Anda di halaman 1dari 4

Nama :Muhammad Fadli Hasri

NIM : E051211043

Pembagian kewenangan pada Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004


dikembangkan melalui kriteria (1) Eksternalitas; (2) Akuntabilitas; dan (3)
Efisiensi. Sementara itu, pada Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014
sebagaimana ditegaskan pada ketentuan Pasal 13, disebutkan bahwa Pembagian
urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan
Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (3) didasarkan
dalam prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, dan kepentingan strategis
nasional.
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 mengkonstruksikan penjabaran
urusan pemerintahan sebagaimana disebutkan pada Pasal 9 ayat (1) hingga
menggunakan ayat (5). Sedangkan urusan pemerintahan mutlak lebih lanjut pada
ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Selanjutnya tentang urusan pemerintahan konkuren, lebih lanjut pada ketentuan
Pasal 11 ayat (1) hingga ayat (3) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014. Jika
diperhatikan secara cermat, pola pembagian urusan pemerintahan sebagaimana
dimaksudkan pada ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 10 ayat (1) Undang
Undang Nomor 23 Tahun 2014 merupakan sama menggunakan pola pembagian
urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3)
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Pola pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dikemukakan diatas, pada
pelaksanaannya seringkali mengakibatkan permasalahan (perseteruan) dan
kefakuman pada proses pemerintahan. Sebaliknya jika ditata secara baik akan
menaruh sinergi dan menaruh arah bagi penyelenggaraan pemerintahan yang lebih
baik dan berkualitas. Hal ini didasarkan dalam suatu empiris secara empirik tidak
terjadi tumpang tindih (overlapping) wewenang yang jibila dibiarkan bisa
mengakibatkan bentrokan dan ketegangan antar strata pemerintahan berkaitan
menggunakan wewenang wilayah. Tiga jenis tumpang tindih tadi yakni (a)
tumpang tindih antara wewenang Pusat dan Daerah; (b) tumpang tindih antara
wewenang Propinsi menggunakan Kabupaten/ Kota; dan (c) tumpang tindih antar
wewenang Kabupaten/ kota itu sendiri.
Penyebab primer menurut banyak sekali tumpang tindih tadi merupakan nir
sinkronnya antar banyak sekali peraturan perundangan yang mengatur masing-
masing wewenang tadi baik pada taraf undang-undang (UU), Peraturan
Pemerintah (PP), juga pada taraf Keputusan Menteri (Kepmen) terkait
menggunakan wewenang tadi. Salah satunya merupakan potensi perseteruan pada
kaitan menggunakan kewenangan pengelolaan asal daya alam (SDA) pada daerah
bahari yang berimplikasi dalam undang-undang sektoral lainnya yang berkaitan
baik secara eksklusif juga nir eksklusif menggunakan kewenangan pengelolaan
SDA sang wilayah.
Konsep dekosentrasi dan tugas pembantuan seyogyanya dikembalikan pada
konsep sebagaimana diatur pada Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Pelembagaan konsep swatantra luas wajib diperjelas lagi, terutama berkaitan
menggunakan urusan harus dan urusan pilihan. Urusan harus mencakup urusan
yang berkaitan menggunakan pelayanan dasar. Sedangkan urusan pilihan adalah
urusan yang secara konkret terdapat dan berpotensi dijalankan sang wilayah.
Daerah jua dimungkinkan mengusulkan urusan pemerintahan sebagai
kekhususannya, baik pada skala provinsi atau daerah. Oleh lantaran itu,
dibutuhkan untuk berbagi desentralisasi fungsional yang diterapkan selama Hindia
Belanda dalam tahun 1920 menggunakan perkembangan Waterchappen tentang
perkembangan perkara perkotaan dan jua terkait menggunakan pengembangan
distribusi perkara irigasi. Pengenalan desentralisasi fungsional membutuhkan
perubahan dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945.
Sejalan menggunakan pemikiran tadi diatas, jika dikaitkan menggunakan
wewenang pembentukan perda (Peraturan Daerah) sebagaimana dimaksud pada
Pasal 236 ayat (4) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014, yang memakai
nomenklatur muatan lokal tanpa menyebutkan lebih lanjut tentang makna lokal
akan mengakibatkan kekaburan terhadap makna lokal, apakah sama menggunakan
karakteristik spesial pada Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004. Hal ini jua
akan berdampak dalam parameter supervisi Peraturan Daerah yang berciri spesial
wilayah sebagaimana dimaksud pada Pasal 250 ayat (1) Undang Undang Nomor
23 Tahun 2014. Kesulitas yang muncul merupakan materi muatan perda yang
dibuat tidak menjabarkan lebih lanjut ketentuan perundang-undangan yang lebih
tinggi, tetapi materi muatan perda tadi adalah karakteristik spesial wilayah, bisa
dikatakan bertentangan menggunakan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang
Pemerintahan Daerah mengamanatkan adanya berbagai kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Kewajiban tersebut diantaranya, adalah
kewajiban memberikan perlindungan, kewajiban meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat, secara adil dan merata. Salah satu program yang
dicanangkan oleh pemerintah pusat yang harus dilaksanakan juga oleh seluruh
pemerintah daerah sesuai amanat otonomi daerah, yaitu program pemberdayaan
masyarakat. Sesuai dengan asas program pemberdayaan masyarakat, maka
sasaran utama dari program ini adalah bagi masyarakat/keluarga miskin baik yang
ada di kawasan perkotaan maupun yang bermukim di pedesaan, yang harus
dilaksanakan secara merata diseluruh daerah dan wilayah Republik Indonesia.
Kebijakan pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan oleh pemerintah,
bertujuan untuk mengembangkan dan mendorong peran aktif dan keterlibatan
anggota masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan. Industri batik di Indonesia
secara tidak langsung telah muncul sejak adanya tradisi membatik di Nusantara.
Pengembangan motif batik di seluruh Indonesia membuat tiap daerah
memunculkan ciri khas daerahnya untuk dijadikan motif batik. Batik yang
terinspirasi dari ciri khas suatu daerah memiliki keunikan dari sisi identitas batik
itu sendiri, sehingga dapat mengingatkan seseorang akan daerah tersebut. Hal ini
menimbulkan motif-motif baru yang semakin beragam dan menarik. Ada
beberapa daerah di Indonesia yang masih menggali potensi motif batik daerahnya
(Marzuqi, 2015: 1). Salah satu daerah yang masih dalam tahap menggali potensi
untuk penciptaan desain motif batik yang melambangkan ciri khas daerahnya
adalah kota Makassar. Batik Makassar merupakan batik yang dikembangkan di
daerah Makassar. Sejauh ini masyarakat Makassar lebih dikenal sebagai batik
Lontara untuk menyebut batik khas Makassar. Batik Lontara sendiri merupakan
jenis batik Bugis-Makassar khas Sulawesi Selatan yang memiliki motif aksara
lontara. Aksara atau huruf lontara sendiri merupakan aksara tradisional
masyarakat BugisMakassar. Bentuknya yang unik menjadikan motif batik Lontara
sangat unik dan indah. Motif ini juga dianggap mewakili empat etnis di Sulawesi,
seperti Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar, yang semuanya menggunakan
aksara tersebut. Sejauh ini, ada dua motif khas yang ditemukan, yakni motif
Lontara (aksara tradisional masyarakat Bugis-Makassar) dan alat-alat kesenian
tradisional. Kebudayaan batik tersebut yang dikembangkan oleh pemerindah
daerah Makassar supaya kedepannya bisa membawa manfaat yang berlebih.

Anda mungkin juga menyukai