Anda di halaman 1dari 15

ARISTOTELES DAN KONSEP CINTA KASIH

DALAM INJIL YOHANES 3:16


(Suatu Studi Sosio-Historis Terhadap Konsep Cinta Kasih Dalam Yohanes 3:16)

OLEH

LATUPEIRISSA RISVAN

75 2008 032

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER SOSIOLOGI AGAMA


UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2008
ARISTOTELES DAN KONSEP CINTA KASIH
0
Latupeirissa Risvan (75 2008 032), Monday, Dec 15, 2008
DALAM INJIL YOHANES 3:16
(Suatu Studi Sosio-Historis Terhadap Konsep Cinta Kasih Dalam Yohanes 3:16)

A. PENDAHULUAN

Umat Kristiani terkenal dengan konsep “kasih”. Perilaku hidup umat Kristiani
pun dianggap seharusnya didasarkan pada konsep ini. Konsep kasih dianggap
menjadi dasar motivasi, pedoman, kekuatan, penggerak, dan bahkan simbol dari
kekristenan. Dasar ajaran kasih ini dianggap bertolak dari pola kasih Yesus Kristus,
yang diyakini turun ke bumi untuk menghapus aib dosa manusia, karena manusia itu
sendiri pada hakikatnya adalah terbatas. Konsep Yesus sebagai Anak Allah yang turun
ke bumi untuk menyelamatkan dosa manusia dengan dasar kasih, tertuang dalam
ayat yang dianggap paling terkenal dalam sejarah kekristenan, yakni :
“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini,
sehingga Ia mengaruniakan AnakNya yang tunggal,
supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa,
melainkan beroleh hidup yang kekal.”
Yoh 3:16

Dalam konsep ini, Allah atas dasar kasihNya, mengaruniakan Yesus, yang
adalah AnakNya menjadi harga tebusan yang harus dibayar bagi keselamatan
manusia. Inilah doktrin yang hidup dan berkembang dalam gereja Kristen awal abad
2 hingga abad 5, dan bertahan hingga saat ini. Di tengah konsep yang berakar kuat
dalam kehidupan kekristenan ini, pertanyaan yang muncul adalah apakah konsep ini
benar-benar merupakan konsep milik kekristenan yang memiliki akar dalam
Yudaisme, ataukah konsep lain yang hidup di seputar masa penulisan injil tersebut
(dalam hal ini adalah injil Yohanes) yang diketahui saat itu kental dengan alam
pemikiran Helenis. Bila mengamati konsep kasih Allah dalam pengaruniaan Yesus
Kristus ke dunia, dibaca dalam kaca mata pemikiran Aristoteles berkaitan dengan
idenya tentang cinta dan Allah, akan ditemukan sejumlah kemiripan. Untuk itu, akan
dibahas ide-ide Aristoteles, serta dunia di sekitar penulisan injil Yohanes guna

1
Latupeirissa Risvan (75 2008 032), Monday, Dec 15, 2008
menganalisa konsep cinta kasih dalam injil Yohanes 3:16. Sebagai langkah awal
tulisan ini, akan dimulai dengan memaparkan secara singkat kehidupan Aristoteles
dan sejumlah pemikirannya.

B. LATAR BELAKANG KEHIDUPAN ARISTOTELES

Aristoteles (dari bahasa Yunani: ‘Aριστοτέλης Aristotélēs), (384 BCE-322


BCE) adalah seorang filsuf Yunani, murid dari Plato dan guru dari Alexander Agung.1
Aristoteles lahir di Stagira, kota di wilayah Chalcidice, Thracia, Yunani (dahulunya
termasuk wilayah Makedonia tengah) tahun 384 SM. Ayahnya adalah tabib pribadi
Raja Amyntas dari Makedonia. Pada usia 17 tahun, Aristoteles bergabung menjadi
murid Plato. Belakangan ia meningkat menjadi guru di Akademi Plato di Athena
selama 20 tahun. Aristoteles meninggalkan akademi tersebut setelah Plato meninggal,
dan menjadi guru bagi Alexander dari Makedonia. Saat Alexander berkuasa di tahun
336 SM, ia kembali ke Athena. Dengan dukungan dan bantuan dari Alexander, ia
kemudian mendirikan akademinya sendiri yang diberi nama Lyceum, yang
dipimpinnya sampai tahun 323 SM.2
Filsafat Aristoteles berkembang pada waktu ia memimpin Lyceum, yang
mencakup enam karya tulisnya yang membahas masalah logika, yang dianggap
sebagai karya-karyanya yang paling penting, selain kontribusinya di bidang
metafisika, fisika, etika, politik, kedokteran dan ilmu alam.
Sebagai anak seorang tabib dan seorang yang berminat akan ilmu hayat, ia
selalu merasa lebih tertarik oleh pertautan yang tak terpisahkan antara hal psikis dan
hal badani, daripada oleh kontras antara dua aspek tersebut (van Peursen, 1981 : 103).
Ia menulis berbagai subyek yang berbeda, termasuk fisika, metafisika, puisi, logika,
retorika, politik, pemerintahan, etnis, biologi dan zoologi. Bersama dengan Socrates
dan Plato, ia dianggap menjadi seorang diantara tiga orang filsuf yang paling
berpengaruh di pemikiran Barat.3

1
http://id.wikipedia.org/wiki/Aristoteles, 13 Des 2008, 14:38.
2
Ibid.
3
Ibid.
2
Latupeirissa Risvan (75 2008 032), Monday, Dec 15, 2008
Dapat dikatakan bahwa pemikiran Aristoteles sangat berpengaruh pada
pemikiran Barat dan pemikiran keagamaan lain pada umumnya. Penyelarasan
pemikiran Aristoteles dengan teologi Kristiani dilakukan oleh Santo Thomas Aquinas
di abad ke-13, dengan teologi Yahudi oleh Maimonides (1135 – 1204), dan dengan
teologi Islam oleh Ibnu Rusyid (1126 – 1198). Bagi manusia abad pertengahan,
Aristoteles tidak saja dianggap sebagai sumber yang otoritatif terhadap logika dan
metafisika, melainkan juga dianggap sebagai sumber utama dari ilmu pengetahuan,
atau "the master of those who know", sebagaimana yang kemudian dikatakan oleh
Dante Alighieri.4

C. ARISTOTELES DAN KONSEP CINTA KASIH

Bilamana paham yang berkembang dalam dunia Yunani bahwa jiwa dan tubuh
adalah saling menjauhkan diri, namun justru dalam proses itu mengandaikan bahwa
keduanya berfungsi dalam dunia manusiawi yang tidak dapat dipisahkan. Van Peursen
dalam bahasannya mengenai Aristoteles, menyatakan bahwa Aristoteles menekankan
kesatuan psiko-fisis sebagai tanda makhluk yang hidup. Dengan tegas, ia menolak
keadaan jiwa dan tubuh yang terpisah bagaikan juru mudi dengan kapalnya.
Ada 3 konsep penting, saat berbicara tentang pemikiran-pemikiran Aristoteles,
yakni, tubuh, jiwa dan roh. Berikut akan dipaparkan pemikiran Aristoteles
berdasarkan tulisan van Peursen.

Tubuh dan Jiwa


Hubungan antara jiwa dan tubuh disamakan dengan hubungan antara
materi dan bentuk. Sebagaimana materi tidak dapat dibayangkan tanpa bentuk,
seperti itu pula bentuk tidak dapat berdiri sendiri, demikian juga hubungan jiwa
dan tubuh harus dipahami satu sama lain.
Materi yang hidup selalu bergerak dan berkembang karena bentuk yang
khusus baginya. Aristoteles mendefinisikan jiwa sebagai bentuk sebuah tubuh
alamiah yang mempunyai potensi kehidupan; atau sebagai entelekheia yakni
perealisasian yang seolah-olah berarti rencana induk bagi tubuh.
4
Ibid.
3
Latupeirissa Risvan (75 2008 032), Monday, Dec 15, 2008
Bagi Aristoteles, semua makhluk hidup mempunyai jiwa, walaupun
tidaklah sama. Ia membedakan jiwa vegetatif, jiwa hewani dan jiwa rasional. Jiwa
yang terakhir ini -jiwa rasional, jiwa manusiawi- adalah bentuk jiwa yang tertinggi
yang dapat dimiliki oleh makhluk-makhluk jasmani.
Tanpa tubuh, jiwa bukan lagi jiwa yang sungguh. Ada ungkapan yang
menarik bahwa sebaiknya tidak dikatakan bahwa jiwa kita belajar atau berpikir,
tetapi manusia belajar dan berpikir melalui jiwanya. Dengan demikian, yang aktif
ialah manusia secara utuh, yakni sebagai jiwa dan tubuh. Dalam hal ini, Aristotels
hendak menyatakan bahwa terlepas dari tubuh, maka tidak ada aktivitas jiwa,
bahkan tidak mungkin ada jiwa. Jiwa ini adalah perealisasian tubuh. Jelaslah dalam
penggambaran ini bahwa jiwa bukanlah suatu faktor metafisis yang tersembunyi,
melainkan menyatakan diri secara konkrit dalam manusia badani.

Roh
Hal yang menarik yakni Aristotels membedakan roh dari jiwa. Roh
menurutnya adalah kemampuan reflektif yang khas bagi manusia. Roh menurutnya
jauh lebih otonom terhadap tubuh. Roh sebenarnya tidak merupakan sesuatu. Satu-
satunya yang dapat dikatakan tentang hakikat roh ini adalah ia merupakan
kemungkinan atau potensi. Roh pada dirinya agaknya tidak lain daripada salah satu
daya ilahi yang tergolong dalam rangkaian sekian banyak daya yang menurut
Aristotels terdapat antara manusia dengan apa yang ilahi (W. D Ross dikutip oleh
van Peursen, 1981: 113).
Van Peursen menyatakan pemikiran Aristoteles dapat disebutkan sebagai
berikut :
Pada permulaan hidup manusia, maka roh sebagai daya ilahi, masuk ke
janin dan dalam kesatuan psiko-fisis yang mulai tumbuh di situ, ia menampilkan
suatu kemungkinan baru, yaitu roh yang menerima atau roh represif. Dalam roh
represif inilah –di bawah roh yang baka-, memungkinkan dalam diri manusia
pemikiran refleksi. Dengan demikian, pemikiran pribadi ini telah ditampilkan oleh
roh yang datang dari luar, tetapi serentak juga bertalian dengan kodrat manusia.
Maka dari itu, pada saat kemaatian, pemikiran ini lenyap juga. Hal yang tertinggal

4
Latupeirissa Risvan (75 2008 032), Monday, Dec 15, 2008
hanyalah roh ilahi, yang melebihi pesona-pesona perorangan sehingga harus
dikatakan bahwa de facto menjadi imanensi roh (secara faktual roh tinggal dalam
diri manusia), de iure terdapat transendensi (menurut kodratnya roh tidak termasuk
wilayah manusia).

Menurut Nuyens, roh memang merupakan suatu prinsip transenden, tetapi


suatu prinsip yang secara faktual terjalin dengan kehidupan jiwa (van Peursen,
1981:113). Inilah konsep Aristoteles. Ia membuka kemungkinan untuk melukiskan
manusia dengan cara yang tidak biologis saja, lebih dari materi hidup. Dalam konsep
Plato, yang juga nyata dalam alam pemikiran Aristotels, yakni apa yang tidak
kelihatan, justru itulah yang sempurna, hal yang sejati dan kebenaran utama. Pada sisi
sebaliknya, hal yang nampak, justru adalah tidak sempurna, dan tidak sejati. Para
pengikut Plato percaya bahwa kebenaran utama, tidak dapat dikotori oleh
hubungannya dengan dunia indra yang natural dan tidak sempurna itu.
Pertanyaan yang kemudian dimunculkan, yakni bagaimana hal yang tidak
sempurna, dapat mencapai kesempurnaan? Dapatkah yang tidak sempurna berubah
mencapai kesempurnaan? Menjabarkan hal ini, Linda Smith menyebutkan dalam
tulisannya mengenai ide Aristoteles yang menarik, mengenai perubahan yang muncul
dari cinta dan keinginan untuk mencapai kesempurnaan Penggerak Tak Tergerak
(Linda Smith, 1991 :20). Dengan demikian, perubahan terjadi hanya atas dasar cinta,
dan keinginan untuk mencapai kesempurnaan Penggerak Tak Tergerak tadi.
Banyak orang mengamati kentalnya pemikiran Aristoteles, Plato dan sejumlah
pemikiran Helenis dalam pengadopsian gambaran Allah yang transenden, yang turun
ke dalam dunia. Akan tetapi, prinsip cinta yang mendasari hal tersebut tidak begitu
diperhatikan.

D. LATAR BELAKANG SINGKAT PENULISAN INJIL YOHANES

Injil dengan nama “I” atau Yohanes ini, dianggap memiliki corak
berbeda dalam menggambarkan diri Yesus. Ide yang beredar berkaitan dengan injil
Yohanes ini, dihubungkan dengan simbol rajawali yang dibawanya. Jika ijil Markus

5
Latupeirissa Risvan (75 2008 032), Monday, Dec 15, 2008
memandang Yesus dalam gambaran singa, Yohanes dianggap mengambil karakter
seekor rajawali yang dianggap dapat terbang tinggi dan mengamati dengan lebih
baik.5 Karakter ini digunakan karena dianggap dapat menggambarkan pribadi dan
karakter Allah dengan lebih jelas dibanding inji lainnya, seakan mampu melayang di
atas hal-hal duniawi dan banyak menguraikan asal, serta sifat keilahian Yesus.
Kendati didampingkan dengan dengan 3 injil sinoptik (Matius, Markus dan
Lukas), namun materi dan pola penyajian narasi kehidupan Yesus versi injil Yohanes
memiliki alur, serta cara pengungkapan yang sedikit berbeda.6 Beberapa hal berkaitan
dengan injil Yohanes juga dapat dijabarkan sebagai berikut.
Penulis. Perdebatan mengenai kepengarangan injil Yohanes, serupa dengan
peredebatan yang dialami oleh sejumlah tulisan kitab-kitab kanon lainnya. Ada 5
alternatif kepengarangan yang dihubungkan dengan injil ini.
1. Rasul Yohanes atau Yohanes Bin Zebedeus.
2. Yohanes Si Penatua, karena dihubungkan dengan kedekatan injil Yohanes
dengan Surat Yohanes 2 dan 3.
3. Murid yang dikasihi. Akan tetapi, untuk alternatif ini, dipertanyakan
kembali, siapa murid yang dikasihi tersebut.
4. Kelompok Pengikut Yohanes atau Mazhab Yohanes.7
5. Tidak Tahu. Peter de Rosa dalam tulisannya, “Mitos Yesus”, mengatakan
bahwa tak seorang pun tahu dengan pasti, siapa penulis injil Yohanes.
Dalam pengambilan keputusan mengenai kepengarangan injil Yohanes,
penulis di sini memilih nuntuk tetap membuka ruang penafsiran terhadap siapa pun
penulis injil Yohanes. Akan tetapi, tetap berpegang pada karakteristik kepengarangan

5
J. R. R. Tolkien bahkan mendapatkan nobel ketika ia menggambarkan injil Yohanes dengan
menjelaskan simbol rajawali. Baginya, rajawali dengan matanya yang tajam, diakui mampu melihat dalam
kabut yang tebal sekali pun, layaknya matahari bersinar dengan terang, serta dalam kegelapan malam, di
bawah sebatas sinar bulan, seekor kelinci dalam radius 1 mil pun, tak lepas dari pengamatannya. Richard A.
Burridge, Four Gospels, One Jesus?, (Michigan : Grand Rapids, 1994), 131.
6
William Gentz menyebutkan bahwa bila dalam Markus 11:1, Yesus hanya sekali pergi ke Yerusalem,
dalam injil Yoahanes diberitakan 5 kali perkunjungan Yesus (2:13; 5:1; 7:10; 10:22; 12:12). Willaim Gentz,
The Dictionary of Bible Religion, (Nashville : Tennessee : Abingdon Press, 1986), 543-544. Ada pula
perbedaan penempatan cerita tentang bait suci yang dibersihkan, maupun cerita penyaliban Yesus. David
Robert Ord dan Robert Coote, Apakah Alkitab Benar, (Jakarta : BPK-GM, 1997), 20.
7
Disebut Yohanin, yakni kelompok yang memahami Kekristenan dengan satu nama, yaitu Yohanes.
John Titaley, Makalah : Kristologi Yohanin Dalam Pembnaan Kehidupan Bergereja : Analisa Terhadap
Yohanes 15:1-8, (Salatiga, 29 Januari 2004), 2.
6
Latupeirissa Risvan (75 2008 032), Monday, Dec 15, 2008
yang ada, yakni kenyataan bahwa penulis sendiri pun tidak pernah secara eksplisit
menyebut identitasnya.
Tempat dan Waktu Penulisan. Dalam pembahasan ini pun terjadi perdebatan
yang sama. Efesus yang dianggap sebagai tempat penulisan injil Yohanes karena di
daerah Asia Kecil, pertumbuhan gereja di daerah inilah yang dianggap mencapai
kematangan, serta timbul klebutuhan akan ajaran lebih lanjut mengenai kaidah iman.
(David Holdaway, 2001 : 64-65). Akan tetapi, bukti internal yag diangkat tidak
menonjolkan secara eksplisit kota Efesus sebagai tempat penulisan dan corak
Helenistik pun berkembang sangat luas, tidak hanya di daerah Efesus. Kepastian yang
diperoleh yakni kentalnya arus dunia Helenistik dengan ketidaklepasan dari dunia
Yahudi, membuat tempat penulisan injil Yohanes adalah suatu daerah yang tidak
terlepas dari dunia Yahudi dan pengaruh Yunani, serta tidak menutup kemungkinan
bagi Efesus yang telah diakui selama ini. Mengenai waktu penulisan, penyusun
bersepakat bahwa kentalnya dunia Helenistik membuka peluang pada akhir abad
pertama, yakni sekitar tahun 95-100M (Groenen, 1984 : 158), tepatnya ketika
pengaruh Helenistik begitu kental.
Alamat penulisan. Banyak pemahaman yang memaparkan bahwa jemaat injil
Yohanes adalah jemaat Yahudi Diaspora yang berusaha untuk mempertahankan dan
menunjukkan kentalnya tradisi Yahudi dalam kehidupan mereka. Mengeni konteks
hidup masyarakat injil Yohanes, Bart D. Ehrman menyatakan bahwa jemaat Yahgudi
perantauan ini, tidak dapat dilepaskan dari 3 tahapan yang dilalui (Bart D. Ehrman,
2000 : 170-173), yakni :
Pertama, tahapan In The Synagogue (Di Dalam Sinagoge). Menurut Ehrman,
dalam tahapan ini, jemaat injil Yohanes merupakan sebuah kelomok Yahudi yang
percaya pada Yesus sebagai Mesias, kendati demikian secara continue tetap
memelihara identitas ke-Yahudian merka dan beribadah di dalam sinagoge Yahudi.
Kedua, tahapan Excluded From The Synagogue ( Dikeluarkan Dari Sinagoge).
Dalam tahap ini, digambarkan peristiwa pengusiran jemaat injil Yohanes dari
sinagoge. Menurut Ehrman, saat jemaat Yahudi Kristen semakin berkembang, dan
menunjukkan sifat misionernya, tak diragukan lagi bahwa mereka ditolak, diejek dan
termarginalisasi dalam masyarakat Yahudi.

7
Latupeirissa Risvan (75 2008 032), Monday, Dec 15, 2008
Terakhir, tahapan Against The Synagogue (Melawan Sinagogue). Tahapan ini
merupakan tahapan ketika jemaat Yahudi Kristen berusaha membangun kembali
hidup mereka setelah tahapan pengusiran. Merekam disetarakan dengan sekte atau
bidaaah. Mereka merasakan penganiayaan berkali-kali karena permasalahan
kebenaran yang diakui dan akhirnya mulai membangun ideologi yang berusaha untuk
melindungi diri mereka atau dalam bahasa Trent C. Butler disebut sebagai teologia
yang apologet (bersifat pembelaan), (Butler, 1991 : 806).
Dalam kondisi masyarakat yang sperti inilah, injil Yohanes dituliskan. Di
dalamnya, tentu saja mengungkapkan juga pengaruh dunia Helenistik yang menjadi
kenatal dalam tulisan injil Yohanes. Tantangan Gnostis, aliran Filsafat Stoa, adalah
sebagian besar pengaruh dunia Yunani, dengan masa jaya perkembangan ilmu
pengetahuan, serta akal manusia, memberi warna dalamsituasi saat itu. Perkembangan
ini, jelaslah tidak bisa ditampik dalam perkembangan kekristenan yang pada
kenyataannya semakin meluas dalam kehidupan di luar Non-Yahudi.
Sekilas Perdebatan tentang Keilahian Yesus
Dalam tulisan Linda Smith dan William Raeper, dibahas perdebatan
diawal abad kedua mengenai keilahian Yesus. Beberapa Bapa Gereja Purba yang
menulis pada abad kedua, dengan tegas menyatakan bahwa Yesus adalah
manusiawi, dan sekaligus ilahi. Ignatius dari Anthiokia (wafat ±115)
mempertahankan bahwa Yesus adalah seorang manusia sejati dengan daging dan
darah. Hal ini ditegaskan karena pada Docetis menyatakan bahwa Yesus hanya
tanpak manusiawi, tetapi Ia sebenarnya pendatang Ilahi dalam samaran manusia -
Sesuatu seperti Superman Yahudi abad pertama, kelompok lain, para Ebonit
(orang-orang Kristen Yahudi), melihat Yesus melulu sebagai manusia, yakni nabi
yang istimewa. Ada pula para Adoptionis, yang berpendapat bahwa Yesus adalah
orang yang sangat suci, yang “diangkat” ke dalam posisi Anak Allah pada waktu
permandianNya.(Linda Smith, 2000 : 140).

Tujuan penulisan. Sejumlah tanggapan yang berbicara mengenai alasan


penulisan injil Yohanes, senantiasa dikaitakan dengan kebutuhan dari jemaat yang
semakin mengalami krisis identitas tersebut (ditolak dari keYahudian, tetapi sekaligus

8
Latupeirissa Risvan (75 2008 032), Monday, Dec 15, 2008
berusaha mempertahankan identitas tersebut di tengah masyarakat yang semakin
meluas di luar konteks ke-Yahudian). Spong dalam berbicara mengenai injil Yohanes,
ia justru kecewa, bilamana injil ini harus dihubungkan dengan kehidupan Yesus
sebagai sejarah yang objektif. Tujuan pemenuhan kebutuhan leksionari (yakni tradisi
pembacaan Torah dalam dunia Yahudi, dihabiskan dalam 50-51 sabbat, dengan ± 5
pasal/ sabbat, dalam perhitungan jangka waktu 1 tahun Yahudi), dianggap harus
dipahami dalam menelaah injil Yohanes. Tidak hanya injil Yohanes, tulisan-tulisann
injil, mulai dari Markus, yang membentuk alam pemikiran Kristen hingga sekarang,
menurut Spong, harus dibaca dalam kacamata ke-Yahudian. Kalender dan tahun
liturgi Yahudi, yang dianggap kental mewarnai penulisan injil. Di dalam hitungan
Sabbat ini, terdapat 8 hari raya besar, yakni :
1. Pembacaan yang dihubungkan dengan kitab Kejadian (memakan waktu 12
Sabbat) : dihubungkan dengan perayaan Paskah dan Pentakosta/Shavout
2. Pembacaan yang dihubungkan dengan kitab Keluaran (memakan waktu 11
Sabbat) : dihubungkan dengan perayaan Ninth Of Ab ( Penyesalan/Perkabungan).
3. Pembacaan yang dihubungkan dengan kitab Imamat (memakan waktu 8 Sabbat) :
dihubungkan dengan perayaan Rosh Hasanah / Tahun Baru Yahudi , Yom Kippur
atau Hari raya Penyesalan dan Tabernakel/Sukkot
4. Pembacaan yang dihubungkan dengan kitab Bilangan (memakan waktu 10
Sabbat) : dihubungkan dengan peryaaan Hanukkah.
5. Pembacaan yang dihubungkan dengan kitab Ulangan (memakan waktu 11
Sabbat): dihubungkan dengan perayaan Purim.
Inilah liturgi dan tahun Yahudi yang hidup di Galilea dan Yudea, termasuk
hingga masa Yesus hidup, bahkan dianut pula oleh gereja mula-mula di Yerusalem.
Setelah memahami tentang perayaan Israel yang mewarnai tahun liturgi Yahudi ini,
Spong menjelaskan pemahamannya terhadap injil, terutama pada bagian ini, yakni
Markus, Matius, Lukas dan termasuk Yohanes. Nuansa injil yang dituliskan, adalah
injil yang mengadopsi unsur-unsur Torah, untuk mengingatkan sejarah bangsa
Yahudi, yang dibacakan di sinagoge, namun dalam prosesnya dihubungkan dengan
aktualisasi masa penulisan injil. Di tengah aktualisasi inilah, bangsa Yahudi yang
merasa menemukan Yesus sebagai sosok yang menghadirkan pembebasan,

9
Latupeirissa Risvan (75 2008 032), Monday, Dec 15, 2008
mengangkat mereka yang terpuruk, menyembuhkan mereka yang sakit kusta,
melayakkan perempuan yang sakit pendarahan, menghargai orang Samaria, adalah
sosok yang ditempatkan sebagai pemenuh tradisi Torah tersebut. Dengan demikian,
sekali lagi ditegaskan oleh Spong bahwa injil dan pembicaraan tentang Yesus,
bukanlah sejarah objektif atau ilmiah, yang harus dibaca secara harfiah.

E. KONSEP CINTA KASIH ARISTOTELES DALAM INJIL YOHANES

Cerita injil Yohanes, yang mengawali tulisannya dengan mengatakan bahwa


“pada mulanya adalah firman, firman itu bersama-sama dengan Allah, dan firman itu
adalah Allah, menggunakan istilah “Logos” sebagai firman. Allah digambarkan
sebagai Logos yang suah ada, sebelum dunia ini ada. Logos ini menjadi dasar
eksistensi atau keberadaaan segala yang ada.
Bila mengamati hal ini dengan sebelumnya telah memahami alam pemikiran
Plato, termasuk pemikiran Aristotels, mengenai Penggerak yang Tak Bergerak,
Perubah yang Tak Pernah Berubah, akan nyata nuansa pemikiran tersebut dalan injil
Yohanes. Aristoteles sebagaimana disebutkan dalam paparannya, mengenai konsep
“tubuh, jiwa dan roh”. Tubuh dan jiwa adalah bagian dari unsur yang terlihat, unsur
yang nampak, dan selanjutnya adalah disebut tidak sempurna. Jiwa memberi bentuk
kepada tubuh, karena jiwa tanpa tubuh atau tubuh tanpa jiwa, pada dasarnya adalah
mati. Kedua unsur ini pada hakikatnya tidak sejati. Roh yang jauh lebih otonom
terhadap tubuh, ia juga tidak terikat pada organ tertentu, dan tidak merupakan
sesuatu. Hakikat dasar sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, yakni roh itu
adalah sebuah kemungkinan atau potensi. Roh ini dapat menerima segala sesuatu,
tetapi justru karena itu roh tidak dapat ditentukan atau dilokalisir. Ia melanjutkan
bahwa dalam perkembangan makhluk hidup sebelum kelahirannya, Aristoteles
menjelaskan bahwa jiwa tidak datang dari luar, tetapi timbul dari dalam sel telur;
alasannya karena jiwa tidak mungkin berada tanpa tubuh. Sebaliknya, hanya roh yang
datang dari luar dan bersifat ilahi. Kehidupan jiwa manusia ini diresapi oleh roh.
Dengan demikian, transendensi Allah, sebagai Penggerak yang Tidak
Bergerak, Perubah yang Tidak Berubah, inilah yang sebenarnya digambarkan

10
Latupeirissa Risvan (75 2008 032), Monday, Dec 15, 2008
mengenai perihal Logos yang datang sebagai roh dan imanen dalam kehidupan.
Konsep inilah yang berkembang mengenai Allah yang hadir sebelum segala
sesuatunya, dan daripadaNyalah segala sesuatu. Beberapa tulisan mengakui bahwa
konsep ini berkembang juga dalam teologia abad pertengahan, oleh Thomas Aquinas
dan pemikirannya.
Setelah memahami perkembangan ini, Linda Smith menyinggung pandangan
Aristoteles bahwa perubahan itu muncul dari “cinta” dan keinginan untuk mencapai
kesempurnaan dari Penggerak yang tak Bergerak. Cinta ini menjadi dasar dari
Perubahan yang Tidak Berubah itu, menjadi Penggerak dari yang Tidak Bergerak itu,
karena ketidaksempuarnaan dari apa yang selalu berubah dan selalu bergerak.
Penggerak yang tidak Bergerak itu adalah apa yang sempurna, tidak nampak. Alam
yang dianggap ada di atas, adalah alam yang sempurna dan sejati, serta tidak terlihat.
Alam yang nampak yang ada di bawah, adalah alam yang tidak sempurna dan tidak
sejati.
Dengan memahami konsep ini, sekali lagi mari kita telaah isi Yohanes 3:16.
“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini,
sehingga Ia mengaruniakan AnakNya yang tunggal,
supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak
binasa,
melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh 3:16)
Dalam konteks injil Yohanes ini, Allah yang adalah Logos, yang hadir
sebelum segala sesuatunya dan menciptakan segala sesuatunya, adalah sempurna
adanya. Konteks manusia yang dianggap tidak sempurna, tidak dapat untuk mencapai
kesempurnaan itu. Dengan demikian, yang sempurna itu harus datang untuk
menjangkau apa yang tidak sempurna. Inilah yang digambarkan dalam kehidupan
Yesus Kristus. Ia mati di kayu salib, darahNya yang tercurah dianggap sebagai
penebusan bagi manusia, dan terlebih peristiwa pengorbananNya didasarkan atas
kasih kepada manusia yang berdosa dan akan binasa.
Konsep pemikiran Aristoteles sangat nyata dalam perumusan ayat ini. Kasih
Yesus Kristus yang digambarkan ternyata adalah upaya penyesuaian dengan konteks
dunia dan alam pemikiran Helenis yang berkembang. Dengan demikian, kenyataan
objektif mengenai Allah yang turun ke dalam dunia secara harfiah, kembali

11
Latupeirissa Risvan (75 2008 032), Monday, Dec 15, 2008
dipertanyakan. Spong mengatakan bahwa penulisan, bahkan moment-moment penting
cerita Kristiani seperti paskah, pentakosta, cerita kelahiran, bahkan kebangkitan, yang
dianggap menjadi dasar kepercayaan terhadap Yesus (doktrin yang berkembang
menyatakan, “bila Yesus tidak dibangkitkan, sia-sialah iman kepercayaan kita”) tidak
dapat dibaca dalam kacamata kita saat ini, sebagai fakta ilmiah. Cerita injil ini harus
dibaca sebagai kebutuhan liturgis dengan kacamata keYahudian. Kebutuhan liturgis
masyarakat injil Yohanes, sebagai jemaat Yahudi Diaspora, dalam hubungan dengan
dunia kekristenan awal abad kedua yang semakin universal, itulah yang membuat
unsur pemikiran helenistis, terutama pemikiran Plato, yang dikembangkan luas oleh
Aristoteles diadopsi dalam ajaran kekristenan, yang selanjutnya diakui sebagai
doktrin oleh para bapa gereja, bahkan diakui hingga saat ini. Motif kasih atas alasan
Yesus yang turun ke bumi inilah yang terungkap jelas, dalam Yohanes 3:16, serta
membeku dalam doktrin kekristenan hingga saat ini.

F. PENUTUP

Bertolak dari hasil penelusuran ini, dasar kasih yang dihubungkan dengan
pengorbanan Yesus di kayu salib demi dosa manusia yang berdosa, ternyata adalah
aktualisasi pemenuhan kebutuhan liturgis jemaat saat itu dan bukanlah fakta ilmiah.
Kebutuhan ini juga diselaraskan dengan alam pemikiran Helenis, terutama
Aristoteles, yang membentuk hasil tulisan injil tersebut. Disadari atau pun tidak,
pemikiran Aristoteles ini memberi bentuk dan menjadi kerangka bagi alam pemikiran
yang berkembang saat itu, dan diterima secara kaku memberi bentuk bagi
pemahaman saat ini. Gereja kita ternyata hidup dan berakar dalam dunia Helenis ini,
yang tetap kita pertahankan menjadi bentuk patent ajaran saat ini.
Menyadari hal tersebut, pertanyaan yang kemudian timbul, yakni lalu
bagaimana orang Kristen masa kini mendasari kehidupannya bila konsep kasih
tersebut adalah konsep Helenis milik Aristoteles? Apakah konsep kasih harus
dihilangkan dari simbol hidup orang Kristen? Justru dengan dasar ini, konsep kasih
milik orang Kristen yang sebelumnya didasarkan pada kematian Anak Allah yang
turun ke bumi, yakni Yesus yang mati di kayu salib, membuka kesempatan untuk
dipikirkan kembali. Sebagaimana dikatakan oleh Spong, kehadiran Yesus sebagai
12
Latupeirissa Risvan (75 2008 032), Monday, Dec 15, 2008
manusia, tidak dapat disangkal. Ia adalah sosok objektif, bukan fiksi. Ia
menghadirkan pembebasan bagi mereka yang tertindas, Ia memberikan penghargaan
bagi mereka yang tidak dihargai dalam masyarakat (orang kusta disembuhkan,
perempuan yang pendarahan dibebaskan, orang buta melihat, dan sebagainya), Ia
meruntuhkan tembok antar kelas-kelas masyarakat (mengindahkan orang Samaria
yang ditolak oleh orang Yahudi, mengindahkan Zakheus yang dianggap hina dalam
masyarakat, mengindahkan perempuan yang berzinah). Inilah fakta kasih Yesus yang
objektif, dan makna sebenarnya yang dibawa oleh injil.
Orang boleh berpendapat bahwa Yesus adalah sosok yang tidak objektif,
sebagaimana dalam paparan tulisan injil. Akan tetapi, tahun 1980 dalam World
Christian Encyclopedia dari David Barret, atas ajaran-ajaran yang berkembang dari
injil, ada 3 hal besar yang dicatat, yakni : (Linda Smith, 2000 : 138)
1. Diperkirakan mencapai sekitar 1 dari 3, sampai 1 dari 4 manusia adalah
Kristen;
2. Terdapat lebih dari 20.800 denominasi Kristen di 223 negara di dunia;
3. Orang-orang Kristen ditemukan dalam sekitar 8.100 kelompok etno-linguistik
yang berbeda.
Hal yang terungkap sebagaimana dalam tulisan ensiklopedia 28 tahun lalu
tersebut, bukan menjadi alasan bahwa kekristenan, berikut sejumlah doktrin yang
dianut untuk berkaca sebagai ajaran yang terbenar. Justru dengan perkembangan yang
sudah terjadi ini, umat Kristen harus lebih memperhatikan perkembangan yang terjadi
sekaligus mampu memperhatikan konteks yang terus berkembang, sehingga tidak
menutup diri dengan doktrin kaku, yang ternyata adalah usaha memenuhi kebutuhan
liturgis masa dahulu. Dengan demikian, jika umat Kristen berkiblat pada teladan
Yesus, maka dasar kasih murni yang menghargai nilai kemanusiaan, itulah yang
seharusnya menjadi dasar hidup kita. Yesus tetap adalah kasih, yang daripadaNya,
banyak orang merasakan sentuhan dan kehadiran Allah dalam kehidupannya. Makna
kasih dalam diriNya inilah yang seharusnya menjadi dasar bagi kita, dalam aktivitas
dan praktek hidup kita di tengah dunia. Dasar ini, membuat kita tidak lagi berkiblat
pada cerita-cerita liturgis yang dibuat oleh jemaat mula-mula, sebagai fakta objektif,
tetapi umat Kristen pun diarahkan untuk hidup atas dasar konsep cinta kasih yang

13
Latupeirissa Risvan (75 2008 032), Monday, Dec 15, 2008
murni ini, yang menghadirkan pembebasan dalam konteks hidup kita, sekarang ini,
dan di tempat ini.

DAFTAR PUSTAKA
Burridge, Richard A, Four Gospels, One Jesus?, Michigan : Grand Rapids, 1994.
Butler, Trent C (edited by), The Dictionary Of New Testament, Michigan : Grand Rapids,
1990.
David Holdaway, Kehidupan Yesus : Memberikan Gambaran Utuh Keempat Injil
Secara Kronologis Berdasarkan Teks dari New Internasional Version,
Semarang : Sinode GMKI, 2001.
David Robert Ord dan Robert Coote, Apakah Alkitab Benar, Jakarta : BPK-GM, 1997.
de Rosa, Peter (edited by) Aan Suhaeni, Mitos Yesus, Jakarta : Ina Publikatama, 2005.
Ehrman, Bart D, The New Testament : A Historical Introduction To The Early
Christian Writing-Third Edition, New York : Oxford University Press, 2000.
Gentz, William, The Dictionary of Bible Religion, Nashville : Tennessee : Abingdon
Press, 1986.
Groenen, Pengantar Ke Dalam Perjanjian Baru, Yogyakarta : Kanisius, 1984.
http://id.wikipedia.org/wiki/Aristoteles, 13 Des 2008, 14:38.
John Titaley, Makalah : Kristologi Yohanin Dalam Pembinaan Kehidupan Bergereja :
Analisa Terhadap Yohanes 15:1-8, (Salatiga, 29 Januari 2004), 2.
Smith, Linda & William Raeper, Ide-Ide : Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang,
Yogyakarta : Kanisius, 1991.
Spong, John Shelby, Liberating The Gosples : Reading With Jewish Eyes, New York :
Harper San Francisco, 1996.
van Peursen, Tubuh, Jiwa dan Roh : Sebuah Pengantar Dalam Filsafat Manusia,
Jakarta : BPK-GM, 1981.

14
Latupeirissa Risvan (75 2008 032), Monday, Dec 15, 2008

Anda mungkin juga menyukai