Anda di halaman 1dari 13

Vi.

sekolah-sekolah besar

Setelah kematian Aristoteles, sistem pemikiran spekulatifnya berubah haluan. Sekurang-


kurangnya empat sekolah besar dibentuk dengan arah yang baru, yaitu aliran Epikurean, aliran
Stoa, aliran Skeptisme, aliran Neoplatonisme. Aliran-aliran ini tentu saja dipengaruhi oleh para
pendahulunya. Kita akan mendapatkan bahwa Epicurus mendasarkan pada ajaran Demokritos
tentang teori atom; aliran Stoa menggunakan pemikiran Herakleitos mengenai api sebagai
prinsip pertama yang meresapi segala sesuatu; aliran Skeptisme membangun metode
penyelidikannya pada bentuk keraguan Socrates; dan aliran Plotinus sangat berorientasi pada
pemikiran Plato. Hal yang membedakan filsafat mereka bukan pada objek perhatiannya
sebagai arah dan tekanannya, melainkan pada individu-individu sebagai arahnya dan persoalan
praktis sebagai tekanannya. Filsafat menjadi bidang yang lebih praktis melalui penekanan pada
seni kehidupan. Para filsuf dari aliran-aliran ini berpikir pertama-tama tentang mereka dan
bagaimana mereka sebagai individu-individu yang berada dalam skema yang lebih luas dari
alam dapat mencapai hidup yang memuaskan.
Sekolah-sekolah besar ini lahir karena pengaruh sejarah yang terjadi pada saat itu. Setelah
Perang Peloponesian dan kejatuhan Athena, kebudayaan Yunani mengalami penurunan.
Dengan kejatuhan polis-polis Yunani, warga negara sebagai individu-individu kehilangan
makna dari kepentingan dan kemampuan mereka untuk menguasai nasib politik dan sosial
mereka. Sebagaimana mereka dipengaruhi oleh perkembangan kekaisaran Romawi, orang-
orang Yunani semakin kehilangan kontrol personal dalam hidup mereka di dalam komunitas.
Ketika Yunani menjadi bagian dari provinsi Roma, mereka kehilangan daya tarik untuk
merefleksikan pertanyaan-pertanyaan spekulatif tentang masyarakat yang ideal. Apa yang
mereka butuhkan adalah sebuah filsafat praktis untuk memberikan arah hidup di bawah kondisi
kehidupan yang berubah. Sejak saat itu, filsafat berubah arah dan perhatian pada dunia individu
yang lebih langsung.
Aliran Epikurean berfokus pada hidup ideal apa yang mereka sebut ataraxia (ketenangan
jiwa). Aliran Stoa mencari pengendalian diri pada peristiwa-peristiwa yang tak terhindarkan.
Aliran Skeptisme mencari pemeliharaan kebebasan personal dengan melakukan komitmen
untuk cita-cita yang kebenarannya diragukan. Akhirnya, Plotinus menjanjikan keselamatan
dalam sebuah persatuan mistik dengan Allah. Mereka memandang filsafat sebagai sebuah
sumber makna dari eksistensi manusia dan tidak heran bahwa filsafat mereka di kemudian hari
akan bersaing dengan agama untuk kesetiaan pada negara. Mereka mencari untuk menemukan
jalan-jalan yang di dalamnya individu-individu dapat mencapai “kebahagiaan atau
kesenangan” dalam sebuah dunia yang tidak hidup bersama sebagai saudara.

1. Epikureanisme
Epicurus lahir setelah lima atau enam tahun kematian Plato, ketika Aristoteles berusia
42 tahun. Ia lahir sekitar tahun 342/341 SM di pulau Samos di Laut Aegean. Pada umur sepuluh
tahun, ia sudah mengenal tulisan-tulisan Demokritos (460–370 SM) yang pemikiran tentang
alam telah mempengaruhi filsafat Epicurus. Ketika orang-orang Athena diusir, Epicurus pergi
ke Asia Kecil, tempat ia menjadi guru di beberapa sekolah. Kira-kira 306 SM, ia pindah ke
Athena dan mendirikan sekolah yang berlangsung di dalam taman milik Epicurus; berdasarkan
hal ini, para muridnya sering disebut sebagai “filsuf-filfsuf dari taman”. Pada waktu itu,
sekolahnya sejajar dengan Akademi milik Plato, Liceum milik Aristoteles, Stoa milik Zeno
sebagai sekolah-sekolah yang berpengaruh pada zaman itu. Di sini, Epicurus tertarik pada

1
kelompok sahabat yang tertutup yang mempunyai relasi khusus dan penghormataan istimewa
pada Epicurus dan masing-masing memiliki kecintaan akan percakapan yang mendidik.
Meskipun, kehilangan dari sejumlah tulisan Epicurus, sekolah ini menampakkan sebuah
pendekatan definitif pada filsafat yang dihidupi setelah kematian Epicurus 270 SM. Pengaruh
terakhir dari ajarannya ditunjukkan oleh perwujudan terus-menerus di Athena dan tersebar luas
ke Roma. Dalam hal ini, puisi Lucretius (98-55 SM) sangat dipengaruhi oleh pemikiran
Epicurus dalam De Rerum Natura (“Tentang Hakikat Segala Sesuatu”) yang masih hidup
sampai sekarang.
Epicurus adalah filsuf praktis. Ia berpikir bahwa filsafat semestinya mempunyai pengaruh
pada wilayah kehidupan seperti “obat” yang mempunyai pengaruh terhadap kesehatan tubuh.
Epicurus sungguh-sungguh memikirkan filsafat sebagai “obat bagi jiwa”. Ia berurusan dengan
pertanyaan: “Dunia ini terbuat dari apa?” dan pertanyaan ini dipengaruhi oleh pemikiran
Democritos; ia menyakini bahwa segala sesuatu disusun oleh partikel-partikel yang disebut
sebagai “atom” dalam ruang hampa. Jika dunia ini tersusun oleh atom, pikir Epicurus, apa
konsekuensi terhadap tingkah laku manusia?
Bagi Epicurus, tujuan pokok dari hidup manusia adalah kesenangan. Pemikirannya
tentang kesenangan mencakup tiga hal, yaitu makan, minum dan relasi seksual. Ia juga
memikirkan rasa sakit yang besar untuk membedakan antara jenis-jenis kesenangan.
Contohnya, ada sejumlah rasa sakit serius tetapi hanya berlangsung sebentar, dan rasa sakit
lain tidak serius tetapi berlangsung lebih lama. Juga beberapa kesenangan mampunyai akibat
rasa sakit setelahnya, dan kesenangan yang lain memberikan rasa sakit yang biasa. Epicurus
mencoba untuk memberikan “prinsip kesenangan” sebagai dasar tingkah-laku.

1.1 Fisika dan Etika


Apa yang menjadikan “prinsip kesenangan” berasal dari “ilmu pengetahuan” yang
diwariskan Democritos tentang atom-atom. Epicurus menyatakan teori fisika bahwa atom-
atom mendasari eksistensi. Tanpa atom-atom, tidak ada yang bereksistensi. Konsekuensinya,
Allah atau dewa-dewa bereksistensi dalam rupa atom-atom maka mereka adalah pengada-
pengada material, bukan immaterial. Dalam pemikiran Epicurus, Allah bukanlah asal-usul dari
segala sesuatu. Allah sendiri merupakan hasil dari peristiwa yang kebetulan dan tidak memiliki
tujuan dalam dirinya sendiri.
Asal-usul dari segala sesuatu dijelaskan melalui pemikiran bahwa tidak ada awal-mula
bagi atom. Atom telah bereksistensi dalam ruang. Seperti batang-batang hujan, mereka jatuh
ke ruang alam semesta pada suatu ketika secara terpisah dan karena, atom-atom tidak menemui
perlawanan, mereka tinggal dalam jarak yang sama satu sama lain. Selama berjatuhan secara
vertikal, Epicurus berpikir, satu atom jatuh secara sempurna langsung mengembang perlahan-
lahan ke satu sisi dengan membelok secara lateral. Pada saat itu, atom bergerak pada jalan dari
atom yang berdekatan, dan hasilnya dipaska oleh atom-atom ini melalui jalan atom-atom yang
lain, melaluinya penyusunan dalam gerakan sebuah rangkaian menyeluruh dari tumbukan
atom-atom sampai seluruh atom telah dibentuk dalam gugusan-gugusan atom. Susunan atom-
atom ini merupakan hal yang kita lihat sekarang ini, yaitu batu, bunga, binatang, manusia, dan
seluruh dunia. Karena ada jumlah atom yang tak terbatas, harus ada jumlah tak terbatas dari
dunia. Dalam hal ini, manusia bukanlah bagian yang diciptakan atau bagian dari tatanan yang
disebabkan atau diatur oleh Allah, tetapi lebih pada hasil kebetulan dari tumbukan atom-atom.

1.2 Allah dan Kematian

2
Berdasarkan penjelasan ini tentang asal-usul manusia dan segala sesuatu berasal dari
materi termasuk juga Allah, Epicurus berpikir bahwa ia telah membebaskan manusia dari
ketakutan akan Allah dan juga kematian. Manusia tidak perlu lagi takut kepada Allah, karena
Allah tidak dapat menguasai kodrat manusia atau nasib manusia, dan karena Allah tidak dapat
campur tangan terhadap hidup manusia. Berkaitan dengan kematian, Epicurus menyatakan
bahwa nasib hidup ini tidak lagi mengganggu manusia, karena hanya orang yang hidup
mempunyai perasaan baik rasa sakit maupun rasa senang. Setelah kematian, tidak ada lagi
perasaaan-perasaan, karena atom-atom yang menyusun tubuh tidak berperan lagi. Karena itu,
tidak ada lagi tubuh atau pikiran yang khusus tetapi hanya sejumlah atom-atom yang kembali
seperti sediakala kepada keadaan awal dari materi untuk meneruskan siklus dari formasi yang
baru.
Hanya materi bereksistensi dan dalam hidup manusia, masing-masing individu
mengetahui tentang tubuhnya dan momen kekiniannya dari pengalamannya. Komposisi dari
kodrat manusia merupakan atom-atom yang mempunyai ukuran dan bentuk yang berbeda-
beda. Semakin besar atom menyusun tubuh, dan semakin kecil, semakin halus, semakin cepat
atom-atom bekerja dalam perasaan dan pikiran. Tidak ada prinsip lain termasuk Allah dan
kematian yang dibutuhkan untuk menjelaskan kenyataan hidup manusia. Pembebasan dari
ketakutan akan Allah dan kematian memberikan peluang pada jalan untuk kehidupan yang
sempurna di bawah penguasaan pribadi manusia itu sendiri.

1.3 Prinsip Kesenangan


Epicurus menggambarkan asal-usul dari segala sesuatu dalam sebuah cara yang mekanis
dan menempatkan manusia dalam skema yang mekanis. Akibatnya, kodrat manusia membawa
kepada pencarian akan kesenangan. Mesikpun, Epicurus memberikan bagi manusia kekuasaan
dan kewajiban untuk menguasai dorongan-dorongan keinginan. Meskipun demikian, Epicurus
membebaskan manusia dari ketakutan akan kekuasaan Allah, ia tidak bermaksud untuk
mengumbar segala nafsu dan keinginan manusia. Ia memberikan kepastian bahwa kesenangan
adalah ukuran dari kebaikan, tetapi ia tidak memberikan petunjuk bahwa setiap kesenangan
mempunyai nilai yang berbeda.
Jika kita bertanya, bagaimana Epicurus tahu bahwa kesenangan adalah standar kebaikan,
ia akan menjawab secara sederhana bahwa setiap orang mampu membedakan perasaan secara
langsung terhadap rasa senang dan rasa sakit dan kecenderunganya adalah rasa senang. Ia
menyatakan; “Kita mengakui kesenangan sebagai ‘bawaan baik pertama’ dalam diri kita, dan
dari kesenangan, kita mulai setiap tindakan yang dipilih dan dihindari dan mau tidak mau kita
kembali kepada kesenangan”. Epicurus berkata bahwa sebuah pengujian dari kebaikan dan
keburukan secara langsung dari perasaan adalah sebuah pengujian dari kebenaran. Terhadap
indera-indera kita, rasa sakit selalu hal yang buruk dan rasa senang selalu yang baik,
sebagaimana kita rasakan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Berkaitan dengan pedoman kepada hidup yang paling bahagia, Epicurus menekankan
pembedaan antara kesenangan yang berbeda-beda. Beberapa keinginan adalah alamiah dan
perlu, seperti soal makan. Keinginan lain adalah alamiah dan tidak perlu, seperti relasi seksual.
Keingian lain lagi adalah tidak alamiah dan tidak perlu, seperti kemewahan dan popularitas.
Inilah pernyataan Epicurus:
Ketika kita meyakini bahwa kesenangan adalah tujuan, kita tidak memaksudkan bahwa kesenangan sebagai
pemborosan rasa dan yang berupa sensualitas, seperti dipikirkan oleh sejumlah orang baik yang tidak tahu
maupun yang tidak setuju dengan kita, atau tidak memahaminya, tetapi bebas dari rasa sakit dalam tubuh
dan dari gangguan pikiran. Karenanya, ini bukan soal minum-minuman dan bersenang-senang secara terus-

3
menerus, bukan juga kepuasan akan nafsu, bukan juga soal kenikmatan memancing dan kenikmatan
kemewahan dari kekayaan, yang menghasilkan sebuah hidup yang menyenangkan. Akan tetapi, hal ini
menyangkut alasan yang masuk akal, pencarian motivasi untuk seluruh hal yang dipilih dan hal yang
dihindari, dan tindakan mematahkan pendapat-pendapat belaka terhadap hal yang menjadi gangguan
terbesar dari roh manusia.

Epicurus tidak bermaksud merendahkan kesenangan tubuh. Sebaliknya, ia bermaksud


menenekankan bahwa perhatian besar terhadap kesenangan-kesenangan ini baik yang tidak
alamiah dan jalan paling pasti kepada ketidakbahagiaan dan rasa sakit. Jenis-jenis tertentu dari
kesenangan tubuh tidak pernah dapat dipuaskan secara penuh. Lebih jauh, jika kesenangan
terus-menerus dituruti oleh orang yang mengejar kesenangan ini, akan selalu merasa tidak puas
dan akibatnya, orang akan menderita rasa sakit. Contohnya, mereka yang mengejar uang, atau
mengejar pengakuan publik, atau kenikmatan makanan, atau posisi yang lebih tinggi, mereka
akan mengalami ketidakpuasan dengan situasinya dan akan menderita rasa sakit batin.
Sebaliknya, orang yang bijak mampu menentukan apa yang menjadi batas minimum
kebutuhan-kebutuhan naturalnya dan mampu dengan mudah dan cepat untuk memuaskan
kebutuhan-kebutuhannya ini. Ketika kebutuhan-kebutuhan ini dipuaskan, sebuah penetapan
pribadi berada dalam keseimbangan. Diet pribadi yang bijaksana dari roti dan air jauh lebih
membawa kebahagiaan daripada kelebihan makanan, sebab bagi pribadi yang bijak telah
belajar tidak hanya menghabiskan sedikit tetapi juga membutuhkan sedikit.
Kesenangan puncak dalam kodrat manusia adalah ketenangan. Epicurus memaksudkan
ketenangan sebagai ketidakhadiran dari rasa sakit badan dan kedamaian pikiran. Makna
ketenangan dapat dicapai dengan menurunkan keinginan-keinginan, dengan mengatasi
ketakutan-ketakutan yang tidak perlu, dan di atas semuanya, kembali kepada kesenangan
pikiran, yang merupakan tingkat tertinggi dari kedamaian. Dalam arti ini, kesenangan-
kesenangan dari pikiran adalah kesenangan-kesenangan badaniah karena mereka mempunyai
dampak untuk mencegah pemakaian berlebihan dalam hal-hal yang berkaitan dengan tubuh
dan karenanya mencegah rasa sakit berikutnya.

1.4 Kesenangan dan Keadilan Sosial


Epicurus membangun pemikirannya tentang kesenangan individual dan memperluasnya
pada penjelasan tentang interaksi dan keadilan sosial. Secara personal, Epicurus berusaha untuk
melepaskan dirinya dari keterlibatan dengan orang lain, khususnya kepada orang miskin yang
kebutuhan dan permasalahannya kompleks, sebagaimana ia berusaha untuk melepaskan diri
dari belenggu makanan yang lezat. Meskipun demikian, keterkaitan kita yang tak terhindarkan
dengan orang lain mempunyai sebuah dampak nyata pada kebahagiaan kita yang tidak dapat
diabaikan. Pertama, kisah persahabatan merupakan kunci kebahagiaan kita, khususnya ketika
teman-teman kita cocok dan mengagumkan secara intelektual. Kedua, kewajiban umum dari
warga masyarakat adalah untuk menghalangi orang yang dapat menyebabkan rasa sakit pada
individu-individu. Teori Epicurus tentang hal badaniah diatur oleh sebuah tatanan rasional
yang lebih tinggi dari segala sesuatu, sebagaimana kita temukan dalam teori Plato tentang dunia
Ide. Meskipun demikian, pemikirannya tentang usaha mencari kesenangan dan menghindari
kesakitan mempunyai dasar yang sangat kuat untuk keadilan umum sejauh orang setuju untuk
tidak menyakiti satu sama lain. Epicurus menulis: “Tidak pernah ada hal seperti itu sebagai
keadilan absolut, tetapi hanya kesepakatan yang dibuat secara timbal-balik berurusan dengan
orang-orang dalam waktu dan tempat yang berbeda-beda, yang bersiap-siap menghadapi
kerugian dari penderitaan dan kesakitan”.

4
2. Stoisisme
Stoisisme sebagai sebuah sekolah filsafat termasuk beberapa dari pemikir-pemikir yang
terkenal pada filsafat kuno. Sekolah ini didirikan oleh Zeno dari Citium (334–262 SM).
Sekolah ini mempelajari filsafat aliran Stoa yang berarti “obor” dari kata “stoic” (Yunani).
Filsafat Stoa ini dapat ditemukan dalam pemikir-pemikir Roma seperti Cicero (106-43 SM),
Epictetus (60-117 M), Seneca (4 SM–65 M), dan Kaisar Marcus Aurelius (121–180 M).
Pengaruh mereka membantu untuk menyelaraskan tekanan filsafat Stoa yang berlebihan pada
persoalan etika, meskipun aliran Stoa menunjukkan pada dirinya pada tiga pembagian filsafat
yang dirumuskan di Liceum Aristoteles, yaitu logika, fisika, dan etika.

2.1 Kebijaksanaan versus Kesenangan


Aliran Stoa mengartikulasikan filsafat moralnya kepada kebahagiaan, tetapi tidak seperti
aliran Epicurean; mereka tidak bermaksud merumuskan filsafatnya dalam kesenangan.
Sebaliknya, aliran Stoa mencari kebahagiaan dalam kebijaksanaan; sebuah kebijaksanaan yang
melaluinya untuk mengontrol apa yang berada dalam kemampuan manusiawi dan untuk
dengan penyerahan diri pada apa yang harus terjadi. Contohnya, kemampuan untuk mengatasi
emosi berhadapan dengan ancaman serius terhadap eksistensi seseorang; ancaman kematian
menyebabkan aliran Stoa dengan sebuah model autentik untuk meneladan hidup mereka.
Berabad-abad setelah aliran Stoa, Epictetus berkata: “Saya tidak dapat melarikan dari
kematian, tetapi dapatkah saya membebaskan diri dari ketakutan akan kematian?” Dengan
mengembangkan tema yang sama dalam cara yang umum, Epictetus menulis: “Jangan
menuntut bahwa peristiwa akan terjadi padamu seperti yang kamu harapkan; tetapi,
berharaplah terjadi sebagaimana kamu pikirkan, dan kamu akan mengalami dengan baik”
Artinya, kita tidak dapat menguasai seluruh peristiwa dalam hidp kita, tetapi kita dapat
menguasai sikap kita terhadap apa yang terjadi. Tidaklah berguna takut akan peristiwa masa
depan, bagi peristiwa itu bagaimanapun akan terjadi. Akan tetapi, adalah mungkin melalui
tindakan kehendak untuk menguasai ketakutan kita. Kita tidak seharusnya takut akan peristiwa,
dalam arti yang benar, kita tidak memiliki “fakta yang ditakutkan”, tetapi kita memiliki
“pikiran akan hal yang ditakutkan”.
Ada sebuah “kesederhanaan berpikir” dari filsafat moral Stoa. Tetapi, filsafat moral ini
hanya dapat dihayati oleh kaum intelektual. Tujuannya cukup sederhana, yaitu menguasai
tingkah laku manusia. Pertanyaannya, bagaimana aliran Stoa sampai pada jalan filsafat moral
ini? Mereka melakukannya dengan menciptakan sebuah gambaran mental tentang “apa yang
serupa dengan dunia” dan “bagaimana manusia menyesuaikan dengannya”. Dunia merupakan
sebuah tatanan yang teratur tempat orang dan segala sesuatu berada di dalamnya sesuai dengan
“prinsip tujuan”. Mereka melihat melalui seluruh alam mengenai kerja dari akal budi dan
hukum. Aliran Stoa mendasarkan pada sebuah gambaran khusus tentang Allah untuk
menjelaskan pandangan tentang dunia ini karena mereka berpikir tentang Allah sebagai
substansi rasional yang bereksistensi tidak dalam tempat tertentu, tapi dalam seluruh alam
semesta. Inilah gambaran tentang Allah kaum Stoa; sebuah forma akal budi substansial yang
menyebar untuk menguasai dan mengatur seluruh struktur alam semesta. Aliran Stoa
menyakini bahwa Allah menentukan perjalanan peristiwa-peristiwa dalam alam semesta.

2.2 Teori Pengetahuan


Aliran Stoa menjelaskan secara detail tentang bagaimana kita mendapatkan pengetahuan.
Mereka tidak hanya berhasil dalam menemukan pendasaran filsafat moralnya, tetapi penemuan

5
teori pengetahuan juga penting. Ada dua alasan yang dapat dikemukakan: 1) teori
pengetahuannya menjadi pendasaran untuk teori materialistis tentang alam dan 2) teori
pengetahuannya memberikan dasar bagi pandangan kebenaran dan kepastian.
Konsekuensi dari teori pengetahuan ini melahirkan penjelasan mengenai asal-usul ide-
ide. Bagi aliran Stoa, kata-kata mengungkapkan gagasan dan gagasan merupakan hasil dari
pengaruh objek-objek dalam pikiran. Pada awalnya kelahiran pikiran itu kosong. Selanjutnya,
pikiran melakukan penyimpanan ide-ide dalam relasinya terhadap objek-objek. Objek-objek
ini memberikan kesan-kesan pada pikiran kita melalui peran indera-indera kita. Contohnya,
sebuah pohon memberikan kesan dalam gambaran pada pikiran kita melalui indera
penglihatan. Penglihatan yang diulang-ulang akan menambah kesan-kesan, mengembangkan
ingatan, dan memampukan kita untuk membentuk persepsi lebih umum melalui objek-objek
langsung di hadapan kita.
Aliran Stoa mempunyai persoalan dalam menjelaskan tentang “ide-ide umum”, yaitu
kebaikan dan keindahan. Ide-ide ini harus menunjukkan bagaimana pikiran kita berhubungan
dengan sensasi. Satu hal dibuktikan bahwa ide tentang pohon masuk dalam penglihatan kita.
Tetapi, bagaimana kita dapat menjelaskan “ide-ide umum”, yaitu ide-ide yang mengacu kepada
sesuatu yang melampaui indera-indera kita? Aliran Stoa menjawab bahwa seluruh pikiran
dalam cara tertentu terhubung dengan indera-indera, bahkan pikiran yang melakukan penilaian
dan kesimpulan. Sebuah penilaian atau kesimpulan tentang sesuatu sebagai baik atau buruk
merupakan produk dari proses mekanis dari kesan-kesan. Pikiran kita mulai bekerja dari
kesan-kesan dan sejumlah pikiran kita didasarkan pada kesan-kesan yang mulai dari dalam
kita, seperti dalam kasus perasaan. Karena itu, perasaan dapat memberi kita pengetahuan dan
menjadi sumber “persepsi yang sangat menarik” yang menjadi dasar rasa kepastian kita. Dalam
hal tertentu, melalui teori ini, aliran Stoa tidak hanya menemukan di dalamnya sebuah dasar
untuk kebenaran, tetapi juga memasukkan sebuah kecenderungan yang jelas pada filsafat pada
umumnya. Bagi kaum Stoa, seluruh pikiran berasal dari pengaruh objek-objek pada indera
adalah mengafirmasi bahwa tidak ada yang bereksistensi secara nyata kecuali segala sesuatu
yang merasuk pada bentuk-bentuk materi.

2.3 Materi dan Allah


Bagi kaum Stoa, materi adalah dasar seluruh kenyataan. Karena itu, materialisme
disajikan Stoisisme dengan sebuah pemikiran yang asli dari dunia fisik dan kodrat manusiawi.
Gambaran yang luas dari aliran Stoa menarik dari kodrat fisik yang diikuti oleh posisi mereka
bahwa segala sesuatu yang nyata bersifat materi. Akan tetapi, dunia bukanlah tumpukan dari
kepadatan atau materi yang pasif. Dunia itu dinamis, berubah, berstruktur, dan ditata oleh
keteraturan. Disamping, materi yang padat, ada kekuatan atau kekuasaan, yang menghadirkan
pembentukan yang aktif dan elemen yang menata di alam ini. Kekuatan aktif ini tidaklah
berbeda dari materi, tetapi lebih pada forma yang berbeda. Aliran Stoa menyatakan bahwa
forma itu adalah api dan api ini meresapi segala sesuatu dengan memberikan vitalitas. Api
material ini mempunyai atribut rasionalitas, dan karena hal ini merupakan forma tertinggi dari
mengada, aliran Stoa memahaminya sebagai kekuatan rasional yang adalah Allah.
Pemikiran yang sangat penting dari Stoisisme adalah bahwa Allah ada dalam segala
sesuatu. Ketika kita mengatakan bahwa Allah ada dalam segala sesuatu – sebagai api, kekuatan,
atau rasionalitas – kita mengandaikan bahwa seluruh alam dipenuhi dengan “prinsip dari akal
budi”. Dalam cara yang detail, aliran Stoa berbicara tentang peresapan materi, yang melaluinya
mereka maksudkan bahwa jenis-jenis yang berbeda dari materi bercampur bersama-sama.

6
Substansi material dari Allah bercampur dengan apa yang akan menjadi materi yang tak
bergerak. Materi berperilaku sebagai jalan karena kehadiran di dalamnya “prinsip dari akal
budi”. Hukum alam merupakan prilaku materi yang berkelanjutan sesuai dengan prinsip ini;
hal ini merupakan hukum alam dari segala sesuatu. Kemudian, bagi aliran Stoa, alam
mempunyai asal-usulnya dalam Allah – kerangka dari segala sesuatu yang berapi dan hangat –
dan segala sesuatu secara langsung menerima impresi dari akal budi yang menjadi jejak Allah.
Karena segala suatu melanjutkan prilaku sebagaimana mereka diatur untuk berperilaku, kita
dapat melihat bagaimana aliran Stoa mengembangkan gagasan mereka tentang nasib dan
penyelenggaraan.
Aliran Stoa berbicara mengenai nasib dan penyelengaraan. Bagi mereka, penyelengaraan
dimaksudkan bahwa peristiwa-peristiwa menjadi jalan bahwa peristiwa-peristiwa terjadi
karena segala sesuatu dan orang-orang di bawah penguasaan Logos/Allah. Tatanan dari seluruh
dunia berdasarkan pada kesatuan dari seluruh bagian-bagian dan apa yang menyatukan seluruh
struktur materi merupakan substansi yang berapi yang meresapi segala sesuatu. Tidak ada
guncangan di alam semesta, karena tidak ada sesuatu pun yang hilang. Puncaknya, aliran Stoa
membentuk filsafat moralnya melawan latar belakang ini tentang alam semesta material yang
dikontrol secara total.

2.4 Kodrat dan Etika Manusia


Aliran Stoa meyakini bahwa untuk membangun filsafat moral, perlulah mempunyai
pandangan yang jelas tentang kodrat manusia. Sebagaimana, dunia mempunyai sebuah tatanan
material yang diresapi oleh substansi yang berapi, yaitu akal budi atau Allah. Ddemikian juga,
seorang pribadi adalah makhluk material yang diresapi oleh substansi yang sama. Aliran Stoa
mempunyai pernyataan yang terkenal: “Manusia memiliki pancaran ilahi di dalamnya”.
Dengan ini, mereka memaksudkan bahwa seorang pribadi menjadi bagian dari substansi Allah.
Allah adalah jiwa dari dunia, dan setiap jiwa manusia adalah bagian dari Allah. Pancaran ilahi
ini merupakan sebuah substansi material yang murni dan halus yang meresapi badan seseorang.
Jiwa material yang murni ditransfer oleh orang tua kepada anak dalam cara yang bersifat fisik.
Aliran Stoa berpikir bahwa jiwa berpusat pada jantung dan bahwa jantung menjadi pusat aliran
darah. Apa yang jiwa tambahkan kepada badan merupakan mekanisme yang halus dari lima
indera, dan juga kekuatan berbicara dan berreproduksi. Tetapi, karena Allah adalah Logos
rasional, jiwa manusia berakar juga dalam akal budi, dan akibatnya, kepribadian seseorang
menemukan ekspresi uniknya dalam rasionalitasnya. Bagi aliran Stoa, rasionalitas manusia
tidak hanya berarti bahwa orang mampu berpikir tetang sesuatu hal. Lebih jauh, rasionalitas
manusia berarti bahwa hakikat seorang pribadi mengambil bagian dalam struktur rasional dan
tatanan dari kodrat keseluruhan. Rasionalitas manusia menghadirkan kesadaran kita tentang
tatanan aktual dari segala sesuatu dan tempat kita dalam tatanan ini.
Menurut Epictetus, filsafat moral merupakan sebuah pandangan sederhana. Di dalamnya,
setiap pribadi adalah aktor dalam sebuah drama. Apa yang Epictetus maksudkan, ketika ia
menggunakan gambaran ini adalah bahwa seorang aktor tidak dapat memilih perannya;
sebaliknya, hanya sutradara dari sebuah drama dapat memilih orang-orang untuk bermain
dalam peran yang berbeda-beda. Dalam drama di dunia ini, sutradara itu adalah Allah (prinsip
dari akal budi), yang menentukan setiap pribadi untuk memerankan tokoh tertentu yang
berlangsung dalam sejarah. Kebijaksanaan manusia, menurut aliran Stoa, mengakui bahwa
peran kita dalam drama ini dan mempertunjukkan perannya dengan baik. Sejumlah orang
mempunyai peran figuran (peran yang tidak penting), sementara orang lain memerankan peran

7
utama (peran yang penting). Epictetus menjelaskan: “Jika Allah menghendaki bahwa kamu
diperankan sebagai orang miskin, lakukanlah peranmu dengan baik; atau seorang yang cacat,
atau seorang penguasa, atau seorang warga yang istimewa. Urusanmu adalah berperan sebaik-
baiknya sesuai dengan peranmu”. Seorang aktor yang mengabaikan sesuatu hal yang tidak
disadari, akan mempengaruhi kisah drama yang ditampilkan dan juga pemain-pemain lainnya.
Seorang aktor tidak menguasai ceritanya atau plotnya. Tetapi ada satu hal yang penting bahwa
para aktor dapat menguasai sikap dan emosi mereka. Kita dapat bersungut-sungut karena kita
mendapatkan peran yang tidak penting atau diwarnai dengan iri hati karena orang lain dipilih
dalam peran yang hebat, atau merasa direndahkan karena makeup wajah diberikan dengan
sebuah tampilan yang jelek. Akan tetapi baik bersungut-sungut, iri hati, direndahkan tidak
dapat mengubah kenyataan bahwa kita mempunyai peran yang remeh, bukan peran yang hebat
dan tampilan yang jelek. Perasaan-perasaan ini hanya merampas kebahagiaan. Jika kita ingin
tinggal bebas dengan perasaan-perasaan ini, aliran Stoa mengusulkan untuk bersikap apatheia.1
Sikap ini dapat membawa kepada ketenangan dan kebahagiaan. Sikap menjadi tanda bagi orang
bijak. Orang yang bijak adalah dia yang mengenal dan menerima perannya.

2.5 Problem Kebebasan


Ada persoalan yang serius dalam filsafat moral aliran Stoa. Persoalan ini menyangkut
kodrat kebebasan manusia. Kita dapat dengan mudah memahami pemikiran Stoisisme bahwa
kodrat diselaraskan dan diatur oleh akal budi Allah; khususnya, ketika kita berpikir tentang
skema besar dalam sebuah drama alam semesta. Mungkin itu benar bahwa para aktor tidak
memilih peran mereka. Tetapi, apa perbedaan antara memilih peran kita dan memilih sikap kita
dalam drama? Jika kita tidak bebas untuk memilih untuk yang satu, bagaimana kamu dapat
bebas memilih untuk yang lain? Mungkin saja begitu bahwa Allah tidak hanya memilih kita
menjadi orang yang miskin, tetapi juga melemparkan kita sebagai orang miskin yang tidak puas
akan hidupnya. Apakah sikap mengambang bebas dengan menunggu dipilih dalam barisan
orang-orang yang lewat, atau apakah mereka merupakan bagian dari pribadi dengan ukuran
warna mata?
Aliran Stoa tetap bertahan pada pendirian mereka bahwa sikap berada di bawah control
kita dan melalui tindakan kehendak, kita dapat memutuskan bagaimana kita bereaksi terhadap
peristiwa-peristiwa dalam hidup kita. Tetapi, mereka tidak pernah memberikan sebuah
penjelasan yang memuaskan terhadap kenyataan bahwa penyelenggaraan mengatur segala
sesuatu pada saat yang sama penyelenggaraan tidak mengatur tingkah laku kita. Aliran Stoa
memberikan penjelasan dengan mengandaikan bahwa sementara segala sesuatu dalam alam
semesta bertindak menurut hukum ilahi, karakter khusus manusia bertindak menurut
pengetahuan mereka berkaitan dengan hukum. Contohnya, air menguap dari panas matahari,
lalu membeku, dan kembali dalam bentuk hujan. Tetapi setiap tetesan air tidak pernah berkata:
“Di sini, kita kembali lagi”, seolah-olah menyatakan ketidaksukaannya terhadap asalnya yang
berasal dari air laut. Kita melakukan proses yang sama dalam perubahan ketika kita mulai
berumur dan menghadapi kematian. Di samping proses otomatis bertambahnya umur, kita tahu
apa yang sedang berlangsung pada kita. Tidak ada sejumlah pengetahuan yang baru akan
mengubah kenyataan bahwa kita akan mati. Meskipun demikian, aliran Stoa membangun
seluruh filsafat moralnya pada pendirian bahwa jika kita tahu hukum yang ketat dan memahami

1
Apatheia (ἀπάθεια, Yunani) a- “tanpa perasaan dan pathos “penderitaan” atau “kegairahan”), dalam
Stoisisme mengacu kepada keadaan pikiran yang di dalamnya orang tidak diganggu oleh
nafsu/kegairahan (https://en.wikipedia.org/wiki/Apatheia; Dikutip, 19 September 2019)
8
peran kita yang tak terhindarkan, kita tidak akan tenang menghadapi sesuatu yang tak
terhindarkan, tetapi kita akan menghayati dengan sukacita dengan mengalami kedamaian
dalam sejarah. Kebahagiaan bukanlah hasil pilihan, melainkan sebuah kualitas akan eksistensi,
dengan menjamin pada apa yang harus terjadi. Karena itu, kebebasan bukanlah kekuatan untuk
mengubah nasib kita tetapi lebih pada ketidakhadiran dari gangguan yang disebabkan oleh
perasaan-perasaan.

3. Skeptisisme
Pada umumnya, kita mengartikan skeptis sebagai orang yang mempunyai sikap ragu.
Akan tetapi, istilah skeptikoi (Yunani) berarti “pencari” atau “penyelidik”. Para skeptis tentu
saja orang-orang yang memiliki keraguan. Mereka ragu terhadap Plato dan Aristoteles yang
berhasil dalam menemukan kebenaran tentang dunia dan mereka mempunyai keraguan yang
sama tentang aliran Epicurean dan aliran Stoa. Lebih dari persoalan keraguan, para skeptis
adalah para pencari tentang sebuah metode untuk mencapai hidup yang tenang. Pyrro dari Elis
(361-270 SM) adalah pendiri dari sekolah khusus Skeptisisme yang mempunyai pengaruh pada
filsafat pada abad-abad selanjutnya. Pendekatan khusus dikenal sebagai Pyrronisme. Pada
waktu yang sama Pyrro menarik perhatian para pengikutnya; sebuah sekolah Skeptisisme yang
bersaing muncul bersama dengan Academi Plato, khususnya melalui pemimpinnya Arcesilaus
(316-241 SM) yang menjadi pemimpin dari Academi satu generasi setelah Plato. Dalam
Academinya, aliran Skeptis menolak metafisika Plato dan menghidupkan kembali teknik
dialektis Socrates yang mereka gunakan sebagai alat untuk memberikan penilaian. Pyrro tidak
menulis apa pun. Ajaran pokok dari Academinya berlanjut melalui sejarawan-sejarawan dan
diskusi-diskusi generasi berikutnya. Ajaran pokok yang menghidupi teks Yunani mengenai
Skeptisisme dikembangkan oleh Sextus Empiricus (200 M), seorang pengikut tradisi
Pyrronian. Dalam bagian pembukaan dari pemikiran Pyrronian, Sextus menawarkan sebuah
penjelasan yang memberikan pencerahan tentang makna dan tujuan dari sudut pandang
Skeptisisme.

3.1 Pencarian Ketenangan Batin


Apa yang dikembangkan oleh Skeptisisme? Sextus menyatakan bahwa Skeptisisme
berakar dalam harapan untuk mencapai ketenangan batin. Orang-orang telah terganggu oleh
pertentangan dalam segala sesuatu dan diwarnai oleh keraguan sebagai ganti dari apa yang
mereka yakini. Seorang filsuf berkata kepada kita tentang suatu hal dan mengatakan kepada
kita sesuatu yang sungguh-sungguh bertentangan. Para skeptis berpikir bahwa jika mereka
dapat memisahkan kebenaran melalui penyelidikan dari kepalsuan, mereka dapat mencapai
ketengangan batin. Para skeptis digoncang dengan pemikiran-pemikiran berbeda tentang
kebenaran yang diajukan oleh para filsuf. Para skeptis mencatat bahwa orang-orang yang
mencari kebenaran dapat digolongkan menjadi tiga: pertama, orang yang berpikir bahwa
mereka menemukan kebenaran (golongan ini disebut “dogmatis”); kedua, orang yang
mengakui bahwa mereka tidak menemukan kebenaran dan juga menyatakan bahwa kebenaran
tidak dapat ditemukan (golongan ini disebut sebuah “posisi dogmatis”); dan ketiga, orang yang
terus mencari kebenaran. Tidak seperti golongan pertama dan kedua, Sextus berkata: “Para
skeptis terus-menerus mencari”. Skeptisisme bukanlah sebuah penyangkalan terhadap
kemungkinan untuk menemukan kebenaran dan bukan juga penyangkalan terhadap kenyataan
dasar dari pengalaman manusia. Skeptisisme lebih pada proses pencarian terus-menerus yang
di dalamnya penjelasan akan pengalaman diuji oleh pengalaman yang berlawanan. Prinsip

9
dasar dari Skeptisisme adalah bahwa terhadap setiap pernyataan, sebuah pernyataan yang
sama dilawankan. Ini adalah konsekuensi dari prinsip ini, “Kita bertujuan dengan
menghentikan untuk membuat dogma kebenaran”.
Para skeptis terpesona dengan kenyataan bahwa “penampakan” yang sama menghasilkan
penjelasan yang berbeda-beda dari orang-orang yang mengalaminya. Mereka menemukan juga
bahwa argumen-argumen dioposisikan kepada masing-masing argumen lain yang tampak sama
kuatnya. Itulah, penjelasan alternatif hadir sebagai sebuah kemungkinan yang sama menjadi
sesuatu yang benar. Menurutnya, para skeptis menunda untuk memberikan penilaian dan
menunda untuk mengulangi penolakan atau penyangkalan terhadap sesuatu. Berdasarkan
penundaan dari penilaian, mereka berharap mencapai sebuah ketenangan batin dan tanpa
gangguan.

3.2 Persoalan yang Jelas dan Tidak Jelas


Para Skeptis berjuang dengan gigih dalam pemikiran dan perdebatan yang hebat.
Mereka tidak menyangkal pada kenyataan yang jelas tentang hidup; contohnya, bahwa orang
merasa haus dan lapar dan bahwa mereka dalam bahaya ketika mereka mendekati pada sebuah
jurang. Adalah jelas bagi para skeptis bahwa orang harus hati-hati dalam bertindak. Mereka
tidak ragu-ragu bahwa hidup dalam dunia yang “nyata”. Mereka hanya bertanya-tanya
apakah dunia ini dapat digambarkan secara tepat. Sextus menjawab bahwa tak seorang pun
akan memperdebatkan bahwa objek-objek tampak dalam hal ini atau hal itu; pertanyaannya
adalah apakah “objek ini berada dalam kenyataan sebagaimana adanya sebagaimana ia
tampak”. Karena itu, meskipun aliran Skeptis menolak untuk menghayati secara dogmatis,
mereka tidak menyangkal fakta-fakta yang jelas tentang pengalaman. Sextus berkata, “Kita
mesti memperhatikan apa yang tampak”. Hidup harian bagi para skeptis membutuhkan
pengakuan secara teliti tentang empat hal: 1) pedoman alam 2) penguasaan perasaan 3) tradisi
mengenai hukum-hukum dan kebiasaan 4) intruksi tentang seni. Masing-masing hal ini
menyumbangkan hidup yang damai dan sukses dan tak satu pun membutuhkan penafsiran dan
penilaian dogmatis, hanya perlu diterima. Selanjutnya, melalui pedoman alam, kita mampu
secara alamiah merasakan dan berpikir. Juga, melalui kekuatan perasaan, ada dorongan untuk
makan saat lapar dan untuk minum saat haus. Inilah tradisi dari hukum dan kebiasaan yang
membawa kita dalam hidup harian untuk menerima kesucian sebagai hal yang baik dan
ketidaksucian sebagai hal yang tidak baik. Akhirnya, Sextus berkata, melalui intruksi tentang
seni, kita terlibat dalam seni yang di dalamya kita memilih dan terlibat.
Para Skeptis tidak menolak fakta-fakta yang jelas dari persepsi inderawi. Sextus berkata
bahwa orang yang menyatakan bahwa para Skeptis menolak penampakan “tampak pada saya
menjadi hal yang tak dikenal dengan pernyataan dari sekolah kita”. Mereka tidak bertanya
tentang “penampakan” tetapi hanya “persoalan yang diberikan dalam penampakan”. Sebagai
contoh, Sextus berkata bahwa madu tampak manis dan hal ini kita terima melalui indera
pengecap. Tetapi pertanyaan yang jelas adalah apakah madu dalam esensi itu manis.
Selanjutnya, argumen dari aliran Skeptis tentang penampakan diperdalam bukan maksud untuk
menyangkal kenyataan dari penampakan objek, tetapi mau menunjuk pada kekakuan para
Dogmatis. Moral Sextus menarik dari perlakuan objek inderawi; jika akal budi dapat mudah
ditipu oleh apa yang tampak. “Jika akal budi adalah penipu terhadap seluruhnya, tetapi
menyambar apa yang tampak dari mata kita, seharusnya kita tidak perlu waspada secara khusus
dengan mengikuti akal budi dalam hal persoalan-persoalan yang tidak jelas dan untuk
menghindari keadaan yang tergesa-gesa.

10
Persoalan-persoalan yang tidak jelas mempunyai tempat utama dalam sistem filsafat
Plato, Aristoteles, dan Stoa. Di sini, para Skeptis memperluas teorinya, khususnya tentang
kodrat sesuatu yang fisik. Akan tetapi, bagaimana sebuah teori fisik dapat memberikan kita
kebenaran yang jernih? Para Skeptis mempunyai sebuah sikap ganda terhadap studi fisik.
Mereka menolak berteori tentang hal yang fisik dengan pendapat yang jelas dan mantap tentang
segala sesuatu. Meskipun demikian, mereka tidak menyentuh pada hal-hal yang fisik;
akibatnya, agar mempunyai untuk setiap argumen, argumen yang sama digunakan untuk
beroposisi. Pendekatan mereka pada persoalan etika dan logika adalah pendekatan yang sama.
Dalam masing-masing kasus, pencarian mereka demi ketenangan batin bukan pada pendekatan
negatif atau penolakan berpikir, tetapi lebih pada sebuah pendekatan aktif. Metode mereka
tentang “penundaan terhadap penilaian” melibatkan aktivitas dengan “menempatkan segala-
sesuatu dalam oposisi. Sextus berkata: “Kita mengoposisikan apa yang tampak kepada apa
yang tampak atau pikiran kepada pikiran, atau apa yang tampak kepada pikiran”.
Selanjutnya, Sextus membedakan antara dua jenis penyelidikan yaitu hal yang
berurusan dengan persoalan-persoalan yang jelas dan hal yang berurusan dengan persoalan-
persoalan yang tidak jelas. Hal-hal yang jelas, sebagaimana siang dan malam, tidak
menimbulkan persoalan yang serius dalam pengetahuan. Dalam kategori ini, juga syarat-
syaratnya itu jelas untuk ketenangan pribadi dan bersama karena kita tahu bahwa kebiasaan
dan hukum mengikat masyarakat secara bersama. Tetapi, hal yang tidak jelas – contohnya,
apakah perangkat alam dibuat dari atom-atom atau sejumlah substansi yang berapi – akan
menimbulkan perdebatan intelektual. Kapan pun kita melampaui wilayah yang jelas dalam
pengalaman manusiawi kita, penyelidikan kita untuk pengetahuan akan berproses dalam
pengaruh keraguan yang kreatif. Kemudian, jika kita bertanya bagaimana kita tahu apakah rupa
alam semesta, para Skeptis akan menjawab bahwa kita tidak dapat mengetahuinya. Itu
mungkin, mereka katakan, orang akan mencapai kebenaran; mungkin juga, mereka akan salah.
Akan tetapi, kita tidak dapat memutuskan apakah mereka mempunyai kebenaran atau berada
dalam kesalahan karena kita belum mempunyai sebuah kriteria yang jelas untuk menentukan
kebenaran dalam persoalan-persoalan yang tidak jelas.

3.3 Indera-indera Menipu


Sextus berpendapat bahwa jika pengetahuan kita berasal dari kesan-kesan inderawi, ada alasan
yang kuat untuk meragukan kepastian dari seluruh pengetahuan kita. Berdasarkan fakta, indera-
indera kita memberikan informasi yang berbeda tentang objek yang sama pada waktu yang
berbeda dan lingkungan yang berbeda. Contohnya, dari sebuah jarak, gunung berwarna biru,
tetapi setelah didekati gunung berwarna hijau. Sebuah pemandangan akan tampak berbeda
dilihat pada waktu yang berbeda; pagi tampak sejuk, siang tampak cerah, sore tampak redup.
Demikian juga soal rasa, makanan yang sama dapat dirasakan berbeda oleh lidah yang berbeda.
Kita sungguh-sungguh tidak mempunyai kesan-kesan inderawi yang pasti. Ketika kita melihat
pensil dimasuk ke dalam gelas yang berisi air jernih, pensil akan terlihat tampak besar. Padahal
jika kita ambil pensil dari dalam gelas, pensil tidak sebesar ketika ada di dalam gelas. Persepsi
kita tidak memberikan ketepatan dan kebenaran dari kesan-kesan yang dialaminya.
Kebanyakan pengetahuan kita didasarkan pada persepsi yang kepadanya kita tidak memiliki
kriteria kebenaran. Kesimpulan aliran Skeptis adalah bahwa kita tidak memiliki kepastian
bahwa pengetahuan kita pada kodrat suatu hal mungkin benar dan mungkin salah.

3.4 Keraguan Aturan Moral

11
Sextus menyatakan bahwa pemikiran moral dan objek-objek fisik merupakan hal-hal
yang layak untuk diragukan. Orang dalam komunitas yang berbeda mempunyai pemikiran
berbeda tentang apa yang benar dan yang baik. Adat-istiadat dan hukum moral berbeda dalam
setiap komunitas dan demikian juga dalam komunitas yang sama pada waktu yang berbeda.
Aliran Stoa berkata bahwa ada sebuah alasan universal yang di dalamnya semua orang berbagi,
dengan membawa kepada sebuah kesepakatan umum dari semua orang mengenai hak-hak
manusia. Aliran Skeptis menantang baik teori maupun fakta dengan mengatakan bahwa tidak
ada bukti bahwa semua mempunyai kemampuan untuk menyetujui kebenaran dari prinsip-
prinsip moral universal. Lebih jauh, mereka berpendapat, tidak ada kepastian bahwa orang
dalam faktanya menunjukkan kesepakatan universal. Faktanya adalah orang-orang tidak
sepakat. Lalu, orang yang tidak sepakat dapat melakukan kasus-kasus yang sesuai dengan sudut
pandang mereka. Dalam soal moral, tidak ada pengetahuan absolut, yang ada hanya pendapat.
Aliran Stoa berpendapat bahwa dalam hal-hal yang pasti, pengujian terhadap kebenaran adalah
“persepsi yang tidak dapat disangkal”. Aliran Skeptis menjawab dengan mengatakan bahwa
fakta yang menyedihkan adalah bahwa betapa pun kuatnya pendapat diberikan, setelah
semuanya itu, pendapat hanyalah pendapat dan kita dengan segala fakta yang diberikan
mendukung pada posisi yang berlawanan. Ketika orang mengambil sebuah pendirian yang
dogmatis, kesimpulannya selalu tak terbantahkan, tetapi hal ini bukanlah jaminan bahwa
gagasan mereka benar.
Sextus menjadikan persoalan skeptisnya tentang moralitas sebagai pemikiran yang
sistematis. Ia mengumpulkan contoh demi contoh tentang bagaimana orang dan masyarakat
mempunyai sikap yang bertentangan pada nilai-nilai moral fundamental. Karena pertentangan
ini, kita mesti mengakui bahwa tidak ada hal yang baik dan buruk. Ini hanya soal
menangguhkan penilaian tentang karakter moral natural dari penilaian sosial yang diberikan.
Ia mengumpulkan contoh-contoh ini dalam lima kategori. Pertama, ada kode personal dari
tingkah laku bahwa orang menggunakan, seperti halnya gaya hidup dari Diogenes seorang
filsuf Sinisme dari Yunani Kuno. Kedua, ada hukum yang ditulis kode-kode yang di dalamnya
para pelanggar dihukum. Ketiga, ada kebiasaan sosial yang terlibat secara umum diterima
prakteknya yang di dalamnya para pelanggar tidak harus dihukum; contohnya praktek
homoseksualitas. Keempat, ada kepercayaan mistis tentang segala sesuatu yang tak pernah
terjadi, seperti cerita-cerita tentang konflik di dalam hidup para dewa. Kelima, ada pendapat
yang bersifat dogmatis dalam teori para filsuf yang didukung oleh argumen-argumen; seperti
padangan bahwa jiwa tidak dapat mati. Menurut Sextus, masing-masing kategori-kategori ini,
nilai moral kita bertentangan satu sama lain. Menurut hukum, ia menuliskan: “Di antara Tauri
di Scythia, ada hukum pengurbanan orang asing untuk Arthemis, tetapi bagi kita hal ini tidak
benar membunuh seorang laki-laki dekat kuil”. Menurut kebiasaan umum, “Orang-orang dari
India melakukan hubungan seks dengan perempuan di tempat umum, tetapi kebanyakan bangsa
menilai hal ini sebagai tindakan tak bermoral”. Menurut mitos religius, “Beberapa orang
berkeyakinan bahwa jiwa itu abadi, yang lain menyatakan bahwa jiwa tidak abadi”. Selanjut,
Sextus berpendapat bahwa nilai dalam kategori ini akan bertentangan dengan nilai dalam
kategori lain: “Orang Persia biasa melakukan praktek homoseks, tetapi orang Roma melarang
melalui hukum”. Hal yang sama terjadi dalam kepercayaan mistis kita tentang dewa-dewa yang
melakukan perzinahan tidak konsisten dengan hukum yang melarang perzinahan. Juga,
sejumlah filsuf memegang pandangan dogmatis bahwa incest secara moral dapat dibenarkan,
sementara hukum dalam berbagai bangsa melarangnya. Lalu, tak peduli betapa kita
memandang nilai moral, seperti halnya gaya hidup, hukum, kebiasaan, mitos religius, atau

12
ajaran filsafat, kita akan menemukan pertentangan dalam konflik antar nilai-nilai. Hal ini
menunjukkan bahwa kita tidak dapat mengatakan bahwa nilai moral yang diberikan “adalah
secara natural tentang ini atau karakter itu, tetapi sebagai gantinya semua ini persoalan tentang
kesepakatan dan bersifat relatif. Akibatnya, kita harus menangguhkan keyakinan kita tentang
kodrat objektif dari nilai-nilai moral: “Dengan melihat sebuah perbedaan besar dari praktek-
praktek ini, aliran Skeptis menunda penilaian sehingga keberadaan natural dari sesuatu yang
baik, yang buruk, atau pada umumnya dilakukan.
Konsekuensi dari sikap skeptis ini menuju pengetahuan tentang segala sesuatu dan
pengetahuan kita tentang kebenaran moral adalah bahwa kita mempunyai sebuah hak untuk
meragukan validitas pengetahuannya. Karena kita kekurangan pengetahun yang pasti, hal yang
terbaik untuk menahan penilaian mengenai kodrat moralitas yang benar. Tetapi, etika
menyangkut persoalan yang sulit bagi orang-orang untuk menunda penilaian. Ketika kita
berhadapan dengan masalah moral, kita ingin mengetahui tindakan benar yang harus dilakukan
dan hal ini mengandaikan pengetahuan yang benar. Kritik aliran Skeptisme berpendapat bahwa
para Skeptis telah membuat etika yang mungkin dan telah mengubah dari orang dengan
pedoman untuk kepentingan tingkah laku.

3.5 Moralitas tanpa Kepastian Intelektual


Para Skeptis berpendapat bahwa perlulah mempunyai pengetahuan agar bertingkah
laku sewajarnya. Cukuplah mempunyai alasan yang masuk akal, atau cukuplah sebagai
kemungkinan. Dengan demikian, tidak pernah ada kepastian yang absolut, tetapi jika ada
sebuah kemungkinan yang kuat, kita akan dibenarkan menurut gagasan-gagasan ini. Kita
memiliki pegalaman harian untuk membedakan antara pendapat yang tidak jelas dan pendapat
yang menyakinkan. Ketika pikiran tentang hak-hak mempunyai sebuah tingkat kejelasan,
mereka menciptakan dalam diri kita sebuah kepercayaan yang kuat bahwa mereka benar; inilah
yang dapat membawa kita pada tindakan. Dengan alasan ini, hukum-hukum tentang hidup
harian dan keinginan-keinginan dasar kita merupakan pedoman yang sangat dibutuhkan. Akan
tetapi, para Skeptis meminta supaya tetap hati-hati, sehingga kita tidak melakukan kesalahan
dalam menilai apa yang tampak dari kenyataan, dan di atas semuanya, kita menghindari
fanatisme dan dogmatisme. Meskipun, kita mampu untuk bertindak secara antusias bahkan
tanpa kriteria kebenaran, kenyamanan psikologis kita membutuhkan bahwa kita meninggalkan
kemungkinan yang terbuka pada penyelidikan. Sikap paling aman adalah sikap meragukan
terhadap kebenaran absolut dari pendapat/pemikiran termasuk pendirian moral. Orang yang
memelihara rasa ketenangan berdasarkan sikap keraguan mempunyai kesempatan untuk
mencapai hidup bahagia.
Jika kita bertanya apakan aliran Skeptis mempunyai sistem filsafat, Sextus akan
menjawab bahwa sistem berarti “keterikatan kepada sejumlah ajaran yang bersifat dogmatis”
dan ketika kita mengambil ajaran dogmatis, kita membuatnya menjadi “ketidakhadiran dari
pernyataan yang tidak jelas”. Tetapi jika sistem, kita maksudkan “sebuah prosedur yang
menunjukkan bagaimana sesuatu mungkin untuk tampak benar”, aliran Skeptis memiliki
sistem. Sextus berkata: “Kita mengikuti garis untuk memberikan alasan yang menunjuk pada
kita sebuah hidup yang cocok pada kebiasaan terhadap negara, hukum, institusi, dan perasaan
kita yang instingtif”.

13

Anda mungkin juga menyukai