Anda di halaman 1dari 93

HUBUNGAN SERUM IRON (SI) DAN KADAR HEMOGLOBIN

(Hb) SEBAGAI GAMBARAN POTENSI ANEMIA DEFISIENSI


BESI PADA LANSIA

TUGAS AKHIR

Oleh :

NUR SYAIFAH
NIM. 441219025

PROGAM STUDI D4 TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MAARIF HASYIM LATIF
SIDOARJO
2023
HUBUNGAN SERUM IRON (SI) DAN KADAR HEMOGLOBIN
(Hb) SEBAGAI GAMBARAN POTENSI ANEMIA DEFISIENSI
BESI PADA LANSIA

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Kesehatan


Universitas Maarif Hasyim Latif Sidoarjo
Sebagai Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Terapan Kesehatan

Oleh :

NUR SYAIFAH
NIM. 441219025

PROGAM STUDI D4 TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MAARIF HASYIM LATIF
SIDOARJO
2023
HUBUNGAN SERUM IRON (SI) DAN KADAR HEMOGLOBIN
(Hb) SEBAGAI GAMBARAN POTENSI ANEMIA DEFISIENSI
BESI PADA LANSIA

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Kesehatan


Universitas Maarif Hasyim Latif Sidoarjo
Sebagai Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Terapan Kesehatan

Oleh :

NUR SYAIFAH
NIM. 441219025

Disetujui oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Christina Destri W., S.Si., M.Imun. Hj. Titik Sundari, S.KM., M.Si.
NIDN. 0702127404 NIDK. 8853301019

ii
LEMBAR PERSETUJUAN

Judul : Hubungan Serum Iron (SI) dan Kadar Hemoglobin (Hb)


Sebagai Gambaran Potensi Anemia Defisiensi Besi Pada
Lansia

Penyusun : Nur Syaifah

NIM : 441219025

Tugas Akhir ini telah diperiksa dan disetujui


Isi serta susunannya sehingga dapat diajukan
pada Sidang Tugas Akhir yang diselenggarakan
oleh Fakultas Ilmu Kesehtan
Universitas Maarif Hasyim Latif Sidoarjo

Sidoarjo, 12 Juni 2023


Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Christina Destri W., S.Si., M.Imun. Hj. Titik Sundari, S.KM., M.Si.
NIDN. 0702127404 NIDK. 8853301019

Mengetahui :
Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Maarif Hasyim Latif
Sidoarjo

Dr. Evy Ratnasari Ekawati S.Si., M.Si.


NIDN. 0706038301

iii
LEMBAR PENGESAHAN

Tugas Akhir Dengan Judul

HUBUNGAN SERUM IRON (SI) DAN KADAR HEMOGLOBIN (Hb)


SEBAGAI GAMBARAN POTENSI ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA
LANSIA

Disusun Oleh

NUR SYAIFAH
NIM. 441219025

Tugas Akhir ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Tugas Akhir
Progam Studi D4 Teknologi Laboratorium Medik
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Maarif Hasyim Latif

Sidoarjo, 12 Juni 2023

Tim Penguji
Tanda Tangan

Penguji 1 : Dr. Christina Destri W., S.Si., M.Imun ( )

Penguji 2 : Hj. Titik Sundari, S.KM., M.Si. ( )

Penguji 3 : Khoirul Ngibad, S.Si. M.Si. ( )

Mengetahui :
Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Maarif Hasyim Latif
Sidoarjo

Dr. Evy Ratnasari Ekawati S.Si., M.Si.


NIDN. 0706038301

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Allah SWT. Karena dengan rahmat dan karunia-Nya

sehingga penulis dapat menyusun tugas akhir yang berjudul “Hubungan Serum

Iron (SI) dan Kadar Hemoglobin (Hb) Sebagai Gambaran Potensi Anemia

Defisiensi Besi Pada Lansia” sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan

pendidikan D4 Teknologi Laboratorium Medik pada Universitas Maarif Hasyim

Latif Sidoarjo. Dengan selesainya naskah tugas akhir ini, penulis mengucapkan rasa

terimakasih kepada :

1. Dr. Evy Ratnasari Ekawati S.Si., M.Si. Selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Maarif Hasyim Latif Sidoarjo.

2. Dr. Ch. Destri Wiwis W. S.Si. M. Imun. Selaku pembimbing I yang telah

memberikan saran, bimbingan, motivasi serta nasihat kepada penulis dalam

menyelesaikan naskah proposal tugas akhir.

3. Hj. Titik Sundari, S.KM., M.Si. Selaku pembimbing II yang telah memberikan

saran serta bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir.

4. Khoirul Ngibad, S.Si. M.Si. Selaku penguji siding tugas akhir yang telah

memberikan saran kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir.

5. M. Sungging Pradana, S.Pi., M.Si. Selaku ketua prodi D4 Teknologi

Laboratorium Medik Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Maarif Hasyim Latif

Sidoarjo.

6. Nur Afifah, Amd. A.K. Selaku kepala laboratorium puskesmas taman yang

telah membantu dalam proses penelitian.

v
7. Kedua orang tua saya bapak Moh. Saiful Hadi dan Ibu Sumiati, kakak saya Siti

Masruroh, adik saya Mukh. Adhi Firmansyah serta keluarga yang telah

memberikan kasih sayang, dukungan, motivasi dan semangat baik moral,

material maupun doa yang tulus sehingga penulis dapat menempuh studi ini

sampai selesai.

8. Aprinita Vika Srivina yang telah memberikan semangat dan sangat banyak

membantu perjuangan dalam proses penyusunan tugas akhir ini.

9. Teman – teman seperjuangan saya Rinza Luziana Devi, Sulis Tiani Karimah,

Charisma Widya Asmara Putri, Fahmi Arti Alima, Desi Fitriatur Romadhon,

Fitriatul Hazanah dan Adelia Puspita Sari yang telah memberikan dukungan

hingga penulis sampai di titik ini.

10. Seluruh teman satu angkatan terutama D4 TLM dan semua pihak-pihak yang

membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

Kami menyadari keterbatasan kami dalam menyelesaikan tugas akhir ini

sehingga saran serta kritik yang bersifat membangun, kami harapkan demi

kesempurnaan tugas akhir yang telah kami selesaikan. Kami berharap semoga tugas

akhir ini dapat memberikan manfaat terutama pada teknisi laboratorium klinik.

Sidoarjo, 12 Juni 2023

Nur Syaifah

vi
ABSTRAK

Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas, pria
maupun wanita yang mengalami penurunan kemampuan adaptasi dan tidak dapat
memenuhi kebutuhan sehari-harinya sendiri. Lansia berpotensi mengalami anemia
karena perubahan karakteristik lansia, penyakit penyerta penurunan penyerapan
nutrisi. Anemia merupakan sebuah keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) atau
sel darah merah (eritrosit) mengalami penurunan. Hemoglobin berperan sebagai
pengangkut oksigen (O2) dari paru – paru keseluruh tubuh dan menukarkannya
dengan karbindioksida (CO2) dari jaringan untuk dikeluarkan melalui paru – paru.
Zat besi (Fe) diperlukan dalam hemopoesis (pembentukan darah), yaitu dalam
sintesis hemoglobin. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara zat
besi (serum iron) dan kadar hemoglobin sebagai potensi anemia defisiensi besi pada
lansia di Kec.Taman Kab. Sidoarjo. Penelitian karya tulis ilmiah ini menggunakan
data primer metode deskriptif analitik observasional. Jumlah responden 25 orang.
Penelitian ini menggunakan uji Pearson correlation untuk melihat tingkat
hubungan antara SI dan Hb. Kesimpulan : Hasil penelitian menunjukkan adanya
hubungan yang kuat antar SI dan Hb dengan p=0,000 dan r=0,649. Didapatkan nilai
rata – rata kadar hemoglobin 10,52 g/dl dengan hasil normal sebanyak 12 % dan
rendah 88%. Didapatkan nilai rata – rata serum iron 91,68 µg/dl dengan hasil
normal sebanyak 92 % dan rendah 8 %. Lansia dengan kadar hemoglobin rendah
belum tentu serum iron-nya rendah. Nilai Hb yang rendah tanpa dipengaruhi
penurunan SI dapat disebabkan karena kekurangan nutrisi lain dan penyakit kronis
(inflamasi).

Kata Kunci : Lansia, Anemia, Hemoglobin, Zat Besi

vii
ABSTRACT

Elderly is someone who has reached the age of 60 years and over, men and
women who have decreased adaptability and are unable to meet their own daily
needs. The elderly have the potential to experience anemia due to changes in aging
characteristics, accompanying diseases, decreased absorption of nutrients. Anemia
is a condition in which the level of hemoglobin (Hb) or red blood cells
(erythrocytes) decreases. Hemoglobin acts as a carrier of oxygen (O2) from the
lungs throughout the body and exchanges it with carbindioxide (CO2) from the
tissues to be excreted through the lungs. Iron (Fe) is needed in hemopoiesis (blood
formation), namely in the synthesis of hemoglobin. This study aims to see the
relationship between iron (serum iron) and hemoglobin levels as a potential for iron
deficiency anemia in the elderly in Kec.Taman Kab. Sidoarjo. This scientific
writing research uses primary data with observational analytic descriptive methods.
The number of respondents 25 people. This study used the Pearson correlation test
to see the level of association between SI and Hb. Conclusion: The results of this
study showed a strong relationship between SI and Hb with p=0.000 and r=0.649.
Obtained an average value of hemoglobin level of 10.52 g/dl with a normal result
of 12% and 88% lower. Obtained an average value of iron serum 91.68 µg/dl with
a normal result of 92% and a low of 8%. Elderly with low hemoglobin levels do not
necessarily have low serum iron. Low Hb values without being affected by a
decrease in SI can be caused by deficiencies of other nutrients and chronic diseases
(inflamation).

Keywords : Elderly, Anemia, Hemoglobin, Iron

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DALAM ................................................................... i

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... ii

LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................... iii

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iv

KATA PENGANTAR .................................................................................... v

ABSTRAK ...................................................................................................... vii

DAFTAR ISI ................................................................................................... ix

DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiv

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 4

1.3 Batasan Masalah......................................................................................... 4

1.4 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 4

1.4.1 Tujuan Umum ................................................................................... 4

1.4.2 Tujuan Khusus .................................................................................. 4

1.5 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 6

2.1 Tinjauan Pustaka Lansia ............................................................................ 6

2.1.1 Definisi Lansia .................................................................................. 6

ix
2.1.2 Batasan Lansia .................................................................................. 7

2.1.3 Faktor Yang Mempengaruhi Proses Menua ...................................... 7

2.1.4 Perubahan - perubahan Pada Lansia ................................................. 8

2.2 Tinjauan Pustaka darah .............................................................................. 10

2.2.1 Definisi Darah ................................................................................... 10

2.2.2 Eritrosit.............................................................................................. 11

2.2.3 Hemoglobin ....................................................................................... 13

2.3 Tinjauan Pustaka Zat Besi (serum iron) ..................................................... 19

2.3.1 Definisi Zat Besi (serum iron)........................................................... 19

2.3.2 Klasifikasi Kekurangan Besi ............................................................. 23

2.3.2 Fungsi Zat Besi ................................................................................. 23

2.3.3 Pemeriksaan Besi Dalam Serum ....................................................... 24

2.4 Tinjauan Pustaka Anemia .......................................................................... 25

2.4.1 Definisi Anemia ................................................................................ 25

2.4.2 Jenis - jenis Anemia .......................................................................... 26

2.4.3 Faktor Penyebab Anemia .................................................................. 28

2.4 Tinjauan Pustaka Anemia Defisiensi Besi ................................................. 29

2.5.1 Definisi Anemia Defisiensi Besi ....................................................... 29

2.5.2 Gejala Umum Anemia Defisiensi Besi ............................................. 32

2.5.3 Gejala Khas Anemia Defisiensi Besi ................................................ 32

2.5.4 Diagnosis Laboratorium ................................................................... 33

2.6 Hubungan Serum Iron dan Kadar Hb dengan Anemia Defisiensi Besi ..... 34

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 36

x
3.1 Jenis Penelitian ........................................................................................... 36

3.2 Populasi , Subyek dan sampel Penelitian ................................................... 36

3.2.1 Populasi ............................................................................................. 36

3.2.2 Subyek Penelitian .............................................................................. 36

3.2.3 Sampel/BahanPenelitian ................................................................... 36

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................... 37

3.3.1 Tempat Penelitian.............................................................................. 37

3.3.2 Waktu Penelitian ............................................................................... 37

3.4 Alat dan Bahan Penelitian .......................................................................... 37

3.4.1 Alat dan Bahan Pengambilan Darah Vena ........................................ 37

3.4.2 Alat dan Bahan Pemeriksaan Hemoglobin ....................................... 37

3.4.3 Alat dan Bahan Pemeriksaan Serum Iron ......................................... 38

3.5 Prosedur Pemeriksaan ................................................................................ 38

3.5.1 Pra Analitik ....................................................................................... 38

3.5.2 Analitik.............................................................................................. 39

3.5.3 Pasca Analitik.................................................................................... 40

3.6 Analisa Data ............................................................................................... 42

3.7 Diagram Alur Penelitian ............................................................................ 43

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 44

4.1 Hasil Penelitian .......................................................................................... 44

4.1.1 Penyajian Data .................................................................................. 44

4.1.2 Karakteristik Sampel ......................................................................... 45

4.1.3 Distribusi Pasien Lansia .................................................................... 46

xi
4.2 Pembahasan ................................................................................................ 48

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 53

5.1 Kesimpulan ................................................................................................ 53

5.2 Saran ........................................................................................................... 53

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 55

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Kadar Hb dan SI pada Lansia ........................... 42

Tabel 4.2 Karakteristik Sampel berdasarkan Usia ........................................... 43

Tabel 4.3 Karakteristik Sampel berdasarkan Jenis Kelamin ............................ 44

Tabel 4.4 Distribusi Kadar Hemoglobin pada Pasien Lansia .......................... 44

Tabel 4.5 Distribusi Serum Iron pada Pasien Lansia ...................................... 45

Tabel 4.6 Hubungan Kadar Hb dan SI pada Pasien Lansia ............................. 46

xiii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Eritrosit (Sel Darah Merah) .......................................................... 12

Gambar 2.2 Struktur Hemoglobin .................................................................... 14

Gambar 2.3 Sel Darah Merah Normal dan Anemia ......................................... 27

Gambar 2.4 Kuku Sendok ................................................................................ 34

Gambar 2.5 Atrofi Papil Lidah......................................................................... 34

Gambar 3.1 Diagram Alur ............................................................................... 41

Gambar 4.1 Grafik Hasil SI dan Kadar Hemoglobin ....................................... 45

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Proses Penelitian

Lampiran 2. Uji Pearson Correlation

Lampiran 3. Hasil Penelitian

Lampiran 4. Surat Pengantar dari Kampus

Lampiran 5. Surat izin dari Bakesbangpol

Lampiran 6. Surat pernyataan untuk izin dari Dinkes

Lampiran 7. Surat Izin dari Dinkes

Lampiran 8. Surat Izin dari PT Media Diagnostika

Lampiran 9. Monitoring Bimbingan

xv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia saat ini sudah memasuki periode aging population, yang ditandai

dengan meningkatnya usia harapan hidup dan peningkatan jumlah penduduk lansia

(Kemenkes RI, 2019). Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun

ke atas, pria maupun wanita yang mengalami penurunan kemampuan adaptasi dan

tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya sendiri. Menurut Organisasi

Kesehatan Dunia (WHO) , ada empat tahapan yaitu usia pertengahan (middle age)

usia 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) usia 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) usia

75-90 tahun, usia sangat tua (very old) usia > 90 tahun (Karisma, 2021).

Menurut Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, ada 30,16

juta jiwa penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia pada 2021, sedangkan wilayah

Jawa Timur merupakan provinsi dengan penduduk lansia terbanyak nasional, yakni

mencapai 5,98 juta jiwa (Dukcapil, 2021). Adanya proses penuaan pada lansia

mengakibatkan turunnya fungsi organ, salah satunya yaitu organ pencernaan

sehingga tidak dapat memenuhi zat besi yang mengakibatkan terjadinya anemia

(eritrosit dibawah normal) (Sannyngtyas, 2022).

Eritrosit (sel darah merah) merupakan komponen sel dengan jumlah terbesar

dalam darah. Eritrosit berbentuk seperti cakram bikonkaf dengan diameter sekitar

7,5 μm, ketebalan sekitar 2,6 μm di tepi dan 0,75 μm ditengah. Struktur bikonkaf

1
2

yang dimiliki eritrosit membuat nilai rasio luas permukaan berbanding volume

menjadi besar dan memaksimalkan proses pertukaran gas (Rosita et al., 2019).

Eritrosit mengandung protein khusus, yaitu hemoglobin. Hemoglobin

merupakan protein kompleks yang mengikat zat besi (Fe) dan terdapat di dalam

eritrosit. Fungsi utama hemoglobin adalah mengangkut oksigen (O2) dari paru –

paru keseluruh tubuh dan menukarkannya dengan karbindioksida (CO2) dari

jaringan untuk dikeluarkan melalui paru – paru (Nugraha, 2017). Hemoglobin (Hb)

terdiri dari bahan yang mengandung besi yang disebut hem (heme) dan protein

globulin. Heme terdiri dari cincin porfirin dengan satu atom besi (ferro). Sedangkan

globin terdiri dari empat rantai polipeptida (α2β2 ), yaitu 2 rantai polipeptida alfa

(α2) dan 2 rantai polipeptida beta (β2 ). Rantai polipeptida α memiliki 141 asam

amino dan rantai polipeptida β mempunyai 146 asam amino. (Aliviameita, 2019).

Kadar normal hemoglobin pada laki–laki dewasa antara 14,0 - 18,0 d/dl dan pada

wanita dewasa antara 12,0 - 16,0 g/dl (Imelda, 2019).

Zat besi merupakan salah satu mikronutrien yang berperan dalam

perkembangan otak, terutama pada sistem penghantar syaraf. Besi juga diperlukan

untuk oksigenasi dan produksi energi di parenkim otak dan untuk sintesis

neurotransmiter. Besi memainkan peran penting dalam transportasi dan

penyimpanan oksigen. Kekurangan zat besi kronis dapat menyebabkan hipoksia

otak, penurunan kognitif dan perkembangan anemia defisiensi besi

(Endrinikapoulos, 2020).

Anemia merupakan sebuah keadaan dimana massa hemoglobin (Hb) atau

massa sel darah merah (eritrosit) yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya
3

untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh (Setiawan, 2019). Anemia bisa

ditandai dengan adanya penurunan kadar hemoglobin, jumlah sel darah merah, dan

volume sel darah merah per milimeter darah. Anemia adalah kondisi umum pada

lansia (Zahra, 2019).

Anemia pada lansia disebabkan oleh defisiensi zat gizi seperti protein, zat

besi, vitamin B12, asam folat, dan vitamin C. Defisiensi gizi berhubungan dengan

perubahan karakteristik lansia, seperti fisiologis, ekonomi, sosial, dan gizi. Anemia

dipengaruhi oleh penyakit penyerta pada lanjut usia seperti penyakit degeneratif,

penyakit kronis, dan penyakit menular yang mempengaruhi dan berkontribusi

terhadap penurunan penyerapan nutrisi yang menyebabkan lansia menderita anemia

(Alamsyah, 2017).

Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah penurunan ketersediaan zat besi

sehingga sintesis hemoglobin terganggu (Sannyngtyas, 2022). ADB merupakan

penyakit nomor satu terbanyak yang diderita oleh lansia di Indonesia dengan angka

kejadian sebesar 50%. ADB terjadi pada lansia karena pada umumnya lansia kurang

efisien dalam menyerap beberapa nutrisi penting, selain itu menurunnya nafsu

makan karena penyakit yang dideritanya, kesulitan menelan karena berkurangnya

air liur, cara makan yang lambat karena penyakit pada gigi, gigi yang berkurang,

meningkatnya prevalensi malnutrisi, kehilangan darah akibat gangguan

malabsorpsi dan depresi juga merupakan faktor terjadinya defisiensi zat besi pada

lansia (Laili, 2020).


4

Berdasarkan latar belakang tersebut penelitian ini ingin mengetahui

bagaimana kasus anemia defisiensi besi yang terjadi pada lansia dapat

mempengaruhi kesehatan.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana hubungan serum iron dan kadar hemoglobin sebagai gambaran

potensi anemia defisiensi besi pada lansia?

1.3 Batasan Masalah

Dalam penelitian tugas akhir ini, dilakukan batasan masalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini menggunakan sampel darah EDTA dan serum pasien lansia

2. Penelitian ini sampel diambil dari masyarakat umum lansia ber usia 60 –

74 tahun

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum :

Untuk mengetahui hubungan serum iron dan kadar hemoglobin sebagai

gambaran potensi anemia defisiensi besi pada lansia di Kec.Taman Kab. Sidoarjo.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui kadar Serum Iron (SI) pada lansia di Kec.Taman Kab.

Sidoarjo.

2. Mengetahui kadar Hemoglobin (Hb) lansia di Kec.Taman Kab. Sidoarjo.


5

1.5 Manfaat Penelitian

1. Manfaat penelitian bagi peneliti antara lain adalah untuk menambah

pengetahuan, memahami serta menerapkan ilmu yang telah diperoleh

selama kuliah.

2. Manfaat penelitian bagi institusi dan ilmu pengetahuan yaitu sebagai

sumber informasi, rujukan dan penambahan bahan referensi penelitian

lanjutan untuk bisa dikembangkan.

3. Manfaat penelitian ini bagi masyarakat adalah untuk menambah wawasan

serta mengetahui tentang hubungan serum iron dan kadar hemoglobin

sebagai gambaran potensi anemia defisiensi besi pada lansia.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka Lansia

2.1.1 Definisi Lansia

Lansia adalah tahap kehidupan yang akan di lalui oleh setiap manusia.

Menurut lembaga kemanusiaan nasional 2011, meskipun proses menua disertai

dengan penurunan fungsi organ, tetapi lansia dapat menjalani hidup yang sehat.

Salah satu hal terpenting adalah mengubah kebiasaan (Khasanah, 2020). Lansia

adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas, baik pria maupun

wanita yang mengalami penurunan kemampuan adaptasi dan tidak dapat memenuhi

kebutuhan sehari-harinya sendiri (Karisma, 2021).

Lansia adalah mereka yang memiliki ciri fisik seperti lipatan kulit, kehilangan

gigi, dan rambut beruban. Dalam kehidupan sosial, tidak dapat melaksanakan

fungsi peran sebagai orang dewasa, seperti halnya laki-laki tidak lagi terikat pada

kegiatan ekonomi produktif dan perempuan tidak lagi mampu melakukan pekerjaan

secara baik sebagai ibu rumah tangga (Khasanah, 2020).

Menurut beberapa teori di atas, selanjutnya dapat disimpulkan lanjut usia

adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun yang mengalami penurunan

kemampuan beradaptasi, penurunan fungsi organ, serta tidak berdaya untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari seorang diri (Putri, 2019). Lanjut usia bukanlah

suatu penyakit, tetapi merupakan suatu proses progresif yang dialami oleh individu

6
7

yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan

tekanan lingkungan (Khasanah, 2020).

2.1.2 Batasan Lansia

Seseorang dapat dikatakan lansia adalah apabila mereka yang sudah berusia

lebih dari 60 tahun. Hal ini dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun

1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia pada Bab 1 pasal 1 Ayat 2 , bahwa lanjut

usia adalah seorang yang berusia 60 tahun ke atas, baik itu pria ataupun wanita

(Karisma, 2021). Ada beberapa pendapat tentang batasan umur lansia :

1. Menurut WHO (World Health Organisation) :

a. Usia pertengahan (middle age) usia 45-59 tahun.

b. Lanjut usia (elderly) usia 60-74 tahun.

c. Lanjut usia tua (old) usia 75-90 tahun.

d. Usia sangat tua (very old) usia > 90 tahun.

2. Menurut Kementerian Kesehatan RI (2015) :

a. Usia lanjut (60-69 tahun)

b. Usia lanjut dengan risiko tinggi (lebih dari 70 tahun atau lebih dengan masalah

kesehatan) (Karisma, 2021).

2.1.3 Faktor Yang Mempengaruhi Proses Menua

Penuaan dapat terjadi secara fisiologis dan patologis. Penuaan yang terjadi

akan sesuai dengan kronologis usia. Faktor yang mempengaruhi yaitu :

1. Nutrisi atau makanan : Terlalu banyak atau terlalu sedikit akan mengganggu

keseimbangan reaksi kekebalan.

2. Stress : Tekanan kehidupan dalam lingkungan rumah, pekerjaan dan bentuk gaya
8

hidup akan berpengaruh terhadap poses penuaan.

3. Hereditas atau genetik : Kematian sel adalah seluruh program kehidupan yang

berhubungan dengan peran DNA yang penting dalam mekanisme pengendalian

fungsi sel.

4. Pengalaman hidup : Terpapar sinar matahari, kurang olahrga, mengkonsumsi

alkohol.

5. Lingkungan : Proses penuaan biologis adalah proses alami dan tidak dapat

menghindarinya, tetapi dapat menjaganya agar tetap sehat.

6. Status kesehatan : Penyakit yang selalu dikaitkan dengan proses penuaan.

Sebenarnya bukan disebabkan oleh proses penuaan itu sendiri, melainkan oleh

berbagai faktor dan terjadi dalam jangka panjang (Amira, 2018).

2.1.4 Perubahan – perubahan Pada Lansia

Ada berbagai perubahan yang terjadi pada lansia yaitu meliputi perubahan

fisik, sosial, dan psikologis :

b. Perubahan Fisik

1. Sistem kardiovaskular mengalami penurunan efisiensi, kekuatan otot jantung

menurun, katub jantung akan mengalami penebalan dan menjadi lebih kaku,

dinding pembuluh darah yang semakin kaku dan dinding kapiler menebal

sehinga menyebabkan melambatnya pertukaran antara nutrisi dan zat sisa,

Aktivitas sumsum tulang mengalami penurunan sehingga terjadi penurunan

jumlah sel darah merah, kadar hematokrit dan kadar hemoglobin.

2. Sistem pernafasan, otot abdomen melemah sehingga menurunkan usaha nafas

baik inspirasi maupun ekspirasi, peningkatan ketebalan membrane alveoli-


9

kapiler menurunkan area permukaan fungsional untuk terjadinya pertukaran

gas.

3. Sistem Sensori,sistem sensori akan mengalami perubahan seperti penurunan

kemampuan memfokuskan obyek dekat, penurunan kemampuan

pendengaran, penurunan kemampuan untuk merasakan rasa (pahit, manis dan

asam), penurunan kemampuan untuk merasakan nyeri ringan dan perubahan

suhu.

4. Sistem Integumen yang ditandai dengan kulit yang keriput karena

keelastisannya menurun, penurunan aliran darah ke kuku menyebabkan

bantalan kuku menjadi tebal, keras, dan rapuh, mengalami perubahan warna

rambut (beruban) hingga terjadi kebotakan.

5. Sistem gastrointestinal ditandai dengan penurunan sekresi asam lambung

menyebabkan gangguan absorbsi besi, vitamin B, dan protein, menurunnya

peristaltik usus disertai hilangnya tonus otot lambung menyebabkan

pengosongan lambung menurun sehingga lansia merasa penuh setelah

mengkonsumsi makanan meski dalam jumlah sedikit.

6. Sistem genitourinaria, pada ginjal terjadi gangguan dalam kemampuan

mengkonsentrasikan urin, penurunan kapasitas kandung kemih.

7. Sistem persarafan, perubahan pada sistem saraf mempengaruhi semua system

tubuh termasuk sistem vaskular, mobilitas, koordinasi, aktivitas visual, dan

kemampuan kognitif. Salah satu perubahan dari system saraf adalah reaction

time akan melambat dan kemampuan untuk berespon terhadap stimulus

menjadi lambat. Lansia berrisiko mengalami jatuh karena reaction time dalam
10

mempertahankan keseimbangan menurun dan mengalami reaksi hipotensi

sekunder akibat penurunan volume darah.

8. Sistem muskulokeletal ditandai dengan hilangannya flesibilitas dan ketahanan

otot, tulang menjadi rapuh dan lemah, kartilago menipis sehingga sendi

menjadi kaku dan mengalami inflamasi (Khasanah, 2020).

c. Perubahan Mental

Perubahan mental pada usia lanjut, dapat berupa sikap yang semakin egosentris,

mudah curiga dan pelit atau tamak akan sesuatu. Faktor yang mempengaruhi

perubahan mental antara lain perubahan fisik, kesehatan umum, tingkat pendidikan,

keturunan dan lingkungan (Khasanah, 2020).

d. Perubahan Psikologis

Perubahan psikososial meliputi pension yang merupakan produktivitas dan

identitas yang dikaitkan dengan peran dalam pekerjaan, merasakan atau sadar akan

kematian, perubahan dalam cara hidup, ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan,

penyakit kronis (Khasanah, 2020).

2.2 Tinjauan Pustaka Darah

2.2.1 Definisi Darah

Darah merupakan salah satu jaringan dalam tubuh yang berbentuk cair

berwarna merah. Karena sifat darah yang berbeda dengan jaringan lain, darah dapat

menyebar ke berbagai kompartemen tubuh. Penyebaran tersebut melalui satu ruang

yang dapat menjangkau seluruh jaringan tubuh yang disebut system kardiovaskuler

yang meliputi jantung dan pembuluh darah (Nugraha, 2017).


11

Darah berperan penting sebagai fluida yang membawa nutrisi ke seluruh

bagian tubuh, kemudian membawa kembali hasil metabolisme nutrisi tersebut

untuk kemudian dilanjutkan pada proses eksresi hasil metabolisme tersebut yang

melibatkan bantuan organ-organ eksresi seperti paru-paru, ginjal, dan kulit (Rosita

et al., 2019).

Darah dibentuk dari dua komponen utama yaitu plasma darah dan butir butir

darah (blood corpuscles). Plasma darah terdiri dari air, protein, karbohidrat, lipid,

asam amino, vitamin, mineral dan lain sebagainya. Plasma darah tidak mengandung

faktor-faktor pembekuan darah yang disebut serum Butir-butir darah terdiri dari

tiga jenis sel yaitu eritrosit (sel darah merah), leukosit (sel darah putih) dan

trombosit (butir pembeku/platelet) (Nugraha, 2017).

Darah sangat berperan penting untuk tubuh, fungsi dari darah antara lain

adalah penghantaran oksigen dan nutrisi ke seluruh bagian tubuh dan jaringan,

pembentukan agen pembekuan darah, homeostasis suhu tubuh, pembentukan

antibodi untuk melawan infeksi pathogen, pengangkutan hasil metabolisme menuju

ginjal dan hati untuk proses filtrasi, pengangkut hormon yang diekskresikan oleh

sel-sel tubuh ke jaringan/ organ target (Rosita et al., 2019).

2.2.2 Eritrosit

Eritrosit (sel darah merah) merupakan komponen sel dengan jumlah terbesar

dalam darah. Eritrosit berbentuk seperti cakram bikonkaf dengan diameter sekitar

7,5 μm, ketebalan sekitar 2,6 μm di tepi dan 0,75 μm ditengah. Struktur bikonkaf

yang dimiliki eritrosit membuat nilai rasio luas permukaan berbanding volume

menjadi besar dan memaksimalkan proses pertukaran gas (Rosita et al., 2019).
12

Gambar 2.1 Eritrosit (Sel Darah Merah) (Rosita et al., 2019)

Tubuh manusia memproduksi eritrosit baru setiap hari melalui proses

eritropoiesis. Eritropoiesis merupakan proses pembentukan sel darah merah.

Mekanisme eritropoiesis membutuhkan tiga faktor pendukung, yaitu: 1) stem cells

hematopoietic, 2) sitokin spesifik, growth factor dan hormonal regulator, dan 3)

hematopoietik yang mempengaruhi micro environment, yaitu stroma pendukung

dan interaksi sel dengan sel yang diikuti proliferasi dan diferensiasi hematopoietik

stem cell dan mempengaruhi progenitor eritroid yang akhirnya menghasilkan

erirosit matur. Proliferasi dan maturasi diatur oleh sitokin, termasuk eritropoietin

(Aliviameita, 2019). Pembentukan eritrosit memerlukan zat besi, vitamin B12,

asam folat dan rantai goblinyang berasal dari hemositoblas. Proses pematangan

eritrosit diperlukan hormon eritropoietin (Nugraha, 2017).

Eritropoietin merupakan glikoprotein hormon dengan berat molekul 30-39 kD

yang akan berikatan dengan reseptor spesifik progenitor eritrosit, yang akan

memberi sinyal untuk menstimulasi proliferasi dan diferensiasi. Eritropoietin

diproduksi tubuh tergantung pada stimulus tekanan oksigen dalam jaringan ginjal.

Bila tekanan oksigen rendah seperti pada keadaan anemia dan hipoksia maka nefron

ginjal akan merespon dengan memproduksi eritropoietin sehingga terjadi

peningkatan produksi eritrosit di sumsum tulang. Sebaliknya, suplai oksigen yang


13

meningkat pada jaringan (bila massa eritrosit meningkat atau hemoglobin mudah

melepaskan O2) maka akan menyebabkan penurunan produksi hormon

eritropoietin. Eritropoietin akan meningkat pada keadaan anemia maupun hipoksia

jaringan. Bila terjadi peningkatan volume eritrosit, misalnya karena transfusi maka

aktivitas eritropoietin di sumsum tulang akan menurun (Aliviameita, 2019).

2.2.3 Hemoglobin

Hemoglobin merupakan protein kompleks yang mengikat zat besi (Fe) dan

terdapat di dalam eritrosit. Hemoglobin berperan sebagai pengangkut oksigen (O2)

dari paru – paru keseluruh tubuh dan menukarkannya dengan karbindioksida (CO2)

dari jaringan untuk dikeluarkan melalui paru – paru (Nugraha, 2017). Hemoglobin

(Hb) terdiri dari bahan yang mengandung besi yang disebut hem (heme) dan protein

globulin. Heme terdiri dari cincin porfirin dengan satu atom besi (ferro). Sedangkan

globin terdiri dari empat rantai polipeptida (α2β2 ), yaitu 2 rantai polipeptida alfa

(α2) dan 2 rantai polipeptida beta (β2 ). Rantai polipeptida α memiliki 141 asam

amino dan rantai polipeptida β mempunyai 146 asam amino (Aliviameita, 2019).

Kadar normal hemoglobin pada laki–laki dewasa antara 14,0 - 18,0 d/dl dan pada

wanita dewasa antara 12,0 - 16,0 g/dl (Imelda, 2019). Jumlah hemoglobin dalam

eritrosit rendah, maka kemampuan eritrosit membawa oksigen ke seluruh jaringan

tubuh juga akan menurun dan tubuh menjadi kekurangan O2, hal ini akan

menyebabkan terjadinya anemia.


14

Gambar 2.2 Struktur Hemoglobin (Rosita et al., 2019).

a. Fungsi Hemoglobin

Secara umum fungsi hemoglobin adalah sebagai berikut :

1. Mengatur pertukaran oksigen dengan karbondioksida di dalam jaringan- jaringan

tubuh.

2. Mengambil oksigen dari paru-paru kemudian dibawa ke seluruh jaringan-

jaringan tubuh untuk dipakai sebagai bahan bakar.

3. Membawa karbondioksida dari jaringan-jaringan tubuh sebagai hasil

metabolisme ke paru-paru untuk dibuang (Sholekhah, 2018).

b. Jenis-jenis Hemoglobin

Jenis hemoglobin (Hb) dapat ditentukan kira – kira telah didefinisikan 300 jenis

hemoglobin yang berbeda dalam kode genetik dan urutan asam amino. Walaupun

sebagian besar jenis hemoglobin tidak mempunyai makna klinik dan dapat

berfungsi normal, namun berbagai jenis hemoglobin dapat meningkatkan

morbiditas dan mortilitas yang bermakna. Bentuk variasi dari hemoglobin yaitu :
15

1. Hemoglobin Fetus Janin (Hb F)

Hb F adalah hemoglobin yang ditemukan pada janin menyusui. Hb F memiliki

afinitas yang lebih tinggi untuk oksigen. Janin membutuhkan hemoglobin agar

mampu mengekstrak oksigen dari peredaran darah ibu. Janin menggunakan Hb F

karena memiliki afinitas yang lebih tinggi untuk oksigen dari hemoglobin ibu. Hb

F ditemukan dalam darah pada minggu ke 20 usai kehamilan. Bayi yang baru lahir

masih dapat dijumpai 55-85% Hb F. Sebelum usia 2 tahun jumlah Hb F tinggal

sedikit digantikan oleh Hb A (Ansori, 2015).

2. Hemoglobin Dewasa (Hb A)

Sekitar 90% dari hemoglobin merupakan hemoglobin A (A adalah singkatan dari

tipe dewasa/adult). Meskipun satu komponen kimia menyumbang 92% dari

hemoglobin A, sekitar 8% dari hemoglobin A terdiri dari komponen kecil (minor)

yang secara kimiawi sedikit berbeda. Komponen-komponen kecil ini termasuk

hemoglobin A1c, A1b, A1a1, dan A1a2. HbA1c digunakan untuk memantau

glukosa darah pada pasien diabetes (Ansori, 2015).

3. Hemoglobin A2

Hemoglobin A2 adalah varian normal hemoglobin A yang terdiri dari dua alfa

dan du rantai delta (α2 δ2) dan ditemukan pada tingkat rendah pada manusia normal

darah. Hemoglobin A2 dapat ditingkatkan di beta thalasemia atau pada orang yang

heterozigot untuk gen beta thalasemia. HbA2 ada dalam jumlah kecil disemua

manusia dewasa (1,5 3,1% dari semua molekul hemoglobin) dan mendekati normal

pada orang dengan penyakit sel sabit (Ansori, 2015).


16

4. Hemoglobin pada sel sabit (HbS)

Penyakit sel sabit (sickle cell anemia) adalah suatu penyakit keturunan yang

ditandai dengan sel darah merah yang berbentuk sabit, kaku, dan anemia hemolitik

kronik. Pada penyakit sel sabit sel darah merah memiliki hemoglobin yang

bentuknya abnormal. Sel yang berbentuk sabit akan menyumbat dan merusak

pembuluh darah terkecil dalam limfa, ginjal, otak, tulang, dan organ lainnya.

Sehingga menyebabkan berkurangnya pasokan oksigen ke organ tersebut. Sel sabit

ini rapuh dan akan pecah pada saat melewati pembuluh darah menyebabkan anemia

berat, penyumbatan aliran darah, kerusakan organ bahkan sampai pada kematian

(Ansori, 2015).

c. Pemeriksaan Hemoglobin

Terdapat berbagai macam cara atau metode yang dapat digunakan untuk

menentukan kadar hemoglobin dalam darah, diantaranya adalah :

1. Metode Tallquist

Pemeriksaan didasarkan pada warna darah karena Hb berperan dalam

memberikan warna merah pada eritrosit. Prinsip dari metode ini adalah konsentrasi

Hb dalam darah sebanding dengan warna darah sehingga warna darah akan

dibandingkan dengan warna satandar yang telah diketahui konsentrasi

hemoglobinnya dalam satuan persen (%). Metode ini sudah jarang digunakan

karena tingkat kesalahan yang tinggi. Salah satunya adalah standar warna yang

tidak stabil dan mudah memudar karena berupa standar warna pada kertas

(Nugraha, 2017).
17

2. Metode Tembaga Sulfat (CuSO4)

Metode ini didasarkan pada berat jenis, CuSO4 yang digunakan memiliki berat

jenis1,053. Penetapan kadarhemoglobin metode ini dilakukan dengan cara

meneteskan darah pada wadah atau gelas yang berisi larutan CuSO4 BJ 1,053

sehingga darah akan terbungkus tembaga proteinase, yang mencegahperubahan BJ

dalam 15 menit. Jika darah tenggelam dalam waktu 15 detik, maka kadar

hemoglobin lebih dari 12,5 g/dL. Jika darah menetap ditengah-tengah atau muncul

kembali ke permukaan, maka kadar hemoglobin kurang dari 12,5 g/dL. Jika tetesan

darah tenggelam secara perlahan, hasil meragukan sehingga perlu dilakukan

pemeriksaan ulang atau konfirmasi dengan metode lain yang lebih baik. Metode ini

bersifat kualitatif, sehingga penetapan kadar hemoglobin ini pada umunya hanya

digunakan untuk penetapan kadar hemoglobin pada pendonor atau pemeriksaan

hemoglobin yang bersifat masal (Sholekhah, 2018).

3. Metode Sahli

Merupakan pemeriksaan Hb yang didasarkan atas pembentukan warna

(visualisasi atau kolorimetri). Prinsip dari metode ini adalah darah yang direaksikan

dengan HCl akan membentuk asam hematin dengan warna coklat, warna yang

terbentuk akan disesuaikan pada standar dengan cara diencerkan menggunakan

aquades. Metode ini masih sering digunakan di beberapa klinik kecil dan

puskesmas karena alat yang sederhana, namun metode ini memiliki tingkat

kesalahan dari 15-30 %. Beberapa faktor tersebut adalah warna standar yang sudah

lama dan kotor sehingga intensitas warna berbeda, kemampuan membedakan warna

setiap orang berbeda dan lain-lain (Nugraha, 2017).


18

4. Metode Sianmethemoglobin

Merupakan pemeriksaan berdasarakan kolorimetri dengan menggunakan alat

spektrofotometer atau fotometer. Prinsip dari metode ini adalah reagen drabkin

yang mengandung kalium sianida dan kalium ferrisianida. Jika ditambahkan

dengan darah akan membentuk reaksi kimia. Ferrisianida akan merubah Fe dalam

hemoglobin dari ferro (Fe2+) menjadi ferri (Fe3+) membentuk methemoglobin.

Kemudian bergabung dengan kalium sianida membentuk sianmethemoglobin

dengan warna yang stabil. Warna yang terbentuk sebanding dengan kadar

hemoglobin dalam darah dan diukur pada fotometer dengan panjang gelombang

540 nm (Nugraha, 2018).

5. Metode Amperometeri (Stik Hb/POCT)

Merupakan deteksi dengan menggunakan pengukuran arus yang yang dihasilkan

pada sebuah reaksi elektrokimia. Prinsip dari metode ini adalah darah diteteskan

pada strip, akan bereaksi dengan bahan kimia yang ada di dalam darah dengan

reagen yang ada di dalam strip. Reaksi ini akan menghasilkan arus listrik yang

besarnya setara dengan kadar bahan kimia yang ada dalam darah. Kekurangan dari

POCT adalah proses QC (Quality Control) yang masih kurang baik sehingga

akurasi dan presisinya belum sebaik hasil dari alat hematologi analyzer. Selain itu

dokumentasinya belum terintegrasi dengan Sistem Informasi Laboratorium (SIL)

sehingga data akan mudah tertukar bahkan tidak teridentifikasi (Arthur, 2015).

d. Faktor Yang Mempengaruhi Kadar Hemoglobin

Hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan hemoglobin, antara lain

sebagai berikut :
19

1. Reagen : Reagen adalah bahan pereaksi yang harus selalu baik kualitasnya mulai

dari saat penerimaan, semua reagen yang dibeli harus harus diperhatikan nomor

lisensi kadaluarsanya, keutuhan wadah atau botol atau cara transportasinya.

2. Metode : Laboratorium yang baik adalah laboratorium yang mengikuti

perkembangan metode pemeriksaan dengan pertimbangan kemampuan

laboratorium tersebut dan biaya pemeriksaannya.

3. Bahan pemeriksaan : Bahan pemeriksaan meliputicara pengambilan spesimen,

pengiriman spesimen, penyimpanan spesimen, dan persiapan sampel.

4. Lingkungan : Dalam hal ini dapat berupa : keadaan ruang kerja, cahaya, suhu

kamar, kebisingan, luas dan tata ruang.

5. Tenaga labratorium. : Dalam hal ini yang diharapkan adalah petugas

laboratorium harus mengusai alat dan teknik dibidang laboratorium.

6. Sampel : Kekeruhan dalam suatu sampel darah dapat mengganggu dalam

fotokolorimeter dan menghasilkan absorbensi dan kadar Hb yang lebih tinggi

dari yang sebenarnya (Sholekhah, 2018).

2.3 Tinjauan Pustaka Zat Besi (Serum Iron)

2.3.1 Definisi Zat Besi (Serum Iron)

Zat besi merupakan salah satu mikronutrien yang berperan dalam

perkembangan otak, terutama pada sistem penghantar syaraf. Besi juga diperlukan

untuk oksigenasi dan produksi energi di parenkim otak dan untuk sintesis

neurotransmiter. Besi memainkan peran penting dalam transportasi dan

penyimpanan oksigen. Kekurangan zat besi kronis dapat menyebabkan hipoksia

otak, penurunan kognitif dan perkembangan anemia defisiensi besi


20

(Endrinikapoulos, 2020). Selain untuk tranportasi oksigen besi diperlukan untuk

berbagai fungsi seluler, termasuk pada phroses enzimatik, sintesis DNA dan

pembangkit energi mitokondria (Sharma, 2022).

Zat besi (Fe) diperlukan dalam hemopoesis (pembentukan darah), yaitu dalam

sintesis hemoglobin. Zat besi yang terdapat dalam semua sel tubuh berperan penting

dalam berbagai reaksi biokimia, diantaranya dalam produksi sel darah merah. Sel

ini diperlukan untuk mengangkat oksigen keseluruh jaringan tubuh. sedangkan

oksigen penting dalam proses pembentukan energi agar produktivitas kerja

meningkat dan tubuh tidak cepat lelah (Rais, 2017).

Jumlah zat besi dalam makanan yang kita makan dapat dimanfaatkan oleh

tubuh kita sesuai dengan tingkat absorpsinya. Orang dewasa dalam status zat besi

yang baik diperkirakan mengkonsumsi sedikitnya 5-15 % dari makanan mereka.

Dalam kasus kekurangan zat besi, tingkat absorpsi bisa mencapai 50%. Penyerapan

zat besi yang kurang baik dalam usus juga merupakan penyebab anemia. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna secara statistik

antara asupan zat besi dengan kejadian anemia (Rais, 2017).

a. Patofisiologi

Besi merupakan elemen penting dan dikendalikan terutama oleh asupan

makanan, penyerapan usus dan daur ulang besi. Zat besi makanan dapat ditemukan

dalam dua bentuk : zat besi hem dan non-hem. Besi hem mudah diserap dan timbul

dari hemoglobin (Hb) dan mioglobin dalam bentuk daging hewan, unggas dan ikan.

Zat besi non-hem sebagian besar ditemukan dalam makanan nabati tetapi tidak
21

mudah diserap. Senyawa seperti fitat, oksalat, polifenol dan tanin, yang ditemukan

pada tumbuhan, mengurangi penyerapan besi non-hem (Sharma et al., 2022).

b. Metabolisme zat besi

Sumber zat besi untuk metabolisme besi berasal dari makanan dan proses

penghancuran eritrosit (daur ulang) di retikulo endotelial oleh makrofag. Zat besi

yang berasal dari makanan ada 2 bentuk yaitu heme (contoh daging, ikan, ayam,

udang, cumi) dan non heme (contoh sayuran, buah,kacang-kacangan, beras, pasta).

Zat besi yang berasal dari makanan dalam bentuk ion ferri yang harus direduksi

dahulu menjadi bentuk ion ferrro sebelum diabsorpsi. Proses absorbs ini

dipermudah oleh suasana asam seperti adanya asam hidroklorida yang diproduksi

oleh sel parietal lambung, vitamin C, beberapa substansi seperti fruktosa dan asam

amino. Bentuk ion ferro ini kemudian diabsorbsi oleh sel mukosa usus halus, di

dalam sel mukosa usus bentuk ion ferro akan mengalami oksidasi menjadi bentuk

ion ferri kembali. Sebagian kecil ion ferri ini akan berikatan dengan apoferitin

membentuk feritin, dan sebagian besar akan mengalami reduksi menjadi bentuk ion

ferro lagi yang akan dilepaskan ke dalam peredaran darah dan ion ferro direoksidasi

menjadi bentuk ion ferri yang kemudian berikatan dengan transferin dan disimpan

sebagai cadangan di dalam hati, lien dan sumsum tulang dalam bentuk feritin. Bila

cadangan besi dalam tubuh berkurang atau kebutuhan besi meningkat, maka

absorbsi zat besi akan meningkat, sebaliknya bila cadangan zat besi meningkat

maka absorbsi akan berkurang (Kurniati, 2020).

c. Absorbsi Zat Besi (penyerapan zat besi)

Proses absorbsi besi dibagi menjadi tiga fase yaitu :


22

1) Fase Luminal

Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme dan besi non -

heme. Besi heme mempunyai tingkat absorbsi dan biovailabilitasnya tinggi. Besi

non-heme mempunyai tingkat absorbsi dan biovailibilitasnya rendah. Besi dalam

makanan diolah dilambung, karena pengaruh asam lambung maka besi dilepaskan

dari ikatannya dengan senyawa lain dan terjadilah reduksi dari besi bentuk feri ke

fero yang dapat diserap di duodenum (Rena, 2017).

2) Fase Mukosal

Proses penyerapan besi terjadi melalui mukosa deodenum dan jejenum

proksimal. Penyerapan tersebut terjadi secara aktif melalui proses yang sangat

kompleks. Dikenal adanya mucosal block, suatu mekanisme yang dapat mengatur

penyerapan besi melalui mukosa usus (Rena, 2017).

3) Fase Korporeal

Fase ini meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel-

sel memerlukan, serta penyimpanan besi (storage) oleh tubuh. Besi diserap oleh

enterosit (epitel usus), lalu melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler

usus, kemudian dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Transferin

akan melepaskan besi pada sel RES melalui proses pinositosis. Berikut bagan

absorbsi zat besi dan metabolisme zat besi (Rena, 2017).

Banyaknya absorpsi besi tergantung pada :

1. Jumlah kandungan besi dari makanan

2. Jenis besi dalam makanan : besi heme atau besi non-heme

3. Adanya bahan penghambat atau pemacu absorpsi dalam makanan


23

4. Kecepatan eritropoesis (Rena, 2017).

2.3.2 Klasifikasi Kekurangan Besi

Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi dapat

dibagi menjadi 3 tingkatan :

1. Deplesi besi (iron depleted state) : cadangan besi menurun tetapi penyediaan besi

untuk eritropoesis belum terganggu.

2. Eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erythropoesis) : cadangan besi kosong,

penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu, tetapi belum timbul anemia secara

laboratorik.

3. Anemia defisiensi besi : cadangan besi kosong disertai anemia (Nugraha, 2018).

2.3.3 Fungsi Zat Besi

Besi berperan dalam proses metabolisme energi sebagai pengangkut elektron.

Dalam tubuh, zat besi berperan dalam proses yang berhubungan dengan

pengangkutan, penyimpanan, dan pemanfaatan oksigen dan berada dalam bentuk

hemoglobin, myoglobin, atau cytochrome (Yulia, 2021).

Besi memiliki banyak fungsi dalam tubuh. Fungsi utama zat besi bagi tubuh

adalah untuk membawa (sebagai carrier) oksigen dan karbondioksida serta untuk

pembentukan darah. Fungsi lainnya adalah sebagai bagian dari enzim, produksi

antibody, detoksifikasi zat racun dalam hati dan sebagai kofaktor enzim-enzim yang

dalam reaksi oksidasi-reduksi pada proses respirasi. Sekitar 80% besi terdapat pada

hemoglobin yang berfungsi untuk mengangkut oksigen dari paru ke seluruh tubuh

dan membawa kembali karbondioksida dari jaringan ke paru-paru. Besi memiliki

fungsi pada sistem neurotransmitter. Sistem imunitas tubuh dipengaruhi juga oleh
24

besi, apabila kekurangan besi maka sel darah putih yang bertugas untuk membunuh

bakteri tidak dapat bekerja secara efektif. Selain itu, enzim yang mengandung besi

dapat melarutkan obat yang tidak larut dalam air sehingga mampu untuk keluar dari

tubuh (Almatsier, 2013).

2.3.4 Pemeriksaan Besi Dalam Serum

Metode Pemeriksaan Pemeriksaan kadar besi dalam serum meliputi :

1. Pemeriksaan serum iron (SI)

Menggunakan uji Kolorimetri Fotometri Metode CAB. Prinsip pemeriksaannya

adalah besi (III) bereaksi dengan chromazurol B (CAB) dan

cetyltrimethylammoniumbromide (CTMA) untuk membentuk kompleks terner

berwarna dengan absorbansi maksimum pada 623 nm. Intensitas warna yang

dihasilkan berbanding lurus dengan konsentrasi besi dalam sampe (Kurniasih,

2019).

2. TIBC

TIBC (Total Iron Binding Capacity) menggunakan metode saturasi dengan

prinsip serum ditambahkan besi yang berlebih (ferri klorid). Besi yang tidak terikat

transferin akan diabsorbsi oleh magnesium carbonate, kemudian kadar besi serum

diukur. Metode Saturasi TIBC dievaluasi setelah saturasi transferin oleh larutan

besi, dan kelebihan besi akan diabsorbsi oleh magnesium hydroxide carbonate.

Setelah disentrifus, konsentrasi besi dalam supernatan diukur (Kurniasih, 2019).

3. Ferritin

Ferritin serum banyak menggunakan metode Elisa Double Sandwich dan IRMA

(Immunoradiometric Assay). Pemeriksaan feritin serum memakai metode ELISA


25

dengan cara double sandwich. Antibodi dengan high affinity terhadap feritin

(antiferitin Ig G) akan berikatan dengan feritin serum dan selanjutnya di label

dengan enzim horseradish peroxidase dan di baca absorbannya pada panjang

gelombang 492 nm. Metode IRMA (Immunoradiometric Assay) Antibodi yang

dilabel dengan radioaktif yang berlebih direaksikan dengan ferritin. Ferritin yang

tidak berikatan dengan antibodi akan dihilangkan dengan immunoadsorbent 4

Hemosiderin. Reagen Prussian blue akan mewarnai besi menjadi berwarna biru

terang atau hijau, sedangkan inti dan eritrosit tercat warna merah atau merah muda

oleh neutral (Kurniasih, 2019).

2.4 Tinjauan Pustaka Anemia

2.4.1 Definisi Anemia

Anemia merupakan sebuah keadaan dimana massa hemoglobin (Hb) atau

massa sel darah merah (eritrosit) yang beredar tidak dapat memenuhi fungsinya

untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh (Setiawan, 2019). Anemia bisa

ditandai dengan adanya penurunan kadar hemoglobin, jumlah sel darah merah, dan

volume sel darah merah per milimeter darah (Zahra, 2019).

Anemia dikatakan sebagai suatu keadaan tidak mencukupinya cadangan zat

besi sehingga terjadi kekurangan penyaluran zat besi ke jaringan tubuh. Tingkat

kekurangan yang lebih parah dihubungkan dengan anemia yang secara klinis

ditentukan dengan penurunan kadar hemoglobin sampai <11,5 gr/dL (Rahayu,

2019). Anemia dapat menyebabkan berbagai komplikasi, termasuk kelelahan dan

stress pada organ tubuh. Anemia sebenarnya adalah sebuah tanda dari proses

penyakit bukan penyakit itu sendiri. Batasan Anemia berdasarkan pemeriksaan


26

hemoglobin adalah tidak anemia : Hb 11,00 gr/dL, anemia ringan : Hb 9,00 gr/dL-

10,00 gr/dL, anemia sedang : Hb 7,00 gr/dL-8,00 gr/dL, anemia berat : Hb < 7,00

gr/dL (Yulianti, 2019).

Gambar 2.3 Sel Darah Merah Normal dan Anemia (Amelia, 2020)

2.4.2 Jenis-jenis Anemia

Secara morfologis (menurut ukuran sel darah merah dan hemoglobin yang

dikandungnya), anemia dapat dikelompokkan menjadi :

a. Makrositik

Pada anemia makrositik, ukuran sel darah merah bertambah besar dan jumlah

hemoglobin tiap sel juga bertambah. Ada dua jenis anemia makrositik, yaitu anemia

megalobastik dan anemia non-megalobastik. Penyebab anemia megalobastik

adalah kekurangan vitamin B12, asam folat, atau gangguan sintesis DNA.

Sedangkan anemia nonmegalobastik disebabkan oleh eritropoiesis yang dipercepat

dan peningkatan luas permukaan membrane.


27

b. Mikrositik

Mengecilnya ukuran sel darah merah merupakan salah satu tanda anemia

mikrositik. Penyebabnya adalah gangguan sintesis globin, porfirin dan heme,

defisiensi besi, serta gangguan metabolisme besi lainnya.

c. Normositik

Pada anemia normositik ukuran sel darah merah tidak berubah. Penyebabnya

adalah meningkatnya volume plasma secara berlebihan, kehilangan darah yang

parah, penyakit-penyakit hemolitik, gangguan endokrin hati dan ginjal (Saputra,

2019).

Selanjutnya yaitu anemia bisa dibedakan berdasarkan penyebabnya yaitu :

a. Anemia defisiensi zat besi

Merupakan salah satu jenis anemia yang diakibatkan oleh kurangnya zat besi

sehingga terjadi penurunan sel darah merah. Zat besi berperan dalam pembentukan

hemoglobin. Penurunan kadar zat besi bisa disebabkan karena kekurangan

konsumsi atau karena gangguan absorpsi (Rais, 2017).

b. Anemia pada penyakit kronik

Setiap kondisi medis jangka panjang dapat menyebabkan anemia. Mekanisme

yang tepat dari proses ini tidak diketahui, tetapi berlangsung lama dan kondisi

medis yang berkelanjutan seperti infeksi kronis atau kanker dapat menyebabkan

anemia (Yulianti, 2019).

c. Anemia pernisius

Biasanya diderita orang usia 50-60 tahun yang merupakan akibat dari

kekurangan vitamin B12. Penyakit ini bisa diturunkan.


28

d. Anemia hemolitik

Adalah anemia yang disebabkan oleh hancurnya sel darah merah yang lebih

cepat dari proses pembentukannya dimana usia sel darah merah normalnya adalah

120 hari. Penyebabnya kemungkinan karena keturunan atau karena salah satu dari

beberapa penyakit, termasuk leukemia dan kanker lainnya, fungsi limpa yang tidak

normal, gangguan kekebalan, dan hipertensi berat (Rais, 2017).

e. Anemia defisiensi asam folat

Disebabkan oleh kurangnya asupan asam folat. Selama masa kehamilan,

kebutuhan asam folat lebih besar dari biasanya.

f. Anemia aplastik

Disebabakan karena sumsum tulang belakang kurang mampu membuat sel darah

merah baru. Dimana etiologinya belum diketahui dengan pasti kecuali sepsis, sinar

rontgen, racun dan obat-obatan (Indriana, 2017).

2.4.3 Faktor Penyebab Anemia

Ada beberapa faktor penyebab anemia, faktor tersebut dapat dikelompokkan

menjadi tiga kategori yaitu :

1. Kurangnya produksi sel darah merah

Pembuatan sel darah merah akan terganggu apabila zat gizi yang diperlukan

tidak mencukupi. Zat-zat yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin adalah

asam folat, vitamin B12 dan zat besi. Produksi sel darah merah juga dapat terganggu

karena gangguan fungsi sumsum tulang (adanya tumor), tidak kuatnya stimulasi

karena berkurangnya eritropolitan (pada penyakit ginjal kronik) (Aditomo, 2019).


29

2. Kehilangan banyak darah

Salah satu penyebab kehilangan banyak darah adalah pendarahan. Pendarahan

dapat terjadi secara mendadak dan dalam jumlah banyak seperti pada kecelakaan

yang disebut pendarahan eksternal. Sedangkan pendarahan kronis terjadi secara

terus menerus dalam jumlah sedikit demi sedikit yang disebabkan oleh kanker

saluran pencernaan dan wasir. Selain itu, pada gadis remaja dan wanita dewasa,

kehilangan darah dalam jumlah banyak dapat terjadi akibat menstruasi.

3. Rusaknya sel darah merah (destruksi eritrosit)

Perusakan sel darah merah dapat berlangsung di dalam pembuluh darah akibat

penyakit malaria atau thalasemia. Meskipun sel darah merah telah rusak, zat besi

yang berada di dalamnya tidak ikut rusak tetapi asam folat yang berada di dalam sel

darah merah ikut rusak sehingga harus dibuat lagi. Oleh sebab itu pada pengobatan

anemia hemolitik lebih diperlukan penambahan asam folat daripada pemberian zat

besi (Saputra, 2019).

2.5 Tinjauan Pustaka Anemia Defisiensi Besi

2.5.1 Definisi Anemia Defisiensi Besi

Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah penurunan ketersediaan zat besi

sehingga sintesis hemoglobin terganggu (Sannyngtyas, 2022). Anemia Defisiensi

Besi disebabkan karena kurangnya ketersediaan zat besi di dalam tubuh sehingga

menyebabkan zat besi yang diperlukan untuk eritropoesis tidak cukup. Hal ini

ditandai dengan gambaran eritrosit yang hipokrom- mikrositer, penurunan kadar

besi serum, transferrin dan cadangan besi, di sertai peningkatan kapasitas ikat besi

/total iron binding capacity (TIBC) (Kurniati, 2020). ADB merupakan penyakit
30

nomor satu terbanyak yang diderita oleh lansia di Indonesia dengan angka kejadian

sebesar 50%.

ADB terjadi pada lansia karena pada umumnya lansia kurang efisien dalam

menyerap beberapa nutrisi penting, selain itu menurunnya nafsu makan karena

penyakit yang dideritanya, kesulitan menelan karena berkurangnya air liur, cara

makan yang lambat karena penyakit pada gigi, gigi yang berkurang, (Laili, 2020)

meningkatnya prevalensi malnutrisi, kehilangan darah akibat gangguan

malabsorpsi, penyakit penyerta, dan depresi juga merupakan faktor terjadinya

defisiensi zat besi pada lansia (Endrinikapoulos, 2020).

a. Epidemiologi

Menurut Global Burden of Disease Study 2016, anemia defisiensi besi adalah

1 dari 5 penyebab utama tahun hidup dengan beban kecacatan dan merupakan

penyebab pertama pada wanita. Organisasi Kesehatan Dunia merekomendasikan

batas untuk anemia (Hb ,13 g/dL pada laki-laki, ,12 g/dL pada wanita, ,11g/dL

selama kehamilan), survei di seluruh dunia menunjukkan bahwa pada tahun 2010,

anemia masih mempengaruhi sepertiga dari populasi, dengan sekitar setengah dari

kasus yang dihasilkan dari kekurangan zat besi. Diperkirakan 1,24 miliar orang

mengalami anemia defisiensi besi, meskipun dengan variasi yang sangat besar dari

negara-negara berpenghasilan rendah hingga tinggi. Secara global, anemia

defisiensi besi memiliki dampak medis dan sosial yang relevan, termasuk

penurunan kinerja kognitif pada anak kecil, hasil yang merugikan dari kehamilan

untuk ibu dan bayi baru lahir, penurunan kapasitas fisik dan kerja pada orang

dewasa, dan penurunan kognitif pada orang tua (lansia) (Camaschella, 2019).
31

b. Patofisiologi

Anemia Defisiensi Besi Tanda-tanda dari anemia gizi dimulai dengan

menipisnya simpanan zat besi (feritin) dan bertambahnya absorbsi zat besi yang

digambarkan dengan meningkatnya kapasitas pengikatan zat besi. Tahap yang lebih

lanjut berupa habisnya simpanan zat besi, berkurangnya kejenuhan transferin,

berkurangnya jumlah protoporpirin yang diubah menjadi darah dan akan diikuti

dengan menurunnya kadar feritin serum. Akhirnya terjadi anemia dengan cirinya

yang khas yaitu rendahnya kadar Hb (Price, 2006).

c. Etiologi

Secara umum anemia defisiensi besi disebabkan oleh 4 faktor yaitu :

1. Diet atau Asupan Zat Besi yang kurang

Setiap hari zat besi dari tubuh akan diekskresikan melalui kulit dan epitel usus.

Jika jumlah besi pada makanan yang kita konsumsi kurang (diet) dan kualitas besi

tidak baik maka dapat menyebabkan cadangan besi berkurang, sehingga proses

eritropoesis akan berkurang.

2. Kebutuhan Besi Meningkat

Kebutuhan zat besi akan meningkat pada masa pertumbuhan seperti pada bayi,

anak-anak, remaja, kehamilan dan menyusui.

3. Kehilangan Darah yang Kronis

Pada perempuan kehilangan zat besi sering karena menstruasi yang banyak dan

lama atau kondisi seperti tumor fibroid. Selain itu, pendarahan melalui saluran

cerna bisa disebabkan ulkus, gastritis karena alkohol atau aspirin, tumor dan parasit.
32

4. Gangguan Penyerapan Besi

Penyerapan besi sangat tergantung dengan adanya asam lambung yang

membantu mengubah ion ferri menjadi ion ferro. Ganggguan penyerapan besi dapat

dijumpai pada pasien dengan sindrom malabsorbsi seperti gastrectomy, gastric

bypass, celiac disease (Kurniati, 2020).

2.5.2 Gejala Umum Anemia Defisiensi Besi

Tanda dan gejala anemia defisiensi besi :

1. Nyeri kepala dan pusing yang merupakan kompensasi otak akibat kekurangan

oksigen, sehingga menyebabkan daya angkut hemoglobin berkurang.

2. Cepat lelah /kelelahan, yang disebabkan karena penyimpangan oksigen di

dalam jaringan otot, sehingga metabolisme di otot terganggu.

3. Pucat pada muka, telapak tangan, kuku, mukosa mulut dan konjungtiva.

4. Kesulitan bernafas karena tubuh memerlukan lebih banyak oksigen sehingga

tubuh mengkompensasi dengan cara mempercepat pernapasan (Rena, 2017).

2.5.3 Gejala Khas Anemia Defisiensi Besi

Gejala dari anemia defisiensi zat besi: gejala ini merupakan khas pada anemia

defisiensi zat besi dan tidak dijumpai pada anemia jenis lainnya, yaitu :

Koilonychia/spoon nail/kuku sendok (kuku berubah jadi rapuh, bergaris-garis

vertikal dan jadi cekung sehingga mirip sendok), atrofi papila lidah (permukaan

lidah tampak licin dan mengkilap disebabkan karena hilangnya papila lidah,

Angular cheilitis (inflamasi sekitar sudut mulut), glositis, pica (keinginan makan

yang tidak biasa), disfagia merupakan nyeri telan yang disebabkan pharyngeal web,

sindroma plummer vinson/pterson kelly (merupakan kumpulan gejala dari anemia


33

hipokromik mikrositik, atrofi papil lidah dan disfagia), kandidiasis oral, stomatitis,

erythematous mucositis, burning mouth (glossodynia), bibir dan mulut terlihat

pucat (Mersil, 2021).

Gambar 2.4 Kuku Sendok Gambar 2.5 Atrofi Papil Lidah


(Rena, 2017) (Rena, 2017)
2.5.4 Diagnosis Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat

dijumpai adalah :

1. Pengukuran kadar hemoglobin dan indeks eritrosit didapatkan anemia

hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan

sampai berat. MCV dan MCH menurun. MCV < 70 fl hanya didapatkan pada

anemia defisiensi besi dan thalasemia major. MCHC menurun pada defisiensi

yang lebih berat dan berlangsung lama. RDW (red cell distribution witdh)

meningkat yang menandakan adanya anisositosis. Anisositosis merupakan

tanda awal defisiensi besi. Kadar hemoglobin sering turun sangat rendah, tanpa

menimbulkan gejala anemia yang menyolok karena anemia timbul perlahan-

lahan.

2. Kadar besi serum menurun < 50 mg/dl, TIBC meningkat > 350 mg/dl, dan

saturasi transferin < 15 %.

3. Kadar serum feritinin < 20 µg/dl.


34

4. Protoforfirin eritrosit meningkat ( > 100 µg/dl)

5. Sumsum tulang menunjukan hiperplasia normoblastik dengan normoblast

kecil- kecil (micronormoblast) dominan.

6. Pada laboratorium yang maju dapat diperiksa reseptor transferin kadar reseptor

transferin meningkat.

7. Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia (perl’s stain) menunjukan

cadangan besi yang negatif (butir hemosiderin negatif).

8. Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab anemia defisiensi besi

antara lain : pemeriksaan feses untuk cacing tambang, sebaiknya dilakukan

pemeriksaan semikuantitatif (Kato Katz), pemeriksaan darah samar dalam

feses, endoskopi, barium intake dan barium inloop (Rena, 2017).

2.6 Hubungan Serum Iron dan Kadar Hb dengan Anemia Defisiensi Besi

Anemia Defisiensi Besi (ADB) merupakan salah satu jenis anemia yang

diakibatkan oleh kurangnya zat besi sehingga terjadi penurunan sel darah merah

(Rais, 2017). ADB disebabkan karena kurangnya ketersediaan zat besi di dalam

tubuh sehingga menyebabkan zat besi yang diperlukan untuk eritropoesis tidak

cukup. Eritropoiesis merupakan proses pembentukan sel darah merah (eritrosit).

Tubuh manusia memproduksi eritrosit baru setiap hari melalui proses tersebut.

Pembentukan eritrosit memerlukan zat besi (Fe) yang berguna untuk sintesis

hemoglobin (Rais, 2017).

Hemoglobin merupakan protein kompleks yang mengikat zat besi (Fe) dan

terdapat di dalam eritrosit yang berperan sebagai pengangkut oksigen (O 2) dari

paru-paru keseluruh tubuh dan menukarkannya dengan karbindioksida (CO 2) dari


35

jaringan untuk dikeluarkan melalui paru – paru (Nugraha, 2017). Jika jumlah

hemoglobin dalam eritrosit rendah, maka kemampuan eritrosit membawa oksigen

ke seluruh jaringan tubuh juga akan menurun dan tubuh menjadi kekurangan O2.

Oleh karena itu untuk mengetahui potensi seseorang mengalami anemia defisiensi

besi perlu dilakukan pemeriksaan kadar zat besi (serum iron) dan kadar

hemoglobin.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan

metode observasi deskriptif analitik, dimana data dikumpulkan secara langsung

dengan melakukan pemeriksaan dan pengamatan terhadap sampel yang diambil

untuk mengetahui hubungan serum iron dan kadar hemoglobin sebagai gambaran

potensi anemia defisiensi besi pada lansia secara deskriptif analitik.

3.2 Populasi, Subyek dan Sampel Penelitian

3.2.1 Populasi

Populasi merupakan objek keseluruhan yang dikaji karakteristiknya,

kemudian ditetapkan untuk ditarik kesimpulan di dalam suatu penelitian. Populasi

dari penelitian ini adalah semua lansia di Kec.Taman Kab. Sidoarjo.

3.2.2 Subyek Penelitian

Subyek penelitian bagian dari populasi yang akan diteliti, diambil secara acak

pada pasien lansia yang menjalani pengobatan rutin dengan usia 64 - 74 tahun

sebanyak 25 orang di Puskesmas Taman Kab. Sidoarjo.

3.2.3 Sampel/Bahan Penelitian

Sampel/bahan penelitian ini adalah darah K3EDTA dan darah tanpa

antikoagulan (serum) dari subyek penelitian.

36
37

3.3. Tempat dan Waktu Penelitian

3.3.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Media Husada JL.Jagir Wonokromo

Permai, Jagir, Kec. Wonokromo, Kota Surabaya, Jawa Timur.

3.3.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2022.

3.4 Alat dan Bahan Penelitian

3.4.1 Alat dan Bahan Pengambilan Darah Vena

a. Alat :

1. Spuit

2. Tabung Vacutainer (EDTA dan tanpa EDTA)

3. Tourniquet

b. Bahan :

1. Kapas Alkohol

2. Plester

3.4.2 Alat dan Bahan Pemeriksaan Hemoglobin

a. Alat :

Hematology analyzer

b. Bahan :

- Sampel darah vena

- Reagen Erba H360 Lyse 500 ml

- Reagen Erba H360 Diluent 20 L

- Reagen Erba Elite H Clean 50 ml.


38

3.4.3 Alat dan Bahan Pemeriksaan Serum Iron

a. Alat :

Spektofotometer

b. Bahan :

- Serum

- Reagen Human Fe

- Aquades

3.5 Prosedur Pemeriksaan

3.5.1 Pra Analitik

Prosedur Pengambilan DarahVena

1. Identifikasi pasien dengan benar sesuai dengan data di lembar permintaan.

2. Minta pasien meluruskan lengannya, pilih lengan yang banyak melakuan

aktifitas.

3. Pasang tali pembendung (torniquet) kira-kira 7-10 cm di atas lipatan siku.

4. Pilih vena bagian median cubital atau cephalic. Lakukan perabaan untuk

memastikan posisi vena, tornique dilepas atau (tidak dilepas tidak lebih

dari 1 menit.)

5. Bersihkan kulit pada bagian yang akan diambil dengan kapas alkohol

dihapus searah dari dalam melingkar kearah luar. Kulit yang

sudahdibersihkan jangan dipegang lagi.

6. Spuit dan jarum disiapkan, diberi ronga sedikit agar vacuum.

7. Torniquet dipasang kembali tidak terlalu rapat, tangan menggenggam.


39

8. Jarum dibuka ditusuk pada bagian vena dengan posisi lubang jarum

menghadap keatas deng sudut 15-30 derajat. Jika jarum telah masuk

kedalam vena, akan terlihat darah masuk kedalam jarum spuit.

9. Thorak ditarik perlahan mengikuti kecepatan darah masuk spuit , lubang

jarum menghadap ke atas. darah mengalir masuk, minta pasien membuka

kepalan tangannya, setelah volume darah dianggap cukup, tourniquet

dilepas.

10. Letakkan kapas ditempat bekas lokasi pengambilan lalu segera

lepaskan/tarik jarum, segera dengan cepat dilakukan penekanan dengan

kapas sedemikian rupa dan dilanjutkan oleh pasien seperti yang

dicontohkan sehingga darah tidak keluar lagi, disampaikan kepada pasien

tekan selama 5 menit.

11. Jarum spuit ditusukkan pada tabung tutup merah (tanpa anticoagulan) ,

kemudian dilanjutkan ditusukkan pada tabung merah dan K3EDTA

(dihomogenkan 8-10 kali)

12. Kemudian diberikan kode ID pasien, jam pengambilan dan kode ID

pengambil.

13. Beberapa saat kemudian bekas vena lalu diplaster, disampaikan apabila

ada warna kebiruan bisa kompres dengan air hangat atau diberi salep

trombopobe.

3.5.2 Analitik

Prosedur Pemeriksaan Hemoglobin (Hematologi Analyzer)

1. Disiapakan alat dan bahan yang akan digunakan.


40

2. Dipastikan alat dalam status siap.

3. Tekan tombol Whole Blood “WB” pada layar monitor.

4. Tekan tombol ID dan masukkan nomor sampel yang akan digunakan

kemudian tekan tombol [Enter]

5. Homogenisasikan darah (8-10 kali) yang akan diperiksa dengan baik.

Dibuka tutupnya dan diletakkan di bawah Aspiration Probe. Dipastikan

ujung probe menyentuh dasar botol agar tidak menghisap udara.

6. Ditekan [Start Switch] untuk memulai proses.

7. Ditarik botol darah sampel dari bawah probe setelah terdengar bunyi

“Beep” dua kali.

8. Hasil akan tampil pada layar dan secara otomatis tercetak pada kertas

printer.

Prosedur Pemeriksaan Serum Iron

1. Siapakan alat dan bahan yang akan digunakan.

2. Lakukan pemipetan

Pipet ke dalam kuvet Reagen Blanko Test

Reagen SI 1000 µl 1000 µl

Aquades 50 µl -

Sampel - 50 µl

3. Homogenkan, inkubasi selama 15 menit suhu ruang.

4. Ukur pada alat dengan panjang gelombang 623 nm.

3.5.3 Pasca Analitik

1. Penulisan hasil Pemeriksaan


41

2. Pelaporan Hasil

3. Nilia nornal Hemoglobin dan Serum Iron

Kadar Hemoglobin (Hb)

- Laki – laki : 14,0 - 18,0 g/dl)

- Perempuan : 12,0 – 16,0 g/dl)

Serum Iron (SI)

- Laki – laki : 59 - 148 µg/dl

- Perempuan : 37 – 145 µg/dl

4. Pengolahan limbah infeksius cair maupun padat

Pengolahan limbah infeksius padat

- Limbah B3 medis dimasukkan kedalam wadah yang dilapisi kantong

plastic warna kuning yang bertulis “biohazard”.

- Hanya limbah B3 medis yang berbentuk padat yang dapat dimasukkan

ke dalam kantong plastik limbah B3 medis.

- Setelah paling lama 12 jam, sampah atau limbah B3 dikemas dan

diikat rapi

- Setelah digunakan wadah didisinfeksi dengan disinfektan seperti

klorin 0,5 % dan lain-lain.

Pengolahan limbah infeksius cair

Sisa sampel dibuang kedalam wastafel atau saluran pembuangan

yang menuju ke pengolahan limbah cair. Wadah sampel yang terbuat

dari gelas dan telah digunakan di cuci menggubakan deterjen dan dibilas
42

dengan air mengalir kemudian disterilkan pada suhu 120°C selama 2

jam.

3.6 Analisa data

Analisa data dikerjakan secara deskriptif dengan menampilkan data primer

dalam bentuk tabel, grafik, persentase dan nilai rata-rata.


43

3.7 Diagram Alur Penelitian


Judul Tugas Akhir
Hubungan Serum Iron (SI) Dan Kadar Hemoglobin (Hb) Sebagai
Gambaran Potensi Anemia Defisiensi Besi Pada Lansia

Studi Literatur

Persiapan Penelitian
Subyek Penelitian
Darah K3EDTA & Alat dan Bahan
serum Pemeriksaan Serum
Iron dan Kadar Hb

Data Hasil Pemeriksaan Serum


Iron dan Kadar Hb

Analisa Hasil dan Pembahasan

Kesimpulan dan
Saran

Gambar 3.1 Diagram Alur


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Penyajian Data

Berdasarkan hasil penelitian hubungan serum iron dan kadar hemoglobin

sebagai gambaran potensi anemia defisiensi besi pada lansia di Puskesmas Taman

Sidoarjo pada bulan Desember 2022 – Januari 2023 sebanyak 25 pasien di dapatkan

hasil sebagai berikut :

Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan kadar hemoglobin dan serum iron pada lansia

Hasil Pemeriksaan
Jenis Usia Kadar Hemoglobin (Hb) Serum Iron (SI)
No Kode
Kelamin (thn) (L : 14,0 - 18,0 g/dl) (L : 59 - 148 µg/dl)
(P : 12,0 - 16,0 g/dl) (P : 37 - 145 µg/dl)
1 ST P 83 8,1 60,8
2 BU P 70 7,4 51,3
3 ER P 65 8,9 41,4
4 SM P 67 12,1 32,3
5 SY P 72 10,0 98,6
6 MZ P 73 12,3 145,0
7 SP P 67 11,3 120,5
8 KN P 76 11,3 88,8
9 SI P 76 11,5 113,6
10 RA P 65 12,3 85,1
11 RO P 81 4,0 60,1
12 SB L 65 11,7 59,4
13 SK L 68 11,7 103,0
14 MU L 80 12,7 110,3

44
45

15 DW L 68 10,6 106,2
16 KU L 72 6,7 30,4
17 AS L 73 8,3 103,5
18 SW L 69 8,7 71,2
19 YU L 72 5,6 66,8
20 BI L 67 13,0 131,8
21 SL L 69 13,2 125,2
22 SJ L 69 13,4 122,9
23 SC L 67 12,8 105,1
24 MJ L 82 13,2 128,1
25 IB L 68 12,1 130,5
Nilai Rata - Rata : 71.36 10,52 91,68

4.1.2 Karakteristik Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah sampel yang didapatkan dari pengambilan

sampel darah vena pasien lansia di Puskesmas Taman Sidoarjo pada bulan

Desember 2022 – Januari 2023 sebanyak 25 pasien. Karakteristik sampel dalam

penelitian ini meliputi :

1. Usia

Usia adalah sebuah perhitungan seseorang seberapa lama ia sudah hidup di

dunia. Karakteristik sampel berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.2 Karakteristik sampel berdasarkan Usia

Variabel Usia (tahun)


Usia rata – rata 71,36
Usia termuda 65
Usia tertua 83
46

Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 25 pasien lansia di Puskesmas

Taman Sidoarjo didapatka usia rata – rata 71,36 tahun, usia termuda 65 tahun dan

usia tertua 83 tahun.

2. Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan perbedaan antara laki – laki dan perempuan secara

biologis sejak seseorang lahir. Karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin

dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.3 Karakteristik sampel berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)


Perempuan 11 44%
Laki – laki 14 56%
Total 25 100%

Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 25 pasien lansia di Puskesmas Taman

Sidoarjo didapatkan pasien lansia perempuan sebanyak 11 orang (44%) dan pasien

lansia laki – laki 14 orang (56%). Dari hasil tersebut diketahui bahwa sebagian besar

pasien lansia di Puskesmas Taman Sidoarjo adalah laki – laki.

4.1.3 Distribusi Pasien Lansia

1. Distribusi Kadar Hemoglobin pada pasien lansia

Tabel 4.4 Distribusi Kadar Hemoglobin pada pasien lansia

Kadar Hemoglobin Nilai (g/dl)


Kadar Hemoglobin rata – rata 10,52

Kadar Hemoglobin terendah 4,0


Kadar Hemoglobin tertinggi 13,4
47

Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 25 pasien lansia di Puskesmas Taman

Sidoarjo didapatkan kadar hemoglobin rata – rata 10,52 g/dl, kadar hemoglobin

terendah 4,0 g/dl dan kadar hemoglobin tertinggi 13,4 g/dl.

2. Distribusi Serum Iron pada pasien lansia

Tabel 4.5 Distribusi Serum Iron pada pasien lansia

Serum Iron Nilai (µg/dl)


Serum iron rata – rata 91,68

Serum iron terendah 30,4


Serum iron tertinggi 145,0

Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 25 pasien lansia di Puskesmas Taman

Sidoarjo didapatkan serum iron rata – rata 91,68 µg/dl, serum iron terendah 30,4

µg/dl dan serum iron tertinggi 145,0 µg/dl.

3. Grafik Persentase Hasil Serum Iron dan Kadar Hemoglobin

Hail Persentase Normal dan Rendah


pada Serum Iron dan Kadar Hemoglobin
100% 92%
88%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20% 12%
8%
10%
0%
Normal Rendah

Serum Iron Hemoglobin

Gambar 4.1 Grafik Hasil Serum Iron dan Kadar Hemoglobin


48

Grafik di atas menunjukkan bahwa dari 25 pasien lansia di Puskesmas Taman

Sidoarjo didapatkan Serum Iron normal sebanyak 92 % (23 pasien) dan rendah 8

% (2 pasien), sedangkan Kadar Hemoglobin normal sebanyak 12 % (3 pasien) dan

rendah 88% (22 pasien). Ditemukan pasien dengan kadar Hb rendah atau anemia

sebanyak 8 pasien perempuan dan 14 pasien laki – laki, sedangkan kadar Hb normal

pada 3 pasien perempuan. Pasien dengan dengan SI rendah sebanyak 1 pasien

perempuan dan 1 pasien laki – laki, sedangkan SI normal pada 10 pasien perempuan

dan 13 pasien laki – laki.

4. Hubungan Kadar Hemoglobin dan Serum Iron pada pasien lansia

Tabel 4.6 Hubungan Kadar Hemoglobin dan Serum Iron pada pasien lansia

Hubungan antar variabel Nilai pearson Nilai


correlation signifikan
Kadar Hemoglobin dan Serum Iron 0,649 0,000
r = pearson correlation (r = 0,60 – 0,799 ; kuat), p = nilai signifikansi (p = < 0,05)

Tabel hasil uji pearson correlation di atas menunjukkan nilai signifikansi

kelompok didapatkan p = 0,000 dimana (p = < 0,05) menunjukkan adanya

hubungan atau korelasi antara serum iron dan kadar hemoglobin. Nilai korelasi

didapatkan r kelompok = 0,649 dimana (r = 0,60 – 0,799) menunjukkan tingkat

hubungan yang kuat sehingga antara serum iron dan kadar hemoglobin didapatkan

hubungan yang kuat.

4.2 Pembahsan
Lanjut usia (lansia) adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun yang

mengalami penurunan kemampuan beradaptasi, penurunan fungsi organ, serta tidak

berdaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seorang diri (Putri, 2019). Salah
49

satu organ yang mengalami penurunan terjadinya penurunan yaitu organ

pencernaan sehingga tidak dapat memenuhi zat besi yang mengakibatkan terjadinya

anemia (Sannyngtyas, 2022).

Anemia adalah suatu keadaan kekurangan sel-sel darah merah atau hemoglobin

dalam darah yang dapat disebabkan oleh hilangnya darah secara cepat atau karena

terlalu lambatnya produksi sel-sel darah merah tersebut (Sahana, 2014). Zat – zat

mikro (nutrisi) yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin yaitu seperti zat

besi, asam folat, vitamin B12, protein dan vitamin C (Amelia, 2016).

Zat besi (Fe) sangat diperlukan dalam hemopoesis (pembentukan darah), yaitu

dalam sintesis hemoglobin. Jumlah hemoglobin yang rendah akan mengakibatkan

penurunan kemampuan eritrosit membawa oksigen ke seluruh jaringan tubuh

sehingga tubuh menjadi kekurangan O2,. Oksigen penting dalam proses

pembentukan energi agar produktivitas kerja meningkat dan tubuh tidak cepat lelah

(Rais, 2017).

Pada umumnya lanjut usia kurang efisien dalam menyerap beberapa nutrisi

yang dibutuhkan, menurunnya nafsu makan karena penyakit yang dideritanya,

kesulitan menelan karena berkurangnya air liur, cara makan yang lambat karena

penyakit pada gigi, gigi yang berkurang dan mual (Laili, 2020). Faktor-faktor

tersebut dapat memudahkan populasi lansia untuk terkena anemia nutrisi seperti

anemia defisiensi besi, anemia defisiensi folat, dan anemia defisiensi vitamin B12

(Salidah, 2019).

Selain faktor di atas lansia berpotensi mengalami anemia inflamasi. Anemia

inflamasi disebabkan karena proses penuaan dan penyakit kronis yang mendasari.
50

Proses menua menyebabkan inflamsi dikarenakan adanya degenerasi sel – sel dan

terjadi penurunan sistem imun dan kematian sel, sehingga berpotensi peradangan

yang mempengaruhi produksi hemoglobin (Khoirul, 2014). Ada 4 mekanisme

inflamasi yang diduga menjadi penyebab timbulnya anemia yaitu :

1. Inflamasi menyebabkan eritropoesis menjadi tidak efektif dengan cara

menghambat proliferasi dan diferensiasi prekursor eritroid dan / atau penurunan

respons terhadap EPO (eritropoetin) sehingga timbul resistensi EPO.

2. Inflamasi akan menurunkan jumlah produksi dari EPO itu sendiri.

3. Inflamasi menyebabkan peningkatan kadar heptidin. Heptidin adalah peptida

yang disintesis oleh hepar yang berfungsi untuk menghambat absorpsi zat besi,

pelepasan besi dari makrofag, dan peningkatan proteolisis oleh ferroportin.

4. Inflamasi akan memberikan efek negatif pada daya tahan eritrosit Pada proses

penuaan, sitokin sitokin pro inflamator, IL – 6, dan protein fase akut akan

mengalami peningkatan kadar, bahkan pada orang yang sehat. IL – 6 diketahui

akan menginduksi pelepasan dari Heptidin. Oleh karena itu peningkatan usia

akan meningkatkan angka kejadian anemia oleh karena proses inflamasi

(Khoirul, 2014).

Anemia penyakit kronis terjadi pada pasien dengan penyakit yang

menyebabkan aktivasi kekebalan yang berkepanjangan, termasuk infeksi,

keganasan, penyakit autoimun, dan kanker (Weiss, 2019). Beberapa kondisi yang

sering terjadi bersamaan dengan anemia penyakit kronis yaitu infeksi virus

(termasuk HIV) penyakit jaringan penyambung (vaskulitis, sarkoidosis), rejeksi

kronis setelah transplantasi organ solid, penyakit ginjal kronis (Jessica, 2020),
51

rheumatoid arthritis dan lupus, penyakit radang usus, infeksi kronis termasuk

tuberkulosis dan sindrom imunodefisiensi yang didapat, tumor padat tertentu

(misalnya, kanker ovarium dan kanker paru-paru), gagal jantung kronis, penyakit

paru obstruktif kronis atau fibrosis kistik (Tomas, 2019).

Hasil penelitian yang dilakukan didapatkan kadar hemoglobin (Hb) yang

rendah, tetapi serum iron (SI) masih dalam batas normal. Kejadian penurunan Hb

tanpa perubahan SI lansia ini dapat terjadi karena beberapa hal, seperti kurangnya

asupan zinc, vitamin B9, folat, vitamin B12, penurunan fungsi ginjal, hingga

menurunnya jumlah eritrosit (Sannyngtyas, 2022). Kejadian ini juga dapat

disebabkan karena penyakit kronis. Penyakit kronis adalah adalah interaksi antara

zat besi, imunitas dan infeksi. Penyakit kronis mengganggu kemampuan tubuh

untuk menggunakan zat besi yang tersimpan, disregulasi homeostasis besi pada

penyakit kronis ditandai dengan peningkatan penyerapan dan retensi besi di dalam

sel sistem retikuloendotelial. Hal ini menyebabkan pengalihan besi dari sirkulasi ke

tempat penyimpanan sistem retikuloendotelial, selanjutnya membatasi ketersediaan

besi untuk sel progenitor eritroid, dan eritropoiesis (Bianchi, 2014).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada 25 pasien lansia di

Puskesmas Taman Sidoarjo pada bulan Desember 2022 – Januari 2023 diperoleh

rata – rata hemoglobin 10,52 g/dl dan serum iron 91,68 µg/dl. Hasil analisa data

statistik menggunakan uji kolerasi pearson menunjukkan nilai signifikansi

kelompok didapatkan p = 0,000 dimana (p = < 0,05) menunjukkan adanya

hubungan atau korelasi antara serum iron dan kadar hemoglobin. Nilai korelasi

didapatkan r kelompok = 0,649 dimana (r = 0,60 – 0,799) menunjukkan tingkat


52

hubungan yang kuat sehingga antara serum iron dan kadar hemoglobin didapatkan

hubungan yang kuat.


BAB V

PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian hubungan serum iron dan kadar hemoglobin

sebagai gambaran potensi anemia defisiensi besi pada lansia dapat disimpulkan

bahwa dengan menggunakan uji kolerasi pearson menunjukkan nilai signifikansi

kelompok didapatkan p = 0,000 dimana (p = < 0,05) menunjukkan adanya

hubungan atau korelasi antara serum iron dan kadar hemoglobin. Nilai korelasi

didapatkan r kelompok = 0,649 dimana (r = 0,60 – 0,799) menunjukkan tingkat

hubungan yang kuat sehingga antara serum iron dan kadar hemoglobin didapatkan

hubungan yang kuat. Didapatkan nilai rata – rata kadar hemoglobin 10,52 g/dl

dengan hasil normal sebanyak 3 pasien (12 %) dan rendah 22 pasien (88%).

Didapatkan nilai rata – rata serum iro 91,68 µg/dl dengan hasil normal sebanyak 23

pasien (92 %) dan rendah 2 pasien (8 %). Kadar hemoglobin yang menurun tanpa

diikuti turunnya serum iron dapat terjadi karena beberapa hal, seperti kurangnya

asupan zinc, vitamin B9, folat, vitamin B12 dan inflamasi akibat penyakit kronis

atau penuaan.

5.2 Saran

Bagi peneliti selanjutnya diharapkan lebih memperhatikan dan menyeleksi

sampel lansia dengan kadar hemoglobin yang rendah, penambahan jumlah sampel

dan pengetatan pada usia lansia. Bagi para lansia diharapkan untuk mengkonsumsi

53
54

makanan yang mengandung banyak nutrisi, berolahraga dan melakukan

pengobatan penyakit yang mendasari terjadinya anemia.


DAFTAR PUSTAKA

Aditomo, M. H. R. (2019). Gambaran Jumlah Trombosit dan Hematokrit Pada


Pasien dengan Diagnosa Anemia di RSUD Bangil Pasuruan.

Alamsyah. (2017). Hubungan Kecukupan Zat Gizi Dan Konsumsi Makanan


Penghambat Zat Besi Dengan Kejadian Anemia Pada Lansia. Media Gizi
Indonesia, 11(1), 48.

Aliviameita. (2019). Buku Ajar Hematologi. In Buku Ajar Mata Kuliah


Hematologi.

Almatsier. (2013). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.

Amelia. (2016). Hubungan Asupan Zat Gizi Mikro Dengan Kadar Hemoglobin
Remaja Putra Usia 11 - 19 tahun di Panti Asuhan Darut Taqwa Kota
Semarang Tahun 2016.

Amelia. (2020). Gambaran Anemia Pada Lansia Di Panti Wreda Yogyakarta Dan
Panti Wreda Palembang. 21(1), 1–9.

Amira. (2018). Karya Tulis Ilmiah Gambaran Kualitas Hidup Lanjut Usia di UPT
Pelayanan Sosial Tresna Werdha Magetan.

Ansori. (2015). Perbedaan kadar hemoglobin metode POCT (Point Of Care


Testing) dan Hematologi Analyzer pada darah EDTA yang langsung diperiksa
dan ditunda 2 jam. Paper Knowledge . Toward a Media History of Documents,
3(April), 49–58.

Arthur, G. (2015). Perbedaan Hasil Pemeriksaan Hemoglobin Metode Stik (Hb


meter) dengan Automated Hematology Analyzer. 7–23.

Bianchi, V. (2014). Anemia in the Elderly Population. 3(4), 95–106.

Camaschella, C. (2019). Seri Ulasan. 133, 30–39.

Dukcapil. (2021). Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil 2021.

Endrinikapoulos. (2020). Pengaruh Suplementasi Zat Besi Terhadap Fungsi


Kognitif Lansia. Journal of Nutrition College, 9(2), 134–146.

Imelda, D. (2019). Gambaran Kadar Hemoglobin Pada Pekerja Tukang batu di


Kelurahan Oebufu.

55
Indriana, R. (2017). Hubungan Tingkat Kecukupan Fe, Vitamin B9, dan Vitamin
B12 dengan Kadar Hemoglobin Anak Usia 11 Tahun Sekolah Dasar Negeri
02 Pedurungan Kidul Semarang. Journal of Chemical Information and
Modeling, 53(9), 1689–1699.

Jessica. (2020). Anemia Penyakit Kronis. Journal Of The Indonesian Medical


Association, 68(10), 443–450.

Karisma. (2021). Gambaran Perilaku Pasien Diabetes Melitus Pada Lansia Di


Desa Baler Bale Agung Kecamat Negara Kabupaten Jembrana. Gastronomía
Ecuatoriana y Turismo Local., 1(69), 5–24.

Kemenkes RI. (2019). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2019.


Indonesia Masuki Periode Aging Population.

Khasanah. (2020). Gangguan Aktivitas Dengan Intoleransi Aktivitas Pada Lansia.


Angewandte Chemie International Edition, 6(11), 951–952., Thamer 2009,
2013–2015.

Khoirul, F. (2014). Hubungan Usia Dan Status Nutrisi Terhadap Kejadian Anemia
Pada Pasien Kanker Kolorektal. Jurnal Kedokteran Diponegoro, 3(1),
108451.

Kurniasih, E. (2019). Makalah Metode Dan Prosedur Pemeriksaan Serum Iron


Ferritin, Tibc Dan Transferin. Makalah Metode Dan Prosedur Pemeriksaan
Serum Iron Ferritin, Tibc Dan Transferin.

Kurniati, I. (2020). Anemia Defisiensi Zat Besi ( Fe ). Jurnal Kedokteran


Universitas Lampung. 4(1), 18–33.

Laili. (2020). Analisis Hubungan Antara Status Gizi Dengan Kejadian Anemia
Pada Lansia Di Upt. Puskesmas Colomadu 1. Intan Husada Jurnal Ilmu
Keperawatan, 8(1), 67–73.

Mersil, S. (2021). Stomatitis sebagai Manifestasi Oral dari Anemia Defisiensi Zat
Besi disertai Trombositosis. 9(30), 181–187.

Nugraha, G. (2017). Panduan Pemeriksaan Laboratorium Hematologi Dasar Edisi


2.

Nugraha, G. (2018). Pedoman Teknik Pemeriksaan Laboratorium Klinik. Trans


Info Media, 76.

Price, A. W. 2006. (2006). Patofisiologi Konsep Proses-Proses Penyakit, Edisi IV.


Jakarta: EGC. 1.

56
Putri, D. A. (2019). Status Psikososial Lansia Di Pstw Abiyoso Pakem Sleman
Yogyakarta Tahun 2019. Poltekkes Joga, 53(9), 1689–1699.

Rahayu. (2019). Metode Orkes-Ku (raport kesehatanku) dalam mengidentifikasi


potensi kejadian anemia gizi pada remaja putri. In CV Mine.

Rais, M. (2017). Hubungan Asupan Zat Besi, Status Gizi Dan Lama Menstruasi
Dengan Kejadian Anemia Pada Remaja Putri (Studi Kasus Di Asrama Putri
SMA Islam Tepadu Abu bakar Yogyakarta Tahun 2017.7–34.

Rena, R. A. (2017). Respondensi Anemia Defisiensi Besi. Fakultas Kedokteran


Universitas Udayana, 1202005126, 1–30.

Rosita, L. (2019). Hematologi Dasar. In Nuevos sistemas de comunicación e


información.

Sahana. (2014). Hubungan Asupan Mikronutrien Dengan Kadar Hemoglobin Pada


Wanita Usia Subur ( Wus ). 184–191.

Salidah. (2019). Gambaran Kadar Hemoglobin Pada Lanjut Usia (LANSIA) di


Puskesmas Tanjung Batu Ogan Ilir. 1–59.

Sannyngtyas. (2022). Wanita Lansia Sehat Di Kota Malang Decreasing


Hemoglobin Levels Without Changes Serum Iron Levels in Healthy Elderly
Women in Malang City. Universitas Islam Malang, 10.

Saputra, R. (2019). Hubungan pengetahuan, IMT, zat besi, zink dan protein dengan
kejadian anemia pada remaja putri. Universitas Muhammadiyah Semarang,
53(9), 1689–1699.

Setiawan. (2019). Gambaran Indeks Eritrosit Dalam Penentuan Jenis Anemia Pada
Penderita Gagal Ginjal Kronik Di Rsud Sanjiwani Gianyar.
Ejournal.Poltekkes-Denpasar.Ac.Id, 7(2), 130–137.

Sharma. (2022). Anemia defisiensi besi : patofisiologi , penilaian , manajemen


praktis. 1–9.

Sholekhah, L. (2018). Perbedaan Kadar Hemoglobin Darah Vena Dengan Darah


Kapiler Metode Cupri Sulfat. Diploma Thesis, Universitas Muhammadiyah
Semarang, 5–15.

Tomas. (2019). Anemia of Inflammation.

Weiss. (2019). Anemia of in fl ammation. 133(1).

Yulia, H. (2021). Hubungan Asupan Zat Besi Dan Asam Fitat Dengan Kejadian

57
Anemia Pada Remaja Putri Di Smpn 19 Kota Bengkulutahun 2021.

Yulianti, Y. (2019). Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Anemia


pada Ibu Hamil di Wilayah Keja Puskesmas Karanganyar Kota Tasikmalaya
Tahun 2019.

Zahra. (2019). Karakteristik anemia pada lansia di RSUP Sanglah Denpasar pada
bulan Januari-Juni 2017. Intisari Sains Medis, 10(2), 155–158.

58
Lampiran 1. Proses Penelitian
Prosedur Pemeriksaan Serum Iron
Gambar Keterangan
Persiapan transport sampel
dengan ice box

Diamkan sampel dalam suhu


ruang

Siapkan alat dan reagen (reagen


harus dalam suhu ruang)

Lakukan pemisahan sampel


menggunakan centrifuge

Pastikan alat dalam kondisi


ready
Pisahkan darah dengan serum
Campur serum dengan reagen
yang sudah tersedia

Inkubasi sampel selama 30


menit

Masukkan campuran reagen dan


sampel ke dalam alat
Tunggu sampai hasil keluar
Prosedur Pemeriksaan Hemoglobin
Gambar Keterangan
Persiapan transport sampel
dengan ice box

Diamkan sampel dalam suhu


ruang

Pastikan alat dalam kondisi


ready

Masukkan data pasien (nama,


usia dll)

Homogenkan sampel sebanyak 8


- 10 x
Masukkan dalam alat, tunggu
sampai hasil keluar
Lampiran 2. Uji Pearson Correlation

Correlations

Hemoglobin Serum Iron

Hemoglobin Pearson Correlation 1 .649**

Sig. (2-tailed) .000

N 25 25

Serum Iron Pearson Correlation .649** 1

Sig. (2-tailed) .000

N 25 25

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).


Lampiran 3. Hasil Penelitian
Lampiran 4. Surat Pengantar dari Kampus
Lampiran 5. Surat izin dari Bakesbangpol
Lampiran 6. Surat persyaratan untuk izin dari Dinkes
Lampiran 7. Surat Izin dari Dinkes
Lampiran 8. Surat izin dati PT Media Diagnostika
Lampiran 9. Monitoring Bimbingan
Lampiran 10. Berita Acara Perbaikan

Anda mungkin juga menyukai