakan
jenis tantangan dari terbentuknya Branding Smart City (BSC) ini (Allahar, 2020).
Sehingga penelitian yang terus termutakhir diperlukan untuk melengkapi
pertanyaan penelitian yang tidak dapat dijawab secara konsisten pada penelitian
sebelumnya yakni bagaimana upaya dalam memperkuat Branding Smart City
(BSC) yang tidak hanya mengandalkan adopsi elemen Green Eco-Friendly (GE-
F) ataupun unsur lainnya.
Terlihat dari gambar 1.5. keberagaman penelitian terdahulu yang sudah
dilakukan diberbagai negara. Pembahasan mengenai Smart City ini dapat
13

dianalisis pada penelitian terdahulu membahas mengenai environmental yang


berfokus pada faktor faktor dalam pembanguan smart city seperti konsep eco-
friendly. Yang menyebutkan bahwa pembangunan harus memperhatikan sejumlah
dimensii yang diperhitungkan dapat mengubah tatatan kota yang kurang
mengadopsi teknologi menjadi kota yang mengadopsi teknologi dengan
memperhatikan pola kepedulian lingkungan baik dari pengelolaan limbah ataupun
fasilitas dan infrastuktur yang dibangun. Pada penerapan di Indonesia dengan
lebih efektif, dengan memperhatikan keterlibatan dari public Engagment (PE)
khususnya para peminat wisata menjadi tolak ukur dalam keberhasilan kinerja
dari sebuah b Branding Smart City (BSC) yaitu harapan meningkatnya kunjungan
wisata (Sancino & Hudson, 2020) . Akan tetapi pada penelitian yang lain
menyebutkan bahwa faktor yang tidak kalah penting adalah hadirnya sebuah
minat untuk mencari tau akan keberadaan Branding Smart City (BSC) ini sebagai
lokasi yang akan digunakan oleh mereka sebagai tujuan berbagai aktifitas
(H. J. Kim et al., 2014)
.

Gambar 1.5. Network Visualization Research Smart City


Sumber: Data diolah dengan VostViewer

Minat dari para konsumen sebagai turis ini erat kaitanya dengan sebuah
teori mengenai Marketing Management serta Theory Of Planned Behavior
(Lovelock (2016), Zeithamel dan Parasuraman (2014)) yang berdasar pada hal-
14

hal yang membuat mereka tertarik dengan sebuah object (Yadgar, 2020). Dalam
konsep Smart City hadirnya sebuah konsep Green Eco-Friendly (GEF) yang
didefinisikan sebagai tingkat kepedulian pada lingkungan, akan memperkuat
Branding Smart City (BSC) ini (Jeyung yang, dkk,2020). Adapun sebagai jalan
dalam memperkuat dan mempertahankan Branding Smart City (BSC) ini akan
menjadi lebih terukur apabila kita mengetahui tingkat Public Engagment (PE)
yang tercipta dalam kota pintar tersebut didalami dari teorinya Relationship
Marketing, Berry (1995), Percy (1995). Namun juga ada celah dari berbagai
perilaku humanitas dalam melihat fasilitas yang disuguhkan dari smart city ini,
sisi layanan konsumen dari sisi teori Services Domain Smart City (Jeyung yang,
dkk (2020) yang akan membuat kesan publik menjadi memperhatikan dan menilai
bahwa layak untuk diberikan Branding Smart City (BSC)
Pemaparan kebaragaman hasil yang dikaitkan dengan fenomena dapat
ditawarkan sebuah kerangka model solusi akibat hadirnya model Branding Smart
City (BSC) yang jika tidak dapat diimplemtasikan akan berdampak pada kinerja
dari Branding Smart City (BSC) ini baik untuk keberlangsungan lingkungan
ataupun kinerja Smart City terutama dari sektor pariwisata.
Untuk itu dalam proposal ini diusulkan untuk mengimplementasikan
model baru dalam Smart City Base On Green Eco-Friendy dengan adanya
moderasi behaviour Eco-intentions (BE-I) sebagai faktor baru penguat dimana
harus terciptanya sebuah kebiasan perilaku atau sikap yang tertarik dengan
kepedulian dan atau pemanfaatan fasilitas yang ramah lingkungan yang
sebelumnya sudah disediakan serta menciptakan Public Engagment (PE) untuk
dapat mempertahankan dan memperkuat Branding Smart City (BSC) di Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah

Merujuk beberapa pada hal yang mendasari latar belakang antara lain ruang
dalam penelitian dan fenomena bisnis yang telah diuraikan sebelumnya, penelitian
ini menemukan masih banyak inkonklusif empiris atau perbedaan hasil antara
15

Green Eco-Friendly (GE-F) kepada kinerja sebuah Branding Smart City (BSC).
pada empiris penelitian terdahulu masih ada kontradiktif mengenai pengaruh dari
Green Eco-Friendly (G-EF). Selain itu adanya ruang dalam teori yaitu belum
adanya konstruk yang tepat dalam menjebatani dan memperkuat G-EF dalam
meningkatkan kinerja Branding Smart City (BSC).
Untuk itu dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana deskripsi mengenai Green Eco-Friendly (GE-F), Natural


Resource (NR), Adoption Teknology (AT), Living Culture (LC),
Transportasion Mobility (TM) di kota kota Indonesia yang sudah
mempunyai Branding Smart City (BSC)
2. Bagaimana deskirpsi pengaruh Natural Resource (NR), Adoption
Teknology (AT), Living Culture (LC), Transportasion Mobility (TM) pada
Green - EcoFriendly (G- EF), di kota-kota Indonesia yang sudah
mempunyai Branding Smart City (BSC)
3. Bagaimana deskripsi pengaruh mediasi paralel behavioural Eco-Intention
(B-EI) dan Public Engagment (PE) pada EcoFriendly (G- EF), terhadap
kota-kota Indonesia yang sudah mempunyai Branding Smart City (BSC).

1.3. Tujuan Penelitian

Latar belakang yang diuraikan diatas mendasari tujuan penelitian dan


pengembangan penelitian untuk mencapai tujuan penelitian. Penelitian ini
mempunyai tujuan penelitian sesuai dengan harapan peneliti yang diprakarsai oleh
banyak faktor dan bersifat fundamental research. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengembangkan suatu model dan konseptual mengenai Green -
EcoFriendly (GEF), dan Behavioural Eco-Intention (B-EI) sekaligus menguji
pengaruhnya terhadap Branding Smart City (BSC). Secara rinci tujuan pada
penelitian ini yaitu:
16

1. Untuk mengetahui gambaran Green - EcoFriendly (G- EF), Natural Resource


(NR), Adoption Teknology (AT), Living Culture (LC), Transportasion Mobility
(TM) di kota kota Indonesia yang sudah mempunyai Branding Smart City
(BSC)
2. Untuk Mengetahui Natural Resource (NR), Adoption Teknology (AT), Living
Culture (LC), Transportasion Mobility (TM) pada Green - EcoFriendly (G-
EF), di kota-kota Indonesia yang sudah mempunyai Branding Smart City
(BSC)
3. Untuk Mengetahui pengaruh mediasi parallel Behavioural Eco-Intention (B-
EI) dan Public Engagment (PE) pada EcoFriendly (G- EF), terhadap kota-
kota Indonesia yang sudah mempunyai Branding Smart City (BSC).

1.4. Kegunaan penelitian.

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran baik


dalam segi akademik maupun praktik:

1.4.1. Kegunaan dari Segi Teori


Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat diguankan sebagai dasar untuk
melakukan pengembangan penelitian lebih lanjtu dan juga dapat
menambahkan kajian pustaka bagi yang berniat mendalami pengetahuan
dalam ilmu manajemen, khususnya pada manajemen pemasran bidang
Branding Smart City (BSC), Green Eco-Friendlt, kota-kota di Indonesia

1.4.2. Kegunaan dari Segi Praktis


Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu kota-kota di Indonesia
khususnya yang menjadi tujuan wisata dalam menganslisis faktor-faktor
yang mempengaruhi Branding Smart City (BSC) yang memang sedang
digalakan oleh pemerinta dari tahun 2017. Sehingga dapat dijadikan
pedoman dalam pengambilan keputusan yang efektif dan menentukan
17

segala kebijakan yang akan diperlukan dalam memberikan Branding


Smart City (BSC) pada kota-kota di Indonesia.

1.5. Struktur Organisasi

Struktur Organisasi dalam disertasi ini dibangi menjadi:


BAB I: PENDAHULUAN
Bagian ini memaparkan latar belakang penelitian, identifikasi dan perumusan
masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi.

BAB II: KAJIAN PUSTAKA


Secara umum, bab ini berisi penjelasan tentang konsep teroritis yaitu definisi,
dimensi, dan model setiap variabel serta kerangka pemikiran dan hipotesis dalam
penelitian ini.

BAB III: METODE PENELITIAN


Bab ini memberikan penjelasan yang rinci tentang metode penelitian yang
digunakan sebagai alat untuk menjawab pertanyaan penelitian yang dirumuskan
dalam penelitian ini.

BAB IV: TEMUAN DAN PEMBAHASAN


Bab ini berisikan tentang temuan penelitian dan pembahasan, yang meliputi
analisis deskriptif tentang responden dan jawaban responden, dan analisis
inferensi untuk pengujian hipotesis.

BAB V: SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI


Bab ini merupakan bab terakhir yang berisikan simpulan, implikasi, dan
rekomendasi meliputi ringkasan penelitian, kesimpulan atas hipotesis, kesimpulan
18

atas masalah penelitian, implikasi teoretis dan manajerial, serta rekomendasi bagi
user dan policy maker.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1. Kajian Pustaka

Kajian pustaka ini menerangkan grand theory, middle range theory dan
applied theory yang digunakan dalam penelitian. Grand theory yang digunakan
adalah manajemen pemasaran untuk menjadi dasar teori yang dapat digunakan
dalam middle range theory dan applied theory.

Marketing Management sebagai grand theory merupakan pijakan


konseptual, strategi dan teori yang secara terukur memberikan proses
pembentukan Behavioural Eco-Intentions (BE-I), pada masyarakat khususnya
para pengunjung wisatawan sebagai pengguna dan entitas yang terlibat dalam
pertukaran serta penggunaan layanan berbasis Green Eco-Friendly (GE-F),
dampak dan konsekuensi dari pembentukan keterikatan masyarakat (Public
Engagement) dari sebuah Branding city smart. Sebaliknya pada landasan
konseptual ini menyampaikan dampak dan konseukuensi dari masyarakat
khususnya wisatawan pada sistem pemasaran beberapa kota pintar di Indonesia.

Middle ranga theory adalah teori yang berada pada tingkat pertengahan
sebagau turunan dari grand theory. Dalam penulisan penelitian ini middle range
theory yang digunakan adalah perilaku wisatawan yang berasal dari Teori
Planned Behavior (TPB), Adapun pada penelitian ini membahas mengenai entitas
branding city smart berbasis Green Eco-Friendly (GE-F), maka kajian teori
didukung oleh beberapa middle theory yaitu strategic brand management, Services
Domain, Relationship Marketing Management, Green Marketing, TAM.
19

Applied theory merupakan teori yang berada pada level mikro atau
aplikasi. Oleh sebab itu applied theory yang digunakan dalam penelitian ini terkait
dengan variabel penelitian, yaitu branding city smart, public engagement,
Behavioural Eco-Intentions (BE-I), Green Eco-Friendly (GE-F), natural
resource, adoption technology, living culture, transportasion and mobilty.

2.1.1. Konsep Branding smart city (BSC).

Branding dalam konteks Smart City dapat dilihat dari perspektif Strategic
Brand Management, di mana tujuannya adalah untuk menciptakan citra dan
identitas yang kuat bagi kota pintar tersebut. Branding adalah elemen penting
dalam dunia bisnis dan memiliki dampak yang signifikan pada berbagai
aspek (Fisher-Buttinger & Vallaster, n.d.) . Dalam perspektif teori Strategic Brand
Management, Branding memiliki pengaruh yang luas dan mendalam pada
berbagai aspek bisnis
(Febriyantoro, 2020; S. A. Khan et al., 2022; Luxury Brand Management Ffirs 4 Ma
, termasuk citra merek, pengambilan
keputusan konsumen, loyalitas pelanggan, posisi pasar, dan profitabilitas
(Neirotti et al., 2016)

Smart City perlu memutuskan posisi strategis mereka di pasar global atau
regional dengan melibatkan identifikasi nilai-nilai inti dari keunggulan
kompetitif (Allahar, 2020; Ismagilova et al., 2022; Nunes et al., 2021) , dan
manfaat yang ditawarkan kepada penduduk, pengusaha, dan pengunjung. Posisi
ini harus mencerminkan visi, misi, dan nilai-nilai kota pintar tersebut. Identitas
merek Smart City harus mencakup elemen-elemen seperti logo, slogan, warna,
dan elemen desain lainnya (Chauhan et al., 2021; Ismagilova et al., 2022) .
Identitas ini harus konsisten di semua komunikasi dan interaksi dengan penduduk
dan pemangku kepentingan. Melibatkan penduduk dalam proses Branding dan
pengambilan keputusan akan memperkuat citra positif Smart City. Ini dapat
dilakukan melalui pemungutan suara, forum komunitas, dan berbagai inisiatif
partisipasi publik lainnya (Flachenecker et al., 2022; Pardalis et al., 2022) . Merek
20

Smart City harus mencerminkan komitmen pada inovasi berkelanjutan dan


penggunaan teknologi untuk meningkatkan kehidupan penduduk
(Foreword By Amitabh Kant Brand Wars Combat Strategies For Indian Brand
. Ini akan membantu menciptakan citra kota yang maju dan
progresif. Penting untuk terus-menerus mengevaluasi efektivitas strategi
Branding dan mengukur dampaknya pada citra kota pintar tersebut
(Hensel et al., 2021)
. Ini memungkinkan untuk penyesuaian strategi sesuai kebutuhan. merek
Smart City seharusnya bukan hanya tentang citra, tetapi juga tentang memberikan
solusi yang nyata dan berkelanjutan untuk permasalahan kota. Branding yang
sukses akan mencerminkan komitmen untuk memajukan kualitas hidup penduduk,
efisiensi, keberlanjutan, dan inklusi sosial dalam konteks kota pintar
(Spandagos et al., 2022)
.

Penelitian ekstensif telah dilakukan untuk mempelajari faktor-faktor seperti


Branding Smart City dibentuk oleh berbagai faktor yang mencakup teknologi, inovasi,
keberlanjutan, kualitas hidup, partisipasi publik, dan citra merek. Penggunaan teknologi
canggih dalam layanan publik dan infrastruktur yang efisien menciptakan citra kota yang
cerdas dan progresif (Ismagilova et al., 2022; J. Yang et al., 2021). Inovasi dalam proyek-
proyek perkotaan, seperti transportasi dan energi, juga memainkan peran kunci dalam
pembentukan citra Smart City (Ninevi Pašali et al., 2021a) . Keberlanjutan melalui
praktik lingkungan yang berkelanjutan dan inklusi sosial memperkuat brand image
positif. Kualitas hidup yang tinggi, partisipasi publik dalam pengambilan keputusan, serta
upaya Branding yang efektif juga berkontribusi pada citra Smart City yang menarik bagi
penduduk dan pemangku kepentingan eksternal.

Dalam konteks Branding Smart City (BSC), Midle Range Theory yang lainnya
yaitu Theory Of Planned Behavior menekankan wawasan yang berharga tentang
bagaimana penduduk, pengunjung, dan pemangku kepentingan merespons, berinteraksi,
dan mengadopsi layanan dan inovasi Smart City.

2.1.1.1. Definisi Branding Smart City

Branding Smart City adalah proses membangun citra dan identitas positif
untuk sebuah kota pintar atau Smart City. Ini melibatkan pengembangan dan
21

promosi aspek-aspek kota yang cerdas, seperti penggunaan teknologi, layanan


publik yang efisien, keberlanjutan, inovasi
(Allahar, 2020; Yang et al., 2021),
kualitas hidup yang tinggi, serta inklusi sosial. Tujuan utama Branding
Smart City adalah untuk menciptakan citra yang menarik dan memikat, baik bagi
penduduk lokal, pengusaha, maupun pengunjung, serta membedakan kota tersebut
dari kota-kota lainnya (Chauhan et al., 2021; Nunes et al., 2021).

Dari tabel 2.1. definisi Branding Smart City oleh para ahli, dapat
disimpulkan bahwa Branding Smart City adalah upaya untuk membangun citra
yang positif dan kuat untuk kota pintar atau Smart City. Branding Smart City
melibatkan pengembangan identitas kota yang mencerminkan nilai-nilai inti dan
karakteristik kota tersebut, seperti inovasi, teknologi, keberlanjutan, kualitas hidup
yang tinggi, serta inklusi sosial
(Ricard et al., 2017; Spandagos et al., 2022; Tiberius et al., 2021a)
. Definisi-definisi tersebut menekankan pentingnya
menciptakan citra kota yang menarik bagi penduduk lokal, pengusaha, dan
pengunjung. Ini mencakup promosi kualitas hidup yang lebih baik, pelayanan
publik yang efisien, dan komitmen pada teknologi canggih. Branding Smart City
(BSC) juga melibatkan upaya untuk membedakan kota tersebut dari kota-kota
lainnya, menciptakan reputasi yang positif, dan menarik investasi bisnis.

Tabel 2.1. Definisi Branding Smart City (BSC) Menurut Para Ahli

Nama Ahli Definisi


Philip Kotler, 2014 Branding Smart City (BSC) melibatkan memposisikan kota
sebagai pusat inovasi, teknologi canggih, dan pelayanan publik
efisien.
Carlo Ratti, 2018 Branding Smart City (BSC) adalah tentang membangun citra kota
sebagai tempat yang terbuka terhadap teknologi dan inovasi yang
memajukan kehidupan warganya.
Giffinger et al. Branding Smart City (BSC) mencakup pengembangan identitas
2007 yang unik yang mencerminkan kemampuan kota dalam
memanfaatkan teknologi dan meningkatkan kualitas hidup.
Boyd Cohen, 2017 Branding Smart City (BSC) melibatkan membangun reputasi kota
sebagai tempat yang berkelanjutan, inklusif, dan efisien yang
memberikan layanan berkualitas kepada penduduknya.
David Aaker, 2017 Branding Smart City (BSC) adalah upaya untuk menciptakan citra
yang kuat dan positif untuk kota yang mencerminkan nilai-nilai
inti dan tujuan kota pintar tersebut.
22

Wally Olins, 2005 Branding Smart City (BSC) adalah usaha untuk menciptakan
perbedaan yang jelas di mata penduduk dan pengunjung,
menciptakan identitas yang menarik dan membedakan kota dari
yang lain.
Jeremy Millard, Branding Smart City (BSC) mencakup strategi untuk
2012 mempromosikan kota sebagai pusat inovasi teknologi yang
berfokus pada kualitas hidup yang tinggi.
Greg Clark, 2017 Branding Smart City (BSC) adalah tentang menciptakan citra kota
yang berorientasi masa depan, inklusif, dan berkelanjutan, yang
menarik investasi dan penduduk.
Antoine Picon, Branding Smart City (BSC) melibatkan penciptaan citra kota
2016 sebagai tempat yang memadukan teknologi, budaya, dan
lingkungan yang memajukan kualitas hidup.
Teresa Galván, Branding Smart City (BSC) adalah proses mempromosikan kota
2019 sebagai lingkungan yang ramah teknologi, inklusif, dan
berkesinambungan yang memungkinkan penduduk dan bisnis
berkembang.

Dapat dilihat dari esensi definisi Branding Smart City (BSC) berfungsi
memperkuat aspek inklusif dan berkelanjutan, sehingga menciptakan citra kota
yang berorientasi pada masa depan dan ramah terhadap penduduknya. Ini
mencerminkan kompleksitas Branding Smart City (BSC) yang harus mencakup
banyak elemen berbeda untuk menciptakan citra yang kuat dan menarik yang
mendukung perkembangan kota dan kualitas hidup penduduknya.

2.1.1.2. Pengukuran Branding Smart City

Terdapat beberapa dimensi yang ditawarkan untuk mengukur Branding


Smart City (BSC). dalam tabel 2.2. dimensi dengan penjelasan Pemahaman Publik
(Public Awareness, Philip Kotler), dimensi ini menilai sejauh mana penduduk
lokal dan pemangku kepentingan lainnya memahami konsep Smart City dan nilai-
nilai yang diusung oleh kota pintar tersebut. Philip Kotler, seorang ahli pemasaran
terkemuka, menggarisbawahi pentingnya komunikasi efektif untuk memastikan
pemahaman publik tentang inisiatif Smart City. Citra Merek (Brand Image, David
Aaker) Brand image adalah citra merek Smart City yang mencerminkan
bagaimana merek tersebut dilihat oleh publik. David Aaker adalah seorang ahli
Branding yang menekankan pentingnya membangun citra merek yang kuat,
23

positif, dan mencerminkan karakteristik kota pintar. Dimensi ini mencakup sejauh
mana merek Smart City memiliki citra yang positif. Keberlanjutan (Sustainability,
Boyd Cohen) Boyd Cohen adalah seorang pakar dalam keberlanjutan. Dimensi
keberlanjutan ini menilai sejauh mana Smart City mempromosikan dan mencapai
tujuan keberlanjutan, termasuk penggunaan sumber daya yang efisien, energi
terbarukan, dan lingkungan yang bersih.

Inovasi (Innovation, Carlo Ratti) Carlo Ratti adalah seorang arsitek dan
ahli dalam inovasi kota, dimensi inovasi ini mencakup tingkat inovasi yang
diterapkan di Smart City, termasuk teknologi canggih, proyek inovatif, dan
kolaborasi dengan pemangku kepentingan dalam mengembangkan solusi cerdas.
Kualitas Hidup (Quality of Life, Greg Clark) Greg Clark adalah seorang ahli
dalam perkembangan kota. Dimensi ini mencakup pengukuran kualitas hidup
yang dialami oleh penduduk, termasuk aspek seperti transportasi, akses ke
pendidikan dan layanan kesehatan, dan lingkungan yang bersih dan aman.
Kepuasan Penduduk (Citizen Satisfaction, Wally Olins) Wally Olins adalah
seorang ahli Branding. Dimensi ini mengukur sejauh mana penduduk merasa puas
dengan layanan dan fasilitas yang disediakan oleh Smart City, serta sejauh mana
mereka merasa diberdayakan dan didengarkan.

Partisipasi Publik (Public Engagement, Giffinger et al), dimensi ini


mencakup sejauh mana penduduk dan pemangku kepentingan lainnya terlibat
dalam proses pengambilan keputusan dan perkembangan Smart City, serta sejauh
mana mereka merasa memiliki kota. Giffinger et al. menyoroti pentingnya
partisipasi publik dalam perkembangan Smart City. Pengembangan Ekonomi
(Economic Development, Jeremy Millard), dimensi ini mengukur dampak
Branding Smart City terhadap pertumbuhan ekonomi, seperti peningkatan
investasi, lapangan kerja, dan daya tarik bagi bisnis. Jeremy Millard menekankan
dampak ekonomi dari branding kota pintar.

Keberlanjutan Sosial (Social Sustainability, Teresa Galván) Dimensi ini


menilai sejauh mana Smart City mempromosikan inklusi sosial, kesetaraan, dan
24

dukungan bagi kelompok rentan dan marginal. Teresa Galván adalah seorang ahli
dalam aspek keberlanjutan sosial
(Lang et al., 2016; Miller, 2015; Mishra et al., 2023b; Saeed et al., 2
. Keberlanjutan Lingkungan (Environmental
Sustainability, Antoine Picon) Antoine Picon adalah seorang ahli dalam
keberlanjutan lingkungan. Dimensi ini mencakup pengukuran dampak Smart City
terhadap lingkungan, seperti pengurangan emisi karbon, pengelolaan limbah yang
baik, dan pelestarian alam
(Allison et al., 2022; Bakchan et al., 2022; Bibi et al., 2023; Pryce et al.,

Berikut adalah dimensi-dimensi yang dapat diidentifikasi dari definisi para ahli;

Tabel 2.2. Dimensi pengukuran untuk Branding Smart City (BSC)

Dimensi Pengukuran Nama Ahli

Pemahaman Publik (Public Awareness) Philip Kotler


Citra Merek (Brand Image) David Aaker
Keberlanjutan (Sustainability) Boyd Cohen
Inovasi (Innovation) Carlo Ratti
Kualitas Hidup (Quality of Life) Greg Clark
Kepuasan Penduduk (Citizen Satisfaction) Wally Olins
Partisipasi Publik (Public Engagement) Giffinger et al.
Pengembangan Ekonomi (Economic Development) Jeremy Millard
Keberlanjutan Sosial (Social Sustainability) Teresa Galván
Keberlanjutan Lingkungan (Environmental Sustainability) Antoine Picon

2.1.2. Konsep Behavioural Eco-Intentions (BE-I)

Konsep "eco-intentions" dalam sudut pandang Middle Theory Teori


Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior/TPB) mengacu pada niat atau
kesediaan individu atau organisasi untuk mengadopsi perilaku yang mendukung
praktik bisnis yang berkelanjutan dan bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Dalam TPB, niat ini memiliki peran sentral dalam meramalkan perilaku.
25

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ahli Icek Ajzen dalam penelitiannya pada
tahun 1991, "Niat adalah faktor utama dalam memahami dan meramalkan
perilaku yang disengaja." Dalam konteks eco-intentions, penelitian TPB juga
menyoroti bahwa eco-intentions terdiri dari tiga komponen utama: niat, sikap, dan
norma subjektif. Menurut Ahli Ajzen, "Niat dipengaruhi oleh sikap individu
terhadap perilaku yang diinginkan dan norma subjektif yang mencerminkan
pengaruh sosial yang dirasakan individu." Dengan kata lain, sikap positif terhadap
perilaku pro-lingkungan dan pengaruh positif dari orang-orang di sekitar individu
atau organisasi akan cenderung meningkatkan eco-intentions.

Dalam TPB, eco-intentions menjadi faktor penting dalam memahami


perilaku seseorang atau entitas dalam konteks lingkungan. Eco-intentions
mencerminkan kesediaan dan tekad seseorang atau organisasi untuk melakukan
tindakan yang pro-lingkungan.

Dalam TPB, eco-intentions terdiri dari tiga komponen utama:

1. Niat (Intention): Ini mencakup niat individu atau organisasi untuk


melakukan tindakan pro-lingkungan, seperti mengadopsi praktik bisnis
berkelanjutan atau berkontribusi pada keberlanjutan lingkungan.

2. Sikap (Attitude): Sikap individu atau organisasi terhadap perilaku pro-


lingkungan. Sikap positif terhadap tindakan tersebut akan lebih cenderung
mengarah pada niat yang kuat untuk melaksanakannya.

3. Norma Subjektif (Subjective Norms): Ini mengacu pada pengaruh orang


lain, seperti konsumen, pemangku kepentingan, atau masyarakat, terhadap
niat individu atau organisasi untuk mengadopsi perilaku pro-lingkungan.
Jika norma subjektif positif, maka niat akan lebih kuat.

Dalam TPB, eco-intentions dapat membantu dalam meramalkan apakah


individu atau organisasi akan benar-benar mengadopsi praktik bisnis
berkelanjutan dan bertanggung jawab terhadap lingkungan. Kesadaran dan
pentingnya eco-intentions dalam Teori Perilaku Terencana membuatnya relevan
26

dalam konteks Relations Marketing, karena niat perusahaan untuk menjalin


hubungan yang baik dan berkelanjutan dengan konsumen, pemangku kepentingan,
dan masyarakat juga dapat dipahami dan diukur melalui kerangka TPB ini.

Eco-intentions adalah gagasan, ide, dan frasa dengan rekognisi global


sebagai "tujuan atau niat lingkungan." Ini mengacu pada kesadaran dan niat baik
individu atau organisasi untuk berperilaku secara berkelanjutan dan bertanggung
jawab terhadap lingkungan. Eco-intentions mencakup niat untuk mendukung
praktik bisnis yang ramah lingkungan, mengurangi dampak negatif pada
lingkungan, dan mempromosikan pelestarian sumber daya alam. Gagasan
komersial dasar itu menunjukkan relevansi semiotik yang mendapat pengakuan
global sebagai upaya untuk menciptakan kesadaran akan pentingnya keberlanjutan
dan berkontribusi pada praktik yang lebih baik dalam menjaga lingkungan dan
mempromosikan tanggung jawab sosial terhadap lingkungan. Dengan Perilaku
yang dimaksud dapat mencakup tindakan seperti mengurangi emisi karbon,
menggunakan energi terbarukan, mendaur ulang, mengurangi limbah, mendukung
inisiatif keberlanjutan, atau berpartisipasi dalam kegiatan yang mendukung
lingkungan. Dengan kata lain, perilaku ini mencakup upaya nyata untuk
mengintegrasikan keberlanjutan dalam praktek sehari-hari, baik dalam lingkup
individu maupun organisasi.

Terdapat berbagai pemaknaan EI ini implikasinya terhadap praktik


strategi marketing sangat jelas
(Hojnik et al., 2023; Hwang et al., 2016; Kanda et al., 2022; Lambrec
Eco-intentions" adalah
niat baik atau kesadaran akan keberlanjutan yang memotivasi tindakan perilaku
yang positif terhadap lingkungan, dengan tujuan menciptakan dampak positif dan
mempromosikan praktik bisnis yang berkelanjutan. Pemaknaan "eco-intentions"
dalam Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior/TPB) adalah
kesediaan individu atau organisasi untuk mengambil tindakan yang mendukung
praktik bisnis berkelanjutan dan bertanggung jawab terhadap lingkungan. Eco-
27

intentions mencerminkan niat yang kuat untuk mengadopsi perilaku pro-


lingkungan dan merupakan prediktor penting dalam meramalkan apakah perilaku
tersebut akan dijalankan. Dalam TPB, eco-intentions tercermin dalam keterkaitan
antara sikap positif terhadap perilaku pro-lingkungan, norma subjektif yang
mendukungnya, dan niat yang kuat untuk melaksanakan tindakan tersebut.

Ide Behavioural Eco-Intentions (BE-I) membentuk sebuah perilaku


tertentu dalam upaya meningkatkan public engagement dalam menciptakan
Branding Smart City (BSC). Dengan demikian, BEI ditawarkan sebagai aliran
pemikiran dan dapat ditemukan di persimpangan beberapa kerangka kerja (strategi
pemasaran, teori planning behavioural, Pemasaran Sosial, Public Engagement
Frameworks, Komunikasi Keberlanjutan).

Penelitian ini mengajukan variabel Behavioural Eco-Intentions (BE-I)


(BEI) sebagai variabel kebaruan untuk memberikan solusi atas inkonklusif dari
empiris. Eco Intentions mengacu pada niat atau tujuan untuk berperilaku lebih
ramah lingkungan atau berkelanjutan dalam upaya untuk mengurangi dampak
negatif terhadap lingkungan.

Dalam semiotika, "behavioural eco" dapat merujuk pada interpretasi


tanda-tanda atau simbol-simbol yang terkait dengan perilaku manusia yang
berdampak pada aspek lingkungan atau ekologi. Ini mencakup studi perilaku
manusia dalam konteks lingkungan dan dampaknya terhadap ekosistem. Dengan
kata lain, "behavioural eco" dalam konteks semiotika dapat merujuk pada analisis
tanda-tanda yang mewakili perilaku manusia terhadap lingkungan alam dan
bagaimana tanda-tanda tersebut mengkomunikasikan makna tentang hubungan
antara manusia dan ekosistem.

Oleh karena itu, kerangka konseptual khusus, yaitu eco-intentions, yang


juga diterapkan sebagai sikap berbasis Green Eco-Friendly (GE-F), terintegrasi
perlu diterapkan dan diintegrasikan ke dalam gagasan “behavioural”. yang dapat
meningkatkan public engagment serta sebagai unsur dalam merepretasikan nilai
Branding Smart City, maka konstruksi baru Behavioural Eco-Intentions (BE-I)
28

akan lebih tepat mendefinisikan perilaku eco sebagai sesuatu yang terkait dengan
“aktivitas, minat, emosional, tanggapan terhadap sebuah pembentukan Branding
Smart City”, maka konstruksi baru Behavioural Eco-Intentions (BE-I) akan lebih
sesuai untuk mendefinisikan perilaku dari eco-intentions.

2.1.2.1. Sintesa Konsep Behavioural Eco-Intentions

Sintesa konsep "Behavioural Eco-intentions" adalah tentang pemahaman


dan pengukuran niat perilaku individu atau kelompok yang berhubungan dengan
tindakan lingkungan. Konsep ini mencakup berbagai tindakan yang
mencerminkan kepedulian terhadap lingkungan, seperti penggunaan energi
terbarukan, daur ulang, pengurangan limbah plastik, atau dukungan terhadap
produk ramah lingkungan. Penting untuk memahami niat ini sebagai langkah awal
yang dapat mendorong perilaku pro-lingkungan yang berkelanjutan.
Pengembangan kerangka konseptual yang lebih tepat dalam memahami
"Behavioural Eco-intentions" adalah langkah penting dalam mengidentifikasi
faktor-faktor yang memengaruhi niat ini dan bagaimana niat ini dapat
ditingkatkan dalam masyarakat. Kesadaran akan pentingnya niat positif terhadap
lingkungan adalah langkah kunci dalam mencapai perubahan perilaku yang lebih
ramah lingkungan.

Pada penelitian ini dihadirkan konsep "Behavioural Eco-Intentions (BE-


I)". Karena adanya Inconsistensi dalam penelitian sebelumnya telah menciptakan
tantangan dalam memahami dan mengukur "Green Eco-Friendly (GE-F)"
terhadap Branding Smart City (BSC). BEI sebagai konsep baru dimana gagasan
Branding Smart City berbasis Eco friendly ini ditanggapi oleh masyarakat sebagai
jaminan bahwa dari kota yang cerdas akan memberikan segala manfaat terkait
kelangsung hidup lingkungan dan pemanfaatan teknologi
(Coppola & Verneau, n.d.; Kar & Varsha, 2023a, 2023b; Ke
walaupun pada kenyataannya untuk
mewujudukan jaminan tersebut, masyarakat itu sendiri perlu mempunyai kualitas
29

perilaku yang mendukung dan berdampingan dengan sistem kota cerdas berbasis
Green Eco-Friendly (GE-F).

Beberapa studi menunjukkan bahwa niat perilaku lingkungan cenderung


lemah dalam menghasilkan tindakan nyata, sementara yang lain menunjukkan
hubungan yang lebih kuat antara niat dan perilaku. Inconsistensi semacam ini
dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk perbedaan metodologi penelitian,
kerangka konseptual yang beragam, dan variabilitas dalam populasi yang diteliti.

Konsep kebaruan ini lahir dari mensintesis salah satu teori yang paling
berpengaruh, mapan, dan telah teruji dalam manajemen pemasaran, yaitu Teori
Planned Behavior (TPB) yang dicetuskan oleh Icek Ajzen pada tahun 1991. TPB
telah terbukti menjadi kerangka konseptual yang kuat dalam memahami perilaku
konsumen dalam berbagai konteks. Dalam konteks "Behavioural Eco-Intentions
(BE-I)," TPB memberikan fondasi yang solid dengan dukungan konsep yang
penting dari TPB itu sendiri seperti Extend Planning Behavior, Interpesonal
behavior, reasoned Action, dengan memasukkan faktor-faktor kunci seperti niat
(intention), sikap (attitude), norma subjektif (subjective norm), dan kendali
perilaku (perceived behavioral control).

Selain itu, konsep ini juga didukung oleh penelitian dan teori-teori lain
dalam psikologi lingkungan dan perilaku sosial, termasuk Teori Dorongan (Nudge
Theory), Teori Norma Sosial (Social Norms Theory), dan Teori Efikasi Diri (Self-
Efficacy Theory), yang semuanya berkontribusi untuk memperdalam pemahaman
tentang bagaimana mendorong perilaku pro-lingkungan yang berkelanjutan.
Dengan mengintegrasikan aspek-aspek ini, konsep ini bertujuan untuk
menghadapi tantangan yang muncul dari penelitian sebelumnya dan merancang
pendekatan yang lebih holistik dalam memahami serta mendorong "Behavioural
Eco-Intentions (BE-I).".

Pengaruh teori perilaku seperti Teori Dorongan (Nudge Theory) yang


diperkenalkan oleh Thaler dan Sunstein pada tahun 2008, Teori Norma Sosial
(Social Norms Theory) yang diperkuat oleh Cialdini pada tahun 1984, dan Teori
30

Efikasi Diri (Self-Efficacy Theory) yang diusung oleh Bandura pada tahun 1977,
memiliki dampak yang signifikan pada konsep 'Behavioural Eco-Intentions (BE-
I).' Teori Dorongan menekankan peran lingkungan dalam membentuk perilaku,
dan pendekatan nudging dapat menciptakan perubahan positif dalam perilaku
lingkungan. Teori Norma Sosial menyoroti pengaruh norma sosial terhadap
individu; ketika perilaku pro-lingkungan dianggap sebagai norma yang
diharapkan, individu cenderung mengikuti. Sementara itu, Teori Efikasi Diri
berfokus pada keyakinan individu terhadap kemampuan mereka untuk melakukan
tindakan tertentu, dan tingkat efikasi diri yang tinggi dapat mendorong individu
untuk merencanakan dan melaksanakan perilaku lingkungan yang positif.
Gabungan pengaruh dari ketiga teori ini, bersama dengan nama-nama ahli dan
tahun pencetusan teori tersebut, memberikan landasan yang kokoh untuk
memahami dan mendorong 'Behavioural Eco-Intentions (BE-I)' yang
berkelanjutan."

Peneliti mengasumsikan bahwa Teori Planned Behavior (TPB) adalah


yang paling tepat untuk memfasilitasi inkonsistensi yang terjadi antara konsep
Green Eco-Friendly (GE-F) dan Branding Smart City (BSC). Argumentasinya
adalah bahwa TPB memberikan kerangka kerja yang kuat dan teruji dalam
menganalisis perilaku konsumen dan niat individu. Dalam konteks Branding
Smart City (BSC), TPB dapat digunakan untuk memahami faktor-faktor yang
memengaruhi niat individu dalam mengadopsi perilaku ramah lingkungan yang
sesuai dengan citra smart city. TPB memasukkan faktor-faktor kunci seperti niat,
sikap, norma subjektif, dan kendali perilaku, yang dapat digunakan untuk
mengeksplorasi mengapa individu mungkin memiliki niat pro-lingkungan namun
tidak selalu mengidentifikasi tindakan tersebut dengan citra smart city. Dengan
demikian, TPB dapat membantu merinci kontribusi masing-masing faktor ini
terhadap perilaku konsumen yang lebih ramah lingkungan dan lebih sesuai dengan
Branding Smart City (BSC), sehingga mengatasi inkonsistensi yang mungkin
muncul dalam persepsi dan perilaku individu. Pemetaan konsep Behavioural Eco-
intentions yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.1:
31

Gambar 2.1. Pemetaan Konsep Behavioural Eco-Intentions (BE-I)

2.1.2.2. Pengembangan Proposisi Behavioural Eco-Intentions (BE-I)

Program pembangun oleh pemerintah menempatkan profil kota-kota di


Indonesia agar lebih dapat dikenal oleh banyak orang dengan berbagai
keunggulan yang diciptakan terlebih keunggulan yang menyangkut tentang
kepedulian lingkungan yang bersifat ramah, cerdas dan adoptional untuk para
masyarakatnya terlebih para pengunjung dari daerah lain yang masuk ke kota
yang sudah berpredikat kota pintar. Predikat kota pintar berbasis Green Eco-
Friendly (GE-F) ini mempertaruhkan strategi pemerintah untuk dapat menjamin
aspek aspek yang ditawarkan baik dalam kepuasaan konsumen disini sebagai
masyarakat umum yang mengunjungi ataupun sebagai masyarakat asli yang
menduduki.

Penciptaan Branding kota pintar pada zaman sekarang akan lebih terasa
tuntutannya, yang harus dilaksanakan sebagai sebuah strategi marketing daerah
tersebut tentu saja dimana tuntutan itu sudah mengarah pada pembangunan sebuah
kota pintar yang ramah lingkungan yang selanjutnya disebut dengan Green Eco-
Friendly (GE-F), terutama focus masyarakat pada penggunaan infrastruktur yang
ramah lingkungan serta tercipatanya gaya hidup yang eco friendly sebagai
dampak dari perencaan kota pintar berdasar sifat Green Eco-Friendly (GE-F)nya.
32

hal tersebut dipandang dari manajemen pemerintahan yang menyelenggarakan


dan menciptakan Branding Smart City (BSC) ini, bahwa gagasan Behavioural Eco
ini perlu menunjukan komitmen, model sebagai identitas dan kerangka kerja
sebagai acuan yang lebih spesifik.

Kerangka acuan yang lebih spesifik mengenai eco-intentions yang


dijadikan strandarisasi dari tujuan pembangunan kota pintar di Indonesia harus
tercermin pada gagasan behavioural eco-intentions. Untuk dapat menghubungkan
kedua sudut pandang ini (kota pintar dengan eco-intentions) perlu sebuah
konstruk yang berakar dari teori TPB yang menitik beratkan pada memperkuat
hubungan eco-intentions dengan Smart City sebagai elemen Brandingnya.

Kerangka spesifik Eco-intentions yang tercermin di konstruk baru yang


diusulkan oleh peneliti yaitu behavioural eco-intentions diduga dapat memastikan
bahwa Greeen Eco-Friendly pada sebuah Smart City dapat memperkuat public
engagement untuk mewujudukan Branding Smart City yang ideal serta memenuhi
harapan semua pihak yang terkait. Kosnep eco ini tidak hanya mengacu pada
kelangsungan hidup lingkungan namun perlu menghubungkan dengan konsep
hubungan dan kolaborasi serta kepastian control dalam berprilaku. Oleh karena
itu, merujuk pada pendapat-pendapat tersebut, penulis mengajukan proposisi
penelitian disertasi sebagai berikut:

Behavioural Eco-intentions (BEI) adalah konsep yang mengacu pada niat


(intentions) individu atau kelompok untuk mengadopsi perilaku (behaviour) yang
berkelanjutan dan ramah lingkungan. Ini mencerminkan komitmen untuk
bertindak secara Eco-Friendly dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari,
seperti pengurangan limbah, penghematan energi, dan pelestarian lingkungan
alam, sebagai langkah menuju keberlanjutan dan perlindungan lingkungan.

2.1.2.3. Pengukuran Behavioural Eco-Intentions

Dalam konteks manajemen pemasaran, pendekatan behavioral dan


attitude `diterapkan oleh dua ahli terkemuka sebagai berikut, Philip Kotler
33

(tahun 1960an): Philip Kotler, seorang pakar pemasaran terkenal, menjelaskan


bahwa pendekatan behavioral dalam manajemen pemasaran menitikberatkan pada
perilaku konsumen. Ia mendefinisikan perilaku konsumen sebagai respon individu
terhadap stimulus pemasaran, yang mencakup tindakan pembelian, pemakaian,
dan penolakan produk atau layanan. Attitude dalam pandangan Kotler mengacu
pada evaluasi positif atau negatif yang dimiliki individu terhadap produk atau
merek tertentu, yang kemudian memengaruhi perilaku konsumen.

Leon G. Schiffman dan Leslie Lazar Kanuk (tahun 1980an): Dalam buku
teks mereka yang terkenal, "Consumer Behavior: A European Outlook,"
Schiffman dan Kanuk menjelaskan bahwa perilaku konsumen mencakup aktivitas
yang individu lakukan dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi,
dan membuang produk atau jasa. Mereka memahami bahwa attitude dalam
konteks pemasaran adalah respons emosional dan kognitif individu terhadap
produk, merek, atau iklan, dan bahwa attitude ini dapat memengaruhi keputusan
pembelian dan loyalitas pelanggan. Kedua ahli tersebut menggaris bawahi
pentingnya memahami perilaku konsumen dan sikap mereka terhadap produk dan
merek dalam mengelola strategi pemasaran
(Ananda et al., 2016; Micheels & Boecker, 2017; Saura, 2021b, 2021c)
. Konsep-konsep ini menjadi dasar bagi manajemen
pemasaran modern dalam merancang kampanye yang lebih efektif dan berfokus
pada kebutuhan serta preferensi konsumen.

Pada konteks pembentukan Branding kota pintar berbasis Green eco


friendly, meskipun terdapat banyak literatur yang tealh mengusulkan definisi
behavioural dan attitude ataupun eco-intentions sebagai suatu konstruks
tersendiri. Dan bagaimana car amengukur behaviour secara tepat dalam kerangka
yang spesifik seperti eco-intentions masih membingungkan. Kesenjanagn ini tidak
terlepas dari dimensi behavioural eco-intentions, yang belum mendapat perhatian
yang cukup dan kurangnya model teoritis dalam literatur yang membatasi
perkembangan
(Chen et al., 2023; Hojnik et al., 2023; Levidow et al., 2016; Melander & Arvidsson, 2022; S
. Untuk itu penulis
34

memahami bahwa untuk menemukan dimensi behavioural eco-intentions (BE-I),


perspektif lintas ilmu seperti psikologi, sosiologi, ekonomi, ilmu lingkungan,
pendidikan, dan lainnya, untuk memahami perilaku berkelanjutan. Menurut
Stanton dan Lamarto (1994), desain khusus pada suatu konstruk atau kombinasi
komponen dimaksudkan untuk membedakan produk atau layanan yang
disediakan.

Martin Fishbein dan Icek Ajzen telah mengembangkan Teori Perilaku


Terencana (Theory of Planned Behavior, TPB), yang mengidentifikasi tiga
dimensi utama perilaku. Tiga dimensi tersebut adalah:

1. Sikap (Attitude): Dimensi pertama adalah sikap individu terhadap


perilaku yang akan dievaluasi. Sikap mencerminkan evaluasi positif atau
negatif individu terhadap perilaku tersebut. Dalam konteks TPB, sikap
terbentuk oleh keyakinan individu tentang manfaat atau kerugian yang
dapat diperoleh dari perilaku tersebut.

2. Norma Subjektif (Subjective Norms): Dimensi kedua adalah norma


subjektif, yang mencakup keyakinan individu tentang apa yang diharapkan
oleh orang-orang yang penting dalam hidup mereka terkait dengan
perilaku tersebut. Ini mencakup pandangan individu tentang apakah orang-
orang di sekitarnya mendukung atau menolak perilaku tersebut.

3. Kendali Perilaku yang Dirasakan (Perceived Behavioral Control):


Dimensi ketiga adalah kendali perilaku yang dirasakan, yang mengacu
pada sejauh mana individu merasa mampu untuk melakukan atau
menghindari perilaku tersebut. Ini melibatkan pertimbangan individu
tentang hambatan dan kemampuan mereka dalam menjalankan perilaku
yang diinginkan.

Dalam TPB, ketiga dimensi ini saling berinteraksi dan memengaruhi niat
(intentions) individu untuk melakukan atau menghindari perilaku tertentu. Niat,
pada gilirannya, merupakan prediktor penting dari perilaku aktual. Dengan
35

memahami sikap, norma subjektif, dan kendali perilaku yang dirasakan individu
terhadap suatu perilaku, kita dapat meramalkan dan memahami perilaku individu
dengan lebih baik.

Konsep perilaku yang dianggap "efektif" dan "ideal" dapat berbeda


tergantung pada kerangka kerja dan tujuan penelitian atau aplikasinya. Namun,
beberapa prinsip umum yang dapat dianggap sebagai ciri perilaku yang efektif dan
ideal adalah:

1. Konsisten dengan Nilai dan Tujuan Pribadi: Perilaku yang efektif dan
ideal seringkali sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan pribadi individu. Ini
mencerminkan konsistensi antara perilaku dan identitas individu.

2. Memberikan Manfaat Positif: Perilaku yang efektif dan ideal cenderung


memberikan manfaat positif, baik bagi individu sendiri maupun bagi
masyarakat atau lingkungan sekitarnya. Perilaku tersebut dapat
meningkatkan kualitas hidup, hubungan sosial, atau keberlanjutan
lingkungan.

3. Berkelanjutan dan Bertanggung Jawab: Perilaku yang efektif dan ideal


seringkali berkelanjutan dan bertanggung jawab. Ini mencakup kesadaran
terhadap dampak jangka panjang dari perilaku dan komitmen untuk
menjaga keberlanjutan dalam tindakan.

4. Didukung oleh Niat yang Kuat: Perilaku yang efektif dan ideal
seringkali didasarkan pada niat yang kuat dan komitmen untuk bertindak.
Niat yang kuat menjadi pendorong untuk mencapai tujuan yang
diinginkan.

5. Menghormati Hak dan Nilai Orang Lain: Perilaku yang efektif dan
ideal menghormati hak, nilai, dan kepentingan orang lain. Ini mencakup
sikap empati dan toleransi terhadap perbedaan.
36

6. Dinilai dan Dievaluasi Secara Terus-Menerus: Individu yang berprilaku


efektif dan ideal seringkali melakukan evaluasi diri secara terus-menerus
dan bersedia untuk belajar dari pengalaman.

7. Berpusat pada Informasi dan Pemahaman: Perilaku yang efektif dan


ideal seringkali didasarkan pada pemahaman yang baik tentang situasi dan
informasi yang relevan. Hal ini memungkinkan individu untuk membuat
keputusan yang lebih baik.

8. Berkontribusi pada Kesejahteraan Bersama: Perilaku yang efektif dan


ideal dapat berkontribusi pada kesejahteraan bersama dan memberikan
nilai tambah bagi masyarakat atau komunitas di sekitar individu.

Perilaku yang dianggap efektif dan ideal dapat bervariasi tergantung pada
konteks dan tujuan. Dalam konteks bisnis, perilaku yang efektif mungkin terkait
dengan mencapai target penjualan, sementara dalam konteks lingkungan
(Reisch et al., 2021; Saeed et al., 2019)
, perilaku yang efektif mungkin berfokus pada
pengurangan jejak karbon. Penting untuk mengidentifikasi nilai-nilai, tujuan, dan
konteks yang spesifik untuk menentukan apa yang dianggap sebagai perilaku yang
efektif dan ideal dalam situasi tertentu.

Diluar pemahaman dari dimensi yang berkembang di Eco-intentions dan


Behavioural Atitude ada beberapa kelemahan yang membatasi peneltiian
selanjutnya (Aman-Ullah et al., 2022; Singh et al., 2022) . Dimensi-dimensi
tersebut lurangh menangkap konsep dan behavioural Eco-intentions secara
komprehensif. Menurut pendapat Icek Ajzen dalam TPB, eco-intentions akan
menjadi perilaku ketika :

1. Individu memiliki niat yang kuat untuk mengadopsi perilaku yang


ramah lingkungan ( Eco-Friendly ),
2. Sikap positif terhadap perilaku tersebut,
3. Dukungan dari orang-orang di sekitarnya,
37

4. Persepsi bahwa mereka memiliki kendali dalam menjalankan perilaku


tersebut. Niat yang kuat ini kemudian menjadi prediktor perilaku Eco-
Friendly yang sebenarnya.

Penelitian ini menekankan pentingnya kolaborasi antara berbagai


pemangku kepentingan (stakeholders) dalam upaya untuk mempromosikan dan
mendorong perilaku Eco-Friendly atau berkelanjutan. Kolaborasi antara berbagai
pihak adalah kunci dalam mencapai hasil yang lebih signifikan dan berkelanjutan
dalam lingkup keberlanjutan lingkungan. Beberapa pihak yang perlu
berkolaborasi termasuk, Pemerintah, Industri dan Bisnis, Masyarakat Sipil dan
LSM, Pendidikan dan Penelitian, Media dan Komunikasi, Masyarakat Umum.
Kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan ini membantu dalam
menciptakan sinergi
(Allal-Chérif & Bidan, 2017a; Corvello et al., 2023; Leminen et al., 2021)
, sumber daya yang lebih besar, dan dukungan yang luas untuk perubahan
positif. Ini adalah pendekatan holistik yang dianggap efektif dalam mencapai
tujuan keberlanjutan dan mengatasi tantangan lingkungan.

Penulis menangkap gagasan behavioural pada dimain Eco -Intentions.


Akibatnya berdasarkan definisi citra merek sebelumnya, dipaparkan penulis di
gambar 2.2. sampai pada suatu kesimpulan, BE-I tidak boleh hanya kumpulan
asosiasi, seperti yang banyak diusulkan dalam penelitian sebelumnya dan tidak
menjadi terpisah untuk membedakan antara komponen Atitude, Subjective Norms,
Perceived Behavioural Control, individual Value Trush, Tujuan Pribadi,
Education. Oleh karena itu, peneliti menyajikan definisi behavioural sebagai
komitmen maksimal mengenai eco-intentions yang terbentuk oleh interaksi
sintesis dari proses Atitude, Subjective Norms, Perceived Behavioural Control,
individual Value Trush, Tujuan Pribadi, Education dan adanya kolaborasi public
engagement.
38

Atitude,Subjecti
ve Norms,
individual Value Perceived
Trush, Tujuan Behavioural
Pribadi, Control,
Education

kolaborasi
public
engagement

Behavioural Eco- Intentions


(BE-I)

Gambar 2.2. Spektogram Konsep Behavioural Eco-intentions (BE-I)

Komponen pembentuk Behavioural Eco-intentions (BE-I) dapat mencakup faktor-


faktor berikut:

1. Sikap (Attitude): Sikap individu terhadap perilaku Eco-Friendly


memainkan peran kunci dalam membentuk BE-I. Sikap positif terhadap
perilaku tersebut dapat meningkatkan niat untuk mengadopsi perilaku
tersebut.

2. Norma Subjektif (Subjective Norms): Norma subjektif mencerminkan


pandangan individu tentang apa yang diharapkan oleh orang-orang yang
penting dalam hidup mereka terkait dengan perilaku Eco-Friendly .
Apakah individu merasa tekanan sosial untuk melakukan perilaku tersebut
atau tidak dapat memengaruhi BE-I.

3. Kendali Perilaku yang Dirasakan (Perceived Behavioral Control):


Persepsi individu tentang sejauh mana mereka merasa mampu untuk
melakukan perilaku Eco-Friendly juga memengaruhi BE-I. Semakin
besar kendali perilaku yang dirasakan, semakin besar kemungkinan BE-I
yang kuat.
39

4. Keyakinan dan Nilai Pribadi: Keyakinan dan nilai pribadi individu dapat
mempengaruhi sejauh mana mereka merasa terdorong untuk mengadopsi
perilaku Eco-Friendly . Nilai-nilai seperti keberlanjutan, lingkungan, dan
etika dapat memainkan peran penting.

5. Tujuan Pribadi: Tujuan dan motivasi pribadi individu juga dapat


memengaruhi BE-I. Misalnya, individu yang memiliki tujuan untuk
mengurangi jejak karbon mereka mungkin lebih cenderung memiliki BE-I
yang kuat terkait dengan tindakan yang mendukung tujuan tersebut.

6. Pengetahuan dan Pendidikan: Tingkat pengetahuan dan pendidikan


individu tentang isu-isu lingkungan dan dampak perilaku mereka dapat
memengaruhi BE-I. Pendidikan dan informasi yang relevan dapat
meningkatkan pemahaman dan niat individu untuk bertindak secara Eco-
Friendly .

Dalam konteks BE-I, faktor-faktor ini bekerja bersama-sama dalam


membentuk niat individu untuk mengadopsi perilaku Eco-Friendly. Niat ini, pada
gilirannya, merupakan prediktor perilaku aktual yang mendukung keberlanjutan
lingkungan.

2.1.3. Konsep Public Engagement (PE)

Konsep Public Engagement (PE) dalam konteks marketing management


memiliki peran yang signifikan dalam mengembangkan strategi pemasaran yang
efektif dan memahami bagaimana masyarakat terlibat dalam proses pengambilan
keputusan pembelian. Salah satu teori yang relevan untuk memahami hubungan
antara PE dan pemasaran adalah Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned
Behavior, TPB). TPB dianggap sebagai teori yang dapat digunakan sebagai
middle theory untuk menjelaskan bagaimana PE memengaruhi niat dan perilaku
konsumen dalam konteks pemasaran.

TPB, yang dicetuskan oleh Icek Ajzen pada tahun 1991, memfokuskan
pada tiga komponen utama: sikap individu terhadap perilaku (attitude), norma
40

subjektif (Subjective Norms), dan kendali perilaku yang dirasakan (perceived


Behavioural control). Dalam konteks PE, TPB membantu dalam memahami
bagaimana partisipasi masyarakat dalam proses pemasaran terutama dalam
lingkup perilaku konsumen. Pada tingkat praktis, pemahaman sikap konsumen
terhadap produk atau merek, norma sosial yang mempengaruhi keputusan
pembelian, dan kendali diri individu terkait pembelian dapat membantu
perusahaan merancang strategi pemasaran yang lebih efektif dan relevan.

Dengan menerapkan TPB sebagai middle theory, perusahaan dapat lebih


baik memahami bagaimana PE dan interaksi dengan masyarakat memengaruhi
perilaku konsumen, mempromosikan kesadaran merek
(Hyllegard et al., 2016; S. A. Khan et al., 2022; Y. K. Kim
, dan membangun hubungan yang
lebih kuat antara merek dan pelanggan. Ini memberikan dasar yang lebih kokoh
untuk strategi pemasaran yang berfokus pada melibatkan masyarakat dan
menciptakan pengalaman yang positif dalam proses pengambilan keputusan
konsumen.

2.1.3.1. Definisi Public Engagement (PE)

Mendefinisikan Public Engagement dapat bervariasi tergantung pada


kerangka kerja dan sudut pandang penelitian atau praktiknya. Tabel 2.3.
mencakup beberapa definisi yang mencerminkan berbagai pendekatan dan konsep
terkait dengan Public Engagement.

Tabel 2.3. Definisi Public Engagement

NAMA AHLI DAN TAHUN DEFINISI PUBLIC ENGAGEMENT

SHERRY R. ARNSTEIN, 1969 Proses di mana masyarakat ikut serta dalam


pengambilan keputusan, tetapi memiliki
keterbatasan dalam pengaruhnya.
41

IAP2 (INTERNATIONAL Pendekatan sistematis untuk melibatkan


ASSOCIATION FOR PUBLIC masyarakat dalam pengambilan keputusan publik.
PARTICIPATION), 1992

JAMES SUROWIECKI, 2004 Konsep "The Wisdom of Crowds," yang


menggambarkan kebijaksanaan kolektif
masyarakat dalam mengambil keputusan.

DANIEL YANKELOVICH,1999 Proses dialog dan interaksi antara organisasi dan


masyarakat untuk mencapai pemahaman bersama
dan mencapai konsensus.

CAROLYN LUKENSMEYER.1999 Proses yang melibatkan masyarakat dalam proses


pengambilan keputusan untuk mencapai solusi
yang lebih baik dan berkelanjutan.

ARCHON FUNG,2006 Konsep "empowered participatory governance," di


mana masyarakat memiliki akses dan pengaruh
yang signifikan dalam pengambilan keputusan.

LAWRENCE R. JONES,2015 Proses kolaboratif yang melibatkan masyarakat


dalam mendefinisikan isu-isu, merumuskan solusi,
dan mengambil tindakan.

JOAN B. HIRT,1995 Proses yang memungkinkan individu untuk


memiliki peran yang signifikan dalam
merumuskan kebijakan dan praktik organisasi.

PETER M. SANDMAN,2011 Proses yang melibatkan pemahaman, dialog, dan


kesepakatan bersama antara pihak berkepentingan
dalam menangani isu-isu kontroversial.

DOUGLAS B. HOLT,2004 Pendekatan yang memungkinkan masyarakat


untuk berkontribusi pada pembentukan merek dan
cerita merek perusahaan.
Tabel tersebut merangkum definisi konsep Public Engagement dari
berbagai ahli dan tahunnya dicetuskan. Dari definisi-definisi ini, kita dapat
melihat bahwa Public Engagement mencakup beragam pendekatan yang
melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan, dialog, dan kolaborasi
untuk mencapai pemahaman bersama, konsensus, dan perubahan yang lebih baik
dalam berbagai konteks sosial, politik, dan bisnis.

2.1.3.2. Pengukuran Public Engagement


42

Schaufeli dan Bakker (2003) menjelaskan dimensi engagement secara umum


sebagai berikut:

1. Vigor (semangat) menggambarkan tingkat energi dan ketahanan mental


yang tinggi, serta kemauan yang kuat untuk menginvestasikan usaha
dalam pekerjaan. Ini juga mencakup ketekunan, di mana individu tetap
berkomitmen dan tekun bahkan saat menghadapi kesulitan.
2. Dedication (dedikasi) mengacu pada keterlibatan yang kuat dalam
pekerjaan, yang tercermin dalam rasa signifikansi, antusiasme, inspirasi,
kebanggaan, dan kesiapan untuk menghadapi tantangan. Individu yang
memiliki dedikasi tinggi merasa bahwa pekerjaan mereka memiliki makna
dan nilai yang besar.
3. Absorption (penyerapan) mencerminkan keadaan di mana seseorang
sepenuhnya terkonsentrasi pada pekerjaan yang sedang mereka lakukan,
hingga pada tingkat di mana mereka merasa sangat senang dan waktu
berlalu dengan cepat. Mereka juga mungkin mengalami kesulitan dalam
melepaskan diri dari tugas tersebut karena terlalu terliba6t.

Jadi, engagement dalam konteks ini melibatkan semangat tinggi, dedikasi


yang kuat, dan penyerapan penuh dalam pekerjaan, menciptakan pengalaman
positif yang memotivasi individu dan meningkatkan kinerja mereka dalam
lingkungan kerja.

Tabel 2.4. Dimensi Public Engagement.

NO NAMA AHLI DIMENSI DEFINISI PUBLIC ENGAGEMENT

1 Sherry R. Arnstein, 1. Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan


1969 2. Keterbatasan pengaruh masyarakat
3. Hubungan antara masyarakat dan pihak berwenang

2 IAP2 (International 1. Pendekatan sistematis dalam melibatkan masyarakat dalam


Association for Public pengambilan keputusan
Participation),1992 2. Proses partisipatif
3. Peningkatan transparansi dan akuntabilitas

3 James Surowiecki, 2004 1. Kebijaksanaan kolektif dalam pengambilan keputusan


43

4 Daniel 2. Proses dialog dan interaksi


Yankelovich,1999 3. Mencapai pemahaman bersama
4. Mencapai consensus

5 Carolyn 1. Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan


Lukensmeyer,1999 2. Mencapai solusi yang lebih baik dan berkelanjutan
3. Memahami kebutuhan masyarakat

Dalam konteks Branding Smart City berbasis Green Eco-Friendly,


dimensi Public Engagement (PE) yang diambil dari Carolyn Lukensmeyer (1999)
menjadi relevan dalam memoderasi pengaruh Behavioural Eco-intentions.
Dimensi-dimensi tersebut, yaitu:

1. Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan: Dalam konteks


Smart City yang berfokus pada keberlanjutan, partisipasi masyarakat
dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan, infrastruktur, dan inisiatif
yang mendukung lingkungan hijau sangat penting. Ini menciptakan ikatan
yang lebih kuat antara masyarakat dan Smart City, yang pada gilirannya
dapat memoderasi pengaruh Behavioural Eco-intentions dalam
mengadopsi perilaku Eco-Friendly .

2. Mencapai solusi yang lebih baik dan berkelanjutan: Menciptakan


solusi yang lebih baik dan berkelanjutan dalam konteks Smart City dapat
menciptakan persepsi positif terhadap kota yang berkelanjutan. Ini
memotivasi masyarakat untuk mengadopsi perilaku Eco-Friendly dan
memperkuat Behavioural Eco-intentions.

3. Memahami kebutuhan masyarakat: Memahami dan merespons


kebutuhan masyarakat terkait keberlanjutan dan Eco-Friendly adalah
elemen penting dalam membangun engagement yang kuat antara
masyarakat dan Smart City. Ini menciptakan saling pengertian dan
dukungan, yang dapat memoderasi pengaruh Behavioural Eco-intentions.

Dengan adanya Public Engagement yang didorong oleh dimensi-dimensi


tersebut, Behavioural Eco-intentions individu di dalam Smart City akan diperkuat,
44

mengarah pada adopsi perilaku Eco-Friendly yang mendukung Branding Smart


City yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

2.1.4. Konsep Green Eco-friendly (GE-f)

Konsep Green Eco-Friendly (GE-f) sangat relevan dalam konteks


Branding Smart City dari sudut pandang Green theory di bidang marketing
management. Dalam era modern, di mana perubahan iklim dan isu-isu lingkungan
semakin mendesak Paul Hawken (1993), Smart City yang berfokus pada
keberlanjutan dan kebijakan lingkungan yang ramah dapat menjadi faktor
diferensiasi penting dalam pemasaran kota achel Carson (1962). Green Eco-
Friendly bukan hanya tentang menjaga keberlanjutan lingkungan, tetapi juga
menggambarkan kesadaran akan tanggung jawab sosial dan nilai-nilai lingkungan
yang dipegang oleh kota.

Dalam konteks Branding Smart City yang berbasis Green Eco-Friendly,


penting untuk memahami peran yang dimainkan oleh Green marketing sebagai
middle management dari konsep ini James Lovelock (1979). Dalam kerangka
Green Marketing (Middle Theory), beberapa tokoh yang berkontribusi termasuk,
Philip Kotler (1970an), Kotler adalah seorang pionir dalam pemasaran hijau dan
mempertimbangkan aspek-aspek pemasaran yang berkelanjutan. Jacquelyn
Ottman (1993), Ottman adalah seorang ahli pemasaran hijau yang telah
mengadvokasi praktik pemasaran yang ramah lingkungan. Michael Porter
(1990an), Porter berbicara tentang konsep "Porter's Five Forces," yang
memasukkan faktor-faktor lingkungan dalam analisis industri.Green marketing
adalah pendekatan yang menekankan pentingnya produk, layanan, dan kebijakan
yang ramah lingkungan. Dalam konteks Smart City, Green marketing dapat
membentuk dasar untuk mempromosikan kebijakan dan praktik berkelanjutan.
Dalam Branding Smart City, pesan-pesan yang berkaitan dengan keberlanjutan,
energi terbarukan, transportasi ramah lingkungan, dan praktik Eco-Friendly
lainnya menjadi komponen penting yang mendukung identitas kota tersebut.
45

Green marketing dapat membantu mengkomunikasikan nilai-nilai ini kepada


penduduk kota dan calon penghuni, memperkuat citra Smart City yang berfokus
pada keberlanjutan.

Untuk lebih mendalami konsep Green Eco-Friendly dalam konteks


Branding Smart City, penelitian terdahulu memainkan peran yang sangat penting.
Penelitian sebelumnya telah mengkaji dampak kebijakan hijau dan inisiatif
berkelanjutan dalam konteks perkotaan
(Sánchez-Vergara et al., 2021; Z. Wang et al., 2021; J. Yang et a
. Hasil penelitian tersebut telah membantu
mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi penerimaan masyarakat
terhadap solusi berkelanjutan dan perilaku Eco-Friendly. Penelitian ini juga telah
mengungkapkan tantangan dan peluang dalam mengimplementasikan kebijakan
hijau di lingkungan perkotaan (F. Li et al., 2014; Schnurr et al., 2014) . Dari
penelitian sebelumnya, kita dapat memahami bagaimana perubahan perilaku
individu, peran pemerintah, dan dampak kebijakan dapat membentuk Smart City
yang berfokus pada keberlanjutan. Hasil penelitian ini memberikan wawasan
berharga yang dapat digunakan untuk merancang strategi Branding yang efektif
untuk Smart City yang berbasis Green Eco-Friendly.

Dengan memahami konsep Green Eco-Friendly, memanfaatkan middle


management Green marketing, dan mengambil pelajaran dari penelitian terdahulu,
Smart City memiliki peluang untuk membangun citra yang kuat sebagai pusat
keberlanjutan dan inovasi yang ramah lingkungan
(Bossle et al., 2015; Kanda et al., 2022; Zang et al., 2022a)
. Ini bukan hanya tentang membangun infrastruktur
yang ramah lingkungan, tetapi juga tentang membangun kesadaran, budaya, dan
keterlibatan masyarakat yang mendukung visi keberlanjutan ini
(Allal-Chérif & Bidan, 2017b; S. Wang et al., 2022)
. Dalam era yang semakin peduli dengan isu-isu
lingkungan, Smart City berbasis Green Eco-Friendly memiliki potensi untuk
menjadi pionir dalam menciptakan kota-kota yang lebih berkelanjutan, sekaligus
menciptakan citra yang menarik bagi warga dan calon penghuni.
46

2.1.4.1. Definisi Green Eco-friendly

Definisi Green Eco-Friendly yang diberikan oleh berbagai ahli dalam


berbagai konteks. Dilihat dari tabel 2.4. Setiap definisi mencerminkan
pemahaman dan kontribusi individu terhadap konsep keberlanjutan dan praktik
yang ramah lingkungan. Penggunaan konsep Green Eco-Friendly dalam
membentuk Branding Smart City memiliki peran penting dalam
mengkomunikasikan citra kota yang berkelanjutan dan ramah lingkungan
(Dhiman & Arora, 2020b, 2020a; Fisher-Buttinge
. Dengan mengintegrasikan
praktik dan nilai-nilai keberlanjutan ke dalam infrastruktur, kebijakan, dan gaya
hidup kota, Smart City dapat menggambarkan dirinya sebagai pusat inovasi yang
peduli terhadap lingkungan
(Höflinger et al., 2018; Huang et al., 2022a, 2022b; Shao & Wang, 2023; Tiberi
.

Melalui penerapan energi terbarukan, transportasi ramah lingkungan,


taman kota yang hijau, dan kebijakan daur ulang, Smart City dapat menciptakan
lingkungan yang mendukung kualitas hidup yang tinggi dan memberikan daya
tarik bagi warga, pelancong, dan investasi
(Cossío-Silva et al., 2019a, 2019b; Puertas Medina et al., 2022a, 2022b; Sigalat-Signe
. Dengan cara ini, Branding Smart City menjadi lebih kuat dan
positif dengan fokus pada keberlanjutan, yang berdampak positif pada reputasi
kota dan membantu menjadikannya sebagai destinasi unggulan untuk masa
depan (Ahmad et al., 2023b; Haavisto & Linge, 2022).

Tabel 2.4. Definisi Konsep Green Eco-Friendly

NAMA AHLI DAN DEFINISI GREEN ECO-FRIENDLY


TAHUN

RACHEL CARSON Lingkungan yang terjaga dengan upaya untuk


(1962) mengurangi dampak negatif pada ekosistem dan
kesehatan manusia.

DONELLA Pendekatan berkelanjutan yang memperhitungkan


47

MEADOWS (1972) batasan pertumbuhan ekonomi dan perlindungan


sumber daya alam.

JAMES Pandangan bumi sebagai entitas hidup yang harus


LOVELOCK (1979) dijaga dan dikelola dengan berkelanjutan.

PAUL HAWKEN Praktik bisnis yang bertujuan menciptakan


(1993) keberlanjutan lingkungan dan memberikan
dampak positif.

MICHAEL PORTER Integrasi faktor-faktor lingkungan dalam strategi


(1990AN) bisnis untuk mencapai keunggulan kompetitif.

JACQUELYN Pendekatan pemasaran yang mengutamakan


OTTMAN (1993) produk dan layanan yang ramah lingkungan dan
etis.

PHILIP KOTLER Konsep pemasaran yang mempertimbangkan


(1970AN) aspek-aspek keberlanjutan dan tanggung jawab
sosial.

2.1.4.2. Pengukuran Green Eco-friendly

Tabel 2.5 memberikan gambaran mengenai dimensi konsep Green Eco-


Friendly yang muncul dari pandangan para ahli terkenal dalam berbagai tahun.
Setiap dimensi menyoroti aspek yang berbeda dari keberlanjutan dan
lingkungan (He et al., 2023; Wassmann et al., 2023; Zhu et al., 2022) , yang
menciptakan pemahaman yang lebih komprehensif tentang konsep ini.

Tabel 2.5. Dimensi dari Konsep Green Eco-Friendly (GE-F)

NAMA AHLI DAN DIMENSI KONSEP GREEN ECO-FRIENDLY


TAHUN

RACHEL CARSON (1962) 1. Perlindungan lingkungan alam,


2. keseimbangan ekosistem.

DONELLA MEADOWS 1. Keberlanjutan,


(1972) 2. pertimbangan batasan pertumbuhan ekonomi,
3. perlindungan sumber daya alam.

JAMES LOVELOCK 1. Pandangan holistik terhadap bumi,


(1979) 2. keberlanjutan kehidupan.
48

PAUL HAWKEN (1993) 1. Praktik bisnis yang mendukung keberlanjutan


2. tanggung jawab sosial.

MICHAEL PORTER 1. Integrasi lingkungan dalam strategi bisnis,


(1990AN) 2. keunggulan kompetitif.

JACQUELYN OTTMAN 1. Pemasaran produk


(1993) 2. layanan yang ramah lingkungan,etis.

PHILIP KOTLER 1. Pemasaran yang berkelanjutan,


(1970AN) 2. tanggung jawab sosial
3. lingkungan perusahaan.

Penggunaan dimensi yang diilhami oleh Michael Porter dalam penelitian


Smart City yang berbasis Green Eco-Friendly adalah langkah yang bijak.
Michael Porter, melalui konsep keunggulan kompetitif dan integrasi lingkungan
dalam strategi bisnis, memberikan kerangka kerja yang sangat relevan dalam
konteks keberlanjutan dan lingkungan. Dalam konteks Smart City, dimensi
keunggulan kompetitif dapat digunakan untuk memahami bagaimana kota
tersebut dapat membedakan dirinya dari yang lain. Ini bisa melibatkan
pengembangan solusi inovatif yang mencakup energi terbarukan, teknologi hijau,
transportasi ramah lingkungan, dan layanan publik yang berkelanjutan.
Penggunaan dimensi ini dapat membantu Smart City dalam menciptakan citra
yang menarik bagi penduduk dan calon penghuni.

Selain itu, integrasi lingkungan dalam strategi bisnis menjadi kunci dalam
memastikan bahwa Smart City benar-benar berbasis Green Eco-Friendly . Ini
mencakup pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana, pemantauan dampak
lingkungan, dan komitmen untuk mencapai tujuan berkelanjutan. Dengan
menggunakan dimensi ini, Smart City dapat memastikan bahwa semua keputusan
dan langkah yang diambil secara aktif mendukung keberlanjutan lingkungan.
Dengan mengadopsi dimensi yang diilhami oleh Michael Porter, penelitian dalam
konteks Smart City berbasis Green Eco-Friendly dapat membantu merancang
strategi Branding dan pengembangan kota yang berkelanjutan dan berdaya tarik.
49

Ini juga membantu dalam mencapai tujuan keberlanjutan yang semakin penting di
masa depan.

2.1.5. Konsep Adoption technology (AT)

Konsep "Adoption technology (AT)" mengacu pada proses di mana


individu atau organisasi mengadopsi dan menggunakan teknologi baru dalam
operasional atau kehidupan sehari-hari mereka. Dalam konteks Strategi Marketing
Management, Adoption technology (AT) menjadi elemen penting dalam
menciptakan diferensiasi dan keunggulan kompetitif. Pemasar harus memahami
perilaku pelanggan terkait dengan adopsi teknologi dan menciptakan strategi yang
tepat untuk mengkomunikasikan nilai dan manfaat teknologi tersebut. Hal ini
mencakup identifikasi segmen pasar yang potensial, pengembangan pesan yang
relevan, serta penciptaan pengalaman pengguna yang memikat. Strategi
pemasaran harus mampu meyakinkan pelanggan bahwa teknologi tersebut dapat
memenuhi kebutuhan mereka, mengatasi masalah mereka, dan memberikan nilai
tambah.

Dalam Service Marketing Management, Theory of Planned Behavior


(TPB) dan Technology Acceptance Model (TAM) adalah middle theory yang
sering digunakan untuk memahami adopsi teknologi. Icek Ajzen (1991): Dalam
Theory of Planned Behavior (TPB), Ajzen menyoroti peran sikap, norma
subjektif, dan kendali perilaku yang dirasakan dalam mempengaruhi niat dan
perilaku adopsi teknologi.TPB mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi
niat dan perilaku individu terkait dengan adopsi teknologi. Ini termasuk sikap
individu terhadap teknologi, norma subjektif, dan kendali perilaku yang dirasakan.
Di sisi lain, TAM fokus pada pengaruh persepsi kegunaan (perceived usefulness)
dan persepsi kemudahan penggunaan (perceived ease of use) terhadap niat dan
perilaku adopsi teknologi. Kedua middle theories ini membantu pemasar dalam
memahami dan memprediksi bagaimana pelanggan akan merespon teknologi baru
50

dan menciptakan strategi pemasaran yang relevan


(Kulkov et al., 2023a; Lv et al., 2022; Skare & Riberio Soriano, 2021)
.

Penelitian terdahulu dalam konteks adopsi teknologi telah memberikan


wawasan berharga tentang faktor-faktor yang memengaruhi perilaku adopsi.
Sejumlah ahli telah memberikan kontribusi signifikan, antara lain. Everett Rogers
(1962): Melalui bukunya "Diffusion of Innovations," Rogers mengidentifikasi
faktor-faktor seperti kegunaan relatif, kompleksitas, kejelasan manfaat,
kompatibilitas (Shahzad et al., 2022; Sun et al., 2022b) , dan uji coba yang
memengaruhi adopsi inovasi teknologi. Fred Davis (1989): Dalam pengembangan
Technology Acceptance Model (TAM), Davis menekankan pentingnya persepsi
kegunaan dan persepsi kemudahan penggunaan dalam pengambilan keputusan
adopsi teknologi (Bossle et al., 2015; Cheng et al., 2014; D. Yang & Wang, 2010).

2.1.5.1.Definisi Adoption technology (AT)

Adopsi teknologi dalam konteks smart city telah menjadi kunci dalam
mengubah kota menjadi lebih efisien, berkelanjutan, dan berorientasi pada
pelayanan. Dengan pendekatan yang inovatif, kota-kota pintar mengintegrasikan
teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk meningkatkan berbagai aspek,
mulai dari manajemen transportasi, pengelolaan energi, hingga penyediaan
layanan publik. Adopsi teknologi ini memungkinkan kota untuk mengumpulkan
dan menganalisis data yang relevan, mempromosikan partisipasi masyarakat, dan
meningkatkan kualitas hidup warga. Melalui upaya-upaya seperti sensor pintar,
Internet of Things (IoT), dan aplikasi pintar, adopsi teknologi membuka peluang
besar untuk membangun kota yang lebih berkelanjutan dan memberikan dampak
positif bagi masyarakat serta lingkungan.
51

Tabel 2.6. ini mencakup berbagai definisi konsep Adoption technology


(AT)dari berbagai ahli yang mencerminkan beragam aspek dan faktor yang
memengaruhi adopsi teknologi oleh individu dan organisasi.

Tabel 2.6. Definisi Konsep Adoption Teknologi

NAMA AHLI DAN DEFINISI KONSEP ADOPTION TECHNOLOGY (AT)


TAHUN

EVERETT ROGERS Adopsi Teknologi Melibatkan Penyebaran Inovasi Melalui


(1962) Proses Difusi Yang Dipengaruhi Oleh Faktor-Faktor Seperti
Kegunaan Relatif, Kompleksitas, Dan Uji Coba.

FRED DAVIS (1989) Technology Acceptance Model (Tam) Mendefinisikan Adopsi


Teknologi Berdasarkan Persepsi Kegunaan Dan Persepsi
Kemudahan Penggunaan.

ICEK AJZEN (1991) Theory of Planned Behavior (Tpb) Menjelaskan Bahwa Adopsi
Teknologi Dipengaruhi Oleh Sikap, Norma Subjektif, Dan
Kendali Perilaku Yang Dirasakan.

GEOFFREY MOORE Dalam "Crossing The Chasm," Moore Mendeskripsikan Adopsi


(1991) Teknologi Oleh Pasar, Mengidentifikasi Tahap-Tahap Seperti
Early Adopters Dan Mainstream Market.

DON NORMAN (1998) Norman Menyoroti Peran Desain Pengalaman Pengguna (User
Experience) Dalam Mempengaruhi Adopsi Teknologi.

VENKATESH ET AL. Technology Acceptance Model 2 (Tam2) Menggabungkan


(2003) Faktor-Faktor Eksternal Dan Internal Dalam Adopsi Teknologi.

KARAHANNA ET AL. Unified Theory Of Acceptance And Use Of Technology (Utaut)


(2006) Mencakup Faktor-Faktor Seperti Ekspektasi Kinerja, Upaya,
Norma Sosial, Dan Kondisi Dukungan.

DAVIS ET AL. (1989) Davis Dalam Mengembangkan Tam Menekankan Bahwa


Adopsi Teknologi Dipengaruhi Oleh Persepsi Kegunaan Dan
Persepsi Kemudahan Penggunaan.

MARCOLIN ET AL. Marcolin Menyoroti Dampak Faktor Organisasi Dan


(2000) Lingkungan Terhadap Adopsi Teknologi Oleh Organisasi.

JEFFERY (2003) Jeffery Menekankan Pentingnya Faktor Psikologis Dan Sosial


Dalam Memahami Adopsi Teknologi Di Tingkat Individu.

Dari sudut pandang Green Eco-Friendly, konsep Adoption technology


(AT), memiliki implikasi penting dalam menjaga dan memajukan keberlanjutan
52

lingkungan. Adopsi teknologi yang ramah lingkungan dapat menjadi kunci dalam
mengurangi dampak negatif terhadap ekosistem, menghemat sumber daya alam,
dan menciptakan infrastruktur yang berkelanjutan. Oleh karena itu, memahami
dan merancang strategi pemasaran yang mendorong adopsi teknologi hijau
menjadi krusial dalam menciptakan kota pintar yang berbasis keberlanjutan. Hal
ini juga berperan penting dalam mengubah perilaku masyarakat dan bisnis menuju
praktek yang lebih ramah lingkungan, menjadikan konsep Adoption technology
(AT) sebagai elemen kunci dalam mewujudkan visi kota pintar yang Green Eco-
Friendly.

2.1.5.2. Pengukuran Adoption technology (AT)

Pengukuran adopsi teknologi dalam konteks smart city dapat dilakukan


melalui berbagai pendekatan yang mencakup beberapa dimensi penting. Pertama,
dapat diukur melalui tingkat penetrasi teknologi, yaitu sejauh mana teknologi
yang baru diadopsi dan digunakan oleh masyarakat dan pemerintah kota. Kedua,
dapat melibatkan pengukuran efisiensi dan efektivitas teknologi dalam
meningkatkan layanan publik dan pengelolaan sumber daya kota. Selanjutnya,
dapat dianalisis berdasarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam penggunaan
teknologi smart city. Selain itu, pengukuran adopsi teknologi juga mencakup
evaluasi dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang dihasilkan dari
implementasi teknologi
(Himeur et al., 2022; Kar & Varsha, 2023b, 2023c, 2023d; Kennedy, 2020b)
. Data penggunaan aplikasi pintar, konektivitas perangkat, dan
ketersediaan infrastruktur digital dapat digunakan sebagai indikator penting.
Selain itu, survei, wawancara, dan analisis data dapat membantu dalam mengukur
persepsi masyarakat terhadap teknologi smart city dan sejauh mana teknologi
tersebut memenuhi kebutuhan mereka serta tujuan keberlanjutan kota
(Ninevi Pašali et al., 2021b
.

Tabel 2.7. Dimensi Pengukuran Adoption Technology


53

N NAMA AHLI DIMENSI PENGUKURAN ADOPTION TECHNOLOGY


O DAN TAHUN (AT)

1 Everett Rogers 1. Kecepatan adopsi (Rate of Adoption)


(1962) 2. Difusi inovasi (Innovation Diffusion)
3. Kompleksitas teknologi (Technology Complexity)
4. Kompatibilitas (Compatibility)
5. Pengamatan (Observability)

2 Venkatesh et al. 1. Ekspektasi kinerja (Performance Expectancy


(2003) 2. Kemudahan penggunaan (Effort Expectancy)
3. Norma sosial (Social Influence)
4. Kondisi dukungan (Facilitating Conditions)

3 Davis et al. 1. Persepsi kegunaan (Perceived Usefulness)


(1989) 2. Persepsi kemudahan penggunaan (Perceived Ease of
Use)

4 Geoffrey Moore 1. Tahap adopsi (Adoption Stage)


(1991) 2. Segmentasi pasar (Market Segmentation)

5 Don Norman 1. Desain pengalaman pengguna (User Experience


(1998) Design)

6 Jeffery (2003) 1. Faktor psikologis dan sosial dalam adopsi teknologi.

Dari berbagai dimensi yang disajikan, dimensi yang paling cocok dalam
konteks Green Eco-Friendly untuk Branding Smart City adalah dimensi yang
mencakup faktor-faktor lingkungan dan sosial. Oleh karena itu, dimensi dari
Venkatesh et al. (2003) yang mencakup ekspektasi kinerja, kemudahan
penggunaan, norma sosial, dan kondisi dukungan sangat relevan. Penerapan
teknologi hijau dalam kota pintar dapat sangat dipengaruhi oleh bagaimana
teknologi tersebut dinilai dalam hal kinerja yang mendukung keberlanjutan,
kemudahan penggunaan yang mengurangi dampak lingkungan, norma sosial yang
mendorong perilaku hijau, serta kondisi dukungan yang memfasilitasi penerapan
teknologi ramah lingkungan (Lian et al., 2022; Xie et al., 2022) .
Mempertimbangkan faktor-faktor ini dalam strategi pemasaran dapat membantu
menciptakan citra kota pintar yang Green Eco-Friendly yang berdaya tarik bagi
penduduk dan investasi.
54

2.1.6. Natural Resource (NR)

Natural Resource (NR) dalam perspektif Theory of Planned Behavior


(TPB) dan Green Marketing dilihat sebagai faktor yang memengaruhi niat dan
perilaku individu terkait dengan keberlanjutan lingkungan. Ahli yang
mempertimbangkan hal ini adalah Ajzen, Icek (1991) dalam TPB: Icek Ajzen
dalam TPB menggambarkan bahwa sikap (Attitude), norma subjektif (Subjective
Norm), dan kendali perilaku yang dirasakan (Perceived Behavioural Control)
adalah faktor-faktor yang memengaruhi niat dan perilaku individu dalam konteks
keberlanjutan lingkungan. Dalam TPB, sikap mengacu pada penilaian individu
tentang apakah perilaku yang berkelanjutan, seperti pengelolaan Natural
Resource, baik atau buruk. Norma subjektif adalah pengaruh dari orang-orang
yang diberikan individu, sementara kendali perilaku yang dirasakan adalah
persepsi individu tentang sejauh mana mereka memiliki kendali atas perilaku
tersebut (Natu & Aparicio, 2022a, 2022b; Saeed et al., 2019).

Peattie, S. dan Peattie, S. (2003) dalam Green Marketing: Menurut Peattie


dan Peattie, dalam konteks Green Marketing, Natural Resource (NR) menjadi
fokus penting dalam upaya mempromosikan produk dan layanan yang ramah
lingkungan. Dengan menekankan pentingnya mengkomunikasikan informasi
tentang penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan dalam
pemasaran (Igalla et al., 2020; Tiago et al., 2021c) , serta bagaimana hal ini dapat
memengaruhi perilaku konsumen. Dalam konsep Green Marketing, konsumen
cenderung lebih memilih produk dan layanan yang dianggap ramah lingkungan,
yang melibatkan pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana.

Dengan mempertimbangkan pandangan dari Ahli Icek Ajzen dalam TPB


dan Peattie dan Peattie dalam Green Marketing, Natural Resource (NR) menjadi
unsur penting dalam memahami niat dan perilaku individu terkait dengan
keberlanjutan lingkungan serta dalam mempromosikan produk dan layanan yang
ramah lingkungan.
55

2.1.6.1. Definisi Natural Resource (NR)

Dalam konteks Branding Smart City berbasis Green Eco-Friendly ,


pemahaman mendalam tentang konsep Natural Resource (NR) dari berbagai
ahli memberikan landasan yang kokoh untuk mempromosikan penerapan
teknologi hijau dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Pemahaman tentang peran sumber daya alam sebagai modal ekonomi dan
lingkungan yang mendukung pertumbuhan kota pintar yang berkelanjutan
menjadi kunci untuk menciptakan citra yang kuat
(Flagstad et al., 2022; Kulkov et al., 2023b; Stone, 2021a)
. Dengan fokus pada efisiensi penggunaan sumber daya
alam dan pelestarian lingkungan, Smart City dapat membangun identitas yang
Green Eco-Friendly yang menarik bagi penduduk dan investasi
(M. A. S. Khan et al., 2022; Song et al., 2023; Wei e
. berdasarkan tabel 2.8 dengan 10
definisi konsep Natural Resource (NR) menurut beberapa ahli beserta tahunnya.

Tabel 2.8. Definisi Natural Resource (NR) Menurut para ahli

NAMA AHLI DAN DEFINISI NATURAL RESOURCE


TAHUN

TURNER, R. K. (1992) Sumber daya alam adalah komponen penting dari ekosistem yang
memberikan manfaat bagi manusia, termasuk bahan baku dan
layanan ekosistem.

COSTANZA, R. ET Natural Resource (NR) mencakup sumber daya alam dan


AL. (1997) lingkungan fisik yang berperan dalam mendukung kehidupan
manusia dan aktivitas ekonomi.

DALY, H. E. (1996) Natural Resource (NR) adalah modal alam yang memberikan
kemakmuran, tetapi penggunaannya harus bijaksana agar tidak
merusak lingkungan.

MEADOWS, D. H. ET Sumber daya alam adalah komponen alam yang memberikan


AL. (1972) kebutuhan material dan energi manusia.

TIETENBERG, T. H. Natural Resource (NR) adalah aset alam yang dapat


56

(2003) dimanfaatkan dan dikelola untuk tujuan ekonomi dan sosial.

OSTROM, E. (1990) Natural Resource (NR) mencakup sumber daya bersama yang
memerlukan pengelolaan kolektif untuk mencegah degradasi.

PANAYOTOU, T. Natural Resource (NR) adalah modal ekonomi yang


(1995) memberikan dukungan bagi pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan sosial.

WORLD BANK (1997) Sumber daya alam mencakup berbagai bahan baku, energi, air,
tanah, dan berbagai ekosistem yang memengaruhi kehidupan
manusia.

UNITED NATIONS Natural Resource (NR) adalah komponen alam yang penting
(1992) bagi perkembangan ekonomi, sosial, dan lingkungan berkelanjutan.

HETTIGE, H. ET AL. Natural Resource (NR) mencakup bahan baku, sumber daya air,
(2000) energi, dan sumber daya alam lainnya yang digunakan untuk
keperluan manusia.

2.1.6.2. Pengukuran Natural Resource (NR)

Pengukuran Natural Resource (NR) dalam konteks Branding Smart City


berbasis Green Eco-Friendly dapat mencakup berbagai dimensi yang menilai
efisiensi penggunaan sumber daya alam, pengelolaan yang berkelanjutan, dan
dampak lingkungan. Berikut adalah tabel dengan dimensi pengukuran Natural
Resource (NR) menurut beberapa ahli:

Tabel 2.8. Dimensi dari Natural Resource

Nama Ahli Dan Tahun Dimensi Pengukuran Natural Resource

Turner, R. K. (1992) 1. Resource Use Efficiency


2. Environmental Impact

Costanza, R. et al. (1997) 1. Sustainability of Natural Resources


2. Use of Green Technology

Ostrom, E. (1990) 1. Collective Management


2. Prevention of Degradation

World Bank (1997) 1. Raw Materials


2. Energy
57

3. Water
4. Land

United Nations (1992) 1. Sustainable Economic,


2. Social, and
3. Environmental Development

Dalam konteks Branding Smart City berbasis Green Eco-Friendly , dimensi yang
relevan dalam pengukuran Natural Resource (NR) adalah turner, r.k, 1992 dan
Costanza, r.et.al, 1997, yaitu:

1. Efisiensi penggunaan sumber daya alam (Resource Use Efficiency): Mengukur


sejauh mana sumber daya alam digunakan dengan efisien untuk mendukung
aktivitas kota pintar yang berkelanjutan.
2. Dampak lingkungan (Environmental Impact): Mengukur dampak dari
pengelolaan sumber daya alam terhadap lingkungan, termasuk upaya untuk
mengurangi dampak negatif.
3. Keberlanjutan sumber daya alam (Sustainability of Natural Resources):
Mengukur sejauh mana sumber daya alam dikelola dengan bijaksana untuk
mendukung pertumbuhan jangka panjang.
4. Penggunaan teknologi ramah lingkungan (Use of Green Technology): Mengukur
adopsi teknologi yang mendukung pengelolaan sumber daya alam yang
berkelanjutan.

Dengan mengukur dan memantau dimensi-dimensi ini, Smart City dapat memastikan
bahwa pengelolaan Natural Resource (NR) berkontribusi positif pada citra Green Eco-
Friendly yang mereka bangun, menarik penduduk dan investasi yang berorientasi pada
keberlanjutan lingkungan.

2.1.7. Konsep Living Culture (LC)

Living Culture (LC), dalam konteks Green Marketing, mengacu pada


budaya, nilai-nilai, norma, dan perilaku masyarakat yang didasarkan pada
keberlanjutan lingkungan dan kesadaran akan isu-isu lingkungan. Ini
mencerminkan cara hidup dan pandangan dunia yang berpusat pada pelestarian
58

sumber daya alam, pengurangan dampak lingkungan, dan keberlanjutan. Living


Culture (LC) melibatkan cara individu dan komunitas berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya, mempertimbangkan dampak ekologis dalam keputusan
sehari-hari, dan menerapkan tindakan yang mendukung lingkungan yang lebih
sehat. David C. Korten, seorang ahli di bidang pembangunan berkelanjutan,
berpendapat bahwa Living Culture (LC) yang berpusat pada keberlanjutan adalah
kunci untuk menghadapi tantangan lingkungan dan ekonomi saat ini. Dia
menekankan pentingnya mengubah budaya konsumen dari konsumsi berlebihan
menjadi kepuasan berkelanjutan, yang mencakup memprioritaskan produk dan
layanan yang lebih ramah lingkungan.

Ahli dalam studi perilaku konsumen, seperti Shrum, L. J., McCarty, J. A.,
dan Lowrey, T. M., telah menyoroti bagaimana norma sosial dan budaya
masyarakat memengaruhi perilaku konsumen. Mereka menekankan bahwa
perubahan budaya dan norma sosial yang mendukung keberlanjutan lingkungan
dapat memengaruhi preferensi konsumen terhadap produk yang ramah lingkungan
dan berdampak positif pada strategi pemasaran yang berfokus pada Living Culture
(LC). Dalam Living Culture (LC), individu dan masyarakat umumnya memiliki
kesadaran yang lebih tinggi tentang masalah lingkungan, termasuk perubahan
iklim, pelestarian sumber daya alam, dan polusi. Mereka cenderung mengadopsi
perilaku yang ramah lingkungan, seperti pengurangan penggunaan energi,
penggunaan transportasi berkelanjutan, dan penggunaan produk yang dihasilkan
secara berkelanjutan. Living Culture (LC) juga mencakup norma sosial yang
mendukung keberlanjutan lingkungan, seperti mendukung produk dan layanan
yang berkelanjutan, serta berpartisipasi dalam inisiatif komunitas yang berfokus
pada lingkungan.

Dalam praktiknya, Living Culture (LC) dilihat pada Green Marketing


menjadi penting dalam merancang strategi pemasaran yang menarik bagi
konsumen yang peduli terhadap isu-isu lingkungan. Mereka cenderung lebih
memilih produk dan layanan yang dianggap ramah lingkungan, dan perusahaan
59

yang menganut Living Culture (LC) dalam bisnis mereka


(Allal-Chérif & Bidan, 2017b; Compagnuc
.

Oleh karena itu, pemahaman dan penerapan Living Culture (LC) dalam
pemasaran membantu menciptakan hubungan yang lebih kuat antara merek dan
konsumen yang memiliki nilai-nilai keberlanjutan
(Al-Debei et al., 2022; García-Monleón et al., 202
, serta berkontribusi pada upaya
bersama untuk menciptakan dunia yang lebih hijau.

2.1.7.1. Definisi Living Culture (LC)

Definisi Living Culture (LC) yang ideal bagi Branding Smart City
berbasis Green Eco-Friendly(GE-F) menurut beberapa ahli, yaitu;

Tabel 2.9. Definisi Living Culture (LC)

Nama Ahli Dan Tahun Definisi Living Culture (Lc)

Shrum, L. J. et al. (2011) Living Culture (LC) adalah budaya yang


mempromosikan perilaku konsumen yang peduli
lingkungan, memprioritaskan produk dan layanan ramah
lingkungan dalam kehidupan sehari-hari.

Steg, L., & Vlek, C. (2009) Living Culture (LC) mencakup norma sosial yang
mendukung penggunaan energi yang efisien, transportasi
berkelanjutan, dan pengelolaan sumber daya alam yang
bijaksana.

Schultz, P. W. (2011) Living Culture (LC) adalah cara hidup yang


mencerminkan komitmen terhadap praktik-praktik
berkelanjutan, termasuk pengurangan konsumsi dan
penggunaan produk berkelanjutan.

Scott, C. (2010) Living Culture (LC) mencakup kepercayaan dan


nilai-nilai yang mengedepankan pelestarian lingkungan,
berkontribusi pada upaya kota untuk menjadi lebih hijau.

Gatersleben, B., Steg, L., & Vlek, Living Culture (LC) mencerminkan norma sosial
C. (2002) yang mendorong partisipasi dalam inisiatif komunitas
yang berfokus pada keberlanjutan dan lingkungan.

Schultz, P. W., & Kaiser, F. G. Living Culture (LC) adalah budaya yang
(2012) memberikan penghargaan pada individu yang mengambil
tindakan lingkungan yang positif, seperti daur ulang dan
hemat energi.
60

Hines, J. M., Hungerford, H. R., & Living Culture (LC) mencakup budaya di mana
Tomera, A. N. (1986) individu merasa bertanggung jawab terhadap pelestarian
sumber daya alam dan mempraktikkan tindakan
lingkungan dalam kehidupan sehari-hari.

Dolan, P., Galizzi, M. M., & Living Culture (LC) mencerminkan norma-norma
Navarro-Martínez, D. (2015) sosial yang mendukung keputusan konsumen untuk
memprioritaskan produk dan layanan yang mendukung
keberlanjutan.

Kollmuss, A., & Agyeman, J. Living Culture (LC) adalah budaya yang
(2002) mendorong individu untuk mempertimbangkan dampak
lingkungan dalam keputusan mereka, termasuk konsumsi,
transportasi, dan gaya hidup.

Thøgersen, J. (2006) Living Culture (LC) mencakup norma-norma sosial


yang menekankan praktik-praktik berkelanjutan dan
memandang konsumsi berlebihan sebagai sesuatu yang
tidak diinginkan.

Kesimpulan Living Culture (LC) bagi Branding Smart City berbasis Green
Eco-Friendly adalah sebuah budaya yang mengedepankan perilaku konsumen
yang peduli terhadap lingkungan. Ini mencakup norma sosial, nilai-nilai, dan
tindakan sehari-hari yang mendukung penggunaan sumber daya alam yang
bijaksana, pengurangan dampak lingkungan, serta pemilihan produk dan layanan
yang ramah lingkungan. Dalam konteks Smart City, Living Culture (LC)
mencerminkan komitmen masyarakat untuk mendukung praktik-praktik
berkelanjutan, mengadopsi teknologi hijau, dan berpartisipasi dalam inisiatif
lingkungan. Dengan memahami dan mempromosikan Living Culture (LC) ini,

2.1.7.2.Pengukuran Living Culture (LC)

Pengukuran dimensi Living Culture (LC) dapat melibatkan berbagai


aspek yang mencerminkan budaya, norma, dan perilaku yang berorientasi pada
keberlanjutan lingkungan. Berikut adalah tabel dengan dimensi Living Culture
(LC)menurut beberapa ahli beserta tahunnya:

Tabel 2.10 Dimensi Living Culture (LC)


61

No Nama Ahli Dan Tahun Dimensi Living Culture (Lc)


1 Shrum, L. J. et al. (2011) 1. Prioritizing Eco-Friendly Products and Services
2. Engaging in Sustainability-Oriented Community
Activities
2 Steg, L., & Vlek, C. 1. Efficient Energy Use
(2009) 2. Sustainable Transportation Choices
3 Schultz, P. W. (2011) 1. Sustainable Consumption
2. Belief in Sustainability
4 Scott, C. (2010) 1. Sustainability as a Cultural Value
2. Contributing to Sustainability Initiatives

Dalam konteks Branding Smart City berbasis Green Eco-Friendly ,


dimensi yang lebih cocok untuk diimplementasikan dalam penelitian diambil dari
Shrum, L. J. et al. (2011) yaitu dua dimensi yang potensial untuk
diimplementasikan adalah:

1. Prioritas konsumen terhadap produk dan layanan yang ramah lingkungan:


Ini mencerminkan sejauh mana penduduk kota memprioritaskan produk
dan layanan yang mendukung keberlanjutan lingkungan dalam keputusan
pembelian mereka. Ini relevan karena Smart City dapat mempromosikan
produk dan layanan yang ramah lingkungan.
2. Partisipasi dalam kegiatan komunitas yang berfokus pada keberlanjutan:
Ini mencakup sejauh mana masyarakat aktif terlibat dalam inisiatif
komunitas yang berorientasi pada keberlanjutan. Ini dapat membantu
memahami sejauh mana budaya komunitas mendukung keberlanjutan dan
bagaimana komunitas mendukung upaya Smart City untuk menjadi lebih
hijau.

2.1.8. Transportasion and Mobility (TM)

Dalam konteks Green Marketing dan Branding kota pintar berbasis Green
Eco-Friendly , Transportasi dan Mobilitas (TM) adalah aspek kunci yang perlu
diperhatikan. TM mencakup sistem transportasi kota, pilihan mobilitas, dan
norma-norma perilaku terkait transportasi yang mendukung pengurangan dampak
62

lingkungan dan pemakaian sumber daya alam yang bijaksana. Dalam bidang
Green Marketing, Philip Kotler, seorang pakar pemasaran terkemuka,
menggarisbawahi pentingnya mengintegrasikan aspek lingkungan dalam strategi
pemasaran sebagai upaya untuk memenuhi tuntutan konsumen yang semakin
peduli terhadap isu-isu keberlanjutan.

Sementara itu, David B. Montgomery menekankan bahwa perusahaan


harus berinvestasi dalam komunikasi yang kuat tentang komitmen mereka
terhadap praktik bisnis yang ramah lingkungan guna memperkuat citra merek dan
memenangkan hati konsumen yang semakin cerdas tentang isu-isu lingkungan.
Philip Kotler telah mengemukakan pandangan ini dalam berbagai publikasi dan
buku sejak awal tahun 1970-an hingga saat ini. Pendapat David B. Montgomery
tentang pentingnya komunikasi komitmen lingkungan bisnis perusahaan juga
terdokumentasi dalam berbagai karyanya sepanjang karirnya, khususnya pada
tahun 1990-an dan awal 2000-an. Pemaparan mengenai Transportasi dan
Mobilitas dari perspektif Green Marketing dan Branding kota pintar berbasis
Green Eco-Friendly adalah sebagai berikut:

1. Pengurangan Emisi Karbon: Salah satu fokus utama dalam Branding kota
pintar berbasis Green Eco-Friendly adalah pengurangan emisi karbon.
TM harus dirancang untuk mengurangi penggunaan kendaraan berbahan
bakar fosil dan meningkatkan penggunaan transportasi berkelanjutan
seperti transportasi umum, sepeda, dan berjalan kaki. Ini menciptakan
kesempatan untuk menciptakan citra kota yang peduli terhadap lingkungan
dengan mengurangi kontribusi terhadap perubahan iklim.
2. Fasilitas Transportasi Ramah Lingkungan: Smart City yang berfokus pada
keberlanjutan perlu menyediakan fasilitas transportasi yang ramah
lingkungan. Ini mencakup infrastruktur untuk transportasi umum, jalur
sepeda yang aman, dan dukungan untuk kendaraan listrik. Mendorong
penggunaan transportasi beremisi rendah dan memberikan akses yang
63

mudah ke pilihan mobilitas hijau adalah strategi yang mendukung


Branding kota sebagai tempat yang peduli lingkungan.
3. Kampanye Kesadaran Lingkungan: TM dapat menjadi alat efektif untuk
kampanye kesadaran lingkungan. Kota dapat mengadakan kampanye
untuk mengedukasi penduduk tentang manfaat transportasi berkelanjutan,
dampak emisi karbon, dan pentingnya penggunaan transportasi hijau.
Dalam Branding kota pintar, pendekatan ini menciptakan citra kota yang
progresif dalam menghadapi tantangan lingkungan.
4. Partisipasi Masyarakat: Membangun budaya mobilitas berkelanjutan
melibatkan partisipasi masyarakat. Smart City perlu melibatkan penduduk
dalam perencanaan dan pengembangan sistem transportasi yang ramah
lingkungan. Dengan melibatkan masyarakat, kota dapat menciptakan rasa
memiliki terhadap keberlanjutan lingkungan dan mempromosikan
Branding sebagai kota yang kolaboratif dan peduli terhadap lingkungan.

Dalam keseluruhan pemaparan Transportasi dan Mobilitas, penting untuk


memahami bahwa TM bukan hanya tentang infrastruktur fisik, tetapi juga tentang
budaya dan norma-norma yang mengelilingi transportasi. Membangun Living
Culture (LC) yang mendukung transportasi berkelanjutan dan memanfaatkannya
dalam strategi Branding adalah kunci dalam menciptakan citra Smart City yang
berbasis Green Eco-Friendly.

2.1.8.1. Definisi Transportasi dan Mobilitas

Berikut adalah definisi transportasi dan mobilitas menurut beberapa ahli


dalam konteks Green marketing:

Tabel 2.11. Definisi Transportasi dan Mobilitas Menurut Para Ahli

Nama Ahli Definisi Transportasi Dan Mobilitas

KOTLER DAN Transportasi adalah sistem yang memungkinkan orang dan barang
ARMSTRONG, 2018 bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Mobilitas adalah
64

kemampuan individu untuk bergerak dan memiliki akses ke


berbagai lokasi.

PEATTIE DAN Transportasi adalah proses fisik yang menghubungkan barang dari
PEATTIE, 2003 produsen ke konsumen. Mobilitas adalah konsep yang mencakup
mobilitas individu dan aksesibilitas ke berbagai jenis transportasi
ramah lingkungan.

POLONSKY DAN Transportasi adalah aspek dari rantai pasokan yang mempengaruhi
ROSENBERGER, ekonomi dan lingkungan. Mobilitas adalah kemampuan individu
2001 dan komunitas untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain
dengan cara yang berkelanjutan.

BELZ DAN Transportasi adalah bagian dari strategi rantai pasokan yang
PEATTIE, 2010 melibatkan pergerakan produk. Mobilitas adalah konsep yang
mencakup penggunaan transportasi ramah lingkungan dan pilihan
mobilitas yang berkelanjutan.

BELZ DAN Transportasi adalah elemen penting dalam rantai pasokan yang
PEATTIE dapat mempengaruhi jejak karbon. Mobilitas adalah kemampuan
individu untuk berpindah-pindah dengan menggunakan transportasi
berkelanjutan.

CHARTER DAN Transportasi adalah proses pengiriman barang yang melibatkan


POLONSKY, 1999 pergerakan fisik. Mobilitas adalah kemampuan individu untuk
bergerak dengan transportasi yang mengurangi dampak lingkungan.

GUMMESSON ET Transportasi adalah bagian dari sistem logistik yang berperan dalam
AL. 2008 menghubungkan produsen dan konsumen. Mobilitas adalah
kebebasan individu untuk berpindah dengan cara yang ramah
lingkungan.

LAROCHE ET AL. Transportasi adalah elemen kunci dalam rantai pasokan yang dapat
2001 mempengaruhi keberlanjutan. Mobilitas adalah cara individu
berpindah dengan meminimalkan dampak lingkungan.

OTTMAN ET AL. Transportasi adalah salah satu aspek dari rantai pasokan yang
2017 memengaruhi dampak lingkungan produk. Mobilitas adalah
65

kemampuan individu untuk bergerak dengan menggunakan


transportasi berkelanjutan.

PEATTIE DAN Transportasi adalah elemen penting dalam pengiriman barang dan
BELZ, 2012 dapat berkontribusi pada dampak lingkungan. Mobilitas adalah
kebebasan individu untuk berpindah dengan meminimalkan
dampak lingkungan.

Definisi di atas mencerminkan pemahaman para ahli dalam Green


marketing tentang hubungan antara transportasi dan mobilitas dengan
keberlanjutan lingkungan.

2.1.8.2.Pengukuran Dimensi Transportasi dan Mobilitas

Tabel 2.12, ini mencantumkan nama-nama ahli dan tahun, serta dimensi
yang terkait dengan definisi mereka dalam konteks transportasi dan mobilitas.
guna untuk mengevaluasi dan memahami bagaimana aspek-aspek tersebut dapat
diintegrasikan ke dalam strategi Branding dan komunikasi yang direncanakan
untuk Smart City yang berkelanjutan.

Tabel 2.12. Dimensi dari Transportasi dan Mobilitas

N Nama Ahli Dimensi Transportasi Dan Mobilitas Terkait


o
1 Kotler dan Armstrong, 2018 Sistem transportasi, pergerakan barang dan orang,
aksesibilitas, kemampuan individu untuk bergerak,
akses ke berbagai lokasi.
2 Peattie dan Peattie, 2003 Proses fisik yang menghubungkan produsen dan
konsumen, pergerakan barang, mobilitas individu,
aksesibilitas ke berbagai jenis transportasi ramah
lingkungan.
3 Polonsky dan Rosenberger, Pengaruh transportasi pada ekonomi dan lingkungan,
2001 rantai pasokan, kemampuan individu dan komunitas
untuk berpindah dengan cara yang berkelanjutan.
66

4 Belz dan Peattie (Definisi Peran transportasi dalam rantai pasokan, pergerakan
Pertama), 2010 produk, penggunaan transportasi ramah lingkungan,
pilihan mobilitas berkelanjutan.
5 Belz dan Peattie (Definisi Pengaruh transportasi pada jejak karbon, elemen
Kedua), 2010 penting dalam rantai pasokan, kemampuan individu
untuk berpindah dengan transportasi berkelanjutan.
6 Charter dan Polonsky, 1999 Proses pengiriman barang, pergerakan fisik,
kemampuan individu untuk bergerak dengan
transportasi yang mengurangi dampak lingkungan.
7 Gummesson et al. 2008 Peran transportasi dalam sistem logistik,
menghubungkan produsen dan konsumen, kebebasan
individu untuk berpindah dengan cara yang ramah
lingkungan.
8 Laroche et al.2001 Peran kunci dalam rantai pasokan, dampak pada
keberlanjutan, cara individu berpindah dengan
meminimalkan dampak lingkungan.
9 Ottman et al.2017 Pengaruh transportasi pada dampak lingkungan
produk, aspek rantai pasokan, kemampuan individu
untuk bergerak dengan transportasi berkelanjutan.
10 Peattie dan Belz, 2012 Peran dalam pengiriman barang, kontribusi pada
dampak lingkungan, kebebasan individu untuk
berpindah dengan meminimalkan dampak
lingkungan.

Untuk penelitian Branding Smart City berbasis Green Eco-Friendly yang


berfokus pada transportasi dan mobilitas, dimensi yang paling relevan dapat
mencakup:

1. Kesesuaian Lingkungan: Dimensi ini akan menilai sejauh mana sistem


transportasi dan mobilitas dalam Smart City mengurangi dampak negatif
pada lingkungan, seperti polusi udara, emisi karbon, dan kerusakan
lingkungan. Ini sesuai dengan fokus pada Green dan Eco-Friendly .

2. Kemudahan Aksesibilitas: Ini akan mengukur ketersediaan akses mudah


ke sistem transportasi umum dan berkelanjutan, yang merupakan aspek
67

penting dalam membuat Smart City yang ramah lingkungan lebih mudah
diakses oleh warga.

3. Inovasi Teknologi: Dimensi ini akan menilai sejauh mana teknologi


canggih digunakan dalam sistem transportasi dan mobilitas untuk
meningkatkan keberlanjutan dan efisiensi. Inovasi teknologi bisa menjadi
bagian penting dari Branding Smart City yang modern dan berkelanjutan.

4. Kendaraan Ramah Lingkungan: Ini akan mengukur penggunaan


kendaraan dengan emisi rendah atau nol, seperti mobil listrik atau
transportasi umum berbasis energi terbarukan.

5. Integrasi Moda Transportasi: Tingkat integrasi berbagai moda


transportasi, seperti bus, kereta, sepeda, dan jalur pejalan kaki, yang
mempromosikan mobilitas yang berkelanjutan dan meminimalkan
penggunaan kendaraan pribadi.

2.2. Kerangka Pemikiran

Berbagai konstituen pada penyelenggaraan kota-kota di Indonesia dapat


dikategorikan masyarakat, termasuk didalamnya para pengunjung yang
melakukan destinasi wisata, pengusaha atau pengelola tempat wisata dan
masyarakat aseli. Dalam penelitian ini, pengunjung destinasi wisata dipandang
sebagai konsumen utama dari kota-kota yang bermerek smart city sehingga
hubungan dengan para wisatawan yang berfokus pada reflikasi hubungan
(relationship marketing, Morgan dan Hunt, 1994, Parasuraman et al 1988, Dwyer,
Schurr, dan Oh 1987) dan memandang perilaku para wisatawan sebagai faktor
yang sangat penting dalam meningkatkan keterikatan masyarakat pada rasa
percaya dari sebuah branding smart city. menurut teori TPB (Theory Of Planned
Behavior, Icek Ajzen 1991) seharusnya para wisatawan yang tergolong sebagai
masyarakat mempunyai mina tatas sebuah ketertarikan dari nilai yang tercipta
pada branding smart city berbasis green eco-friendly sehingga dapat berkomitmen
68

dengan perilaku yang pasti memperdulikan lingkungan, dan hal ini akan menjadi
faktor yang sangat penting untuk dapat membentuk branding smart city yang
ideal sebagai perwujudan implementasi teori Strategic Brand Management
(Judsen, dkk (2006), Nguyen dan melawar (2015) sebuah perencanaan kota pintar
di Indonesia.

Produk dan layanan pada branding Smart city tentu saja sebuah rangkaian
yang akan mencerminkan identitas dari citra merek kota tersebut, dengan berbasis
green eco-friendly dalam teori Green Marketing (Lovelock (1979). Michael
Porter (1999)), bahwa manusia dapat merasakan fasililtas dan dapat
mengintrepetasikan perilakunya atas dampak dari interaksi kebutuhan dan
penawaran melalui hal yang mengadopsi berdasarkan kerangka kerja yang peduli
terhadap lingkungan, ramah lingkungan yang tidak hanya saja bertumpu pada
perilaku manusianya, akan tetapi penggunaan sumber daya natural (NR) seperti
dikatakan oleh Jeyung yang, dkk (2020), akan tetapi makna lebih luas sikap peduli
lingkungan ini akan tercermin dari kebiasaan yang tercipta membentuk sebuah
budaya hidup (LC) dari penelitian terdahulu oleh Shouwen wang, 2021, dan tidak
lepas juga dari kepedulian masyarakat dalam memilih dadmpak dari
transportation dan mobility yang mengukur seberapa jauh efeknya pada alam.

Berkontriibusi banyak pemabahsan mengenai perilaku, middle theory Of


Planned Behavior sehingga pada akhirnya membentuk sebuah konstruk baru
yaitu behavioural Eco-Intentions (BE-I) dalam penelitian ini. TPB yang
mempunya unsur turunan penting didalamnya mengenai sudut strategic yang
dihasilkan oleh extend planned behaviour, lalu sudut process dan teknis dari unsur
interpersonal behaviout dan reasoned Action yang menjadikan kemunculan
dimensi dari konstruk baru BE-I.

Konsep baru behavioural Eco-Intentions dikembangkan dari sudut


process dan teknis dari unsur interpersonal behaviout dan reasoned Action yaitu
poin development behavioural, behavioural intentions, eco-firendly. Sintesa dari
dari ke 3 aspek dalam TPB ini membentuk behavioural eco-intentions. BE-I ini
69

diajukan sebagai sebuah kebaharuan dan melengkapi konstruk behaviour dan eco-
intentions yang telah ada sebelumnya. BE-I merupakan gagasan yang di ususlan
agar dapat memediasi gap reseacrh yaitu menjadi perantara antara green eco-
friendly pada sebuah branding smart city begitu pula untuk mengukur green eco-
friendly untuk dapat meningkatkan public engagement. Perihal ini ditegaskan
dengan kelogisan mengingat bahwa dasar teori TPB yang melahirkan konstruk
BE-I berfokus pada pembentukan komitmen perilaku peduli lingkungan agar
mengikat public untuk memperkuat citra dari branding smart city.

Berdasarkan hubungan antar variabel yang telah diriuraikan diatas maka


dapat digambarkan kerangka pemikiran seperti pada Gambar 2.13.

Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu kerangka konseptual


dalam domain pemasaran yang berfokus pada BE-I (Behaviour Eco-Intentions).
Untuk mencapai tujuan tersebut, dengan telah melakukan tinjauan literatur yang
komprehensif dengan merujuk kepada teori-teori dan temuan-temuan penelitian
empiris yang relevan. Tinjauan literatur ini bertujuan untuk memperkuat dan
70

memperkaya model konseptual yang sedang dikembangkan. Model konseptual


tersebut kemudian akan menjadi dasar bagi pengembangan hipotesis empiris
dalam penelitian ini.

Penelitian ini mengacu pada teori-teori tingkat tinggi (grand theory) dan
teori tingkat menengah (middle range theory) yang telah ada sebelumnya, dengan
alasan bahwa teori ini dianggap memiliki potensi untuk mengatasi ketidakpastian
hasil penelitian empiris sebelumnya yang masih belum memberikan kesimpulan
yang memuaskan. Dengan melakukan tinjauan pustaka ini, diharapkan akan
muncul proposisi-proposisi yang akan membentuk dasar dari model konseptual
yang selanjutnya akan diekspresikan dalam bentuk model empiris yang dapat diuji
dalam penelitian kami.

Gambar 2.14. menggambarkan Model BE-I yang dikembangkan untuk


penelitian yang bersumber dari inklonklusi Green-Eco-Friendly yang bersumber
dari teori Service Dominant Logic terhadapat Branding Smart city dengan
mengajukan Behavioural eco-Intentions sebagai mediator yang berasal dari
Theory Of Planned behavior

Gambar 2. 4. Model Behavioural Eco-Intentions Sebagai Behavior


Strategic dalam Strategic Branding Smart City
71

Pengembangan konsep Behavioural Eco-Intentions yang diajukan sebagai


mediasi untuk memberikan solusi atas penelitian terdahulu yang dinilai memberi
peluang untuk diselesaikan. Sebelum penelitian ini sampai pada tahap
pembuktian, berikut diajukan hipotesis bahwa mediasi yang dibentuk pada
penelitian ini sebagai solusi antara Green Eco-Friendly dengan Branding Smart
City yang masih inkonklusif. Selain itu, Public Engagement merupakan mediator
antara Green Eco-Friendly dengan Behavioural Eco-Intentions mengingat
keterikatan public dapat memformulasikan porsi GE-F yang ideal untuk dapat
memberikan citra merek yang kuat pada kota pintar di Indonesia.

2.3. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah


penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam
bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan
baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta
empiris yang diperoleh melalui pengumupulan data. Hipotesis juga dapat
dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum
jawaban yang empirik. Berdasarkan masalah dan kerangka pemikiran, maka
diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Terdapat pengaruh Adoption Teknologi (AT), Natural Resource(NR), dan


Living Culture (LC) dan Transportations and Mobility (MT) terhadap
Green Eco-Friendly pada branding Smart City Di Indonesia.
2. Terdapat pengaruh mediasi paralel Behavioural Eco-Intentions dan Public
Engagement pada Green Eco-Friendly terhadap Branding Smart city Di
Indonesia.
72

Referensi
Agrawal, R., Wankhede, V. A., Kumar, A., Luthra, S., & Huisingh, D. (2022). Big data analytics
and sustainable tourism: A comprehensive review and network based analysis for
potential future research. In International Journal of Information Management Data
Insights (Vol. 2, Issue 2). Elsevier B.V. https://doi.org/10.1016/j.jjimei.2022.100122

Ahmad, N., Li, S., Hdia, M., Bélas, J., & Hussain, W. M. H. W. (2023a). Assessing the
COVID-19 pandemic impact on tourism arrivals: The role of innovation to reshape the
future work for sustainable development. Journal of Innovation and Knowledge, 8(2).
https://doi.org/10.1016/j.jik.2023.100344
Ahmad, N., Li, S., Hdia, M., Bélas, J., & Hussain, W. M. H. W. (2023b). Assessing the
COVID-19 pandemic impact on tourism arrivals: The role of innovation to reshape the
future work for sustainable development. Journal of Innovation and Knowledge, 8(2).
https://doi.org/10.1016/j.jik.2023.100344
Al-Debei, M. M., Dwivedi, Y. K., & Hujran, O. (2022). Why would telecom customers
continue to use mobile value-added services? Journal of Innovation and Knowledge, 7(4).
https://doi.org/10.1016/j.jik.2022.100242
73

Allahar, H. (2020). What are the challenges of building a smart city? Technology Innovation
Management Review, 10(9). https://doi.org/10.22215/TIMREVIEW/1388
Allal-Chérif, O., & Bidan, M. (2017a). Collaborative open training with serious games:
Relations, culture, knowledge, innovation, and desire. Journal of Innovation and
Knowledge, 2(1), 31–38. https://doi.org/10.1016/j.jik.2016.06.003
Allal-Chérif, O., & Bidan, M. (2017b). Collaborative open training with serious games:
Relations, culture, knowledge, innovation, and desire. Journal of Innovation and
Knowledge, 2(1), 31–38. https://doi.org/10.1016/j.jik.2016.06.003
Allison, A. L., Baird, H. M., Lorencatto, F., Webb, T. L., & Michie, S. (2022). Reducing plastic
waste: A meta-analysis of influences on behaviour and interventions. Journal of Cleaner
Production, 380. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2022.134860
Aman-Ullah, A., Mehmood, W., Amin, S., & Abbas, Y. A. (2022). Human capital and
organizational performance: A moderation study through innovative leadership. Journal
of Innovation and Knowledge, 7(4). https://doi.org/10.1016/j.jik.2022.100261
Ananda, A. S., Hernández-García, Á., & Lamberti, L. (2016). N-REL: A comprehensive
framework of social media marketing strategic actions for marketing organizations.
Journal of Innovation and Knowledge, 1(3), 170–180.
https://doi.org/10.1016/j.jik.2016.01.003
Bakchan, A., Roy, A., & Faust, K. M. (2022). Leveraging water-wastewater data
interdependencies to understand infrastructure systems’ behaviors during COVID-19
pandemic. Journal of Cleaner Production, 367.
https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2022.132962
Bibi, A., Bibi, S., Abu-Dieyeh, M., & Al-Ghouti, M. A. (2023). Towards sustainable
physiochemical and biological techniques for the remediation of phenol from wastewater:
A review on current applications and removal mechanisms. In Journal of Cleaner
Production (Vol. 417). Elsevier Ltd. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2023.137810
Bossle, M. B., de Barcellos, M. D., & Vieira, L. M. (2015). Eco-innovative food in Brazil:
perceptions from producers and consumers. Agricultural and Food Economics, 3(1).
https://doi.org/10.1186/s40100-014-0027-9
Chauhan, A., Jakhar, S. K., & Chauhan, C. (2021). The interplay of circular economy with
industry 4.0 enabled smart city drivers of healthcare waste disposal. Journal of Cleaner
Production, 279. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2020.123854
Chen, R., Ramzan, M., Hafeez, M., & Ullah, S. (2023). Green innovation-green growth nexus
in BRICS: Does financial globalization matter? Journal of Innovation and Knowledge,
8(1). https://doi.org/10.1016/j.jik.2022.100286
Cheng, H., Li, D., & Luo, L. (2014). The Chinese perception of quality: model building and
analysis based on consumers’ perception. Journal of Chinese Management, 1(1).
https://doi.org/10.1186/s40527-014-0003-7
74

Compagnucci, L., Spigarelli, F., Coelho, J., & Duarte, C. (2021). Living Labs and user
engagement for innovation and sustainability. Journal of Cleaner Production, 289.
https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2020.125721
Coppola, A., & Verneau, F. (n.d.). An empirical analysis on technophobia/ technophilia in
consumer market segmentation. http://www.agrifoodecon.com/content/2/1/2
Corvello, V., Felicetti, A. M., Steiber, A., & Alänge, S. (2023). Start-up collaboration units as
knowledge brokers in Corporate Innovation Ecosystems: A study in the automotive
industry. Journal of Innovation and Knowledge, 8(1).
https://doi.org/10.1016/j.jik.2022.100303
Cossío-Silva, F. J., Revilla-Camacho, M. Á., & Vega-Vázquez, M. (2019a). The tourist loyalty
index: A new indicator for measuring tourist destination loyalty? Journal of Innovation
and Knowledge, 4(2), 71–77. https://doi.org/10.1016/j.jik.2017.10.003
Cossío-Silva, F. J., Revilla-Camacho, M. Á., & Vega-Vázquez, M. (2019b). The tourist loyalty
index: A new indicator for measuring tourist destination loyalty? Journal of Innovation
and Knowledge, 4(2), 71–77. https://doi.org/10.1016/j.jik.2017.10.003
Dhiman, P., & Arora, S. (2020a). A conceptual framework for identifying key employee
branding dimensions: A study of hospitality industry. Journal of Innovation and
Knowledge, 5(3), 200–209. https://doi.org/10.1016/j.jik.2019.08.003
Dhiman, P., & Arora, S. (2020b). A conceptual framework for identifying key employee
branding dimensions: A study of hospitality industry. Journal of Innovation and
Knowledge, 5(3), 200–209. https://doi.org/10.1016/j.jik.2019.08.003
Febriyantoro, M. T. (2020). Exploring YouTube Marketing Communication: Brand awareness,
brand image and purchase intention in the millennial generation. Cogent Business and
Management, 7(1). https://doi.org/10.1080/23311975.2020.1787733
Fisher-Buttinger, C., & Vallaster, C. (n.d.). CONNECTIVE BRANDING Building Brand Equity
in a Demanding World.
Flachenecker, F., Kornejew, M., & Janiri, M. L. (2022). The effects of publicly supported
environmental innovations on firm growth in the European Union. Journal of Cleaner
Production, 372. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2022.133429
Flagstad, I., Hauge, Å. L., & Kjøs Johnsen, S. Å. (2022). Certification dissonance:
Contradictions between environmental values and certification scheme requirements in
small-scale companies. Journal of Cleaner Production, 358.
https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2022.132037
Foreword by AMITABH KANT BRAND WARS Combat Strategies for Indian Brands RAJIV
GUPTE ANAND LIMAYE. (n.d.).
García-Monleón, F., Erdmann, A., & Arilla, R. (2023). A value-based approach to the adoption
of cryptocurrencies. Journal of Innovation and Knowledge, 8(2).
https://doi.org/10.1016/j.jik.2023.100342
75

Haavisto, V. E., & Linge, T. T. (2022). Internal crisis communication and Nordic leadership:
the importance of transparent and participative communication in times of crisis.
Scandinavian Journal of Hospitality and Tourism.
https://doi.org/10.1080/15022250.2022.2123038
He, Y., He, J., & Wen, N. (2023). The challenges of IoT-based applications in high-risk
environments, health and safety industries in the Industry 4.0 era using decision-making
approach. Journal of Innovation & Knowledge, 8(2), 100347.
https://doi.org/10.1016/j.jik.2023.100347
Hensel, R., Visser, R., Overdiek, A., & Sjoer, E. (2021). A small independent retailer’s
performance: Influenced by innovative strategic decision-making skills? Journal of
Innovation and Knowledge, 6(4), 280–289. https://doi.org/10.1016/j.jik.2021.10.002
Himeur, Y., Alsalemi, A., Bensaali, F., Amira, A., Varlamis, I., Bravos, G., Sardianos, C., &
Dimitrakopoulos, G. (2022). Techno-economic assessment of building energy efficiency
systems using behavioral change: A case study of an edge-based micro-moments solution.
Journal of Cleaner Production, 331. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2021.129786
Höflinger, P. J., Nagel, C., & Sandner, P. (2018). Reputation for technological innovation: Does
it actually cohere with innovative activity? Journal of Innovation and Knowledge, 3(1),
26–39. https://doi.org/10.1016/j.jik.2017.08.002
Hojnik, J., Ruzzier, M., Konečnik Ruzzier, M., Sučić, B., & Soltwisch, B. (2023). Challenges
of demographic changes and digitalization on eco-innovation and the circular economy:
Qualitative insights from companies. Journal of Cleaner Production, 396.
https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2023.136439
Hu, Y., & Wang, Y. (2020). Marketing research in China during the 40-year reform and
opening. In Frontiers of Business Research in China (Vol. 14, Issue 1). Springer.
https://doi.org/10.1186/s11782-019-0071-0
Huang, Y., Li, P., Wang, J., & Li, K. (2022a). Innovativeness and entrepreneurial performance
of female entrepreneurs. Journal of Innovation and Knowledge, 7(4).
https://doi.org/10.1016/j.jik.2022.100257
Huang, Y., Li, P., Wang, J., & Li, K. (2022b). Innovativeness and entrepreneurial performance
of female entrepreneurs. Journal of Innovation and Knowledge, 7(4).
https://doi.org/10.1016/j.jik.2022.100257
Hwang, J. A., Park, Y., & Kim, Y. (2016). Why do consumers respond to eco-labels? The case
of Korea. SpringerPlus, 5(1). https://doi.org/10.1186/s40064-016-3550-1
Hyllegard, K. H., Ogle, J. P., Yan, R. N., & Kissell, K. (2016). Consumer response to exterior
atmospherics at a university-branded merchandise store. Fashion and Textiles, 3(1).
https://doi.org/10.1186/s40691-016-0056-y
Igalla, M., Edelenbos, J., & van Meerkerk, I. (2020). What explains the performance of
community-based initiatives? Testing the impact of leadership, social capital,
76

organizational capacity, and government support. Public Management Review, 22(4),


602–632. https://doi.org/10.1080/14719037.2019.1604796
Ishida, K., Slevitch, L., & Siamionava, K. (2016). The effects of traditional and electronic
word-of-mouth on destination image: A case of vacation tourists visiting branson,
missouri. Administrative Sciences, 6(4). https://doi.org/10.3390/admsci6040012
Ismagilova, E., Hughes, L., Rana, N. P., & Dwivedi, Y. K. (2022). Security, Privacy and Risks
Within Smart Cities: Literature Review and Development of a Smart City Interaction
Framework. Information Systems Frontiers, 24(2). https://doi.org/10.1007/s10796-020-
10044-1
Ju, N., & Lee, K. H. (2020). Consumer resistance to innovation: smart clothing. Fashion and
Textiles, 7(1). https://doi.org/10.1186/s40691-020-00210-z
Kanda, W., Hjelm, O., Johansson, A., & Karlkvist, A. (2022). Intermediation in support
systems for eco-innovation. Journal of Cleaner Production, 371.
https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2022.133622
Kapoor, N., Ahmad, N., Nayak, S. K., Singh, S. P., Ilavarasan, P. V., & Ramamoorthy, P.
(2021). Identifying infrastructural gap areas for smart and sustainable tribal village
development: A data science approach from India. International Journal of Information
Management Data Insights, 1(2). https://doi.org/10.1016/j.jjimei.2021.100041
Kar, A. K., & Varsha, P. S. (2023a). Unravelling the techno-functional building blocks of
metaverse ecosystems – A review and research agenda. In International Journal of
Information Management Data Insights. Elsevier B.V.
https://doi.org/10.1016/j.jjimei.2023.100176
Kar, A. K., & Varsha, P. S. (2023b). Unravelling the techno-functional building blocks of
metaverse ecosystems – A review and research agenda. In International Journal of
Information Management Data Insights. Elsevier B.V.
https://doi.org/10.1016/j.jjimei.2023.100176
Kar, A. K., & Varsha, P. S. (2023c). Unravelling the techno-functional building blocks of
metaverse ecosystems – A review and research agenda. In International Journal of
Information Management Data Insights. Elsevier B.V.
https://doi.org/10.1016/j.jjimei.2023.100176
Kar, A. K., & Varsha, P. S. (2023d). Unravelling the techno-functional building blocks of
metaverse ecosystems – A review and research agenda. In International Journal of
Information Management Data Insights. Elsevier B.V.
https://doi.org/10.1016/j.jjimei.2023.100176
Kato, T. (2021). Functional value vs emotional value: A comparative study of the values that
contribute to a preference for a corporate brand. International Journal of Information
Management Data Insights, 1(2). https://doi.org/10.1016/j.jjimei.2021.100024
77

Kennedy, E. B. (2020a). Predictive rebound & technologies of engagement: science,


technology, and communities in wildfire management. Journal of Responsible
Innovation, 7(S1), 104–111. https://doi.org/10.1080/23299460.2020.1844954
Kennedy, E. B. (2020b). Predictive rebound & technologies of engagement: science,
technology, and communities in wildfire management. Journal of Responsible
Innovation, 7(S1), 104–111. https://doi.org/10.1080/23299460.2020.1844954
Khan, M. A. S., Du, J., Malik, H. A., Anuar, M. M., Pradana, M., & Yaacob, M. R. Bin. (2022).
Green innovation practices and consumer resistance to green innovation products:
Moderating role of environmental knowledge and pro-environmental behavior. Journal of
Innovation and Knowledge, 7(4). https://doi.org/10.1016/j.jik.2022.100280
Khan, S. A., Al Shamsi, I. R., Ghila, T. H., & Anjam, M. (2022). When luxury goes digital:
does digital marketing moderate multi-level luxury values and consumer luxury brand-
related behavior? Cogent Business & Management, 9(1).
https://doi.org/10.1080/23311975.2022.2135221
Kim, H. J., Ahn, S. K., & Forney, J. A. (2014). Shifting paradigms for fashion: from total to
global to smart consumer experience. In Fashion and Textiles (Vol. 1, Issue 1). Springer
Singapore. https://doi.org/10.1186/s40691-014-0015-4
Kim, Y. K., & Sullivan, P. (2019). Emotional branding speaks to consumers’ heart: the case of
fashion brands. In Fashion and Textiles (Vol. 6, Issue 1). Springer.
https://doi.org/10.1186/s40691-018-0164-y
Kulkov, I., Ivanova-Gongne, M., Bertello, A., Makkonen, H., Kulkova, J., Rohrbeck, R., &
Ferraris, A. (2023a). Technology entrepreneurship in healthcare: Challenges and
opportunities for value creation. Journal of Innovation and Knowledge, 8(2).
https://doi.org/10.1016/j.jik.2023.100365
Kulkov, I., Ivanova-Gongne, M., Bertello, A., Makkonen, H., Kulkova, J., Rohrbeck, R., &
Ferraris, A. (2023b). Technology entrepreneurship in healthcare: Challenges and
opportunities for value creation. Journal of Innovation and Knowledge, 8(2).
https://doi.org/10.1016/j.jik.2023.100365
Lambrechts, W., Gelderman, C. J., Semeijn, J., & Verhoeven, E. (2019). The role of individual
sustainability competences in eco-design building projects. Journal of Cleaner
Production, 208, 1631–1641. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2018.10.084
Lang, C., Armstrong, C. M., & Liu, C. (2016). Creativity and sustainable apparel retail models:
does consumers’ tendency for creative choice counter-conformity matter in sustainability?
Fashion and Textiles, 3(1). https://doi.org/10.1186/s40691-016-0076-7
Lee, S. M., & Trimi, S. (2018). Innovation for creating a smart future. Journal of Innovation
and Knowledge, 3(1), 1–8. https://doi.org/10.1016/j.jik.2016.11.001
Leminen, S., Rajahonka, M., Westerlund, M., & Hossain, M. (2021). Collaborative innovation
for sustainability in Nordic cities. Journal of Cleaner Production, 328.
https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2021.129549
78

Levidow, L., Lindgaard-Jørgensen, P., Nilsson, Å., Skenhall, S. A., & Assimacopoulos, D.
(2016). Process eco-innovation: Assessing meso-level eco-efficiency in industrial water-
service systems. Journal of Cleaner Production, 110, 54–65.
https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2014.12.086
Li, D., Ahn, J. S., Zhou, R., & Wu, B. (2009). A Study on the influence of country image on
purchase intention of Chinese consumers based on Fishbein’s model of reasoned action:
Focused on USA, Germany, Japan and South Korea. Frontiers of Business Research in
China, 3(4), 621–646. https://doi.org/10.1007/s11782-009-0030-2
Li, F., Wang, R., & Huisingh, D. (2014). Call for papers for a special volume of the Journal of
Cleaner Production on urban ecological infrastructure for healthier cities: governance,
management and engineering. Journal of Cleaner Production, 83, 1–4.
https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2014.07.041
Lian, G., Xu, A., & Zhu, Y. (2022). Substantive green innovation or symbolic green
innovation? The impact of ER on enterprise green innovation based on the dual
moderating effects. Journal of Innovation and Knowledge, 7(3).
https://doi.org/10.1016/j.jik.2022.100203
Luxury Brand Management ffirs 4 May 2012; 8:34:0. (n.d.).
Lv, Z., Wang, N., Ma, X., Sun, Y., Meng, Y., & Tian, Y. (2022). Evaluation Standards of
Intelligent Technology based on Financial Alternative Data. Journal of Innovation and
Knowledge, 7(4). https://doi.org/10.1016/j.jik.2022.100229
Mason, A. N., Brown, M., Mason, K., & Narcum, J. (2021). Pandemic effects on social media
marketing behaviors in India. Cogent Business and Management, 8(1).
https://doi.org/10.1080/23311975.2021.1943243
Melander, L., & Arvidsson, A. (2022). Green innovation networks: A research agenda. In
Journal of Cleaner Production (Vol. 357). Elsevier Ltd.
https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2022.131926
Micheels, E. T., & Boecker, A. (2017). Competitive strategies among Ontario farms marketing
direct to consumers. Agricultural and Food Economics, 5(1).
https://doi.org/10.1186/s40100-017-0079-8
Miller, L. F. (2015). Anticipating the ultimate innovation, volitional evolution: can it not be
promoted or attempted responsibly? Journal of Responsible Innovation, 2(3), 280–300.
https://doi.org/10.1080/23299460.2015.1107019
Mishra, R. K., Jothi, J. A. A., Urolagin, S., & Irani, K. (2023a). Knowledge based topic
retrieval for recommendations and tourism promotions. International Journal of
Information Management Data Insights, 3(1).
https://doi.org/10.1016/j.jjimei.2022.100145
Mishra, R. K., Jothi, J. A. A., Urolagin, S., & Irani, K. (2023b). Knowledge based topic
retrieval for recommendations and tourism promotions. International Journal of
79

Information Management Data Insights, 3(1).


https://doi.org/10.1016/j.jjimei.2022.100145
Natu, S., & Aparicio, M. (2022a). Analyzing knowledge sharing behaviors in virtual teams:
Practical evidence from digitalized workplaces. Journal of Innovation and Knowledge,
7(4). https://doi.org/10.1016/j.jik.2022.100248
Natu, S., & Aparicio, M. (2022b). Analyzing knowledge sharing behaviors in virtual teams:
Practical evidence from digitalized workplaces. Journal of Innovation and Knowledge,
7(4). https://doi.org/10.1016/j.jik.2022.100248
Naveed, R. T., Alhaidan, H., Halbusi, H. Al, & Al-Swidi, A. K. (2022). Do organizations really
evolve? The critical link between organizational culture and organizational innovation
toward organizational effectiveness: Pivotal role of organizational resistance. Journal of
Innovation and Knowledge, 7(2). https://doi.org/10.1016/j.jik.2022.100178
Neirotti, P., Raguseo, E., & Paolucci, E. (2016). Are customers’ reviews creating value in the
hospitality industry? Exploring the moderating effects of market positioning.
International Journal of Information Management, 36(6partA), 1133–1143.
https://doi.org/10.1016/j.ijinfomgt.2016.02.010
Ninčević Pašalić, I., Ćukušić, M., & Jadrić, M. (2021a). Smart city research advances in
Southeast Europe. International Journal of Information Management, 58.
https://doi.org/10.1016/j.ijinfomgt.2020.102127
Ninčević Pašalić, I., Ćukušić, M., & Jadrić, M. (2021b). Smart city research advances in
Southeast Europe. International Journal of Information Management, 58.
https://doi.org/10.1016/j.ijinfomgt.2020.102127
Nunes, S. A. S., Ferreira, F. A. F., Govindan, K., & Pereira, L. F. (2021). “Cities go smart!”: A
system dynamics-based approach to smart city conceptualization. Journal of Cleaner
Production, 313. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2021.127683
Pardalis, G., Mahapatra, K., & Mainali, B. (2022). Comparing public- and private-driven one-
stop-shops for energy renovations of residential buildings in Europe. Journal of Cleaner
Production, 365. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2022.132683
Park, J. S., & Ha, S. (2021). From information experiences to consumer engagement on brand’s
social media accounts. Fashion and Textiles, 8(1). https://doi.org/10.1186/s40691-021-
00246-9
Pryce, D., Kapelan, Z., & Memon, F. A. (2022). A comparative evaluation of the sustainability
of alternative aeration strategies in biological wastewater treatment to support net-zero
future. Journal of Cleaner Production, 374. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2022.134005
Puertas Medina, R. M., Martín Martín, J. M., Guaita Martínez, J. M., & Serdeira Azevedo, P.
(2022a). Analysis of the role of innovation and efficiency in coastal destinations affected
by tourism seasonality. Journal of Innovation and Knowledge, 7(1).
https://doi.org/10.1016/j.jik.2022.100163
80

Puertas Medina, R. M., Martín Martín, J. M., Guaita Martínez, J. M., & Serdeira Azevedo, P.
(2022b). Analysis of the role of innovation and efficiency in coastal destinations affected
by tourism seasonality. Journal of Innovation and Knowledge, 7(1).
https://doi.org/10.1016/j.jik.2022.100163
Reisch, L. A., Sunstein, C. R., Andor, M. A., Doebbe, F. C., Meier, J., & Haddaway, N. R.
(2021). Mitigating climate change via food consumption and food waste: A systematic
map of behavioral interventions. In Journal of Cleaner Production (Vol. 279). Elsevier
Ltd. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2020.123717
Ricard, L. M., Klijn, E. H., Lewis, J. M., & Ysa, T. (2017). Assessing public leadership styles
for innovation: a comparison of Copenhagen, Rotterdam and Barcelona. Public
Management Review, 19(2), 134–156. https://doi.org/10.1080/14719037.2016.1148192
Saeed, M. A., Farooq, A., Kersten, W., & Ben Abdelaziz, S. I. (2019). Sustainable product
purchase: does information about product sustainability on social media affect purchase
behavior? Asian Journal of Sustainability and Social Responsibility, 4(1).
https://doi.org/10.1186/s41180-019-0029-3
Sánchez-Vergara, J. I., Ginieis, M., & Papaoikonomou, E. (2021). The emergence of the
sharing city: A systematic literature review to understand the notion of the sharing city
and explore future research paths. In Journal of Cleaner Production (Vol. 295). Elsevier
Ltd. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2021.126448
Sancino, A., & Hudson, L. (2020). Leadership in, of, and for smart cities–case studies from
Europe, America, and Australia. Public Management Review, 22(5), 701–725.
https://doi.org/10.1080/14719037.2020.1718189
Santos-Vijande, M. L., López-Sánchez, J. Á., Loredo, E., Rudd, J., & López-Mielgo, N.
(2022). Role of innovation and architectural marketing capabilities in channelling
entrepreneurship into performance. Journal of Innovation and Knowledge, 7(2).
https://doi.org/10.1016/j.jik.2022.100174
Saura, J. R. (2021a). Using Data Sciences in Digital Marketing: Framework, methods, and
performance metrics. Journal of Innovation and Knowledge, 6(2), 92–102.
https://doi.org/10.1016/j.jik.2020.08.001
Saura, J. R. (2021b). Using Data Sciences in Digital Marketing: Framework, methods, and
performance metrics. Journal of Innovation and Knowledge, 6(2), 92–102.
https://doi.org/10.1016/j.jik.2020.08.001
Saura, J. R. (2021c). Using Data Sciences in Digital Marketing: Framework, methods, and
performance metrics. Journal of Innovation and Knowledge, 6(2), 92–102.
https://doi.org/10.1016/j.jik.2020.08.001
Schnurr, S., Homolar, A., Macdonald, M. N., & Rethel, L. (2014). Legitimizing claims for
‘crisis’ leadership in global governance: The discourse of nuclear non-proliferation.
Critical Discourse Studies, 12(2), 187–205.
https://doi.org/10.1080/17405904.2014.974636
81

Shahzad, M., Qu, Y., Rehman, S. U., & Zafar, A. U. (2022). Adoption of green innovation
technology to accelerate sustainable development among manufacturing industry. Journal
of Innovation and Knowledge, 7(4). https://doi.org/10.1016/j.jik.2022.100231
Shao, K., & Wang, X. (2023). Do government subsidies promote enterprise innovation?——
Evidence from Chinese listed companies. Journal of Innovation & Knowledge, 8(4),
100436. https://doi.org/10.1016/j.jik.2023.100436
Sigalat-Signes, E., Calvo-Palomares, R., Roig-Merino, B., & García-Adán, I. (2020a).
Transition towards a tourist innovation model: The smart tourism destination: Reality or
territorial marketing? Journal of Innovation and Knowledge, 5(2), 96–104.
https://doi.org/10.1016/j.jik.2019.06.002
Sigalat-Signes, E., Calvo-Palomares, R., Roig-Merino, B., & García-Adán, I. (2020b).
Transition towards a tourist innovation model: The smart tourism destination: Reality or
territorial marketing? Journal of Innovation and Knowledge, 5(2), 96–104.
https://doi.org/10.1016/j.jik.2019.06.002
Singh, A., Rana, N. P., & Parayitam, S. (2022). Role of social currency in customer experience
and co-creation intention in online travel agencies: Moderation of attitude and subjective
norms. International Journal of Information Management Data Insights, 2(2).
https://doi.org/10.1016/j.jjimei.2022.100114
Skare, M., Gavurova, B., & Kovac, V. (2023). Investigation of selected key indicators of
circular economy for implementation processes in sectorial dimensions. Journal of
Innovation and Knowledge, 8(4). https://doi.org/10.1016/j.jik.2023.100421
Skare, M., & Riberio Soriano, D. (2021). How globalization is changing digital technology
adoption: An international perspective. Journal of Innovation and Knowledge, 6(4), 222–
233. https://doi.org/10.1016/j.jik.2021.04.001
Skotis, A., Morfaki, C., & Livas, C. (2023). Identifying drivers of evaluation bias in online
reviews of city destinations. International Journal of Information Management Data
Insights, 3(2). https://doi.org/10.1016/j.jjimei.2023.100184
Song, S., Xing, Z., Wang, K., Zhao, H., Chen, P., Li, Z., & Zhou, W. (2023). 3D flower-like
mesoporous Bi4O5I2/MoS2 Z-scheme heterojunction with optimized photothermal-
photocatalytic performance. Green Energy and Environment, 8(1), 200–212.
https://doi.org/10.1016/j.gee.2021.03.013
Spandagos, C., Tovar Reaños, M. A., & Lynch, M. (2022). Public acceptance of sustainable
energy innovations in the European Union: A multidimensional comparative framework
for national policy. Journal of Cleaner Production, 340.
https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2022.130721
Stone, T. (2021a). Design for values and the city. Journal of Responsible Innovation, 8(3),
364–381. https://doi.org/10.1080/23299460.2021.1909813
Stone, T. (2021b). Design for values and the city. Journal of Responsible Innovation, 8(3),
364–381. https://doi.org/10.1080/23299460.2021.1909813
82

Sun, Y., Shahzad, M., & Razzaq, A. (2022a). Sustainable organizational performance through
blockchain technology adoption and knowledge management in China. Journal of
Innovation and Knowledge, 7(4). https://doi.org/10.1016/j.jik.2022.100247
Sun, Y., Shahzad, M., & Razzaq, A. (2022b). Sustainable organizational performance through
blockchain technology adoption and knowledge management in China. Journal of
Innovation and Knowledge, 7(4). https://doi.org/10.1016/j.jik.2022.100247
Tena Medialdea, J., Prieto Ruiz, J. A., Fagoaga García, C., Calvo Capilla, A., Chirivella
Martorell, J., & Bueso Rodenas, J. (2018a). Potential of science to address the hunger
issue: Ecology, biotechnology, cattle breeding and the large pantry of the sea. Journal of
Innovation and Knowledge, 3(2), 82–89. https://doi.org/10.1016/j.jik.2017.12.007
Tena Medialdea, J., Prieto Ruiz, J. A., Fagoaga García, C., Calvo Capilla, A., Chirivella
Martorell, J., & Bueso Rodenas, J. (2018b). Potential of science to address the hunger
issue: Ecology, biotechnology, cattle breeding and the large pantry of the sea. Journal of
Innovation and Knowledge, 3(2), 82–89. https://doi.org/10.1016/j.jik.2017.12.007
Tiago, F., Gil, A., Stemberger, S., & Borges-Tiago, T. (2021a). Digital sustainability
communication in tourism. Journal of Innovation and Knowledge, 6(1), 27–34.
https://doi.org/10.1016/j.jik.2019.12.002
Tiago, F., Gil, A., Stemberger, S., & Borges-Tiago, T. (2021b). Digital sustainability
communication in tourism. Journal of Innovation and Knowledge, 6(1), 27–34.
https://doi.org/10.1016/j.jik.2019.12.002
Tiago, F., Gil, A., Stemberger, S., & Borges-Tiago, T. (2021c). Digital sustainability
communication in tourism. Journal of Innovation and Knowledge, 6(1), 27–34.
https://doi.org/10.1016/j.jik.2019.12.002
Tiberius, V., Schwarzer, H., & Roig-Dobón, S. (2021a). Radical innovations: Between
established knowledge and future research opportunities. Journal of Innovation and
Knowledge, 6(3), 145–153. https://doi.org/10.1016/j.jik.2020.09.001
Tiberius, V., Schwarzer, H., & Roig-Dobón, S. (2021b). Radical innovations: Between
established knowledge and future research opportunities. Journal of Innovation and
Knowledge, 6(3), 145–153. https://doi.org/10.1016/j.jik.2020.09.001
Tu, Y. Te, Aljumah, A. I., Van Nguyen, S., Cheng, C. F., Tai, T. D., & Qiu, R. (2023).
Achieving sustainable development goals through a sharing economy: Empirical
evidence from developing economies. Journal of Innovation and Knowledge, 8(1).
https://doi.org/10.1016/j.jik.2022.100299
Verma, S., Warrier, L., Bolia, B., & Mehta, S. (2022). Past, present, and future of virtual
tourism-a literature review. International Journal of Information Management Data
Insights, 2(2). https://doi.org/10.1016/j.jjimei.2022.100085
Wang, S., Abbas, J., Sial, M. S., Álvarez-Otero, S., & Cioca, L. I. (2022). Achieving green
innovation and sustainable development goals through green knowledge management:
83

Moderating role of organizational green culture. Journal of Innovation and Knowledge,


7(4). https://doi.org/10.1016/j.jik.2022.100272
Wang, Z., Fang, K., Lun, F., Hartmann, T. E., Hou, Y., Zhang, F., & Wu, J. (2021). Phosphorus
flow analysis for megacities using a coupled city-hinterland approach: Case study of
Beijing. Journal of Cleaner Production, 320.
https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2021.128866
Wassmann, B., Siegrist, M., & Hartmann, C. (2023). The role of heuristics for composing an
environmentally friendly meal. Journal of Cleaner Production, 402.
https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2023.136818
Wei, X., Wang, Y., Hernández-Maldonado, A. J., & Chen, Z. (2017). Guidelines for rational
design of high-performance absorbents: A case study of zeolite adsorbents for emerging
pollutants in water. Green Energy and Environment, 2(4), 363–369.
https://doi.org/10.1016/j.gee.2017.05.002
Xie, X., Hoang, T. T., & Zhu, Q. (2022). Green process innovation and financial performance:
The role of green social capital and customers’ tacit green needs. Journal of Innovation
and Knowledge, 7(1). https://doi.org/10.1016/j.jik.2022.100165
Yadgar, Y. T. (2020). The effect of individual factors on user behaviour and the moderating role
of trust: an empirical investigation of consumers’ acceptance of electronic banking in the
Kurdistan Region of Iraq. Financial Innovation, 6(1). https://doi.org/10.1186/s40854-
020-00206-0
Yang, D., & Wang, X. (2010). The effects of 2-tier store brands’ perceived quality, perceived
value, brand knowledge, and attitude on store loyalty. Frontiers of Business Research in
China, 4(1), 1–28. https://doi.org/10.1007/s11782-010-0001-7
Yang, J., Kwon, Y., & Kim, D. (2021). Regional Smart City Development Focus: The South
Korean National Strategic Smart City Program. IEEE Access, 9.
https://doi.org/10.1109/ACCESS.2020.3047139
Yin, D., Chen, Y., Jia, H., Wang, Q., Chen, Z., Xu, C., Li, Q., Wang, W., Yang, Y., Fu, G., &
Chen, A. S. (2021). Sponge city practice in China: A review of construction, assessment,
operational and maintenance. In Journal of Cleaner Production (Vol. 280). Elsevier Ltd.
https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2020.124963
Zang, S., Wang, H., & Zhou, J. (2022a). Impact of eco-embeddedness and strategic flexibility
on innovation performance of non-core firms: The perspective of ecological legitimacy.
Journal of Innovation and Knowledge, 7(4). https://doi.org/10.1016/j.jik.2022.100266
Zang, S., Wang, H., & Zhou, J. (2022b). Impact of eco-embeddedness and strategic flexibility
on innovation performance of non-core firms: The perspective of ecological legitimacy.
Journal of Innovation and Knowledge, 7(4). https://doi.org/10.1016/j.jik.2022.100266
Zang, S., Wang, H., & Zhou, J. (2022c). Impact of eco-embeddedness and strategic flexibility
on innovation performance of non-core firms: The perspective of ecological legitimacy.
Journal of Innovation and Knowledge, 7(4). https://doi.org/10.1016/j.jik.2022.100266
84

Zhu, Y., Liu, J., Lin, S., & Liang, K. (2022). Unlock the potential of regional innovation
environment: The promotion of innovative behavior from the career perspective. Journal
of Innovation and Knowledge, 7(3). https://doi.org/10.1016/j.jik.2022.100206

Anda mungkin juga menyukai