sekolah-sekolah besar
1. Epikureanisme
Epicurus lahir setelah lima atau enam tahun kematian Plato, ketika Aristoteles berusia
42 tahun. Ia lahir sekitar tahun 342/341 SM di pulau Samos di Laut Aegean. Pada umur sepuluh
tahun, ia sudah mengenal tulisan-tulisan Demokritos (460–370 SM) yang pemikiran tentang
alam telah mempengaruhi filsafat Epicurus. Ketika orang-orang Athena diusir, Epicurus pergi
ke Asia Kecil, tempat ia menjadi guru di beberapa sekolah. Kira-kira 306 SM, ia pindah ke
Athena dan mendirikan sekolah yang berlangsung di dalam taman milik Epicurus; berdasarkan
hal ini, para muridnya sering disebut sebagai “filsuf-filfsuf dari taman”. Pada waktu itu,
sekolahnya sejajar dengan Akademi milik Plato, Liceum milik Aristoteles, Stoa milik Zeno
sebagai sekolah-sekolah yang berpengaruh pada zaman itu. Di sini, Epicurus tertarik pada
1
kelompok sahabat yang tertutup yang mempunyai relasi khusus dan penghormataan istimewa
pada Epicurus dan masing-masing memiliki kecintaan akan percakapan yang mendidik.
Meskipun, kehilangan dari sejumlah tulisan Epicurus, sekolah ini menampakkan sebuah
pendekatan definitif pada filsafat yang dihidupi setelah kematian Epicurus 270 SM. Pengaruh
terakhir dari ajarannya ditunjukkan oleh perwujudan terus-menerus di Athena dan tersebar luas
ke Roma. Dalam hal ini, puisi Lucretius (98-55 SM) sangat dipengaruhi oleh pemikiran
Epicurus dalam De Rerum Natura (“Tentang Hakikat Segala Sesuatu”) yang masih hidup
sampai sekarang.
Epicurus adalah filsuf praktis. Ia berpikir bahwa filsafat semestinya mempunyai pengaruh
pada wilayah kehidupan seperti “obat” yang mempunyai pengaruh terhadap kesehatan tubuh.
Epicurus sungguh-sungguh memikirkan filsafat sebagai “obat bagi jiwa”. Ia berurusan dengan
pertanyaan: “Dunia ini terbuat dari apa?” dan pertanyaan ini dipengaruhi oleh pemikiran
Democritos; ia menyakini bahwa segala sesuatu disusun oleh partikel-partikel yang disebut
sebagai “atom” dalam ruang hampa. Jika dunia ini tersusun oleh atom, pikir Epicurus, apa
konsekuensi terhadap tingkah laku manusia?
Bagi Epicurus, tujuan pokok dari hidup manusia adalah kesenangan. Pemikirannya
tentang kesenangan mencakup tiga hal, yaitu makan, minum dan relasi seksual. Ia juga
memikirkan rasa sakit yang besar untuk membedakan antara jenis-jenis kesenangan.
Contohnya, ada sejumlah rasa sakit serius tetapi hanya berlangsung sebentar, dan rasa sakit
lain tidak serius tetapi berlangsung lebih lama. Juga beberapa kesenangan mampunyai akibat
rasa sakit setelahnya, dan kesenangan yang lain memberikan rasa sakit yang biasa. Epicurus
mencoba untuk memberikan “prinsip kesenangan” sebagai dasar tingkah-laku.
2
Berdasarkan penjelasan ini tentang asal-usul manusia dan segala sesuatu berasal dari
materi termasuk juga Allah, Epicurus berpikir bahwa ia telah membebaskan manusia dari
ketakutan akan Allah dan juga kematian. Manusia tidak perlu lagi takut kepada Allah, karena
Allah tidak dapat menguasai kodrat manusia atau nasib manusia, dan karena Allah tidak dapat
campur tangan terhadap hidup manusia. Berkaitan dengan kematian, Epicurus menyatakan
bahwa nasib hidup ini tidak lagi mengganggu manusia, karena hanya orang yang hidup
mempunyai perasaan baik rasa sakit maupun rasa senang. Setelah kematian, tidak ada lagi
perasaaan-perasaan, karena atom-atom yang menyusun tubuh tidak berperan lagi. Karena itu,
tidak ada lagi tubuh atau pikiran yang khusus tetapi hanya sejumlah atom-atom yang kembali
seperti sediakala kepada keadaan awal dari materi untuk meneruskan siklus dari formasi yang
baru.
Hanya materi bereksistensi dan dalam hidup manusia, masing-masing individu
mengetahui tentang tubuhnya dan momen kekiniannya dari pengalamannya. Komposisi dari
kodrat manusia merupakan atom-atom yang mempunyai ukuran dan bentuk yang berbeda-
beda. Semakin besar atom menyusun tubuh, dan semakin kecil, semakin halus, semakin cepat
atom-atom bekerja dalam perasaan dan pikiran. Tidak ada prinsip lain termasuk Allah dan
kematian yang dibutuhkan untuk menjelaskan kenyataan hidup manusia. Pembebasan dari
ketakutan akan Allah dan kematian memberikan peluang pada jalan untuk kehidupan yang
sempurna di bawah penguasaan pribadi manusia itu sendiri.
3
menerus, bukan juga kepuasan akan nafsu, bukan juga soal kenikmatan memancing dan kenikmatan
kemewahan dari kekayaan, yang menghasilkan sebuah hidup yang menyenangkan. Akan tetapi, hal ini
menyangkut alasan yang masuk akal, pencarian motivasi untuk seluruh hal yang dipilih dan hal yang
dihindari, dan tindakan mematahkan pendapat-pendapat belaka terhadap hal yang menjadi gangguan
terbesar dari roh manusia.
4
2. Stoisisme
Stoisisme sebagai sebuah sekolah filsafat termasuk beberapa dari pemikir-pemikir yang
terkenal pada filsafat kuno. Sekolah ini didirikan oleh Zeno dari Citium (334–262 SM).
Sekolah ini mempelajari filsafat aliran Stoa yang berarti “obor” dari kata “stoic” (Yunani).
Filsafat Stoa ini dapat ditemukan dalam pemikir-pemikir Roma seperti Cicero (106-43 SM),
Epictetus (60-117 M), Seneca (4 SM–65 M), dan Kaisar Marcus Aurelius (121–180 M).
Pengaruh mereka membantu untuk menyelaraskan tekanan filsafat Stoa yang berlebihan pada
persoalan etika, meskipun aliran Stoa menunjukkan pada dirinya pada tiga pembagian filsafat
yang dirumuskan di Liceum Aristoteles, yaitu logika, fisika, dan etika.
5
teori pengetahuan juga penting. Ada dua alasan yang dapat dikemukakan: 1) teori
pengetahuannya menjadi pendasaran untuk teori materialistis tentang alam dan 2) teori
pengetahuannya memberikan dasar bagi pandangan kebenaran dan kepastian.
Konsekuensi dari teori pengetahuan ini melahirkan penjelasan mengenai asal-usul ide-
ide. Bagi aliran Stoa, kata-kata mengungkapkan gagasan dan gagasan merupakan hasil dari
pengaruh objek-objek dalam pikiran. Pada awalnya kelahiran pikiran itu kosong. Selanjutnya,
pikiran melakukan penyimpanan ide-ide dalam relasinya terhadap objek-objek. Objek-objek
ini memberikan kesan-kesan pada pikiran kita melalui peran indera-indera kita. Contohnya,
sebuah pohon memberikan kesan dalam gambaran pada pikiran kita melalui indera
penglihatan. Penglihatan yang diulang-ulang akan menambah kesan-kesan, mengembangkan
ingatan, dan memampukan kita untuk membentuk persepsi lebih umum melalui objek-objek
langsung di hadapan kita.
Aliran Stoa mempunyai persoalan dalam menjelaskan tentang “ide-ide umum”, yaitu
kebaikan dan keindahan. Ide-ide ini harus menunjukkan bagaimana pikiran kita berhubungan
dengan sensasi. Satu hal dibuktikan bahwa ide tentang pohon masuk dalam penglihatan kita.
Tetapi, bagaimana kita dapat menjelaskan “ide-ide umum”, yaitu ide-ide yang mengacu kepada
sesuatu yang melampaui indera-indera kita? Aliran Stoa menjawab bahwa seluruh pikiran
dalam cara tertentu terhubung dengan indera-indera, bahkan pikiran yang melakukan penilaian
dan kesimpulan. Sebuah penilaian atau kesimpulan tentang sesuatu sebagai baik atau buruk
merupakan produk dari proses mekanis dari kesan-kesan. Pikiran kita mulai bekerja dari
kesan-kesan dan sejumlah pikiran kita didasarkan pada kesan-kesan yang mulai dari dalam
kita, seperti dalam kasus perasaan. Karena itu, perasaan dapat memberi kita pengetahuan dan
menjadi sumber “persepsi yang sangat menarik” yang menjadi dasar rasa kepastian kita. Dalam
hal tertentu, melalui teori ini, aliran Stoa tidak hanya menemukan di dalamnya sebuah dasar
untuk kebenaran, tetapi juga memasukkan sebuah kecenderungan yang jelas pada filsafat pada
umumnya. Bagi kaum Stoa, seluruh pikiran berasal dari pengaruh objek-objek pada indera
adalah mengafirmasi bahwa tidak ada yang bereksistensi secara nyata kecuali segala sesuatu
yang merasuk pada bentuk-bentuk materi.
6
Substansi material dari Allah bercampur dengan apa yang akan menjadi materi yang tak
bergerak. Materi berperilaku sebagai jalan karena kehadiran di dalamnya “prinsip dari akal
budi”. Hukum alam merupakan prilaku materi yang berkelanjutan sesuai dengan prinsip ini;
hal ini merupakan hukum alam dari segala sesuatu. Kemudian, bagi aliran Stoa, alam
mempunyai asal-usulnya dalam Allah – kerangka dari segala sesuatu yang berapi dan hangat –
dan segala sesuatu secara langsung menerima impresi dari akal budi yang menjadi jejak Allah.
Karena segala suatu melanjutkan prilaku sebagaimana mereka diatur untuk berperilaku, kita
dapat melihat bagaimana aliran Stoa mengembangkan gagasan mereka tentang nasib dan
penyelenggaraan.
Aliran Stoa berbicara mengenai nasib dan penyelengaraan. Bagi mereka, penyelengaraan
dimaksudkan bahwa peristiwa-peristiwa menjadi jalan bahwa peristiwa-peristiwa terjadi
karena segala sesuatu dan orang-orang di bawah penguasaan Logos/Allah. Tatanan dari seluruh
dunia berdasarkan pada kesatuan dari seluruh bagian-bagian dan apa yang menyatukan seluruh
struktur materi merupakan substansi yang berapi yang meresapi segala sesuatu. Tidak ada
guncangan di alam semesta, karena tidak ada sesuatu pun yang hilang. Puncaknya, aliran Stoa
membentuk filsafat moralnya melawan latar belakang ini tentang alam semesta material yang
dikontrol secara total.
7
utama (peran yang penting). Epictetus menjelaskan: “Jika Allah menghendaki bahwa kamu
diperankan sebagai orang miskin, lakukanlah peranmu dengan baik; atau seorang yang cacat,
atau seorang penguasa, atau seorang warga yang istimewa. Urusanmu adalah berperan sebaik-
baiknya sesuai dengan peranmu”. Seorang aktor yang mengabaikan sesuatu hal yang tidak
disadari, akan mempengaruhi kisah drama yang ditampilkan dan juga pemain-pemain lainnya.
Seorang aktor tidak menguasai ceritanya atau plotnya. Tetapi ada satu hal yang penting bahwa
para aktor dapat menguasai sikap dan emosi mereka. Kita dapat bersungut-sungut karena kita
mendapatkan peran yang tidak penting atau diwarnai dengan iri hati karena orang lain dipilih
dalam peran yang hebat, atau merasa direndahkan karena makeup wajah diberikan dengan
sebuah tampilan yang jelek. Akan tetapi baik bersungut-sungut, iri hati, direndahkan tidak
dapat mengubah kenyataan bahwa kita mempunyai peran yang remeh, bukan peran yang hebat
dan tampilan yang jelek. Perasaan-perasaan ini hanya merampas kebahagiaan. Jika kita ingin
tinggal bebas dengan perasaan-perasaan ini, aliran Stoa mengusulkan untuk bersikap apatheia.1
Sikap ini dapat membawa kepada ketenangan dan kebahagiaan. Sikap menjadi tanda bagi orang
bijak. Orang yang bijak adalah dia yang mengenal dan menerima perannya.
1
Apatheia (ἀπάθεια, Yunani) a- “tanpa perasaan dan pathos “penderitaan” atau “kegairahan”), dalam
Stoisisme mengacu kepada keadaan pikiran yang di dalamnya orang tidak diganggu oleh
nafsu/kegairahan (https://en.wikipedia.org/wiki/Apatheia; Dikutip, 19 September 2019)
8
peran kita yang tak terhindarkan, kita tidak akan tenang menghadapi sesuatu yang tak
terhindarkan, tetapi kita akan menghayati dengan sukacita dengan mengalami kedamaian
dalam sejarah. Kebahagiaan bukanlah hasil pilihan, melainkan sebuah kualitas akan eksistensi,
dengan menjamin pada apa yang harus terjadi. Karena itu, kebebasan bukanlah kekuatan untuk
mengubah nasib kita tetapi lebih pada ketidakhadiran dari gangguan yang disebabkan oleh
perasaan-perasaan.
3. Skeptisisme
Pada umumnya, kita mengartikan skeptis sebagai orang yang mempunyai sikap ragu.
Akan tetapi, istilah skeptikoi (Yunani) berarti “pencari” atau “penyelidik”. Para skeptis tentu
saja orang-orang yang memiliki keraguan. Mereka ragu terhadap Plato dan Aristoteles yang
berhasil dalam menemukan kebenaran tentang dunia dan mereka mempunyai keraguan yang
sama tentang aliran Epicurean dan aliran Stoa. Lebih dari persoalan keraguan, para skeptis
adalah para pencari tentang sebuah metode untuk mencapai hidup yang tenang. Pyrro dari Elis
(361-270 SM) adalah pendiri dari sekolah khusus Skeptisisme yang mempunyai pengaruh pada
filsafat pada abad-abad selanjutnya. Pendekatan khusus dikenal sebagai Pyrronisme. Pada
waktu yang sama Pyrro menarik perhatian para pengikutnya; sebuah sekolah Skeptisisme yang
bersaing muncul bersama dengan Academi Plato, khususnya melalui pemimpinnya Arcesilaus
(316-241 SM) yang menjadi pemimpin dari Academi satu generasi setelah Plato. Dalam
Academinya, aliran Skeptis menolak metafisika Plato dan menghidupkan kembali teknik
dialektis Socrates yang mereka gunakan sebagai alat untuk memberikan penilaian. Pyrro tidak
menulis apa pun. Ajaran pokok dari Academinya berlanjut melalui sejarawan-sejarawan dan
diskusi-diskusi generasi berikutnya. Ajaran pokok yang menghidupi teks Yunani mengenai
Skeptisisme dikembangkan oleh Sextus Empiricus (200 M), seorang pengikut tradisi
Pyrronian. Dalam bagian pembukaan dari pemikiran Pyrronian, Sextus menawarkan sebuah
penjelasan yang memberikan pencerahan tentang makna dan tujuan dari sudut pandang
Skeptisisme.
9
dasar dari Skeptisisme adalah bahwa terhadap setiap pernyataan, sebuah pernyataan yang
sama dilawankan. Ini adalah konsekuensi dari prinsip ini, “Kita bertujuan dengan
menghentikan untuk membuat dogma kebenaran”.
Para skeptis terpesona dengan kenyataan bahwa “penampakan” yang sama menghasilkan
penjelasan yang berbeda-beda dari orang-orang yang mengalaminya. Mereka menemukan juga
bahwa argumen-argumen dioposisikan kepada masing-masing argumen lain yang tampak sama
kuatnya. Itulah, penjelasan alternatif hadir sebagai sebuah kemungkinan yang sama menjadi
sesuatu yang benar. Menurutnya, para skeptis menunda untuk memberikan penilaian dan
menunda untuk mengulangi penolakan atau penyangkalan terhadap sesuatu. Berdasarkan
penundaan dari penilaian, mereka berharap mencapai sebuah ketenangan batin dan tanpa
gangguan.
10
Persoalan-persoalan yang tidak jelas mempunyai tempat utama dalam sistem filsafat
Plato, Aristoteles, dan Stoa. Di sini, para Skeptis memperluas teorinya, khususnya tentang
kodrat sesuatu yang fisik. Akan tetapi, bagaimana sebuah teori fisik dapat memberikan kita
kebenaran yang jernih? Para Skeptis mempunyai sebuah sikap ganda terhadap studi fisik.
Mereka menolak berteori tentang hal yang fisik dengan pendapat yang jelas dan mantap tentang
segala sesuatu. Meskipun demikian, mereka tidak menyentuh pada hal-hal yang fisik;
akibatnya, agar mempunyai untuk setiap argumen, argumen yang sama digunakan untuk
beroposisi. Pendekatan mereka pada persoalan etika dan logika adalah pendekatan yang sama.
Dalam masing-masing kasus, pencarian mereka demi ketenangan batin bukan pada pendekatan
negatif atau penolakan berpikir, tetapi lebih pada sebuah pendekatan aktif. Metode mereka
tentang “penundaan terhadap penilaian” melibatkan aktivitas dengan “menempatkan segala-
sesuatu dalam oposisi. Sextus berkata: “Kita mengoposisikan apa yang tampak kepada apa
yang tampak atau pikiran kepada pikiran, atau apa yang tampak kepada pikiran”.
Selanjutnya, Sextus membedakan antara dua jenis penyelidikan yaitu hal yang
berurusan dengan persoalan-persoalan yang jelas dan hal yang berurusan dengan persoalan-
persoalan yang tidak jelas. Hal-hal yang jelas, sebagaimana siang dan malam, tidak
menimbulkan persoalan yang serius dalam pengetahuan. Dalam kategori ini, juga syarat-
syaratnya itu jelas untuk ketenangan pribadi dan bersama karena kita tahu bahwa kebiasaan
dan hukum mengikat masyarakat secara bersama. Tetapi, hal yang tidak jelas – contohnya,
apakah perangkat alam dibuat dari atom-atom atau sejumlah substansi yang berapi – akan
menimbulkan perdebatan intelektual. Kapan pun kita melampaui wilayah yang jelas dalam
pengalaman manusiawi kita, penyelidikan kita untuk pengetahuan akan berproses dalam
pengaruh keraguan yang kreatif. Kemudian, jika kita bertanya bagaimana kita tahu apakah rupa
alam semesta, para Skeptis akan menjawab bahwa kita tidak dapat mengetahuinya. Itu
mungkin, mereka katakan, orang akan mencapai kebenaran; mungkin juga, mereka akan salah.
Akan tetapi, kita tidak dapat memutuskan apakah mereka mempunyai kebenaran atau berada
dalam kesalahan karena kita belum mempunyai sebuah kriteria yang jelas untuk menentukan
kebenaran dalam persoalan-persoalan yang tidak jelas.
11
Sextus menyatakan bahwa pemikiran moral dan objek-objek fisik merupakan hal-hal
yang layak untuk diragukan. Orang dalam komunitas yang berbeda mempunyai pemikiran
berbeda tentang apa yang benar dan yang baik. Adat-istiadat dan hukum moral berbeda dalam
setiap komunitas dan demikian juga dalam komunitas yang sama pada waktu yang berbeda.
Aliran Stoa berkata bahwa ada sebuah alasan universal yang di dalamnya semua orang berbagi,
dengan membawa kepada sebuah kesepakatan umum dari semua orang mengenai hak-hak
manusia. Aliran Skeptis menantang baik teori maupun fakta dengan mengatakan bahwa tidak
ada bukti bahwa semua mempunyai kemampuan untuk menyetujui kebenaran dari prinsip-
prinsip moral universal. Lebih jauh, mereka berpendapat, tidak ada kepastian bahwa orang
dalam faktanya menunjukkan kesepakatan universal. Faktanya adalah orang-orang tidak
sepakat. Lalu, orang yang tidak sepakat dapat melakukan kasus-kasus yang sesuai dengan sudut
pandang mereka. Dalam soal moral, tidak ada pengetahuan absolut, yang ada hanya pendapat.
Aliran Stoa berpendapat bahwa dalam hal-hal yang pasti, pengujian terhadap kebenaran adalah
“persepsi yang tidak dapat disangkal”. Aliran Skeptis menjawab dengan mengatakan bahwa
fakta yang menyedihkan adalah bahwa betapa pun kuatnya pendapat diberikan, setelah
semuanya itu, pendapat hanyalah pendapat dan kita dengan segala fakta yang diberikan
mendukung pada posisi yang berlawanan. Ketika orang mengambil sebuah pendirian yang
dogmatis, kesimpulannya selalu tak terbantahkan, tetapi hal ini bukanlah jaminan bahwa
gagasan mereka benar.
Sextus menjadikan persoalan skeptisnya tentang moralitas sebagai pemikiran yang
sistematis. Ia mengumpulkan contoh demi contoh tentang bagaimana orang dan masyarakat
mempunyai sikap yang bertentangan pada nilai-nilai moral fundamental. Karena pertentangan
ini, kita mesti mengakui bahwa tidak ada hal yang baik dan buruk. Ini hanya soal
menangguhkan penilaian tentang karakter moral natural dari penilaian sosial yang diberikan.
Ia mengumpulkan contoh-contoh ini dalam lima kategori. Pertama, ada kode personal dari
tingkah laku bahwa orang menggunakan, seperti halnya gaya hidup dari Diogenes seorang
filsuf Sinisme dari Yunani Kuno. Kedua, ada hukum yang ditulis kode-kode yang di dalamnya
para pelanggar dihukum. Ketiga, ada kebiasaan sosial yang terlibat secara umum diterima
prakteknya yang di dalamnya para pelanggar tidak harus dihukum; contohnya praktek
homoseksualitas. Keempat, ada kepercayaan mistis tentang segala sesuatu yang tak pernah
terjadi, seperti cerita-cerita tentang konflik di dalam hidup para dewa. Kelima, ada pendapat
yang bersifat dogmatis dalam teori para filsuf yang didukung oleh argumen-argumen; seperti
padangan bahwa jiwa tidak dapat mati. Menurut Sextus, masing-masing kategori-kategori ini,
nilai moral kita bertentangan satu sama lain. Menurut hukum, ia menuliskan: “Di antara Tauri
di Scythia, ada hukum pengurbanan orang asing untuk Arthemis, tetapi bagi kita hal ini tidak
benar membunuh seorang laki-laki dekat kuil”. Menurut kebiasaan umum, “Orang-orang dari
India melakukan hubungan seks dengan perempuan di tempat umum, tetapi kebanyakan bangsa
menilai hal ini sebagai tindakan tak bermoral”. Menurut mitos religius, “Beberapa orang
berkeyakinan bahwa jiwa itu abadi, yang lain menyatakan bahwa jiwa tidak abadi”. Selanjut,
Sextus berpendapat bahwa nilai dalam kategori ini akan bertentangan dengan nilai dalam
kategori lain: “Orang Persia biasa melakukan praktek homoseks, tetapi orang Roma melarang
melalui hukum”. Hal yang sama terjadi dalam kepercayaan mistis kita tentang dewa-dewa yang
melakukan perzinahan tidak konsisten dengan hukum yang melarang perzinahan. Juga,
sejumlah filsuf memegang pandangan dogmatis bahwa incest secara moral dapat dibenarkan,
sementara hukum dalam berbagai bangsa melarangnya. Lalu, tak peduli betapa kita
memandang nilai moral, seperti halnya gaya hidup, hukum, kebiasaan, mitos religius, atau
12
ajaran filsafat, kita akan menemukan pertentangan dalam konflik antar nilai-nilai. Hal ini
menunjukkan bahwa kita tidak dapat mengatakan bahwa nilai moral yang diberikan “adalah
secara natural tentang ini atau karakter itu, tetapi sebagai gantinya semua ini persoalan tentang
kesepakatan dan bersifat relatif. Akibatnya, kita harus menangguhkan keyakinan kita tentang
kodrat objektif dari nilai-nilai moral: “Dengan melihat sebuah perbedaan besar dari praktek-
praktek ini, aliran Skeptis menunda penilaian sehingga keberadaan natural dari sesuatu yang
baik, yang buruk, atau pada umumnya dilakukan.
Konsekuensi dari sikap skeptis ini menuju pengetahuan tentang segala sesuatu dan
pengetahuan kita tentang kebenaran moral adalah bahwa kita mempunyai sebuah hak untuk
meragukan validitas pengetahuannya. Karena kita kekurangan pengetahun yang pasti, hal yang
terbaik untuk menahan penilaian mengenai kodrat moralitas yang benar. Tetapi, etika
menyangkut persoalan yang sulit bagi orang-orang untuk menunda penilaian. Ketika kita
berhadapan dengan masalah moral, kita ingin mengetahui tindakan benar yang harus dilakukan
dan hal ini mengandaikan pengetahuan yang benar. Kritik aliran Skeptisme berpendapat bahwa
para Skeptis telah membuat etika yang mungkin dan telah mengubah dari orang dengan
pedoman untuk kepentingan tingkah laku.
13