Pembagian kewenangan pada Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004
dikembangkan melalui kriteria (1) Eksternalitas; (2) Akuntabilitas; dan (3) Efisiensi. Sementara itu, pada Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana ditegaskan pada ketentuan Pasal 13, disebutkan bahwa Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (3) didasarkan dalam prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, dan kepentingan strategis nasional. Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 mengkonstruksikan penjabaran urusan pemerintahan sebagaimana disebutkan pada Pasal 9 ayat (1) hingga menggunakan ayat (5). Sedangkan urusan pemerintahan mutlak lebih lanjut pada ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014. Selanjutnya tentang urusan pemerintahan konkuren, lebih lanjut pada ketentuan Pasal 11 ayat (1) hingga ayat (3) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014. Jika diperhatikan secara cermat, pola pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksudkan pada ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 10 ayat (1) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 merupakan sama menggunakan pola pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pola pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dikemukakan diatas, pada pelaksanaannya seringkali mengakibatkan permasalahan (perseteruan) dan kefakuman pada proses pemerintahan. Sebaliknya jika ditata secara baik akan menaruh sinergi dan menaruh arah bagi penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik dan berkualitas. Hal ini didasarkan dalam suatu empiris secara empirik tidak terjadi tumpang tindih (overlapping) wewenang yang jibila dibiarkan bisa mengakibatkan bentrokan dan ketegangan antar strata pemerintahan berkaitan menggunakan wewenang wilayah. Tiga jenis tumpang tindih tadi yakni (a) tumpang tindih antara wewenang Pusat dan Daerah; (b) tumpang tindih antara wewenang Propinsi menggunakan Kabupaten/ Kota; dan (c) tumpang tindih antar wewenang Kabupaten/ kota itu sendiri. Penyebab primer menurut banyak sekali tumpang tindih tadi merupakan nir sinkronnya antar banyak sekali peraturan perundangan yang mengatur masing- masing wewenang tadi baik pada taraf undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), juga pada taraf Keputusan Menteri (Kepmen) terkait menggunakan wewenang tadi. Salah satunya merupakan potensi perseteruan pada kaitan menggunakan kewenangan pengelolaan asal daya alam (SDA) pada daerah bahari yang berimplikasi dalam undang-undang sektoral lainnya yang berkaitan baik secara eksklusif juga nir eksklusif menggunakan kewenangan pengelolaan SDA sang wilayah. Konsep dekosentrasi dan tugas pembantuan seyogyanya dikembalikan pada konsep sebagaimana diatur pada Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pelembagaan konsep swatantra luas wajib diperjelas lagi, terutama berkaitan menggunakan urusan harus dan urusan pilihan. Urusan harus mencakup urusan yang berkaitan menggunakan pelayanan dasar. Sedangkan urusan pilihan adalah urusan yang secara konkret terdapat dan berpotensi dijalankan sang wilayah. Daerah jua dimungkinkan mengusulkan urusan pemerintahan sebagai kekhususannya, baik pada skala provinsi atau daerah. Oleh lantaran itu, dibutuhkan untuk berbagi desentralisasi fungsional yang diterapkan selama Hindia Belanda dalam tahun 1920 menggunakan perkembangan Waterchappen tentang perkembangan perkara perkotaan dan jua terkait menggunakan pengembangan distribusi perkara irigasi. Pengenalan desentralisasi fungsional membutuhkan perubahan dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945. Sejalan menggunakan pemikiran tadi diatas, jika dikaitkan menggunakan wewenang pembentukan perda (Peraturan Daerah) sebagaimana dimaksud pada Pasal 236 ayat (4) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014, yang memakai nomenklatur muatan lokal tanpa menyebutkan lebih lanjut tentang makna lokal akan mengakibatkan kekaburan terhadap makna lokal, apakah sama menggunakan karakteristik spesial pada Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004. Hal ini jua akan berdampak dalam parameter supervisi Peraturan Daerah yang berciri spesial wilayah sebagaimana dimaksud pada Pasal 250 ayat (1) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014. Kesulitas yang muncul merupakan materi muatan perda yang dibuat tidak menjabarkan lebih lanjut ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, tetapi materi muatan perda tadi adalah karakteristik spesial wilayah, bisa dikatakan bertentangan menggunakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan adanya berbagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Kewajiban tersebut diantaranya, adalah kewajiban memberikan perlindungan, kewajiban meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, secara adil dan merata. Salah satu program yang dicanangkan oleh pemerintah pusat yang harus dilaksanakan juga oleh seluruh pemerintah daerah sesuai amanat otonomi daerah, yaitu program pemberdayaan masyarakat. Sesuai dengan asas program pemberdayaan masyarakat, maka sasaran utama dari program ini adalah bagi masyarakat/keluarga miskin baik yang ada di kawasan perkotaan maupun yang bermukim di pedesaan, yang harus dilaksanakan secara merata diseluruh daerah dan wilayah Republik Indonesia. Kebijakan pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan oleh pemerintah, bertujuan untuk mengembangkan dan mendorong peran aktif dan keterlibatan anggota masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan. Industri batik di Indonesia secara tidak langsung telah muncul sejak adanya tradisi membatik di Nusantara. Pengembangan motif batik di seluruh Indonesia membuat tiap daerah memunculkan ciri khas daerahnya untuk dijadikan motif batik. Batik yang terinspirasi dari ciri khas suatu daerah memiliki keunikan dari sisi identitas batik itu sendiri, sehingga dapat mengingatkan seseorang akan daerah tersebut. Hal ini menimbulkan motif-motif baru yang semakin beragam dan menarik. Ada beberapa daerah di Indonesia yang masih menggali potensi motif batik daerahnya (Marzuqi, 2015: 1). Salah satu daerah yang masih dalam tahap menggali potensi untuk penciptaan desain motif batik yang melambangkan ciri khas daerahnya adalah kota Makassar. Batik Makassar merupakan batik yang dikembangkan di daerah Makassar. Sejauh ini masyarakat Makassar lebih dikenal sebagai batik Lontara untuk menyebut batik khas Makassar. Batik Lontara sendiri merupakan jenis batik Bugis-Makassar khas Sulawesi Selatan yang memiliki motif aksara lontara. Aksara atau huruf lontara sendiri merupakan aksara tradisional masyarakat BugisMakassar. Bentuknya yang unik menjadikan motif batik Lontara sangat unik dan indah. Motif ini juga dianggap mewakili empat etnis di Sulawesi, seperti Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar, yang semuanya menggunakan aksara tersebut. Sejauh ini, ada dua motif khas yang ditemukan, yakni motif Lontara (aksara tradisional masyarakat Bugis-Makassar) dan alat-alat kesenian tradisional. Kebudayaan batik tersebut yang dikembangkan oleh pemerindah daerah Makassar supaya kedepannya bisa membawa manfaat yang berlebih.